Anda di halaman 1dari 14

ULKUS PEPTIKUM

Disusun oleh :

Veviek Purna Lestari


Nim: 112019030420

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS

TAHUN 2020
ULKUS PEPTIKUM

1. Pendahuluan

Lambung sebagai reservoir/lumbung makanan berfungsi menerima


makanan dan minuman, menggiling, mencampur dan mengosongkan
makanan ke dalam duodenum. Lambung yang selalu berhubungan dengan
semua jenis makanan, minuman, obat-obatan akan mengalami iritasi kronik.
Lambung dilindungi oleh terhadap faktor iritan oleh lapisan mucus dan epitel.
Namun beberapa faktor iritan seperti makanan, minuman, NSAIDs, alkohol
dan empedu dapat menimbulkan defek lapisan mucus dan difusi balik ion

H+ sehingga timbul gastritis dan ulkus gaster.


Ulkus peptikum merupakan masalah pada banyak pasien di Amerika
Serikat. Dalam satu tahun frekuensi ulkus peptikum di AS adalah 1,8% atau 4,5
juta orang.
Di negara lain ulkus peptikum mempunyai insidensi yang berbeda.
Penyebab utama terjadinya ulkus adalah inflamasi kronik akibat H. pylori yang
berkoloni di mukosa antrum dan gastrin yang menstimulasi produksi asam
lambung oleh sel parietal.

2. Definisi
Ulkus peptikum berasal dari kata “ulkus/ulcer ” yang artinya luka
berlubang, dan kata “peptic” yang mengacu pada suatu masalah yang
disebabkan oleh getah lambung. Ulkus peptikum terjadi pada lapisan saluran
pencernaan yang telah terpapar oleh asam dan enzim-enzim pencernaan,
terutama pada lambung dan duodenum. Ulkus peptikum adalah putusnya
kontinuitas mukosa lambung yang meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan
mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut sebagai erosi,
walaupun sering juga disebut sebagai “ulkus” (misalnya ulkus karena stres).
Secara anatomis ulkus peptikum didefinisikan sebagai suatu defek
mukosa/submukosa yang berbatas tegas dapat menembus muskularis
mukosa sampai lapisan serosa sehingga dapat terjadi perforasi. Secara klinis,
suatu ulkus adalah hilangnya epitel superficial atau lapisan lebih dalam
3
dengan diameter ≥5mm yang dapat diamati secara endoskopis atau radiologis.

Gambar 1. Ulkus peptikum

Menurut definisi, ulkus peptikum dapat terletak pada setiap bagian


saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu esofagus, lambung,
duodenum, dan setelah gastroenterostomi, juga jejunum. Dua jenis ulkus
peptikum yang paling sering ditemukan adalah ulkus gaster dan ulkus
duodenum. Nama dari ulkus mengacu pada lokasi anatomis atau lingkungan
di mana ulkus terbentuk. Ulkus gaster di temukan di gaster, dan ulkus
duodenum ditemukan pada beberapa sentimeter pertama usus halus, tepat di
bawah lambung. Pada saat bersamaan seseorang bisa terkena ulkus gaster dan
ulkus duodenum
3. Etiologi
Walaupun fakor penyebab yang penting adalah aktivitas pencernaan
peptik oleh getah lambung, namun tedapat bukti yang menunjukkan bahwa
banyak factor yang berperan dalam pathogenesis ulkus peptikum. Misalnya,
bakteri H. pylori dijumpai pada sekitar 90% penderita ulkus duodenum.
Penyebab ulkus peptikum lainnya adalah sekresi bikarbonat mukosa,genetic,
NSAIDs, gastrinoma (Sindroma Zollinger-Ellison), alcohol, stress (luka bakar,
trauma), refluk empedu, refluk enzim pancreas, Crohn’s disease, radiasi dan
infeksi virus maupun bakteri.
Penyebab utama ulkus peptikum yang paling penting adalah infeksi H.
Pylori dan NSAIDs. H. pylori merupakan bakteri yang hidup dalam lambung
orang yang terinfeksi. Penemuan mengenai pathogenesis ulkus akibat
infeksi H. pylori merupakan suatu penemuan medis penting pada akhir abad
20, oleh dr. Barry Marshall dan dr. J. Robin Warren yang dihadiahi nobel atas
penemuannya.
NSAIDs merupakan salah satu obat yang sering digunakan sebagai
analgesik. Terdapat beberapa macam NSAIDs yang beredar dipasaran
seperti ; aspirin, ibuprofen, naproxen, ketorolac dan oxaprozin. Karena
NSAIDs sangat umum digunakan dan mudah didapat tanpa resep dokter,
NSAIDs sangat sering menyebabkan terjadinya ulkus peptikum karena
dapat menganggu kemampuan lambung dan duodenum untuk proteksi dari
asam lambung dan juga menganggu proses pembekuan darah. Hal ini
memberikan peranan penting dalam terjadinya perdarahan. Pada pasien yang
mengkonsumsi NSAIDs dalam jangka panjang maupun dalam jumlah yang
besar, mempunyai risiko yang kebih tinggi untuk
terjadinya ulkus.

