TINJAUAN PUSTAKA
Saluran pencernaan merupakan organ organ yang dilalui oleh makanan atau organ
yang berfungsi mengubah makanan menjadi zat energi bagi tubuh kita. Saluran
pencernaan makanan terdiri dari mulut, kerongkongan (esophagus), lambung, usus
halus, usus besar, rektum dan anus. Serta organ tambahan yang terdiri dari gigi,
lidah, kelenjar ludah, kandung empedu, hati, dan pancreas. Pencernaan dibagi
menjadi:
1. Pencernaan Mekanis
Proses mengunyah dan gerak peristaltik
2. Pencernaan Kimiawi
Makanan dihancurkan oleh enzim-enzim pencernaan yang dikeluarkan di mulut,
lambung, usus halus, kantung empedu dan lain-lain.
4
5
Pada sistem atau saluran pencernaan dapat mengalami gangguan yang bisa
disebabkan oleh bakteri, ketidakseimbangan hormone, makanan, ataupun gaya hidup
setiap individu. Berikut beberapa penjelasan tentang gangguan saluran cerna yang
sering terjadi di masyarakat, antara lain :
dapat melibatkan pankreas atau hati. Pada sebagian besar kasus, tukak ini
terjadi satu persatu di antrum pilori lambung dan di duodenum (3).
a. Duodenal Ulcer
Hipersekresi asam lambung merupakan salah satu faktor penyebab
duodenal ulcer, selain itu ulcer dapat terbentuk karena adanya respon
abnormal terhadap rangsangan submaksimal dari sel-sel sekretori dengan
jumlah normal atau respon dari sel-sel parietal dengan jumlah lebih besar
dari normal. Pasien dengan duodenal ulcer memiliki jumlah sel-sel
sekretori yang lebih besar dari orang normal. Pada duodenal ulcer rasa
nyeri muncul 2 jam setelah makan, dan semakin parah dengan adanya
makanan asam, alkohol, dan kopi, oleh karena itu penderita duodenal
ulcer dapat terbangun pada pukul 1-2 pagi. Mulanya terjadi kerusakan
mukosa berkaitan dengan reaksi peradangan. Banyak terjadi pada usia
muda terutama pada pria (4).
b. Gastric Ulcer
Pada gastric ulcer rasa nyeri muncul 30 menit sampai 1 jam setelah
makan, rasa nyeri dapat diredakan dengan pemberian antasida atau
dengan memuntahkan makanan. Sama halnya dengan duodenal ulcer,
gastric ulcer terjadi karena reaksi peradangan. Gejala yang timbul sulit
dibedakan dengan duodenal ulcer dan perlu dilakukan endoskopi untuk
memastikannya. Banyak terjadi pada usia pertengahan atau lebih tua,
terutama pada masyarakat tingkat ekonomi rendah dan perokok.
Perubahan ketahanan mukosa dan terjadinya refluks empedu dapat
mempengaruhi terjadinya gastric ulcer (4).
c. Stress ulcer
Terjadinya tekanan pada lambung dan atau erosi pada lambung karena
luka bakar hebat, sepsis, cedera kepala, atau trauma. Pada stress ulcer
melibatkan perdarahan saluran cerna yang fatal. Perdarahan harus diatasi
dengan pemberian antasida atau obat antipeptik yang lain, apabila
perdarahan tetap terjadi dengan pemberian profilaksis maka vagotomi
dan gastrektomi perlu dilakukan (4).
7
d. Gastritis erosif
Gastritis erosif sering kali terjadi karena pemberian obat-obat seperti
NSAID, aspirin, kortikosteroid dapat menimbulkan erosi pada mukosa
lambung. Alkohol juga berperan dalam semakin buruknya kondisi
penyakit. Pemberian obat-obat tersebut juga dapat memperparah
prognosis duodenal ulcer (4).
e. Refluks esofagitis
Refluks esofagitis merupakan terjadinya refluks isi lambung ke dalam
esophagus, dapat terjadi pada berbagai jenis usia dan jenis kelamin.
Gejala yang timbul seperti nyeri epigastrik, heartburn, dan regurgitasi.
Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus sfingter esophagus seperti
makanan, coklat, alkohol, dan rokok dapat memperberat gejala yang
dialami (4).
3. Patogenesis (4)
Kerusakan pada mukosa gastroduodenum berpunca daripada
ketidakseimbangan antara faktor-faktor yang merusak mukosa dengan faktor
yang melindungi mukosa tersebut. Oleh sebab itu, kerusakan mukosa tidak
hanya terjadi apabila terdapat banyak faktor yang merusakkan mukosa tetapi
juga dapat terjadi apabila mekanisme proteksi mukosa gagal. Faktor
pertahanan ini antara lain adalah pembentukan dan sekresi mukus, sekresi
bikarbonat, aliran darah mukosa dan difusi kembali ion hidrogen pada epitel
serta regenerasi epitel.
