Anda di halaman 1dari 37

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN KETOASIDOSIS DIABETIK

Pembimbing : Yunita Carolina, Ns., M.Kep

DISUSUN
OLEH:

IRMA. ELMAS
NIM: NS19141075

PROGRAM PROFESI NERS


STIK STELLA MARIS
MAKASSAR
2020

LAPORAN PENDAHULUAN
PASIEN DENGAN KETOASIDOSIS DIABETIK

A. Definisi

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah komplikasi akut yang mengancam jiwa seorang
penderita diabetes mellitus yang tidak terkontrol. Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah
keadaan dekompensasi metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia, asidosis dan
ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. Kondisi
kehilangan urin, air, kalium, amonium, dan natrium menyebabkan hipovolemia,
ketidakseimbangan elektrolit, kadar glukosa darah sangat tinggi, dan pemecahan
asam lemak bebas menyebabkan asidosis dan sering disertai koma. KAD merupakan
komplikasi akut diabetes melitus yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat
darurat.

KAD adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolik yang ditandai olehtrias


hiperglikemia, asidosis ,dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin
absolut atau relatif. KAD dan Hiperosmolar Hyperglycemia State (HHS) adalah 2
komplikasi akut metabolik diabetes mellitus yang paling serius dan mengancam
nyawa. Kedua keadaan tersebut dapat terjadi pada Diabetes Mellitus (DM) tipe 1 dan
2, meskipun KAD lebih sering dijumpai pada DM tipe1. KAD mungkin merupakan
manifestasi awal dari DM tipe1 atau mungkin merupakan akibat dari peningkatan
kebutuhan insulin pada DM tipe 1 pada keadaan infeksi, trauma, infark miokard, atau
kelainan lainnya.

B. Etiologi

Terdapat sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui mendetia DM untuk pertama
kalinya. Pada pasien KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat dikenali
adanya faktor pencetus, sementara 20% lainnya tidak diketahui faktor pencetusnya.

Faktor pencetus tersering dari KAD adalah infeksi,dan diperkirakan sebagai pencetus
lebih dari 50% kasus KAD. Pada infeksi akan terjadi peningkatan sekresi kortisol dan
glukagon sehingga terjadi peningtan kadar gula darah yang bermakna. Faktor lainnya
adalah cerebrovascular accident, alcohol abuse, pankreatitis, infark jantung, trauma
pheochromocytoma, obat, DM tipe 1 yang baru diketahui dan diskontinuitas
(kepatuhan) atau terapi insulinin adekuat.Kepatuhan akan pemakaian insulin
dipengaruhi oleh umur, etnis dan faktor komorbid penderita. Faktor lain yang juga
diketahui sebagai pencetus KAD adalah trauma, kehamilan, pembedahan, dan stres
psikologis. Infeksi yang diketahui paling sering mencetuskan KAD adalah infeksi
saluran kemih dan pneumonia. Pneumonia atau penyakit paru lainnya dapat
mempengaruhi oksigenasi dan mencetuskan gagalnapas, sehingga harus selalu
diperhatikan sebagai keadaan yang serius dan akan menurunkan kompensasi
respiratorik dari asidosis metabolik.
Infeksi lain dapat berupa infeksi ringan seperti skin lesion atau infeksi tenggorokan.
Obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat seperti kortikosteroid,
thiazid, pentamidine, dan obat simpatomimetik (sepertidobutamin dan terbutalin),
dapat mencetuskan KAD.Obat-obat lain yang diketahui dapat mencetuskan KAD
diantaranya betabloker, obat antipsikotik,dan fenitoin. Pada pasien usia muda
denganDM tipe1, masalah psikologis yang disertai kelainan makan memberikan
kontribusipada 20% KAD berulang. Faktor yang memunculkan kelalaian penggunaan
insulin pada pasien muda diantaranya ketakutan untuk peningkatan berat badan
dengan perbaikan kontrol metabolik, ketakutan terjadinya hipoglikemia, dan stres
akibat penyakit kronik. Namun demikian,seringkalifaktorpencetus KAD tidak
ditemukan dan ini dapat mencapai 20–30% dari semua kasus KAD, akan tetapi hal ini
tidak mengurangikan dampak yang ditimbulkan akibat KAD itu sendiri.

C. Manifestasi Klinis

Ketoasidosis diabetikum (KAD) dan keadaan hiperglikemik hiperosmolar (KHH)


merupakan suatu keadaan kegawatdaruratan, sehingga membutuhkan pengenalan
dan penatalaksanaan segera. Pendekatan pertama pada pasien-pasien ini terdiri dari
anamnesa yang cepat namun fokus dan hati-hati serta pemeriksaan fisik dengan
perhatian khusus seperti:

a. Patensi jalan napas

b. Status mental

c. Status kardiovaskular dan renal

d. Sumber infeksi

e. Status hidrasi.

Langkah-langkah ini harus mempertimbangkan penentuan derajat urgensi dan


prioritas dari pemeriksaan laboratorium yang harus diutamakan sehingga terapi dapat
dilaksanakan tanpa penundaan. Ketoasidosis diabetikum biasanya timbul dengan
cepat, biasanya dalam rentang waktu <24 jam. Manifestasi klinis pasien dengan KAD
seperti:

a. Pada pasien dengan KAD, nausea vomitus merupakan salah satu tanda dan gejala
yang sering ditemukan.

b. Nyeri abdominal terkadang dapat diketemukan pada pasien dewasa (lebih sering
pada anak-anak) dan dapat menyerupai akut abdomen. Meskipun penyebabnya
belum dapat dipastikan, dehidrasi jaringan otot, penundaan pengosongan lambung
dan ileus oleh karena gangguan elektrolit serta asidosis metabolik telah diimplikasikan
sebagai penyebab dari nyeri abdominal.
c. Asidosis, yang dapat merangsang pusat pernapasan medular, dapat menyebabkan
pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul).

d. Gejala-gejala seperti poliuria, polidipsia dan polifagia yang khas sebagai bagian
dari diabetes tak terkontrol nampaknya sudah timbul selama tiga sampai empat
minggu sebelumnya.

e. Penurunan berat badan timbul tiga sampai enam bulan sebelum dengan rata-rata
penurunan 13 kilogram.

f. Pemeriksaan fisis dapat menunjukkan temuan-temuan lain seperti bau napas seperti
buah atau pembersih kuteks (aseton) sebagai akibat dari ekskresi aseton melalui
sistem respirasi.

g. Tanda-tanda dehidrasi seperti kehilangan turgor kulit, mukosa membran yang


kering, takikardia dan hipotensi.

h. Status mental dapat bervariasi mulai dari kesadaran penuh sampai letargi yang
berat; meskipun demikian kurang dari 20% pasien KAD yang diperawatan dengan
penurunan kesadaran.