4. Patogenesis
Patogenesis ulkus peptikum terjadi akibat multifaktor yang
menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara faktor agresif dan faktor
defensif. Faktor agresif terbagi menjadi faktor agresif endogen (HCl,
pepsinogen/pepsin, garam empedu) dan faktor agresif eksogen (obat-obatan,
alcohol, infeksi). Faktor defensif meliputi mucus, bikarbonat, dan
prostaglandin. Keadaan lingkungan dan individu juga memberikan kontribusi
dalam terjadinya ulkus yang mengakibatkan terjadinya peningkatan sekresi
asam lambung atau melemahnya barier mukosa. Faktor lingkungan meliputi
penggunaan NSAIDs, rokok, alcohol dan emosi serta stress psikis. Faktor
individu berupa H. Pylori dan infeksi lainnya yang menyebabkan
hipersekresi seperti pada sindrom Zollinger-Ellison.
Penggunaan NSAIDs merupakan penyebab yang paling sering yang
menyebabkan kerusakan mukosa dan perdarahan, dan diperkirakan hingga
30% pengkonsumsi regular NSAIDs mengalami satu ulkus bahkan lebih.
Pengguna NSAIDs memiliki risiko empat kali lipat untuk terjadinya komplikasi
7
perdarahan.
Pemakaian NSAIDs bukan hanya menyebabkan kerusakan
struktural pada gastroduodenal, tetapi juga pada usus halus dan usus besar
berupa inflamasi, ulserasi, atau perforasi. Patogenesis terjadinya
kerusakan mukosa terutama gastroduodenal adalah akibat efek
toksik/iritasi langsung pada mukosa yang menangkap NSAIDs yang
bersifat asam sehingga terjadi kerusakan epitel dalam berbagai tingkat,
namun efek utama NSAIDs adalah menghambat kerja dari enzim
siklooksigenase (COX) pada asam arakidonat sehingga menekan
produksi prostaglandin yang berfungsi dalam memelihara keutuhan
mukosa dengan mengatur aliran darah mukosa, proliferasi sel-sel epitel,
sekresi mucus dan bikaronat, mengatur fungsi imunosit mukosa serta sekresi
basal asam lambung.
Gambar 4. Skema pembentukan prostaglandin
Kerusakan mukosa akibat hambatan produksi prostaglandin melalui 4
tahap yaitu; menurunnya sekresi mucus dan bikarbonat, terganggunya sekresi
asam dan proliferasi sel-sel mukosa, berkurangnya aliran darah mukosa dan
kerusakan mikrovaskuler yang diperberat oleh kerja sama platelet dan
mekanisme koagulasi. Beberapa faktor risiko yang memudahkan terjadinya
ulkus peptikum pada pengguna NSAIDs adalah :
 Umur tua (> 60 tahun)
 Riwayat adanya tukak peptic sebelumnya
 Dyspepsia kronik
 Intoleransi terhadap penggunaan NSAIDs sebelumnya
 Jenis, dosis dan lamanya penggunaan NSAIDs
 Penggunaan secara bersamaan dengan kortikosteroid, antikoagulan dan
penggunaan 2 jenis NSAIDs bersamaan
 Penyakit penyerta lainnya.
H. pylori merupakan bakteri gram negative mikroaerophilic, berbentuk
spiral pendek /S shape, hidup dalam suasana asam dalam lambung dan duodenum
dengan ukuran panjang 3µm dan diameter 5µm, mempunyai satu atau lebih
flagel pada ujungnya. Bila terjadi infeksi, maka bakteri ini akan melekat