Di samping kedua faktor tadi ada faktor yang merupakan faktor
predisposisi (kontribusi) untuk terjadinya tukak peptik antara lain daerah
geografis, jenis kelamin, faktor stress, herediter, merokok, obat-obatan dan
infeksi bakteria agresif.
Pada pengguna NSAIDs, contohnya, indomethacin, diclofenac,dan
aspirin (terutamanya pada dosis tinggi), kerjanya yang menghambat enzim
siklooksigenase menyebabkan sintesis prostaglandin dari asam arakidonat
turut terhambat. Efek yang tidak diinginkan pada penggunaan NSAIDs
adalah penghambatan sistesis prostaglandin secara sistemik terutama pada
epitel lambung dan duodenum sehingga melemahkan proteksi mukosa. Tukak
dapat terjadi setelah beberapa hari atau minggu penggunaan NSAIDs dan
efek terhadap hambatan aggregasi trombosit menyebabkan bahaya
perdarahan pada tukak.
4. Faktor Resiko
H. pylori dan penggunaan Non Steroidal Anti Inflammation Drug
(NSAID) merupakan dua hal yang sangat umum menyebabkan Peptic Ulcer
Disease (PUD) kronis dan mempengaruhi tingkat keparahan penyakit.
Penyebab PUD yang kurang umum meliputi hipersekresi, infeksi virus,
radiasi dan kemoterapi, kecenderungan genetik; terutama pada duodenal
ulceration, penggunaan obat kortikosteroid, dan alkohol. Berbagai faktor lain
12
6. Komplikasi (4)
Tanda-tanda yang mengindikasi keganasan penyakit atau komplikasi ulkus
yakni anemia, penurunan berat badan, haematemesis dan melena, dan
muntah.
7. Epidemiologi (4)
Prevalensi peptic ulkus di Asia, termasuk Indonesia, relatif rendah dibanding
negara maju. Di Amerika Serikat, kurang lebih sebanyak 4 juta orang
menderita Peptic Ulcer Disease pada bagian duodenum dan lambung,
ditemukan 350.000 kasus baru, dengan 180.000 pasien rawat inap dan sekitar
5000 orang meninggal setiap tahunnya. Berdasarkan data penelitian,
kemungkinan untuk menderita Peptic Ulcer Disease (PUD) adalah 10% pada
pria dan 4% untuk wanita.
13
Menurut Brashers (2001) dan Matfin dan Porth (2009) usia puncak
terjadinya PUD yakni pada rentang 55 tahun hingga 65 tahun dan sangat
jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Sebesar 10% dari populasi diketahui
mengidap peptic ulcer, dengan angka kejadian duodenal ulcer adalah lima
kali lipat besarnya dibanding gastric ulcer.
Prevalensi PUD di Amerika Serikat menunjukkan penurunan jumlah
pada pria muda, namun meningkat pada wanita yang lebih tua. Hal ini
disebabkan karena menurunnya kebiasaan merokok pada pria muda dan
meningkatnya penggunaan NSAID pada kelompok geriatri. Penggunaan
NSAID meningkatkan angka kematian pada kelompok geriatri diatas 75
tahun. Diketahui pasien dengan gastric ulcer memiliki angka kematian lebih
besar daripada pasien dengan duodenal ulcer.
8. Diagnosis
Ulkus peptik dapat didiagnosa menggunakan endoskopik (dapat mendeteksi
lebih dari 90% tukak peptik) atau dengan contrast radiographyun barium
(dapat mendeteksi 30-80% tukak peptik) untuk melihat lubang ulkus, apabila
pasien dengan usia muda terdiagnosis PUD dan tidak ditemukan simptom
yang mengkhawatirkan, dapat dipastikan penyebabnya ialah infeksi H.
Pylori, tetapi pada pasien diatas 50 tahun, endoskopik sangat berguna untuk
menentukan penyebab ulkus peptik. Tsmpilan endoskopik tukak peptik
menghasilkan informasi prognodid yang sangat bermanfaat bagi pasien yang
mengalami pendarahan akut. Tanda-tanda yang mengindikasi keganasan
penyakit atau komplikasi ulkus yakni anemia, penurunan berat badan,
haematemesis dan melena, dan muntah. Selain dengan endoskopi infeksi H.
pylori dapat didiagnosis dengan deteksi urease, breath urease test, dan stool
test untuk mendeteksi antigen yang spesifik H. pylori (3,4).