D. Pathway
Sel β tidak mampu
menghasilkan insulin

Defisiensi insulin

Transport glukosa ke jaringan

Hiperglikemi
Glukosa
Metabolisme sel Absorbsi ginjal
Metabolisme
ATP Asam lemak Strafase sel
Glukouria

Produksi energi Badan keton Kemampuan sel


Diuresis osmotik

Kelemahan PK. Asidosis metabolik Imun Poliuria

Rentang infeksi
vol. sirkulasi

Invasi kuman
Hipotensi Devisit
KETOASIDOSIS DIABETIKUM takikardi cairan
B1 (Breath) B2 (Blood) B3 (Brain) B4 (Bladder) B5 (Bowel) B6 (Bone) Tidak
mengenal
Insulin Glukosa PK.Hiperglikemi Lipolisis Metabolisme sel sumber
Transportasi
meningkat informasi
guguladalam
jaringan Sel hungry Diuresis osmotik Ketosis ATP
Sumbatan Kesalahan
di N2 Kerja penginter-
Ulkus Kehilangan cairan Mual,
hiperglikemia metabolisme prestasian
Suplai O2 muntah
Invasi informasi
turun
glukosuria mikroorganisme
DX: Kelemahan
Nutrisi Pasien
DX: Dehidrasi Poliuri
Infeksi kurang dari ansietas
Lipolisis Perubahan DX:
kebutuhan
persepsi Intoleran aktivitas
sensori Pasien
DX:
Produksi asam Perfusi penglihatan sering
Defisit vol. Cairan
lemak jartingan bertanya
dan elektrolit
serebral
dikonversi DX:
(diubah) menjadi Penurunan Kurang
keton, kesadaran pengetahuan
menimbulkan ketonaemia,
asidosis metabolik dan
ketonuria
Fungsi jantung

Proses inflamasi
mediator
Distritmia/arit
DX:
mia
Gangguan Pertukan
Gas Merangsang
pengeluaran sitokinin
DX:
Penurunan Curah
Pembentukan Jantung
prostaglandin di otak

Merangsang
hipotalamus
meningkatkan SB

T.G : demam

DX :Hipertermia
E. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium
1. Glukosa.
Kadar glukosa dapat bervariasi dari 300 hingga 800 mg/dl. Sebagian pasien
mungkin memperlihatkan kadar gula darah yang lebih rendah dan sebagian
lainnya mungkin memiliki kadar sampai setinggi 1000 mg/dl atau lebih yang
biasanya bergantung pada derajat dehidrasi. Harus disadari bahwa ketoasidosis
diabetik tidak selalu berhubungan dengan kadar glukosa darah. Sebagian pasien
dapat mengalami asidosis berat disertai kadar glukosa yang berkisar dari 100 –
200 mg/dl, sementara sebagian lainnya mungkin tidak memperlihatkan
ketoasidosis diabetikum sekalipun kadar glukosa darahnya mencapai 400-500
mg/dl.
2. Natrium.
Efek hiperglikemia ekstravaskuler bergerak air ke ruang intravaskuler. Untuk
setiap 100 mg / dL glukosa lebih dari 100 mg / dL, tingkat natrium serum
diturunkan oleh sekitar 1,6 mEq / L. Bila kadar glukosa turun, tingkat natrium
serum meningkat dengan jumlah yang sesuai.
3. Kalium.
Ini perlu diperiksa sering, sebagai nilai-nilai drop sangat cepat dengan perawatan.
EKG dapat digunakan untuk menilai efek jantung ekstrem di tingkat potasium.
4. Bikarbonat.
Kadar bikarbonat serum adalah rendah, yaitu 0- 15 mEq/L dan pH yang rendah
(6,8-7,3). Tingkat pCO2 yang rendah ( 10- 30 mmHg) mencerminkan kompensasi
respiratorik (pernapasan kussmaul) terhadap asidosisi metabolik. Akumulasi
badan keton (yang mencetuskan asidosis) dicerminkan oleh hasil pengukuran
keton dalam darah dan urin. Gunakan tingkat ini dalam hubungannya dengan
kesenjangan anion untuk menilai derajat asidosis.
5. Sel darah lengkap (CBC).
Tinggi sel darah putih (WBC) menghitung (> 15 X 109 / L) atau ditandai
pergeseran kiri mungkin menyarankan mendasari infeksi.
6. Gas darah arteri (AGD).
pH sering <7.3. Vena pH dapat digunakan untuk mengulang pH measurements.
Brandenburg dan Dire menemukan bahwa pH pada tingkat gas darah vena pada
pasien dengan KAD adalah lebih rendah dari pH 0,03 pada AGD.
7. Keton.
Diagnosis memadai ketonuria memerlukan fungsi ginjal. Selain itu, ketonuria
dapat berlangsung lebih lama dari asidosis jaringan yang mendasarinya.
8. ß-hidroksibutirat.
Serum atau hidroksibutirat ß kapiler dapat digunakan untuk mengikuti respons
terhadap pengobatan. Tingkat yang lebih besar dari 0,5 mmol / L dianggap
normal, dan tingkat dari 3 mmol / L berkorelasi dengan kebutuhan untuk
ketoasidosis diabetik (KAD).
9. Urinalisis (UA)
Cari glikosuria dan urin ketosis. Hal ini digunakan untuk mendeteksi infeksi
saluran kencing yang mendasari.
10. Osmolalitas
Diukur sebagai 2 (Na +) (mEq / L) + glukosa (mg / dL) / 18 + BUN (mg / dL) / 2.8.
Pasien dengan diabetes ketoasidosis yang berada dalam keadaan koma
biasanya memiliki osmolalitis > 330 mOsm / kg H2O. Jika osmolalitas kurang
dari > 330 mOsm / kg H2O ini, maka pasien jatuh pada kondisi koma.
11. Fosfor
Jika pasien berisiko hipofosfatemia (misalnya, status gizi buruk, alkoholisme
kronis), maka tingkat fosfor serum harus ditentukan.
12. Tingkat BUN meningkat.
Anion gap yang lebih tinggi dari biasanya.
13. Kadar kreatinin
Kenaikan kadar kreatinin, urea nitrogen darah (BUN) dan Hb juga dapat terjadi
pada dehidrasi. Setelah terapi rehidrasi dilakukan, kenaikan kadar kreatinin dan
BUN serum yang terus berlanjut akan dijumpai pada pasien yang mengalami
insufisiensi renal.
Tabel Sifat-sifat penting dari tiga bentuk dekompensasi (peruraian)
metabolik pada diabetes.
Sifat-sifat Diabetic Hyperosmolar Asidosis laktat

ketoacidosis non ketoticcoma

(KAD) (HONK)

Glukosa plasma Tinggi Sangat tinggi Bervariasi

Ketone Ada Tidak ada Bervariasi

Asidosis Sedang/hebat Tidak ada Hebat

Dehidrasi Dominan Dominan Bervariasi

Hiperventilasi Ada Tidak ada Ada

b. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik untuk ketoasidosis diabetik dapat dilakukan dengan cara:
1. Tes toleransi Glukosa (TTG) memanjang (lebih besar dari 200mg/dl). Biasanya
tes ini dianjurkan untuk pasien yang menunjukkan kadar glukosa meningkat
dibawah kondisi stress.
2. Gula darah puasa normal atau diatas normal.
3. Essei hemoglobin glikolisat diatas rentang normal.
4. Urinalisis positif terhadap glukosa dan keton.
5. Kolesterol dan kadar trigliserida serum dapat meningkat menandakan
ketidakadekuatan kontrol glikemik dan peningkatan propensitas pada terjadinya
aterosklerosis.
6. Aseton plasma: Positif secara mencolok
7. As. Lemak bebas: kadar lipid dan kolesterol meninggkat
8. Elektrolit: Na normal/menurun; K normal/meningkat serum Fosfor turun
9. Hemoglobin glikosilat: Meningkat 2-4 kali normal
10. Gas Darah Arteri: pH rendah, penurunan HCO3 (asidosismetabolik) dengan
kompensasi alkalosis respiratorik
11. Trombosit darah: Ht mungkin meningkat, leukositosis, hemokonsentrasi
12. Ureum/creatinin: meningkat/normal
13. Amilase darah: meningkat mengindikasikan pancreatitis akut

F. Penatalaksanaan

1. Terapi cairan

Pasien dewasa (>20 tahun)

