Anda di halaman 1dari 42

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Saluran pencernaan merupakan organ organ yang dilalui oleh makanan atau organ
yang berfungsi mengubah makanan menjadi zat energi bagi tubuh kita. Saluran
pencernaan makanan terdiri dari mulut, kerongkongan (esophagus), lambung, usus
halus, usus besar, rektum dan anus. Serta organ tambahan yang terdiri dari gigi,
lidah, kelenjar ludah, kandung empedu, hati, dan pancreas. Pencernaan dibagi
menjadi:
1. Pencernaan Mekanis
Proses mengunyah dan gerak peristaltik
2. Pencernaan Kimiawi
Makanan dihancurkan oleh enzim-enzim pencernaan yang dikeluarkan di mulut,
lambung, usus halus, kantung empedu dan lain-lain.

4
5

Pada sistem atau saluran pencernaan dapat mengalami gangguan yang bisa
disebabkan oleh bakteri, ketidakseimbangan hormone, makanan, ataupun gaya hidup
setiap individu. Berikut beberapa penjelasan tentang gangguan saluran cerna yang
sering terjadi di masyarakat, antara lain :

A. Tukak Lambung (Peptic Ulcer)


1. Definisi
Tukak adalah suatu lesi yang berbentuk lubang pada suatu selaput tubuh.
Tukak yang berkembang sepanjang saluran pencernaan karena paparan getah
lambung yang besifat asam disebut tukak peptik. Kata “peptik” berasal dari
istilah Yunani “peptikos” yang berarti “berhubungan dengan pencernaan”.
Tukak petik atau Peptic Ulcer Disease (PUD) adalah sekelompok penyakit
pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh paparan pepsin atau asam
lambung dalam konsentrasi dan durasi tertentu yang menyebabkan tukak.
Meskipun pembentukan tukak (ulserasi) paling sering terjadi pada lambung
(tukak lambung) atau pada usus halus (tukak duodenum), tukak juga dapat
terjadi pada esofagus (tukak Barrett atau metaplasia Barrett) (3).
Peptic ulcer merupakan luka yang sifatnya kronik, biasanya
merupakan luka tunggal yang dapat muncul pada di seluruh bagian
gastrointestinal yang terpejan efek getah asam atau pepsin. Peptic ulcer biasa
dijumpai di tempat-tempat berikut: Pangkal duodenum, lambung, biasanya
pada bagian antrum, taut gastroesofagus, refluks gastroesofagus atau pada
esofagus Barrett, pada bagian tepi gastrojejunostomi, duodenum, lambung,
dan/atau jejunum pada pasien dengan sindrom Zollinger-Ellison (4).
Berdasarkan keparahannya, tukak peptik juga dikategorikan menjadi
tukak peptik akut dan tukak peptik kronik. Tukak peptik akut melibatkan
jaringan hingga ke dalam submukosa. Tukak ini bisa terjadi dalam bentuk lesi
tunggal ataupun ganda dan ditemukan diberbagai lokasi lambung serta
dibeberapa sentimeter pertama duodenum. Sementara itu, tukak peptik kronik
menembus hingga lapisan epitelium dan jaringan otot lambung. Tukak ini
6

dapat melibatkan pankreas atau hati. Pada sebagian besar kasus, tukak ini
terjadi satu persatu di antrum pilori lambung dan di duodenum (3).
a. Duodenal Ulcer
Hipersekresi asam lambung merupakan salah satu faktor penyebab
duodenal ulcer, selain itu ulcer dapat terbentuk karena adanya respon
abnormal terhadap rangsangan submaksimal dari sel-sel sekretori dengan
jumlah normal atau respon dari sel-sel parietal dengan jumlah lebih besar
dari normal. Pasien dengan duodenal ulcer memiliki jumlah sel-sel
sekretori yang lebih besar dari orang normal. Pada duodenal ulcer rasa
nyeri muncul 2 jam setelah makan, dan semakin parah dengan adanya
makanan asam, alkohol, dan kopi, oleh karena itu penderita duodenal
ulcer dapat terbangun pada pukul 1-2 pagi. Mulanya terjadi kerusakan
mukosa berkaitan dengan reaksi peradangan. Banyak terjadi pada usia
muda terutama pada pria (4).
b. Gastric Ulcer
Pada gastric ulcer rasa nyeri muncul 30 menit sampai 1 jam setelah
makan, rasa nyeri dapat diredakan dengan pemberian antasida atau
dengan memuntahkan makanan. Sama halnya dengan duodenal ulcer,
gastric ulcer terjadi karena reaksi peradangan. Gejala yang timbul sulit
dibedakan dengan duodenal ulcer dan perlu dilakukan endoskopi untuk
memastikannya. Banyak terjadi pada usia pertengahan atau lebih tua,
terutama pada masyarakat tingkat ekonomi rendah dan perokok.
Perubahan ketahanan mukosa dan terjadinya refluks empedu dapat
mempengaruhi terjadinya gastric ulcer (4).
c. Stress ulcer
Terjadinya tekanan pada lambung dan atau erosi pada lambung karena
luka bakar hebat, sepsis, cedera kepala, atau trauma. Pada stress ulcer
melibatkan perdarahan saluran cerna yang fatal. Perdarahan harus diatasi
dengan pemberian antasida atau obat antipeptik yang lain, apabila
perdarahan tetap terjadi dengan pemberian profilaksis maka vagotomi
dan gastrektomi perlu dilakukan (4).
7

d. Gastritis erosif
Gastritis erosif sering kali terjadi karena pemberian obat-obat seperti
NSAID, aspirin, kortikosteroid dapat menimbulkan erosi pada mukosa
lambung. Alkohol juga berperan dalam semakin buruknya kondisi
penyakit. Pemberian obat-obat tersebut juga dapat memperparah
prognosis duodenal ulcer (4).
e. Refluks esofagitis
Refluks esofagitis merupakan terjadinya refluks isi lambung ke dalam
esophagus, dapat terjadi pada berbagai jenis usia dan jenis kelamin.
Gejala yang timbul seperti nyeri epigastrik, heartburn, dan regurgitasi.
Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus sfingter esophagus seperti
makanan, coklat, alkohol, dan rokok dapat memperberat gejala yang
dialami (4).

2. Etiologi dan Patofisiologi


Ulserasi/tukak mukosa gastrointestinal disebabkan oleh ketidak seimbangan
antara getah lambung. Berdasarkan lokasinya, tukak peptik dikelompokkan
menjadi tukak lambung dan tukak duodenum. H. pylori dan penggunaan
Non Steroidal Anti Inflammation Drug (NSAID) merupakan dua hal yang
sangat umum menyebabkan Peptic Ulcer Disease (PUD) kronis dan
mempengaruhi tingkat keparahan penyakit. Penyebab PUD yang kurang
umum meliputi hipersekresi, infeksi virus, radiasi dan kemoterapi,
kecenderungan genetik; terutama pada duodenal ulceration, penggunaan obat
kortikosteroid, dan alkohol. Alkohol dapat memicu timbulnya ulkus karena
alkohol merupakan senyawa yang memicu sekresi asam lambung, selain itu
merokok, diet, dan stres, konsumsi NSAID, dan penyakit kronis seperti gagal
ginjal kronis, sirosis hati, penyakit paru-paru kronis, dan Crohn’s disease juga
berperan dalam menyebabkan ulkus (3, 4).
a. Asam lambung dan pepsin (4)
Faktor yang berpotensial untuk merusak membran mukosa adalah sekresi
asam lambung (asam klorida) dan pepsin. Asam lambung disekeresi oleh
8

sel-sel parietal yang mengandung reseptor histamin, gastrin, dan


asetilkolin. Asam lambung merupakan faktor independen yang
berkontribusi pada gangguan membran mukosa. Pada pasien dengan
gastric ulcer biasanya asam lambung disekresi dalam jumlah normal atau
kurang (hipokloridia).
Sekresi asam dikeluarkan dalam jumlah yang sama dengan asam yang
disekresi di bawah basal atau kondisi puasa, basal acid output (BAO);
setelah setelah stimulasi maksimal, maximal acid output (MAO); atau
respons setelah makan. Basal, maximal, dan makanan akan menstimulasi
sekresi asam dan dapat dipengaruhi oleh kondisi psikologis, usia, umur,
dan kondisi kesehatan.
Dipiro (2005) mengatakan pepsin diaktivasi oleh pH asam (pH
optimal antara 1,5-3,8), inaktivasi revesibel pepsin pada pH 4, dan
inaktivasi irreversibel pada pH 7. Pepsin berperan dalam aktivitas
proteolitik dalam pembentukan ulkus. Perbaikan mukosal berkaitan
dengan pergantian sel epitel, pertumbuhan dan regenerasi yang dimediasi
oleh prostaglandin. Perubahan pada mukosa pertahanan yang disebabkan
H. pylori dan NSAID merupakan kofaktor yang menyebabkan peptic ulcer
(5).
b. Helicobacter pylori dan NSAID (3, 4)
Helicobacter pylori adalah bakteri gram negatif dengan bentuk spiral
merupakan penyebab paling umum selain NSAID, infeksi H. pylori
seringkali disebarkan melalui rute oral. H. pylori ditemukan dalam
lingkungan asam. Mekanisme patogenik H. pylori meliputi (a) kerusakan
mukosa secara langsung, (b) perubahan dalam respon imun,dan (c)
hipergastrinemia menyebabkan sekresi asam meningkat. H. pylori
menempel membentuk molekul adhesi pada permukaan sel epitel
lambung. Di duodenum, H. pylori menempel hanya pada area yang
mengandung sel epitel dan meningkatkan sekresi asam lambung pada
mukosa duodenum. Kerusakan mukosa secara langsung disebabkan oleh
faktor virulensi (vacuolating cytotoxin, cytotoxin-associated protein gene,
9

