Anda di halaman 1dari 134

I.

Sesi Perkuliahan ke : I,II


II. Sasaran Pembelajaran :
1. Mahasiswa mampu menjelaskan permasalahan gizi dalam kaitanya
dengan host,agen,environment
2. Mahasiswa dapat menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
host,agent dan environment
3. Mahasiswa mampu menjelaskan keterkaitan antara keterpaparan dan
kerentanan
4. Mahasiswa memahami berbagai macam hubungan asosiasi dalam
epidemiologi
III. Topik Kajian/Bahasan :
1. Riwayat alamiah terjadinya penyakit/Segitiga epidemiologi
2. Keterpaparan dan Kerentanan
3. Hubungan causal

IV. Deskripsi Singkat :

Epidemiologi banyak digunakan dalam analisis masalah kesehata, karena


ada berbagai macam faktor yang berkaitan dengan masalah-masalah
kesehatan terutama faktor yang menyangkut pola hidup masyarakat.
Pendekatan epidemiologi yang dugunakan dalam menangani masalah gizi
bertujuan untuk menganalisis berbagai faktor yang berkaitan dengan
timbulnya masalah gizi masyarakat, baik yang bersifat biologis dan terutama
yang berkaitan dengan kehidupan social masyarakat. Penanggulangan
masalh gizi masyarakat yang disertai dengan surveilans gizi lebih mengarah
kepada penanggulangan berbagai faktor yang berkaitan erat dengan
timbulnya masalah tersebut dalam masyarakat dan tidak hanya terbatas
pada sasaran individu dan lingkungan keluarga saja.
A. Konsep Penyebab dan proses terjadinya penyakit
Timbulnya suatu jenis penyakit adalah akibat dari interaksi berbagai macam
faktor yang dalam bidang epidemiologi faktor tersebut dikenal dengan nama
“segitiga epidemiologi” yakni : pejamu (host), Penyebab (agent), lingkungan
(environment).

Apabila ketiga unsur diatas dalam kondisi seim bang, maka artinya tidak ada
masalah kesehatan. Sebaliknya apabila terjadi ketidak seimbangan maka hal ini
menyebabkan timbulnya penyakit. Oleh sebab itu perlu dipertahankan agar
selalu terjadi keseimbangan, baik melalui intervensi alamiah terhadap salah satu
dari ketiga faktor tersebut diatas, maupun melalui usaha tertentu manusia dalam
bidang pencegahan maupun bidang peningkatan derajat kesehatan.
Agent (Penyebab).

Agen adalah suatu unsur,


organisme hidup atau kuman
infektif yang dapat menyebabkan
terjadinya suatu penyakit suatu
penyakit. Pada dasarnya, tidak sutu
pun penyakit yang dapat timbul hanya disebabkan oleh satu faktor penyebab
tunggal semata. Pada umumnya, kejadian penyakit disebabkan oleh berbagai
unsur yang bersama-sama mendorong terjadinya penyakit. Namun demikian,
secara dasar, unsur penyebab penyakit dapat dibagi dalam dua bagian utama,
yakni: (1) penyebab kausal primer; dan (2) penyebab kausal sekunder.

a. Penyebab kausal primer


Unsur ini dianggap sebagai faktor kausal terjadinya penyakit, dengan
ketentuan bahwa walaupun unsur ini ada, belum tentu terjadi penyakit.
Sebaliknya, pada penyakit tertentu, unsur ini selalu dijumpai sebagai unsur
penyebab kausal. Unsur penyebab kausal ini dapat dibagi dalam enam
kelompok utama.
1) Unsur penyebab biologis yakni semua unsur penyebab yang tergolong
makhluk hidup termasuk kelompok mikroorganisme seperti virus, bakteri,
protozoa, jamur, kelompok cacing dan insekta. Unsur penyebab ini pada
umunya dijumpai pada penyakit infeksi dan penyakit menular.
2) Unsur penyebab nutrisi yakni semua unsur penyebab yang termasuk
golongan zat nutrisi dan dapat menimbulkan penyakit tertentu karena
kekurangan maupun kelebihan zat nutrisi tertentu seperti protein, lemak,
hidrat arang, vitamin, mineral dan air.
3) Unsur penyebab kimiawi yakini semua unsur dalam bentuk senyawaan
kimia yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan/ penyakit tertentu.
Unsur ini pada umumnya berasal dari luar tubuh termasuk berbagai jenis
zat racun, obat-obat keras, berbagai senyawaan kimia tertentu dan lain
sebagainya. Bentuk senyawaan kimia ini dapat berbentuk padat, cair, uap
maupun gas. Ada pula senyawaan kimiawi sebagai hasil produk tubuh
(dari dalam) yang dapat menimbulkan penyakit tertentu seperti ureum,
kolesterol dan lain-lain.
4) Unsur penyebab fisika yakni semua unsur yang dapat menimbulkan
panyakit melalui proses fisika, umpamanya panas (luka bakar), irisan,
tikaman, pukulan (rudapaksa) radiasi dan lain-lain. Proses kejadian
penyakit dalam hal ini terutama melalui proses fisika yang dapat
menimbulkan kelainan dan gangguan kesehatan.
5) Unsur penyebab psikis yakni semua unsur yang bertalian dengan
kejadian penyakit gangguan jiwa serta gangguan jiwa serta gangguan
tingkah laku sosial. Unsur penyebab ini belum jelas proses dan
mekanisme kejadian dalam timbulnya penyakit, bahkan sekelompok ahli
lebih menitikberatkan kejadian penyakit pada unsur penyebab genetika .
Dalam hal ini kita harus berhati-hati terhadap faktor kehidupan sosial
yang besifat nonkausal serta lebih menampakkan diri dalam
hubungannya dengan proses kejadian penyakit maupun gangguan
kejiwaan.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam sifat hubungan kausal,
antara lain:
1. Kuatnya hubungan statistik, artinya makin kuat hubungan statisti antara
kausal dan efek makin besar kemungkinannya mempunyai hubungan
kausal.
2. Adanya hubungan dosis respons, artinya peningkatan dosis pada faktor
kausal akan meningkatkan kemungkinan terjadinya efek, dan sebaliknya.
3. Adanya konsitensi berbagai penemuan penelitian, artinya hasil yang
dapat dicapai relevan dengan penemuan-penemuan sebelumnya.
4. Hubungannya bukan hasil sementara, artinya hasil hubungan tersebut
bukan situasi sementara, melainkan lebih bersifat lanjut.
5. Sesuai teori yang sudah ada, artinya hasil yang dicapai dalam hubungan
tersebut sesuai dengan teori yang sudah ada atau tidak bertentangan
dengan teori yang telah diuji kebenarannya.
6. Sesuai dengan hasil percobaan laboratorium, artinya bila dilakukan uji
laboratorium akan memberikan hasil yang tidak berbeda.
7. Sesuai dengan hukum biologis, artinya hubungan tersebut tidak
bertentangan dengan hukum biologis yang ada.
b. Penyebab nonkausal (sekunder)
Penyebab sekunder merupakan unsur pembantu/penambah dalam
proses kejadian penyakit dan ikut dalam hubungan sebab akibat terjadinya
penyakit. Dengan demikian, dalam setiap analisis penyebab panyakit dan
hubungan sebab akibat terjadinya penyakit, kita tidak hanya terpusat pada
penyebab kausal primer semata, tetapi harus memperhatikan semua unsur lain
diluar unsur penyebab kausal primer. Hal ini didasarkan pada ketentuan bahwa
pada umumnya, kejadian setiap penyakit sangat dipengaruhi oleh berbagai
unsur yang berinteraksi dengan unsur penyebab dan ikut dalam proses sebab
akibat. Faktor yang terinteraksi dalam prosesn kejadian penyakit dalam
epidemiologi digolongkan dalam faktor risiko. Sebagai contoh, pada penyakit
kardiovaskuler, tuberkolosis, kecelakaan lalu lintas dan lain sebagainya.
Kejadiannya tidak dibatasi hanya pada penyebab kausal saja, tetapi harus
dianalisis dalam bentuk suatu rantai sebab akibat yang peranan unsur penyebab
dalam sekundernya sangat kuat dalam mendorong penyebab kausal primer
untuk dapat secara bersama-sama menimbulkan penyakit.

2. Unsur Pejamu (host)


` Unsur pejamu (host) terutama pejamu manusia dapat dibagi dalam dua
kelompok sifat utama, yakni: pertama, sifat yang erat hubungannya dengan
manusia sebagai makhluk biologis dan kedua, sifat manusia sebagai mahluk
sosial.
a. Manusia sebagai makhluk biologis memiliki sifat biologis tertentu, seperti:
- Umur, jenis kelamin, ras, dan keturunan;
- Bentuk anatomis tubuh serta fungsi fisiologis dan faal tubuh;
- Keadaan imunitas dan reaksi tubuh terhadap berbagai unsur dari luar
maupun dari dalam tubuh sendiri;
- Kemampuan interaksi antara pejamu dengan penyebab secara biologis;
- Status gizi dan status kesehatan secara umum.
b. Manusia sebagai makhluk sosial mempunyai berbagai sifat khusus, seperti:
- Kelompok etnik termasuk adat, kebiasaan, agama, dan hubungan
keluarga serta hubungan sosial masyarakatan;
- Kebiasaan hidup dan kehidupan sosial sehari-hari termasuk kebiasaan
hidup sehat
- Keseluruhan unsur tersebut merupakan sifat karakteristik individu
sebagai pejamu akan ikut memegang peranan dalam proses kejadian
penyakit yang dapat berfungsi sebagai faktor risiko.

3. Unsur Lingkungan (environment)

Unsur lingkungan memegang proses perana yang cukup penting dalam


menentukan terjadinya proses interaksi antara pejamu dengan unsur penyebab
dalam proses terjadinya penyakit. Secara garis besarnya, maka unsur
lingkungan dapat dibagi dalam tiga bagian utama.

a. Lingkungan biologis
Segala flora dan fauna yang berada di sekitar manusia yang antara lain
meliputi:
- Berbagai mikroorganisme patagen dan yang tidak pathogen;
- Berbagai binatang dan tumbuhan yang dapat mempengaruhi kehidupan
manusia, baik sebagai sumber kehidupan(bahan makanan dan obat-
obatan), maupun sebagai reservoir/sumber penyakit atau pejamu
antara(host intermedia)
- Fauna sekitar manusia yang berfungsi sebagai vector penyakit tertentu
terutama penyakit menular.

Lingkungan biologis tersebut sangat mempengaruhi dan memegang peranan


penting dalam interaksi antara manusia sebagai pejamu dengan unsur
penyebab, baik sebagai unsur lingkungan yang menguntungkan manusia
(sebagai sumber kehidupan) maupun yang mengancam
kehidupan/kesehatan manusia.

b. Lingkungan fisik
Keadaan fisik sekitar manusia yang berpengaruh terhadap manusia baik
secara langsung, maupun terhadap lingkungan biologi dan lingkungan sosial
manusia. Lingkungan fisik (termasuk unsur kimiawi dan radiasi) meliputi :
- Udara, keadaan cuaca, geografis, dan geologis;
- Air, baik sebagai sumber kehidupan maupun sebagai sumber penyakit
serta berbagai unsur kimiawi serta berbagai bentuk pencemaran pada air;
- Unsur kimiawi lainnya dalan bentuk pencemaran udara, tanah dan air,
radiasi dan lain sebagainya.

Lingkungan fisik ini ada yang terbentuk secara alamiah, tetapi banyak
pula yang timbul akibat kegiatan manusia sendiri.

c. Lingkungan sosial
Semua bentuk kehidupan sosial budaya, ekonomi, politik, system
organisasi, serta institusi/peraturan yang berlaku bagi setiap individu yang
membentuk masyarakat tersebut. Lingkungan sosial meliputi :
- System hukum, administrasi dan kehidupan sosial politik serta system
ekonomi yang berlaku;
- Bentuk organisasi masyarakat yang berlaku setempat;
- System, pelayanan masyarakat serta kebiasaan hidup sehat masyarakat
setempat;
- Kepadatan penduduk, kepadatan rumah tangga, dan berbagai system
kehidupan sosial lainnya
B. KETERPAPARAN DAN KERENTANAN

Para ahli epidemiologi harus mendefinisikan dengan tepat aspek-aspek


pajanan dan hasil-hasil yang diyakinirelevan dengan etiologi penyakit atau
dengan kesehatan masyarakat. Dalam bidang epidemiologi gizi, terdapat
rantai kejadian yang berawal dari pola makan dan berakhir pada gangguan
dan berakhir pada gangguan kesehatan, penyakit atau kematian. Para ahli
epidemiologi gizi memiliki dua tugas pokok, yaitu menetapkan aspek
pajanan/keterpaparan diet atau gizi manakah yang relevan dengan
pemahaman etologi penyakit dan memilah metode pengukuran yang
menimalkan kesalahan klasifikasi.
1. Keterpaparan
Keterpaparan adalah suatu keadaan ketika pejamu (host) berada pada
pengaruh atau berinteraksi dengan unsur penyebab, baik penyebab primer
maupun sekunder dengan unsur lingkungan yang dapat mendorong
terjadinya penyakit.
Adapun faktor yang berhubungan erat dengan unsur penyebab antara
lain :
- Lingkungan tempat unsur penyebab berada atau lingkungan tempat
pejamu dan penyebab berinteraksi
- Sifat dan jenis dari unsur penyebab tersebut
- Unsur pejamu sebagai sifat individu yang bervariasi dalam hubugannya
dengan unsur penyebab serta hubungannya dengan sifat maupun
bentuk keterpaparan seperti sifat patologis karakteristik dari pejamu
secara perorangan/individu dan sifat karakteristik kelompok sosial
tertentu. Sedangkan sifat kekebalan tiap pejamu secara perorangan
dalam masyarakat, akan sekaligus memenuhi kedua sifat tersebut tadi
karena tingkat kekebalan perorangan yang membentuk suatu kelompok
masyarakat tertentu akan menentukan tingkat kekebalan masyarakat
tersebut (herd community).

Faktor lain yang erat hubungannya dengan derajat keterpaparan antara lain :

- Sifat keterpaparan, yakni apakah prosesnya hanya terjadi satu kali saja
atau beberapa kali, ataukah proses keterpaparan tersebut berlangsung
terus menerus dalam suatu jangka waktu yang cukup panjang
- Sifat lingkungan dimana proses keterpaparan terjadi, yakni apakah
keadaan lingkungan tersebut lebih menguntungkan pejamu atau
sebaliknya, dan
- Tempat dan keadaan konsentrasi dari unsur penyebab yang
menimbulkan keterpaparan.

2. Kerentanan
Kerentanan adalah keadaan ketika pejamu mempunyai kondisi yang
mudah dipengaruhi atau berinteraksi dengan unsu r penyebab sehingga
memungkinkan timbulnya penyakit. Pada umumnya, dalam proses kejadian
penyakit, tampak bahwa tidak satupun penyakit yang memiliki nilai akhir yang
terbatas, walau bagaimanapun sederhana proses kejadiannya.
Peranan kerentanan sangat berpengaruh dalam hasil akhir suatu proses
kejadian penyakit, apakah proses tersebut berkahir sebagai penderita,
meninggal, atau tidak ada perubahan yang jelas. Dengan demikian, peranan
kerentanan individu berbeda dalam masyarakat dapat menimbulkan keadaan
yang sering disebut “fenomena gunung es”(iceberg phenomena). Keadaan yang
demikian tidak hanya berlaku pada penyakit menular/infeksi, tetapi dapat juga
pada penyakit non infeksi serta pada penyakit gangguan perilaku sosial.

Pajanan/keterpaparan gizi dapat berkaitan dengan :


 Kebiasaan makan
- KOnsumsi makanan/minuman (meliputi minuman beralkohol dan
minuman yang tidak mengandung alcohol)
- Asupan nutrient
- Asupan bukan nutrient, meliputi zat biokimia yang dapat
mengubah metabolism (misalnya antioksidan bukan nutrient), zat
aditif makanan, kontaminan pangan dan toksin.
 Pajajan biokimia
- Kadar nutrient dan non nutrient dalam sirkulasi atau jaringan
- Hormone-hormon
- Zat yang secara genetic dapat mengubah absorpsi atau
metabolism
 Antropometric
- Tinggi badan, berat badan, massa tubuh
- Lingkar/sirkumferensi (lingkar pinggang, panggul, kepala, dada,
lengan) dan ratio lingkar (misalnya lingkar pinggang-panggul/waist-
hip-ratio)
- Tebal lipatan kulit
- Centiles pertumbuhan
- Pelisutan tubuh (wasting) dan tubuh pendek (stunting)
 Karakteristik dan respon fisiologis
- Komposisi tubuh (misalnya persentase jaringan adipose)
- Infeksi dan infestasi (akut dan kronis)
- Keadaan dan keparahan penyakit (misalnya diabetes,kanker,
penyakit
usus inflamatori)
 Karakteristik sosiodemografi
- Komposisi rumah tangga
- Usia anggota rumah tangga
- Pekerjaan
- Pendapatan/penghasilan
- Keamanan pangan dan gizi (misalnya akses pada tempat belanja,
kepemilikan kendaraan)

 Faktor-faktor budaya
- Pengetahuan, sikap dan kepercayaan terhadap makanan
- Agama
- Tingkat pendidikan

Tidak semua variable ini merupakan ukuran langsung nutrient/makanan,


atau merupakan konsekuensi langsung konsumsi, tetapi banyak diantara
variable tersebut (misalnya hormone, infeksi,pendapatan) memberikan beban
langsung pada ketersediaan pangan atau nutrient atau pada metabolisme
nutrient. Dengan demikian, variable tersebut memiliki makna yang penting
sebagai faktor primer yang cenderung mempengaruhi outcome kesehatan yang
berkaitan dengan gizi.

Beberapa item dapat dianggap sebagai variable pajanan maupun


variable hasil akhir. Contoh, laju pertumbuhan selama usia satu tahun pertama
dianggap sebagai variable pajanan dalam penelitian terhadap risiko infeksi yang
terjadi kemudian pada usia kanak-kanak atau terhadap risiko hipertensi pada
usia dewasa. Laju pertumbuhan selama usia satu tahun pertama dapat pula
menjadi variable outcome dalam penelitian terhadap praktik pemberian ASI dan
ketersediaan pangan selama episode bencana kelaparan.

Pada penyakit non infeksi, terjadi hasil akhir yang mempunyai kemungkinan
manifestasi dalam bentuk :
- Penderita meninggal
- Penderita sakit berat/sakit dengan gejala yang berat atau sampai
mengalami cacat
- Penderita yang hanya dengan gejala ringan sehingga mampu
menyesuaikan diri dalam kehidupannya sehari-hari,
- Penderita yang tanpa gejala sama sekali dan tidak mengalami
perubahan baik secara structural/anatomis maupun secara
faal/fisiologis

Keadaan Keterpaparan Keadaan Kerentanan


Rentan Kebal
Terpapar Sakit Tidak Sakit
Tidak Terpapar Tidak Sakit Tidak Sakit

C. HUBUNGAN ASOSIASI

Hubungan asosiasi dalam bidang epidemiologi adalah hubungan


keterkaitan atau saling pengaruh antara dua atau lebih variable. HUbungan
tersebut dapat bersifat hubungan sebab akibat maupun bukan hubungan sebab
akibat. Sedangkan hubungan keterikatan (dependency association) adalah
hubungan antara variable, jika ada perubahan pada variable yang satu
(independent) maka akan mempengaruhi variable yang lainnya (dependent).

Dalam menilai hubungan asosiasi, sering kali kita melakukan kesalahan


dalam mengambil kesimpulan terutama dalam penelitian epidemiologi yang
mencari/menguji ada tidaknya hubungan sebab akibat. Hal ini dapat timbul
karena tidak jarang kita menjumpai hubungan asosiasi yang kuat antara satu
variable dengan variable lain sehingga kita menyimpulkannya sebagai
hubungan sebab akibat, tetapi sebenarnya hanya hubungan semu saja.