Terapi cairan awal ditujukan kepada ekspansi cairan intravskular dan ekstravaskular
serta perbaikan perfusi ginjal. Pada keadaan tanpa gangguan kardiak, salin isotonik
(0,9%) dapat diberikan dengan laju 15-20 ml/kgBB/jam atau lebih selama satu jam
pertama (total 1 sampai 1,5 liter cairan pada dewasa rata-rata). Pemlihan cairan
pengganti selanjutnya bergantung kepada status hidrasi, kadar elektrolit serum dan
keluaran urin. Secara umum NaCl 0,45% dengan laju 4 sampai 14 ml/kgBB/jam
mencukupi apabila kadar natrium serum terkoreksi normal atau meningkat. Salin
isotonik dengan laju yang sama dapat diberikan apabila kadar natrium serum
terkoreksi rendah.Setelah fungsi ginjal telah terjaga dengan baik, cairan infus harus
ditambahkan 20-30 mEq/L kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai keadaan pasien
stabil dan dapat menerima suplementasi oral. Kemajuan yang baik untuk terapi
pergantian cairan dinilai dengan pemantauan parameter hemodinamik (perbaikan
tekanan darah), pengukuran masukan/keluaran cairan dan pemeriksaan klinis.
Pergantian cairan harus memperbaiki defisit perkiraan dalam waktu 24 jam pertama.
Perubahan osmolalitas serum akibat terapi tidak boleh melebihi 3 mOsm/kg H2O/jam.
Pada pasien dengan gangguan ginjal atau jantung, pemantauan osmolalitas serum
dan penilaian rutin status jantung, ginjal serta mental harus dilakukan bersamaan
dengan resusitasi cairan untuk menghindari overloading iatrogenik.

*Kriteria diagnostik KAD: glukosa darah >250 mg/dL, pH arterial <7,3, bikarbonat
<15 mEq/L dan kentonuria atau ketonemia sedang berat. Setelah anamnesa dan
pemeriksaan fisis, lakukan pemeriksaan analisa gas darah arteri, penghitungan
darah lengkap dengan hitung jenis, urinalisis, glukosa darah, nitrogen urea
darah, elektrolit, profil kimia dan kadar kreatinin sito ditambah dengan
EKG.Lakukan pemeriksaan rontgen dada dan kultur bakteri sesuai keperluan.
‡Natriumserum harus dikoreksi untuk hiperglikemia (untuk setiap 100 mg/dL
glukosa di atas 1oo mg/dL tambahkan 1,6 mEq untuk kadar natrium terkoreksi).

Pasien anak dan remaja (<20 tahun)

Terapi cairan awal ditujukan kepada ekspansi cairan intravskular dan ekstravaskular
serta perbaikan perfusi ginjal. Namun kebutuhan ekspansi volume vaskular harus
diimbangkan dengan risiko edema serebral yang dikaitkan terhadap pemberian cairan
cepat. Cairan dalam satu jam pertama harus salin isotonik (0,9%) dengan laju 10
sampai 20 ml/kgBB/jam. Pada pasien dengan dehidrasi berat, protokol ini dapat
diulang, namun re-ekspansi awal tidak boleh melebihi 50 ml/kgBB dalam 4 jam
pertama terapi. Terapi cairan lanjutan dihitung untuk menggantikan defisit cairan
secara seimbang dalam waktu 48 jam. Secara umum, NaCl 0,45 -0,9% (tergantung
kadar natrium serum) dapat diberikan dengan laju 1,5 kali kebutuhan maintenance 24
jam (kurang lebih 5 ml/kgBB/jam) dan akan memberikan rehidrasi yang mulus dengan
penurunan osmolalitas tidak melebihi 3 mOsm/kg H2O/jam. Setelah fungsi ginjal
terjaga dan kalium serum diketahui kadarnya, maka cairan infus harus ditambahkan
20 – 30 mEq/L kalium (2/3 KCl atau kalium-asetat dan 1/3 KPO4). Segera setelah
kadar glukosa serum mencapai 250 mg/dL, cairan harus digantikan dengan dekstrosa
5% dan 0,45 – 0,75% NaCl dengan kalium sebagaimana digambarkan di atas. Terapi
harus disertai dengan pemantauan.

2. Terapi Insulin

Kecuali episode KAD ringan, insulin regular dengan infus intravena kontinu
merupakan pilihan terapi. Pada pasien dewasa, setelah hipokalemia (K+<3,3 mEq/L)
disingkirkan, bolus insulin regular intravena 0,15 unit/kgBB diikuti dengan infus kontinu
insulin regular 0,1 unit/kgBB/jam (5-7 unit/jam pada dewasa) harus diberikan. Insulin
bolus inisial tidak direkomendasikan untuk pasien anak dan remaja; infus insulin
regular kontinu 0,1 unit/kgBB/jam dapat dimulai pada kelompok pasien ini. Insulin
dosis rendah ini biasanya dapat menurunkan kadar glukosa plasma dengan laju 50-
75 mg/dL/jam sama dengan regimen insulin dosis lebih tinggi. Bila glukosa plasma
tidak turun 50 mg/dL dari kadar awal dalam 1 jam pertama, periksa status hidrasi;
apabila memungkinkan infus insulin dapat digandakan setiap jam sampai penurunan
glukosa stabil antara 50-75 mg/dL.

Pada saat kadar glukosa plasma mencapai 250 mg/dL di KAD dan 300 mg/dL di KHH
maka dimungkinkan untuk menurunkan laju infus insulin menjadi 0,05-0,1
unit/kgBB/jam (3-6 unit/jam) dan ditambahkan dektrosa (5-10%) ke dalam cairan infus.
Selanjutnya, laju pemberian insulin atau konsentrasi dekstrosa perlu disesuaikan
untuk mempertahakan kadar glukosa di atas sampai asidosis di KAD atau perubahan
kesadaran dan hiperosmolaritas di KHH membaik.

Ketonemia secara khas membutuhkan waktu lebih lama untuk membaik dibandingkan
dengan hiperglikemia. Pengukuran beta-hidroksibutirat langsung pada darah
merupakan metode yang disarankan untuk memantau KAD. Metode nitroprusida
hanya mengukur asam asetoasetat dan aseton serta tidak mengukur beta-
hidroksibutirat yang merupakan asam keton terkuat dan terbanyak. Selama terapi,
beta-hidroksibutirat diubah menjadi asam asetoasetat, sehingga dapat memberikan
kesan ketoasidosis memburuk bila dilakukan penilaian dengan metode nitroprusida.
Oleh karena itu, penilaian keton serum atau urin dengan metode nitroprusida jangan
digunakan sebagai indikator respons terapi.
Selama terapi untuk KAD atau KHH, sampel darah hendaknya diambil setiap 2-4 jam
untuk mengukur elektrolit, glukosa, BUN, kreatinin, osmolalitas dan pH vena serum
(terutama KAD). Secara umum, pemeriksaan analisa gas darah arterial tidak
diperlukan, pH vena (yang biasanya lebih rendah 0,03 unit dibandingkan pH arterial)
dan gap anion dapat diikuti untuk mengukur perbaikan asidosis. Pada KAD ringan,
insulin regular baik diberikan subkutan maupun intramuskular setiap jam, nampaknya
sama efektif dengan insulin intravena untuk menurunkan kadar glukosa dan badan
keton. Pasien dengan KAD ringan pertama kali disarankan menerima dosis “priming”
insulin regular 0,4-0,6 unit/kgBB, separuh sebagai bolus intravena dan separuh
sebagai injeksi subkutan atau intravena. Setelah itu, injeksi insulin regular 0,1
unit/kgBB/jam secara subkutan ataupun intramuskular dapat diberikan.

Kriteria perbaikan KAD diantaranya adalah: kadar glukosa <200 mg/dL, serum
bikarbonat ≥18 mEq/L dan pH vena >7,3. Setelah KAD membaik, bila pasien masih
dipuasakan maka insulin dan penggantian cairan intravena ditambah suplementasi
insulin regular subkutan setiap 4 jam sesuai keperluan dapat diberikan. Pada pasien
dewasa, suplementasi ini dapat diberikan dengan kelipatan 5 unit insulin regular setiap
peningkatan 50 mg/dL glukosa darah di atas 150 mg/dL, dosis maksimal 20 unit untuk
kadar glukosa ≥300 mg/dL.