dan faktor penghambat pertumbuhan) akan menguraikan enzim bakteri


(lipase, protease, dan urease). H. pylori dapat bertahan hidup dalam
lingkungan yang tidak sesuai karena memproduksi enzim urease yang
mengubah urea menjadi ammonia.
Urease dapat merusak host, agen perusak lainnya adalah
lipopolisakarida (endotoksin). Keberadaan H. pylori dapat ditelusuri
sebagian dari abnormalitas respon imun yang muncul, bahkan respon
imunitas mukosal TH2 yang mengontrol infeksi luminal dengan
mensekresi antibody IgA, H. pylori memunculkan respon TH1, sitokin
yang terasosiasi TH1 memicu inflamasi dan kerusakan sel epithelial. H.
pylori menimbulkan kerusakan mukosa lambung dan duodenum melalui
pelepsan faktor kemotaktik, platelet activating factor, leukotrien, dan
eukosanoid lain yang berasal dari asam arakidonat, dan sitotoksin seperti
protease, lipase fosfolipase A2, fosfolipase C dan vacuolating cytotoksin.
Kerusakan mukosa lambung karena endotoksin yang dibentuk oleh
Helicobacterpylori memicu pembentukan leukosit, dimana leukosit akan
menuju ke daerah yang mengalami kerusakan, sehingga cytokines
tambahan dilepaskan. Derajat infeksi H.pylori dan beratnya kerusakan
mukosa berbanding lurus dengan luasnya infiltrasi leukosit. Endotoksin H.
pylori meningkatkan inflamasi mukosa melalui peningkatan adhesi lekosit
pada sel-sel endotelium. H. pylori merangsang faktor-faktor dalam tubuh
manusia untuk meningkatkan produksi interleukin 8 (IL-8) mRNA epitel
dan IL-8 imunoreaktif.
Mekanisme lain yaitu kenaikan gastrin. Meningkatnya sekresi gastrin
dipicu oleh dua mekanisme, yaitu: (1) Ammonia yang dihasilkan
membentuk lingkungan basa dekat sel G dan memicu pelepasan gastrin,
(2) jumlah sel D antral dibawah normal pada pasien terinfeksi H. pylori,
sehingga menurunkan produksi somatostatin dan meningkatkan pelepasan
gastrin. H. pylori juga menurunkan sekresi bikarbonat duodenal dan
melemahkan mekanisme perlindungan mukosa duodenal.
10

Respon antibodi lambung memicu pelepasan IgA dan IgG. Sekresi


IgA dapat melindungi mukosa tanpa aktivasi komplemen, sedangkan IgG
dengan mengaktivasi komplemen yang menyebabkan kerusakan epitel
immune complex mediated dan penurunan sitoproteksi. Pada strain
H.pylori yang virulen ditemukan lebih banyak adhesi antara H. pylori
dengan permukaan mukosa lambung. H. pylori dapat meningkatkan gastrin
plasma melalui perangsangan sel G lambung dan menurunkan sekresi
somatostatin melalui inhibisi sel G lambung, akibatnya terjadi hipersekresi
gastrin.
Efek merugikan NSAID yang menimbulkan terjadinya ulkus peptik
diakibatkan oleh penghambatan COX-1 dan COX-2. COX atau
prostaglandin Hsintase (PGHS) berfungsi sebagai katalis pada tahap
pertama proses biosintesis prostaglandin, tromboksan dan prostasiklin.
Ada dua bentuk isoform dari enzim siklooksigenase, yaitu COX-1 dan
COX-2. COX-1 adalah bentuk enzim utama yang ditemukan dibanyak
jaringan dan bertanggung jawab dalam menjaga fungsi normal tubuh
termasuk keutuhan mukosa lambung dan pengaturan aliran darah ginjal.
Sebaliknya, COX-2 tidak ditemukan di jaringan pada kondisi normal,
tetapi diinduksi oleh berbagai stimulus, seperti endotoksin, sitokin,
mitogen dan dikaitkan dengan produksi prostaglandin selama proses
inflamasi, nyeri, dan respon piretik.
Aspirin dan NSAID non selektif menghambat COX-1 dan COX-2
yang mengakibatkan toksisitas pada saluran cerna. Selain itu, aspirin dan
NSAID non aspirin menghambat aktivitas platelet pada COX-1 yang
mengakibatkan menurunnya agregasi platelet dan terjadi perdarahan
berkepanjangan sehingga meningkatkan perdarahan saluran cerna.
NSAIDmenyebabkan kerusakan mukosa lambung melalui dua mekanisme:
(a) iritasi langsung maupun topikal pada epitel lambung dan (b)
penghambatan sistemik sintesis prostaglandin mukosa endogen.
11

3. Patogenesis (4)
Kerusakan pada mukosa gastroduodenum berpunca daripada
ketidakseimbangan antara faktor-faktor yang merusak mukosa dengan faktor
yang melindungi mukosa tersebut. Oleh sebab itu, kerusakan mukosa tidak
hanya terjadi apabila terdapat banyak faktor yang merusakkan mukosa tetapi
juga dapat terjadi apabila mekanisme proteksi mukosa gagal. Faktor
pertahanan ini antara lain adalah pembentukan dan sekresi mukus, sekresi
bikarbonat, aliran darah mukosa dan difusi kembali ion hidrogen pada epitel
serta regenerasi epitel.
Di samping kedua faktor tadi ada faktor yang merupakan faktor
predisposisi (kontribusi) untuk terjadinya tukak peptik antara lain daerah
geografis, jenis kelamin, faktor stress, herediter, merokok, obat-obatan dan
infeksi bakteria agresif.
Pada pengguna NSAIDs, contohnya, indomethacin, diclofenac,dan
aspirin (terutamanya pada dosis tinggi), kerjanya yang menghambat enzim
siklooksigenase menyebabkan sintesis prostaglandin dari asam arakidonat
turut terhambat. Efek yang tidak diinginkan pada penggunaan NSAIDs
adalah penghambatan sistesis prostaglandin secara sistemik terutama pada
epitel lambung dan duodenum sehingga melemahkan proteksi mukosa. Tukak
dapat terjadi setelah beberapa hari atau minggu penggunaan NSAIDs dan
efek terhadap hambatan aggregasi trombosit menyebabkan bahaya
perdarahan pada tukak.

4. Faktor Resiko
H. pylori dan penggunaan Non Steroidal Anti Inflammation Drug
(NSAID) merupakan dua hal yang sangat umum menyebabkan Peptic Ulcer
Disease (PUD) kronis dan mempengaruhi tingkat keparahan penyakit.
Penyebab PUD yang kurang umum meliputi hipersekresi, infeksi virus,
radiasi dan kemoterapi, kecenderungan genetik; terutama pada duodenal
ulceration, penggunaan obat kortikosteroid, dan alkohol. Berbagai faktor lain
12

yang menyebabkan tukak peptik antara lain kebiasaan merokok, konsumsi


alkohol, kopi, dan faktor genetik, serta faktor lain adalah stres (3,4).

5. Gejala Klinik (4)


Sebagian besar peptic ulcer menimbulkan rasa nyeri, panas, bahkan sensasi
sakit pada abdomen bagian atas dan epigastrium. Sebagian pasien mengalami
komplikasi anemia defisiensi besi, perdarahan atau perforasi. Rasa nyeri biasa
muncul sekitar 2 jam sesudah makan dan reda dengan pemberian antasida
atau makanan, namun terdapat banyak pengecualian, manifestasi ini
menyebabkan pasien sulit tidur di malam hari. Gejala dapat timbul dalam
rentang waktu minggu hingga bulanan dan hilang selama waktu yang tidak
dapat ditentukan.
Manifestasi lainnya ialah mual, muntah, kembung, bersendawa, dan
penurunan berat badan yang nyata (dikhawatirkan terjadi keganasan
penyakit). Pada penderita ulkus, rasa nyeri terasa pada bagian ulu hati bahkan
hingga punggung kuadran kiri atas, atau dada. Gejala nyeri ini dapat diduga
gangguan jantung.

6. Komplikasi (4)
Tanda-tanda yang mengindikasi keganasan penyakit atau komplikasi ulkus
yakni anemia, penurunan berat badan, haematemesis dan melena, dan
muntah.

7. Epidemiologi (4)
Prevalensi peptic ulkus di Asia, termasuk Indonesia, relatif rendah dibanding
negara maju. Di Amerika Serikat, kurang lebih sebanyak 4 juta orang
menderita Peptic Ulcer Disease pada bagian duodenum dan lambung,
ditemukan 350.000 kasus baru, dengan 180.000 pasien rawat inap dan sekitar
5000 orang meninggal setiap tahunnya. Berdasarkan data penelitian,
kemungkinan untuk menderita Peptic Ulcer Disease (PUD) adalah 10% pada
pria dan 4% untuk wanita.
13

Menurut Brashers (2001) dan Matfin dan Porth (2009) usia puncak
terjadinya PUD yakni pada rentang 55 tahun hingga 65 tahun dan sangat
jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Sebesar 10% dari populasi diketahui
mengidap peptic ulcer, dengan angka kejadian duodenal ulcer adalah lima
kali lipat besarnya dibanding gastric ulcer.
Prevalensi PUD di Amerika Serikat menunjukkan penurunan jumlah
pada pria muda, namun meningkat pada wanita yang lebih tua. Hal ini
disebabkan karena menurunnya kebiasaan merokok pada pria muda dan
meningkatnya penggunaan NSAID pada kelompok geriatri. Penggunaan
NSAID meningkatkan angka kematian pada kelompok geriatri diatas 75
tahun. Diketahui pasien dengan gastric ulcer memiliki angka kematian lebih
besar daripada pasien dengan duodenal ulcer.

8. Diagnosis
Ulkus peptik dapat didiagnosa menggunakan endoskopik (dapat mendeteksi
lebih dari 90% tukak peptik) atau dengan contrast radiographyun barium
(dapat mendeteksi 30-80% tukak peptik) untuk melihat lubang ulkus, apabila
pasien dengan usia muda terdiagnosis PUD dan tidak ditemukan simptom
yang mengkhawatirkan, dapat dipastikan penyebabnya ialah infeksi H.
Pylori, tetapi pada pasien diatas 50 tahun, endoskopik sangat berguna untuk
menentukan penyebab ulkus peptik. Tsmpilan endoskopik tukak peptik
menghasilkan informasi prognodid yang sangat bermanfaat bagi pasien yang
mengalami pendarahan akut. Tanda-tanda yang mengindikasi keganasan
penyakit atau komplikasi ulkus yakni anemia, penurunan berat badan,
haematemesis dan melena, dan muntah. Selain dengan endoskopi infeksi H.
pylori dapat didiagnosis dengan deteksi urease, breath urease test, dan stool
test untuk mendeteksi antigen yang spesifik H. pylori (3,4).
14