Ada tiga jenis hubungan assosiasi dalam epidemiologi yakni :


1. Hubungan semu
Hubungan semu adalah adanya hubungan antara dua atau lebih variable
yang bersifat semu (tidak benar) atau palsu yang timbul karena faktor
kebetulan atau karena adanya bias pada metode penelitian/cara
penilaian yang dilakukan.
Hubungan semu dapat timbul karena faktor kebetulan yang mengikuti
hukum probability (hukum peluang) sehingga tampaknya seperti ada
hubungan yang erat dan memenuhi kaidah perhitungan statistic.
Keadaaan semacam ini sering dijumpai pada penelitian dengan random
sampel.Untuk meminimalisir hal ini maka harus dilakukan pengamatan
yang terpisah atau pengamatan yang berulangkali. Disamping itu, harus
pula menggunakan uji statistic yang sesuai terutama dalam menilai hasil
pengamatan penelitian. Disamping itu hubungan semu dapat pula timbul
karena kesalahan pada penyusunan kerangka penelitian (desain
penelitian), pada perhitungan, serta pada penelitian terhadap faktor yang
berpengaruh dan faktor risiko yang mendorong proses terjadinya
penyakit.
Bias dapat terjadi karena :
- Sampel yang tidak mewakili populasi
- Sampel banyak yang drop out atau menolak berpartisipasi sehingga
kelompok yang tersisa dalam sampel berbeda sifat-sifatnya
(karakternya) dengan mereka yang tidak ikut/drop out
- Kesalahan dalam pengumpulan data
- Kesalahan dalam mengambil keputusan karena tidak
memperhitungkan counfunding factor (faktor pengganggu).
2. Hubungan asosiasi bukan kausal
Hubungan asosiasi bukan kausal adalah hubungan asosiasi yang bersifat
bukan hubungan sebab akibat, dimana variable ketiga tampaknya
mempunyai hubungan dengan salah satu variable yang terlibat dalam
hubungan kausal, tetapi unsur ketiga ini bukan sebagai faktor penyebab.
Dalam hubungan asosiasi bukan kausal, kita dapat menjumpai berbagai
bentuk hubungan yang dipengaruhi oleh perjalanan waktu dan akibat
yang timbul. Umpamanya hubungan berat badan ibu(A), intake kalori (B)
dan berat badan lahir (C). ketiga variable ini dapat digambarkan sebagai
berikut:

(A) (B) (C)


.
Pada gambar di atas, (B) sebagai variable independen dan (C)
sebagai variable dependen di mana (B) dianggap mempunyai hubungan
sebab akibat dengan (C). Adapun (A) sering ditempatkan sebagai
variable penyebab terhadap (B) bahkan terhadap (C). namun demikian,
bila keadaan ibu dengan gizi cukup dan berat badan normal, intake kalori
tidak mempunyai hubungan dengan berat badan lahir. Sebaliknya, pada
ibu dengan gizi kurang, intake kalori akan mempengaruhi berat badan
lahir yang sebenarnya adalah karena berat badan ibu yang rendah.
Bentuk hubungan lain yang dapat kita lihat antara perokok (A),
peminum kopi (B), dan carcinoma paru (C). Hubungan ketiga variable
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Pada gambar diatas, variable (A) dan (B) mempunyai hubungan yang
cukup erat sehingga hampir selalu dijumpai secara bersamaan dan
keduanya diangga[ sebagai variable independen. Sedangkan (A)
dijumpai mempunyai hubungan kausal terhadap terjadinya (C). Apabila
ketiga variable tersebut dianalisis, maka akan tampak bahwa selain
variable (A) mempunyai hubungan yang erat dengan variable (B) dan (C)
dijumpai pula secara statistic, maka (B) juga mempunyai hubungan yang
erat dengan (C). Jadi tidak mengherankan jika seorang peneliti pernah
melakukan kesalahan yang fatal dengan menyimpulkan bahwa kopi
merupakan faktor penyebab terjadinya carcinoma paru.
3. Hubungan Asosiasi Kausal
Hubungan asosiasi kausal adalah hubungan antara dua atau lebih
variable, salah satu atau lebih diantara variable tersebut merupakan
variable penyebab kausal (primer dan sekunder) terhadap terjadinya
variable lainnya sebagai hasil akhir dari suatu proses terjadinya penyakit.
Dalam menilai hubungan kausal tersebut di atas, kita harus
memperhatikan tiga faktor yang harus dijumpai pada hubungan asosiasi
kausal:
- Faktor keterpaparan memegang peranan penting dalam timbulnya
penyakit;
- Setiap perubahan pada variable yang merupakan unsur penyebab akan
diikuti oleh perubahan pada variable lainnya sebagai akibat/hasil akhir
proses;
- Hubungan antara timbulnya penyakit(hasil akhir) dan proses
keterpaparan tidak tergantung atau tidak harus dipengaruhi oleh faktor
lainnya di luar variable hubungan tersebut

Dalam menilai hasil pengamatan terutama dalam analisis


epidemiologi untuk menetukan hubungan sebab akibat dan faktor
penyebab terjadinya penyakit, maka kita harus berhati-hati dan jangan
hanya terikat pada hasil perhitungan statistic semata.

Untuk menilai hubungan asosiasi suatu hasil pengamatan perlu


diperhatikan berbagai hal tersebut di bawah ini.

 Perlu dianalisis secara cermat apakah hubungan asosiasi tersebut


masuk akal atau tidak. Umpamanya pada suatu penelitian dijumpai
bahwa secara statistic ada hubungan yang erat antara panjang
rambut dengan kanker payudara
 Harus pula dianalisis apakah hubungan semua asosiasi yang
dijumpai pada pengamatan cukup kuat sehingga memiliki
kemaknaan secara biologis. Dalam hal ini, nilai uji statistic tidak
dapat digunakan sebagai pegangan tunggal. Seperti contoh di atas
harus dipikirkan apakah panjang rambut mempunyai nilai biologis
dalam hubungannya dengan kanker payudara.
 Perlu diperhatikan pula bahw secara mutlak, hubungan asosiasi
yang dialami harus dikunjungi oleh uji statistic yang sesuai
 Harus diperhatikan secara seksama apakah hubungan asosiasi
dari suatu pengamatan epidemiologis tidak dipengaruhi oleh faktor
kesalahan atau bias, ataukah timbul karena adanya hubungan
asosiasi semu
 Harus dianalisis secara luas, apakah hubungan asosiasi dari hasil
pengamatan epimiologi tidak dipengaruhi oelh faktor lain dimana
faktor tersebut ikut mempengaruhi nilai risk yang mendorong
timbulnya hubungan asosiasi tersebut
4. Konsep penyebab jamak
Dalam menganalisis kejadian suatu penyakit tidak dapat dianalisis hanya
dari satu faktor saja untuk dapat menentukan hubungan sebab akibat
terjadinya penyakit dalam masyarat, tapi harus didasarkan pada
penyebab jamak (multiple causation).contoh untuk terjadinya penyakit
kolera, diperlukan suatu interaksi antara berbagai faktor :
a. Mikroorganisme penyebab meliputi kuantitas/jumlah mikroorganisme,
tingkat virulensinya tipenya dan lain-lain.
b. Pejamu :
- Adanya interaksi antara mikroorganisme dengan jaringan dalam
usus pejamu
- Kemampuan mikroorganisme, reaksi jaringan, imunitas dan
keadaan umum, status gizi pejamu
- Kontak dengan mikroorganisme sebelumnya, adanya
imunitas/vaksinasi pada pejamu
- Tingkat pengetahuan serta kebiasaan makan dan minum dalam
rumah tangga, pengetahuan kesehatan dan lain-lain
c. LIngkungan :
- Keadaan lingkungan fisik yang ada di sekitarnya yang dapat
mempengaruhi kehidupan mikroorganisme
- Keadaan lingkungan biologis yang berkaitan erat dengan vector
seperti lalat
- Keadaan lingkungan sosial seperti kepadatan penduduk atau
rumah tangga, kebiasaan yang berhubungan dengan air minum,
makanan dan lain-lain
V. Uraian Tugas Mahasiswa :
VI. Bacaan Utama

1. Kenneth J. Rothman, 2002, Epidemiology: an introduction, Oxford


University Press.
2. Noor Nasri.2008.Epidemiology. Rineka cipta
VII. Bahan Bacaan Pendukung:
1. Moyses Szklo,F. Javier Nieto, 2007, Epidemiology: beyond the basics,
Jones & Bartlett Learning
2. BustanN.2006 Pengantar Epidemiology. Rineka cipta
3. Gibney M.J, et al.Gizi Kesehatan Masyarakat.EGC 2008

VIII. Ilustrasi kasus atau masalah kajian :


I. Sesi Perkuliahan ke : III

II. Sasaran Pembelajaran : Validitas dan Bias

1. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang validitas pengukuran


2. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang validitas penelitian
3. Mahasiswa mampu menjelaskan kemungkinan sumber bias dalam suatu
pengukuran

III. Topik Kajian/Bahasan :


1. Validitas pengukuran
2. Validitas penelitian
3. Sumber –sumber bias

IV. Deskripsi Singkat

VALIDITAS DAN BIAS

Yang dimaksud dengan validitas adalah derajat ketepatan dari suatu


pengukuran dalam mengukur apa yang seharusnya diukur, sedangkan bias
adalah penyimpangan hasil atau inferens dari kenyataan yang sebenarnya, atau
proses-proses yang mengarah ke penyimoangan tersebut. Jadi validitas
menggambarkan sejauh mana sebuah pengukuran itu memberikan hasil yang
benar dan ukuran yang akurat terhadap apa yang ingin diukur. Penetapan
validitas memerlukan suatu ukuran acuan eksternal agar metode pengukuran
yang akan diuji (metode pengukuran yang akan digunakan dalam aktivitas riset
atau survey yang utama) dapat dibandingkan dengannya. Dalam bidang gizi
tidak terdapat ukuran acuan kebenaran yang mutlak. Misalnya setiap asupan
pengukuran makanan, meliputi beberap unsur bias. Hal terbaik yang dapat
dialkukan adalah mengkaji validitas relative atau congruent validity pada
berbagai pengukuran dengan membandingkan hasil-hasil yang didapat dengan
alat uji yang diyakini akan memberikan ukuran asupan makanan atau nutrient
yang lebih akurat seperti misalnya biomaker atau penanda hayati.

Mengukur diet atau pola makan merupakan satu diantara beberapa


tugas yang harus dilaksanakan dalam penelitian epidemiologi gizi. Ada dua
masalah yang fundamental yakni :

 Subjek penelitian cenderung mengubah kebiasaan makan mereka


ketika diminta untuk mencatat informasi
 Subjek penelitian cenderung melaporkan informasi tentang
konsumsi yang berbeda dengan konsumsi mereka yang
sebenarnya.

Kegagalan dalam mengatasi permasalahan ini merupakan salah satu alas an


utama penelitian epidemiologi gizi tidak dapat memperlihatkan korelasi yang
secara statistic signifikan antara pajanan gizi dan outcome kendati korelasi
tersebut sungguh ada.

A. Validitas Pengukuran
Validitas pengukuran adalah derajat ketepatan pengukuran yang
berhubungan dangan proses pengukuran variable, dan dapat dibedakan atas
empat macam.
1. Lodical validity atau biasa juga disebut face validity, yaitu pengukuran
yang secara jelas berhubungan dengan apa yang diukur.
2. Content validity adalah sejauh mana pegukuran tersebut melibatkan
seluruh aspek dari suatu fenomena. Misalnya pengukuran terhadap
status fungsi kesehatan harus melibatkan aktivitas sehari-hari, pekerjaan,
keluarga, fungsi sosial dan sebagainya.
3. Criterion validity adalah sejauh mana pengukuran tersebut berkolerasi
dengan suatu criteria eksternal dari fenomena yang diteliti. Bentuk ini ada
dua macam.
a. Concurrent validity yaitu suatu pengukuran dan criteria yang
memberikan hasil yang sesuai pada suatu waktu tertentu. Misalnya,
observasi luka untuk tanda infeksi dibuktikan dengan pemeriksaan
bakteriologis pada waktu yang sama.
b. Predictive validity adalah kemampuan pengukuran dalam meramalkan
(predict) suatu criteria tertentu. Misalnya, hasil tes potensia akademik
yang dibuktikan dengan menilai kemampuan akademik pada waktu
selanjutnya.
4. Contruct validity adalah sejauh mana pengukuran tersebut sesuai dengan
konseo teoretis dari fenomena yang sedang diteliti. Misalnya,
berdasarkan teori fenomena tersebut dipengaruhi oleh umur maka suatu
pengukuran yang mempunyai contruct validity bisa memperlihatkan
pengaruh tersebut.

B. Validitas Penelitian
Ditinjau dari metodologi penelitian ada dua macam validitas yakni :
1. Validitas Internal
Validitas internal adalah keadaan yang menunjukkan sampai sejauh
mana perubahan yang diamati dalam suatu penelitian eksperimental,
atau pada penelitian observasional, benar-benar terjadi karena
perlakuan (pada eksperimen) atau karena pengaruh yang dicurigai
(pada observasi) dan bukan pengaruh faktor lain yang tidak diamati.
Ada 3 jenis bias yang dapat mempengaruhi validitas eksternal :
- Selection bias (bias pada seleksi)
Selection bias adalah penyimpangan efek hasil pengukuran yang
disebabkan oleh prosedur yang digunakan dalam penelitian subjek
sedemikian rupa sehingga hasil pengukuran yang di dapat dari subjek
ini berbeda dengan nilai yang ada pada populasi penelitian.

- Information bias (bias pada informasi)


Information bias ini bisa muncul pada keadaan dimana terjadi
kesalahan pada pengelompokan subjek. Akibat dari bias ini
tergantung pada, apakah pengelompokan pada salah satu axis
(exposure atau disease) independen terhadap pengelompokan pada
axis lainnya. Jika dependen, maka disebut differensial
misclassification, sebaliknya jika independen, disebut nondifferensial
misclassification.
Jika terjadi kesalahan penglompokan baik pada kelompok
exposure atau kelompok disease dengan proporsi yang sama pada
kelompok control, maka bias yang muncul disebut non differensial
misclassification. Bias jenis ini bisa dianggap kecil pengaruhnya
terhadap validitas dibandingkan dengan bias jenis differensial
misclafication, oleh karena itu bias nondifferencial tersebut lebih
mudah diramalkan efeknya, yaitu selalu kea rah hipotesis nol.

- Confounding (pengganggu).
Confounding secara umum diartikan sebagai efek yang bercampur,
sedangkan secara khusus diartikan sebagai estimasi terhadap ukuran
efek faktor yang exposure yang dikacaukan oleh suatu variable lain.
Akibat yang ditimbulkan oleh adanya confounding adalah over estimate
atau under estimate suatu efek, tergantung arah hubungan yang terjadi
antara confounding dengan faktor exposure dan penyakit, bahkan bisa
memberikan estimasi yang berlawanan dengan yang sebenarnya.
Suatu faktor dapat dianggap confounding, jika memenuhi salah satu atau
lebih hal berikut :
 Mempunyai efek (faktor risiko) terhadap kejadian penyakit yang
sedang diteliti, dimana efek ini tidak mutlak sebagai hubungan kausal.
Misalnya, status sosial yang secara kausal barangkali sangat sedikit
hubungannya (jika ada) dengan suatu penyakit, namun mempunyai
hubungan dengan sebagian besar penyebab penyakit.
 Mempunyai hubungan dengan faktor exposure yang sedang diteliti.
Pada penelitian follow up hubungan antara faktor confounding dengan
faktor exposure selalu ada pada subjek yang diteliti.
 Tidak merupakan variable dalam hubungan antara faktor exposure
dengan penyakit.
- Sinergisme
Sinergisme diartikan sebagai aksi suatu substansi yang berbeda-beda
namun bila berkombinasi akan menghasilkan efek yang lebih besar
daripada efek yang disebabkan oleh hanya satu komponen
tersebut.Contoh, perokok yang pada saat sama mengisap serat asbes
pada tempat kerja mereka. Individu semacam ini memiliki risiko yang
lebih tinggi untuk menderita kanker paru jika dibandingkan dengan
individu yang hanya terpapar salah satu faktor tersebut.

2. Validitas Eksternal
Validitas eksternal dapat diartikan sampai sejauh mana proses untuk
melakukan generalisasi di luar dari hasil pengamatan memerlukan
pemikiran/penilaian tentang karakteristik pengamatan yang layak
untuk maksud tersebut. Contoh, hubungan rokok dengan kanker paru
pada laki-laki,hasilnya bisa di generalisasi terhadap populasi
perempuan. Di sini diasumsikan bahwa jenis kelamin merupakan
faktor yang tidak relevan terhadap mekanisme karsinogenik rokok pad
ajaringan paru. Asumsi tersebut didasarkan pada pengetahuan
tentang mekanisme karsinogenik dan biologis antara paru laki-laki dan
perempuan.

Berdasarkan uraian diatas, maka ada beberapa cara yang dapat


dilakukan untuk mengurangi terjadinya bias :
a. Pemilihan kelompok control
Untuk mengurangi bias pada seleksi dapat dilakukan dengan
cara : persiapan penelitian yang mantap (sempurna), melakukan
survey pendahuluan (preliminary survey), pemilihan populasi
penelitian yang tepat disertai dengan persiapan dan penarikan
sampel yang benar, melakukan standarisasi diagnosis, penentuan
kelas pengukuran dan lain-lain.
b. Bias karena informasi
Untuk mengurangi bias karena informasi maka salah satu hal yang
harus diperhatikan adalah standarisasi alat ukur termasuk alat
dan cara wawancara. Untuk data sekunder sebaiknya dipilih data
yang memiliki system pencatatan yang baku (standar) dan jelas,
serta harus pula dilakukan penilaian terhadap setiap data
sekunder secara cermat.

c. Mencegah confounding
Faktor confounder yang besar kemungkinannya ada (misalnya
jenis kelamin,usia,berat badan) harus diperhitungkan agar semua
kesalahan yang berkaitan dengan confounder tersebut dapat
dikendalikan dapat dikendalikan dalam analisis data.

Berikut Confounder dan faktor-faktor yang berpotensi


menimbulkan misklasifikasi diferensial

Yang berhubungan dengan Yang berhubungan dengan


subjek penelitian proses pengukuran
Usia Besar porsi
Jenis Kelamin Pewawancara
Wilayah Efek pembelajaran
Kelas sosial Recency effect (kecenderungan
Pendidikan untuk melaporkan kejadian
Bahasa terakhir ketika ditanya kejadian
Social approval (keinginan lampau)
untuk disetujui oleh Lag time (perbedaan waktu
pewawancara) antara pajajan yang relevan dan
Social desirability (keinginan outcome)
untuk terlihat normal diantara Jumlah makanan
orang lain) Database

Untuk mencegah confounding dapat dilakukan pada tahap


pengumpulan data atau pada tahap analisis.
Pada tahap pengumpulan data ada 3 hal yang dapat dilakukan
yakni :
- Randomisasi
- Pengetatan (restriction)
- Penyesuaian (matching)

Pada tahap analisis, dilakukan stratifikasi atau analisis regresi


logistic.

- Stratifikasi dilakukan pada variable confounder yang


mempunyai skala kategori (misalnya ras, jenis
kelamin,pekerjaan). Pada prinsipnya stratifikasi dilakukan
untuk menilai apakah nilai estimasi (misalnya OR atau RR)
pada setiap kategori dari variable confounder berbeda atau
tidak. JIka berbeda maka variable tersebut adalah confounder.
- Regresi logistic dilakukan pada variable confounder yang
mempunyai skala continue. Penilaian adanya confounding
dilakukan dengan membandingkan nilai estimasi (misalnya OR)
diperoleh pada model yang tidak mengandung variable
tersebut dengan nilai estimasi yang diperoleh dari model yang
mengandung variable itu. JIka ditemukan perbedaan yang
bermakna (signifikan) maka variable tersebut adalah
confounder.
Contoh, seorang periset ingin mengetahui mean tekanan
sistolik yang diperkirakan terjadi pada orang-orang dengan
tingkat natrium tertentu, dan apakah kenaikan darah sistolik
tersebut berkaitan dengan unit peningkatan eksresi natrium.
Yang perlu diperhatikan adalah dua variable tersebut diatas
tidak sama. Ekskresi natrium adalah variable predictor dan
tekanan sistolik adalah outcome. Analisis regresi akan
mengestimasikan korelasi linear tekanan sistolik dengan unit
perubahan pada ekskresi natrium. Koefisien regresi
mengestimasikan gradient (slope) garis regresi.

Random error adalah kesalahan hasil pengukuran yang terjadi secara


random (acak) yang dikemungkinan karena adanya faktor kemungkinan
(chance). Banyak yang berpendapat bahwa adanya faktor kemungkinan ini
memegang peranan penting pada semua fenomena fisik dan biologis. Dalam
penelitian epidemiologi random error mempunyai beberapa komponen, namun
yang paling penting adalah komponen pemilihan subjek penelitian, yang
merupakan komponen metode sampling.
Random error yang berhubungan dengan komponen ini disebut
sampling error. Walaupun penelitian epidemiologis tidak melibatkan sampling
dalam pengertian yang sebenarnya, namun tetap mempunyai sampling error.
Hal ini terjadi karena subjek yang mempunyai kemungkinan untuk terpilih dalam
penelitian.
Presisi (tingkat ketepatan) dalam pengukuran epidemiologis
dimaksudkan sebagai tindakan untuk mengurangi random error. Presisi dapat
ditingkatkan dengan memperbesar sampel, atau memodifikasi dalam hal
pengumpulan informasi dari sampel.