Bila pasien sudah dapat makan, jadwal dosis multipel harus dimulai dengan
menggunakan kombinasi insulin kerja pendek/cepat dan kerja menengah atau
panjang sesuai keperluan untuk mengendalikan kadar glukosa. Lanjutkan insulin
intravena selama 1-2 jam setelah regimen campuran terpisah dimulai untuk
memastikan kadar insulin plasma yang adekuat. Penghentian tiba-tiba insulin
intravena disertai dengan awitan tertunda insulin subkutan dapat menyebabkan
kendali yang memburuk; oleh karena itu tumpang tindih antara terapi insulin intravena
dan inisiasi insulin subkutan harus diadakan.

Pasien dengan riwayat diabetes sebelum dapat diberikan insulin dengan dosis yang
mereka terima sebelumnya sebelum awitan KAD atau KHH dan disesuaikan dengan
kebutuhan kendali. Pasien-pasien dengan diagnosis diabetes baru, dosis insulin
inisial total berkisar antara 0,5-1,0 unit/kgBB terbagi paling tidak dalam dua dosis
dengan regimen yang mencakup insulin kerja pendek dan panjang sampai dosis
optimal dapat ditentukan. Pada akhirnya, beberapa pasien T2DM dapat dipulangkan
dengan antihiperglikemik oral dan terapi diet pada saat pulang.

Terapi dengan menggunakan insulin analog baru-baru ini mendapatkan perhatian


lebih untuk dapat menggantikan insulin manusia, hal ini dikarenakan profil
farmakokinetik yang lebih baik sehingga membuat terapi dengan insulin analog lebih
mudah diprediksikan. Suatu studi acak terkontrol yang memperbandingkan terapi
KAD pada 68 subyek menggunakan insulin analog dibandingkan dengan insulin
manusia, menunjukkan efek samping hipoglikemia yang lebih rendah secara
signifikan (41% vs. 15%, reduksi risiko absolut 26%, NNT=4, p=0,03). Studi ini
menunjukkan regimen insulin analog (glulisine dan glargine) memberikan efek terapi
dan dosis yang serupa dengan insulin manusia (regular dan NPH/regular).

3. Kalium

Walaupun terjadi penurunan kadar kalium tubuh total, hiperkalemia ringan sedang
dapat terjadi pada pasien krisis hiperglikemik. Terapi insulin, koreksi asidosis dan
ekspansi volume menurunkan konsentrasi kalium serum. Untuk mencegah
hipokalemia, penggantian kalium dimulai apabila kadar kalium serum telah di bawah
5,5 mEq/L, dengan mengasumsikan terdapat keluaran urin adekuat. Biasanya 20-30
mEq/L kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) untuk setiap liter cairan infus mencukupi untuk
mempertahankan kadar kalium serum antara 4-5 mEq/L. Pada keadaan tertentu,
pasien KAD dapat datang dengan hipokalemia signifikan. Pada kasus-kasus ini,
penggantian kalium harus dimulai bersamaan dengan terapi cairan dan pemberian
insulin ditunda sampai kadar kalium mencapai lebih dari 3,3 mEq/L dalam rangka
mencegah terjadinya aritmia atau henti jantung dan kelemahan otot pernapasan.

4. Koreksi asidosis metabolik

Penggunaan bikarbonat pada KAD tetap kontroversial, dengan pH >7,0 memperbaiki


aktivitas insulin dapat menghambat lipolisis dan menghilangkan ketoasidosis tanpa
perlu tambahan bikarbonat. Penelitian acak terkontrol gagal menunjukkan apakah
pemberian bikarbonat pada pasien KAD dengan pH 6,9-7,0 memberikan perbaikan
atau perburukan. Sedangkan untuk pasien KAD dengan pH <6,9 belum pernah ada
penelitian prospektif yang dilakukan.

Mempertimbangkan bahwa asidosis berat dapat menyebabkan berbagai efek


vaskular berat, nampaknya cukup beralasan untuk menatalaksana pasien dewasa
dengan pH <7,0 menggunakan 100 mmol natrium bikarbonat diencerkan dengan 400
ml aqua bidestilata dan dan diberikan dengan laju 200 ml/jam. Pada pasien dengan
pH 6,9 sampai 7,0, maka 50 mmol natrium bikarbonat dapat diberikan setelah
diencerkan dengan 200 ml aqua bidestilata dan diinfus dengan laju 200 ml/jam. Pada
pasien dengan pH di atas 7,0 maka tidak diperlukan pemberian natrium bikarbonat.

Insulin, sebagaimana terapi bikarbonat, menurunkan kalium serum, sehingga


suplementasi kalium harus diberikan di dalam cairan intravena sesuai protokol di atas
dan dilakukan pemantauan hati-hati. Setelah itu, pH vena harus dinilai setiap 2 jam
sampai pH meningkat sampai 7,0 dan terapi diulang setiap 2 jam sesuai dengan
keperluan.

Pada pasien anak, tidak ada penelitian acak terhadap subyek dengan pH<6,9. Bila
pH tetap <7,0 setelah hidrasi dalam satu jam pertama, nampaknya pemberian natrium
bikarbonat 1-2 mEq/kg selama 1 jam dapat dibenarkan. Natrium bikarbonat ini dapat
ditambahkan ke dalam lauran NaCl dan kalium yang dibutuhkan untuk membuat
larutan dengan kadar natrium tidak melebihi 155 mEq/L. Terapi bikarbonat tidak
dibutuhkan bila pH ≥7,0.

5. Fosfat

Walaupun terdapat defisit fosfat tubuh total rata-rata 1 mmol/kgBB, namun fosfat
serum dapat normal ataupun meningkat saat presentasi. Konsentrasi fosfat menurun
dengan terapi insulin. Penelitian-penelitian acak prospektif gagal menunjukkan
adanya keuntungan terapi penggantianfosfat terhadap keluaran klinis KAD, dan terapi
fosfat berlebihan dapat menyebabkan hipokalsemia berat tanpa tanda-tanda tetani.
Meskipun demikian, untuk mengindari kelemahan jantung dan otot skeletal serta
depresi pernapasan akibat hipofosfatemia, terapi penggantian fosfat secara hati-hati
dapat diindikasikan pada pasien dengan disfungsi jantung, anemia atau depresi
pernapasan dan pada pasien dengan konsentrasi serum fosfat <1,0 mg/dL. Pada saat
dibutuhkan, kalium fosfat 20-30 mEq/L dapat ditambahkan ke dalam cairan pengganti.

Tatalaksana Lainnya

Pemantauan EKG kontinu direkomendasikan oleh karena adanya risiko hipo atau
hiperkalemia dan aritmia yang disebabkannya. Tabung nasogastrik harus diberikan
kepada pasien dengan penurunan kesadaran oleh karena risiko gastroparesis dan
aspirasi. Kateterisasi urin harus dipertimbangkan bila terdapat gangguan kesadaran
atau bila pasien tidak mengeluarkan urin setelah 4 jam terapi dimulai. Kebutuhan
pemantauan vena sentral harus dipertimbangkan perindividu, namun diperlukan pada
pasien tua atau dengan keadaan gagal jantung sebelumnya. Pertimbangan harus
diberikan kepada pemberian terapi antibiotika bila ada bukti infeksi, namun hitung
leukosit seringkali meningkat tajam pada KAD, dan tidak mengkonfirmasi adanya
infeksi. Anamnesa, pemeriksaan fisis, demam dan peningkatan CRP merupakan
biomarker yang lebih terpercaya.

