Anda di halaman 1dari 18

HAKIKAT SYAHWAT DI SURGA

(STUDI TAFSIR AL-TAHRIR WA AL-TANWIR KARYA IBNU `ASYUR)

Abdul Halim Tarmizi


Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Abstrak

Obyek penelitian yang penulis teliti adalah hakikat syahwat yang yang disandarkan
kepada orang mukmin di dalam surga pada enam ayat dalam al-Qur`an. Penulis mengaitkakan
masalah ini dengan pandangan masyarakat terkait dengan kata syahwat tersebut, yang mana
pandangan masyarakat akan kata syahwat selalu berhubungan dengan seksualitas. Hal ini
penulis temukan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang juga mengartikan kata syahwat
dengan keinginan berhubungan badan. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui
bagaimana hakikat syahwat mukmin di kehidupan surga, yang mana secara umum bahwa
syahwat selalu dikaitkan dengan seksualitas.

Terkait jenisnya, penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian pustaka Library
Research yaitu teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-
buku dan literatur-literatur yang berhubungan dengan masalah terkait. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metodedeskriptif analitis. Adapun terkait dengan metode tafsir yang
penulis gunakan adalah Metode Maudhu`i (Tematik) dengan melakukan pendekatan kebahasaan.
Adapun ayat-ayat tentang syahwat di surga dalam tafsir Ibnu `Asyur, di antaranya; surat
al-Anbiya 102, Fushilat 31, az-Zukhruf 71, ath-Thur 22, al-Mursalat 42, al-Waqi`ah 21. Dari
keenam ayat di atas, memiliki dua klasifikasi mengenai syahwat di surga, yaitu tentang keadaan
surga dan keinginan orang-orang yang ada di surga berupa makanan dan minuman.
Keywords: Syahwat, Surga

A. Pendahuluan

Syahwat merupakan fitrah manusia yang mempunyai peran besar


dalam menggerakkan tingkah laku manusia. Bila seorang sedang lapar atau
haus maka tingkah lakunya selalu mengarah kepada tempat di mana dapat
diperoleh makanan dan minuman. Jika yang sedang dominan syahwat
seksual maka perilakunya juga selalu mengarah kepada hal-hal yang
memberi kepuasan seksual. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh
syahwat apa yang sedang dominan dalam dirinya; syahwat seksual, syahwat
politik, syahwat pemilikan, syahwat kenyamanan, syahwat harga diri,
syahwat kelezatan dan lain-lainnya. Syahwat itu wataknya seperti anak-
anak, jika dilepas maka ia akan melakukan apa saja tanpa kendali. Syahwat
yang dimanjakan akan mendorong orang pada pola hidup hedonis.1
1Ulya Hikmah Sitorus Pane,Syahwat Dalam Al-Qur’an,(Kontemplasi, Volume 04 Nomor 02, Desember 2016),hlm.386

Dalam Islam, syahwat harus ‘dijinakkan’ dan dikendalikan.


Syahwat yang dikendalikan akal sehat dan hati yang bersih akan berfungsi
sebagai penggerak tingkah laku atau motif dan menyuburkan motivasi
kepada keutamaan hidup. Kecuali itu, syahwat memiliki tabiat menuntut
pemuasan seketika tanpa mempedulikan dampak bagi diri sendiri maupun
bagi orang lain. Begitu kuatnya dorongan, maka al-Qur’an mengibaratkan
kedudukan syahwat bagi orang yang tidak mampu mengendalikannya
seperti tuhan yang harus disembah. Pengabdi syahwat akan menuruti apapun
perilaku yang harus dikerjakan, betapa pun itu menjijikkan.2 Kata syahwat
secara umum seringkali dimaknai dengan nafsu atau keinginan bersetubuh,
hingga dalam kamus besar bahasa Indonesia pun juga mendefinisikan kata
syahwat dengan makna tersebut.3 Padahal makna asli kata tersebut
bukanlah demikian jika dilihat dari al-Qur`an.
Kata syahwat dalam bahasa Arab adalah asy-syahawât, bentuk
jamak dari syahwat. Kata ‫ الشهوات‬tersusun dari kata dasar dengan suku kata:
‫ش ه ي‬, huruf pertama: ‫ش‬, huruf kedua: ‫ه‬, dan huruf ketiga: ‫ي‬. Jumlah
pemakaian pola dasar ‫ ش ه ي‬dalam Alquran 13 kali, yang terdiri dari
dipakai kata benda sebanyak lima kali, dipakai kata kerja sebanyak delapan
kali.4
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji hakikat syahwat di surga yang
dijelaskan di dalam al-Qur’an. Dengan adanya penelitian ini, penulis
berharap akan mendatangkan manfaat, diantaranya yaitu berupa manfaat
ilmiah dalam rangka memperkaya khazanah ilmiah di bidang tafsir al-
Qur’an, juga manfaat kepada masyarakat adalah untuk menambah
pengetahuan bahwa tidak semua apa yang dipandang masyarakat mengenai
syahwat tidak mempunyai arti konotasi yang bersifat negatif, bahkan di
surga pun mempunyai syahwat, akan tetapi mempunyai konotasi yang
berbeda.
Sejauh pengetahuan penyusun melakukan tinjauan terhadap
2Ulya Hikmah Sitorus Pane, Syahwat Dalam Al-Qur’an, (Kontemplasi, Volume 04 Nomor 02,
Desember 2016),hlm. 387