9. Penanganan Terapi
Penanganan Non Farmakologi (4)
Pasien yang terdiagnosa dengan PUD dan sedang menggunakan obat
antiinflamasi non-steroid (NSAID) harus menghentikan penggunaan NSAID
jika memungkinkan. Mengurangi konsumsi beberapa makanan tertentu
(seperti makanan pedas, asam, alkohol, dan merokok) serta menjalani diet.
Diet dilakukan dengan cara makan dengan porsi kecil dan berulangkali.
Pasien dengan PUD juga sebaiknya menjalankan perubahan gaya hidup,
yakni dengan mengurangi stress, istirahat yang cukup, dan mengurangi atau
bahkan berhenti merokok.
Pemberian probiotik yang mengandung bakteri Lactobacillus dan
Bifidobacterium dan makanan yang mengandung senyawa bioaktif
dikombinasikan dengan regimen eradikasi H.pylori dapat mengurangi
inflamasi mucosal. Pada beberapa pasien yang mengalami komplikasi (seperti
perdarahan, perforasi, atau obstruksi saluran cerna) membutuhkan operasi.
Penanganan Farmakologi (3,4)
a. Antasida
Antasida merupakan senyawa basa lemah yang digunakan untuk
menetralkan asam lambung dan umumnya merupakan senyawa
alumunium dan/atau magnesium yang secara kimiawi mengikat kelebihan
HCl di dalam lambung. Mg dan Al tidak larut dalam air dan dapat bekerja
dalam waktu lama di dalam lambung sehingga tujuan pengobatan
sebagian besar dapat tercapai. Sediaan yang mengandung Mg dapat
menyebabkan diare (bersifat pencahar), sedangkan sediaan yang
mengandung Al dapat menyebabkan konstipasi (sembelit). Oleh sebab
itu, kedua senyawa tersebut biasanya dikombinasikan dalam terapi tukak
peptik. Senyawa antasida lainnya adalah natrium bikarbonat yang larut
dalam air dan bekerja dengan cepat. Namun, bikarbonat dapat terabsorbsi
oleh tubuhh sehingga dapat menyebabkan alkalosis jika diberikan dalam
dosis yang berlebih. Selain itu, bikarbonat menghasilkan CO2 yang dapat
meyebabkan sendawa pada pasien.
15

b. Antihistamin H2 / H2 Bloker
Antihistamin H2 menghambat takifilaksis atau toleransi. Takifilaksis
adalah penurunan efektivitas karena penggunaan jangka panjang.
Antihistamin H2 memiliki permulaan aksi yang cepat. Sama halnya
dengan obat-obatan yang melindungi mukosa lambung.
c. Penghambat pompa proton (PPI)
Untuk penyembuhan esofagitis erosif dan meringankan gejala GERD, PPI
lebih unggul daripada antihistamin H2. Pemberian PPI dalam jangka
panjang tanpa diagnosis tidak dianjurkan dan pada saat PPI diperlukan,
gunakan dosis efektif yang serendah mungkin.
d. Analog Prostaglandin
Suatu analog prostaglandin sintetik, memiliki sifat antisekresi dan
proteksi, mempercepat penyembuhan tukak lambung dan duodenum.
Senyawa ini dapat mencegah terjadinya tukak karena AINS.
Penggunaannya paling cocok bagi pasien yang lemah atau sangat lansia di
mana penggunaan AINS tidak mungkin dihentikan.
e. Obat lainnya
Obat-obatan pelindung mukosa, seperti alginat dan sukralfat, bermanfaat
untuk mengatasi heartburn yang kadang-kadang muncul. Penggunaan
obat pelindung mukosa atau natrium alginat dalam jangka panjang tidak
direkomendasikan untuk GERD karena sebagian obat ini mengandung
komponen yang dapat diserap dan menimbulkan efek samping.

B. Gastritis
1. Definisi
Gastritis adalah peradangan pada mukosa lambung dan submukosa lambung
yang bersifat secara akut, kronis, difus atau lokal akibat infeksi dari bakteri,
obat-obatan dan bahan iritan lain, sehingga menyebabkan kerusakan-
kerusakan atau perlukaan yang menyebabkan erosi pada lapisan-lapisan
tersebut dengan gambaran klinis yang ditemukan berupa dispepsia atau
indigesti (6).
16

a. Gastritis Akut (6)


Gastritis akut adalah inflamasi akut mukosa lambung pada sebagian besar
merupakan penyakit yang ringan dan sembuh sempurna. Salah satu
bentuk gastritis akut yang manifestasi klinisnya adalah:
1) Gastritis akut erosif
Disebut erosif apabila kerusakan yang terjadi tidak lebih dalam dari
pada mukosa muscolaris (otot-otot pelapis lambung).
2) Gastritis akut hemoragic
Disebut hemoragic karena pada penyakit ini akan dijumpai
perdarahan mukosa lambung dalan berbagai derajat dan terjadi erosi
yang berarti hilangnya kontunuitas mukosa lambung pada beberapa
tempat, menyertai inflamasi pada mukosa lambung tersebut.
b. Gastritis Kronis (6)
Menurut Muttaqin, (2011) Gastritis kronis adalah suatu peradangan
permukaan mukosa lambung yang bersifat menahun. Gastritis kronik
diklasifikasikan dengan tiga perbedaan sebagai berikut :
1) Gastritis superfisial, dengan manifestasi kemerahan ; edema , serta
perdarahan dan erosi mukosa.
2) Gastritis atrofik, dimana peradangan terjadi di seluruh lapisan mukosa
pada perkembanganya dihubungkan dengan ulkus dan kanker
lambung, serta anemia pernisiosa. Hal ini merupakan karakteristik
dari penurunan jumlah sel parietal dan sel chief.
3) Gastritis hipertrofik, suatu kondisi dengan terbentuknya nodulnodul
pada mukosa lambung yang bersifat iregular, tipis, dan hemoragik.

2. Etiologi
Menurut Muttaqin(2011) Penyebab dari gastritis antara lain : (6)
a. Obat-obatan, seperti obat antiinflamasi nonsteroid / OAINS (indometasin,
ibuprofen, dan asam salisilat), sulfonamide, steroid, kokain, agen
kemoterapi (mitomisin, 5-fluora-2-deoxyuriine), salisilat, dan digitalis
bersifat mengiritasi mukosa lambung.
17

b. Minuman beralkohol ; seperti : whisky,vodka, dan gin.


c. Infeksi bakteri ; seperti H. pylori (paling sering), H. heilmanii,
streptococci, staphylococci, proteus spesies, clostridium spesies, E. coli,
tuberculosis, dan secondary syphilis.
d. Infeksi virus oleh Sitomegalovirus
e. Infeksi jamur ; candidiasis, histoplasmosis, dan phycomycosis.Penyebab
penyakit GERD yang paling umum adalah malfungsi sfingter bawah
esofagus (LES). LES adalah sebuah zona aktivitas otot bertekanan tinggi
dengan ukuran 3-4 cm pada esofagus distal yang berfungsi sebagai
pelindung mukosa esofagus dan struktur proksimal terhadap zat yang
berpotensi merusak mukosa, seperti asam lambung, pepsin, dan garam
empedu.
f. Stress fisik yang disebabkan oleh luka bakar, sepsis, trauma, pembedahan,
gagal napas, gagal ginjal, kerusakan susunan saraf pusat, dan refluks
ususlambung.
g. Makanan dan minuman yang bersifat iritan makanan berbumbu dan
minuman dengan kandungan kafein dan alkohol merupakan agen-agen
iritasi mukosa lambung.
h. Garam empedu, terjadi pada kondisi refluks garam empedu ( komponen
penting alkali untuk aktivasi enzim-enzim gastrointestinal) dari usus kecil
ke mukosa lambungsehingga menimbulkan respon peradangan mukosa
i. Iskemia, hal ini berhubungan dengan akibat penurunan aliran darah ke
lambung
j. Trauma langsung lambung, berhubungan dengan keseimbangan antara
agresi dan mekanisme pertahanan umtuk menjaga integritas mukosa, yang
dapat menimbulkan respon peradangan pada mukosa lambung.

3. Patofisiologi
a. Gastritis Akut (6)
Gastritis Akut dapat disebabkan oleh karena stress, zat kimia obat-obatan
dan alkohol, makanan yang pedas, panas maupun asam. Pada pasien yang
18

mengalami strees akan terjadi perangsangan saraf simpatis NV (Nervus


Vagus), yang akan meningkatkan produksi asam klorida (HCl) didalam
lambung akan menimbulkan rasa mual, muntah dan anoreksia zat kimia
maupun makanan yang merangsang akan menyebabkan sel epitel
kolumner, yang berfungsi untuk menghasilkan mukus mengurangi
produksinya. Sedangkan mukus itu fungsinya untuk memproteksi mukosa
lambung agar tidak ikut tercerna respon mukosa lambung karena
penurunan sekresi mukus bervariasi diantaranya vasodilitasi sel mukosa
gaster. Lapisan mukosa gaster terdapat enzim yang memproduksi asam
klorida atau HCl, terutama daerah fundus. Vasodilitasi mukosa gaster
akan menyebabkan produksi HCl meningkat. Anoreksia juga dapat
menyebabkan rasa nyeri, rasa nyeri ini ditimbulkan oleh karena kontak
HCl dengan mukosa gaster. Respon mukosa lambung akibat penurunan
sekresi mukus dapat berupa pengelupasan. Pengelupasan sel mukosa
gaster akan mengakibatkan erosi memicu timbulnya pendarahan.
Pendarahan yang terjadi dapat mengancam hidup penderita, namun dapat
juga berhenti sendiri karena proses regenerasi, sehingga erosi menghilang
dalam waktu 24-48 jam setelah pendarahan.
b. Gastritis Kronis (6)
Inflamasi lambung yang lama dapat disebabkan oleh ulkus benigna atau
maligna dari lambung atau oleh bakteri helicobactery pylory ( H. pylory )
Gastritis Kronis dapat diklasifikasikan sebagai tipe A / tipe B, tipe A
(sering disebut sebagai gastritis autoimun) diakibatkan dari perubahan sel
parietal, yang menimbulkan atrofi dan infiltrasi seluler. Hal ini
dihubungkan dengan penyakit autoimun seperti anemia pernisiosa dan
terjadi pada fundus atau korpus dari lambung. Tipe B ( kadang disebut
sebagai gastritis ) mempengaruhi antrum dan pylorus ( ujung bawah
lambung dekat duodenum ) ini dihubungkan dengan bakteri Pylory.
Faktor diet seperti minum panas atau pedas, penggunaan atau obat-obatan
dan alkohol, merokok, atau refluks isi usus kedalam lambung.
19

4. Patogenesis (6)
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan kerusakan mukosa
lambung, yaitu :
1. Kerusakan mukosa barrier sehingga difusi balik ion H meninggi.
2. Perfusi mukosa lambung yang terganggu.
3. Jumlah asam lambung.
Faktor-faktor tersebut biasanya tidak berdiri sendiri. Misalnya stres
fisik akan menyebabkan perfusi mukosa lambung terganggu, sehingga timbul
daerah-daerah infark kecil. Di samping itu, sekresi asam lambung juga
terpacu. Mukosal barrier pada penderita stres fisis biasanya tidak terganggu.
Pada gastritis refluks, gastritis karena bahan kimia, obat, mukosal barrier
rusak sehingga difusi balik ion H meninggi. Suasana asam yang terdapat pada
lumen lambung akan mempercepat kerusakan mukosal barrier oleh cairan
usus.
Pada umumnya patogenesis gastritis kronik belum diketahui.
Gastritits kronik sering dijumpai bersama-sama dengan penyakit lain,
misalnya anemia, penyakit Addison dan Gondok, anemia kekurangan besi
idiopatik. Gastritis kronik antrum-pilorus hampir selalu terdapat bersamaan
dengan ulkus lambung kronik. Beberapa peneliti menghubungkan gastritis
kronik fundus dengan proses imunologi. Hal ini didasarkan pada kenyataan
kira-kira 60% serum penderita gastritis kronik fundus mempunyai antibodi
terhadap sel parietalnya. Gastritis kronik antrum-pilorus biasanya
dihubungkan dengan refluks usus-lambung.