Pemantauan terapi:

Pemantauan ketat tanda vital, kondisi klinis dan parameter laboratorium sangat
penting. Tanda-tanda vital harus diperiksa setiap setengah jam untuk satu jam
pertama, setiap jam untuk 4 jam berikutnya dan setiap 2 – 4 jam sampai KAD pulih.
Pencatatan akurat keluaran urin setiap jam sangat penting untuk memantau fungsi
ginjal. Pada saat masuk perawatan, pemeriksaan komprehensif meliputi paling tidak
analisa gas darah arterial atau vena, kadar glukosa plasma, elektrolit, nitrogen urea
darah dan kreatinin, kadar keton serum atau urin atau keduanya dan osmolalitas
serum. Kadar glukosa darah kapiler harus dipantau setiap jam untuk penyesuaian
dosis infus insulin. Kadar elektrolit harus dinilai setiap 1-2 jam awalnya dan setiap 4
jam kemudian. Pengukuran pH vena dapat menggantikan pH arteri dan harus
dilakukan setiap 4 jam sampai KAD terkoreksi. Tabel 14 memberikan lembar alur
penilaian yang dapat digunakan untuk memantau terapi KAD.

Tujuan terapi pada KAD adalah untuk menghentikan ketogenesis, dengan


konsekuensi resolusi asidosis. Pengukuran kadar glukosa kapiler telah digunakan
sebagai penanda antara untuk perbaikan gangguan metabolik, meskipun demikian
kadar glukosa seringkali tidak stabil dengan penggunaan sliding scale dan apabila
terjadi hiperglikemia penting diketahui apakah ini disertai dengan ketosis yang
menandakan adanya dekompensasi metabolik atau tidak. Gambar 7 memberikan
data dari dua pasien dengan KAD yang pengukuran kadar beta-hidroksibutirat
membantu untuk membedakan rekurensi ketosis yang membutuhkan terapi insulin
intravena kembali dengan hiperglikemia biasa.

Pada keadaan normal, konsentrasi beta-hidroksibutirat tidak melebihi 1 mmol/L pada


pasien dengan T1DM. Pada pasien dengan KAD, nilai rata-rata KAD sekitar 7 mmol/L
namun dapat berkisar antara 4-12 mmol/L. Dengan terapi optimal KAD, beta-
hidroksibutirat diperkirakan akan turun 1 mmol/L per jam, kegagalan untuk turun
dengan level ini menandakan terapi inadekuat dan memerlukan penyesuaian laju
infus insulin dan cairan

Pengenalan pengukuran keton darah baru-baru ini membuat pemberian insulin dapat
dititrasi tehadap penurunan kadar keton dan bukan kadar glukosa. Namun demikian,
pengukuran kadar glukosa darah tetap diperlukan untuk meminimalisir kejadian
hipoglikemia. Pemantauan kadar keton kapiler mempunyai keuntungan lebih tidak
invasif dibandingkan pemantauan gas darah arterial dan lebih tepat dibandingkan
pengukuran bikarbonat plasma, oleh karena pemulihan kadar bikarbonat plasma
tertinggal dibandingkan resolusi asidosis metabolik. Alur waktu pemulihan bikarbonat
dan beta-hidroksibutirat.

G. Komplikasi

a. Hipoglikemia dan hipokalemia

Sebelum penggunaan protokol insulin dosis rendah, kedua komplikasi ini dapat
dijumpai pada kurang lebih 25% pasien yang diterapi dengan insulin dosis tinggi.
Kedua komplikasi ini diturunkan secara drastis dengan digunakannya terapi insulin
dosis rendah. Namun, hipoglikemia tetap merupakan salah satu komplikasi potensial
terapi yang insidensnya kurang dilaporkan secara baik. Penggunaan cairan infus
menggunakan dekstrosa pada saat kadar glukosa mencapai 250 mg/dL pada KAD
dengan diikuti penurunan laju dosis insulin dapat menurunkan insidens hipoglikemia
lebih lanjut. Serupa dengan hipoglikemia, penambahan kalium pada cairan hidrasi dan
pemantauan kadar kalium serum ketat selama fase-fase awal KAD dan KHH dapat
menurunkan insidens hipokalemia.

b. Edema Serebral

Peningkatan tekanan intrakranial asimtomatik selama terapi KAD telah dikenal lebih
dari 25 tahun. Penurunan ukurnan ventrikel lateral secara signifikan, melalu
pemeriksaan eko-ensefalogram, dapat ditemukan pada 9 dari 11 pasien KAD selama
terapi. Meskipun demikian, pada penelitian lainnya, sembilan anak dengan KAD
diperbandingkan sebelum dan sesudah terapi, dan disimpulkan bahwa
pembengkakan otak biasanya dapat ditemukan pada KAD bahkan sebelum terapi
dimulai. Edema serebral simtomatik, yang jarang ditemukan pada pasien KAD dan
KHH dewasa, terutama ditemukan pada pasien anak dan lebih sering lagi pada
diabetes awitan pertama. Tidak ada faktor tunggal yang diidentifikasikan dapat
memprediksi kejadian edema serebral pada pasien dewasa. Namun, suatu studi pada
61 anak dengan KAD dan serebral edema yang dibandingkan dengan 355 kasus
matching KAD tanpa edema serebral, menemukan bahwa penurunan kadar CO2
arterial dan peningkatan kadar urea nitrogen darah merupakan salah satu faktor risiko
untuk edema serebral. Untuk kadar CO2 arterial ditemukan setiap penurunan 7,8
mmHg PCO2 meningkatkan risiko edema serebral sebesar 3,4 kali (OR 3,4; 95% CI
1,9 – 6,3, p<0,001). Sedangkan untuk kadar urea nitrogen darah setiap penurunan
kadar sebesar 9 mg/dL meningkatkan risiko sebesar 1,7 kali (OR 1,7; 95% CI 1,2 –
2,5, p=0,003).

c. Sindrom distres napas akut dewasa (adult respiratory distress syndrome)

Suatu komplikasi yang jarang ditemukan namun fatal adalah sindrom distres napas
akut dewasa (ARDS). Selama rehidrasi dengan cairan dan elektrolit, peningkatan
tekanan koloid osmotik awal dapat diturunkan sampai kadar subnormal. Perubahan
ini disertai dengan penurunan progresif tekanan oksigen parsial dan peningkatan
gradien oksigen arterial alveolar yang biasanya normalpada pasien dengan KAD saat
presentasi. Pada beberapa subset pasien keadaan ini dapatberkembang menjadi
ARDS. Dengan meningkatkan tekanan atrium kiri dan menurunkan tekanan koloid
osmotik, infus kristaloid yang berlebihan dapat menyebabkan pembentukan edema
paru (bahkan dengan fungsi jantung yang normal). Pasien dengan peningkatan
gradien AaO2 atau yang mempunyai rales paru pada pemeriksaan fisis dapat
merupakan risiko untuk sindrom ini.Pemantauan PaO2 dengan oksimetri nadi dan
pemantauan gradien AaO2 dapat membantu pada penanganan pasien ini. Oleh
karena infus kristaloid dapat merupakan faktor utama, disarankan pada pasien-pasien
ini diberikan infus cairan lebih rendah dengan penambahan koloid untuk terapi
hipotensi yang tidak responsif dengan penggantian kristaloid.
d. Asidosis metabolik hiperkloremik

Asidosis metabolik hiperkloremik dengan gap anion normal dapat ditemukan pada
kurang lebih 10% pasien KAD; meskipun demikian hampir semua pasien KAD akan
mengalami keadaan ini setelah resolusi ketonemia. Asidosis ini tidak mempunyai efek
klinis buruk dan biasanya akan membaik selama 24-48 jam dengan ekskresi ginjal
yang baik. Derajat keberatan hiperkloremia dapat diperberat dengan pemberian
klorida berlebihan oleh karena NaCl normal mengandung 154 mmol/L natrium dan
klorida, 54 mmol/L lebih tinggi dari kadar klorida serum sebesar 100 mmol/L.