14
9. Penanganan Terapi
Penanganan Non Farmakologi (4)
Pasien yang terdiagnosa dengan PUD dan sedang menggunakan obat
antiinflamasi non-steroid (NSAID) harus menghentikan penggunaan NSAID
jika memungkinkan. Mengurangi konsumsi beberapa makanan tertentu
(seperti makanan pedas, asam, alkohol, dan merokok) serta menjalani diet.
Diet dilakukan dengan cara makan dengan porsi kecil dan berulangkali.
Pasien dengan PUD juga sebaiknya menjalankan perubahan gaya hidup,
yakni dengan mengurangi stress, istirahat yang cukup, dan mengurangi atau
bahkan berhenti merokok.
Pemberian probiotik yang mengandung bakteri Lactobacillus dan
Bifidobacterium dan makanan yang mengandung senyawa bioaktif
dikombinasikan dengan regimen eradikasi H.pylori dapat mengurangi
inflamasi mucosal. Pada beberapa pasien yang mengalami komplikasi (seperti
perdarahan, perforasi, atau obstruksi saluran cerna) membutuhkan operasi.
Penanganan Farmakologi (3,4)
a. Antasida
Antasida merupakan senyawa basa lemah yang digunakan untuk
menetralkan asam lambung dan umumnya merupakan senyawa
alumunium dan/atau magnesium yang secara kimiawi mengikat kelebihan
HCl di dalam lambung. Mg dan Al tidak larut dalam air dan dapat bekerja
dalam waktu lama di dalam lambung sehingga tujuan pengobatan
sebagian besar dapat tercapai. Sediaan yang mengandung Mg dapat
menyebabkan diare (bersifat pencahar), sedangkan sediaan yang
mengandung Al dapat menyebabkan konstipasi (sembelit). Oleh sebab
itu, kedua senyawa tersebut biasanya dikombinasikan dalam terapi tukak
peptik. Senyawa antasida lainnya adalah natrium bikarbonat yang larut
dalam air dan bekerja dengan cepat. Namun, bikarbonat dapat terabsorbsi
oleh tubuhh sehingga dapat menyebabkan alkalosis jika diberikan dalam
dosis yang berlebih. Selain itu, bikarbonat menghasilkan CO2 yang dapat
meyebabkan sendawa pada pasien.
15
b. Antihistamin H2 / H2 Bloker
Antihistamin H2 menghambat takifilaksis atau toleransi. Takifilaksis
adalah penurunan efektivitas karena penggunaan jangka panjang.
Antihistamin H2 memiliki permulaan aksi yang cepat. Sama halnya
dengan obat-obatan yang melindungi mukosa lambung.
c. Penghambat pompa proton (PPI)
Untuk penyembuhan esofagitis erosif dan meringankan gejala GERD, PPI
lebih unggul daripada antihistamin H2. Pemberian PPI dalam jangka
panjang tanpa diagnosis tidak dianjurkan dan pada saat PPI diperlukan,
gunakan dosis efektif yang serendah mungkin.
d. Analog Prostaglandin
Suatu analog prostaglandin sintetik, memiliki sifat antisekresi dan
proteksi, mempercepat penyembuhan tukak lambung dan duodenum.
Senyawa ini dapat mencegah terjadinya tukak karena AINS.
Penggunaannya paling cocok bagi pasien yang lemah atau sangat lansia di
mana penggunaan AINS tidak mungkin dihentikan.
e. Obat lainnya
Obat-obatan pelindung mukosa, seperti alginat dan sukralfat, bermanfaat
untuk mengatasi heartburn yang kadang-kadang muncul. Penggunaan
obat pelindung mukosa atau natrium alginat dalam jangka panjang tidak
direkomendasikan untuk GERD karena sebagian obat ini mengandung
komponen yang dapat diserap dan menimbulkan efek samping.
B. Gastritis
1. Definisi
Gastritis adalah peradangan pada mukosa lambung dan submukosa lambung
yang bersifat secara akut, kronis, difus atau lokal akibat infeksi dari bakteri,
obat-obatan dan bahan iritan lain, sehingga menyebabkan kerusakan-
kerusakan atau perlukaan yang menyebabkan erosi pada lapisan-lapisan
tersebut dengan gambaran klinis yang ditemukan berupa dispepsia atau
indigesti (6).
16
2. Etiologi
Menurut Muttaqin(2011) Penyebab dari gastritis antara lain : (6)
a. Obat-obatan, seperti obat antiinflamasi nonsteroid / OAINS (indometasin,
ibuprofen, dan asam salisilat), sulfonamide, steroid, kokain, agen
kemoterapi (mitomisin, 5-fluora-2-deoxyuriine), salisilat, dan digitalis
bersifat mengiritasi mukosa lambung.