pada permukaan epitel dengan bantuan adhesin. Infeksi H. pylori merupakan


penyebab utama ulkus peptikum di Negara berkembang. H. pylori hidup di
lapisan dalam mukosa, terutama mukosa antrum menyebabkan kelemahan pada
sistem pertahanan mukosa dengan mengurangi ketebalan lapisan mukosa dengan
melepaskan berbagai macam enzim seperti urease, lipase, protease dan
posfolipase dan mengeluarkan berbagai macam sitotoksin (vacuolating
cytotxin/ Vac A gen) yang dapat menyebabkan vakuolisasi sel-sel epitel.
Urease dapat memecah urea dalam lambung menjadi amonia yang toksik
terhadap sel-sel epitel, sedangkan protease dan fosfolipase A2 menekan sekresi
mucus yang menyebabkan daya tahan mukosa menurun, merusak lapisan yang
kaya lipid pada apical sel epitel dan melalui kerusakan sel-sel ini asam
lambung berdifusi balik menyebabkan nekrosis yang lebih luas sehingga
terjadi ulkus peptikum.
Gambar 5. Bakteri H.pylori

H. pylori yang terkonsentrasi dalam antrum mengakibatkan antrum


predominant gastritis sehingga terjadi kerusakan pada sel D yang
mengeluarkan stomatostatin, yang berfungsi mengerem produksi gastrin.
Akibatnya produksi gastrin meningkat dan merangsang sel parietal
mengeluarkan asam lambung yang berlebihan. Asam lambung masuk ke
duodenum sehingga keasaman meningkat menyebabkan duodenitis yang
berlanjut menjadi ulkus duodenum. Asam lambung yang tinggi dalam
duodenum mengakibatkan gastric metaplasia yang dapat merupakan tempat
hidup H. pylori dan sekaligus dapat memproduksi asam sehingga lebih
menambah keasaman dalam duodenum. Keasaman yang tinggi akan menekan
produksi mucus dan bikarbonat, menyebabkan daya tahan mukosa lebih
menurun dan mempermudah terbentuknya ulkus duodenum
5. Gejala klinis
Secara umum pasien ulkus peptikum biasanya mengeluh dyspepsia.
Dyspepsia adalah suatu sindroma klinik/kumpulan keluhan beberapa penyakit
saluran cerna seperti mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati, sendawa, rasa
terbakar, rasa penuh ulu hati dan cepat merasa kenyang. Dyspepsia secara
klinis dibagi atas : 1) dyspepsia akibat gangguan motilitas, 2) dyspepsia akibat
ulkus, 3) dyspepsia akibat refluks, 4) dyspepsia tidak spesifik.
Pada dyspepsia akibat gangguan motilitas keluhan yang paling menonjol
adalah perasaan kembung, rasa penuh ulu hati setelah makan, cepat
merasa kenyang disertai sendawa. Pada dyspepsia akibat refluks keluhan
yang menonjol berupa perasaan nyeri ulu hati dan rasa terbakar. Pada ulkus
peptikum memberikan ciri keluhan seperti nyeri ulu hati, rasa tidak nyaman
disertai muntah. Pada ulkus duodenum rasa sakit timbul pada waktu
pasien merasa lapar, rasa sakit membangunkan pasien tengah malam, rasa
sakit hilang setelah makan dan minum obat antasida (Hunger Pain Food
Relief=HPFR). Rasa sakit ulkus gaster timbul setelah makan, berbeda
dengan ulkus duodenumyang merasa lebih enak setelah makan, rasa sakit