Sebab lainnya dari asidosis hiperkloremik non gap anion adalah: kehilangan
bikarbonat potensial oleh karena ekskresi ketoanion sebagai garam natrium dan
kalium; penurunan availabilitas bikarbonat di tubulus proksimal, menyebabkan
reabsorpsi klorida lebih besar; penurunan kadar bikarbonat dan kapasitas dapar
lainnya pada kompartemen-kompartemen tubuh. Secara umum, asidosis metabolik
hiperkloremik membaik sendirinya dengan reduksi pemberian klorida dan pemberian
cairan hidrasi secara hati-hati. Bikarbonat serum yang tidak membaik dengan
parameter metabolik lainnya harus dicurigai sebagai kebutuhan terapi insulin lebih
agresif dan pemeriksaan lanjutan.

e. Trombosis vaskular

Banyak karakter pasien dengan KAD dan KHH mempredisposisi pasien terhadap
trombosis, seperti: dehidrasi dan kontraksi volume vaskular, keluaran jantung rendah,
peningkatan viskositas darah dan seringnya frekuensi aterosklerosis. Sebagai
tambahan, beberapa perubahan hemostatik dapat mengarahkan kepada trombosis.
Komplikasi ini lebih sering terjadi pada saat osmolalitas sangat tinggi. Heparin dosis
rendah dapat dipertimbangkan untuk profilaksis pada pasien dengan risiko tinggi
trombosis, meskipun demikian belum ada data yang mendukung keamanan dan
efektivitasnya.
ILUSTRASI KASUS

Wanita berusia 60 tahun dengan BB sekitar 60kg di rawat di ruang ICU sudah rawatan
hari ke 4 dengan kondisi lemas, sesak napas dan penurunan kesadadaran dengan
GCS : 8 dimana M4V2E2 . pasien telah didiagnosis diabetes militus 10 tahun. Selama
ini pasien menggunakan obat hipoglikemik oral (OHO) berupa metformin dengan rata-
rata gula darah 200mg/dL. Pasien telah mengalami keluhan yang sama setahun yang
lalu, dan telah didiagnosis sebagai ketoasidosis diabetic.

Berdasarakan hasil anamnesa dengan keluarga di perolah data pasien menggunakan


insulin sudah 1 tahun, kemudian Kembali ke OHO dengan alasan yang tidak di
ketahui. 3 minggu terakhir pasien memiliki keluhan mual dan muntah hal ini
menyebabkan pasien kurang berselera untuk makan serta sering terbangun di malam
hari karena sesak nafas. Pasien merasakan lebih sesak saat posisi berbaring.
Sebelum masuk RS pasien muntah ± 5 kali dengan dengan volume ± 300 ml berisi
makanan dan air serta berbau aseton. Pasien tidak pernah memiliki Riwayat nyeri
dada, penyakit jantung atau hipetensi sebelumnya.

Pada pemeriksaan fisik dan tanda-tanda vital di peroleh data , pasien tampak sesak,
lemas,akral teraba dingin CRT >3 detik dan tampak pucat, GCS :8 kesan stupor
dimana M4V2E2, pada pemeriksaan tanda-tanda vital di peroleh TD: 60mmHg
perpalpasi, nadi : 130x/menit, pernapsan 34x/menit dan suhu badan 39˚C serta JVP
meningkat (5+3mcmH2O). Pemeriksaan fisik diperoleh terdengar ronchi basah kasar
pada bagian basal dan posterior kedua lapang paru,adanya retraksi dada dan
penggunaan otot bantu pernapasan, napas cuping hidung, saturasi 85% via non
rebreathing mask oksigen 15 liter per menit. Pada pemeriksaan laboratorium di
temukan gula darah sewaktu meningkat (681mg/dL), leukositosis (22,3 x 103/uL),
hiponetremia (120mmol/L), ketonemia (+),hiperklorida (120mmol/L), hipokalemia
(1,5mmol/L), BUN (50 mg/dl) dan hematokrit 20%. Analisa gas darah di peroleh kadar
bikarbonat serum (HCO3) rendah (12 mEq/L) dan pH yang rendah (7,20mmd/L) kadar
pCO2 rendah ( 20mmHg) mencerminkan kompensasi respiratorik (pernapasan
kussmaul) terhadap asidosisi metabolik. pemeriksaan ginjal di peroleh ; peningkatan
ureum (30mg/dL) kreatinin meningkat (200mg/dL),PH urine (3.0) ketonuria (+) serta
hasil urunaris menunjukan adanya infeksi. Pemeriksaan EKG menunjukan adanya
distritmia.

Pasien di diagnosis utama sebagai ketoasidosis berulang pada diabetes militus tipe 2
dengen penyerta gagal jantung kronik, pneumonia, infeksi saluran kemih, dan kondisi
akut pada ginjal kronik

KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

Breath (B1) Pergerakan dada Retraksi

Pemakaian otot bantu Ada


napas
Napas cuping hidung

Palpasi Vocal premitus : getaran


dinding paru kiri dan
kanan simetris Nyeri
tekan : tidak ada
Krepitasi : tidak ada

Perkusi Sonor

Lokasi : kedua lapang


paru bagian basal

Suara nafas Ronchi

Lokasi :

bagian basal dan posterior


kedua lapang paru

Batuk Produktif

Sputum Ada
Warna lain : putih

Alat bantu napas Ada

Jenis : Oksigen NRM 13


liter/menit

Lain – lain Pernapasan: 34x/menit

SPO2: 85%

pemeriksaan AGD:
asidosis metabolic:

- (HCO3) rendah (12


mEq/L)
- pH yang rendah
(7,20mmd/L)
- kadar pCO2 yang
rendah ( 20mmHg)
Blood (B2) Suara jantung S1 S2 S3 S4

Tunggal

Irama jantung Iregular

CRT > 3 detik

JPV Normal

CVP Meningkat

5+4 mcmH2O

Edema Tidak ada

EKG Distritmia

Lain – lain TTV:


- TD: 60mmHg
perpalpasi
- N: 130x/menit
- S: 39°C
- GDS : (681mg/dL),
- leukositosis (22,3 x
103/Ul)
- hiponetremia
(120mmol/L)
- hiperklorida
(120mmol/L).
- hipokalemia
(1,5mmol/L)
- BUN (50 mg/dl)
- ketonemia (+)
- hematokrit 20%
Brain (B3) Tingkat kesadaran Kualitatif : somnolen

Kuantitatif: M5V2E3

Reaksi pupil :

Kanan Ada: tampak reflex pupil


mengecil saat diberikan
cahaya.

Ada: tampak reflex pupil


Kiri mengecil saat diberikan
cahaya.