17
3. Patofisiologi
a. Gastritis Akut (6)
Gastritis Akut dapat disebabkan oleh karena stress, zat kimia obat-obatan
dan alkohol, makanan yang pedas, panas maupun asam. Pada pasien yang
18
4. Patogenesis (6)
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan kerusakan mukosa
lambung, yaitu :
1. Kerusakan mukosa barrier sehingga difusi balik ion H meninggi.
2. Perfusi mukosa lambung yang terganggu.
3. Jumlah asam lambung.
Faktor-faktor tersebut biasanya tidak berdiri sendiri. Misalnya stres
fisik akan menyebabkan perfusi mukosa lambung terganggu, sehingga timbul
daerah-daerah infark kecil. Di samping itu, sekresi asam lambung juga
terpacu. Mukosal barrier pada penderita stres fisis biasanya tidak terganggu.
Pada gastritis refluks, gastritis karena bahan kimia, obat, mukosal barrier
rusak sehingga difusi balik ion H meninggi. Suasana asam yang terdapat pada
lumen lambung akan mempercepat kerusakan mukosal barrier oleh cairan
usus.
Pada umumnya patogenesis gastritis kronik belum diketahui.
Gastritits kronik sering dijumpai bersama-sama dengan penyakit lain,
misalnya anemia, penyakit Addison dan Gondok, anemia kekurangan besi
idiopatik. Gastritis kronik antrum-pilorus hampir selalu terdapat bersamaan
dengan ulkus lambung kronik. Beberapa peneliti menghubungkan gastritis
kronik fundus dengan proses imunologi. Hal ini didasarkan pada kenyataan
kira-kira 60% serum penderita gastritis kronik fundus mempunyai antibodi
terhadap sel parietalnya. Gastritis kronik antrum-pilorus biasanya
dihubungkan dengan refluks usus-lambung.
7. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin dapat terjadi pada gastritis menurut Dermawan
( 2010) adalah: (6)
a. Perdarahan saluran cerna bagian atas
b. Ulkus peptikum, perforasi dan anemia karena gangguan absorbsi vitamain
B12.
8. Epidemiologi
Badan penelitian WHO mengadakan tinjauan terhadap beberapa negara di
dunia dan mendapatkan hasil persentase dari angka kejadian gastritis di
dunia, diantaranya Inggris 22%, China 31%, Jepang 14,5%, Kanada 35% dan
Perancis 29,5%. Menurut WHO di Indonesia angka kejadian gastritis di
beberapa daerah juga cukup tinggi dengan prevalensi 274,396 kasus dari
238,452,952 jiwa penduduk, menurut Maulidiyah (2006), di kota Surabaya
angka kejadian gastritis sebesar 31,2%, Denpasar 46%, dan kejadian gastritis
yang tertinggi terdapat di kota Medan yaitu sebesar 91,6% prevalensinya
meningkat pada usia diatas 40 tahun (6).
9. Diagnosis
Pemeriksaan dignostik menurut Dermawan (2010) dan Doenges (2000)
sebagai berikut :
a. Radiology: sinar x gastrointestinal bagian atas
b. Endoskopi : gastroscopy ditemukan muksa yang hiperemik
22
Penanganan Farmakologi
a. Obat Penetralisir Asam Lambung
1) Antasida (3, 6)
Antasida jarang digunakan sebagai obat utama, tetapi sering
digunakan oleh pasien untuk meringankan gejala dispepsia. Antasida
yang paling umum digunakan adalah kombinasi Magnesium
Hidroksida dan Alumunium Hidroksida, tetapi obat yang mengandung
magnesium tidak boleh digunakan pada penderita gagal ginjalkronik
karena dapat menimbulkan hipermagnesemia dan alumunium dapat
menyebabkan neurotoksisitas kronik pada pasien ini.
Pada gastritis yang parah, cairan dan elektrolit diberikan
intravena untuk mempertahankan keseimbangan cairan sampai gejala-
gejala mereda, untuk gastritis yang tidak parah diobati dengan
antasida dan istirahat.
2) Penyekat Reseptor H2 (3, 6)
Obat ini menghambat sekresi asam, baik secara alami maupun yang
terstimulasi. Golongan obat ini sering digunakan untuk pengobatan
tukak aktif (4-6 minggu) yang dikombinasikan dengan antibiotika
untuk mengatasi infeksi H.pylori. Toksisitas sistemik yang dilaporkan
(meskipun jarang) karena penggunaan obat golongan ini adalah
pansitopenia, neutropenia, anemia, dan trombositopenia, dengan
angka prevalensi sekitar 0,01-0,02%. Simetidin dan Ranitidin dapat
diberikan untuk menghambat pembentukan asam lambung dan
kemudian menurunkan iritasi lambung. Namun kedua obat tersebut
dapat mengikat diri pada sitokrom P450 hati, sedangkan obat generasi
terbaru (Fomatidin dan Nizatidin) tidak terikat.