ulkus gaster di sebelah kiri dan rasa sakit ulkus duodenum sebelah kanan
garis tengah perut.
Gejala ulkus duodenum memiliki periode remisi dan eksaserbasi, menjadi
tenang dan berminggu-minggu-berbulan-bulan dan kemudian terjadi
eksaserbasi beberapa minggu merupakan gejala khas. Nyeri epigastirum
merupakan gejala yang paling dominan, nyeri seperti rasa terbakar, nyeri rasa
lapar, rasa sakit/tidak nyaman yang menganggu dan tidak terlokalisasi, biasanya
terjadi setelah 90menit- 3 jam post prandial dan nyeri dapat berkurang sementara
sesudah makan.
Pada beberapa pasien, ulkus tidak memberikan gejala/asimptomatik.
Gejala ulkus yang penting adalah perdarahan dan nyeri. Namun, tidak
semua nyeri abdomen merupakan ulkus. Perdarahan ulkus bisa terjadi lambat
dan tidak disadari, namun juga bisa merupakan ancaman langsung. Pada
perdarahan ulkus yang lambat bisa memberikan gejala berupa anemia. Gejala
anemia berupa fatigue, kulit pucat dan sesak terutama saat aktivitas. Perdarahan
yang terjadi secara cepat bisa menimbulkan gejala berupa melena, feses
kental hitam seperti tar, atau dalam jumlah besar bisa memberikan gejala
merah gelap atau merah maroon. Pada perdarahan biasanya diikuti dengan
muntah berwarna hitam (coffee grounds). Perdarahan yang masif merupakan
suatu kegawatdaruratan, sehingga diperlukan penanganan yang cepat. Sepuluh
persen dari ulkus peptikum terutama akibat NSAIDs menimbulkan komplikasi
perdarahan tanpa adanya keluhan nyeri sebelumnya. Tinja berwarna seperti
teer (melena) harus diwaspadai sebagai suatu perdarahan ulkus. Pada
dispepsia kronik, sebagai pedoman untuk membedakan antara
dyspepsia fungsional dan dyspepsia organik dapat ditemukan gejala
peringatan (alarm sign) berupa :
 Umur > 45-50 tahun keluhan muncul pertama kali
 Adanya perdarahan hematemesis/melena
 BB menurun > 10%
 Anoreksia/cepat kenyang
 Riwayat ulkus peptikum sebelumnya
 Muntah yang persisten
 Anemia yang tidak diketahui sebabnya
Pada pemeriksaan fisik tidak banyak tanda fisisk yang didapatkan,
selain kemungkinan berupa nyeri tekan epigastrium, kecuali bila sudah
terjadi komplikasi.

6. Diagnosis
Diagnosis ulkus peptikum ditegakkan berdasarkan : 1) pengamatan
klinis, dyspepsia, kelainan fisik yang dijumpai, 2) hasil pemeriksaan penunjang
(radiologi dan endoskopi), 3) hasil biosi untuk pemeriksaan CLO,
histopatologi kuman H. pylori. Diagnosis banding untuk ulkus peptikum adalah
; 1) dyspepsia non ulkus,
2) dyspepsia fungsional, 3) tumor lambung/saluran cerna bagian atas 4) GERD,
5) Penyakit vascular, 6) penyakit pankreatobilier dan 7) penyakit
gastroduodenal Crohn’s.
Ada dua cara untuk mendiagnosis ulkus. Pertama, disebut sebagai “upper GI
series”, dimana pasien diminta untuk menelan barium, kemudian difoto dengan
x- ray untuk melihat mukosa lambung. Kedua, disebut sebagai “EGD
(EsophagoGastro Duodenoscopy)” , disebut juga “upper endoscopy”,