5. Faktor Resiko (6)


Umur dapat mempengaruhi terjadinya Gastritis, karena seiring dengan
pertambahan umur maka produksi saliva, yang dapat membantu penetralan
pH pada esofagus, berkurang sehingga tingkat keparahan Gastritis dapat
meningkat. Jenis kelamin dan genetik tidak berpengaruh signifikan terhadap
Gastritis.
20

Faktor resiko Gastritis adalah kondisi fisiologis penyakit tertentu,


seperti tukak lambung, hiatal hernia, obesitas, kanker, asma, alergi terhadap
makanan tertentu, dan luka pada dada (chest trauma). Sebagai contoh, pada
pasien tukak lambung terjadi peningkatan jumlah asam lambung maka
semakin besar kemungkinan asam lambung untuk mengiritasi mukosa
esofagus dan LES.

6. Gejala Klinik (3, 6)


Pola dan gejala yang khas hanya terlihat pada sekitar 50% pasien. Gejala-
gejala gastritis umunya tergantung pada lokasi tukak dan usia pasien. Banyak
penderita (terutama lansia) tidak mengalami gejala (atau hanya sedikit
gejala).
Nyeri adalah gejaa yang paling lazim dan biasanya terlokalisir pada
epigastrium atau gastrium tengah. Nyeri ini digambarkan sebagai rasa panas
yang mengganggu dan konstan, dan kadang-kadang disertai rasa lapar.
Sifatnya cenderung kronik dan berulang. Nyeri yang timbul dapat dikorangi
dengan makanan atau antasida.
Meskipun kadang tidak terlihat, gastritis juga dapat menimbulkan rasa
sakit dan kram di belakang tulang dada sehingga kondisi ini terkadang
disalahartikan sebagai nyeri hati. Selain itu, gastritis kemungkinan ditandai
oleh regurgitasi asam atau muntah. Meskipun lebih jarang terjadi, muntah
darah dapat terjadi dan dikenal sebagai gastritis hemoragik.
Gejala klinis pada gastritis yaitu:
a. Gastritis Akut, gejala klinis meliputi:
1) Dapat terjadi ulserasi superfisial dan dapat menimbulkan hemoragi.
2) Rasa tidak nyaman pada abdomen dengan sakit kepala, kelesuan,
mual, dan anoreksia. disertai muntah dan cegukan.
3) Beberapa pasien menunjukkan asimptomatik.
4) Dapat terjadi kolik dan diare jika makanan yang mengiritasi tidak
dimuntahkan, tetapi malah mencapai usus.
21

5) Pasien biasanya pulih kembali sekitar sehari, meskipun nafsu


mungkin akan hilang selama 2 sampai 3 hari.
b. Gastritis Kronis
Pasien dengan Gastritis tipe A secara khusus asimtomatik kecuali untuk
gejala defisiensi vitamin B12. Pada gastritis tipe B, pasien mengeluh
anoreksia (nafsu makan menurun), nyeri ulu hati setelah makan,
kembung, rasa asam di mulut, atau mual dan muntah.

7. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin dapat terjadi pada gastritis menurut Dermawan
( 2010) adalah: (6)
a. Perdarahan saluran cerna bagian atas
b. Ulkus peptikum, perforasi dan anemia karena gangguan absorbsi vitamain
B12.

8. Epidemiologi
Badan penelitian WHO mengadakan tinjauan terhadap beberapa negara di
dunia dan mendapatkan hasil persentase dari angka kejadian gastritis di
dunia, diantaranya Inggris 22%, China 31%, Jepang 14,5%, Kanada 35% dan
Perancis 29,5%. Menurut WHO di Indonesia angka kejadian gastritis di
beberapa daerah juga cukup tinggi dengan prevalensi 274,396 kasus dari
238,452,952 jiwa penduduk, menurut Maulidiyah (2006), di kota Surabaya
angka kejadian gastritis sebesar 31,2%, Denpasar 46%, dan kejadian gastritis
yang tertinggi terdapat di kota Medan yaitu sebesar 91,6% prevalensinya
meningkat pada usia diatas 40 tahun (6).

9. Diagnosis
Pemeriksaan dignostik menurut Dermawan (2010) dan Doenges (2000)
sebagai berikut :
a. Radiology: sinar x gastrointestinal bagian atas
b. Endoskopi : gastroscopy ditemukan muksa yang hiperemik
22

c. Laboratorium: mengetahui kadar asam hidroklorida.


d. EGD (Esofagagastriduodenoskopi): tes diagnostik kunci untuk
perdarahan gastritis, dilakukan untuk melihat sisi perdarahan atau derajat
ulkus jaringan atau cidera.
e. Pemeriksaan Histopatologi: tampak kerusakan mukosa karena erosi tidak
pernah melewati mukosa muskularis.
f. Analisa gaster: dapat dilakukan untuk menentukan adanya darah,
mengkaji aktivitas sekretori mukosa gaster, contoh peningkatan asam
hidroklorik dan pembentukan asam noktura.
g. Penyebab ulkus duodenal.
h. Feses: tes feses akan positif H. Pylory Kreatinin : biasanya tidak
meningkat bila perfusi ginjal di pertahankan.
i. Amonia: dapat meningkat apabila disfungsi hati berat menganggu
metabolisme dan eksresi urea atau transfusi darah lengkap dan jumlah
besar diberikan.
j. Natrium: dapat meningkat sebagai kompensasi hormonal terhadap
simpanan cairan tubuh.
k. Kalium: dapat menurun pada awal karena pengosongan gaster berat atau
muntah atau diare berdarah. Peningkatan kadar kalium dapat terjadi
setelah trasfusi darah.
l. Amilase serum: meningkat dengan ulkus duodenal, kadar rendah diduga
gastritis.

10. Penanganan Terapi


Penanganan Non Farmakologi
Penanganan non-farmakologi adalah makan yang teratur, menghentikan
merokok dan minum alkohol, mengurangi makanan dan obat-obatan yang
merangsang asam lambung dan menyebabkan refluks, makan tidak boleh
terlalu kenyang dan makan malam paling lambat 3 jam sebelum tidur serta
pengelolaan fikiran agar tidak stress (6).
23

Penanganan Farmakologi
a. Obat Penetralisir Asam Lambung
1) Antasida (3, 6)
Antasida jarang digunakan sebagai obat utama, tetapi sering
digunakan oleh pasien untuk meringankan gejala dispepsia. Antasida
yang paling umum digunakan adalah kombinasi Magnesium
Hidroksida dan Alumunium Hidroksida, tetapi obat yang mengandung
magnesium tidak boleh digunakan pada penderita gagal ginjalkronik
karena dapat menimbulkan hipermagnesemia dan alumunium dapat
menyebabkan neurotoksisitas kronik pada pasien ini.
Pada gastritis yang parah, cairan dan elektrolit diberikan
intravena untuk mempertahankan keseimbangan cairan sampai gejala-
gejala mereda, untuk gastritis yang tidak parah diobati dengan
antasida dan istirahat.
2) Penyekat Reseptor H2 (3, 6)
Obat ini menghambat sekresi asam, baik secara alami maupun yang
terstimulasi. Golongan obat ini sering digunakan untuk pengobatan
tukak aktif (4-6 minggu) yang dikombinasikan dengan antibiotika
untuk mengatasi infeksi H.pylori. Toksisitas sistemik yang dilaporkan
(meskipun jarang) karena penggunaan obat golongan ini adalah
pansitopenia, neutropenia, anemia, dan trombositopenia, dengan
angka prevalensi sekitar 0,01-0,02%. Simetidin dan Ranitidin dapat
diberikan untuk menghambat pembentukan asam lambung dan
kemudian menurunkan iritasi lambung. Namun kedua obat tersebut
dapat mengikat diri pada sitokrom P450 hati, sedangkan obat generasi
terbaru (Fomatidin dan Nizatidin) tidak terikat.
3) Penghambat Pompa Proton (PPI) (3, 6)
Obat golongan ini merupakan obat penghambat sekresi asam lambung
yang paling kuat. Omeprazol dan Lansoprazol adalah penghambat
pompa proton yang paling lama digunakan. Keduanya tidak stabil
terhadap asam, bersifat lipofilik, biasanya obat ini diberikan dalam
24

bentuk granul enterik berlapis dalam kapsul lepas lambatyang dapat


larut didalam usus halus dengan pH 6.
Efek samping yang pernah terlihat pada pasien pengguna obat
ini adalah Hipergastrinemia ringan hingga sedang. Obat golongan ini
dapat menggangu penyerapan obat0obatan seperti ketokonazol,
artipisilin, besi, dan digoxin. Pemberian warfarin, diazepam, dan
fenitoin secara bersama-sam dengan PPI harus dilakukan dengan hati-
hati.
b. Obat Sitoprotektif
1) Sukralfat: diberikan untuk melindungi mukosa lambung dengan cara
menyeliputinya, untuk mencegah difusi kembali asam dan pepsin
yang menyebabkan iritasi (6).
2) Sediaan yang mengandung Bismuth: Senyawa yang mengandung
bismuth merupakan obat pilihan untuk mengobati gastritis. Obat
tersebut kembali digunakan karena dapat mengatasi H.Pylori.
Mekanisme aksi obat ini dalam menyembuhkan luka belum diketahui
dengan pasti. Perkiraan mekanisme aksinya antara lain pelapisan luka,
pencegahan kerusakan lebih lanjut karena pepsin/ HCl, pengikatan
pepsin, dan stimulasi sekresi prostaglandin, bikarbonat, dan sekresi
mukosa. Efek samping karena penggunaan senyawa bismuth dalam
jangka pendek jarang ditemukan. Penggunaan panjang dalam dosis
tinggi (Khususnya Colloidal Bismuth Subcitrate/CBS yang mudah
diserap) dapat memicu neurotoksisitas. Senyawa ini lazim digunakan
sebagai salah satu obat dalam regimen anti-H.pylori (3).
3) Analog Prostaglandin: Bersifat stabil, dikembangkan untuk
pengobatan gastritis karena memilki peran yang sangat penting dalam
mempertahankan integritas dan memperbaiki mukosa. Misoprostol,
suatu turunan prostaglandin E1 (PGE1), adalah satu-satunya obat
dalam golongan ini yang telah diakui oleh FDA untuk digunakan
secara klinis dalam mencegah cedera mukosa gastroduodenum karena
penggunaan NSAID. Obat yang cepat diserap ini menghasilkan efek
25