3) Penghambat Pompa Proton (PPI) (3, 6)
Obat golongan ini merupakan obat penghambat sekresi asam lambung
yang paling kuat. Omeprazol dan Lansoprazol adalah penghambat
pompa proton yang paling lama digunakan. Keduanya tidak stabil
terhadap asam, bersifat lipofilik, biasanya obat ini diberikan dalam
24
pada subjek normal dan pada penderita GERD, pasi terdapat perbedaan
antara subjek normal dan penderita GERD dalam hal pemicu relaksasi
tersebut untuk menjelaskan keberadaan GERD yang berbeda-beda.
Banyak penelitian telah mengevaluasi mekanisme potensial untuk
menjelaskan hubungan antara patogenesis GERD dengan relaksasi
transien LES.
b. Hernia Hiatus
Hernia hiatus dapat meningkatkan frekuensi episode refluks dengan
memperlemah EGJ secara mekanis dan mengganggu klirens esofagus.
Pada hernia hiatus, Tlesr terjadi pada frekuensi yang lebih besar dan
semua penyangga antirefluks, seperti penyangga krural, segmen intra-
abdomen.
c. Pengosongan Lambung yang Terlambat
Pengosongan lambung yang terlambat terjadi pada 10%-15% penderita
GERD. Keterlambatan ini akan mempengaruhi sejumlah kecil kasus
GERD dengan meningkatkan jumlah cairan yang tersedia untuk refluks
dan melalui distensi lambung secara konstan. Penyebab gangguan
pengosongan lambung potensial adalah gastroparesis (seperti terlihat pada
penderita diabetes) dan penumbatan parsial jalan keluar lambung.
d. Gangguan Resistensi Mukosa
Kemampuan mukosa esofagus bertahan dari cedera adalah suatu faktor
yang menentukan kejadian GERD. Usia dan status gizi merupakan faktor-
faktor yang mempengaruhi kemampuan mukosa bertahan dari cedera.
Pertahanan jaringan esofagus terdiri dari membran sel dan kompleks
sambungan intraseluler yang melindungi dari cedera dengan cara
membatasi kecepatan difusi ion-ion hidrogen ke dalam epitelium.
Esofagus juga memproduksi bikarbonat dan mukus. Bikarbonat
menghambat asam, sedangkan mukus membentuk suatu pelindung pada
permukaan epitelium. Tingkat pertahaan mukosa esofagus terhadap
kerusakan karena asam jauh lebih rendah daripada tingkat petahanan
lapisan perut sehingga sensitivitas mukosa esofagus kerusakan lebih
28
tinggi. Kerusakan esofagus terjadi karena kadar asam dan pepsin lebih
tiggi daripada tingkat perlindungan mukosa. Pepsin di dalam refluks asam
dapat merusak mukosa esofagus dengan cara mencerna protein epitelium.
Peningkatan sensitivitas mukosa terhadap asam juga dapat menyebabkan
gejala-gejala heartburn kronik.
e. GERD karena Kehamilan
Peningkatan tekanan dalam perut karena uterus yang mengandung bayi
juga dianggap sebagai faktor yang mempengaruhi GERD pada trimester
pertama dan awal trimester kedua sebelum perubahan tekanan abdomen
terlihat jelas. Tampilan GERD pada wanita hamil tidak berbeda dengan
tampilan GERD pada penderita yang tidak hamil dan diagnosisnya pun
hampir sama.
3. Patogenesis
Patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor
defensif dari esophagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat.
Yang termasuk faktor defensif esophagus adalah :
a. Pemisah antirefluks (lini pertama),
b. Bersihan asam dari lumen esophagus (lini kedua), dan
c. Ketahanan epithelial esophagus (lini ketiga).
Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah :
a. Sekresi gastrik dan daya pilorik.
b. Pemisah antirefluks Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus
LES.
c. Menurunnya tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde
pada saat terjadinya peningkatan tekanan intraabdomen. Sebagian besar
pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal.
Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus
hernia, panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-
obatan (misal antikolinergik, beta adrenergik, teofilin, opiate, dll), dan faktor
29
5. Gejala Klinik
Gejala klinis GERD digolongkan menjadi 3 macam, yaitu gejala tipikal,
gejala atipikal, dan gejala alarm (7).
a. Gejala tipikal (typical symptom) adalah gejala yang umum diderita oleh
pasien GERD, yaitu: heart burn, belching (sendawa), dan regurgitasi
(muntah).
b. Gejala atipikal (atypical symptom) adalah gejala yang terjadi di luar
esophagus dan cenderung mirip dengan gejala penyakit lain. Contohnya
separuh dari kelompok pasien yang sakit dada dengan elektrokardiogram
normal ternyata mengidap GERD, dan separuh dari penderita asma
ternyata mengidap GERD. Kadang hanya gejala ini yang muncul
sehingga sulit untuk mendeteksi GERD dari gejala ini. Contoh gejala
atipikal: asma nonalergi, batuk kronis, faringitis, sakit dada, dan erosi
gigi.
c. Gejala alarm (alarm symptom) adalah gejala yang menunjukkan GERD
yang berkepanjangan dan kemungkinan sudah mengalami komplikasi.
Pasien yang tidak ditangani dengan baik dapat mengalami komplikasi.
Hal ini disebabkan oleh refluks berulang yang berkepanjangan. Contoh
31
6. Komplikasi
Luka lecet sampai tukak (ulcus) di esofagus, perdarahan di esofagus,
penyempitan (strinctur) esofagus, erosi pada gigi-geligi, Barrett’s esophagitis
(radang esofasus) yang diduga dapat memicu kanker, radang pita suara
menahun, asma dan dampak lain yang lebih serius ialah terhisapnya asam ke
saluran nafas yang dapat memicu radang paru (7).
7. Epidemiologi
Prevalensi GERD di Asia, termasuk Indonesia, relatif rendah dibanding
negara maju. Di Amerika, hampir 7% populasi mempunyai keluhan
heartburn, dan 20%-40% diantaranya diperkirakan menderita PRGE.
Prevalensi esofagitis di negara barat berkisar antara 10%-20%, sedangkan di
Asia hanya 3%-5%, terkecuali Jepang dan Taiwan (13-15%). Tidak ada
predileksi gender pada GERD, laki-laki dan perempuan mempunyai risiko
yang sama, namun insidens esofagitis pada laki-laki lebih tinggi (2:1-3:1),
begitu pula Barrett's esophagitis lebih banyak dijumpai pada laki-laki (10:1).
GERD dapat terjadi di segala usia, namun prevalensinya meningkat pada usia
diatas 40 tahun (8).
8. Diagnosis
Diagnosis GERD dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik dan riwayat
medis, pemantauan pH esofagus, kombinasi multiple intraluminal impedance
(MII) dan pemantauan pH, studi motilitas, endoskopi dan biopsi, dan
32
9. Penanganan Terapi
Penanganan Non Farmakologi
Penanganan non-farmakologi adalah modifikasi berat badan, meninggikan
kepala 15-20 cm pada saat tidur, menghentikan merokok dan minum alkohol,
mengurangi makanan dan obat-obatan yang merangsang asam lambung dan
menyebabkan refluks, makan tidak boleh terlalu kenyang dan makan malam
paling lambat 3 jam sebelum tidur.
Penanganan Farmakologi (3)
1. Antihistamin H2
Antihistamin H2 menghambat takifilaksis atau toleransi. Takifilaksis
adalah penurunan efektivitas karena penggunaan jangka panjang.
Antihistamin H2 memiliki permulaan aksi yang cepat. Sama halnya
dengan obat-obatan yang melindungi mukosa lambung.
2. Penghambat pompa proton (PPI)
Untuk penyembuhan esofagitis erosif dan meringankan gejala GERD, PPI
lebih unggul daripada antihistamin H2. Pemberian PPI dalam jangka
panjang tanpa diagnosis tidak dianjurkan dan pada saat PPI diperlukan,
gunakan dosis efektif yang serendah mungkin.
3. Terapi prokinetik
Potensi efek samping obat-obatan prokinetik yang ada saat ini lebih besar
daripada manfaat potensialnya dalam pengobatan GERD. Belum ada data
yang cukup tentang khasiat klinis untuk mendukung penggunaan
metoklopramid, eritromisin, betanekol, cisaprid, atau domperidon secara
rutin untuk GERD.