3 Depertem pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta Utara: PT Gramedia

Pustaka utama,2012), hlm. 1367


4
Muhammad Fuad Abd al-Baqy, al-Mu’jam al-Mufarras li Alfadz al-Qur’an al-Karim, (Kairo: Dar al-
Hadis, 2007), hlm. 480

kepustakaan sudah ada beberapa karangan ataupun penelitian yang


meninjau tentang syahwat. Beberapa karya yang telah di jadikan skripsi
atau pun jurnal yang membahas mengenai syahwat antara lain; Sejarah
Seksualitas dalam Islam oleh Mohammad Guntur Romli, Syahwat dalam
al-Qur`an oleh Ulya Hikmah Sitorus Pane, Manajemen Syahwat oleh
Muhsin Hariyanto, Syahwat Dalam Alquran, Tesis Program Pascasarjana
oleh Farid Adnir, serta Gratifikasi Syahwat oleh Ruth Royke Wadja.
A. Metode Penelitian
1. Sumber Data
Bentuk penelitian ini adalah library research (penelitian
kepustakaan) yang dilakukan dengan cara mengumpulkan, mengklarifikasi
serta menelaah beberapa literatur yang berkaitan dengan inti permasalahan.
Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan
dengan menggali informasi atau pesan dari bahan-bahan tertulis yang
tersedia berupa buku- buku. Sumber data primer adalah Tafsir al-Tahrir wa
al-Tanwir karya ibn `Asyur. Adapun sumber data sekunder adalah buku-
buku yang membantu memberikan penjelasan ke arah tersebut.
Dimaksudkan untuk sebagai bahan tambahan bagi sumber primer. Dari
sumber data primer maupun sekunder, diharapkan diperoleh data kualitatif
sesuai yang diinginkan.
2. Metode Analisis
Metode yang ditempuh dalam tulisan ini adalah deskriptif analisis.
Deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan suatu
keadaan, peristiwa, objek, ataupun segala sesuatu yang terkait variable-
5
variable yang bisa dijelaskan.
Dari keterangan di atas, penulis ingin mendeskripsikan dan
menganalisa data yang ditemui melalui objek kajian yang telah ditentukan
di latar belakang masalah yaitu hakikat syahwat mukmin di kehidupan surga
studi tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya ibn `Asyur.
3. Metode penulisan

5
Setyosar Punaji, metode penelitian pendidikan dan pengembangan, (Jakarta: kencana, 2010), hlm. 36

Dalam teknik penulisan berpedomankan kepada: Buku pedoman


Akademik Program strata 1 2013/2014 dan Pedoman Penulisan skripsi
Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

B. Hasil Penelitian dan Pembahasan


1. Hasil Penelitian
a. Hakikat syahwat
1) Pengertian syahwat
2) Perbedaan syahwat dan hawa nafsu
b. Hakikat surga
c. Biografi Ibnu‘Asyur (riwayat hidup dan riwayat pendidikan Ibnu
‘Asyur)
d. Mengenal tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir (Latar belakang penyusunan
dan gambaran umum, serta Metode Ibnu’Asyur dalam penulisan
kitab al-Tahrir wa al-Tanwir)
e. Penafsiran mengenai ayat-ayat tentang syahwat di surga dalam
Alquran.
2. Pembahasan
a. Hakikat Syahwat
1) Pengertian Syahwat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan syahwat yaitu nafsu
atau keinginan bersetubuh, kebirahian.6 Demikian pula W.J.S.
Poerwadarminta, mengartikan syahwat berarti kebirahian, nafsu atau
kegemaran bersetubuh.7 Arti yang sama terdapat dalam Kamus Modern
Bahasa Indonesia, syahwat berarti nafsu, keinginan, terutama keinginan
8
bercampur antara laki-laki dan perempuan.
Raghib Al Asfahani menjelaskan bahwa, syahwat pada dasarnya
berarti nafsu terhadap sesuatu yang diingini. Ia membagi syahwat
menjadi dua
6
Depertem pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta Utara: PT Gramedia Pustaka
utama,2012).
7
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Perpustakaan Nasional Balai Pustaka,
1976), hlm. 985.
8
Sutan Muhammad Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, tt.), hlm. 893.

macam; 1. Syahwat shadiqah: syahwat yang benar, berupa keinginan yang


jika tidak dipenuhi dapat merusak badan, seperti nafsu makan ketika lapar;
2. Syahwat kadzibah; syahwat yang tidak benar, yang jika tidak terpenuhi,
tidak berakibat apa-apa bagi badan.’’9
Adapun di dalam al-Qur'an menggunakan term syahwat untuk
beberapa arti:
 Dalam kaitannya dengan pikiran-pikiran tertentu, yakni mengikuti
pikiran orang karena mengikuti hawa nafsu seperti dijelaskan dalam
Alquran:
“Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang
mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-
jauhnya (dari kebenaran).” (QS. An-Nisa’: 27).
Al-Sabuni menafsirkan kalimat syahwat pada ayat di ini bahwa
manusia senang kepada kemunkaran, mereka mengikuti setan, berpaling
dari kebenaran kepada kebatilan, sehingga mereka menjadi fasik dan
ingkar. Padahal Allah menginginkan kemudahan bagi manusia, maka
diturunkanlah syari’at yang mudah dan Allah tahu bahwa manusia sangat
lemah untuk melawan hawa nafsu dan tidak sabar untuk mengikuti
keinginan syahwat.10
 Dihubungkan dengan keinginan manusia terhadap kelezatan dan
kesenangan.
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang
banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan
sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah
tempat kembali yang baik (surga).” (QS Ali-Imran: 14).
Ayat ini menyatakan syahwat sebagai potensi keinginan manusia,
yakni pada dasarnya manusia menyukai terhadap wanita (seksual), anak-
anak (kebanggaan), harta kekayaan atau benda berharga (kebanggaan,
kenyamanan, kesenangan), binatang ternak (kesenangan, kemanfaatan) dan
sawah ladang (kesenangan, kemanfaatan), jadi kecenderungan manusia
9
M. Quraish Shihab, Ensiklopedi al-Qur’an (Jakarta: lentera Hati 2007) hlm. 937.
10
Muhammad Ali al-Ṣabuni, Ṣafwat al-Tafasīr Jilid II (Beirut: Maktabah al-Misriah,2011), hlm. 229

terhadap seksual, harta benda, dan kenyamanan dalam pandangan


Alqur`an adalah manusiawi.11
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang
menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka
kelak akan menemui kesesatan”(QS Maryam: 59).
Al-Sabuni menafsirkan kalimat syahwat pada ayat tersebut
denganorang-orang yang meninggalkan shalat dan berada di jalan syahwat
yang dapat membawa mereka kepada keburukan, kerugian dan
13
kehancuran.
 Berhubungan dengan perilaku seks menyimpang seperti dijelaskan
dalam Alquran:
“Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) syahwat
(mu),bukan (mendatangi) wanita? Sesungguhnya kamu adalah kaum yang
tidak mengetahui (akibat dari perbuatanmu)” (QS. An-Naml: 55).
Syaikh Muhammad Ali al-Ṣabuni, dalam kitab Ṣafwat al-Tafasīr,
menjelaskan ayat di atas berulang-ulang sebagai cacian terhadap kaum Luṭ,
“Wahai kaum Luṭ yang sangat bodoh mengapa kamu lebih memiliki
14
syahwat kepada laki-laki dan meninggalkan perempuan.”
Menurut penulis, pada hakikatnya syahwat merupakan fitrah
manusia dan manusia merasa indah jika syahwatnya terpenuhi maka
syahwat menjadi penggerak tingkah laku. Jika seseorang sedang lapar atau
haus maka tingkah lakunya selalu mengarah kepada tempat dimana dapat
diperoleh makanan dan minuman. Jika yang sedang dominan syahwat
seksual maka perilakunya juga selalu mengarah kepada hal-hal yang
memberi kepuasan seksual.
Syahwat itu seperti anak-anak, jika dilepas maka ia akan melakukan
apa saja tanpa kendali, karena anak-anak hanya mengikuti dorongan
kepuasan, belum mengerti tanggung jawab. Jika dididik, jangankan anak-
anak, binatang pun tingkah lakunya bisa dikendalikan.
2. Perbedaan Syahwat dan Hawa Nafsu
11 Ulya Hikmah Sitorus Pane, Syahwat Dalam Al-Qur’an, hlm. 388
13 Muhammad Ali al-Sabuni, Safwat al-Tafasīr Jilid I, hlm.649
14 Muhammad Ali al-Ṣabuni, Ṣafwat al-Tafasīr Jilid II (Beirut: Maktabah al-Misriah,2011), hlm. 858

Syahwat merupakan fitrah manusia dan manusia merasa indah jika


syahwatnya terpenuhi. Maka, syahwat menjadi penggerak tingkah laku.
Jika seseorang sedang lapar atau haus maka tingkah lakunya selalu
mengarah kepada tempat dimana dapat diperoleh makanan dan minuman.
Jika yang sedang dominan syahwat seksual, maka perilakunya juga selalu
mengarah.
kepada hal-hal yang memberi kepuasan seksual.
Sedangkan hawa nafsu secara bahasa berasal dari kata nafasa yang
berarti `bernafas`, Artinya nafas keluar dari rongga. Belakangan, arti kata
tersebut berkembang sehingga ditemukan arti-arti yang beraneka ragam
seperti `menghilangkan`, `melahirkan`, `bernafas`, `jiwa`, `ruh`, `manusia`,
`dan diri`. Namun, keanekaragaman ini tidak menghilangkan arti asalnya. 15
Setiap manusia memiliki dua nafs, nafs akal dan nafs ruh.
Hilangnya nafs akal menyebabkan manusia tidak dapat berpikir namun ia
tetap hidup, ini terlihat ketika manusia dalam keadaan tidur. Sedangkan
16
hilangnya nafs ruh, menyebabkan hilangnya kehidupan.
Nafsu pada umumnya mendorong kepada kehendak-kehendak
rendah yang menjurus hal- hal yang negatif. Namun, ada nafsu yang
mendapat rahmat yang membawa kepada kebaikan yang kelak dalam
perkembangan ilmu tasawuf disebut sebagai al-nafs al-muthmainnah atau
17
kepribadian yang mengandung sifat kasih sayang.
b. Hakikat Surga
Kata surga itu sendiri diambil dari kata janna yang berasal dari kata
janana pada asalnya berarti `tertutup`, yaitu tidak dapat dijangkau oleh
pancaindra manusia. Dari akar kata inilah pengertiannya berkembang
sejalan dengan perkembangan konteks pemakaiannya sehingga terbentuk
kata lain. Misalnya kata janin diartikan dengan `bayi yang masih berada
dalam kandungan ibunya`. Dalam AL-Qur`an kata ini disebutkan sebanyak
15 Ensiklopedia al-Qur`an, KAJIAN KOSA KATA, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), jilid II: hlm. 691.
16
Ibnu Manzur Muhammad Ibnu Mukarram al-Anshari, Lisan al-Arab, Juz VIII, (Kairo: Dar al-
Misriyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, 1968), hlm.119-120.
17
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci,
(Jakarta: Paramadina, 1996),hlm. 251

18
161 kali dalam bentuk kata jannah.
“Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang
indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka
kerjakan.”(QS. As-Sajdah: 17).
Ayat ini menjelaskan bahwa seseorang tidak dapat mengetahui
betapa besar kebahagiaan dan kesenangan yang akan diberikan kepada
mereka di surga nanti, semua itu adalah balasan yang sempurna atas
perbuatan baik atau amal-amal saleh yang telah dikerjakan selama hidup di
dunia. Hasan al-Basri berkata: “Karena mereka menyembunyikan amalnya,
maka Allah pun menyembunyikan balasan yang akan diberikan kepadanya
sebagai balasan setimpal”.19
Adapun surga menurut defenisi AL-Qur`an adalah sebuah alam
yang di dalamnya terdapat segala sesuatu yang diinginkan hati, segala
sesuatu yang menyedapkan mata, dan segala sesuatu yang saat ini masih
dalam angan- angan orang-orang yang kelak menikmatinya. Di dalam
surga juga terdapat segala hal yang baru dan ada tambahan nikmat dari
Allah
yang tidak pernah terdetik dalam pikiran.20
Surga adalah tempat kenikmatan yang kekal dan sempurna yang
tidak ada di dalamnya kekurangan apapun. Surga disediakan oleh Allah
SWT bagi mereka yang mentaati perintah-Nya dan tidak mengingkari
kebenaran yang dibawah oleh rasul-rasul-Nya. Surga adalah tempat orang-
orang yang dikaruniai nikmat oleh Allah, dari kalangan para nabi,
shiddiqin, shuhada dan orang-orang yang saleh. Surga adalah tempat yang
tamannya berisi sungai- sungai yang mengalir di bawahnya. Ia adalah
tempat yang istananya tersusun dari bata dan perak. Tanahnya dari minyak
misik terbaik, pasirnya intan dan mutiara, kemah-kemahnya dijalin dari
mutiara.21

18 M. Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur`an (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm.386


19 Ahmad Mushthafa al-Maraghi, tafsir al-Maraghi, jilid 30 terj. Bahrun Abu Bakar (Semarang: Toha
Putra, 1986), hlm. 214
20 Said Ramadhan Al-Buthy, La Ya’tihil Bathil, terj Misbah, cet I (Jakarta: PT Mizan Publika, 2010),
hlm.124
21
Nur Aris, Andai Surga dan Neraka Tiada, hlm. 1

“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman


dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-
buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah
diberikan kepada kami dahulu". Mereka diberi buah-buahan yang serupa
dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal
di dalamnya.”(QS Al- Baqarah: 25).
“Katakanlah: "Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih
baik dari yang demikian itu?". Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada
Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir dibawahnya
sungai- sungai; mereka kekal didalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-
isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan
hamba- hamba-Nya.”(QS Ali-Imran: 15).
Kata yang paling sering dipakai untuk menunjukkan hakikat surga
adalah khulud, sebagaimana beberapa ayat yang telah penulis cantumkan di
atas. Kata khulud berarti kekal, abadi. Akar katanya khalada yang
menunjukan arti tetap dan kekal. Kekekalan yang ditunjukka khalada dapat
berarti kekal sementara dan kekekalan di dalam arti sesungguhnya, abadi
terus menerus tanpa akhir, tetapi mempunyai awal. Al-Qur‘an
menggunakan kata-kata tersebut dengan makna kekekalan sementara, dan
kekekalan dalam arti sesungguhnya, yaitu tidak mengalami kerusakan dan
perubahan.22

c. Biografi Ibnu `Asyur


Nama lengkapnya adalah Muhammad al-Thahir ibn Muhammad ibn
Muhammad al-Thahir ibn Muhammad ibn Muhammad al-Syadzuliy ibn
Abd al-Qadir ibn Muhammad ibn ‘Asyur. Ayah nya bernama Muhammad
ibn ‘Asyur dan ibunya bernama Fathimah binti al- Syeikh al-Wazir
Muhammad al-‘Aziz ibn Muhammad al-Habib ibn Muhammad al-Thaib
ibn Muhammad ibn Muhammad Bu’atur. Muhammad al-Thahir ibn Asyur
dikenal dengan Ibn ‘Asyur. Ia lahir di Mursi pada Jumadil Awal tahun 1296

22 Tim Penyusun, Ensiklopedia Al-Qur‟an: Kajian Kosakata (Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm.
451

H atau pada September tahun 1879 M.23


Ibnu `Asyūr tumbuh dalam asuhan kakek, beliau adalah seorang
perdana mentri, orang tua Ibnu `Asyur menginginkan kelak beliau menjadi
seperti kakeknya dalam keilmuan dan kepandain kakeknya, untuk selalu
menjaganya dan bersemangat agar kelak ia menjadi penggantinya baik
dalam keilmuan, kekuasaan dan kedudukanya.24
Ibnu `Asyūr merupakan pemimpin para mufti, beliau disebut Syaikh al-
Imām, beliau seorang `Alim dan guru di bidang Tafsīr dan Balaghāh di
Universitas al-Zaituniyyah, beliau seorang Qadiy, guru yang agung dan mulia,
beliau juga sebagai Majami’ al-Lughah al-‘Arabiyyah. Ibnu `Asyūr juga dikenal
sebagai pusat (Qutb) pembaharuan pendidikan dan bersosial pada masanya.25
Setelah selesai mengenyam pendidikan di al-Zaituniyyah,ia
mengabdi dan mendapatkan berbagai kedudukan di bidang Agama,
kegiaatn selama ini tidak didasari material oriented, tetapi didasari risalah
amanah yang mesti dia emban dalam menjalankan misinya, dia terbantu
oleh keberdaan perpustakaan besar yang mengoleksi literatur-literatur kuno
dan langka, di samping literatur modern dalam berbagai disiplin ilmu-ilmu
keislaman. Perpustakaan itu adalah warisan generasi tua dari para
cendikiawan dan termasuk perpustakaan terkenal di dunia.26
Dalam membina keluarga, Ibnu ‘Asyur menikah dengan Fatimah
binti Muhammad Muhsin, dari pernikahanya ini beliau dikaruniai lima
anak yang terdiri dari tiga laki-laki dan dua perempuan.
Semasa hidup Ibnu`Asyur telah meraih berbagai prestasi gemilang, ia
juga menduduki jabatan yang penting, baik dalam bidang Agama
keislaman dan perkantoran. Adapun diantara yang terpenting adalah:27

23 Jani Arni, Tafsir al-Tahrir wa al Tanwir Karya Muhammad Al-Thahrir ibn Asyur, (Jurnal Ushuluddin
Vol.XVII No. 1, Januari 2011), hlm. 81
24 Mani’ ‘Abd al-Halim’Kajian Tafsir Konprehenshif metode Ahli Tafsir”,terj Faisa Saleh
Syahdianur,(Jakarta.PT. Karya Grafindo,2006), hlm,313
25 Musyrif bin Ahmad al-Zuhainy,’Asar al-Dilalat al-Lugawiyyah fi al-Tafsir‘Indalibni ‘Ᾱsyūr,
(Baeirut,Muasash al-Rayyan,2002), hlm. 21
26 Mani’ ‘Abd al-Halim’Kajian Tafsir Konprehenshif metode Ahli Tafsir”,terj Faisa Saleh
Syahdianur,(Jakarta.PT. Karya Grafindo,2006), hlm,314
27 Muhammad al-Tahir ibnu ‘asyur,Syarh al-Muqadimah al-Adabiyyah li al-Marzuqy ‘ala diwani al-
amasah, hlm,16

1. Guru di Jami' Zaitunah dan Madrasah Sadiqiyah, mulai dari tahun


1900 M hingga tahun 1932 M.
2. Anggota Majelis Idarah al-Jam'iyah al-Khalduniyah tahun 1323
H/190M.
3. Anggota Lajnah al-Mukhallifah yang mengatur atau mengelola buku-
buku dan naskah-naskah di Maktabah al-Sadiqiyah tahun 1905 M.
4. Delegasi Negara dalam penelitian ilmiah tahun 1325 H/ 1907 M.
5. Anggota Lajnah Revisi Program Pendidikan tahun 1326 H/ 1908 M.

6. Dan lain-lain.

Pendidikan awal beliau dapatkan dari kedua orang tuanya dan dari
segenap keluarganya, baik langsung ataupun tidak, khususnya kakek dari
ibunya, beliau belajar al-Qur’ān dirumah keluarganya kemudian dapat
menghafalnya. Menurut pendapat lain ibnu ‘ belajar al-Quran sampai hafal
dan membacakanya kepada Muhammad al-Khiyari di masjid Sayyidiy Hadid
yang berada di sebelah rumahnya. Setelah itu beliau menghafal kumpulan
kitab-kitab matan seperti matan Ibnu ‘Asyir al-jurmiyyah dan juga kitab
syarah al-Syaikh Khalid al-Azhariy ‘Ala al-Jurmiyyah,semuanya adalah yang
dipersiapkan oleh siswa-siswa yang akan melanjutkan studi di Universitas al-
Zaituniyyah.

Ibnu ‘Asyūr diterima dan belajar di Universitas al-Zaituniyyah pada


saat umurnya 14 tahun, tepatnya pada tahun 1310 H bertepatan 1893 M,
berkat arahan dari kedua orang tua kakek dan gurunya, beliau sangat haus dan
cinta pada ilmu pengetahuan, sehingga dalam proses belajar Ibnu ‘Asyūr
tidak sekedar bertatap muka dengan para guru dan teman-temanya di tempat
belajar tetapi beliau juga memberikan kritik yang cerdas dan baik.28

Beliau belajar di al-Zaituniyyah pada awal-awal abad 14 Hijriyyah, Ia


begitu mahir dan jenius dalam semua disiplin ilmu pengetahuan dan ilmu
keislaman, prestasi belajarnya diatas rata-rata sampai di penghujung masa
belajarnya di al-Zaituniyyah. Tercatat bahwa beliau mempelajari bermacam-
28 Nani Haryati, Analisa pendekatan teks dan konteks penafsiran poligami Ibnu `Asyur dalam kitab al-Tahrir wa al-

Tanwir,( Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,2017),hlm.78.


macam kitab di Universitas tersebut, diantaranya:29

1. Ilmu Nahwu (al-Fiyyah Ibnu Malik beserta kitab-kitab syarahnya seperti


Tudih karya Syaikh Khalid al-Azhariy, Syarahal-Mukawwady, al- Asepuriy,
Mugni Labib karangan Ibnu Hisyam, Tuhfah al-Garib yang merupakan
syarah dari Mugni Labib dan lain-lainya.
2. Ilmu Balaghah (Syarah risalah al-Samarqandiy,karya al-Damanuriy al-
Takhlis dengan syarah al-Mutawal karya al-Sa’d al-Taftanzani.
3. Al-Lughah (al-Mazhar li al-Suyutiy).
4. Ilmu Fiqih (Aqrab al-Mālik ila Mazhab al-Imām al-Mālik karya al-Dadir
syarah al-Tawadiy ‘ala al-Tuhfah).
5. Ilmu Usul Fiqih (Syarah al-Hatab ‘ala waraqat Imam al-Haramain).
6. Al-Hadis (Shahih al-Bukhari,Muslim kitab Sunan dan Syarah Garamiy
Sahih).
7. Mantiq (al-Salam fil al-Mantiq li Abd ar-Ruhman Muhammad al-Sagir).
8. Ilmu Kalam (al-Wusta ‘ala ‘Aqaid al-Nasafiyyah).
9. Ilmu Farāid (kitab al-Durrah).
10. Ilmu Tarīkh (al-Muqadimah dan lain-lainnya).

d. Mengenal Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir


Dalam penulisan kitab Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Ibn ‘Asyur
menjelaskan kepada masyarakat apa yang akan membawa mereka kepada
kebahagiaan di dunia dan akhirat, menjelaskan kebenaran, akhlak mulia,
kandungan balaghah yang dimiliki al-Qur’an, ilmu-ilmu syari’at, serta
pendapat-pendapat- pendapat para mufasir terhadap makna ungkapan al-
Qur’an. Ibn ‘Asyur menguatkan ‘azam-nya untuk menafsirkan al-Qur’an,
dan meminta pertolongan dari Allah semoga dalam ijtihadnya ini ia
terhindar dari kesalahan.30
Ibn ‘Asyur juga ingin mengungkap dalam kitab tafsirnya ini
pemahaman Alquran berdasarkan persoalan-persoalan ilmiah yang tidak
diungkapkan oleh ulama
terdahulu. Namun, Ibn ‘Asyur juga menggarisbawahi bahwa pandangan ini
tidak mutlak hanya dimiliki olehnya sendiri, dan tidak menutup
kemungkinan ulama-ulama lainnya juga berpandangan yang sama
29 Nani Haryati, Analisa pendekatan teks dan konteks penafsiran poligami Ibnu `Asyur dalam kitab al-

Tahrir wa al-Tanwir, hlm.7


30
Jani Arni, Tafsir al-Tahrir wa al Tanwir Karya Muhammad Al-Thahrir ibn Asyur, (Jurnal Ushuluddin
Vol.XVII No. 1, Januari 2011), hlm. 86
dengannya dan menulis tafsir dengan cara ia tempuh juga. 31
Dari uraian di atas, penulis dapat memahami, bahwa Ibn ‘Asyur
menulis kitab tafsir dengan latar belakang kecintaan kepada Islam dan umat
Islam. Ibn ‘Asyur menginginkan ajaran Islam berkembang, disebabkan al-
Qur’an merupakan sumber ajaran Islam. Ibn ‘Asyur menafsirkan al-Qur’an
dengan harapan kitab tafsirnya tersebut mampu memberi pengaruh kepada
masyarakat, seperti dari segi akhlak, pemahaman keagamaan serta
wawasan mereka. Ibn ‘Asyur menginginkan umat Islam menyadari bahwa
al-Qur’an adalah kitab yang agung.
Kitab tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir diawali dengan pengantar yang
ditulis sendiri oleh Ibn ‘Asyur, berisikan penjelasan dari Ibn ‘Asyur tentang
apa yang menjadi motivasinya dalam menyusun kitab tafsirnya,
menjelaskan persoalan apa saja yang akan diungkapkan dalam kitab
tafsirnya, serta nama yang diberikan kepada kitab tafsirnya. Tahrir wa al-
Tanwir berisikan muqaddimah.
Gamal al-Banna dalam kitabnya Tafsir Alquran al-Karim baina al-
Qudama’ wa al-Muhadditsin berkomentar bahwa keistimewaan tafsir ini
terletak pada muqaddimah-nya yang memaparkan kepada pembaca
wawasan umum tentang dasar-dasar penafsiran, dan bagaimana seorang
penafsir berinteraksi dengan kosa kata, makna, struktur, dan sistem
Alquran. Pengantar ini ditampilkan dengan bahasa yang mudah, walaupun
pada beberapa aspek masih menggunakan gaya bahasa lama. Metode yang
digunakan oleh Ibn ‘Asyur adalah metode yang moderat. Gamal al-Banna
menegaskan muqaddimah ini merupakan bagian yang terbaik dalam karya
tafsir ini, bahkan sebagai pengganti tafsir itu sendiri. Posisi penting
muqaddimah tafsir ini dari pada tafsirnya sama halnya dengan posisi
pengantar sejarah karya Ibn Khaldun dalam buku al-Muqaddimah.32
Tafsir al-Tahrīr wa al-Tanwīr berisikan sepuluh muqaddimah yaitu:
1. Berbicara tentang tafsīr, takwīl dan posisi tafsīr sebagai ilmu.
2. Berbicara tentang referensi atau alat bantu (istimdād) ilmu tafsīr.
3. Ibnu `Asyur berbicara keabsahan tafsir tanpa nukilan (ma’tsūr) dan
tafsīr (bi ra’yi).
4. Menjelaskan tentang maksud dari seorang mufasir.
31 Muhammad al-Thahir ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, (Tunisia: Dar Shuhnun li al-Nasyr wa al Tauzi’, 1997),

Juz 1, hlm. 5-6

32Gamal al-Banna, Tafsir al-Qur’an al-Karim baina al- Qudama’ wa al-Muhadditsin, terj; Novriantoni
Kahar, (Jakarta: Qisthi Press, 2004), hlm. 130
5. Khusus membicarakan soal konteks turunnya ayat (asbāb al-nuzūl).
6. Berisikan tentang soal aneka ragam bacaan (al-qirā’āt).
7. Ibnu ‘Asyur berbicara tentang kisah-kisah Alqurān.
8. Berbicara tentang nama, jumlah ayat dan surah, susunan, dan nama
nama Alqur’ān.
9. Berisikan tentang makna-makna yang dikandung oleh kalimat- kalimat
Alquran.
10. Menjelaskan tentang i’jāz Alqurān.

Kitab tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibn ‘Asyur banyak berisikan


kajian kebahasaan. Kata perkata dari lafal Alquran tersebut diungkap oleh
Ibnu `Asyur, dan selanjutnya diulas munasabah kata tersebut dengan kata
lainnya. Dalam muqaddimah tafsirnya Ibnu `Asyur menjelaskan bahwa ia
sangat tertarik dengan makna-makna mufradat dalam bahasa Arab, ia ingin
memberikan perhatian kepada mufradat yang tidak begitu jadi perhatian oleh
kamus-kamus bahasa.

Ibnu `Asyur banyak juga mengungkapkan koreksian-koreksian


pemahaman suatu makna. Selain itu, Ibnu `Asyur juga sangat perhatian
dengan persoalan ilmiah, karena ayat-ayat Alquran banyak mengandung
isyarat-isyarat ilmiah. Penafsiran dengan corak seperti ini dinamakan corak
‘ilmi.33
Dalam uraian Ibnu `Asyur biasanya memulai penjelasan dengan
menampilkan ayat yang akan ditafsirkan, kemudian pembahasannya
dengan kajian kebahasaan, dan setelah itu Ibnu `Asyur menjelaskan tentang
persoalan ilmiah yang dikandung oleh ayat tersebut. Penafsiran Ibnu `Asyur
tidak selalu diiringi dengan keterangan dari ayat-ayat Alquran, walau masih
ada tapi hal itu tidak mendominasi. Jadi, melihat kepada cara dan uraian
Ibnu `Asyur maka dapat dikatakan bahwa manhaj yang digunakan oleh Ibn
‘Asyur dalam kitab tafsirnya adalah tafsir bi al-ra’yi, yaitu penafsiran
Alquran yang sumber penafsirannya didominasi oleh ijtihad mufasir dan
meskipun juga menyertakan keterangan dengan ayat-ayat Alquran lainnya
ataupun keterangan hadits Nabi Saw. Sedangkan, thariqah yang digunakan
adalah tahliliy, yaitu dalam menjelaskan makna ayat al-Qur`an, Ibnu
`Asyur mengikuti urutan mushaf al- Adapun corak penafsiran yang
digunakan Ibnu `Asyur adalah corak kebahasaan (laun al-lughawiy) dan
corak ilmiah (laun al-‘ilmi). Karena kedua hal ini – penjelasan sisi
kebahasaan dan ilmiah- menjadi keterangan atau penjelasan terhadap
makna yang dikandung oleh ayat Alquran al-Karim.34
33 Jani Arni, Tafsir al-Tahrir wa al Tanwir Karya Muhammad Al-Thahrir ibn Asyur, (Jurnal Ushuluddin
Vol.XVII No. 1, Januari 2011), hlm. 94
34
Muhammad al-Thahir ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, (Tunisia: Dar Shuhnun li al-Nasyr
wa al Tauzi’, 1997), Juz 1, hlm 8
e. Penafsiran Ibnu `Asyur Mengenai Ayat-Ayat Syahwat di Surga
Sebagaimana yang telah penulis sebutkan di bab sebelumnya, bahwa
ayat-ayat tentang syahwat di surga penulis menemukan ada enam ayat,
diantaranya sebagai berikut:
 Q.S Al-Anbiyya ayat: 102
“mereka tidak mendengar sedikitpun suara api neraka, dan mereka
kekal dalam menikmati apa yang diingini oleh mereka.”
Kalimat “dan mereka tidak mendengar desis (Api Neraka)”
Penjelasan dari makna mereka dijauhkan, yaitu suara yang didengar dari
jarak jauh, itulah sebabnya mereka dijauhkan dari api neraka sehingga
suara api yang menggelegak itu tidak sampai kepada mereka, dan mereka
terbebas dari desisan api dan telinga mereka tidak sakit mendengar
desisnya.
Dampak dijauhkan dari api neraka, tidak saja mereka selamat dari
siksaan tetapi mereka mendapatkan kenikmatan yang sesuai dengan apa
yang mereka inginkan (hawa nafsu) mereka, dan mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Dalam ayat ini, syahwat menurut Ibnu `Asyur adalah apa
saja yang dirindukan oleh nafsu manusia yang memberi kenikmatan
kepadanya.35

Dalam ayat ini, Ibnu `Asyur mengartikan syahwat adalah apa yang
dinginkan oleh manusia dari berbagai kenikmatan. 36

 Q.S Az-Zukhruf Ayat: 71


“Diedarkan kepada mereka piring-piring dari emas, dan piala-piala dan
di zdalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap
(dipandang) mata dan kamu kekal di dalamnya.”

Ayat ini menjelaskan bahwa para penghuni surga hidup dalam


kenikmatan dimana mereka dikelilingi dengan berbagai bejana-bejana
emasyang berisi makanan dan minuman, ini merupakan (hawa nafsu)
mereka inginkan.
Kenikmatan berupa hal-hal yang menyenangkan mata untuk dilihat.
Kenikmatan disini juga bisa diartikan dengan kesenangan yang tidak bisa
dilihat oleh mata seperti kenikmatan bercengkrama dengan sesama sahabat
35Muhammad Thahir Ibnu `Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir Juz XVII, (Tunisia: Dar Shuhnun li al-Nasyr
wa al Tauzi’, 1997), hlm.156
36 Muhammad Thahir Ibnu `Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir Juz XXIV,

hlm.286-287
dan teman, dan juga kenikmatan mendengarkan suara-suara yang indah dan
dentingan musik.37

 Q.S Ath-Thur ayat: 22

“Dan Kami beri mereka tambahan, dengan buah-buahan dan


daging, dari segala jenis yang mereka ingini.”

Diantara kenikmatan surga yang diperoleh oleh orang-orang


beriman adalah mereka mendaptkan makanan dan minuman yang lezat dan
menyenangkan berupa buah-buahan dan daging yang memang selalu
mereka inginkan. Sesuai dengan hawa nafsu mereka. Di surga mereka
mendapatkan apa saja dari makanan yang mereka sukai dan dari minuman
yang mereka gemari dalam jumlah yang terus bertambah bahkan
38
berlebihan.

Ayat yang menggambarkan tentang surga juga disebutkan pada


beberapa surat lain dalam Alquran, seperti dalam surah Al-Fushilat: 31, Al-
Mursalat: 42, dan Al-Waqi`ah: 21.

Berdasarkan ayat-ayat diatas, penulis menyimpulkan tentang


syahwat di surga ada beberapa point:

Pertama, dari kedua pendapat mufassir di atas, bahwa syahwat di


surga lebih menekankan kepada hal yang positif, berbeda hal nya dengan
syahwat di dunia, yang lebih menekankan kepada hal negatif, walaupun
tidak selamanya negatif.
Kedua, kata syahwat di surga memiliki arti kenikmatan terhadap
hal- hal yang lezat, maksudnya adalah bahwa syahwat di surga memberikan
hal-hal yang baik, yang luas, dan tiada batas.
Ketiga, syahwat di surga itu lebih ditekankan terhadap makanan-
makanan dan minuman-minuman.
Keempat, Allah menganugerahkan segala kemewahan yang ada di
surga yang tiada tara serta abadi di dalamnya.
Kelima, semua hal-hal yang di berikan oleh Allah di surga
merupakan hadiah buat merela yang ta`at serta patuh terhadap perintah-
perintah Allah semasa hidupnya di dunia.
37 Muhammad Thahir Ibnu `Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir Juz XXV, , hlm.255-256

38 Muhammad Thahir Ibnu `Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir Juz XXVII, hlm.52-53
D.Simpulan dan Saran

1. Simpulan
Ibnu `Asyur memiliki pandangan bahwasannya syahwat memiliki
arti keinginan diri terhadap hal-hal nikmat. Syahwat tidak hanya berlaku di
dunia, namun juga berlaku di akhirat sebagaimana Allah menjelaskan
dalam al- Qur`an bahwasannya syahwat juga ada dalam kehidupan surga.
Rasa keinginan itu dikontrol dengan baik dan dijadikan sebagai motivasi
yang mendorong dalam ketaatan supaya ia termasuk ke dalam golongan
penghuni surga.

Adapun ayat-ayat tentang syahwat di surga dalam tafsir Ibnu


`Asyur, di antaranya; surat al-Anbiya 102, Fushilat 31, az-Zukhruf 71,
ath-Thur 22,
al-Mursalat 42, al-Waqi`ah 21.
Dari keenam ayat di atas, memiliki dua klasifikasi mengenai
syahwat di surga, yaitu tentang keadaan surga dan keinginan orang-orang
yang ada di surga berupa makanan dan minuman.

2. Saran
Bahwasanya penelitian ini merupakan cabang ilmu al-Qur`an
yang membantu untuk memahami kitab suci al-Qur`an secara
komprehensif dengan menelusuri makna dalam Qur`an, agar membantu
kita menghindari pemahaman yang parsial, maka penulis menyarankan
sebagai kelanjutan dari studi penelitian ini. Penelitian ini hanya
membahas aspek makna syahwat di surga, penulis hanya baru meneliti
syahwat secara makna, masih ada tujuh ayat lainnya yang membahas
mengenai syahwat. Kajian yang penulis lakukan ini masih berupa tinjauan
awal untuk mengembangkan khazanah ilmu tafsir, dan menghidupkan
kembali nilai-nilai al-Qur`an secara utuh.

DAFTAR PUSTAKA

`Asyur, Muhammad Thahir Ibnu, Syarh al-Muqadimah al-Adabiyyah li al-


Marzuqy ‘ala diwani al-amasah, Riyadh, Maktabah Dar al-Minhaj, 2008.
Anshari, Ibnu Manzur Muhammad Ibnu Mukarram, Lisan al-Arab, Juz VIII,
Kairo: Dar al-Misriyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, 1968.
Arni, Jani, Tafsir al-Tahrir wa al Tanwir Karya Muhammad Al-Thahrir ibn
Asyur, Jurnal Ushuluddin Vol. XVII No. 1, 2011.
Ash-Shalaby, Ali Muhammad, Iman Kepada Hari Akhir, terj; Chep M Faqih,
Jakarta: Ummul Qura, 2014.
Bakar, Abu, Semarang : Toha Putra, 1986.
Al-Banna, Gamal, Tafsir al-Qur’an al-Karim baina al- Qudama’ wa al-
Muhadditsin, terj; Novriantoni Kahar, Jakarta: Qisthi Press, 2004.
Al-Baqy, Muhammad Fuad Abd, al-Mu’jam al-Mufarras li Alfadz al-Qur’an al
Karim, Kairo: Dar al-Hadis, 2007.
Al-Buthy, Said Ramadhan Al-Buthy, La Ya’tihil Bathil, terj Misbah, cet I,
Jakarta: PT Mizan Publika, 2010.
Depertem pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta Utara:
PT Gramedia Pustaka utama, 2012.
Ensiklopedia al-Qur`an, Kajian Kosa Kata, jilid II, Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Al-Halim, Mani’ Abd, Kajian Tafsir Konprehenshif metode Ahli Tafsir”, terj;
Faisa Saleh Syahdianur, Jakarta: PT. Karya Grafindo, 2006.
Izutsu, Toshihiko, Etika Beragama dalam Qur`an, terj. Mansuruddin Djoely,
cet II, Jakarta: Pustaka Firdaus, Kafie, Jamaluddin, Tasawuf Kontemporer,
(Jakarta: Mutiara Al-Amieen Prenduan, 2003.
Madjid, Nurcholis, Islam Agama Peradapan Membangun Makna Relevansi
Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995.
Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa, tafsir al-Maraghi, jilid 30 terj. Bahrun
Mubarok, Achmad, Psikologi Qur’ani, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Nani, Haryati, Analisis Pendekatan Teks Dan Konteks Penafsiran Poligami
Ibnu Asyur Dalam Kitab Al-Tahrir Wa Al-Tanwir, Yogyakarta:
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2017.
Pane, Ulya Hikmah Sitorus, Syahwat Dalam Al-Qur’an, Kontemplasi, Volume
04 Nomor 02, 2016.
Permadi, K, Iman dan Takwa Menurut al-Qur`an, Jakarta: PT. Rineka Cipta,
1995.
Punaji, Setyosar, metode penelitian pendidikan dan pengembangan, Jakarta:
kencana, 2010.
Al-Qodhi, Abdurrahman bin Ahmad, Kehidupan Sebelum dan Sesudah
Kematian, terj Yodi Indrayadi, Kairo: Matba`at Sharaf cet v, 2015.
Rahardjo, M Dawam, Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996.
Al-Ṣabuni, Muhammad Ali, Ṣafwat al-Tafasīr, Jilid II , Beirut: Maktabah al-
Misriah, 2011.
Saidah, Nor, Bidadari Dalam Kontruksi al-Qur`an, PALASTREN, Vol. 6, No.
2, 2013.
Shihab, M Quraish, Ensiklopedi al-Qur’an, Jakarta: lentera Hati, 2007. 1995.
___________, Tafsir al-Amanah, Jakarta: Pustaka Karim, 1992.
Al-Thabary, Muhammad bin Jarir bin Yazid Abu Ja’far, Jami’ al-Bayan fii
Ta’wil al-Qur’an, Jilid. II, Cet. I, Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000.
Al-Utsimin, Muhammad bin Shalih, Syarh al-Aqidah al-Washithiyah, Cet. I,
Kairo: Dar Ibnu al-Haitsm, 2002.
Al-Zuhainy, Musyrif bin Ahmad, ’Asar al-Dilalat al-Lugawiyyah fi al-
Tafsir‘Indalibni ‘Ᾱsyūr, Baeirut,Muasash al-Rayyan, 2000

Anggota Kelompok:
Lisa Ramadani

Rita Rohmawati

Meria Maya Lestari

Anda mungkin juga menyukai