untuk melihat secara langsung mukosa lambung dan duodenum. Disamping


itu, untuk memastikan diagnosa keganasan ulkus gaster harus dilakukan
pemeriksaan histopatologi, sitologi brushing dengan biopsy melalui endoskopi.
Biopsy diambil dari pinggiran dasar ulkus, dengan ditemukannya bakteri H.
pylori sebagai etiologi ulkus peptikum maka dianjurkan pemeriksaan ter CLO,
serologi, UBT denganbiopsi melalui endoskopi. Gambaran radiologi ulkus
berupa crater/kawah dengan batas jelas disertai lipatan mukosa yang teratur
keluar dari pinggiran ulkus dan niche dan gambaran suatu proses keganasan
lambung yang biasa dijumpai adalah gambaran filling defect. Gambaran
endoskopi untuk suatu ulkus jinak berupa luka terbuka dengan pinggiran
teratur, mukosa licin dan normal disertai lipatan yang teratur keluar dari
pinggiran ulkus. Karena tingginya kejadian keganasan pada ulkus gaster
(70% ) maka dianjurkan untuk dilakukan biopsy dan endoskopi ulang setelah 8-
12 minggu
terapi eradikasi.

Gambar 7. Gambaran endoskopi dan radiologi ulkus gaster


7. Pentalaksanaan
Ada banyak mitos seputar ulkus. Ulkus tidak disebabkan oleh stress
atau cemas. Ulkus juga tidak disebabkan oleh makanan pedas atau makanan
dalam porsi besar. Beberapa jenis makanan mungkin menyebabkan iritasi
pada ulkus yang sudah terbentuk, namun makanan tidak akan menyebabkan
3
ulkus. Pemberian diet yang mudah dicerna khususnya pada ulkus yang aktif
perlu dilakukan. Mengurangi makanan yang merangsang pengeluaran asam
lambung/pepsin, makanan yang merangsang timbulnya nyeri dan zat-zat lain
yang dapat menganggu pertahanan mukosa gastroduodenal perlu diperhatikan.
Pada umumnya manajemen atau pengobatan ulkus peptikum dilakukan secara
medikamentosa, sedangkan cara pembedahan dilakukan apabila terjadi
komplikasi seperti perforasi, obstruksi dan perdarahan yang tidak dapat diatasi.
Tujuan terapi adalah ; 1) menghilangkan keluhan, 2) menyembuhkan/
memperbaiki kesembuhan ulkus, 3) mencegah kekambuhan/rekurensi dan
4) mencegah komplikasi. Walaupun ulkus gaster dan ulkus duodenum sedikit
berbeda dalam patofisiologi tetapi respon terhadap terapi sama. Ulkus gaster
biasanya lebih besar, akibatnya memerlukan waktu terapi yang lebih lama.
Untuk pengobatan ulkus gaster sebaiknya dilakukan biopsy untuk
menyingkirkan adanya suatu keganasan.

a. Terapi ulkus dengan kausa H. pilori


Eradikasi merupakan tujuan utama dalam terapi. Walaupun antibiotic
mungkin cukupuntuk terapi, namun kombinasi dengan penghambat pompa
proton (PPI) dengan dua jenis antibiotic merupakan cara pilihan. Kombinasi
tersebut :
 PPI 2x1 + amoksisilin 2x1 g/hari + klaritromisin 2x500mg
 PPI 2x1 + amoksisilin 2x1 g/hari + metronidazole 2x500mg
 PPI 2x1 + klaritromisin 2x500mg + metronidazole 2x500mg
Jenis preparat dan kemasan PPI yang tersedia : Omeprazol 20mg, rabeprazol
10 mg, pantoprazol 40mg, lanzoprazol 30mg, dan esomeprazol magnesium
20/40mg.