1. Besar Sampel
Metode untuk mengetahui besar sampel adikuat yang diperlukan adlah
dengan melakukan perhitungan besarnya sampel berdasarkan rumus
statistic. Rumus ini pada umumnya berhubungan erat dengan variable
berikut:
- Tingkat kemaknaan (kesalahan Alpha),
- Probabilitas uuntuk mendeteksi adanya efek (kesalahan Beta),
- Besarnya efek,
- Rate penyakit tanpa keterpaparan (atau prevalensi keterpaparan
tanpa penyakit), dan
- Besar relative kelompok yang dibandingkan

Metode lain yang biasa digunakan untuk memperkirakan besar


sampel adalah berdasarkan perhitungan “kekuatan tes” (power of the
test). Power ini merupakan kebalikan dari kesalahan Beta.

2. Efesiensi Penelitian
Berbagai macam fktor yang berhubungan dengan desain penelitian
dapat dipengaruhi terhadap efisiensi penelitian, yang selanjutnya
berpengaruh terhadap besarnya random error. Faktor-faktor tersebut
antara lain proporsi subjek terpapar, proporsi subjek yang sedang atau
akan menderita penyakit, dan penyebarran (distribusi) subjek
berdasarkan variable utama yang harus dikontrol dalam analisis.
Efisiensi penelitian dapat diketahui berdasarkan dua macam skala.
Pertama, adalah banyaknya (relative) informasi yang diperoleh terhadap
jumlah subjek; dan kedua, banyaknya informasi tersebut yang tersubjek.
Salah satu contoh yang pertama adalah penggunaan matching yang
dimaksudkan untuk meningkatkan banyaknya informasi persubjek.

V. Uraian Tugas Mahasiswa :

VI.Bacaan Utama
1. Kenneth J. Rothman, 2002, Epidemiology: an introduction, Oxford
University Press.
2. Noor Nasri.2008.Epidemiology. Rineka cipta
VII. Bahan Bacaan Pendukung:
1. Moyses Szklo,F. Javier Nieto, 2007, Epidemiology: beyond the
basics, Jones & Bartlett Learning
2. BustanN.2006 Pengantar Epidemiology. Rineka cipta

VIII. Ilustrasi kasus atau masalah kajian :


I. Sesi Perkuliahan ke : IV

II. Sasaran Pembelajaran : Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit dan


Screening

1. Mahasiswa memahami 4 macam tingkat pencegahan dan


penanggulangan penyakit
2. Mahasiswa mengetahui kegunaan penyaringan
3. Mahasiswa mampu melaksanakan penyaringan
4. Mahasiswa memahami tentang validitas dan reliabilitas
5. Mahasiswa memahami tentang sensivitas dan spesifitas
6. Mahasiswa memahami tentang nilai negative palsu dan positif palsu

III. Topik Kajian/Bahasan :


1. Tingkatan pencegahan
2. Penyaringan (screening)
3. Validitas dan reliabilitas
4. Sensitifitas dan spesifitas
5. Negative palsu dan positif palsu

IV. Deskripsi Singkat

A. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit

Epidemiologi adalah ilmu dasar pencegahan dengan sasaran utama adalah


mencegah dan menanggulangi penyakit dalam masyarakat. Pada dasarnya ada
empat tingkatan pencegahan penyakit secara umum, yakni :

1. Pencegahan tingkat dasar (primordial prevention)


Primordial prevention adalah usaha mencegah terjadinya penyakit
atau mempertahankan keadaaan risiko rendah dalam masyarakat
terhadap penyakit secara umum. Pencegahan ini meliputi usaha
memelihara dan mempertahankan kebiasaan atau pola hidup yang sudah
ada dalam masyarakat yan dapat mencegah meningkatnya risiko
terhadap penyakit dengan melestarikan kebiasaan hidup sehat yang
dapat mencegah dan mengurangi terhadap penyakit.
2. Pencegahan tingkat pertama (primary prevention)
Pencegahan tingkat pertama (primary prevention) dilakukan
dengan 2 cara: (1) menjauhkan agen untuk dapat kontak atau memapar
penjamu, dan (2) menurunkan kepekaan penjamu (host susceptibility).
Intervensi ini dilakukan sebelum perubahan patalogis terjadi (fase
prepatogenesis). Jika sesuatu penyakit lolos dari pencegahan primordial,
maka giliran pencegahan tingkat pertama ini digalakkan terhadapnya.
Kalau lolos dari upaya maka penyakit itu akan segera dapat tiimbul yang
secara epidemiologi tersipta sebagai suatu penyakit yang endemis atau
yang lebih berbahaya kalau timbul dalam bentuk KLB.
3. Pencegahan tingkat kedua (secondary prevention)
Dilakukan dalam fase patologis dengan cara mengetahui
perubahan klinik atau fisiologis yang terjadi dalam awal penyakit (early
symptom) atau semasa masih dalam presymptomatic, masa sangat awal
kelainan klinik. Pencegahan ini ditujukan untuk mendeteksi penyakit
sedini munkin untuk mendapatkan pengobatan yang tepat. Dengan
demikianpencegahan sekurang-kurangnya dapat menghambat atau
memperlambat progresifitas penyakit, mencegah kompilkasi dan
membatasi kemunkinan kecatatan.
Bentuk utama pencegahan tingkat kedua adalah penyaringan
(skrening). Dengan skerining diharapkan diharapkan dapat dideteksi
indicator fisiologi awal (early physiological indicator) yang ada sebelum
orang menunjukkan keluhannya. Contohnya skeringnya adalah hapusan
Pap (Pap smear) untuk kanker servik, tuberculin, VDRL untuk sifilis, dam
phenylalanine tes untuk phenylketonuria (PKU) untuk retardasi mental
bayi.
4. Pencegahan tingkat tiga (Tertiary prevention)
Upaya rehabilitasi ditunjukan untuk membatasi kecatatan sehingga tidak
menjadi tambah cacat, dan melakukan rehabilitas dari mereka yang
punyacacat atau kelainan akibat penyakit.
5. Strategi Pencegahan
Strategi pencegahan meliputi sasaran dan kegiatan pencegahan yang
bervariasi sesuai dengan masalah kesehatan yang dihadapi serta tingkat
pencegahannya. Sasaran pencegahan dapat merupakan individu
maupun organisasi masyarakat. Dalam melaksanakan pencagahan
dengan sasaran tersebut dapat dilakukan melalui usaha setempat yang
bersifat tradisional terutama pencegahan dasar atau primordial, dan
dapat pula dilakukan melalui pusat-pusat pelayanan kesehatan yang
tersedia di tempat tersebut.
Contoh : Strategi Pencegahan Stroke pada Dewasa Muda

Pencegahan Gaya Hidup Lingkungan Biologis System


Manusia Pelayanan
premordial  Pola makan  Tanpa  Cegah  Pengobatan
 Tidak pencemaran kawin alternative
merokok famili
Primer  Reduksi  Kondisi kerja  Riwayat  penyuluhan
stress menyenangk kelurga,  pemberdayaa
 Rendah an profil n masyarakat
lemak dan  Penurunan lemak
garam polusi timbal  aspirin
 Latihan fisik
 Tidak
merokok
Sekunder  manajemen  perubahan  medikasi  evaluasi
stress kerja  pengenala penyebab
 pola diet  konseling n akibat sekunder
 latihan fisik kelurga samping  penyuluhan
 berhenti obat pasien
merokok  system
rujukan
tersier  manajemen  pengamanan  terapi fisik  pelayanan
stress rumah,  terapi komplikasi
 pola diet tempat untuk wicara  pelayana
 latihan fisik kursi roda  kepatuhan home-care
 berhenti  dukungan terhadap
merokok keluarga pengobata
 penyesuaia n
n kecatatan

B. PENYARINGAN (SCREENING)
1. Pengertian Penyaringan
Penyaringan (screening) merupakan suatu upaya untuk menyeleksi
orang-orang yang tampak sehat, tidak menderita terhadap suatu penyakit
tertentu, dari suatu populasi tertentu. Penyaringan ini merupakan usaha untuk
mendeteksi penderita penyakit tertentu yang tanpa gejala (tidak tampak) dalam
suatu masyarakat atau suatu kelompok tertentu dengan melakukan suatu tes/
pemeriksaan yang secara singkat dan sederhana dapat memisahkan mereka
yang sehat terhadap mereka yang kemunkinan besar menderita. Mereka yang
dianggap positif selanjutnya diproses melalui diagnosisi selengkapnya dan akan
mendapatkan pengobatan yang sesuai.
Unutk suatu penyaringan diperlukan suatu alat uji saring biasanya berupa
suatu alat uji laboratorium yang mempunyai validitas yang tinggi. Validitas di sini
meliputi sensitivitas dan spesifitas yang tinggi sehingga mereka yang dinyatakan
positif adalah orang yang benar-benar sakit (sentivitas yang tinggi). Di lain pihak
mereka yang dinyatakan negative oleh uji periksa memang benar-benar tidak
sakit (spesivitas tinggi).

2. Tujuan Penyaringan
Adapun tujuan dilakukannya penyaringan adalah:
1. Untuk mendapatkan mereka yang menderita sedini munkin sehingga
dapat dengan segera memperoleh pengobatan
2. Untuk mencegah meluaskan penyakit dalam masyarakat.
3. Untuk mendidik dan membiasakan masyarakat untuk memeriksakan diri
sedini munkin.
4. Untuk mendidik dan memberikan gambaran kepada petugas kesehatan
tentang sifat penyakit dan untuk selalu waspada melakukan pengamatan
terhadap gejala dini.
5. Untuk mendapatkan keterangan epidemiologis yang berguna bagi klinisi
dan peneliti.
Criteria Pelaksaan Penyaringan

Aspek penyaringan Criteria penyaringan


penyakit Serius
Prevalensi tinggi pada fase pre-klinik
Riwayat alamiah diketahui
Periode panjang antara gejala penyakit
dengan onset penyakit
Tes diagnosis Sensitive dan spesifik
Sederhana dan murah
Aman dan dapat diterima(acceptable)
nyata (reliable)
Diagnosisi dan pengobatab Tersedia fasilitas yang memadai
Efektif, diterima dam aman
Tersedia pengobatan

6. Validitas
Validitas adalah kemampuan daripada tes penyaringan untuk
memisahkan mereka yang betul-betul menderita terhapad mereka yang betul-
betul sehat atau dengan kata lain besarnya kemungkinan untuk menempati
setiap indivu pada keadaan yang sebenarnya. Validitas ditentukan dengan
melakukan pemeriksaan di luar tes penyaringan untuk diagnosis pasti, dengan
ketentuan bahwa biaya dan waktu yang digunakan pada setiap pemeriksaan
diagnostic lebih besar daripada yang yang dibutuhkan pada penyaringan. Ada
dua komponen yang komponen yang menentukan tingkat validitas, yakni: (1)
nilai sensitivitas yaitu kemampuan dari suatu tes penyaringan yang secara
benar menempatkan mereka yang berul-betul menderita pada kelompok
penderita; dan (2) nilai spesifisitas yaitu kemampuan daripada tes tersebut yang
secara benar menempatkan mereka yang betul-betul tidak menderita pada
kelompok sehat.
Besarnya nilai kedua parameter tersebut tentunya ditentukan dengan
alat diagnistik di luar ter penyaringan. Kedua nilai tersebut saling mempengaruhi
satu dengan yang lainnya, yakni biila tersebut saling mempengaruhi satu
dengan yang yang lainnya, yakni bila nilai sensitivitas meningkat maka nilai
spesifisitas akan menurun dan sebaliknya. Untuk menentukan batas standar
yang digunakan pada tes penyaringan, harus ditentukan tujuan penyaringan
apakah mengutamakan semua yang dicurigai menderita dapat terjaring,
termasuk yang tidak menderita, ataukah mengarah ke memilih hanya mereka
yang betul-betul sehat.
Untuk kepentingan validitas diperlukan beberapa perhitungan tertentu.
a. Positif yang sebenarnya, yaitu mereka yang oleh tes penyaringan
dinyatakan menderita dan kemudian didukung oleh diagnosis klinis yang
posotif
b. Positif palsu yaitu mereka yang oleh tes penyaringan dinyatakan
menderita, tetapi pada diagnosisi klini dinyatakan sehat/negative.
c. Negative sebenarnya yaitu mereka yang pada penyaringan dinyatakan
sehat dan pada diagnosisi klinis ternyata betul sehat.
d. Negative palsu yaitu mereka yang pada tes penyaring dinyatakan sehat,
tetapi oleh diagnosis klinis ternyata menderita

Untuk menetapkan besarnya nilai sensitivitas dan spesifisitas suatu tes,


harus dipertimbangan beberapa hal tertentu.

- Risiko adanya kasus yang terjaring/lolos dari seleksi karena menolak


diperiksa/tidak ikut berpartisipasi
- Besarnya biaya diagnosis klinis unutk menentukan pernderita secara
klinis terutama pada mereka dengan positif palsu
- Frekuensi penyaringan artinya kemungkinana pada penyaringan
berikutnya akan mengambil kasusu yang tidak terjaring pada saat ini
- Besarnya prevalensi penyakit dalam masyarakat yang menjadi sasaran
tes.
7. Reliabilitas
Reabilitas adalah kemampuan tes memberikan hasil yang
sama/konsisten bila tes diterapkan lebih dari satu kali pada sasaran (objek)
yang sama dan pada kondisi yang sama pula. Dalam hal tingkat reliabilitas
maka ada dua faktor utama yang perlu mendapatkan perhatian khusus.
a. Variasi dari cara penyaringan yang sangat berpengaruh oleh stabilitas alat
tes atau regensia yang digunakan, serta fluktuasi keadaan dari nilai yang
akan diukur (ummpanya tekanan darah yang sangat dipengaruhi oleh
berbagai faktor dan alta yang digunakan).
b. Kesalahan pengamatan atau perbedaan pengamatan yang meliputi adanya
nilai yang berbeda karena dilakukan oleh pengamatan yang berbeda, atau
adanya nilai yang berbeda walaupun dilakukan oleh pengamatan yang
sama.

Untuk meningkatkan nilai reliabilitas tersebut di atas maka dilakukan beberapa


usaha tertentu.

a. Pembakuan/standarisasi cara penyaringan


b. Peningkatan dan pemantapan keterampilan pengamatan melalui training
c. Pengamatan yang cermat pada setiap kali hasil pengamatan
d. Menggunakan dua atau lebih pengamatan untuk setiap pengamatan.
e. Memperbesar klasifikasi (kelompok) kategori yang ada, terutama bila
kondisi penyakit juga bervariasi/bertingkat

8. Nilai Ramal (Predistive Values)


Nilai ramal adalah besarnya kemungkinan dengan menggunakan nillai
sensitivitas dan spesifisitas serta prevalensi terhadap proporsi penduduk yang
menderita. Nilai ini dapat positif pada tes positif, dan negative pada tes negative.
Nilai ramal positif adalah besarnya proporsi mereka dengan tes positif juga
menderita penyakit (dengan diagnose positif), sedangkan nilai ramal negative
adalah besarnya proporsi mereka yang dinyatakan negative dan ternyata tidak
menderita penyakit. Nilai ramal positif sangat dipengaruhi oleh besarnya
prevalensi penyakit dalam masyarakat, makin tinggi pula nilai ramal positif dan
sebaliknya. Dengan demikian nilai ramal positif dingaruhi oleh besarnya
prevalensi dalam masyarakat serta besarnya nilai spesifisitas tes.
9. Penyaringan Bertingkat
Penyaringan bertingkat adalah bentuk penyaringan yang dilakukan
dengan menggunakan dua jenis tes terhadap satu penyakit tertentu.
Penyaringan bertingkat dapat dilakukan dalam dua bentuk, yakni dalam bentuk
seri dan bentuk parallel. Bentuk seri ialah penyaringan yang dapat digunakan
dua macam tes secara bersamaan sehingga seseorang dapat dinyatakan
positif, apabila hasil tes memberikan hasil positif pada kedua tes penyaringan
yang selanjutnya diadakan pemeriksaan klinis untuk diagnosisis. Jadi, pada
bentuk ini bila hanya satu tes yang positif maka hasilnya dinyatakan negative.
Sedangkan bentuk tes penyaringan paralel adalah penyaringan dengan dua
macam tes terhadap saru penyakit tertentu dan bagi mereka yang positif pada
salah satu tes penyaringan tersebut, dapat dinyatakan positif dan dilanjutkan
dengan pemerikasaan klinis untuk diagnosis.
Dari kedua cara tersebut di atas, tampak bahwa pada bentuk seri,
positif palsu akan lebih rendah dan sebaliknya negative palsu akan
meningkatkan. Sedangkan pada tes bentuk parallel, jumlah positif palsu akana
lebih besar dan negative palsu akan lebih kecil. Cara ini dipilih tergantung dari
tujuan penyaringan, bentuk penyakit serta keadaan dana dan fasilitas yang
tersedia.
Salah satu contoh bentuk tes bertingkat yang bersifat seri adalah tes
darah untuk pemeriksaan HIV. Pada tahap pertama dilakukan tes elisa (yang
relative lebih murah) dan bila hasilnya positif, dilakukan dengan tes western
block yang jauh lebih mahal.

