Anda di halaman 1dari 184

CERITA 100 POHON

Hak cipta 2019 Fauna & Flora International

EDITOR
Ahmad Apriyono
Agustina Melanie
Erik Erfinanto
Fadjriah Nurdiasih
Harun Mahbub
Maria Dominique
Ramdania el Hida

PENYUNTING AKHIR
Arief Hamidi
Fransisca Noni Tirtaningtyas
Yanuar Ishaq Dwi Cahyo

DESAIN
Deisy Rika Yanti
Ditulis oleh anak bangsa dalam rangka Hari Pohon Sedunia
KATA PENGANTAR

Para ahli konservasi di dunia mengkhawatirkan terjadinya


kepunahan massal spesies fauna dan flora keenam secara
global (The sixth global mass extinction) yang terdorong
akibat ulah manusia. Kepunahan keenam ini disinyalir mulai
atau sedang berlangsung termasuk terhadap spesies pohon.

Di Indonesia, tahun 2018 diketahui 487 spesies pohon


masuk dalam kategori terancam punah dalam kategori
IUCN. Angka tersebut belum mencakup spesies-spesies
yang minim catatan keberadaannya melalui berbagai
informasi dan penelusuran data-data penelitian.

Hal ini menunjukan bahwa spesies pohon terancam


punah Indonesia sangat mungkin lebih banyak jumlahnya.
Kepedulian terhadap isu kelangkaan pohon masih sangat
kurang sehingga informasi-informasi penting mengenai
keberadaannya sulit dicari.

Kepedulian masyarakat terhadap isu pohon langka, terancam


punah dan endemik (LTE) masih terbilang rendah. Hal ini
dapat disebabkan oleh minimnya referensi tulisan terkait
pohon LTE Indonesia yang mudah diakses oleh masyarakat.

Minimnya referensi juga dapat disebabkan oleh rendahnya


publikasi, baik ilmiah maupun populer bertema pohon LTE
ini, padahal masyarakat juga memiliki pengalaman terkait
iv pohon LTE ini, baik hanya berupa perjumpaan maupun
bekerja dengan jenis-jenis pohon LTE ini.
Tahun 2018, Global Tree Campaign dari FFI-Indonesia
Program bekerjasama dengan Forum Pohon Langka
Indonesia (FPLI) dan Tambora Muda melakukan kegiatan
yang bertajuk penulisan populer untuk kaum muda.

Tema besar dari kegiatan ini yaitu “Pohon Langka, Terancam


Punah dan Endemik di Indonesia”. Ada sekitar 170 tulisan
yang terkumpul. 124 diantaranya dapat dibaca dalam buku
ini yang dibagi menjadi empat volume. Dua volume tentang
pohon di Indonesia, dan dua volume lainnya tentang
tumbuhan di Indonesia.

Buku ini sangat penting, karena secara tidak langsung


kita dapat mengetahui jenis flora di alam. Dengan begitu
dapat membantu pemerintah Indonesia dalam melindungi
kekayaan flora di Indonesia.

Semoga buku ini berguna dan dapat dimanfaatkan dengan


sebaik-baiknya. Selamat membaca

v Arief Hamidi
The Global Tree Campaign – Indonesia
DAFTAR ISI
Alstonia beatricis salah satu Flora Langka di Papua ............................. 2
Christine Dhewa

Ancaman Kepunahan Kayu Belian


Sudah di Depan Mata ............................................................................... 10
Andre Ronaldo

Cendana Kayu Komersial Endemik


Nusa Tenggara Timur yang Rentan Punah ............................................ 16
Debi Masthura Putri Dan Razi Wahyuni

Destinasi pohon kehidupan kiara dan kokoleceran ............................. 24


Farah Fitriah, Fitri Nur’aeni, Mario Tedja Saputra

Eboni, Si Hitam Manis dari Sulawesi ...................................................... 30
Beti Septiana Darsono

Kapur Barus : Habis Manis Semutnya Datang Lagi ............................. 34


Muhammad Azwar Nasution, Sarwan Hamid Nasution

Kayu Besi (Pohon Merbau), Tong Tra Jaga Akan Habis ..................... 40
Nikita Wijayanti Tehupeiori

Kelangkaan Pohon Cendana ................................................................... 46


Sokhifah Hidayah
Keruing, pohon raksasa dari nusantara ................................................ 50
Aprilia Rahmawati

Koleksi Ulin, Tengkawang Tungkul, dan Damar Minyak


di Arboretum Sylva Universitas Tanjungpura ...................................... 56
Rina Wahyuni

Lestari Ulinku, Lestari Alamku ................................................................ 64


vi Nadyati Fazrin

Mendulang Berkah dari Pohon-Pohon Khas Sumatra ........................ 72


Yusran Effendi Ritonga
Mengenal Pohon Bulian dan Gaharu,
Tumbuhan Khas di Hutan Jambi ............................................................ 78
Arieska Putri Abmi

Menyusuri Hutan Sancang,


Mencari Sisa-Sisa Dipterocarpaceae ..................................................... 84
Ana Rohma Septiana

Meranti Si Pohon Jodoh .......................................................................... 90


Adhinda Thasya Billa

Mersawa dan Damar Mata Kucing:


Primadona Langka Cagar Alam Leuweng Sancang ........................... 96
Afri Irawan

Mr. Odorta dan Mr. Leprosula ................................................................ 100


Miranda Bahar

Pohon Berangan ...................................................................................... 106