terapu dengan cara meningkatkan sekresi bikarbonat yang berlendir,


menstimulasi aliran darah mukosa, dan menurunkan tingkat
pergantian sel mukosa. Analog prostaglandin juga dapat
meningkatkan sekresi bikarbonat yang berlendir, menstimulais aliran
darah mukosa, dan menurunkan tingkat pergantian sel mukosa.
Toksisitas yang paling lazim ditemukan adalah diare (kejadian 10-
30%). Toksisitas lainnya adalah pendarahan dan kontraksi uterus (3).
c. Obat-obat Lainnya
1) Antikoagulan bila ada pendarahan pada lambung (6).
2) Obat antikolinergik yang dirancang untuk menghambat aktivasi
reseptor muskarinik di dalam sel-sel parietal, tetapi tidak menunjukan
banyak keberhasilan karena efek penghambatan asamnya relatif lemah
dan efek sampingnya cukup berarti (mata kering, mulut keing, retensi
urin) (3).
3) Antidepresan trisiklik dianjurkan oleh sebagian kalangan, tetapi
toksisitas obat ini menghambat penggunaanya secara luas jika
dibandingkan dengan obat-obat lain yang telah dijelaskan sebelumnya
(3).
4) Karbenoksolon (Ekstrak licorice) menimbulkan efek samping yang
mirip aldosteron seperti retensi cairan dan hipokalemia sehingga obat
ini bukan pilihan yang baik (3).
5) Pembedahan: untuk mengangkat gangrene dan perforasi,
Gastrojejunuskopi/reseksi lambung: mengatasi obstruksi pilorus (6).

C. Refluks Gastroesofagus (GERD)


1. Definisi
Penyakit refluks gastroesofagus (gastroesophageal reflux disease, GERD)
adalah suatu kondisi klinis yang disebabkan oleh kenaikan isi lambung ke
dalam esofagus. Refluks gastroesofagus sebenarnya merupakan proses
fisiologis yang normal terjadi beberapa kali pada bayi, anak-anak, dan orang
dewasa yang sehat. Pemasukan kembali isi lambung ke dalam faring atau
26

mulut kadang-kadang terlempar keluar dari mulut disebut dengan regurgitasi


(3).
Pada umumnya, episode refluks pada orang sehat berlangsung kurang
dari 3 menit dan terjadi setelah makan dengan sedikit gejala (atau tanpa
gejala). Sebaliknya, GERD terjadi ketika refluks isi lambung menyebabkan
gejala-gejala yang mengganggu (komplikasi). Patofisiologi GERD
dipengaruhi oleh keseimbangan antara faktor-faktor yang merusak (atau
menyebabkan sensitivitas) mukosa esofagus dan faktor-faktor yang
memelihara sambungan esofagogastrik (esophagogastric junction, EGJ) dan
klirens asam esofagus normal (yang bergantung pada motilitas lambung dan
esofagus). GERD bisa disebabkan oleh malfungsi sfingter esofagus bagian
bawah (lower esophageal sphincter, LES) dan malfungsi mekanisme
pertahanan perut (3).

2. Etiologi dan Patofisiologi


Penyebab penyakit GERD yang paling umum adalah malfungsi sfingter
bawah esofagus (LES). LES adalah sebuah zona aktivitas otot bertekanan
tinggi dengan ukuran 3-4 cm pada esofagus distal yang berfungsi sebagai
pelindung mukosa esofagus dan struktur proksimal terhadap zat yang
berpotensi merusak mukosa, seperti asam lambung, pepsin, dan garam
empedu (3).
Selain penurunan tekanan (hipotensi) sfingter esofagus bawah,
kecacatan utama pada sfingter LES yang menyebabkan GERD adalah sebagai
berikut: (3)
a. Relaksasi LES Secara Transien
Episode refluks paling sering terjadi selama relaksasi LES secara transien
(sementara) yang tidak disertai dengan upaya menelan sehingga isi
lambung mengalir ke dalam esofagus dan relaksasi tersebut mewakili
70%-100% episode refluks pada subjek normal dan 63%-74% episode
refluks pada penderita GERD. Meskipun relaksasi LES secara transien
(transient lower esophageal sphincter relaxation, tLESR) umum terjadi
27

pada subjek normal dan pada penderita GERD, pasi terdapat perbedaan
antara subjek normal dan penderita GERD dalam hal pemicu relaksasi
tersebut untuk menjelaskan keberadaan GERD yang berbeda-beda.
Banyak penelitian telah mengevaluasi mekanisme potensial untuk
menjelaskan hubungan antara patogenesis GERD dengan relaksasi
transien LES.
b. Hernia Hiatus
Hernia hiatus dapat meningkatkan frekuensi episode refluks dengan
memperlemah EGJ secara mekanis dan mengganggu klirens esofagus.
Pada hernia hiatus, Tlesr terjadi pada frekuensi yang lebih besar dan
semua penyangga antirefluks, seperti penyangga krural, segmen intra-
abdomen.
c. Pengosongan Lambung yang Terlambat
Pengosongan lambung yang terlambat terjadi pada 10%-15% penderita
GERD. Keterlambatan ini akan mempengaruhi sejumlah kecil kasus
GERD dengan meningkatkan jumlah cairan yang tersedia untuk refluks
dan melalui distensi lambung secara konstan. Penyebab gangguan
pengosongan lambung potensial adalah gastroparesis (seperti terlihat pada
penderita diabetes) dan penumbatan parsial jalan keluar lambung.
d. Gangguan Resistensi Mukosa
Kemampuan mukosa esofagus bertahan dari cedera adalah suatu faktor
yang menentukan kejadian GERD. Usia dan status gizi merupakan faktor-
faktor yang mempengaruhi kemampuan mukosa bertahan dari cedera.
Pertahanan jaringan esofagus terdiri dari membran sel dan kompleks
sambungan intraseluler yang melindungi dari cedera dengan cara
membatasi kecepatan difusi ion-ion hidrogen ke dalam epitelium.
Esofagus juga memproduksi bikarbonat dan mukus. Bikarbonat
menghambat asam, sedangkan mukus membentuk suatu pelindung pada
permukaan epitelium. Tingkat pertahaan mukosa esofagus terhadap
kerusakan karena asam jauh lebih rendah daripada tingkat petahanan
lapisan perut sehingga sensitivitas mukosa esofagus kerusakan lebih
28

tinggi. Kerusakan esofagus terjadi karena kadar asam dan pepsin lebih
tiggi daripada tingkat perlindungan mukosa. Pepsin di dalam refluks asam
dapat merusak mukosa esofagus dengan cara mencerna protein epitelium.
Peningkatan sensitivitas mukosa terhadap asam juga dapat menyebabkan
gejala-gejala heartburn kronik.
e. GERD karena Kehamilan
Peningkatan tekanan dalam perut karena uterus yang mengandung bayi
juga dianggap sebagai faktor yang mempengaruhi GERD pada trimester
pertama dan awal trimester kedua sebelum perubahan tekanan abdomen
terlihat jelas. Tampilan GERD pada wanita hamil tidak berbeda dengan
tampilan GERD pada penderita yang tidak hamil dan diagnosisnya pun
hampir sama.

3. Patogenesis
Patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor
defensif dari esophagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat.
Yang termasuk faktor defensif esophagus adalah :
a. Pemisah antirefluks (lini pertama),
b. Bersihan asam dari lumen esophagus (lini kedua), dan
c. Ketahanan epithelial esophagus (lini ketiga).
Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah :
a. Sekresi gastrik dan daya pilorik.
b. Pemisah antirefluks Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus
LES.
c. Menurunnya tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde
pada saat terjadinya peningkatan tekanan intraabdomen. Sebagian besar
pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal.
Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus
hernia, panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-
obatan (misal antikolinergik, beta adrenergik, teofilin, opiate, dll), dan faktor
29

hormonal >> Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat


menurunkan tonus LES.
Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih
kontroversial. Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi
ditemukan hiatus hernia, namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala
GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang
dibutuhkan untuk bersihan asam dari esophagus serta menurunkan tonus
LES. Bersihan asam dari lumen esophagus Faktor-faktor yang berperan
dalam bersihan asam dari esophagus adalah gravitasi, peristaltik, ekskresi air
liur, dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat
akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltic yang dirangsang oleh
proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh
kelenjar saliva dan kelenjar esophagus. Mekanisme bersihan ini sangat
penting, karena makin lama kontak antara bahan refluksat dengan esophagus
(waktu transit esophagus) makin besar kemungkinan terjadinya esofagitis.
Pada sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki waktu transit esophagus
yang normal sehingga kelainan yang timbul disebabkan karena peristaltic
esophagus yang minimal. Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar
berpotensi menimbulkan kerusakan esophagus karena selama tidur sebagian
besar mekanisme bersihan esophagus tidak aktif. ketahanan epithelial
esophagus Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak
memiliki lapisan mukus yang melindungi mukosa esophagus. Nikotin dapat
menghambat transport ion Na+ melalui epitel esophagus, sedangkan alcohol
dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H. Yang
dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat.
Kandungan lambung yang menambah potensi daya rusak refluksat terdiri dari
HCl, pepsin, garam empedu, dan enzim pancreas. Faktor ofensif dari bahan
refluksat bergantung dari bahan yang dikandungnya. Derajat kerusakan
mukosa esophagus makin meningkat pada pH < 2, atau adanya pepsin atau
garam empedu. Namun dari kesemuanya itu yang memiliki potensi daya
rusak paling tinggi adalah asam (7).
30

4. Faktor Resiko (7,8)


Umur dapat mempengaruhi terjadinya GERD, karena seiring dengan
pertambahan umur maka produksi saliva, yang dapat membantu penetralan
pH pada esofagus, berkurang sehingga tingkat keparahan GERD dapat
meningkat. Jenis kelamin dan genetik tidak berpengaruh signifikan terhadap
GERD.
Faktor resiko GERD adalah kondisi fisiologis penyakit tertentu,
seperti tukak lambung, hiatal hernia, obesitas, kanker, asma, alergi terhadap
makanan tertentu, dan luka pada dada (chest trauma). Sebagai contoh, pada
pasien tukak lambung terjadi peningkatan jumlah asam lambung maka
semakin besar kemungkinan asam lambung untuk mengiritasi mukosa
esofagus dan LES.