Refleks fisiologis Ada : Tricep (+), Bicept


(+), Patella (+), Achiles (+)

Refleks patologis Tidak ada : Babinsky (-)

Meningeal sign Tidak ada


Lain – lain

Bladder (B4) Urin Jumlah : 600cc (8 jam)

Warna : kuning pekat

Kateter Ada

Kesulitan BAK Tidak

Lain – lain Pemeriksaan ginjal:

- Ureum (30mg/dL)
- kreatinin (200mg/dL)
- ketonuria (+) serta
- PH urine (3.0)
- hasil urunaris
menunjukan adanya
infeksi.
Bowel (B5) Mukosa bibir kering

Lidah Bersih

Keadaan gigi lengkap

Nyeri tekan Tidak ada

Abdomen Tidak distensi

Peristaltic usus Normal

Nilai : 12 x/mnt

Mual ada

Muntah Tidak ada

Hematemesis Tidak ada

Melena Tidak ada


Terpasang NGT Ada

Terpasang Colostomi Bag Tidak ada

Diare Tidak ada

Konstipasi Tidak ada

asites Tidak ada

Lain-lain

Bone (B6) Turgor >3 detik

Perdarahan kulit Tidak ada

Icterus Tidak ada

Akral Dingin

Lain-lain

B. ANALISA DATA

NO DATA ETIOLOGI MASALAH

1. Breath (B1) Ketidak Gangguan


seimbangan pertukaran gas
Data :
ventilasi perfusi
- Pergerakan dada : retraksi
- Pemakaian otot bantu napas : Ada
Napas cuping hidung
- Suara napas : Ronchi
Lokasi :
Bagian basal dan posterior kedua lapang paru
- Ketidak Batuk : produktif
- Sputum : ada warna putih
- Alat bantu napas : Ada
Jenis : Oksigen NRM 12 liter/menit
- Pernapasan: 34x/menit
- SPO2: 85%
- TD: 60mmHg perpalpasi
- Muka pucat
- Akral dingil
- CRT >3 detik
- Kualitatif : Stupor
- Kuantitatif: M4V2E2
- EKG : Distritmia
- Nadi 130x/menit
- Pemeriksaan AGD: asidosis metabolic:
- HCO3 rendah (12 mEq/L)
- pH yang rendah (7,20mmd/L)
- Kadar pCO2 yang rendah ( 20mmHg)
2. Blood (B2), Bladder (B4) dan Bowel (B5) Kegagalan Kekurangan

Data : mekanisme volume cairan


regulasi
- Mukosa bibir tampak kering
- Turgor kuli >3 detik
- JVP :5+4 mcmH2O
- Nadi: 130x/menit
- Suhu badan: 39°C
- Irama jantung : Ireguler
- EKG : Distritmia
- GDS 681mg/dL, leukositosis (22,3 x 103/uL)
- Hiponatremia (120mmol/L)
- Hiperklorida (120mmol/L).
- Hipokalemia (1,5mmol/L)
- BUN (50 mg/dl)
- Ketonemia (+)
- Hematokrit : 2penin0%
- Ureum (30mg/dL)
- kreatinin (200mg/dL)
- PH urine (3.0)
- ketonuria (+) serta
- hasil urunaris menunjukan adanya infeksi.
3. Data: Proses infeksi Hipertermi

Sb : 39.˚c

leukositosis (22,3 x 103/uL)

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan Ketidak


seimbangan ventilasi perfusi
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan Kegagalan
mekanisme regulasi
D. INTERVENSI KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA (NANDA) NOC

1. Gangguan pertukaran gas setelah dilakukan Tindakan keperawatan 1 X 8 jam Mana


berhubungan dengan Ketidak di harapkan : metab
seimbangan ventilasi perfusi
status pernapasan : pertukaran gas 1.
2.
1. Tekanan parsial karbondioksida di darah arteri
(HCO3) di pertahankan pada skala 2 (devisiensi
3.
cukup berat dari skla normal) ditingkatkan ke
skala 3 (devisiensi sedang dari skala ringan)
2. PH arteri di pertahankan pada skala 2 (devisiensi
cukup berat dari skla normal) ditingkatkan ke
4.
skala 3 (devisiensi sedang dari skala ringan)
5.
3. Saturasi oksigen di pertahankan pada skala 2
(devisiensi cukup berat dari skla normal)
6.
ditingkatkan ke skala 3 (devisiensi sedang dari
7.
skala ringan)
Mana
4. Depsnea di pertahankan pada skala 2 (devisiensi
cukup berat dari skla normal) ditingkatkan ke 1.
skala 3 (devisiensi sedang dari skala ringan) 2.
5. Gangguan kesadaran di pertahankan pada skala 3.
2 (devisiensi cukup berat dari skla normal)
ditingkatkan ke skala 3 (devisiensi sedang dari 4.
skala ringan)
status pernapasan

1. Frekuensi pernapasan dipertahankan pada skala


2 (devisiensi cukup berat dari skla normal)
ditingkatkan ke skala 3 (devisiensi sedang dari
skala ringan)
2. Kedalaman inspirasi dipertahankan pada skala 2
(devisiensi cukup berat dari skla normal)
ditingkatkan ke skala 3 (devisiensi sedang dari
skala ringan)
3. Suara auskultasi nafas dipertahankan pada skala
2 (devisiensi cukup berat dari skla normal)
ditingkatkan ke skala 3 (devisiensi sedang dari
skala ringan)
4. Kepatenan jalan nafas dipertahankan pada skala
2 (devisiensi cukup berat dari skla normal)
ditingkatkan ke skala 3 (devisiensi sedang dari
skala ringan)
2. Kekurangan volume cairan setelah dilakukan Tindakan keperawatan 1 X 8 jam Mene
berhubungan dengan Kegagalan di harapkan :
1. P
mekanisme regulasi
hidrasi : m
ro
1. Turgor kulit dipertahankan pada skala 3 (cukup
p
terganggu) ke skala 4 (sedikit terganggu)
2. m
2. Membrane mukosa dipertahankan pada skala 3
3. m
(cukup terganggu) ke skala 4 (sedikit
d
terganggu)
p
3. Perfusi jaringan dipertahankan pada skala 3
h
(cukup terganggu) ke skala 4 (sedikit
4. ja
terganggu)
o
4. Peningkatan kadar hematokrit dipertahankan
5. b
pada skala 3 (cukup terganggu) ke skala 4
Mene
(sedikit terganggu)
5. Peningkatan nitrogen ureum darah/ Blood urea 1. m
nitrogen (BUN) hematokrit dipertahankan pada a
skala 3 (cukup terganggu) ke skala 4 (sedikit 2. m
terganggu a
6. Nadi cepat dan lemah dipertahankan pada 3. p
skala 3 (cukup terganggu) ke skala 4 (sedikit 4. b
terganggu) p
7. Peningkatan suhu tubuh dipertahankan pada p
skala 3 (cukup terganggu) ke skala 4 (sedikit re
terganggu) Mana
Perfusi jaringan perifer :
1. M
1. Pengisian kapiler jari dipertahankan pada skala o
2 (deviasi yang cukup berat dari kisaran normal) 2. M
ditingkatkan pada skala 3 (deviasi sedang dari h
kisaran normal) te
2. Suhu kulit ujung kaki dan tangan dipertahankan 3. M
pada skala 2 (deviasi yang cukup berat dari re
kisaran normal) ditingkatkan pada skala 3 P
(deviasi sedang dari kisaran normal) 4. B
3. Tekanan darah sistolik dipertahankan pada s
skala 2 (deviasi yang cukup berat dari kisaran 5. B
normal) ditingkatkan pada skala 3 (deviasi Peraw
sedang dari kisaran normal)
1. P
4. Tekanan darah diastolic dipertahankan pada
la
skala 2 (deviasi yang cukup berat dari kisaran
2. P
normal) ditingkatkan pada skala 3 (deviasi
b
sedang dari kisaran normal)
d
5. Muka pucat dipertahankan pada skla 2 (cukup
3. L
berat) di tingkatkan pada skala 2 (sedang)
k
Keseimbangan elektrolit :
4. B
1. Penurunan serum sodium dipertahankan pada a
skala 1 (deviasi berat dari kisaran normal) m
ditingkatkan ke skala 2 (devisiasi yang cukup Peraw
besar dari kisaran normal)
1. M
2. Peningkatan serum klorida dipertahankan pada
jd
skala 1 (deviasi berat dari kisaran normal)
2. M
ditingkatkan ke skala 2 (devisiasi yang cukup
a
besar dari kisaran normal)
3. M
(P
3. Penurunan serum kalsium dipertahankan pada 4. M
skala 1 (deviasi berat dari kisaran normal) k
ditingkatkan ke skala 2 (devisiasi yang cukup 5. M
besar dari kisaran normal) d
Fungsi ginjal : d
6. A
1. Urin output selama 8 jam di pertahankan pada
7. S
skala 2 (banyk terganggu) di tingkatkan ke skala
n
3 (cukup teganggu)
b
2. Warna urin di pertahankan pada skala 2 (banyk
8. K
terganggu) di tingkatkan ke skala 3 (cukup
is
teganggu)
3. PH urin di pertahankan pada skala 2 (banyk
terganggu) di tingkatkan ke skala 3 (cukup
teganggu)
4. HCO3 di pertahankan pada skala 2 (banyk
terganggu) di tingkatkan ke skala 3 (cukup
teganggu)
5. PH arteri di pertahankan pada skala 2 (banyk
terganggu) di tingkatkan ke skala 3 (cukup
teganggu)
E. Evaluasi hasil tindakan: (Kondisi yang didapatkan setelah tindakan yang
dilakukan untuk mengatasi masalah keperawatan)
F. Pengkajian sekunder (Meliputi pengkajian riwayat keperawatan dan Head to
toe)
1. Pola Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan
Sebelum sakit: Keluarga Pasien mengatakan ia tidak menjaga
kesehatannya dan juga tidak menjaga pola makannya serta jarang
berolaraga. Keluarga pasien mengatakan pasien sudah menderita DM
selama 10 tahun, pasien 1 tahun yang lalu pernah masuk di Rs karena gula
darah yang sangat tinggi sehingga terjadi penurunan kesadaran. Keluarga
Pasien mengatakan sering memeriksakan kesehatannya pada tempat
pelayanan terdekat. Keluarga pasien mengatakan dulu ia menggunakan
obat oral setelah itu di ganti dengan inulin injeksi sejak 1 tahun terakhir,
namun pasien menggantinya dengan obat oral tanpa alasan yang jelas.