10. Yied ( derajat penyaringan )


Derajat penyaringan adalah besarnya kemungkinan untuk menjaring
(menemukan) melalui tes penyaringan mereka yang sebenarnya menderita,
tetapi tanpa gejala sehingga bagi mereka daoat dilakukan diagnosis pasti serta
pengobatan dini. Derajat penyaringan ditentukan oleh beberapa faktor tertentu.
a. Tingkat sensitivitas tes penyaringan.
b. Besarnya prevalensi penyakit (yang mengalami penyaringan) dalam
masyarakat.
c. Frekuensi penyaringan dalam masyarakat.
d. Konsep sehat serta kehidupan kesehatan masyarakat sehari-hari

Tabel Silang Hasil Tes dengan Diagnosis Klinis

Hasil Tes Diagnosa klinis jumlah


+ -
Penyaringan
+ a b A+b
_ c d c+d
jumlah a+c b+d a+b+c+d
Keterangan :
a : Jumlah mereka yang sakit yang terjaring positif melalui penyaringan
(positif sebenarnya)
b : Jumlah mereka yang sehat yang terjaring positif melalui
penyaringan (positif palsu)
c : Jumlah mereka yang sakit yang terjaring negative melalui
penyaringan (negative palsu)
d : Jumlah mereka yang sehat yang terjaring negative pada
penyaringan (negative sebenarnya)

Dari uraian tersebut diatas, diperoleh nilai-nilai validitas sebagai berikut :


 Sensitivitas adalah besarnya persentase mereka yang sakit yang
terjaring positif melalui tes penyaringan = a/a + c x 100%
 Spesifitas adalah besarnya persentase mereka yang sehat yang secara
benar terjaring negative pada test penyaringan = d/b + d x 100%
 Negatif palsu adalah besarnya persentase mereka yang sakit, tetapi
tidak terjaring oleh tes (hasil tes penyaringan negative) = c/a + c x 100%
 Positif palsu adalah persentase mereka yang sehatyang oleh tes
penyaringan dinyatakan positif yakni b/b + d x 100%

V. Uraian Tugas Mahasiswa :


VI. Bahan Bacaan Utama :
1. Kenneth J. Rothman, 2002, Epidemiology: an introduction,
Oxford University Press.
2. Noor Nasri.2008.Epidemiology. Rineka cipta
Bahan Bacaan Pendukung:
1. Moyses Szklo,F. Javier Nieto, 2007, Epidemiology: beyond the
basics, Jones & Bartlett Learning
2. BustanN.2006 Pengantar Epidemiology. Rineka cipta

VII. Ilustrasi kasus atau masalah kajian


I. Sesi Perkuliahan ke : 5 - 6 Nature of variation in diet
II. Sasaran Pembelajaran :
1. Mahasiswa memahami variasi diet yang terjadi setiap hari
2. Mahasiswa memahami day to day variation within subjec
3. Mahasiswa memahami day to day variation between subjec
4. Mahasiswa memahami sumber random dan systematic error
5. Mahasiswa memahami langkah-langkah yang dilakukan untuk
meminimalisir random dan systematic error

III. Mahasiswa Topik Kajian/Bahasan :


1. Random and systematic error between person
2. Random and systematic error within person
3. Variability within and between person

IV. Deskripsi singkat

Kesalahan dalam pengukuran konsumsi makanan:

1. Random eror
Randam eror bisa terjadi karena kesalahan pengukuran tapi hasilnya
tidak mempengaruhi nilai rata-rata. Bias ini dapat memperbesar sebaran
(deviasi) dari nilai pengukuran

2. Sistematik eror
Sistemik eror dapat terjadi karena :
 Kesalahan dari kuesioner, misalnya tidak memasukkan bahan makanan
yang sebetulnya penting
 Kesalahan pewawancara yang secara sengaja dan berulang melewatkan
pertanyaan tentang makanan tersebut, kesalahan dalam mencatat
respon responden
 Kesalahan dari alat yang tidak akurat dan tidak distandarisasi sebelum
penggunaan
 Kesalahan dari Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM)
Sumber bias dalam pengukuran konsumsi makanan dapat berasal dari :

a. Kesalahan atau bias dari pengumpul data


 Pengaruh sikap dalam bertanya, mengarahkan jawaban, mencatat
hasil wawancara atau sengaja membuat sendiri data tersebut
 Pengaruh situasi, misalnya perbedaan sikap pewawancara, karena
ada orang lain yang ikut mendengarkan dan keinginan untuk
merahasikan data responden
 Pengaruh hubungan timbal balik antara pewawancara dengan
responden, misalnya perbedaan status dan penerimaan
masyarakat yang kurang baik terhadap pewawancara
 Kesalahan dalam melakukan konversi makanan masak ke mentah
dan dari ukuran rumah tangga ke ukuran berat (gram)
b. Kesalahan atau bias dari responden
 Gangguan atau terbatasnya daya ingat
 Perkiraan yang tidak tepat dalam mennetukan jumlah makanan
yang dikonsumsi
 Kecenderungan untuk mengurangi makanan yang banyak
dikonsumsi dan menambah makanan yang sedikit dikonsumsi (the
flat slope sydrome)
 Membesar-besarkan konsumsi makanan yang bernilai sosial tinggi
 Keinginan untuk menyenangkan pewawancara
 Keinginan melaporkan konsumsi vitamin dan mineral tambahan
 Kesalahan dalam mencatat (food records)
 Kurang kerjasama, sehingga menjawab asal saja, tidak tahu atau
lupa

c. Kesalahan atau bias karena alat


 Penggunaan alat timbang yang tidak akurat, atau tidak di
standarisasi
 Ketidak tepatan memilih ukuran rumah tangga
d. Kesalahan atau bias dari Daftar Komposisi Bahan Makanan
 Kesalahan penentuan nama bahan makanan/jenis bahan
makanan yang digunakan
 Perbedaan kandungan zat gizi dari makanan yang sama, karena
tingkat kematangan, tanah dan pupuk yang dipakai tidak sama
 Tidak adanya informasi mengenai komposisi makanan jadi atau
jajanan.

e. Kesalahan/bias karena kehilangan zat gizi dalam proses pemasakan,


perbedaan penyerapan, dan penggunaan zat gizi tertentu
berdasarkan fisiologis tubuh

Untuk mengurangi sistematik eror maka dapat dilakukan :

 Gunakan sampel yang besar (makin besar sampel makin kecil variasinya)
 Mengulangi pengukuran intake terhadap subjek atau responden yang
sama dalam beberapa waktu
 Lakukan kalibrasi alat yang digunakan
 Untuk mengurangi bias yang berhubungan dengan pengetahuan
responden mengenai ukuran porsi, gunakan alat-alat bantu seperti
gambar, model/contoh bahan makanan langsung dan alat makan yang
biasa dijadikan ukuran.

V. Uraian Tugas mahasiswa :


1. Membaca materi diatas, serta materi dalam buku bahan bacaan
utama dan bahan bacaan pendukung
2. Mahasiswa mendiskusikan jurnal dan mempersentasikan di dalam
kelas

VI. Bahan Bacaan Utama

1. Gibson, Rosalind S. 2005. Principles of Nutritional Assesment.


Second Edition. Oxford University Press Inc.

2. Gibson, Rosalinds S & Elaine L Ferguson. 2008. An Interactive 24-


hours Recall for Assesing the Adequacy of iron and Zink Intakes in
Developing Countries. Harves Plus, Washington.

VII. Bahan Bacaan Pendukung


1. Supariasa,et al. Penilaian Status Gizi.EGC 2002
VIII. Ilustrasi kasus atau masalah kajian
Artikel : food and nutrient exposure: what to consider when evaluating
epidemiologic evidence
I. Sesi Perkuliahan ke : (7)24 H Recalls

II. Sasaran Pembelajaran :


1. Mahasiwa mengerti tujuan penggunan 24 h recall
2. Mhasiswa memahami cara pelaksanaan 24h recall
3. Mahasiswa

III. Topik Kajian/Bahasan :


1. Cara pelaksanaan 24H recalls
2. Kelebihan dan kekurangan 24 h recalls dibandingkan dengan metode
pengukuran konsumsi lainnya
3. Praktek penilaian konsumsi dengan menggunakan 24 h recall

IV. Deskripsi Singkat :

Pengukuran konsumsi makanan, berdasarkan jenis data yang diperoleh ada


dua macam yakni bersifat kualitatif maupun kuantitatif.Metode kuantitatif ini
dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi zat gizi
dengan menggunakan Daftar KOmposisi Bahan Makanan (DKBM) atau
daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT),
Daftar konversi Mentah-Masak dan daftar penyerapan minyak. Salah satu
metode kuantitatif adalah 24 h recall.

A. Pelaksanaan 24 h recall
Prinsip dasar dalam metode pelaksanaan 24 h recall, dilakukan dengan
mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada
periode 24 jam yang lalu. Jadi responden diminta untuk menceritakan
semua makanan dan miniman yang telah dikonsumsinya selama 24 jam
yang lalu (kemarin). Hitungan 24 jam boleh dimulai saat wawancara
dengan mengitung mundur 24 jam kebelakang dan boleh juga ditanyakan
saat dia bangun pagi sampai dia tidur/istrahat malam harinya.
Wawancara sebaiknya dilakukan oleh petugas lapangan yang terlatih
mewawancarai subjek. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
melakukan 24 h recall :

.
 Dekripsi yang mendetail harus diperoleh dari semua makanan dan
minuman yang dikonsumsi termasuk metode memasak dan nama
dagang.
 Intake suplemen vitamin dan mineral juga dicatat.
 Jumlah yang dikonsumsi biasanya ditaksir dengan ukuran RT.
 Untuk mempermudah mengingat digunakan “food model” dalam hal
ukuran/porsi dari makanan yang dikonsumsi.
 Protokol wawancara harus distandarisasi dan diuji coba sebelum
digunakan.
 Keterkaitan dengan protokol dan ketepatan dalam mengkoding harus
dicek secara periodik selama survei. Bila perlu petugas harus
ditraining kembali sebelum survei dilanjutkan.
 Metode ini lebih tepat digunakan untuk mengetahui rata-rata intake
pada sampel yang besar kecuali untuk mereka yang daya ingat
rendah (misalnya manula), dan anak kecil.
 Tidak cocok untuk menentukan kebiasaan intake dari seorang saja.
 Apabila ingin mengetahui rata-rata intake suatu populasi maka sampel
harus mewakili populasi yang diteliti dan seluruh hari dalam sepekan
harus secara proportional terwakili, sehingga tidak ada efek dari
perbedaan hari.

 a. 24-jam recall
 Metode ini merupakan metode yang paling sederhana dan mudah
dilakukan yaitu dengan meminta kepada pasien untuk mengingat seluruh
makanan yang dikonsumsi dalam 24 jam sebelumnya. Dengan keahlian
wawancara yang baik semua makanan yang dikonsumsi pasien sehari
sebelumnya termasuk metode memasak dan nama dagang, sekaligus
suplement seperti vitamin dan mineral, dicatat oleh pewawancara (petugas
gizi). Pada umumnya digunakan suatu formulir standar untuk
mempermudah pewawancara (contoh terlampir). Beberapa keterbatasan
dalam penelitian ini termasuk tidak bisa dilakukan pada pasien dengan daya
ingat yang lemah seperti orang tua dan anak-anak. Disamping itu harus
diwaspadai adanya “flat slope syndrome” dimana pasien melakukan
overestimasi makanan yang sedikit dikonsumsi dan underestimasi makanan
yang banyak dikonsumsi. Hal ini terjadi akibat keinginan pasien melaporkan
hal yang baik. Dengan demikian metode ini tergantung pada memori pasien,
kemampuan untuk memberikan estimasi yang tepat terhadap ukuran yang
dikonsumsi, motivasi pasien, serta ketekunan pewawancara.

b.24-jam recall yang berulang


Metode pengulangan 24 hr recall perlu dilakukan karena kalau hanya 1
kali dilakukan maka data yang kita peroleh kurang representative untuk
menggambarkan kebiasaan makan individu, karena besarnya pengaruh
variasi dari hari ke hari konsumsi seorang responden. Untuk itu dilakukan
24 h recall beberapa kali, sehingga presisinya bisa meningkat.. Oleh
karena itu perlu dilakukan minimal 2 kali recall 24 jam, dengan hari/waktu
yang berbeda (tidak boleh berturut-turut). Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pengulangan 24 h recall :
 Merupakan metode 24 jam recall yang dilakukan dalam beberapa
waktu/musim yang berbeda untuk menaksir rata-rata intake makanan
dari individu dalam waktu yang lama.
 Jumlah 24-jam recall yang dibutuhkan tergantung derajat presisi yang
diinginkan, zat gizi yang sedang diteliti, dan populasi.
 Apabila pemilihan sampel tepat dengan memperhitungkan pengaruh
hari libur, hari di akhir pekan (Sabtu dan Ahad), dan musim, hasilnya
dapat memberikan penaksiran konsumsi makanan secara nasional.

Metode 24 h recall terbukti mempunyai tingkat presisi yang cukup baik


untuk menilai rata-rata konsumsi suatu kelompok apabila dilakukan lebih dari
1 x.

B. Kelebihan dan kekurangan metode 24 h recall

Kelebihan

 Mudah melaksanakannya serta tidak membebani responden


 Biaya relative murah, karena tidak memerlukan perhatian khusus dan tempat
yang luas untuk wawancara
 Cepat, sehingga dapat mencakup banyak responden
 Dapat digunakan untuk responden yang buta huruf
 Dapat memberikan gambaran nyata yang benar-benar dikonsumsi individu
sehingga dapat dihitung intake zat gizi sehari

Kekurangan

 Tidak dapat menggambarkan asupan makanan sehari-hari, bila hanya


dilakukan recall satu hari
 Ketepatannya sangat tergantung pada daya ingat responden. Oleh karena
itu responden harus mempunyai daya ingat yang baik.
 Metode ini tidak cocok dilakukan pada anak usia <7 tahun dan orang tua
yang berusia > 70 tahun serta orang-orang yang hilang daya ingatan.
 Biasanya ditemukan problem “flat slope syndrome”, dimana individu
melakukan overestimasi terhadap makanan yang rendah dikonsumsi dan
underestimasi untuk makanan yang tinggi dikonsumsi. Sindrom ini muncul
agar dapat menjawab dengan konsumsi yang baik

Contoh Pertanyaan untuk menjaring ingatan Pangan 24 h recall

 Perkenalan (perkenalkan jati diri anda terlebih dahulu): saya ingin


memperoleh keterangan tentang apa yang telah anda dan keluarga
makan kemarin (atau kemarin dulu jika hari itu jenis makanan yang
disantap berlainan dengan hari biasanya) mulai pagi hingga malam hari.
Ceritakan kepada saya makanan apa yang telah disantap dan minuman
apa yang telah diteguk.

 Kapan anda bangun pagi?


 Apa yang pertama kali anda makan/minum?kapan?
 Berapa banyak yang telah dimakan?perlihatkan kepada saya (sembari
menunjukkan makanan model jika ada, atau peralatan rumah tangga,
seperti mangkuk,gelas,cangkir,piring makan, dan sebagainya untuk
menentukan jumlah)
 Makan apa lagi yang disantap bersamaan?
 Apa yang menyertai makanan itu?bagaimana cara memasak atau
menyiapkannya?
 Apa saja yang diminum?sebanyak apa?merk apa (jika minuman buatan
pabrik)
 Kapan lagi anda makan?(jangan pernah menganggap setiap orang
makan 3X sehari secara teratur)makan apa?sebanyak apa?
(begitu selesai, ulangi lagi pertanyaan serupa sampai jadwal makan
terakhir sebelum tidur. Jika jawaban subjek serasa kurang
lengkap,pikirkan pertanyaan lain)
 Apakah diantara dua waktu makan anda menyantap atau meminum
sesuatu?
 Apakah anda sering terbangun malam hari dan kemudian makan atau
minum?jika ya,apa yang dimakan dan diminum?
 Apakah makanan yang ada pada waktu liburan berlainan dengan hari
biasa? Ceritakan kepada saya letak perbedaannya
 Apakah anda sering ngemil selagi berbelanja,masak,cemas,marah atau
bepergian?

FORMULIR 24-JAM RECALL

Waktu Jenis makanan Pengolahan/cara Jumlah (ukuran


dikonsumsi masaknya RT)

Makan pagi

Snack

Makan siang
Snack

Makan
malam

Sebelum

tidur

Apakah ini pola makan yang biasanya dikonsumsi? Ya/Tidak

Bila tidak, mengapa

Apakah mengkonsumsi suplement vitamin/makanan tambahan? Ya/Tidak

Bila ya, apa namanya?

V. Uraian Tugas Mahasiswa :


Membaca materi diatas,serta bahan bacaan utama dan penunjang
Praktek mengukur konsumsi dengan menggunakan 24 h recall
VI. Bahan Bacaan Utama :

1. Gibson, Rosalind S. 2005. Principles of Nutritional Assesment.


Second Edition. Oxford University Press Inc.

2. Gibson, Rosalinds S & Elaine L Ferguson. 2008. An Interactive 24-


hours Recall for Assesing the Adequacy of iron and Zink Intakes in
Developing Countries. Harves Plus, Washington.

V. Bahan Bacaan Pendukung:


Sirajuddin, Mustamin,et al. Survei konsumsi pangan. Jakarta, ECG.2014
Arisman MB. Gizi dalam Daur Kehidupan, EGC 2008
VI. Ilustrasi kasus atau masalah kajian :
Setiap mahasiswa latihan mewawancara temannya dengan menggunakan
25 h recall
I. Sesi Perkuliahan ke : 8 Food Frequency Questionare (FFQ)

II. Sasaran Pembelajaran :


1. Mahasiswa memahami pengukuran konsumsi dengan menggunakan FFQ
2. Mahasiswa mampu melaksanakan pengukuran konsumsi dengan menggunakan
FFQ
III. Topik Kajian/Bahasan :
1. Gambaran metode FFQ
2. Kelebihan dan kekurangan FFQ
3. Cara Pelaksanaan FFQ

IV. Deskripsi Singkat :


Dalam menentukan metode pengukuran konsumsi untuk sebuah survey, maka tidak
ada satupun metode yang sempurna. Oleh karena itu sebelum memutuskan metode
apa yang akan digunakan maka ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan yakni :
 Tujuan penelitian
 Jumlah responden yang akan diteliti
 Umur dan jenis kelamin responden
 Keadaan sosial ekonomi responden
 Ketersediaan dana dan tenaga
 Kemampuan tenaga pengumpul data
 Pendidikan responden
 Bahasa yang dipergunakan oleh responden sehari-hari
 Pertimbangan logistic pengumpulan data
Apabila tujuan penelitian hanya untuk mengetahui kebiasaan atau pola konsumsi
dari sekelompok masyarakat maka sebaiknya menggunakan metode FFQ.

Food Frequency Questionnare (FFQ) dikembangkan untuk menangkap data


kuantitatif standar dari konsumsi makanan jangka panjang yang biasa digunakan
dan telah digunakan untuk mengukur konsumsi makanan di masa lalu. Frekuensi
konsumsi masa lalu yang dimaksud adalah periode tertentu seperti hari,minggu,
bulan dan tahun.

Berikut hal-hal yang perlu dipahami tentang pengukuran dengan menggunakan FFQ
:
 Digunakan untuk memperoleh data kualitatif, atau informasi deskriptif dari pola
kebiasaan konsumsi.
 Umumnya tidak memberikan data kuantitatif untuk intake makanan.
 Kuesioner terdiri dari 2 komponen yaitu daftar dari jenis makanan dan set dari
frekuensi yang digunakan sebagai jawaban kategori.
 Daftar dari jenis makanan dapat berupa kelompok makanan tertentu, makanan
utama, atau makanan yang dikonsumsi secara periodik yang berhubungan dengan
acara/hari tertentu, atau musim.
 Dapat juga, daftar makanan dibuat sebanyak mungkin untuk dapat menaksir jumlah
total intake dan keragaman makanan.
 Tujuan dari metode ini untuk memperoleh frekuensi dari jenis atau kelompok
makanan tertentu yang dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu (setiap hari, setiap
minggu, setiap bulan, setiap tahun).
 Kombinasi makanan tertentu dapat digunakan sebagai predikter untuk zat gizi
tertentu misalnya buah segar atau juice buah sebagai prediktor dari vitamin C,
sayur-sayuran yang daunya berwarna hijau serta wortel sebagai prediktor dari intake
karoten (vitamin A); dan cereal, kacang-kacangan, buah, dan sayur-sayuran sebagai
prediktor dari fiber (makanan berserat).
 Metode ini juga dapat digunakan untuk mengukur konsumsi dari pemanis buatan,
kontaminan tertentu yang ada pada makanan khusus.
 Kuesioner frekuensi makanan harus sederhana dan kategori makanan dibuat
dengan jelas.
 Metode ini dapat dilakukan dengan wawancara atau melalui telpon serta bisa juga
di isi sendiri oleh subjek dan biasanya membutuhkan waktu 15 - 30 menit.
 Hasilnya biasanya memberikan intake yang biasa dikonsumsi dalam waktu yang
lama dimana mudah diperoleh dan diproses.
 Paling sering digunakan oleh epidemiologist dalam mempelajari hubungan antara
dietary habits (kebiasaan konsumsi) dengan penyakit.
 Metode ini dapat juga dikombinasikan dengan metode lainnya yang lebih kuantitatif
untuk memperoleh informasi tambahan.
 Data dari metode ini biasanya digunakan untuk meranking subjek kedalam kategori
rendah, sedang, dan tinggi untuk konsumsi makanan tertentu. Pada penelitian
epidemiologi, rangking ini biasanya dihubungkan dengan prevalensi atau angka
kematian dari populasi yang diteliti.
 Food score (skor makanan) dapat dihitung dari metode ini berdasarkan frekuensi
konsumsi dari kelompok makanan tertentu. Skor ini dapat dihubungkan dengan
keadaan sosial ekonomi (misalnya pendidikan dan pendapatan) sebagaimana vital
statistik, musim, geografi, dan sebagainya.
 Dengan sistim food score ini, perbandingan dari pola konsumsi dari berbagai
kelompik etnis dapat dibuat.
 Kadang-kadang, metode kuesioner frekuensi makanan ini digunakan untuk
mengkuantifikasi ukuran porsi yang biasa dikonsumsi dari jenis makanan tertentu
tampa atau dengan menggunakan food model atau fotograp.
 Modifikasi ini menghasilkan suatu data yang semikuantitatif frekuensi makanan.
Dengan data ini skor dari setiap zat gizi dapat dihitung dengan mengalikan
frekuensi porsi makanan yang dikonsumsi dan kandungan zat gizi dari satu porsi
makanan tersebut. Kandungan zat gizi ini dapat dilihat pada data komposisi bahan
makanan.
Metode ini agak berbeda dengan metode 24 h atau record karena yang diperoleh dari
metode ini adalah informasi kualitatif dari pola makan dalam waktu yang lama. Daftar
jenis makanan diberikan/dikemukakan dan pasien diminta memberi jawaban frekuensi
mengkonsumsi dari makanan tersebut apakah setiap hari, setiap minggu, setiap bulan,
atau setiap tahun (lihat contoh formulir). Metode ini dapat dilakukan dengan cepat baik
diisi sendiri oleh pasien (yang kooperatif) atau dengan wawancara. Disamping itu tidak
merepotkan pasien dibanding metode lainnya. Dari metode ini dapat diketahui
kebiasaan makan pasien dalam jangka waktu yang lama. Metode ini yang paling sering
digunakan dalam penelitian epidemiologi gizi.