5. Gejala Klinik
Gejala klinis GERD digolongkan menjadi 3 macam, yaitu gejala tipikal,
gejala atipikal, dan gejala alarm (7).
a. Gejala tipikal (typical symptom) adalah gejala yang umum diderita oleh
pasien GERD, yaitu: heart burn, belching (sendawa), dan regurgitasi
(muntah).
b. Gejala atipikal (atypical symptom) adalah gejala yang terjadi di luar
esophagus dan cenderung mirip dengan gejala penyakit lain. Contohnya
separuh dari kelompok pasien yang sakit dada dengan elektrokardiogram
normal ternyata mengidap GERD, dan separuh dari penderita asma
ternyata mengidap GERD. Kadang hanya gejala ini yang muncul
sehingga sulit untuk mendeteksi GERD dari gejala ini. Contoh gejala
atipikal: asma nonalergi, batuk kronis, faringitis, sakit dada, dan erosi
gigi.
c. Gejala alarm (alarm symptom) adalah gejala yang menunjukkan GERD
yang berkepanjangan dan kemungkinan sudah mengalami komplikasi.
Pasien yang tidak ditangani dengan baik dapat mengalami komplikasi.
Hal ini disebabkan oleh refluks berulang yang berkepanjangan. Contoh
31

gejala alarm: sakit berkelanjutan, disfagia (kehilangan nafsu makan),


penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan dan tersedak.
Penting untuk diperhatikan bahwa keparahan gejala tidak selalu
berkaitan dengan keparahan esofagitis, tetapi berkaitan dengan durasi reflux.
Pasien dengan penyakit yang nonerosif dapat menunjukkan gejala yang sama
dengan pasien yang secara endoskopi menunjukkan adanya erosi esophagus.

6. Komplikasi
Luka lecet sampai tukak (ulcus) di esofagus, perdarahan di esofagus,
penyempitan (strinctur) esofagus, erosi pada gigi-geligi, Barrett’s esophagitis
(radang esofasus) yang diduga dapat memicu kanker, radang pita suara
menahun, asma dan dampak lain yang lebih serius ialah terhisapnya asam ke
saluran nafas yang dapat memicu radang paru (7).

7. Epidemiologi
Prevalensi GERD di Asia, termasuk Indonesia, relatif rendah dibanding
negara maju. Di Amerika, hampir 7% populasi mempunyai keluhan
heartburn, dan 20%-40% diantaranya diperkirakan menderita PRGE.
Prevalensi esofagitis di negara barat berkisar antara 10%-20%, sedangkan di
Asia hanya 3%-5%, terkecuali Jepang dan Taiwan (13-15%). Tidak ada
predileksi gender pada GERD, laki-laki dan perempuan mempunyai risiko
yang sama, namun insidens esofagitis pada laki-laki lebih tinggi (2:1-3:1),
begitu pula Barrett's esophagitis lebih banyak dijumpai pada laki-laki (10:1).
GERD dapat terjadi di segala usia, namun prevalensinya meningkat pada usia
diatas 40 tahun (8).

8. Diagnosis
Diagnosis GERD dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik dan riwayat
medis, pemantauan pH esofagus, kombinasi multiple intraluminal impedance
(MII) dan pemantauan pH, studi motilitas, endoskopi dan biopsi, dan
32

radiografi kontras barium. Uji diagnostik lain umumnya tidak diperlukan


untuk sebagian besar suspek GERD (3).

9. Penanganan Terapi
Penanganan Non Farmakologi
Penanganan non-farmakologi adalah modifikasi berat badan, meninggikan
kepala 15-20 cm pada saat tidur, menghentikan merokok dan minum alkohol,
mengurangi makanan dan obat-obatan yang merangsang asam lambung dan
menyebabkan refluks, makan tidak boleh terlalu kenyang dan makan malam
paling lambat 3 jam sebelum tidur.
Penanganan Farmakologi (3)
1. Antihistamin H2
Antihistamin H2 menghambat takifilaksis atau toleransi. Takifilaksis
adalah penurunan efektivitas karena penggunaan jangka panjang.
Antihistamin H2 memiliki permulaan aksi yang cepat. Sama halnya
dengan obat-obatan yang melindungi mukosa lambung.
2. Penghambat pompa proton (PPI)
Untuk penyembuhan esofagitis erosif dan meringankan gejala GERD, PPI
lebih unggul daripada antihistamin H2. Pemberian PPI dalam jangka
panjang tanpa diagnosis tidak dianjurkan dan pada saat PPI diperlukan,
gunakan dosis efektif yang serendah mungkin.
3. Terapi prokinetik
Potensi efek samping obat-obatan prokinetik yang ada saat ini lebih besar
daripada manfaat potensialnya dalam pengobatan GERD. Belum ada data
yang cukup tentang khasiat klinis untuk mendukung penggunaan
metoklopramid, eritromisin, betanekol, cisaprid, atau domperidon secara
rutin untuk GERD.
4. Obat lainnya
Obat-obatan pelindung mukosa, seperti alginat dan sukralfat, bermanfaat
untuk mengatasi heartburn yang kadang-kadang muncul. Penggunaan
obat pelindung mukosa atau natrium alginat dalam jangka panjang tidak
33

direkomendasikan untuk GERD karena sebagian obat ini mengandung


komponen yang dapat diserap dan menimbulkan efek samping.

D. Mual dan Muntah


1. Definisi
Mual adalah rasa ingin muntah yang sangat tidak menyenangkan, sedangkan
muntah adalah penyembuhan isi perut secara paksa melalui mulut. Secara
umum, muntah merupakan suatu mekanisme perlindungan untuk membuang
zat-zat berbahaya yang telah dicerna, tetapi bisa juga terjadi karena berbagai
kondisi infeksi dan inflamasi di dalam tubuh. Muntah atau yang biasa disebut
“dry heaving”, bisa juga terjadi tanpa disertai mual sebelum muntah. Pada
saat muntah, otot-otot dinding perut berkontraksi secara kuat untuk
menciptakan tekanan yang diperlukan untuk mengeluarkan isi perut (3).
Meskipun demikian, muntah tidak sama dengan regurgitasi.
Regurgitasi tidak berkaitan dengan mual atau muntah. Jika yang keluar
karena regurgitasi terasa asam atau pahit, hal tersebut mungkin merupakan
manifestasi penyakit refluks. Namun, jika rasanya sama dengan makanan
yang ditelan, terdapat masalah dengan gerakan makanan mulai dari organ
penelan hingga ke dalam perut. Ruminasi adalah gejala lain yang yang mirip
dengan muntah yang terdiri dari regurgitasi makanan yang disertai upaya
mengunyah dan menelan kembali. Ruminasi adalah suatu perilaku yang
dipelajari dan mungkin dianggap menyenangkan oleh penderitanya (3).

2. Etiologi dan Patofisiologi (3)


Mual dikendalikan oleh salah satu bagian sistem saraf yang mengendalikan
fungsi jasmani yang bersifat spontan, terapi jalur neutron khusus untuk mual
belum teridentifikasi. Sementara itu, muntah merupakan suatu gerak refleks
dan dikendalikan oleh suatu pusat muntah (vomiting center) di batang otak.
Rasa mual dan muntah bisa muncul karena stimulus fisiologis,
psikologis, dan lingkungan, seperti efek samping obat, perubahan pasca-
operasi selama pemulihan, disfungsi otonom, disfungsi gastrointestinal,
34

tekanan mental, nyeri, bau, rasa, gerak, pengalaman traumatis, kontak dengan
toksin, dan barbagai stimulus lainnya. Baik mual maupun muntah terjadi
karena stimulasi pusat muntah di batang otak. Pusat ini teraktivasi melalui
dua cara, yaitu secara kimia dan secara neural. Aktivasi kimiawi dimediasi
oleh chemoreceptor trigger zone (CTZ) yang sensitif terhadap toksin dan
racun-racun di dalam aliran darah, sedangkan aktivasi neural terjadi karena
informasi yang masuk secara langsung dari lobus frontal otak, saluran
pencernaan, dan sensor keseimbangan pada telinga bagian dalam.
Chemoreceptor trigger zone (CTZ) terdapat pada daerah postrema
yang terletak pada permukaan dorsal medula oblongata di ujung kaudal
ventrikel keempat. Daerah tersebut tidak terlindung oleh sawar darah otak
sehingga bisa dijangkau oleh zat-zat emetogenik melalui cairan serebrospinal
atau darah. Daerah inti yang mengkoordinir muntah terletak pada batang otak
antara obex dengan nukleus retrofasial (persis pada arah kaudal nukleus
fasialis). Pada daerah tersebut, nukleus soliter (nucleus tractus solitarii, NTS)
menerima rangsangan yang seragam dari sumber yang berbeda-beda untuk
memicu muntah, termasuk nervus vagus, daerah postrema, dan sistem
vestribular dan limbik.
Kemudian NTS memancarkan proyeksi ke medula ventrolateral dan
nukleus motor dorsal pada vagus. Proyeksi ke medula ventrolateral mungkin
penting untuk memediasi komponen-komponen nukleus motor dorsal pada
vagus. Interaksi antara sirkuit-neuron sentral ini dengan obat kemungkinan
dimediasi oleh pelepasan neurotransmitter.
Meskipun neurotransmitter yang dilepaskan pada CTZ dan pusat
muntah belum diketahui secara pasti, dopamin ditemukan memediasi muntah
melalui reseptor dopamin (D2). Jadi, agonis reseptor dopamin D2, seperti
apomorfin, levodopa, dan bromokriptin, umumnya menyebabkan mual dan
muntah dan antagonis reseptor dopamin D2, seperti metoklopramid,
domperidon, dan haloperidol merupakan obat antiemetis yang efektif.
Namun, obat-obatan ini memiliki afinitas yang beranekaragam untuk
berikatan dengan reseptor dopamin.
35

4. Faktor Resiko
Muntah bisa terjadi karena makan yang berlebihan, minum yang terlalu
banyak, infeksi virus (hepatitis). Muntah juga dapat terjadi karena keracunan
atau cedera kepala yang memerlukan perhatian khusus. Perhatian khusus juga
perlu diberikan pada kejadian muntah yang disertai darah dan gejala-gejala
seperti suhu tubuh lebih dari 38°C, diare dan sakit perut terus-menerus, sakit
perut tidak reda setelah muntah, dan muntah yang kronik dan tidak responsif.
Selain itu, faktor resiko muntah adalah sakit kolik (batu empedu), motion
sickness, hematoma dalam perut, dan kehamilan (3, 9, 10).