4. Obat lainnya
Obat-obatan pelindung mukosa, seperti alginat dan sukralfat, bermanfaat
untuk mengatasi heartburn yang kadang-kadang muncul. Penggunaan
obat pelindung mukosa atau natrium alginat dalam jangka panjang tidak
33
tekanan mental, nyeri, bau, rasa, gerak, pengalaman traumatis, kontak dengan
toksin, dan barbagai stimulus lainnya. Baik mual maupun muntah terjadi
karena stimulasi pusat muntah di batang otak. Pusat ini teraktivasi melalui
dua cara, yaitu secara kimia dan secara neural. Aktivasi kimiawi dimediasi
oleh chemoreceptor trigger zone (CTZ) yang sensitif terhadap toksin dan
racun-racun di dalam aliran darah, sedangkan aktivasi neural terjadi karena
informasi yang masuk secara langsung dari lobus frontal otak, saluran
pencernaan, dan sensor keseimbangan pada telinga bagian dalam.
Chemoreceptor trigger zone (CTZ) terdapat pada daerah postrema
yang terletak pada permukaan dorsal medula oblongata di ujung kaudal
ventrikel keempat. Daerah tersebut tidak terlindung oleh sawar darah otak
sehingga bisa dijangkau oleh zat-zat emetogenik melalui cairan serebrospinal
atau darah. Daerah inti yang mengkoordinir muntah terletak pada batang otak
antara obex dengan nukleus retrofasial (persis pada arah kaudal nukleus
fasialis). Pada daerah tersebut, nukleus soliter (nucleus tractus solitarii, NTS)
menerima rangsangan yang seragam dari sumber yang berbeda-beda untuk
memicu muntah, termasuk nervus vagus, daerah postrema, dan sistem
vestribular dan limbik.
Kemudian NTS memancarkan proyeksi ke medula ventrolateral dan
nukleus motor dorsal pada vagus. Proyeksi ke medula ventrolateral mungkin
penting untuk memediasi komponen-komponen nukleus motor dorsal pada
vagus. Interaksi antara sirkuit-neuron sentral ini dengan obat kemungkinan
dimediasi oleh pelepasan neurotransmitter.
Meskipun neurotransmitter yang dilepaskan pada CTZ dan pusat
muntah belum diketahui secara pasti, dopamin ditemukan memediasi muntah
melalui reseptor dopamin (D2). Jadi, agonis reseptor dopamin D2, seperti
apomorfin, levodopa, dan bromokriptin, umumnya menyebabkan mual dan
muntah dan antagonis reseptor dopamin D2, seperti metoklopramid,
domperidon, dan haloperidol merupakan obat antiemetis yang efektif.
Namun, obat-obatan ini memiliki afinitas yang beranekaragam untuk
berikatan dengan reseptor dopamin.
35
4. Faktor Resiko
Muntah bisa terjadi karena makan yang berlebihan, minum yang terlalu
banyak, infeksi virus (hepatitis). Muntah juga dapat terjadi karena keracunan
atau cedera kepala yang memerlukan perhatian khusus. Perhatian khusus juga
perlu diberikan pada kejadian muntah yang disertai darah dan gejala-gejala
seperti suhu tubuh lebih dari 38°C, diare dan sakit perut terus-menerus, sakit
perut tidak reda setelah muntah, dan muntah yang kronik dan tidak responsif.
Selain itu, faktor resiko muntah adalah sakit kolik (batu empedu), motion
sickness, hematoma dalam perut, dan kehamilan (3, 9, 10).
5. Gejala Klinik
Muntah dapat menyebabkan gangguan metabolisme tubuh seperti dehidrasi
yang ditandai dengan oliguria, penurunan berat badan, kebingungan mental,
dan penurunan tugor jaringan. Muntah juga dapat mempengaruhi konsentrasi
elektrolit seperti penurunan kadar natrium yang ditandai dengan rasa haus
dan hipotensi, dan penurunan kadar kalium yang ditandai dengan lemah otot
atau gangguan ritme jantung. Selain itu, alkalosis dapat terjadi karena
kehilangan ion-ion hidrogen melalui muntah dan penurunan konsentrasi
hidrogen pada cairan ekstrasel setelah pengurangan cairan (3).
6. Komplikasi (7,8,9)
Muntah yang cukup berat dan dalam durasi yang lama dapat menyebabkan
dehidrasi dan/atau ketidakseimbangan elektrolit dan mineral yang bersirkulasi
di dalam darah yang dapat menimbulkan masalah. Hal tersebut adalah salah
satu konsekuensi mual dan muntah akut yang paling utama. Jika gejalanya
berlangsung lama, pasien bisa menderita malnutrisi atau kehilangan berat
badan.
Pada wanita hamil juga terjadi kondisi mual dan muntah. Meskipun
mual dan muntah pada wanita hamil dapat dikategorikan ringan, sedang atau
berat, keparahan mual dan muntah ini tidak cukup untuk mencerminkan
komplikasi yang ditimbulkan. Dampak fisik dan emosional mual dan muntah
36
pada wanita hamil sering menyebabkan rasa lelah dan gelisah tentang
pengaruhnya terhadap janin.