b. Terapi ulkus dengan H. pylori disertai NSAIDs


Eradikasi H. pylori sebagai tindakan utama, bila mungkin pengobatan
NSAIDs dihentikan atau diganti dengan obat NSAIDs spesifik COX 2
inhibitor. PPI diberikan untuk meningkatkan pH lambung di atas 4.
Penggunaan NSAIDs terus menerus setelah eradikasi H. pylori perlu
diberikan PPI sebagai upaya pencegahan terjadinya komplikasi.

c. Terapi ulkus akibat NSAIDs


Penggunaan NSAIDs terutama memblok kerja COX-1 akan
meningkatkan kelainan structural gastroduodenal. Oleh karena itu penggunaan
NSAIDs pada pasien-pasien dengan kelainan musculoskeletal yang lama
harus disertai dengan obat-obatan yang menekan produksi asam lambung
seperti antagonis reseptor H2 (H2RA) atau PPI dan diupayakan pH lambung
di atas 4 atau dengan menggunakan obat sintetik prostaglandin (misoprostol
200µg/hari) sebagai sitoprotektif apabila penggunaan NSAIDs tidak bisa
dihentikan.

d. Terapi ulkus non-H. pilori dan non-NSAIDs


Pada ulkus yang hanya disebabkan oleh peningkatan asam lambung,
maka terapi dilakukan dengan memberikan obat yang dapat menetralisir
asam lambung dalam lumen atau obat yang menekan produksi asam lambung.
 Antasida, dapat menyembuhkan ulkus namun dosis biasanya lebih tinggi
dan digunakan dalam jangka waktu lebih lama dan lebih sering (7x sehari, dosis
1008mEq/hari) dengan komplikasi diare yang mungkin terjadi.
 H2 receptor Antagonist (H2RA), berperan dalam menghambat pengaruh
histamine sebagai mediator untuk sekresi asam melalui reseptor histamin-2 pada
sel parietal,tetapi kurang berpengaruh terhadap sekresi asam melalui pengaruh
kolinergik atau gastrin postprandial. Beberapa jenis preparat yang dapat
digunakan seperti ; cimetidin 2x400mg/hari, atau 1x800mg pada malam
hari, ranitidine diberikan 300mg sebelum tidur malam atau
2x150mg/hari, famotidin diberikan 40mg sebelum tidur malam atau 2x20
mg/hari. Masing-masing diberikan selama 8-12 minggu dengan
penyembuhan sekitar 90%.
 Proton pump inhibitor (PPI), merupakan obat pilihan untuk ulkus peptikum,
diberikan sekali sehari sebelum sarapan pagi atau jika perlu 2 kali sehari
sebelum makan pagi dan makan malam, selama 4minggu dengan tingkat
penyembuhan di atas 90%.
 Obat lain selain sukralfat 2x2gr sehari, atau 4x1 sehari berfungsi menutup
permukaan ulkus sehingga menghindari iritasi/pengaruh asam-pepsin dan
garam empedu, dan disamping itu mempunyai efek tropic.

DAFTAR PUSTAKA

1. Efendi, R., et. al., Level of Gastrin Serum and Ulcer Size on Gastric
Ulcer Correlated to Helicobacter pylori Infection, Division of
Gastroentero- hepatology, Department of Internal Medicine Adam Malik
Hospital, Medan., Vol: 10, Number 3, December 2009.
2. Schafer, T.W., Peptic Ulcer Disease, The American College of
Gastroenterology, Bethesda, Maryland., 2008, www.acg.gi.org, diakses 15
juli 2010.
3. Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson, Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit, edisi 6, Jakarta: Penerbit EGC, 2006.
4. Akil, H.A.M, Tukak duodenum, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
editor Aru W. Sudoyo, dkk., Edisi IV, FKUI, 2007.

5. Harrison’s., Principle of Internal Medicine, 16th edition, editors Kasper,


D.L., et. al., McGarw-Hills Companies, New York, 2005.
6. Tarigan, P., Tukak Gaster, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
editor Aru W. Sudoyo, dkk., Edisi IV, FKUI, 2007.

Anda mungkin juga menyukai