5. Gejala Klinik
Muntah dapat menyebabkan gangguan metabolisme tubuh seperti dehidrasi
yang ditandai dengan oliguria, penurunan berat badan, kebingungan mental,
dan penurunan tugor jaringan. Muntah juga dapat mempengaruhi konsentrasi
elektrolit seperti penurunan kadar natrium yang ditandai dengan rasa haus
dan hipotensi, dan penurunan kadar kalium yang ditandai dengan lemah otot
atau gangguan ritme jantung. Selain itu, alkalosis dapat terjadi karena
kehilangan ion-ion hidrogen melalui muntah dan penurunan konsentrasi
hidrogen pada cairan ekstrasel setelah pengurangan cairan (3).

6. Komplikasi (7,8,9)
Muntah yang cukup berat dan dalam durasi yang lama dapat menyebabkan
dehidrasi dan/atau ketidakseimbangan elektrolit dan mineral yang bersirkulasi
di dalam darah yang dapat menimbulkan masalah. Hal tersebut adalah salah
satu konsekuensi mual dan muntah akut yang paling utama. Jika gejalanya
berlangsung lama, pasien bisa menderita malnutrisi atau kehilangan berat
badan.
Pada wanita hamil juga terjadi kondisi mual dan muntah. Meskipun
mual dan muntah pada wanita hamil dapat dikategorikan ringan, sedang atau
berat, keparahan mual dan muntah ini tidak cukup untuk mencerminkan
komplikasi yang ditimbulkan. Dampak fisik dan emosional mual dan muntah
36

pada wanita hamil sering menyebabkan rasa lelah dan gelisah tentang
pengaruhnya terhadap janin.

7. Epidemiologi
Mual muntah muncul pada orang dewasa dan anak-anak. Data statistik
epidemiologimual muntah tidak ada karena banyak kasus penyakit dimana
gejala ini muncul, dan banyak pasien tidak melaporkan keadaan ini pada
praktisi kesehatan yang menanganinya. Tiga kondisi umum yang
berhubungan dengan mual muntah adalah keracunan, mual muntah karena
hamil, dan mual muntah karena kemoterapi kanker (9, 10).

8. Diagnosis
Mual dan muntah dapat diakibatkan oleh infeksi gastrointestinal, mual dan
muntah akibat efek samping obat, keracunan, mual dan muntah pada wanita
hamil, mual dan muntah pasca-operasi dan mual dan muntah karena
kemoterapi kanker (9, 10).

9. Penanganan Terapi (3)


Dasar-dasar Penatalaksanaan Pengobatan
Pemilihan kelas obat antiemesis secara teoritis harus berdasarkan pemahaman
mengenai patofisiologi, jalur fisiologi yang relevan, sistem reseptor, dan
tempat aksi obat. Terapi antiemesis secara teratur diperlukan untuk
mendapatkan dan mempertahankan kadar obat yang stabil di dalam plasma.
Jika pemberian secara peroral tidak efektif pada pasien muntah, pemberian
infus sub-kutan lebih dianjurkan dan sebaiknya obat menggunakan dosis pada
ambang batas yang rendah terlebih dahulu.
Keberadaan suatu unsur penggangu (obstruksi) sangat penting dalam
pemilihan obat dan penatalaksanaannya. Jika mual dan muntah yang terjadi
merupakan regurgitasi yang disebabkan oleh gangguan GIT bagian atas,
pasien tidak akan merespons terhadap obat antiemesis. Obat-obatan
prokinetik dapat digunakan jika gejala-gejala obstruksi ada dan kolik tidak
37

ada. Khususnya jika terdapat statis lambung atau obstruksi jalan keluar secara
parsial. Dalam kasus ini, pemberian obat prokinetik tidak dianjurkan karena
berisiko memicu kolik. Karena jalur akhir obat0obatan prokinetik adalah
kolinergik, penggunaan obat prokinetik dan obat antikolinergik secara
bersamaan juga harus dihindari.
Obat antiemesis seperti Flufenzapin, Klorpromazin, Proklorperazin,
Domperidon, Prometazin, Skopolamin dan Metoklopramid, Zacoprid,
Butirofenon, golongan antikolinergik, golongan antihistamin H1, dan
golongan antiserotonin (ondansentron).

E. Pendarahan Saluran Cerna


1. Definisi
Perdarahan saluran cerna bahagian atas (didefinisikan sebagai perdarahan
yang terjadi di sebelah proksimal ligamentum Treitz pada duodenum distal.
Sebagian besar perdarahan saluran cerna bahagian atas terjadi sebagai akibat
penyakit ulkus peptikum (PUD, peptic ulcer disease) (yang disebabkan oleh
H. Pylori atau penggunaan obat-obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) atau
alkohol). Robekan Mallory-Weiss, varises esofagus, dan gastritis merupakan
penyebab perdarahan saluran cerna bahagian atas yang jarang (11).

2. Etiologi dan Patofisiologi


2.1 Etiologi
Terdapat perbedaan distribusi penyebab perdarahan saluran cerna
bagian atas (SCBA) di Indonesia dengan laporan pustaka Barat.
Penyebab terbanyak di Indonesia adalah perdarahan varises karena
sirosis hati (65%), sedangkan di negara Eropa dan Amerika adalah
perdarahan non variceal karena ulkus peptikum (60%). Penyebab lain
yang jarang meliputi, Malory Weiss tears, duodenitis erosive, ulkus
dielafoy (salah satu tipe malformasi vaskuler), neoplasma, aortoenteric
fistula, GAVE (gastric antral vascular ectasia) dan gastropathy
prolapse. (Prasanti, Damayanti Ika. 2013. Faktor-faktor yag
38

berpengaruh terhadap kejadian pendarahan saluran cerna bagian atas.


Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro) (11).

Tabel . Penyebab Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas


Sering (common) Kurang sering Jarang
(less common)
Ulkus gaster Erosi/ gastropati Ulkus
Ulkus gaster Esofagitis esophagus
duodenum Lesi Dielafoy Duodenitis
Varises Telangiektasis erosive Fistula
esophagus Gastropati hipertensi Aortoenterik
Mallory Weiss tear portal GAVE (Gastric Hemobilia
Antral Vascular Ectasia) Penyakit
= watermelon stomach Pankreas
2.2 Patofisiologis
Lumen gaster memiliki pH yang asam. Kondisi ini berkontribusi dalam
proses pencernaan tetapi juga berpotensi merusak mukosa gaster.
Beberapa mekanisme telah terlibat untuk melindungi mukosa gaster.
Musin yang disekresi sel-sel foveola gastrica membentuk suatu lapisan
tipis yang mencegah partikel makanan besar menempel secara langsung
pada lapisan epitel. Lapisan mukosa juga mendasari pembentukan
lapisan musin stabil pada permukaan epitel yang melindungi mukosa
dari paparan langsung asam lambung, selain itu memiliki pH netral
sebagai hasil sekresi ion bikarbonat sel-sel epitel permukaan. Suplai
vaskular ke mukosa gaster selain mengantarkan oksigen, bikarbonat, dan
nutrisi juga berfungsi untuk melunturkan asam yang berdifusi ke lamina
propia. Gastritis akut atau kronik dapat terjadi dengan adanya dekstruksi
mekanisme-mekanisme protektif tersebut (11).
39

Gambar 1. Patogenesis Perdarahan Saluran Cerna bagian Atas (11)

Pada orang yang sudah lanjut usia pembentukan musin berkurang


sehingga rentan terkena gastritis dan perdarahan saluran cerna. OAINS dan
obat antiplatelet dapat mempengaruhi proteksi sel (sitoproteksi) yang
umumnya dibentuk oleh prostaglandin atau mengurangi sekresi bikarbonat
yang menyebabkan meningkatnya perlukaan mukosa gaster. Infeksi
Helicobacter pylori yang predominan di antrum akan meningkatkan sekresi
asam lambung dengan konsekuensi terjadinya tukak duodenum. Inflamasi
pada antrum akan menstimulasi sekresi gastrin yang merangsang sel parietal
untuk meningkatkan sekresi lambung. Perlukaan sel secara langsung juga
dapat disebabkan konsumsi alkohol yang berlebih. Alkohol merangsang
sekresi asam dan isi minuman berakohol selain alkohol juga merangsang
sekresi asam sehingga menyebabkan perlukaan mukosa saluran cerna.
Penggunaan zat-zat penghambat mitosis pada terapi radiasi dan kemoterapi
menyebabkan kerusakan mukosa menyeluruh karena hilangnya kemampuan
regenerasi sel. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa diabetes mellitus
merupakan salah satu penyakit komorbid pada perdarahan SCBA dan
menjadi faktor risiko perdarahan SCBA. Pada pasien DM terjadi
perubahan mikrovaskuler salah satunya adalah penurunan prostasiklin yang
berfungsi mempertahankan mukosa lambung sehingga mudah terjadi
perdarahan (11).
Gastritis kronik dapat berlanjut menjadi ulkus peptikum. Merokok
40

merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya ulkus peptikum. Merokok


memicu kekambuhan, menghambat proses penyembuhan dan respon terapi
sehingga memperparah komplikasi ulkus kearah perforasi (11).