7. Epidemiologi
Mual muntah muncul pada orang dewasa dan anak-anak. Data statistik
epidemiologimual muntah tidak ada karena banyak kasus penyakit dimana
gejala ini muncul, dan banyak pasien tidak melaporkan keadaan ini pada
praktisi kesehatan yang menanganinya. Tiga kondisi umum yang
berhubungan dengan mual muntah adalah keracunan, mual muntah karena
hamil, dan mual muntah karena kemoterapi kanker (9, 10).
8. Diagnosis
Mual dan muntah dapat diakibatkan oleh infeksi gastrointestinal, mual dan
muntah akibat efek samping obat, keracunan, mual dan muntah pada wanita
hamil, mual dan muntah pasca-operasi dan mual dan muntah karena
kemoterapi kanker (9, 10).
ada. Khususnya jika terdapat statis lambung atau obstruksi jalan keluar secara
parsial. Dalam kasus ini, pemberian obat prokinetik tidak dianjurkan karena
berisiko memicu kolik. Karena jalur akhir obat0obatan prokinetik adalah
kolinergik, penggunaan obat prokinetik dan obat antikolinergik secara
bersamaan juga harus dihindari.
Obat antiemesis seperti Flufenzapin, Klorpromazin, Proklorperazin,
Domperidon, Prometazin, Skopolamin dan Metoklopramid, Zacoprid,
Butirofenon, golongan antikolinergik, golongan antihistamin H1, dan
golongan antiserotonin (ondansentron).
k. Hipertensi
Hipertensi menyebabkan disfungsi endotel sehingga mudah terkena
jejas. Selain itu hipertensi memperparah artherosklerosis karena plak
mudah melekat sehingga pada penderita hipertensi dianjurkan untuk
mengkonsumsi obat-obat antiplatelet.
l. Chronic Heart Failure
Penelitian yang ada mengatakan bahwa chronic heart failure dapat
meningkatkan faktor risiko perdarahan SCBA sebanyak 2 kali lipat.
4. Gejala Klinik
Gejala klinis perdarahan saluran cerna: Ada 3 gejala khas, yaitu: (11)
a. Hematemesis
Muntah darah dan mengindikasikan adanya perdarahan saluran cerna
atas, yang berwarna coklat merah atau “coffee ground”.
b. Hematochezia
Keluarnya darah dari rectum yang diakibatkan perdarahan saluran cerna
43
5. Epidemiologi (11)
Perdarahan saluran cerna merupakan salah satu kasus kegawatan di bidang
gastroenterologi yang saat ini masih menjadi permasalahan di bidang
kesehatan dan perekonomian dunia. Selama empat dekade terakhir ini tidak
terdapat perubahan angka kejadian meskipun telah dicapai kemajuan dalam
pengelolaan atau terapi. Peningkatan insidensi di sebagian negara
berhubungan dengan penggunaan aspirin dan obat antiinflamasi non
steroid (OAINS). Selain itu, prevalensi perdarahan SCBA sangat
bervariasi berdasarkan umur, jenis kelamin dan beberapa faktor lainnya.
Hasil akhir berupa perdarahan ulang dan kematian merupakan akibat dari
penatalaksanaan yang kurang adekuat.
Di Amerika Serikat angka kejadiannya berkisar antara 50-150 per
100.000 penduduk per tahun. Angka kematiannya bervariasi antara 4-14%
tergantung pada kondisi pasien dan penanganan yang tepat. Pasien dengan
komplikasi atau tanpa komplikasi di Amerika serikat rata-rata lama rawat
inap adalah 4,4 dan 2,7 hari dengan biaya perawatan sebesar 5632 US dollar
dan 3402 US dollar. Umumnya 80% dari kasus dapat berhenti dengan
sendirinya. 10% kasus membutuhkan prosedur intervensi untuk mengontrol
perdarahan.
6. Diagnosis (11)
Diagnosis dapat dibuat berdasarkan inspeksi muntahan pasien atau
44
7. Penanganan Terapi
PPI (Proton Pump inhibitor) merupakan pilihan utama dalam pengobatan
perdarahan SCBA non variseal. Beberapa studi melaporkan efektifitas PPI
dalam menghentikan perdarahan karena ulkus peptikum dan mencegah
perdarahan berulang. PPI memiliki dua mekanisme kerja yaitu
+ +
menghambat H /K ATPase dan enzim karbonik anhidrase mukosa
+ +
lambung manusia. Hambatan pada H /K ATPase menyebabkan sekresi
asam lambung dihambat dan pH lambung meningkat.Hambatan pada pada
45