Riwayat keluhan saat ini

Keluhan utama sesak

Riwayat keluhan utama : keluarga mengatakan Sejak 3 minggu terakhir


ini pasien selalu terbangun pada malam hari karena sesak, sesak semakin
parah jika pasien berbaring, pasien juga merasa mual dan muntah setiap
kali pasien makan hal ini menyebabkan pasien kurang berselera untuk
makan. Tadi pagi pasien tiba-tiba merasa sangat sesak, pusing , mual dan
lemas. Keluarga berpikir pasien tertidur tetapi saat di bangunkan pasien
hanya tidur terus dan mengeluarkan kata-kata yang sulit di mengerti
akhirnya keluarga mengantar pasien ke RS. Pada saat pengkajian pasien
tampak sesak, lemas,akral teraba dingin, keringat dingin dan tampak pucat,
GCS :10 kesan somnolen dimana M5V2E3, pada pemeriksaan tanda-tanda
vital di peroleh TD: 90/60mmHg (MAP 50), nadi : 120x/menit, pernapsan
30x/menit dan suhu badan 39˚C, terdengar ronchi basah kasar pada
bagian basal dan posterior kedua lapang paru,adanya retraksi dada dan
penggunaan otot bantu pernapasan, napas cuping hidung.

Riwayat penyakit sebelumnya: Keluarga pasien mengatakan pasien


memiliki riwayat DM sudah 10 tahun
2. Pola Aktivitas dan Latihan
Sebelum sakit: Keluarga pasien mengatakan pasien seorang ibu rumah
tangga yang sangat giat bekerja

Sejak sakit: Keluarga pasien mengatakan aktivitas pasien dibantu


sepenuhnya.

Observasi: Tampak dalam pasien berbaring lemah dan semua aktvitas


dibantu perawat dan keluarga

0 : Mandiri
Aktivitas Harian:
1 : Bantu dengan alat
- Makan : 4
3 : Bantuan alat dan orang
- Mandi : 4
4 : bantuan penuh
- Pakaian : 4
- Kerapihan : 4
- Buang air besar : 4
- Buang air kecil : 4
- Mobilisasi di tempat tidur: 4

Uji kekuatan otot:

Kana kiri

Tangan 1 1

Kaki 1 1

Keterangan :

Nilai 5 : kekuatan penuh

Nilai 4 : kekuatan kurang disbanding sisi yang lain

Nilai 3 : mampu menahan tegak tapi tidak mampu menahan tekanan

Nilai 2 : mamou menahan gaya gravitasi namun dengan sentuhan


akan jatuh
3. Pemeriksaan penunjang (Meliputi pemeriksaan lab, Rongten, CT scan
dan lainlain)
Darah :

- Leukosit 22.300µL
- hiponetremia (120mmol/L)
- ketonemia (+)
- hiperklorida (120mmol/L)
- hematokrit 20%.
Analisa gas darah :
- HCO3 (12 mEq/L)
- pH (7,20mmd/L)
- pCO2 ( 20mmHg)
Fungsi ginjal :

- Ureum 300 mg/dl


- Kreatinin 200 mg/dl
- Ketonuria (+)
4. Terapi yang diberikan:
- infus 2 line NaCl 0,9 % diberikan 500-1000 ml/jam selama 2-3
jam(tangan kanan)
- insulin 10 unit dalam 100 cc NaCl 0.9% dalam 1 jam (tangan kiri)
- Norepinephin
- Epinefrin
- Ceftriaxone
5. Data
Data Etiologi Masalah

Ds: Tirah baring Intoleransi


aktivitas
- Keluarga pasien mengatakan
pasien seorang ibu rumah
tangga yang sangat giat bekerja
- Keluarga pasien mengatakan
aktivitas pasien dibantu
sepenuhnya.
Do :

- Tampak dalam pasien berbaring


lemah dan semua aktvitas dibantu
perawat dan keluarga
- ktivitas Harian:
▪ Makan : 4
▪ Mandi : 4
▪ Pakaian : 4
▪ Kerapihan : 4
▪ Buang air besar : 4
▪ Buang air kecil : 4
▪ Mobilisasi di tempat tidur: 4
- Uji kekuatan otot
Kanan kiri

Tangan 1 1

Kaki 1 1

6. Diagnose keperawatan Pengkajian Sekunder


Intoleransi aktivitas berhubungan dengan gangguan pernapasan

7. Intervensi
Diagnose NOC NIC

Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan Tindakan Bantuan perawatan diri :


berhubungan tirah baring keperwatan diharapkan 3 x 24
1. Pertimbangkan budaya
jam:
pasien Ketika maningkatkan
Perawatan diri : aktivitas aktivitas perawatan diri
sehari-hari 2. Bantu pasien memenuhi
kebutuhan (seperti; makan,
1. Makan dipertahankan
mandi,berpakaian dan
pada skala 1 (sangat
eliminasi)
terganggu) di tingkatkan ke
3. Berikan lingkungan yang
skala 3 (cukup terganggu)
teraupetik dengan
2. Kebersihan dipertahankan
memastikan (lingkungan)
pada skala 1 (sangat
yang hangat, santai,
terganggu) di tingkatkan ke
tertutup.
skala 3 (cukup terganggu)
4. Ajarkan orang tua/keluarga
3. Mandi dipertahankan pada
membantu dalam
skala 1 (sangat terganggu)
perawatan diri.
di tingkatkan ke skala 3
(cukup terganggu)
4. Kebersihan mulut Makan
dipertahankan pada skala
1 (sangat terganggu) di
tingkatkan ke skala 3
(cukup terganggu)
5. Berpakaian Makan
dipertahankan pada skala
1 (sangat terganggu) di
tingkatkan ke skala 3
(cukup terganggu)

Anda mungkin juga menyukai