Kelebihan dan Kekurangan FFQ


Kelebihan :
 Relative murah dan sederhana
 Dapat dilakukan sendiri oleh responden
 Tidak membutuhkan latihan khusus
 Dapat membantu untuk menjelaskan hubungan antara penyakit dan kebiasaan
makan

Kekurangan :
 Tidak dapat digunkan untuk mengukur intake zat gizi sehari
 Sulit mengembangkan kuesioner pengumpulan data
 Cukup menjemukan bagi pewawancara
 Perlu membuat percobaan pendahuluan untuk menentukan jenis bahan makanan
yang akan masuk dalam daftar kuesioner
 Respoden harus jujur dan mempunyai motivasi yang tinggi

Procedure for minimazing reponse bias and enhancing validity

Source of bias Solution


Ambiguous roel requirements of task Guarantee anominity/confidentially
definition Give clear instruction/examples
Emphasis scientific role
Specificity of desired responses Question wording
Multiple questions
Probe questions
Interviewer bias and unreability Interview traning
Standardized protocols
Interview techniques
Forgotting or telescoping Increase question length
Better instruction
Aided recall
Memory aids
Bounded recall
Response distortion Alert subject to problem
Recognition question
Diaries/calenders/time-line
Motivation Commitment agreement
Clear instruction
Bounded recall
Prompts/encouragement/ reinforment
Session feedback
Bogus pipeline
Sumber :Babor et al,1987
.

CONTOH FORMULIR FOOD FREQUENCY

Nama pasien: Tanggal:

Berapa kali anda mengkonsumsi makanan dibawah ini?


Jenis makanan Jumlah per Jumlah Jarang Tidak pernah
hari
per mggu
Nasi
Jagung
Ubi-ubian
Kentang
Roti

Ikan besar
Ikan kecil
Udang/shellfish lainnya
Daging
kambing/sapi/lainnya
Daging ayam
Jeroan/hati
Ikan kering

Telur
Tempe
Tahu
Kacang-kacangan
Susu
Ice-cream
Mentega

Sayuran daun hijau


Sayuran wana kuning
Sayuran lainnya
Buah-buahan
Permen
Kopi
Teh
Soft drink
Alkohol

Apakah ada makanan lainnya yang tidak tercantum diatas dan biasa dikonsumsi?

V. Uraian Tugas Mahasiswa :


Membaca materi ini dan juga materi FFQ yang ada dalam bahan bacaan utama dan
pendukung
Membahas jurnal yang diberikan
VI. Bahan Bacaan Utama :
VII. Bahan Bacaan Pendukung:
Sirajuddin, Mustamin,et al. Survei konsumsi pangan. Jakarta, ECG.2014
VIII. Ilustrasi kasus atau masalah kajian :
Mendiskusikan jurnal ”Validation of an Australian electronic food frequency
questionnaire to measure polysaturated
I. Sesi Perkuliahan ke : 9

II. Sasaran Pembelajaran :


1. Mahasiswa mengetahui tentang berbagai macam biomarker sebagai salah satu
pengukuran status gizi secara langsung
2. Mahasiswa mengetahui jenis nutrient, medium dan validitas dalam
menggunakan biomarker
3. Mahasiswa memahami langkah-lagkah dalam penggunaan
4. Mahasiswa mengetahui kelebihan dan kekurangan biomaker
5. Mahasiswa dapat memahami hal-hal yang harus dipertimbangkan sebelum
memutuskan menggunakan biomarker dalam penentuan status gizi masyarakat

III. Topik Kajian/Bahasan : Biomaker


1. Pengertian biomarker
2. Jenis-jenis biomarker serta kaitannya dengan lama/waktu pemeriksaan
3. Jenis nutrient, medium dan validitas
4. Kelebihan dan kelemahan biomarker
5. Langkah-langkah dalam pemeriksaan biomarker
6. Perbandingan biomarker dengan jenis pengukuran status gizi lainnya

IV. Deskripsi Singkat :


Biomarker adalah merupakan salah satu bentuk pengukuran langsung asupan
nutrient (non nutrient) untuk mengetahui tingkat keterpajanan jaringan tubuh
terhadap nutrient dan derivate biokimia nutrient, dimana pengukurannya dilakukan
lewat urine, darah, tinja dan jaringan tubuh seperti otot dan hati.
Biomarker ini dapat menunjukkan konsumsi jangka pendek (beberapa jam
hingga beberapa hari) maupun jangka panjang (beberapa minggu hingga beberapa
tahun).

Biomaker jangka pendek yang berkaitan dengan asupan makanan selama periode 1
– 2 hari sebelumnya meliputi :
 Ekskresi nitrogen,kalium,iodium,Vit C dalam urine
 Kadar vit B1,B2 dan C dalam serum
 Gas hydrogen dalam metana melalui napas (yang berhubungan dengan
asupan polisakarida bukan pati)

Biomarker jangka panjang meliputi :


 Komposisi jaringan adipose atau asupan lemak dalam membrane eritrosit
(asupan asam lemak yang spesifik selama periode 6 – 12 minggu
sebelumnya)
 Hemoglobin (asupan zat besi selama periode 3 bulan sebelumnya)
 Selenium dalam kuku jari kaki (asupan selama periode 6 – 12 bulan
sebelumnya)

Table berikut menyajikan informasi tentang rangkuman beberapa metode untuk


pengkajian pola makan di tingkat individu, kelebihan dan kekurangan setiap metode
tersebut. Dilanjutkan dengan table tentang skala waktu tentang biomarker dengan
asupan nutrient untuk dapat memberikan informasi yang berguna.
Kemampuan biomarker untuk bekerja dengan baik bergantung pada interaksi yang
rumit antara jumlah dan bentuk substansi yang terdapat dalam makanan, sementara
disisi lainnya juga bergantung pada absorpsi, penyimpanan, metabolism dan
ekskresi. Sebagi contoh Vit E memperlihatkan korelasi linear kurang lebih antara
kadarnya dalam darah dan makanan pada sejumlah besar asupan. Riboflalvin
terlihat dalam urine hanya sesudah kadarnya mencapai kejenuhan di dalam jaringan
dan setiap kelebihan vitamin ini akan dieksresikan ke dalam urine.
Biomaker dapat dipengaruhi oleh keadaan sakit, infeksi, infestasi parasit atau
pun penyakit. Penyakit campak, infeksi saluran pernapasan atas dan penyakit diare
cenderung menurunkan kadar retinol dalam darah. Infeksi cacing tambang akan
menimbulkna efek yang negative pada status zat besi dan keadaaan ini berarti
bahwa asupan zat besinya mungkin normal, tapi indicator zat besi menunjukkan
defisiensi besi.

Biomarker of intake

Nutrient Medium Validity


18
Energy D2O/H2 O Blood, urine,saliva excellent
Total fat No marker n.a
carbohydrates No marker except for sugar sugars
(sucrose)
Protein N in urine excellent
Essential fatty Cholesterylesters/phospholipids, good
acids ery membrane, fat tissue
Fiber Faeces (fiber + weight) fair
Alkali minerals urine excellent
(Na,K)
Mineral (se) Nails, erythrocyte good
Halide ions (Cl-, Urine excellent
I-,F-)
Water soluble
vitamins
Folate Serum, red cell Fair-good
Ascorbate Serum, buffycoat Fair-good
B-vitamins Plasma (concentration + enzyme Fair (?)in urine only at
(B1,B2,B6) activity),urine high intake
Fat-soluble
vitamins
Vit D Plasma 25-OH-vit D Only in absence of
sunlight exposure
Vit A Liver, Plasma/serum Liver, good : plasma only
at low intake
Carotenoids Plasma/serum Fair-good
Vit E Plasma/serum Fair
Kelebihan biomarker :
1. Sensitif untuk mengetahui asupan
2. Bisa digunakan untuk mengetahui asupan/keterpaparan jangka pendek dan
jangka panjang
3. Hasil yang diperoleh lebih akurat jika dibandingkan dengan pengukuran
konsumsi lainnya
4. Biaya yang digunakan lebih murah

Kelemahan :

1. Pemeriksaan biokimia hanya bisa dilakukan setelah timbulnya gangguan


metabolism
2. Membutuhkan biaya yang cukup mahal
3. Dalam melakukan pemeriksaan diperlukan tenaga ahli
4. Kurang praktis dilakukan di lapangan, hal ini karena pada umumnya
pemeriksaan laboratorium memerlukan peralatan yang tidak mudah dibawa
kemana-mana
5. Pada pemeriksaan tertentu specimen sulit diperoleh, misalnya penderita tidak
bersedia di ambil darahnya
6. Membutuhkan bahan dan peralatan yang lebih banyak dibandingkan dengan
pemeriksaan lainnya
7. Belum ada kesegaraman dalam memilih reference (nilai normal). Pada beberapa
reference niali normal tidak selalu dikelompokkan menurut kelompok umur yang
lebih rinci
8. Dalam beberapa penentuan pemeriksaan laboratoriummemerlukan peralatan
laboratorium yang hanya terdapat di laboratorium pusat, sehingga di daerah
tidak dapat dilakukan .

Berdasarkan keunggulan dan kelemahan biomarker diatas, maka pada penilaian status
gizi dalam masyarakat dengan menggunakan biomarker , sebaiknya memperlihatkan
hal-hal sebagai berikut :
1. Mudah dalam pengambilan specimen
2. Stabil dalam proses transportasi
3. Tidak terlalu mahal
4. Tidak memerlukan teknik laboratorium yang rumit
5. Hasil tidak dipengaruhi oleh masukan makanan yang baru dikonsumsi
6. Mudah diinterpretasikan
7. Mempunyai nilai lebih diluar pemeriksaan biokimia.
8.
Stage of biomaker collection

Biomaker (sensitivity to intake, time integration,etc

Medium (blood, urine,fat aspirate,


stools,toenails,hair,cheek cells,saliva,breast milk,etc

Collection (when,how often,time interval, materials,


subject preparation, sample identification)

Preparation (isolation of compartment of interest,


avoidance of chemical/microbiological degradation,
hemolysis,etc)

Storage (amount, materials, temperature monitoring,


time)

Analysis (procedure,
quality assurance and
control)

Report of result (data


analysis by
epidemiologist
Penggunaan biomarker untuk memvalidasi metode pengukuran konsumsi
lainnya.
Contoh di bawah ini menunjukkan adanya kesamaan hasil pengukuran terhadap
polyunsaturated fatty acid (PUFA) lewat biomarker dengan yang diperoleh dengan
menggunakan FFQ dan dietary records .
Berdasarkan grafik diatas terlihat bahwa hubungan antara FFQ dengan FA (fatty
acid) yakni r = 0,5, hal ini sama dengan hasil yang didapatkan dengan
menggunakan dietary records (r = 0,49). Ini menunjukkan bahwa FFQ dan dietary
records dapat digunakan untuk mengukur asupan fatty acid yang dikonsumsi 1 atau
2 tahun sebelumnya. Yang perlu diperhatikan saat menggunakan biomarker sebagai
indicator adalah bahwa pemilihan jenis biomarker yang digunakan harus sesuai
dengan waktu pengukuran intake yang digunakan pada pengukuran dengan
menggunakan FFQ, 25 h recalls dan sebagainya.

V. Uraian Tugas Mahasiswa :


1. Membaca materi diatas, serta yang ada dalam bahan bacaan utama dan bahan
bacaan penunjang
.
VI. Bahan Bacaan Utama :
VII. Bahan Bacaan Pendukung :
1. Bates et al. Biochemical markers of nutrient intake, in Margatts & Nelson 9eds):
Design concept in nutiritional epidemiology. Oxford university press. 1991
2. Hunter. Biochemical indicator od dietary intake. Willet nutritional epidemiology.
Oxford university press
3. Tworoger & Hankinson> Use of biomarker in epidemiologic studies : minimazing
the influence of measurement error in the study design and analysis. Cancer
causes control , 2006
4. Micheks Blanck et al. Laboratory issues : use of nutritional biomarkers. Journal of
nutrition,2003,
5. Supariasa,et al.Penilaian status gizi.EGC. 2002
6. Gibney,et al. Gizi Kesehatan Masyarakat, EGC 2008
VIII. Ilustrasi kasus atau masalah kajian :

Baca dan buat rangkuman chapter 9 Biochemcal Indicator of Dietary Intake ,


Nutritional epidemiology, Willet Walter.
I. Sesi Perkuliahan ke : 10 Penelitian dan pengamatan epidemiologi

II. Sasaran Pembelajaran :


1. Mahasiswa mengerti tujuan/sasaran penelitian epidemiologi
2. Mahasiswa mampu menyusun hipotesis dalam penelitian epidemiologi
3. Mahasiswa mempu menilai hipotesis yang telah dibuat
4. Mahasiswa memahami berbagai macam bentuk penelitian epidemiologi
5. Mahasiswa mampu melaksanakan penelitan epidemiologi
III. Topik Kajian/Bahasan :
1. Tujuan Penelitian Epidemiologi
2. Hipotesis dalam penelitian epidemiologi
3. Bentuk penelitian epidemiologi

Deskripsi Singkat

Tujuan Penelitian Epidemiologi

Pada dasarnya setiap kejadian selalu mempunyai kecenderungan diikuti oleh


peristiwa/kejadian berikutnya, yang secara alamiah akan membentuk suatu rantai
peristiwa secara berkesinambungan. Oleh karena itu penelitian epidemiologi
merupakan suatu proses tanpa akhir : dimulai dari pengamatan, hipotesis,uji hipotesis
disertai pengamatan baru, modifikasi hipotesis dengan mempertajam maupun
meningkatkan hipotesis, atau kemungkinan hipotesis ditolak, dilakukan pengamatan
lanjut dan kemudian menghasilkan hipotesis baru.

Tujuan penelitian epidemiologi dapat diarahkan pada dua sasaran utama,yakni :


(1) mencari faktor penyebab/faktor risiko terjadinya penyakit atau gangguan kesehatan
tertentu (2) menentukan status kesehatan dan situasi penyakit dalam masyarakat yang
meliputi penjelasan pola penyakit di suatu tempat, menggambarkan riwayat alamiah
suatu penyakit serta memperoleh informasi dalam penyusunan upaya-upaya bidang
kesehatan.
a. Penelitian pengamatan penyebab/risiko , ini bertujuan untuk menilai secara
kuantitatif serta untuk menilai/memikirkan hubungan antara keadaan personel
pada kondisi tertentu dengan besarnya faktor risiko/pengaruh penyebab.
 Menentukan keadaan karakteristik mana yang lebih bersifat faktor penyebab
atau faktor risiko serta menilai tingkat pengaruhnya dan peranannya masing-
masing
 Untuk memberikan dasar pemikiran terhadap faktor risiko mana yang cukup
berperan dalam mempersiapkan suatu penyaringan
 Memberikan gambaran tentang cara dan proses kejadian penyakit serta cara
mengatasi hubungan sebab akibat untuk usaha pencegahan serta
mengurangi peranan penyebab
 Dapat memberikan gambaran tentang hasil yang mungkin diperoleh (out put)
suatu percobaan klinis maupun masyarakat.

b. Penilaian risiko individu


Walaupun risiko dapat dikatakan merupakan sifat karakteristik individu pada
situasi tertentu, tetapi risiko tidak mudah diukur secara langsung (tidak semudah
mengukur tekanan darah). Dengan melakukan pengamatan pada satu individu
saja, hanya dapat memberikan gambaran kejadian yang diharapkan, apakah
benar terjadi atau tidak. Untuk dapat menilai besarnya kemungkinan untuk terjadi
dan untuk tidak terjadi, harus dilakukan berulang-ulang, dan hal seperti ini tidak
mungkin. Dengan demikian dilakukan pengamatan terhadap lebih dari seorang
atau kelompok individu sehingga sifat kelompok dan besarnya risiko serta akibat
yang terjadi dapat dinilai dan diukur.

Hipotesis dalam penelitian Epidemiologi

Penyusunan Hipotesis

Hipotesis adalah suatu teori tentative yang masih perlu diuji kebenarannya. Berhasil
tidaknya suatu penelitian tergantung pada baik buruknya hipotesis yang dibuat. Dalam
fase dini siklus penelitian epidemiologi, hipotesis dibuat untuk mencari penyebab dan
hubungan sebab akibat yang dapat menerangkan penyebaran penyakit dalam populasi
tertentu. Ada 4 cara mengembangkan hipotesis dalam penelitian epidemiologi :

a. Metode Perbedaan
Hipotesis ini didasarkan pada adanya perbedaan yang jelas pada kelompok yang
menderita terhadap kelompok yang tidak menderita, mungkin merupakan faktor
penyebab terjadinya penyakit. Kesulitan yang dijumpai pada penyusunan
hipotesis dengan cara ini bukan kesulitan dalam mencari faktor yang ada pada
kelompok tersebut, melainkan karena banyaknya faktor yang memenuhi syarat,
dapat disusun banyak hipotesis.
b. Metode Persamaan
Hipotesis ini didasarkan pada adanya persamaan pada keadaan yang selalu
dijumpai pada peristiwa penyakit tertentu, mungkin merupakan faktor
penyebab/faktor risiko timbulnya penyakit tersebut.
c. Variasi bersama
Hipotesis ini meliputi pencarian berbagai faktor yang frekuensi atau kekuatannya
bervariasi sesuai dengan frekuensi penyakit. Pada metode ini, peranan faktor
penyebab/risiko yang bersifat jamak sangat menentukan, terutama bila lebih dari
satu faktor risiko secara bersama-sama dapat mendorong/mempermudah
terjadinya penyakit tertentu.
d. Metode analogi
Hipotesis ini didasarkan pada adanya persamaan suatu peristiwa penyakit
dengan penyakit lain yang sudah dikenal dengan jelasmmungkin mempunyai
persamaan penyebab, maupun faktor risiko atau persamaan proses kejadian
penyakit.

Ketentuan dalam penyusunan hipotesis

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan hipotesis :

 Hipotesis umumnya disusun berdasarkan data/observasi klinis,laboratorium, data


dekriptif dan lain-lain
 Makin kuat hubungan statistic hasil pengamatan, makin kuat pula suatu hipotesis,
artinya makin besar kemungkinan bahwa hubungan tersebut adalah hubungan
sebab akibat
 Perubahan frekuensi penyakit dalam suatu periode tertentu sangta berguna dalam
penyusunan hipotesis terutama bila waktunya relative pendek
 Kasus yang bersifat khusus atau kasus terisolir harus mendapatkan perhatian yang
khusus pula dalam menegakkan hipotesis

Memilih dan menilai hipotesis

Pada umumnya setiap pengamatan dapat memberikan kemungkinan menegakkan lebih


dari satu hipotesis sehingga kita harus memilih dan menentukan hipotesis yang lebih
memenuhi ketentuan yang berlaku.

a. Nilai suatu hipotesis berbanding terbalik dengan kemungkinan (alternative) lain


yang dapat diterima
 Makin besar jumlah hubungan (asosiasi) yang terpisah yang dapat
menerangkan hubungan antara faktor yang dicurigai dengan penyakit yang
diteliti, semakin sedikit jumlah alternative lain yang dapat diterima.
 Makin kuat hubungan antara dua variable dimana keduanya mempunyai
hubungan kuat dengan penyakit yang diteliti, makin kecil nilainya dalam
penyusunan hipotesis secara terpisah (independen). Umumnya variable
pekerjaan dan tempat tinggal yang sangat erat hubungannya satu dengan
yang lain, hubungan peristiwa penyakit dengan variable yang satu akan besar
kemungkinannya berhubungan pula dengan variable lainnya.
 Hubungan dengan variable tertentu seperti pekerjaan dan agama memiliki
nilai yang lebih berarti dibandingkan dengan variable umur dan jenis kelamin
mengingat sifat lingkungan yang berpengaruh atau intensitas keterpaparan
yang ada hubungannya dengan pekerjaan dan agama lebih sedikit
disbanding variable yang berhubungan dengan umur dan jenis kelamin.
b. Dalam menilai suatu hipotesis yang sedang disusun, sangat penting menelusuri
keterangannya yang berhubungan dengan demografi, geografi, perilaku
penduduk serta keterangan lain yang sesuai dengan hipotesis tersebut
c. Hipotesis tidaklah harus selalu sesuai dengan semua pengamatan yang ada. Hal
ini dapat terjadi karena :
 Adanya penyebab jamak artinya lebih dari satu penyebab yang berhubungan
dengan kejadian suatu penyakit tertentu, sedangkan di lain pihak, perhatian
para epidemiologi biasanya hanya ditujukan pada satu penyebab tertentu
sehingga dapat terjadi penyebab yang sebenarnya tidak tercakup pada
penelitian yang akan dilaksanakan
 Adanya klasifikasi penyakit yang sangat umum atau bersifat kasar seperti
anemia. Pada dasarnya gangguan kesehatan yang diamati merupakan gejala
yang timbul yang disebabkan oleh berbagai macam jenis penyakit yang tidak
dibedakan secara rinci pada penelitian yang dilakukan.