3. Faktor Resiko (11)


Terdapat beberapa faktor risiko yang dianggap berperan dalam patogenesis
perdarahan SCBA.Faktor risiko yang telah di ketahui adalah usia, jenis
kelamin, penggunaan OAINS, penggunaan obat antiplatelet, merokok,
mengkonsumsi alkohol, riwayat ulkus, diabetes mellitus dan infeksi bakteri
Helicobacter pylori.
a. Usia
Perdarahan SCBA sering terjadi pada orang dewasa dan risiko
meningkat pada usia >60 tahun. Penelitian pada tahun 2001-2005
dengan studi retrospektif di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
terhadap 837 pasien yang memenuhi kriteria perdarahan SCBA
menunjukkan rata-rata usia pasien laki-laki adalah 52,7 ± 15,82 tahun
dan rata-rata usia pasien wanita adalah 54,46 ± 17,6. Usia ≥ 70 tahun
dianggap sebagai factor risiko karena terjadi peningkatan frekuensi
pemakaian OAINS dan interaksi penyakit komorbid yang menyebabkan
terjadinya berbagai macam komplikasi.
b. Jenis kelamin
Kasus perdarahan SCBA lebih sering dialami oleh laki-laki. Penelitian
di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sekitar 51,4% yang mengalami
perdarahan SCBA berjenis kelamin laki-laki. Dari penelitian yang sudah
dilakukan mayoritas menggunakan pendekatan epidemiologi dan belum
ada penelitian yang secara spesifik menjelaskan hubungan perdarahan
SCBA dengan jenis kelamin.
c. Penggunaan obat antiinflamasi non steroid (OAINS)
Peningkatan risiko komplikasi ulkus (rawat inap, operasi, kematian)
terjadi pada orang tua yang mengkonsumsi OAINS. Studi cross
sectional terhadap individu yang mengkonsumsi OAINS pada dosis
41

maksimal dalam jangka waktu lama 35% hasil endoskopi adalah


normal, 50% menunjukkan adanya erosi atau petechiae, dan 5%-
30% menunjukkan adanya ulkus. Jenis-jenis OAINS yang sering
dikonsumsi adalah ibuprofen, naproxen, indomethacin, piroxicam, asam
mefenamat, diklofenak.
d. Penggunaan obat-obat antiplatelet
Penggunaan aspirin dosis rendah (75 mg per hari) dapat menyebabkan
faktor perdarahan naik menjadi dua kali lipat, bahkan dosis subterapi 10
mg per hari masih dapat menghambat siklooksigenase. Aspirin dapat
menyebabkan ulkus lambung, ulkus duodenum, komplikasi
perdarahan dan perforasi pada perut dan lambung. Obat antiplatelet
seperti clopidogrel berisiko tinggi apabila dikonsumsi oleh pasien dengan
komplikasi saluran cerna.
e. Merokok
Dari hasil penelitian menunjukkan merokok meningkatkan risiko
terjadinya ulkus duodenum, ulkus gaster maupun keduanya. Merokok
menghambat proses penyembuhan ulkus, memicu kekambuhan, dan
meningkatkan risiko komplikasi.
f. Alkohol
Mengkonsumsi alkohol konsentrasi tinggi dapat merusak pertahanan
mukosa lambung terhadap ion hidrogen dan menyebabkan lesi akut
mukosa gaster yang ditandai dengan perdarahan pada mukosa.
g. Riwayat Gastritis
Riwayat Gastritis memiliki dampak besar terhadap terjadinya ulkus.
Pada kelompok ini diprediksi risiko terjadi bukan karena sekresi
asam tetapi oleh adanya gangguan dalam mekanisme pertahanan
mukosa dan proses penyembuhan.
h. Diabetes mellitus (DM)
Beberapa penelitian menyatakan bahwa DM merupakan penyakit
komorbid yang sering ditemui dan menjadi faktor risiko untuk
terjadinya perdarahan. Namun, belum ada penelitian yang menjelaskan
42

mekanisme pasti yang terjadi pada perdarahan SCBA yang disebabkan


oleh diabetes mellitus.
i. Infeksi bakteri Helicobacter pylori
Helicobacter pylori merupakan bakteri gram negatif berbentuk spiral
yang hidup dibagian dalam lapisan mukosa yang melapisi dinding
lambung. Beberapa penelitian di Amerika Serikat menunjukkan tingkat
infeksi H.pylori <75% pada pasien ulkus duodenum. Dari hasil
penelitian di New York 61% dari ulkus duodenum dan 63% dari
ulkus gaster disebabkan oleh infeksi H.pylori.
j. Chronic Kidney Disease
Patogenesis perdarahan saluran cerna pada chronic kidney disease
masih belum jelas, diduga faktor yang berperan antara lain efek uremia
terhadap mukosa saluran cerna, disfungsi trombosit akibat uremia,
hipergastrinemia, penggunaan antiplatelet dan antikoagulan, serta
heparinisasi pada saat dialysis.

k. Hipertensi
Hipertensi menyebabkan disfungsi endotel sehingga mudah terkena
jejas. Selain itu hipertensi memperparah artherosklerosis karena plak
mudah melekat sehingga pada penderita hipertensi dianjurkan untuk
mengkonsumsi obat-obat antiplatelet.
l. Chronic Heart Failure
Penelitian yang ada mengatakan bahwa chronic heart failure dapat
meningkatkan faktor risiko perdarahan SCBA sebanyak 2 kali lipat.

4. Gejala Klinik
Gejala klinis perdarahan saluran cerna: Ada 3 gejala khas, yaitu: (11)
a. Hematemesis
Muntah darah dan mengindikasikan adanya perdarahan saluran cerna
atas, yang berwarna coklat merah atau “coffee ground”.
b. Hematochezia
Keluarnya darah dari rectum yang diakibatkan perdarahan saluran cerna
43

bahagian bawah, tetapi dapat juga dikarenakan perdarahan saluran cerna


bahagian atas yang sudah berat.
c. Melena
Kotoran (feses) yang berwarna gelap yang dikarenakan kotoran
bercampur asam lambung; biasanya mengindikasikan perdarahan saluran
cerna bahagian atas, atau perdarahan daripada usus-usus ataupun colon
bahagian kanan dapat juga menjadi sumber lainnya. Disertai gejala
anemia, yaitu: pusing, syncope, angina atau dyspnea.

5. Epidemiologi (11)
Perdarahan saluran cerna merupakan salah satu kasus kegawatan di bidang
gastroenterologi yang saat ini masih menjadi permasalahan di bidang
kesehatan dan perekonomian dunia. Selama empat dekade terakhir ini tidak
terdapat perubahan angka kejadian meskipun telah dicapai kemajuan dalam
pengelolaan atau terapi. Peningkatan insidensi di sebagian negara
berhubungan dengan penggunaan aspirin dan obat antiinflamasi non
steroid (OAINS). Selain itu, prevalensi perdarahan SCBA sangat
bervariasi berdasarkan umur, jenis kelamin dan beberapa faktor lainnya.
Hasil akhir berupa perdarahan ulang dan kematian merupakan akibat dari
penatalaksanaan yang kurang adekuat.
Di Amerika Serikat angka kejadiannya berkisar antara 50-150 per
100.000 penduduk per tahun. Angka kematiannya bervariasi antara 4-14%
tergantung pada kondisi pasien dan penanganan yang tepat. Pasien dengan
komplikasi atau tanpa komplikasi di Amerika serikat rata-rata lama rawat
inap adalah 4,4 dan 2,7 hari dengan biaya perawatan sebesar 5632 US dollar
dan 3402 US dollar. Umumnya 80% dari kasus dapat berhenti dengan
sendirinya. 10% kasus membutuhkan prosedur intervensi untuk mengontrol
perdarahan.

6. Diagnosis (11)
Diagnosis dapat dibuat berdasarkan inspeksi muntahan pasien atau
44

pemasangan selang nasogastric (NGT, nasogastric tube) dan deteksi


darah yang jelas terlihat; cairan bercampur darah, atau “ampas kopi”’
Namun, aspirat perdarahan telah berhenti, intermiten, atau tidak dapat
dideteksi akibat spasme pilorik.
Pada semua pasien dengan perdarahan saluran gastrointestinal
(GIT) perlu dimasukkan pipa nasogastrik dengan melakukan aspirasi isi
lambung. Hal ini terutama penting apabila perdarahan tidak jelas. Tujuan
dari tindakan ini adalah:
a. Menentukan tempat perdarahan.
b. Memperkirakan jumlah perdarahan dan apakah perdarahan telah
berhenti.
Angiography dapat digunakan untuk mendiagnosa dan
menatalaksana perdarahan berat, khususnya ketika penyebab perdarahan
tidak dapat ditentukan dengan menggunakan endoskopi atas maupun
bawah.
Conventional radiographic imaging biasanya tidak terlalu
dibutuhkan pada pasien dengan perdarahan saluran cerna tetapi
adakalanya dapat memberikan beberapa informasi penting. Misalnya pada
CT scan; CT Scan dapat mengidentifikasi adanya lesi massa, seperti
tumor intra-abdominal ataupun abnormalitas pada usus yang mungkin
dapat menjadi sumber perdarahan.

7. Penanganan Terapi
PPI (Proton Pump inhibitor) merupakan pilihan utama dalam pengobatan
perdarahan SCBA non variseal. Beberapa studi melaporkan efektifitas PPI
dalam menghentikan perdarahan karena ulkus peptikum dan mencegah
perdarahan berulang. PPI memiliki dua mekanisme kerja yaitu
+ +
menghambat H /K ATPase dan enzim karbonik anhidrase mukosa
+ +
lambung manusia. Hambatan pada H /K ATPase menyebabkan sekresi
asam lambung dihambat dan pH lambung meningkat.Hambatan pada pada
45

enzim karbonik anhidrase terjadi perbaikan vaskuler, peningkatan


mikrosirkulasi lambung, dan meningkatkan aliran darah mukosa
lambung. PPI yang tersedia di Indonesia antara lain omeprazol,
lansoprazole, pantoprazole, rabeprazole, dan esomeprazole. PPI intravena
mampu mensupresi asam lebih kuat dan lama tanpa mempunyai efek
samping toleransi. Studi Randomized Controlled Trial (RCT) menunjukkan
PPI efektif jika diberikan dengan dosis tinggi intravena selama 72 jam
setelah terapi endoskopi pada perdarahan pada ulkus dengan stigmata
endoskopi risiko tinggi misalnya, lesi tampak pembuluh darah dengan atau
tanpa perdarahan akut (11).
Dosis rekomendasi omeprazol untuk stigmata resiko tinggi pada
pemeriksaan endoskopi adalah 80 mg bolus diikuti dengan 8 mg/jam infuse
selama 72 jam dilanjutkan dengan terapi oral. Pada pasien dengan stigmata
endoskopi risiko rendah PPI oral dosis tinggi direkomendasikan. PPI oral
diberikan selama 6-8 minggu setelah pemberian intravena, atau bisa lebih
lama diberikan jika ada infeksi Helicobacter pylori atau penggunaan
regular aspirin, OAINS dan obat antiplatelet (11).

Anda mungkin juga menyukai