Thoriq Alfath F Ahsanul Husna

Pohon Bulian yang Semakin Menurun


di Muara Belian ......................................................................................... 112
Rikha Hanisyah

Pohon Gaharu Tumbuhan Asli Indonesia


yang Terancam Punah .............................................................................. 118
Devi Cahyani, Adi Wijaya, Andi Purnomo

Pohon Langka Berkayu Besi ................................................................... 122


Dwi Susilowardan

Pohon Ulin ................................................................................................. 126


Hary Prakasa, Eko Prasetya

Pohon Ulin yang Terancam Punah ........................................................ 128


Dewi Yuli Yana, Muslimin

Primadona Langka Cagar Alam Leuwueng Sancang ......................... 134


vii Afri Irawan

Save the gaharu tree ............................................................................... 138


Sydney M. N. Molet Dan Winda C. Viena
Sebuah Kebanggan Negeri di Batas Ambang Kepunahan ............... 144
Rizky Ananda

Selamatkan Cendana, Sekarang! ........................................................... 152


Abdullah Faqih

Si Kayu Besi yang Kian Memudar .......................................................... 158


Ahmad Ardi

Sonokeing dan Ulin, Kayu Hutan Elegan yang Langka ...................... 166
Immanuela Putri Dame , Ferdi Anda Sitepu

Tumbuhan Endemik yang Mulai Hilang ................................................ 172


Rafika Annisa Asharia, Septiono

viii
BAGIAN 2
ALSTONIA BEATRICIS
SALAH SATU FLORA
LANGKA DI PAPUA
CHRISTINE DHEWA

Papua merupakan Provinsi terluas di Indonesia yang terle­tak


pada bagian paling timur wilayah Indonesia. Luas wilayah
Papua adalah 317.062 kilometer persegi. Jika dibandingkan
dengan wilayah Republik Indonesia, maka luas wilayah
Provinsi Papua ialah 19,33% dari luas Negara Indonesia
yang mencapai 1.890.754 km² (Biro Pemerintah Kampung
Provinsi Papua, 2012).

Papua berbatasan langsung dengan negara Papua Nugini dan


terletak di sebelah utara Benua Australia. Keadaan bentuk
permukaan bumi Papua bervariasi mulai dari dataran
rendah sampai dataran tinggi. Hal ini membuat Papua
menjadi lingkungan habitat yang khas dan beragam.

Pembentukan Pulau Papua dan Pengaruhnya


terhadap Flora

Pembentukan sebuah pulau mempengaruhi dan


menentukan kekayaan hayatinya, Papua terbentuk dari
endapan Benua Australia. Adanya gerakan konvergen
2 membuat lempeng Pasifik dan lempeng Australia saling
bertubrukan ke arah yang sama. Tubrukan yang kuat
membuat endapan benua Australia yang ada pada dasar
laut Pasifik terdalam menjadi terangkat ke permukaan
laut, sehingga membentuk sebuah daratan baru di bagian
utara Australia. Pembentukan dari perubahan tersebut
berpengaruh terhadap keanekaragaman dan persebaran
flora di Papua.

Menurut teori biogeografi (cabang biologi yang mempelajari


tentang keanekaragaman hayati berdasarkan ruang dan
waktu), bahwa “pulau yang berukuran 10 kali lebih besar
mempunyai spesies dua kali lebih banyak, sedangkan pulau-
pulau yang jauh dari benua akan mempunyai spesies yang
lebih sedikit dibandingkan dengan pulau besar yang relatif
mempunyai keragaman lebih tinggi dari pulau kecil”.

Ukuran wilayah Papua pada tingkat endemisitas sudah


termasuk golongan tinggi, karena sebuah tumbuhan yang
dikatakan endemik adalah tumbuhan yang dipengaruhi
dari ukuran suatu pulau atau wilayah di mana tumbuhan
tersebut hidup.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Flora

Indonesia adalah negara dengan iklim tropis. Wilayah


beriklim tropis merupakan wilayah yang optimal bagi
kehidupan flora dibandingkan dengan wilayah beriklim
subtropik (iklim sedang) dan kutub (iklim kutub).
Kelompok tumbuhan hutan hujan tropis di Indonesia
berada pada wilayah khatulistiwa. Papua merupakan salah
satu wilayah hutan hujan tropis selain Sumatera, Sulawesi,
Kalimantan, dan Jawa. Pertumbuhan flora dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu klimatik (kondisi iklim) mencakup
sinar matahari, suhu, kelembaban udara, curah hujan,
dan angin.
3
Kelompok tumbuhan di Papua termasuk dalam kelompok
vegetasi hutan hujan tropis. Kelompok ini merupakan
wilayah yang memiliki hutan lebat, selalu hijau sepanjang
tahun, tidak mengalami musim gugur, terdiri dari berbagai
jenis pohon yang variatif, dan ketinggian pohonnya
ada yang mencapai 60 meter.

Permukaan bumi mendapatkan energi panas dari radiasi


matahari dengan intensitas penyinaran yang berbeda-
beda di setiap wilayah. Papua yang teletak pada bagian
selatan garis khatulistiwa selalu mendapatkan kebutuhan
pokok yakni sinar matahari sepanjang tahun, cahaya sinar
matahari diperlukan untuk proses fotosintesis. Ketika proses
fotosintesis sinar matahari diserap melalui klorofil (zat hijau
daun) agar menghasilkan karbohidrat yang merupakan CO2
dan H2O sebagai cadangan makanan untuk flora. