Anda di halaman 1dari 18

TUGAS E-LEARNING

KEPERAWATAN ENDOKRIN II

Trend Issue dan Intervensi Terkini Berbasis Riset Keperawatan Sistem Endokrin
Hipertiroidisme

Fasilitator :
Ika Nur Pratiwi, S. Kep. Ns., M.Kep.

Oleh :
Kelompok 1
A1/2015
Meidina Dewati 131511133003
Riris Medawati 131511133005
Tyas Dwi Rahmadhani 131511133019
Achmad Fachri Ali 131511133023
Elma Karamy 131511133026
Itsnaini Lina K. 131511133029
Talia Puspita Adianti 131511133118
Najla Khairunnisa 131511133120

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2017
Judul Jurnal Konseling Psikologi dan Kecemasan pada Penderita Hipertiroid di
Klinik Litbang Gaki Magelang
Penulis Diah Yunitawati, Kurnia Santi
Penerbit Balai Litbang GAKI Magelang
Tahun Terbit 2014

A. REVIEW JURNAL

Dari jurnal mengenai konseling psikologis dan kecemasan pada penderita hipertiroid
ini menjelaskan bahwa gejala yang ditimbulkan oleh Hipertiroid tidak hanya pada gejala
klinis saja, namun juga adanya perubahan psikologis pada penderita hipertiroid. Gejala
klinis yang dimaksud seperti penurunan berat badan, kekelahan, tremor, keringat
berlebihan, tidak tahan panas, pembesaran tiroid dan payah jantung. Sedangkan
perubahan psikologis seperti adanya gangguan pada fungsi kognitif, masalah perilaku,
dan perubahan perasaan (mood) serta kecemasan. Gejala klinis dari hipertiroid
dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk umur penderita, lamanya menderita hipertiroid
dan kepekaan organ terhadap kelebihan kadar hormon tiroid.

B. IMPLIKASI DALAM KEPERAWATAN

Implikasi pada dunia keperawatan dari jurnal tersebut yaitu salah satu peran perawat
yakni sebagai konselor dimana perawat dapat memberikan konseling kepada pasien
hipertiroid untuk menurunkan tingkat kecemasannya, menyembuhkan gangguan
emosional, mencapai kebahagiaan dan kepuasan, aktualisasi diri, dan menghapus dan
mengubah perilaku maladaptif menjadi perilaku adaptif.

Dari penelitian yang dilakukan, membuktikan bahwa pada setiap penderita hipertiroid
yang melakukan konseling psikologi secara individu mengalami penurunan tingkat
kecemasan. Sebelum konseling, kategori terbesar berada pada kecemasan sedang (33.3%)
dan kecemasan berat (31.1%). Setelah konseling, terjadi penurunan tingkat kecemasan.
Persentase ter besar (68.9%) kecemasan berada pada kategori sedang dan ada satu subyek
yang tidak memiliki indikasi kecemasan.

C. SKRINING/DETEKSI DINI

Skrining atau deteksi dini pada jurnal tersebut yaitu dengan melakukan pemeriksaan
kadar TSH dan T4. Selain itu juga dapat dideteksi dari gejala klinis yang nampak pada
penderita hipertiroid. Sedangkan untuk mengukur tingkat kecemasan pada penderita
hipertiroid dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan beck anxiety inventory (BAI).
BAI memiliki 21 item yang mengukur aspek fisik, kognitif, dan emosional. Penilaian
tingkat kecemasan ini dilakukan selama 3x konseling dengan durasi waktu sekitar 30
menit untuk tiap individu.
Judul Jurnal Hubungan Hipertiroid Dengan Aktivitas Kerja Pada Wanita Usia
Subur
Penulis Sri Supadmi, Ova Emilia, Hari Kusnanto
Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, UGM, Yogyakarta
Balai Penelitian Pengembangan Gangguan Akibat Kekurangan
Iodium Magelang, Jawa Tengah
Tahun Terbit 2007

A. REVIEW JURNAL

Jurnal “Hubungan Hipertiroid Dengan Aktivitas Kerja Pada Wanita Usia Subur”
menjelaskan keterkaitan antara wanita usia subur dengan hipertiroid, dan wanita usia
subur normotiroid yang melakukan aktivitas kerja. Kriteria inklusi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah wanita usia subur yang menderita hipertiroid sebagai kelompok
risiko, serta wanita usia subur yang tidak hipertiroid (mempunyai nilai TSH normal)
sebagai kelompok yang tidak berisiko.

Hasil analisis dalam jurnal tersebut menunjukkkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan pada wanita usia subur yang hipertiroid dengan aktivitas kerja. Pada wanita
usia subur hipertiroid mengalami aktivitas kerja rendah empat kali lebih tinggi jika
dibandingkan dengan wanita usia subur yang normotiroid. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Sutanegara bahwa hipertiroid yang terjadi pada populasi dengan kebiasaan
mengkonsumsi iodium tinggi atau pada penduduk di daerah kekurangan iodium yang
mendapatkan program intervensi iodium.

Hasil analisis bivariabel juga menunjukkan bahwa pada wanita usia subur yang
hipertiroid mempunyai aktivitas kerja rendah lebih banyak jika dibandingkan dengan
wanita usia subur yang normotiroid. Hal ini sesuai dengan Greenspan, Boxter dan Guyton
bahwa penderita hipertiroid mempunyai karakteristik gejala antara lain cepat merasa lelah
apabila sedang melakukan aktivitas sehari-hari. Gangguan kesehatan lain yang muncul
adalah otot terasa lemas dan keluar keringat dingin. Demikian juga menurut Kishi bahwa
pada wanita yang bekerja akan memberikan dampak terhadap gangguan kesehatan
reproduksinya.

Pada wanita usia subur yang mengkonsumsi garam beriodium di tingkat rumah tangga
tetapi mengalami aktivitas kerja rendah mencapai 51,6% dan wanita usia subur yang
minum kapsul beriodium tetapi mengalami aktivitas kerja rendah mencapai 51,1%.
Setelah dilakukan stratifikasi ternyata minum kapsul iodium merupakan faktor efek
modifikasi

B. IMPLIKASI DALAM KEPERAWATAN

Setelah mengetahui hasil analisa diatas, pada wanita usia subur dengan hipertiroid
dengan aktivitas kerja yang rendah menurut para ahli diakibatkan oleh kebiasaan
mengkonsumsi iodium tinggi atau pada penduduk di daerah kekurangan iodium yang
mendapatkan program intervensi iodium. Sebagai seorang perawat, dalam kasus yang
terdapat dalam jurnal tersebut, perawat berperan sebagai edukator. Perawat perlu
menyampaikan informasi dan edukasi kepada masyarakat khususnya pada wanita usia
subur yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi iodium dalam jumlah yang tinggi atau
pada penduduk di daerah kekurangan iodium mengenai jumlah dan porsi yang normal
pengkonsumsian iodium. Edukasi tersebut tidak hanya ditujukan pada masyarakat dengan
hipertiroid, tetapi juga dapat disampaikan kepada kelompok-kelompok masyarakat yang
berisiko tinggi terkena hipertiroid.

C. SKRINING/DETEKSI DINI

Berdasarkan dari hasil penelitian ini maka dapat disarankan bahwa skrining pada
wanita usia subur yang telah mendapatkan pengobatan hipertiroid dan yang baru
menjalani pengobatan hipertiroid agar tidak minum kapsul beriodium. Kegiatan skrining
sebaiknya dilaksanakan sebelum waktu distribusi kapsul iodium kepada sasaran.
Judul Jurnal Beberapa Faktor Risiko Kejadian Hipertiroid Pada Wanita Usia
Subur Di Kabupaten Magelang
Penulis Erent Ersantika Sari
Penerbit Jurnal Kesehatan Masyarakat (E-Journal)
Volume 3, Nomor 3, April 2015
FKM UNDIP
Tahun Terbit 2015

A. REVIEW JURNAL

Hipertiroid perlu mendapatkan perhatian khusus dariada sebelumnya. Jurnal ini


menunjukkan bahwa penyebab paling banyak dari hipertiroid yaitu peningkatan konsumsi
masyarakat terhadap iodium.

B. IMPLIKASI DALAM KEPERAWATAN

Implikasi jurnal ini dalam keperawatan adalah peran kita sebagai perawat sangat
penting dalam memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat khususnya wanita
usiasubur tentang mengenai frekuensi dan jumlah konsumsi makanan kaya iodium. Kita
dapat mengedukasi kepada masyarakat tentang kebiasaan mengonsumsi asupan iodium
yang berlebihan terutama pada wanita di daerah yang berdefisiensi iodium. Asupan
iodium yang berlebihan dalam tubuh menyebabkan fungsi otonom dari tiroid mensintesis
dan melepaskan hormon tiroid dalam jumlah yang berlebihan. Jika kebiasaan masyarakat
ini terus tejadi, angka hipertiroid semaki tinggi. Selain itu, kita dapat mengedukasi kepada
masyarakat mengenai pengurangan stres. Meskipun tingkat stres bukan faktor penyebab,
namun ia menjadi faktor resiko terjadinya hipertiroid

C. SKRINING/DETEKSI DINI

Skrining dapat dilakukan kepada masyarakat yang berada di daerah yang kekurangan
iodium, karena dalam jurnal tersebut, ditunjukkan bahwa masyarakat memilih
mengonsumsi iodium yang banyak ketika mereka merantau di kota pesisir. Perlu
dilakukan monitoring pada wilayah endemis GAKI secara rutin, untuk mengetahui status
endemis wilayah tersebut sehingga program penanggulangan tepat dan sesuai sasaran.
Deteksi dini yang dapat dilakukan adalah pengukuran TSH dan fT4.
Judul Jurnal Analisis Uptake Tiroid Menggunakan Teknik Roi (Region Of
Interest) Pada Pasien Hipertiroid
Penulis Arizola Septi Vandria, Dian Milvita, Fadil Nazir
Penerbit Jurnal Fisika Unand
Tahun Terbit 2014

A. REVIEW JURNAL

Telah dilakukan analisis uptake tiroid dari 12 orang pasien hipertiroid (struma difusa
toksik dan non toksik). Diagnosis pasien dilakukan dengan thyroid scan menggunakan
kamera gamma dual head Skylight ADAC merek Philips. Masing-masing pasien
disuntikkan radiofarmaka Tc99m pertechnetate sebanyak (3-5) mCi secara intravena ke
lengan pasien. Thyroid scan dilakukan pada selang waktu 5, 10 dan 15 menit pasca
injeksi Tc99m pertechnetate. Hasil analisis menunjukkan bahwa uptake tiroid pasien
struma difusa toksik berada di atas batas normal uptake tiroid. Rerata uptake tiroid pasien
struma difusa toksik pada selang waktu 5, 10 dan 15 menit secara berturut-turut adalah
17.5%, 18.17% dan 18.33%. Tingginya nilai uptake menunjukkan bahwa pasien memiliki
tiroid yang bersifat hiperaktif dan membutuhkan penanganan lebih lanjut terhadap
kelainan fungsi tiroidnya. Uptake tiroid pasien struma difusa non toksik masih berada
dalam batas normal, rerata uptake pada selang waktu 5, 10 dan 15 menit adalah 2.9%,
3.35% dan 3.38%. Tinggi rendahnya uptake tiroid bergantung pada kinerja kelenjar
tiroid.

Dari penelitian diperoleh 12 orang pasien hipertiroid. Berdasarkan diagnosis awal dari
dokter, 7 orang didiagnosis struma difusa toksik dan 5 orang didiagnosis struma difusa
non toksik. Klasifikasi struma difusa toksik dan non toksik dilihat berdasarkan hasil
thyroid scan. Dari 12 orang pasien, 7 orang wanita dan 5 orang laki-laki. Berdasarkan
jenis kelamin pasien tersebut terlihat bahwa penyakit hipertiroid lebih banyak diderita
oleh wanita dibandingkan lakilaki. Menurut Schwartz (1995), perbandingan jumlah
pasien hipertiroid antara wanita dan lakilaki adalah 2:1.

Persentase uptake tiroid pasien hipertiroid (struma difusa toksik dan non toksik)
meningkat seiring bertambahnya waktu pemeriksaan. Rerata uptake pasien struma difusa
toksik lebih tinggi dibandingkan uptake normal (1,6-7,6)%, sehingga perlu dilakukan
penanganan lebih lanjut terhadap pasien tersebut. Persentase uptake pasien struma difusa
non toksik masih berada dalam batas uptake normal, sehingga tidak diperlukan
penanganan yang lebih lanjut terhadap pasien.

B. IMPLIKASI DALAM KEPERAWATAN

Dengan menggunakan teknik ROI dilengkapi dengan thyroid scan yaitu pencitraan
tiroid menggunakan kamera gamma pasca injeksi radiofarmaka Tc99m pertechnetate kita
dapat mengetahui dari 12 orang pasien hipertiroid. Berdasarkan diagnosis awal dari
dokter, 7 orang didiagnosis struma difusa toksik dan 5 orang didiagnosis struma difusa
non toksik. Klasifikasi struma difusa toksik dan non toksik dilihat berdasarkan hasil
thyroid scan. Dari 12 orang pasien, 7 orang wanita dan 5 orang laki-laki. Berdasarkan
jenis kelamin pasien tersebut terlihat bahwa penyakit hipertiroid lebih banyak diderita
oleh wanita dibandingkan lakilaki.

C. SKRINING/DETEKSI DINI

Penelitian dimulai dengan pemilihan pasien sebagai obyek penelitian. Pasien yang
diteliti merupakan pasien yang memenuhi kriteria pasien hipertiroid yaitu mengalami
pembesaran tiroid (struma), dengan standar ukuran normal tiroid adalah 3 sampai 5 cm.
Sebelum pelaksanaan thyroid scan, Tc99m pertechnetate sebanyak 1 mCi di-scan di
bawah kamera gamma dengan jarak 10 cm sebagai cacahan kalibrasi awal.
Judul Jurnal Penentuan Biodistribusi Dan Uptake Tiroid Dari Tc99m Perteknetat
Pada Pasien Hipertiroid Menggunakan Teknik In Vivo
Penulis Silvia Eka Putri, Dian Milvita, Fadhil Nazil, Chavied Varuna
Penerbit Unand
Tahun Terbit 2015

A. REVIEW JURNAL

Hipertiroid merupakan salah satu kondisi yang dapat dinilai melalui produksi
hormone tiroid yang berlebihan. Hormon tiroid akan mempengaruhi pertumbuhan,
perkembangan dan berbagai proses-proses di dalam sel. Kondisi gangguan fungsi kelenjar
tiroid dapat dipantau melalui fungsi hormonal dan pencitraan (scan kelenjar tiroid).

Scan kelenjar tiroid pada kasus hipertiroid merupakan studi pencitraan yang dilakukan
sebagai evaluasi awal untuk menentukan besar, bentuk, letak serta jenis dari hipertiroid.
Unsur Radioaktif yang digunakan untuk scan kelenjar tiroid adalah Teknesium-99
metastabil (Tc99m) perteknetat. Radiofarmaka disuntikan secara intravena pada lipatan
lengan pasien kemudian akan mengikuti aliran darah ke seluruh tubuh (Bushberg, 2002).
Penyebaran radiofarmaka ke seluruh tubuh disebut biodistribusi. Biodistribusi dari Tc99m
perteknetat pada kelenjar tiroid ini untuk mengetahui besarnya aktivitas pada total
kelenjar tiroid. Aktivitas yang sampai di kelenjar tiroid tidak semuanya ditangkap oleh
kelenjar tersebut. Kemampuan penengkapan radiofarmaka (uptake) oleh kelenjar tiroid
pada kasus hipertiroid akan menentukan fungsi dari tiroid tersebut.

Scan kelenjar tiroid dilakukan dengan cara menginjeksikan Tc99m perteknetat


sebanyak (118-170) MBq secara intravena di lengan pasien, selanjutnya dilakukan
pencitraan kelenjar tiroid selama 5 menit setelah injeksi menggunakan kamera gamma
dual head skylight ADAC merek Philips. Biodistribusi radiofarmaka bergantung kepada
aktivitas radiofarmaka yang diinjeksikan ke dalam tubuh. Pada penelitian ini, aktivitas
radiofarmaka dihitung menggunakan teknik ROI dengan satuan count dan dikonversi
menjadi MBq.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa biodistribusi Tc99m perteknetat pada


keseluruhan pasien rerata biodistribusi pada lobus kanan lebih besar daripada lobus kiri
dan biodistribusi pada pasien hipertiroid toksik lebih tinggi dibandingkan non toksik.
Menurut Syaifuddin (2006), lobus kanan tiroid menerima suplai darah yang lebih banyak
dibandingkan lobus kiri, sehingga biodistribusi radiofarmaka juga akan tersebar lebih
banyak pada bagian lobus kanan. Pembesaran pada lobus kanan yang mengakibatkan
tingginya aktivitas sel pada lobus kanan tersebut. Hal ini juga disebabkan karena
radiofarmaka yang masuk ke dalam tubuh akan mengikuti aliran darah. Radiofarmaka
yang disuntikkan ke daerah lipatan lengan (vena cubiti) akan masuk ke dalam vena
subclavia, kemudian ke vena cava superior, lalu masuk ke dalam serambi kanan, bilik
kiri, bilik kanan, paru-paru, kemudian masuk melalui serambi kiri, bilik kiri lalu aorta dan
keseluruh tubuh termasuk ke kelenjar tiroid, sehingga radiofarmaka yang terdistribusi di
lobus kanan lebih besar daripada lobus kiri. Uptake tiroid pasien hipertiroid toksik berada
di atas batas normal angka penangkapan tiroid yaitu (8,54 – 16,67) % dan membutuhkan
penanganan lebih lanjut terhadap kelainan fungsi tiroidnya. Uptake tiroid pasien
hipertiroid non toksik masih berada dalam batas uptake normal yaitu (2,19-6,85) %.

B. IMPLIKASI DALAM KEPERAWATAN

Dengan hasil penelitian tersebut dapat dimanfaatkan bagi tenaga medis termasuk
perawat dalam penanganan klien dengan hipertiroidisme. Seperti pada klien dengan
hipertiroid toksik memerlukan penanganan yang lebih lanjut, berbeda dengan non toksik.
Selain itu terhadap biodistribusi radiofarmaka sebelah kanan yang lebih besar perlu
dijadikan pertimbangan dalam penatalaksanaan hipertiroid. Sehingga kelak akan
ditemukan teknik pengobatan yang lebih efektif.

C. SKRINING/DETEKSI DINI

Skrining dalam penelitian tersebut bertujuan untuk menentukan besar, bentuk, letak
serta jenis dari hipertiroid. Sedangkan biodistribusi dari Tc99m perteknetat pada kelenjar
tiroid ini untuk mengetahui besarnya aktivitas pada total kelenjar tiroid.
Judul Jurnal Kelebihan Asupan Iodium yang Kronik Pada Ibu Menyusui dan
Bayinya
Penulis Djoko Kartono dan Sri Supadmi
Penerbit Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik,
Badan Litbangkes, Bogor
Tahun Terbit 2013

A. REVIEW JURNAL

Dari review jurnal tersebut dipaparkan bahwa pemeriksaan kadar iodium dalam ASI.
proporsi ibu menyusui dengan TSH <0,3 μIU/mL yang merupakan batas atas dari risiko
hipertiroidisme itu tinggi. Dalam jurnal tersebut dijelaskan bahwa asupan iodium sangat
erat kaitanya dengan itu semua. Asupan iodium pada ibu menyusui dalam penelitian ini
sudah mencapai 1,5 kali lipat dari Uls. Asupan iodium diatas Uls yang kronik dapat
menyebabkan meningkatnya riisko efek buruk pada kesehatan bayi dan jika berlebihan
dapat menyebabkan gejala yang sama seperti kekurangan iodium yaitu gondok,
meningkatnya TSH dan hipotiroidisme. Hal ini dikarenakan kelebihan iodium
menghambat sintesa hormone tiroid yang dapat mengakibatkan gondok. Maka dari itu
kandungan iodium yang tinggi dalam air minum maupun garam yang dikonsumsi oleh ibu
menyusui menunjukkan bahwa ibu menyusui terpapar oleh asupan iodium yang
berlebihan. EIU pada ibu menyusui dan bayinya menunjukkan bahwa asupan iodium
sudah mencapai kategori berlebihan. TSH pada ibu menyusui menunjukkan
kecenderungan kearah risiko hipertiroidisme. Sedangkan fT4 memberikan konfirmasi
adanya hipertiroidisme subklinik maupun hipertiroidisme pada ibu menyusui.

B. IMPLIKASI DALAM KEPERAWATAN

Dalam hal ini implikasi kita dalam keperawatan adalah dengan cara memberikan
suatu edukasi tentang penggunaan asupan iodium kepada ibu-ibu menyusui agar tidak
menggunakanya secara berlebih yang nantinya dapat mengakibatkan efek buruk yang
terjadi pada bayinya. dalam penggunaan ASI juga kita dapat menganalisis tentang
deskriptif dana analitik yang dilakukan untuk menilai eksresi iodium dalam urin ibu yang
menyusui dan bayinya sebagai refleksi asupan total iodium, kadar TSH dan fT4, kadar
iodium dalam ASI ibu yang nantinya itu semua merupakan sebagai sumber asupan
iodium pada bayi yang akan dikonsumsi sang bayi sehari-hari. Hal tersebut dilakukan
untuk mencegah meningkatnya angka hipertiroid di Indonesia pada Ibu-Ibu menyusui.

C. SKRINING/DETEKSI DINI

Dalam jurnal tersebut maka bisa ditarik kesimpulan bahwa skrining dalam
pemeriksaan kadar iodium dalam ASI dapat dilakukan pada daerah yang mendapatkan
cukup asupan iodium. Kita juga dapat memonitor dengan meminta bantuan dari
puskesmas setempat untuk memastikan bahwa sampel dapat diterima secara benar dan
juga bisa dipastikan bahwa sampel dapat diterima secara benar dengan cara kita
mendapatkan suatu hasil dari ibu-ibu yang terkait dengan pemberian ASI mereka kepada
bayinya dengan lancar.
Judul Jurnal Indek Massa Tubuh (IMT) pada Wanita Usia Subur Hipertiroid di
Daerah Magelang
Penulis Sri Supadmi dan Suryati Kumorowulan
Penerbit Balai Litbang GAKI Magelang
Kapling Jayan Borobudur Magelang
Tahun Terbit 2009

A. REVIEW JURNAL

Hipertiroid merupakan kelainan yang timbul dari kelenjar tiroid karena terlalu aktif
memproduksi hormon tiroksin. Hipertiroid disertai berbagai keluhan dan gejala yang
sering kali tidak spesifik seperti pada stadium yang ringan sering tanpa keluhan. Beberapa
klien dengan hipertiroid disertai dengan keluhan nafsu makan yang menurun sehingga
menyebabkan penurunan berat badan karena terjadi perubahan asupan konsumsi
makanan. Perubahan ini dapat diketahui dengan mengukur indek massa tubuh (IMT) pada
wanita usia subur.

Pada jurnal dilakukan penelitian tentang hubungan indek massa tubuh (IMT) pada
WUS dengan hipertiroid di daerah Magelang. Pada penelitian, didapatkan hasil bahwa
tidak ada hubungan IMT dengan hipertiroid yang diderita. Namun hasil penelitian yang
dilakukan tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh
Ata, bahwa pada pasien yang hipertiroid maka akan mengalami kehilangan berat badan
yang semakin lama semakin menjadi kurus. Menurut Guyton, apabila produksi hormon
tiroid terjadi peningkatan maka akan memberikan efek terhadap berat badan yang hampir
selalu menurun. Selain itu, menurut Francis Greenspan, tirotoksikosis adalah sindroma
klinis yang terjadi bila jaringan terpajan hormon tiroid dalam kadar tinggi yang
kebanyakan disebabkan oleh hiperaktivitas kelenjar tiroid atau hipertiroidism. Gambaran
klinis pada individu termasuk sering terjadi penurunan berat badan yang jelas walaupun
tanpa terjadi penurunan nafsu makan.

B. IMPLIKASI DALAM KEPERAWATAN

Implikasi jurnal tersebut dalam keperawatan adalah seorang perawat dapat


mewaspadai bahwa salah satu tanda hipertiroid adalah penurunan berat badan. Dan
masalah keperawatan yang dapat muncul dari pasien hipertiroid yaitu ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Sehingga perawat dituntut harus bisa memberikan
asuhan keperawatan untuk mengatasi permasalahan nutrisi pada klien dengan hipertiroid.

C. SKRINING/DETEKSI DINI

Untuk mencegah agar kasus hipertiroid tidak meluas maka perlu dilakukan upaya
untuk mendeteksi sedini mungkin terhadap gejala dan keluhan yang muncul dengan
melakukan penelitian mengenai nilai IMT pada wanita usia subur yang menderita
hipertiroid. Dengan demikian akan diketahui apakah pada wanita usia subur yang IMT
rendah akan berhubungan dengan status hipertiroid dan apakah pada wanita usia subur
yang IMT nya normal akan mempunyai status normotiroid.
Judul Jurnal Hubungan Status Hipertiroid dengan Siklus Menstruasi Penderita
Hipertiroid di Klinik Litbang Gaki Magelang
Penulis Prihatin Broto Sukandar, Diah Yunitawati, Nur Ihsan
Penerbit Balai Litbang GAKI Magelang
Tahun Terbit 2015

A. REVIEW JURNAL

Dari jurnal mengenai hubungan status hipertiroid dengan siklus menstruasi


menunjukkan bahwa hipertiroid dapat berefek signifikan pada metabolisme estrogen dan
androgen, fungsi menstruasi, dan berhubungan dengan fertilitas. Kadar plasma estrogen
dapat meningkat dalam keadaan hipertiroid dibandingkan dengan wanita normal pada
semua fase dari siklus menstruasi. Namun dari hasil penelitian menunjukkan bahwa
penyebab siklus menstruasi yang tidak teratur pada hipertiroid disebabkan oleh beberapa
faktor. Tidak khusus pada penderita hipertiroid saja. Faktor tersebut seperti status gizi,
aktifitas fisik, dan stres

B. IMPLIKASI DALAM KEPERAWATAN

Implikasi jurnal tersebut dengan dunia keperawatan saat ini adalah pentingnya
memberikan helath education untuk pasien. Salah satu peran perawat sebagai educator
dapat menginformasikan kepada pasien hipertiroid bahwa dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa tidak semua hipertiroid mengalami siklus menstruasi yang tidak
teratur. Perawat memberikan contoh pola hidup yang sehta bagi penderita hipertiroid
untuk mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut.

C. SKRINING/DETEKSI DINI

Skrining atau deteksi dini untuk menentukan hipertiroid menurut jurnal tersebut yaitu
dengan menggunakan cara pengukuran kadar TSH dan fT4 dalam serum darah. Kadar
TSH dan fT4 dengan menggunakan teknik ELISA kit dari Human di laboratorium BP2
GAKI Magelang. Hasil dikelompokkan berdasarkan kriteria hipertiroid klinis dan
subklinis. Hipertiroid klinis yaitu dari pemeriksaan sitologi kadar TSH kurang dari
normal (<0,3 µIU/mL), kadar fT4 lebih dari nilai normal (>2,0 µIU/mL) sedangkan
hipertiroid subklinis kadar TSH kurang dari normal (<0,3µIU/mL), kadar fT4 masih
dalam batas normal (0,8-2,0 µIU/mL).
Judul Jurnal Penatalaksanaan Penyakit Jantung Tiroid
Penulis Frans E. Wantania
Penerbit Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Divisi Kardiologi. Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado
Tahun Terbit 2014

A. REVIEW JURNAL

Penyakit jantung tiroid adalah penyakit jantung yang disebabkan oleh pengaruh
hormon tiroid. Pengaruh biokimiawi hormon tiroid pada jantung terjadi terutama pada
hipertirodisme. Hipertiroidisme adalah hiperfungsi tiroid, yaitu peningkatan biosintesis
dan sekresi hormon oleh kelenjar tiroid. Insiden penyakit jantung tiroid cukup tinggi di
masyarakat dan dapat mengenai segala usia. Hormon tiroid meningkatkan metabolisme
tubuh total dan konsumsi oksigen yang secara tidak langsung meningkatkan beban kerja
jantung. Pasien sering mengalami palpitasi, irama jantung yang tidak teratur, dan sesak
saat beraktivitas. Pada pasien lanjut usia yang memiliki dasar penyakit arteri koroner,
angina pektoris dapat terjadi bersamaan dengan onset hipertiroidisme. Selain itu, pasien
dengan hipertiroidisme dapat menunjukkan tanda-tanda gagal jantung kongestif tanpa
kelainan jantung sebelumnya. Penatalaksanaan penyakit kardiovaskular pada
hipertiroidisme ialah secepatnya menurunkan kondisi hipermetabolik dengan pemberian
obat antitiroid untuk menurunkan kadar hormon tiroid dan menangani manifestasi
kardiovaskular lainnya seperti menurunkan kecepatan irama jantung dan pemberian obat-
obatan anti hipertensi.

B. IMPLIKASI DALAM KEPERAWATAN

Dalam hal ini implikasi kita dalam keperawatan adalah dengan cara memberikan
suatu informasi dan edukasi kepada masyarakat khususnya klien yang mengalami
hipertiroid dengan komplikasi kardiovaskular tentang berhati-hati dalam penggunaan obat
karena dapat memperburuk fungsi miokard, kita juga dapat memberikan informasi
mengenai faktor risiko yang akan dialami. Jika minimnya pengetahuan pada masyarakat
ini terus tejadi, maka angka penyakit jantung tiroid semaki tinggi. Hal tersebut dilakukan
untuk mencegah meningkatnya hal tersebut di Indonesia terutama pada klien yang
mengalami hipertiroid dengan komplikasi kardiovaskular.

C. SKRINING/DETEKSI DINI

Dalam jurnal tersebut maka bisa ditarik kesimpulan bahwa skrining dalam
penatalaksanaan penyakit jantung tiroid dapat dilakukan kepada masyarakat yang
mengalami hipertiroid dengan komplikasi kardiovaskular. Kita perlu melakukan monitor
dengan meminta bantuan dari puskesmas setempat untuk memastikan bahwa sampel
dapat diterima secara benar dengan cara kita mendapatkan suatu hasil dari masyarakat
yang mengalami hipertiroid dengan komplikasi kardiovaskular. Diagnosis penyakit
jantung hipertiroid dapat ditegakkan dan dipastikan dengan pemeriksaan kadar hormon
tiroid bebas, yaitu kadar FT4 yang tinggi dan TSH yang sangat rendah. Atau dapat
ditegakkan dengan menggunakan kriteria Framingham, yaitu bila gejala dan tanda gagal
jantung memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor.
Judul Jurnal Osteoporosis pada Hipertiroidisme
Penulis Desi Salwani
Penerbit Jurnal Kedokteran Syiah Kuala Volume 13 Nomor 3 Desember
2013
Tahun Terbit 2013

A. REVIEW JURNAL

Jurnal “Osteoporosis pada Hipertiroidisme” menjelaskan kaitan antara hormon tiroid


dan tulang. Kaitan antara hormon tiroid dan tulang pertama diketahui tahun 1890, saat
Von Reckling hausen melaporkan kasus hipertiroidisme disertai fraktur multipel. Di
Amerika serikat, terjadi pada 1 dari 2 wanita usia lebih dari 50 tahun dan meningkat
sejalan dengan bertambahnya usia, mengakibatkan fraktur, meningkatkan morbiditas serta
mortalitas. Osteoporosis terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu osteoporosis primer
disebabkan oleh kelainan metabolisme pada tulang dan osteoporosis sekunder.
Osteoporosis primer terbagi menjadi tipe 1 dikenal osteoporosis post menopause dan tipe
2 dikenal osteoporosis senilis. Osteoporosis sekunder dapat ditimbulkan oleh berbagai
sebab seperti penyakit metabolik, kelainan genetik, obata-obatan serta adanya gangguan
nutrisi. Salah satunya disebabkan oleh hipertiroidisme.

Hormon tiroid secara langsung menstimulasi osteoblas. Aktivitas osteoklas dipacu


oleh hormon tiroid bila ada osteoblas. Stimulasi dimediasi oleh sitokin. Gangguan fungsi
tiroid mempengaruhi metabolisme mineral. Pada pasien dengan hipertiroid terjadi
peningkatan asupan kalsium namun absorbsi berkurang serta meningkatnya kehilangan
kalsium melalui feses dan kulit sehingga memicu keseimbangan yang negatif.
Menurunnya konsentrasi 1,25-OH vitamin D pada hipertiroidisme berperan dalam
berkurang absorbsi kalsium. Hipertiroidisme yang tidak diterapi menimbulkan
osteoporosis berat dan fraktur patologis.

B. IMPLIKASI DALAM KEPERAWATAN

Setelah mengetahui hasil analisa diatas, penting bagi perawat untuk mengedukasi atau
sebagai edukator menjelaskan pada masyarakat bahwa penyakit hipertiroid dapat
menstimulasi osteoblast yang dapat mempengaruhi metabolisme mineral. Bila terdapat
klien dengan hipertiroid yang tidak berobat, maka dapat menimbulkan osteoporosis berat
dan fraktur patologis.

Tatalaksana klien hipertiroidisme dengan hipertiroidisme meliputi latihan dan


rehabilitasi sehingga otot akan kuat dan tidak mudah jatuh. Pada pasien yang belum
mengalami osteoporosis sifat latihan berupa pembebanan tulang, namun pada pasien yang
sudah osteoporosis latihan tanpa beban. Sejumlah agen telah diteliti mampu mencegah
osteoporosis pada hipertiroidisme. Beberapa penelitian menunjukkan perbaikan densitas
tulang pada penggunaan bifosfonat oral, risendronat, alendronat dan pamidronat
parenteral.

C. SKRINING/DETEKSI DINI
Berdasarkan dari hasil penelitian ini maka dapat disarankan bahwa penanganan suatu
fraktur bergantung pada jenis frakturnya. Mengurangi risiko jatuh mampu mengurangi
risiko fraktur dikemudian hari. Penanganan terhadap osteoporosis lebih ditujukan
terhadap pengurangan risiko fraktur melalui peningkatan densitas dan kekuatan tulang.
Hal ini dapat dicapai melalui asupan kalsium dan vitamin D yang adekuat, weight bearing
exercise secara teratur, kurangi konsumsi alkohol dan rokok.

Anda mungkin juga menyukai