Bentuk Penelitian Epidemiologi

Salah satu prinsip utama dalam melakukan penelitian agar hasil yang didapatkan
memang sesuai dengan kejadian yang sebenarnya adalah dengan menyusun rencana
penelitian sebaik mungkin sehingga konklusi yang dibuat kembali pada populasi yang
merupakan asal subjek penelitian (pemilihan sampel dilakukan sedemikian rupa agar
representative untuk populasi yang menjadi asal tersebut).

Filosofi umum untuk menghindari bias ketika menginterpretasikan suatu korelasi


pajanan-penyakit ini diwujudkan ke dalam pelaksanaannya dengan menggunakan
teknik yang tepat pada tahap disain maupun pada tahap analisis dalam sebuah
penyelidikan epidemiologi. Disain yang dibuat dengan cermat dapat menghindari
banyak bias, dan bias yang potensial lainnya dapat disesuaikan atau dikontrol dalam
analisis statistic.

Pemilihan desain penelitian secara khas ditentukan oleh sifat permasalahan riset
dan terus berkembang hingga saat ini dalam menangani permasalahan tertentu.
Pencarian sebuah hipotesis sering kali pada awalnya dapat diinvestigasi dengan
menggunakan pendekatan ekologi. Sebagai alternative lain bisa juga melalui penelitian
cross-sectional, kohort serta case control.

Penelitian Ekologi

Penelitian ekologi ini sering mengambil bentuk perbandingan antara kawasan yang satu
dengan kawasan lainnya dalam sebuah negara atau antara negara yang satu dengan
lainnya, dan bisa meliputi perbandingan sepanjang waktu. Perbandingan geografis
seringkali berguna untuk memperoleh petunjuk tentang peranan faktor makanan dan
risiko penyakit. Sebagai contoh, angka mortalitas karena penyakit jantung koroner dan
jumlah kalori dari kandungan lemak dalam makanan dengan menggunakan negara
sebagai data point telah diselidiki dalam berbagai penelitian epidemiologi. Penelitian ini
menimbulkan beberapa penelitian kohort terhadap korelasi lemak serta gajih hewan
dengan risiko penyakit jantung koroner. Disamping itu juga terdapat sejumlah penelitian
tentang korelasi lemak pangan dan mortalitas kanker payudara, dan korelasi antara
lemak pangan dan mortalitas kanker kolon, dengan menggunakan metode ekologi.

Analisis ekologi dapat menyangkut data insidensi, prevalensi maupun data mortalitas,
walaupun yang paling sering digunakan adalah data mortalitas mengingat data ini
tersedia secara umum. Salah satu masalah yang mendasar pada analisis pengamatan
ekologi adalah peneliti tidak mengetahui hubungan atau interaksi antara penyebaran
faktor risiko dengan penyebaran penyakit pada kelompok yang dianalisis.

Pada dasarnya pengamatan ekologi dalam dua bentuk utama :

 Ecologic comparison study : analisis didasarkan pada perbandingan sederhana


besarnya frekuensi kasus (kejadian) antara sejumlah penduduk populasi (k)
pada satu waktu tertentu atau selama periode waktu tertentu.
 Ecologic trend : yakni pengamatan kecenderungan (trend) jumlah kasus/kejadian
pada satu atau lebih kelompok populasi dalam suatu jangka waktu tertentu. Pada
bentuk ini kita membuat perkiraan besarnya frekuensi kejadian pada semua
kelompok selama masa pengamatan.

Pengamatan ecology lebih attractive jika kita membandingkan data dari sumbe
ryang cukup besar (umpamanya data dari sensus atau data statistic vital) untuk
mendapatkan informasi, baik informasi tentang faktor yang diamati maupun tentang
frekuensi penyakit pada populasi yang sama. Dalam pengamatan seperti ini dapat
timbul kesalahan (bias) dalam pengambilan kesimpulan yang dikenal dengan
ecological fallacy. ecological fallacy adalah kesalahan yang terjadi dengan
mengasumsikan bahwa berdasarkan dua atau lebih keadaan (karakteristik) tampak
pada satu kelompok secara bersama-sama, maka keadaan tersebut dianggap
mempunyai hubungan (asosiasi).contoh, bila sebagian besar dari suatu populasi
mempunyai karakteristik tertetnu dan di lain pihak sebagian besar populasi tersebut
juga menderita penyakit tertentu, maka timbul dugaan bahwa karaktersitik tersebut
mempunyai hubungan dengan penyakit tersebut. Anggapan ini mungkin benar,
tetapi juga kemungkinan besar salah karena kemungkinan di tempat lain atau pada
populasi lain penyakit tersebut juga tinggi tanpa karakteristik yang sama. Atau
kemungkinan lain bahwa ada kelompok penduduk lainnya yang memiliki
karakteristik yang sama, tetapi tidak menderita penyakit tertentu.

Untuk mengatasi serta mengurangi kesalahan yang terjadi, maka berbagai nilai
dan indicator ekologi seperti angka kejadian penyakit, data
demografi,sosial,pertanian atau indicator lingkungan, semuanya dengan mudah
dapat digunakan untuk generalisasi hipotesis serta uji dugaan yang timbul. Sejumlah
temuan epidemiologi merupakan hasil yang didasarkan pada penggunaan indicator
ekologi.

Penelitian cross-sectional
Penelitian ini sering disebut penelitian prevalensi penyakit dan sekaligus dengan
prevalensi penyebab/faktor risiko. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan
antara faktor risiko terhadap akibat yang terjadi dalam bentuk penyakit atau keadaan
(status) kesehatan tertentu dalam waktu bersamaan. Penelitian ini memberikan
informasi tentang besarnya prevalensi penyakit dalam suatu populasi, tetapi tidak dapat
menerangkan hubungan sebab akibat serta faktor risiko. Walaupun demikian, pola
penyebaran frekuensi dapat memberikan gambaran serta menuntun kita kea rah suatu
hipotesis hubungan sebab akibat atau faktor penyebab yang dapat dianalisis melalui
pengamatan lanjutan.

Cross-sectional study

Defined population

Gather data on exposure and disease

Exposed; Exposed; Not exposed; Not exposed;


have disease do not have disease have disease do not have disease

HNE 24806 / 2009 4

a) Kegunaan pengamatan potong lintang


Suatu kegunaan bentuk pengamatan ini adalah kemampuannya dalam
mengemukakan data deskriptif yang menggambarkan keadaan dalam masyarakat
secara umum serta luasnya permasalahan tersebut sehingga dapat digunakan dalam
penilaian upaya pelayanan kesehatan, serta untuk menyususn kebijaksanaan dal
program kesehatan unutk masa yang akan dating. Hal ini didukunga pula oleh sifat
pengamatan potong lintang yang memudahkan pengumpulan data dalam waktu yang
relative singkat.
Kegunaan lainnya ialah bahwa walaupun hasilnya tidak dapat digunakan unutk
mengukur hubungan sebab akibat serta pengaruh faktor penyebab, tetapi dapat
memberikan gambaran tentang arah dan sasaran penelitian selanjutnya. Dengan
demikian, maka hasil pengamatan potong lintang dapat menjadi dasar keterangan
(beselini information) untuk merancang penelitian kohor serta memudahkan untuk
memilih (identifikasi) kasus maupun control dalam penelitian kasus control.
b) Prinsip pelaksanaan pengamatan potong lintang
Seperti halnya pada berbagai pengamatan lainnya, pengamatan potong lintang
hasur mempunyai tujuan yang jelas, dana dan fasilitas yang tersedia serta pada
keadaan yang bagaimana hasil penelitian akan mempunyai daya guna (dibutuhkan).
Kemudian ditentukan penduduk yang memunkinkan untu diteliti sesuai dengan tujuan
penelitian. Selanjutnya ditentukan pula jenis data yang akan dikumpulkan serta
standarisasi pengukuran variable, termasuk penentuan variable sebagai faktor risiko,
faktor efek, dan faktor risiko yang tidak diteliti dan perlu dikendalikan pengaruhnya.
Dalam menentukan sampel perlu diperhatikan besarnya sampel serta syarat
yang dibutuhkan, terutama besarnya subjek dengan faktor risiko yang dipelajari
dibandingkan terhadap subjek dengan faktor risiko yang dikontrol. Juga perlu
diperhatiakan keuntungan dalam penggunaan sampel seperti biaya yang terbatas,
angka keikutsertaan yang tinggi, lebih cepat dan dapat meningkatkan kualitas data.
Namun demikian,ada kemungkinan tidak menggunakan sampel bila dianggap lebih baik
mengambil seluruh populasi.
Angka keikutsertaan harus dapat diperhatikan khusus karena bentuk penelitian
adalah survei prevalensi sehingga bila angka keikutsertaan rendah pada kelompok
penduduk tertentu terutama mereka memiliki faktor risiko yang diamati, akan berakibat
fatal pada hasil penelitian. Untuk penelitian potong lintang, jenis variablenya dapat
bersifat variable kategori atau sebagai variable kontinu.

b). Kekurangan pengamatan potong lintang


salah satu kekurangan pengamatan ini adalah keterbatasannya (sangat selektif) dalam
memberikan keterangan tentang masalah yang telah lama berlalu. Biasanya
keterangan pemaparan diperoleh bersamaan dengan keterangan penyakit.
Penggolongan orang secara serentak menurut pemaparan maupun menurut penyakit
merupakan ciri khas dari cross sectional. Dengan demikian dijumpai terjadinya
pembatasan selektif bagi mereka yang mengalami peristiwa dan tetap diamati sebagai
penderita, walaupun yang sebenarnya sebagian diantara mereka telah meninggal dan
sebagian sudah sembuh. Kelemahan lainnya adalah sulit digunakan untuk perhitungan
besarnya risiko secara akurat, sehingga tidak bisa digunakan untuk menilai hubungan
sebab akibat (causal effect).
Biasanya dalam penelitian cross sectional, variable yang diamati relative lebih banyak,
sehingga dibutuhkan subjek penelitian yang besar. Tidak bisa digunakan untuk penyakit
yang jarang dijumpai dalam masyarakat, mengingat sifatnya yang merupakan
pengamatan prevalensi penyakit. Dan juga tidak bisa digunakan untuk mempelajari sifat
dan perjalanan penyakit dalam masyarakat.
Penelitian case control

Penelitian kohort.
I. Sesi Perkuliahan ke : 10…..Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi
(SKPG)
II. Sasaran Pembelajaran :
1. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang ruang lingkup ketahanan pangan
2. Mahasiswa memahami indicator ketahanan pangan serta dapat menetukan
status ketahanan pangan berdasarkan data yang ada di suatu daerah
3. Mahasiswa memahami prinsip penanggulangan pangan
4. Mahasiswa memahami langkah-langkan/tindakan dalam penanganan kerawanan
pangan
5. Mahasiswa mengetahui komponen dalam system kewaspadaan pangan dan gizi
III. Topik Kajian/Bahasan :
a. Konsep Ketahanan Pangan
b. Indikator Sistem Kewaspadaan Pangan dan Giz
c. Prinsip penanggulangan masalah pangan
d. Penanganan kerawanan pangan
e. KOmponen SKPG
IV. Deskripsi Singkat :
A. Pendahuluan
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan
merupakan hak asasi bagi setiap rakyat indonesia. Pemenuhan pangan sangat
penting sebagai komponen dasar mewujudkan sumber daya manusia yang
berkualitas dalam mendukung pembangunan nasional. Oleh karena itu, upaya
untuk memenuhi kecukupan pangan merupakan kerangka dasar dalam
pembangunan nasional dan diharapkan mampu mendorong upaya
pembangunan sector lainnya.
Untuk mengetahui kondisi pangan dan gizi di suatu daerah, maka sangat
penting untuk dilakukan pemanatauan terhadap pangan dan gizi tersebut.
Pemantauan ini dilakukan dengan menganalisis Sistem Kewaspadaan Pangan
dan Gizi (SKPG), yakni serangkaian proses untuk mengantisipasi kejadian rawan
pangan dan gizi mellaui pengumpulan, pemprosesan, penyimpanan, analisis dan
penyebaran informasi situasi pangan dan gizi. Penerapan SKPG sampai saat ini
masih perlu sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Pemmerintah Nomor 38
Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintah daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kota dan Kabupaten, dimana
sebagian aspek-aspek penanganan kerawanan pangan merupakan urusan
daerah.

Kerawanan pangan di defenisikan sebagai kondisi tidak tersedianya pangan


yang cukup bagi individu/perorangan untuk dapat hidup sehat, aktif,produktif
secara berkenajutan. Disamping itu kerawanan pangan juga diartikan sebagai
kondisi dimana rumah tangga (anggota rumah tangga) mengalami kurang gizi
sebagai akibat tidak cukupnya ketersediaan pangan (physical unavailability of
food), dan atau ketidakmampuan rumah tangga dalam mengakses pangan yang
cukup, atau apabila konsumsi makanannya (food intake) berada dibawah jumlah
kalori minimum yang dibutuhkan. Sedangkan ketahanan pangan menurut
Undang-undang pangan nomor 18 tahun 2012 di defenisikna sebagai kondisi
terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin
dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat,aktif dan produktif
serta berkelanjutan.
Figure…..Food insecurity,malnutrition and hunger are deeply interrelated
phenomena
Sumber : FAO, 2015

B. Indikator Sistem Kewaspaan pangan dan Gizi


Situasi pangan dan gizi suatu daerah pada kegiatan SKPG, secara garis besar
dibagi menjadi dua komponen, yaitu situasi pangan dan situasi gizi. Situasi
pangan mencakup dua pembahasan, yaitu aspek ketersediaan dan aspek akses.
Aspek ketersediaan berkaitan dengan kenaikan atau penurunan produksi bahan
pangan yang berpengaruh pada kecukupan konsumsi bahan pangan.
Sedangkan aspek akses berkaitan dengan fluktuasi harga pangan yang
berpengaruh pada daya beli masyarakat untuk mengakses bahan pangan
tersebut. Situasi gizi suatu masyarakat berkaitan dengan kondisi kesehatan
balita, dimana berpengaruh pad atumbuh kembang balita. Situasi tersebut
menggambarkan kondisi kecukupan pangan suatu daerah dan potensi terjadinya
ketidakcukupan pangan.
1. Analisis SKPG Bulanan
a. Ketersediaan Pangan
Indikator yang digunakan pada aspek ketersediaan adalah luas tanam
dan luas puso dari empat komoditas, yaitu padi,jagung, ubi kayu dan ubi
jalar. Cara perhitungannya adalah dengan membandingkan persentasi
luas tanam dan luas puso pada bulan berjalan dibandingkan dengan rata-
rata luas tanam bulan bersangkutan lima tahun terakhir. Nilai persentase
yang dihasilkan menunjukkan tingkat rawan pangan wilayah tersebut.

N Indikator Persentasi (r) Bobot


o (%)
1 Persentase luas tanam bulan 1= Aman
berjalan dibandingkan dengan r ≥ 5
2= Waspada
rata-rata luas tanam bulan
-5 < r < 5
bersangkutan 5 tahun terakhir
- r < -5 3 = Rawan

2 Persentase luas puso bulan r < -5 1= Aman


berjalan dibandingkan dengan
5 ≤ r < -5 2 = Waspada
rata-rata luas puso bulan
bersangkutan 5 tahun terakhir
r>5 3 = Rawan

b. Akses Pangan
Aspek akses pada analisis SKPG bulanan menggunakan indicator
fluktuasi delapan komoditas harga pangan. Cara perhitungannya adalah
dengan membandingkan persentasi rata-rata harga bulan berjalan
delapan komoditas dengan rata-rata harga tiga bulan sebelumnya.
Berdasarkan nilai persentase yang dihasilkan akan menunjukkan tingkat
rawan pangan wilayah tersebut.

N Indikator Persentasi (r) Bobot


o (%)
1 Persentase rata-rata harga 1= Aman
bulan berjalan komoditas beras r < 5
2= Waspada
dibandingkan dengan rata-rata
5≤ r ≤ 20
harga tiga bulan terakhirr
r > 20 3 = Rawan

2 Persentase rata-rata harga r < 5 1= Aman


bulan berjalan komoditas jagung
5 ≤ r ≤ 15 2 = Waspada
dibandingkan dengan rata-rata
harga 3 bulan terakhir
r > 15 3 = Rawan

3 Persentase rata-rata harga r < 5 1= Aman


bulan berjalan komoditas ubi
5 ≤ r ≤ 15 2 = Waspada
kayu dibandingkan dengan rata-
rata harga 3 bulan terakhir
r > 15 3 = Rawan

4 Persentase rata-rata harga r < 5 1= Aman


bulan berjalan komoditas ubi
5 ≤ r ≤ 15 2 = Waspada
jalar dibandingkan dengan rata-
rata harga 3 bulan terakhir
r > 15 3 = Rawan

5 Persentase rata-rata harga r < 5 1= Aman


bulan berjalan komoditasgula
5 ≤ r ≤ 15 2 = Waspada
dibandingkan dengan rata-rata
harga 3 bulan terakhir
r > 15 3 = Rawan
6 Persentase rata-rata harga r < 5 1= Aman
bulan berjalan komoditas ubi
5 ≤ r ≤ 15 2 = Waspada
jalar dibandingkan dengan rata-
rata harga 3 bulan terakhir
r > 15 3 = Rawan

7 Persentase rata-rata harga r < 5 1= Aman


bulan berjalan komoditas ubi
5 ≤ r ≤ 15 2 = Waspada
jalar dibandingkan dengan rata-
rata harga 3 bulan terakhir
r > 15 3 = Rawan

8 Persentase rata-rata harga r < 5 1= Aman


bulan berjalan komoditas ubi
5 ≤ r ≤ 15 2 = Waspada
jalar dibandingkan dengan rata-
rata harga 3 bulan terakhir
r > 15 3 = Rawan

c. Aspek Pemanfaatan Pangan


Aspek ketiga yaitu aspek pemanfaatan, menggunakan indicator
kesehatan balita. Ada tiga indicator yang digunakan untuk analisis SKPG
bulanan,yaitu sebagai berikut :

N Indikator Persentasi (r) Bobot


o (%)
1 Persentase balita yang naik BB 1= Aman
(N) dibandingkan jumlah balita r > 90
2= Waspada
ditimbang (D)
80 ≤ r ≤ 90
< 80 3 = Rawan

2 Persentase balita yang BGM r < 5 1= Aman


dibandingkan jumlah balita
5 ≤ r ≤ 10 2 = Waspada
ditimbang (D)
r > 10 3 = Rawan

3 Persentase balita yang tidak r < 10 1= Aman


naik berat badannya dalam 2
10 ≤ r ≤ 20 2 = Waspada
kali penimbangan berturut-turut
(2T) dibandingkan jumlah balita
r > 20 3 = Rawan
ditimbang (D)

2. Analisis SKPG Tahunan


a. Aspek ketersediaan
Situasi pangan dan gizi pada aspek ketersediaan pangan tahunan
diketahui berdasarkan angka rasio ketersediaan pangan. Ini diperoleh
dengan menghitung ketersediaan pangan serealia per kapita per hari
dibandingkan nilai konsumsi normative (300 gram)
 Nilai konsumsi normative didasarkan pada pola konsumsi pangan di
Indonesia yang menunjukkan bahwa hampir 50% dari kebutuhan total
kalori berasal dari serealia. Standar kebutuhan kalori per hari per
kapita adalah 2000 Kkal, dan mencapai 50% kebutuhan kalori dari
serealia dan umbi-umbian (menurut angka Pola Pangan Harapan),
maka seseorang harus mengkonsumsi kurang lebih 300 gr serealia
per hari. Oleh karena itu dalam analisis ini, dipakai 300 gram sebagai
nilai konsumsi normative (konsumsi yang direkomendasikan).

Indikator NIlai (r) Bobot Warna

Rasio antara r > 1,14 1 Hijau


ketersediaan
0,90 < r ≤ 1,14 2 Kuning
dibandingkan dengan
konsumsi normatif
r < 0,90 3 Merah
b. Aspek Akses Pangan
Aspek akses pangan dinilai dengan pendekatan persentase KK Pra-KS
dan KS-1 alasan ekonomi berdasarkan data setahun terakhir.

Indikator Persentase (r) % Bobot Warna

% Pra sejahtera dan r < 20 1 Hijau


sejahtera I
20 ≤ r < 40 2 Kuning

r ≥ 40 3 Merah

c. Aspek pemanfaatan pangan


Indikator status gizi balita yang dinilai dengan prevalensi gizi kurang pada
balita di masing-masing yang dikumpulkan sekali setahun melalui
kegiatan Pemantauan Status Gizi (PSG).

Indikator Persentase (r) % Bobot Warna

Prevalensi gizi kurang r < 15 1 Hijau


pada baliya
15 ≤ r≤ 20 2 Kuning

r > 20 3 Merah

C. Prinsip Pencegahan dan Penanggulangan masalah pangan


Prinsip Pencegahan Masalah Pangan, diselenggarakan untuk menghindari
terjadinya masalah pangan, ini dilakukan dengan :
1. Memantau, menganalisis dan mengevaluasi ketersediaan pangan
2. Memantau, menganalisis dan mengevaluasi faktor yang mempengaruhi
ketersediaan pangan
3. Merencanakan dan melaksanakan program pencegahan masalah pangan

Prinsip Penanggulangan Masalah Pangan, diselenggarakan untuk


menanggulangi terjadinya kelebihan pangan,kekurangan pangan dan atau
ketidak mampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan
pangan.Penanggulangan ini dilakukan dengan cara :
1. Pengeluaran pangan apabila terjadi kelebihan pangan
2. Peningkatan produksi dan/atau pemasukan pangan apabila terjadi
kekurangan pangan
3. Penyaluran pangan secara khusus apabila terjadi ketidakmampuan rumah
tangga dalam memenuhi kebutuhan pangan
4. Melaksanakan bantuan pangan kepada penduduk miskin.

Kelebihan Pangan (wilayah)

Terjadinya kelebihan pangan pada suatu wilayah disebabkan karena tingginya produksi
pangan yang tidak disertai dengan solusi :

1. Pemasaran dan transportasi


2. Lumbun pangan
3. Tunda jual
4. LUEP/LPG
5. Manajemen cadangan makanan
6. Agroindustri
7. Perencanaan areal
8. Kelebihan dari pasokan luar

Kekurangan Pangan (wilayah), dapat terjadi karena :

1. Kegagalan produksi pangan (iklim,hama,penyakit)


2. Rendahnya ketersediaan pangan dari produksi setempat maupun pasokan dari
luar
3. Gangguan distribusi karena kerusakan sarana dan prasarana serta keamanan
distribusi
4. Terjadinya bencanan alam (banjir,longosr,gempa,dan lain-lain)
5. Gangguan kondisi social
Ketidak mampuan akses pangan (rumah tangga), disebabkan karena:

 Kekurangan yang bersifat fisik yakni adanya kendala pada system distribusi,
rusaknya sarana dan prasarana transportasi, isolasi daerah daln lain-lain
 Kekurangan yan bersifat ekonomi : penurunan daya beli masyarakat/individu
(naiknya harga, rendahny apendapatan, kesempatan kerja yang terbatas)
menyebabkan pangan tidak terjangkau
 Kekurangan yang bersifat sosial : adanya konflik sosial, adat/kebiasaan buruk,
rendahnya pendidikan/pengetahuan, kurangnya perhatian pemerintah local serta
kurang aktifnya kelembagaan local.

D. Penanganan Kerawanan Pangan

Penanganan kerawanan pangan dapat dilakukan dalam 3 tahap :

1. Antisipasi : Pencegahan sebelum/pra rawan pangan


2. Tanggap darurat : saat terjadi rawan pangan atau bencana atau disebut tanggap
darurat (emergency relief)
3. Rehabilitas : Penanggulangan pasca rawan pangan atau bencana (rehabilitation)

E.Komponen SKPG
KOMPONEN SKPG

Sistem ANALISIS Penyebaran


Informasi BERKALA informasi
Dini SIDI SITUASI PG (JIPG)

Kewaspadaan dini terhadap Perencanaan program Penyebaran informasi


perubahan situasi pangan pangan dan gizi jangka pangan dan gizi bagi
dan gizi menengah dan panjang pihak yang terkait

D.
6. Daya beli keluarga 2. Harga pangan 1. Ketersediaan pangan
di masyarakat

Distribusi
5. Pendapatan 7. Ketersediaan pangan keluarga
keluarga
3. Tingkat pendidikan

11. Jumlah ART


4. Kesempatan

Produksi/impor bahan pangan


STATUS
kerja

GIZI

9. Kebersihan lingkungan, 10. Akses ke pelayanan


higiene perorangan kesehatan

8. Pola Asuh/Perawatan Ketersediaan Pelayanan


anggota keluarga kesehatan

V. Uraian Tugas Mahasiswa :


VI. Bahan Bacaan Utama :
Petunjuk pelaksanaan system kewaspadaan pangan dan gizi, Kementerian
Pertanian, 2013
VII. Bahan Bacaan Pendukung :
Global Food Security, Strategic Plan 2011 – 1016. www.foodsecurity.ac.uk

VIII. Ilustrasi kasus atau masalah kajian


I. Sesi Perkuliahan ke : 11 - 12 Surveilans Gizi

II. Sasaran Pembelajaran :


1. Mahasiswa memahami tentang konsep dan tujuan surveilans
2. Mahasiswa memahami tentang surveilans gizi
3. Mahasiswa mengerti tentang manajemen surveilans gizi
4. Mahasiswa mampu menerapkan indicator surveilans gizi dalam menilai
permasalahan gizi
5. Mahasiswa mengetahui sumber-sumber data surveilans gizi
III. Topik Kajian/Bahasan :
1. Konsep dan tujuan surveilans
2. Sistem Surveilans Gizi
3. Tujuan Surveilans gizi
4. Manfaat surveilans gizi
5. Manajemen survailans gizi
6. Indikator keberhasilan surveilans gizi
7. Sumber data surveilans gizi
IV. Deskripsi Singkat :
1. Pengertian Surveilans dan tujuan surveilans
Berdasarkan defenisi dari WHO, surveilans adalah proses pengumpulan,
pengolahan, analisis daninterpretasi data secara sistematik dan terus menerus
serta penyebaran informasikepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil
tindakan, sehingga surveilans epidemiologi pada prinsipnya adalah kegiatan yang
dilakukan secara kontinyu yang dimulai dari kegiatan pengumpulan data sampai
pada diseminasi informasi untuk melakukan tindakan (surveillance for
actions),sehingga aktivitas penting surveilans yang harus sustainable adalah :
- Proses pengumpulan data epidemiologi secara sistematis sebagai aktifitas
rutin
- Pengolahan dan analisa serta interpretasi data sehingga menghasilkan
informasi epidemiologi
- Penggunaan informasi untuk menentukan tindakan perbaikan yang perlu
dilakukan atau peningkatan program dalam menyelesaikan masalah.
Jadi surveilans berbeda dengan pencatatan dan pelaporan karena dalam
surveilans memiliki substansi dasar yakni: Jaringan kerja yang berkesinambungan,
definisi kasus yang jelas dan mekanisme pelaporannya, sistem komunikasi yang
efektif, pengetahuan epidemiologi dasar, dukungan laboratorium serta umpan balik
dan respon yang cepat dan efektif

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, setiap kegiatan surveilans yang


dilakukan harus memililki tujuan yang jelas. Pada prinsipnya Surveilans bertujuan
memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan populasi, sehingga
penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat dilakukan respons
pelayanan kesehatan dengan lebih efektif.Secara spesifik, tujuan khusus surveilans
epidemiologi yang diatur oleh pemerintah melalui surat keputusan menteri
kesehatan (KMK No. 1116/MENKES/SK/VIII/2003) adalah untuk:
1. Mengamati kecenderungan dan memperkirakan besar masalah kesehatan
2. Mendeteksi serta memprediksi adanya Kejadian Luar Biasa (KLB)
3. Mengamati kemajuan suatu program pencegahan dan penanganan masalah
kesehatan yang dilakukan
4. Memperkirakan dampak program intervensi yang ada
5. Mengevaluasi program intervensi
6. Mempermudah perencanaan program kesehatan
2. Sistem Surveilans Gizi
Sistem surveilans gizi merupakan sebuah sistem yang dikordinasikan oleh institusi
terpusat, yang mengumpulkan data primer yang representatif pada interval yang
berulang terhadap indikator-indikator gizi dan faktor-faktor yang berkaitan dengan
masalah gizi, untuk membuat keputusan, sedangkan surveilans gizi merupakan
pengumpulan data secara reguler dan sistematis terhadap indikator-indikator
surveilans. Dengan kata lain, sistem surveilans adalah sebuah sistem yang mengatur
pelaksanaan pengumpulan data indikator-indikator surveilans berjalan dengan baik.
Berdasarkan literatur, sistem surveilans gizi merupakan sistem informasi kesehatan
yang memerlukan pengumpulan, analisis dan interpretasi informasi pertumbuhan anak-
anak untuk memantau status gizi. Definisi lain menyebutkan bahwa sistem surveilans
pangan dan gizi merupakan sebuah mekanisme untuk mengubah data pangan dan gizi
menjadi rencana aksi serta formulasi kebijakan pangan dan gizi dalam sebuah negara.
Sistem surveilans gizi nantinya akan menyediakan informasi-informasi secara berkala
untuk indikator surveilans gizi yang nantinya akan memperkuat sistem informasi gizi.
Surveilans harus dapat menyediakan informasi secara berkala mengenai
kondisi gizi dari suatu populasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut.
Informasi ini akan menyediakan dasar bagi keputusan untuk dibuat oleh para
penentu kebijakan, perencanaan dan manajemen program yang berkaitan dengan
peningkatan pola konsumsi dan status gizi.Secara spesifik, surveilans gizi dapat
digunakan untuk:
a. Untuk menggambarkan status gizi populasi, dengan referensi standar agar
dapat memisahkan antara mereka yang berstatus gizi baik dan yang berada
pada risiko tinggi. Hal ini akan mendeskripsikan karakter dan magnitud dari
masalah gizi.
b. Untuk menyediakan informasi yang berkontribusi terhadap analisis penyebab
dan faktor-faktor yang berkaitan.
c. Untuk mempromosikan keputusan oleh pemerintah mengenai prioritas sumber
daya untuk memenuhi kebutuhan baik perkembangan normal dan keadaan
darurat;
d. Untuk mendorong prediksi harus dibuat atas dasar tren terkini dalam rangka
untuk menunjukkan perkembangan masalah gizi. Dipertimbangkan dalam
hubungannya dengan tindakan dan sumber daya yang ada dan potensi, ini
akan membantu dalam perumusan kebijakan;
e. Untuk memantau program-program gizi dan untuk menilai efektifitas dari
program tersebut.

3. Tujuan Surveilans Gizi


1. Tujuan Umum
Terselenggaranya kegiatan surveilans gizi untuk memberikan gambaran
perubahan pencapaian kinerja pembinaan gizi masyarakat dan indicator khusus
lain yang diperlukan secara cepat, akurat, teratur dan berkelanjutan dalam
rangka pengambilan tindakan segera, perencanaan jangka pendek dan
menengah.

2. Tujuan Khusus
a. Tersedianya informasi secara cepat, akurat, teratur dan berkelanjutan
mengenai perubahan pencapaian kinerja pembinaan gizi :
1) Persentase balita gizi buruk yang mendapat perawatan
2) Persentase balita yang ditimbang berat badannya
3) Persentase balita usia 0-6 bulan mendapat ASI Eksklusif
4) Persentase rumah tangga mengkonsumsi garam beriodium
5) Persentase balita 6-59 bulan mendapat kapsul vitamin A
6) Persentase Ibu hamil mendapat 90 tablet Fe
b. Tersedianya informasi indikator gizi lainnya secara berkala jika diperlukan
seperti :
a) Prevalensi balita gizi kurang berdasarkan antropometri
b) Prevalensi risiko Kurang Energi kronik (KEK) pada WUS dan ibu hamil
c) Prevalensi Anemia Gizi Besi dan gangguan akibat kekurangan iodium
(GAKY), Kurang Vitamin A dan masalah gizi mikro lainnya
d) Tingkat konsumsi zat gizi makro (energi dan protein) dan mikro (defisiensi
zat besi, iodium)
e) Data pendistribusian MP-ASI dan PMT
f) Data terkait lain yang diperlukan

4. Manfaat Surveilans Gizi


1. Monitoring program gizi
2. Mengevaluasi pencapaian kinerja pembinaan gizi di masyarakat serta sebagai
dasar perumusan kegiatan penanganan gizi berikutnya.

Gambar 3. Proses surveilans gizi dan produk setiap tahapan

Informasi dari surveilans gizi selanjutnya dimanfaatkan oleh para pemangku


kepentingan untuk melakukan tindakan dan perencanaan program jangka pendek,
jangka menengah maupun jangka panjang. Hasil surveilans dapat digunakan
sebagai bahan untuk perumusan kebijakan.
Hasil surveilans gizi dimanfaatkan oleh pemangku kepentingan sebagai tindak
lanjut atau respon terhadap informasi yang diperoleh. Tindak lanjut atau respon
dapat berupa tindakan segera, perencanaan jangka pendek, menengah dan
panjang serta perumusan kebijakan pembinaan gizi masyarakat baik di
kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Disamping itu, umpan balik juga sangat
diharapkan diberikan oleh perumus kebijakan untuk perbaikan kegiatan surveilans
selanjutnya berdasarkan hasil surveilans yang dilakukan sebelumnya.

5. Manajemen Surveilans gizi


1. Advokasi dan dukungan peraturan
2. Pengembangan sistem surveilans sesuai dengan kebutuhan dan desentralisasi
3. Peningkatan mutu data dan informasi
4. Peningkatan profesionalisme
5. Memperkuat tim epidemiologi
6. Memperkuat jejaring tim surveilans epidemiologi
7. Pemanfaatan TI
8. Advokasi, peraturan, managemen (perencanaan, sarana dan anggaran)
9. Indikator

Alur Pelaporan dan Umpan Balik Surveilans Gizi

Gambar 4. Alur Pelaporan Surveilans Gizi

6. Indikator Keberhasilan Kegiatan Surveilans Gizi


Penentuan keberhasilan kegiatan surveilans gizi didasarkan pada :
1. Indikator Input
a. Adanya tenaga manajemen data gizi yang meliputi pengumpul data dari
laporan rutin atau survei khusus, pengolah dan analisis data serta penyaji
informasi
b. Tersedia instrument pengumpulan dan pengolahan data
c. Tersedianya sarana dan prasarana pengolahan data
d. Tersedianya biaya operasional surveilans gizi
2. Indikator Proses
a. Adanya proses pengumpulan data
b. Adanya proses editing dan pengolahan data
c. Adanya proses pembuatan laporan dan umpan balik hasil surveilans gizi
d. Adanya proses sosialisasi atau advokasi hasil surveilans gizi.
3. Indikator Output
a. Persentase balita yang ditimbang berat badannya (% D/S)
b. Persentasi kasus balita gizi buruk mendapat perawatan
c. Persentase balita (6-59 bulan) yang mendapat vitamin A
d. Persentasi bayi usia kurang dari 6 bulan mendapat ASI eksklusif
e. Persentase ibu hamil yang mendapatkan minimal 90 tablet Fe (Fe3) selama
periode kehamilan
f. Persentase rumah tangga yang mengkonsumsi garam beridioum
g. Persentase kab/kota yang melaksanakan surveilans gizi
h. Persentase penyediaan buffer stock MP ASI untuk daerah bencana
i. Menurunnya prevalensi anemia pada ibu hamil
j. Menurunnya prevalensi bayi yang BBLR
k. Menurunnya prevalensi kekurangan gizi pada balita
l. Menurunnya prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada baduta
m.Menurunnya prevalensi wasting (kurus dan sangat kurus) pada balita
n. Persentase ibu hamil KEK yang mendapat makanan tambahan
o. Persentase balita kurus yang mendapat makanan tambahan
p. Persentase remaja putri mendapat tablet tambah darah
q. Persentase bayi baru lahir mendapat inisiasi menyusui dini (IMD)
r. Persentase ibu nifas mendapat kapsul vitamin A
s. Persentase balita ditimbang yang naik berat badannya (N/D)

7. Sumber Data Surveilans Gizi


Pengumpulan data primer surveilans gizi meliputi :
1. Survei berskala nasional
Survei berskala nasional yang rutin dilaksanakan sebagai program survei di
rumah tangga misalnya survei demografi dan kesehatan (Demography and
Health Survey) ataupun Survei Klaster Indikator atau (Multiple Indicator Cluster
Survey) yang menyediakan data representatif secara nasional. Survei ini
memberikan data berharga untuk menilai tren secara global untuk menuju
sasaran sasaran seperti Millennium Development Goals (MDGs) dan saat ini
Sustainable Development Goals (SDGs) (Hancioglu dan Arnold, 2013). Dalam
hal pengawasan nasional, temuan dari survei ini memungkinkan tren jangka
panjang yang harus dianalisis untuk dapat ditindaklanjuti. Di Indonesia sendiri,
telah ada survei nasional yang juga masuk dalam bagian surveilans yaitu
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas), Survei Penyakit Tidak Menular (PTM), dan lain sebagainya.

Gambar 5. Sumber data surveilans gizi

2. Survei potong lintang periodik


Kategori ini meliputi survei berkala yang dilakukan untuk tujuan pengawasan.
Survei perwakilan dari populasi untuk surveilans yang dilakukan pada interval
satu, tiga, empat, enam atau 12 bulan biasanya oleh organisasi non-pemerintah
(LSM) bekerja sama dengan pemerintah pusat/daerah dan dapat didanai oleh
organisasi non-pemerintah internasional. Misalnya survei skala kecil SMART
yang dilakukan di Kenya, Uganda, dan Sudan Selatan. Di Bangladesh data
yang dikumpulkan oleh sebuah institusi perguruan tinggi bekerjasama dengan
LSM dan pemerintah.
Di Indonesia, survei skala kecil secara periodik setiap tahun untuk memantau
status gizi misalnya survei Pemantauan Status Gizi yang rutin dilakukan oleh
dinas kesehatan kabupaten/kota melalui kordinasi dinas kesehatan provinsi se-
Indonesia.
3. Situs Sentinel berbasis masyarakat
Situs sentinel berbasis masyarakat merupakan pendekatan ini paling sering
digunakan oleh LSM oleh karena pemilihan sample berbasis sentinel secara
purposive. Data dikumpulkan secara berkala di masyarakat yang dipilih karena
mereka berada di daerah yang khas yang rentan terhadap kekurangan gizi.
Biasanya 12-50 anak-anak yang dipilih per situs dan data dikumpulkan setiap
satu sampai tiga bulan. Anak-anak dipilih secara acak dalam situs tapi situs itu
sendiri dapat dilakukan baik secara purposive atau secara acak di daerah atau
zona ekologi yang telah ditargetkan.

4. Data berbasis fasilitas


Surveilans yang dilakukan di tingkat fasilitas kesehatan akan menghasilkan
data berbasis fasilitas. Sumber datanya berasal dari fasilitas-fasilitas
kesehatan. Beberapa indikator penting dari surveilans adalah berbasis fasilitas
yang datanya hanya dapat diperoleh dari fasilitas kesehatan. Contoh lainnya
yang berbasis fasilitas, di beberapa negara Amerika Tengah survei berkala
tinggi anak yang terdaftar di kelas satu sekolah dasar masih dilakukan.
Pendekatan ini berbeda dari metode surveilans gizi lain dimana tidak ada
pengambilan sampel oleh karena semua anak pada tahap tertentu atau tahap
pendidikan ikut disertakan.
Contoh surveilans gizi yang berbasis fasilitas (di sekolah) seperti yang
dilakukan oleh Pemerintah Kosta Rika. Dari tahun 1979 hingga 1989 ada 5
sensus anak SD untuk mengukur tingkat stunting anak kelas 1 yang telah turun
dari 20% menjadi 11%. Pencapaian ini dipercaya sebagai indikator akurat untuk
peningkatan kualitas kehidupan dan penurunan masalah kerawanan pangan di
Kosta Rika pada periode ini. Lain halnya di Panama, sensus data dari sekolah
menunjukkan bahwa prevalensi stunting meningkat dari 19% menjadi 24%
dalam 3 tahun (1985-1988). Tren ini mencerminkan krisis sosial politi dan
migrasi desa-kota di negara tersebut. Sebenarnya di Indonesia, hampir seluruh
surveilans yang dilakukan berbasis fasilitas, misalnya data mengenai cakupan
K4 ibu hamil yang diperoleh dari Puskesmas.

a. Kegiatan Surveilans Gizi


Kegiatan surveilans gizi di Indonesia yang rutin dilakukan dapat dirinci
berdasarkan skala fasilitasnya yakni tingkat Posyandu, Puskesmas, dan
Kabupaten/Kota dalam hal ini Dinas Kesehatan kabupaten/kota (Gambar 6).
Berdasarkan pelaksana, indikator dan analisis ada perbedaan antara data
surveilans Posyandu, Puskesmas dan pada tingkat kabupaten/kota. Pelaksana di
tingkat Posyandu adalah kader, di Puskesmas TPG, sedangkan di Dinas
Kesehatan adalah pengelola program gizi. Untuk tujuan analisisnya, data di
Posyandu hanya membandingkan dengan standar serta melihat kecenderungan
yang ada. Data di Puskesmas untuk membandingkan indikator dengan target serta
melihat kecenderungan setiap indikator tersebut. Di tingkat kabupaten/kota, untuk
melihat tren indikator secara menyeluruh dan melakukan analisis hubungan antar
indikator yang ada.
Gambar 6. Kegiatan Surveilans Gizi yang telah Dilakukan

b. Variabel dalam Surveilans Gizi


Indikator surveilans gizi-kesehatan ibu dan anak yang telah ada sebelumnya
tertuang dalam petunjuk teknis surveilans gizi dari Kementerian Kesehatan RI
berdasarkan kebutuhan surveilans gizi kesehatan ibu dan anak berkelanjutan.
Terdapat 8indikator surveilans gizi ditambahkan variabel dalam program kesehatan
ibu dan anak yang digunakan untuk menentukan pencapaian kinerja dan program
kesehatan dan gizi. Secara rinci indikator tersebut adalah:
1. Balita gizi buruk mendapat perawatan
Definisi: Balita gizi buruk yang dirawat inap maupun rawat jalan di fasilitas
pelayanan kesehatan dan masyarakat.
Indikator: Kinerja penanganan kasus balita gizi buruk dinilai baik jika seluruh
balita gizi buruk yang ditemukan mendapat perawatan, baik rawat inap maupun
rawat jalan sesuai tata laksana gizi buruk di fasilitas pelayanan kesehatan dan
masyarakat.

Jumla h kasus gizi buruk yang mendapat perawatan


Formula: x 100 %
Jumla h kasus gizi buruk yang ditemukan di suatu wilaya h kerja
2. Balita yang ditimbang berat badannya (%D/S)
Definisi: Jumlah balita yang ditimbang di seluruh Posyandu yang melapor di
suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu dibagi balita yang berasal dari
seluruh Posyandu yang melapor di suatu wilayah kerja pada kurun waktu
tertentu.
Indikator: Kinerja penimbangan baduta dan balita yang ditimbang berat
badannya dinilai baik bila persentase D/S setiap bulannya sesuai target.

D Baduta 0−23 bulan


Formula: x 100 %
S Baduta 0−23 bulan

D Balita 24−59 bulan


Formula: x 100 %
S Bal ita 24−59 bulan

D Balita 0−59 bulan


Formula: x 100 %
S Balita 0−59bulan

3. Balita 6-59 bulan mendapat kapsul vitamin A


Definisi: Jumlah bayi 6-11 bulan ditambah jumlah balita 12-59 bulan yang
mendapat 1 (satu) kapsul vitamin A pada periode 6 (enam) bulan. Bila data bayi
6-11 bulan tidak tersedia maka digunakan data proyeksi 50% dari jumlah bayi
pada saat itu.
Cakupan tahunan Vitamin A untuk bayi 6-11 bulan menggunakan penjumlahan
data bulan Februari dan Agustus. Cakupan tahunan Vitamin A untuk balita 12-
59 bulan menggunakan data terendah antara bulan Februari atau Agustus.
Indikator : Kinerja dinilai baik jika persentase balita 6-59 bulan mendapat
Vitamin A sesuai target.

Formula:
Jumla h bayi 6−11 bulan +balita 12−59 bulan yang mendapat kapsul vit A
x 100 %
Jumla h balita 6−59 bulan

4. Bayi usia 0-6 bulan mendapat Air Susu Ibu Eksklusif


Definisi: Bayi 0–6 bulan yang diberi ASI saja tanpa makanan atau cairan lain
kecuali obat, vitamin dan mineral, berdasarkan recall 24 jam. Bayi 0-6 bulan
merupakan jumlah seluruh bayi umur 0 hari sampai 5 bulan 29 hari yang
tercatat pada register pencatatan pemberian ASI pada bayi umur 0-6 bulan di
suatu wilayah.
Indikator: Kinerja dinilai baik jika persentase bayi 0-6 bulan mendapat ASI
Eksklusif sesuai target.

Formula:

Jumla h bayi 0−6 bulan yang mendapat ASI saja


x 100 %
Jumla h bayi 0−6 bulan yang datang dantercatat dalam register pencatatan

5. Persentase ibu hamil mendapat 90 tablet Fe


Definisi: jumlah ibu hamil yang mendapat 90 TTD atau tablet Fe. Tablet Fe
dibutuhkan ibu hamil untuk mencegah terjadinya anemia defisiensi besi pada
saat kehamilan. Dikenal pula dengan sebutan tablet tambah darah (TTD).
Indikator: Kinerja dinilai baik jika persentase ibu selama hamil mendapat 90
tablet Fe sesuai target.

Jumla hibu h amil yang mendapat 90 TTD tablet Fe


Formula: x 100 %
Jumla h seluruh ibu h amildi suatu wilaya h tertentu

6. Rumah tangga yang mengonsumsi garam beryodium


Definisi: Seluruh anggota rumah tangga yang mengonsumsi garam beriodium,
dan pemantauannya dilakukan melalui Sekolah Dasar (SD)/Madrasah
Ibtidaiyah (MI) pada tiap desa/kelurahan.
Indikator: Kinerja dinilai baik, jika persentase rumah tangga mengonsumsi
garam beriodium sesuai target.

Formula: Jumla hruma h tangga yang mengonsumsi g aram beryodium x 100 %


7. Kabupaten/kota melaksanakan surveilans gizi
Definisi: Kabupaten/kota yang melaksanakan surveilans gizi. Surveilans gizi
yang dimaksud dalam petunjuk pelaksanaan ini adalah suatu proses
pengumpulan, pengolahan dan diseminasi informasi hasil pengolahan data
secara terus menerus dan teratur tentang indikator yang terkait dengan kinerja
pembinaan gizi masyarakat.
Indikator: Kinerja dinilai baik jika persentase kabupaten/kota yang
melaksanakan surveilans gizi sesuai dengan target.

Jumla h kabupaten dan kota yang melaksanakan surveilans gizi


Formula: x 100 %
Jumla h seluruh kabupaten dan kota yang ada di wilayah provinsi

8. Persentase penyediaan buffer stock MP-ASI untuk daerah bencana


Definisi: MP-ASI yang diadakan dibagi dengan jumlah buffer stock MPASI yang
diperlukan untuk antisipasi situasi darurat akibat bencana, KLB gizi dan situasi
sulit lainnya. MP-ASI adalah makanan yang diberikan kepada bayi dan anak
umur 6-24 bulan untuk memenuhi kebutuhan gizi. MP-ASI yang disediakan
untuk antisipasi situasi darurat akibat bencana, KLB gizi dan situasi sulit
lainnya.
Indikator: Kinerja dinilai baik jika pengadaan bufferstock MP-ASI sesuai dengan
target.

Jumla h buffer stock MPASI yang diadakan


Formula: x 100 %
Jumla h buffer stock MPASI yang dibutu h kan

9. Persentase Berat badan lahir rendah (BBLR)


Definisi: Berat bayi lahir hidup dibawah 2500 gram yang ditimbang pada saat
bayi lahir.
Indikator: Kinerja dinilai baik, jika persentase BBLR sesuai target (<15% BBLR
dan 100% anak BBLR mendapatkan perawatan).
Jumla h BBLR
Formula: x 100 %
Jumla h seluruh bayi lah ir h idup

10. Pertumbuhan dan berat badan (SKDN BGM)


Definisi: Gangguan pertumbuhan bila berada di bawah garis merah atau dalam
3 kali penimbangan tidak naik berat badannya. Tujuannya untuk skrining balita
untuk mendapatkan perawatan.
Indikator: 100% balita BGM atau 3T dirujuk ke PKM untuk mendapatkan
perawatan

11. Stunting (TB/U)


Definisi: Kondisi pertumbuhan balita TB/U dibandingkan dengan grafik
pertumbuhan. Tujuannya untuk mengevaluasi tumbuh kembang anak balita
(Stunting <-2 SD).
Indikator: Kinerja dinilai baik, jika persentase stunting sesuai target (<30%).

Jumla h anak balita stunting (TB/Usia<−2 SD)


Formula: x 100 %
Jumla h seluru h balita di suatuwilaya h

12. Kurang Energi Kronik (LILA)


Definisi: Kondisi dimana ibu/remaja putri mengalami kekurangan gizi kronik
(kalori dan protein) yang diukur berdasarkan lingkar lengan atas <23,5 cm.
Tujuannya adalah untuk melakukan penjaringan ibu prakonsepsi dan ibu hamil
yang KEK

13. Anemia (Hb)


Definisi: Kondisi penurunan jumlah sel darah merah atau hemoglobin dalam
darah ibu.
Cut off: <11 g/dL
Target: <20% anemia pada ibu hamil
90% hasil skrining dilaporkan ke PKM untuk mendapatkan perawatan
Tujuan: Memberikan gambaran masalah anemia pada ibu hamil
14. Kunjungan K1-K4
Definisi: Kunjungan pemeriksaan kehamilan dalam mempersiapkan kesehatan
dan mental ibu selama kehamilan dan persiapan persalinan.
Target: 95% kunjungan K4, 80% komplikasi tertangani oleh tenaga kesehatan
Tujuan: Evaluasi antenatal care ibu hamil

15. Kunjungan KN1-KN3


Definisi: Kunjungan neonatal pertama (6-48 jam) hingga kunjungan neonatal
ketiga (8-28 hari).
Tujuan: Evaluasi cakupan kunjungan neonatal

V. Uraian Tugas Mahasiswa :

VI. Bahan Bacaan Utama :


Kemenkes RI, Petunjuk Pelaksanaan Surveilans Gizi, Kemenkes RI, 2013

VII. Bahan Bacaan Pendukung :


1. Bilukha, O. and Blanton, C. (2008). Interpreting results of cluster surveys in
emergency settings: is the LQAS test the best option? Emerging themes
inepidemiology. 5, 25
2. Harvey P. 2005. Nutrition Surveillance and Program Monitoring. Baltimore: John
Hopkins Bloomberg School of Public Health.
3. Keputusan Menteri Kesehatan NomorKMK No. 1116/MENKES/SK/VIII/2003
tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan.
4. Tuffrey V. 2016. Nutrition Surveillance Systems: Their Use and Value. London:
Save the Children and Transform Nutrition.
5. Zulkifli. 2012. Surveilans Pertumbuhan Anak Melalui Pendekatan Learning
Organization. Yogyakarta: Pustaka Timur.

VIII. Ilustrasi kasus atau masalah kajian :


I. Sesi Perkuliahan ke : 13-14 Survey Cepat/Rapid Survey

II. Sasaran Pembelajaran :

Setelah mengikuti mata kuliah ini mahasiswa diharapkan :


1. Mahasiswa mengerti karakteristik rapid survey
2. Mahasiwa memahami pelaksanaan rapid survey
3. Mahasiswa memahami metode penentuan besar sample dan pengambilan
sample
4. Mahasiswa mampu melaksanakan rapid survey
III. Topik Kajian/Bahasan :
1. Karakteristik rapid survey
2. Langkah-langkah rapid survey
3. Penentuan sampel dalam rapid survey
4. Contoh pelaksanaan rapid survey

IV. Deskripsi Singkat :

Survei cepat (rapid survey) pertama kali dikembangkan pada proyek Expanded
Programme on Immunization (EPI)- WHO. Setelah itu berkembang antara lain
pengembangan perangkat lunak Csurvey oleh Ariawan dan Frerichs (1994) untuk
merancang sampel. Pada tahun yang sama CDC mengembangkan CSAMPLE software
untuk analisis data survey cepat.
Di Indonesia Survey cepat sudah diuji beberapa kali antara lain: Uji coba di
Bogor oleh Riono dan Irawan menunjukkan pengumpulan informasi pemeriksaan
kehamilan dapat diperoleh dalam waktu 2 minggu serta FKM-UI juga membuktikan
bahwa metoda Survey cepat dapat diterapkan di kabupaten/kota. Hingga saat ini
metode ini sering digunakan terutama dalam kondisi-kondisi darurat / emergency serta
digunakan untuk memonitoring dan evaluasi suatu kegiatan.

Rapid survey sangat diperlukan karena dengan rapid survey kita bisa mendapatkan
informasi/hasil dengan cepat, karena biasanya kalau survey yang umum membutuhkan
biaya dan waktu yang sangat banyak, informasi yang tersedia hanya pada level
regional maupun nasional, sementara informasi local tidak tersedia. Untuk mengatasi
hal-hal tersebut, maka diperlukan rapid survey. Dismaping itu rapid survey juga dapat
digunakan sebagai sarana untuk memonitor dan mengevaluasi suatu kegiatan.

Karakteristik rapid survey :

• Digunakan untuk mengukur kejadian yang sering terjadi di masyarakat


• Sampel nya lebih kecil jika dibandingkan dengan survei yang lain
• Jumlah pertanyaan dibatasi 20-30
• Waktu sejak pelaksanaan sampai pelaporan singkat sekitar 3-5 minggu
• Analisis dilakukan dengan alat statistik sederhana dengan tetap memperhatikan
kaidah statistik yang berlaku

LANGKAH-LANGKAH

• Menentukan masalah gizi yang akan dipelajari serta tujuan pelaksanaan survei
secara jelas dan terinci
• Menentukan besar sampel dan metoda sampling
• Mengembangkan instrumen pengumpul data,
• Pengorganisasian dan pelaksanaan survey, rencanakan dengan rinci, termasuk
jumlah pewawancara yang dibutuhkan, pastikan tenaga ini mengerti tentang tata
cara pemilihan responden, semua pertanyaan dan teknik dasar wawancara
• Pengolahan data, analisis data

Beberapa pendekatan yang digunakan dalam metode rapid survey :


1. Sampling methods for rapid health survey
- 30 cluster sampling ( 30 by 7 sampling used in EPI evaluation)
Ada 2 tahap pemilihan yang dilakukan yakni pertama memilih klaster dan kedua
memilih subyek dalam klaster
• N sampel klaster = N sampel acak sederhana X disain effek.
• Disain efek = Varian disain klaster/ varian disain acak sederhana
• Asumsi yang digunakan ada keragaman antar klaster tapi dalam klaster
heterogen
• Secara mudah jumlah sampel untuk survey kasus yang tinggi (prevalensi
antara 15% - 85%) adalah 30 klaster X 7 subyek (tiap klaster)= 210 subyek.
Selanjutnya pemilihan sampel pertama ditentukan secara acak, dan sampel
selanjutnya adalah yang paling dekat dengan sampel sebelumnya.

- Lots quality assurance sampling


Special case of LQAS : 19 x 5
 Bagi daerah ke dalam 5 wilayah

Step 1. Defining Catchment Area and


Supervision Areas
Step 3: Data collection
Suppose following is data was collected.

Step 4. Analysis

Add Number Correct in all SAs: 12 + 9 + 16 + 11 +14 = 62


Add all Samples Sizes: 19 + 19 + 19+ 19 + 19 = 95
Knowledge Coverage Estimate = Average Coverage = 62/95 = 65.3%
= 70%
 Lakukan interview pada 19 responden pada masing-masing area tersebut
Why 19?
- Provides an acceptable level of error for making management
decisions; at least 92% of the time it correctly identifies supervision
areas that have reached their coverage target
- Sample larger than 19 have practically the same statistical precison as
19. They don’t result in better information and they cost more.
- Good for deciding which are higher performing supervison areas to
learn from
- Good for deciding what are the lower performing supervision areas
- Good for identifiying knowledge/practices that have high coverage from
those of low coverage
- Good for setting priorities among supervision areas with large
difference in coverage.
- Good for setting priorities among knowledge practice within an
supervision areas

2. Collection,organization and presentation of aggregate-level data


- Qualitative methods (FGD, in-depth interview, key informant interview)

3. Rapid assessment of health in mass emergencies


Differences between the 30 by 7 cluster sample &
generic cluster sample
Cluster sampling 30 by 7 cluster sampling
Clusters are selected by random method Clusters are selected by Probability
proportionate to size of population
Sampling unit is selected by simple Only first household in each cluster is
random method from sampling frame. randomly selected. Then every eligible
individual in the household is selected.

Advantages: Advantages:
_ Only need to obtain list of units in the Sampling frame is not needed for selected
selected clusters. cluster
_ Cost-effective. Good for EPI methodology assumption
Disadvantages: Disadvantages:
_ Not intended for calculation of estimates -If “Pocket” – Bias estimation
from individual clusters. -Every individual in household – Bias
_ Less precise than simple random sample. -Estimates are not for cluster
*LQAS : Lost Quality Assurance Sampling (LQAS)

Kelebihan rapid survey:

1. Membutuhkan biaya yang lebih sedikit dibandingkan dengan metode survey


lainnya
2. Membutuhkan waktu lebih singkat
3. Membutuhkan tenaga lebih sedikit
4. Dapat dilaksanakan sebagai alat monitoring dan evaluasi
5. Hasil cepat diperoleh

Penentuan sampel dalam survey cepat


RAPID NUTRITIONAL ASSESSMENT IN EMERGENCY SITUATION

Dalam keadaan emergency,rapid nutritional assesessment harus dilakukan.


Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat menentukan sample frame :

1. Apakah tujuan rapid survey kita mau melihat perbedaan di antara beberapa
tempat? Mungkin dengan asumsi bahwa lokasi A lebih tinggi masalahnya
daripada lokasi B
2. Ataukah hanya mau melihat masalah secara umum, tanpa membandingkannya
per wilayah
3. Kalau survey dilaksanakan di camp pengungsian maka harus memperhitungkan
penduduk lama di daerah tersebut, pengungsi lama dan pengungsi yang baru.
4. Data tentang populasi pengungsi di camp diperkirakan dengan menghitung rata-
rata orang pada tiap camp
5. Tentukan metode yang digunakan
6. Sampel, individu atau household.
Dalam keadaan emergency, besar sample yang dipakai adalah :

Simple Random Sampling…


Systematic random sampling
Berikut contoh pengukuran antropometrik, posisi yang benar/seharusnya :

Pegukuran berat badan :

Yang perlu diperhatikan :

1. Periksa alat timbang, apakah masih dalam kondisi baik?apakah sudah


tergantung dengan baik?
2. Pasang sarung timbang, dan ingat bandul geser pada angka nol
3. Pakaian dibuat seminim mungkin, sepatu, baju/pakaian yang cukup tebal
harus ditanggalkan
4. LIhat/baca angka yang ditunjukkan jarum tersebut
5. Apabila ada anak balita yang tidak mau ditimbang tanpa ibunya,maka
timbang anak tersebut dengan ibunya, kemudian timbang ibunya saja. Hasil
diperoleh dengan mengurangi berat badan ibu dan anak dengan berat ibu
sendiri.
Pengukuran panjang badan :

Hal-hal yang perlu diperhatikan :

1.
Pengukuran TInggi Badan :

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pengukuran tinggi badan :

1. sewaktu diukur anak tidak boleh memakai alas kaki dan penutup
kepala

2. 3. Anak berdiri membelakangi dinding, dengan meteran yang berada


di tengah bagian kepala
3. 4. Posisi anak tegak bebas,
4. Tangan dibiarkan tergantung bebas menempel ke badan
5. Tumit rapat,tetapi ibu jari kaki tidak rapat
6. Kepala
7.
V. Uraian Tugas Mahasiswa :
VI. Bahan Bacaan Utama :
7. Unicef 2010.Rapid Asessment Sampling in emergency situation
8. Kemenkes RI 2012.Pedoman kegiatan gizi dalam penanggulangan Bencana

VII. Bahan Bacaan Pendukung :


6. Save the Children Fund 2004. Emergency Nutrition Asessment. Guidelines
for field workers.
7. WHO. 1995. Field guide on Rapid Nutritional Assessment on emergency
situation

VIII. Ilustrasi kasus atau masalah kajian

Anda mungkin juga menyukai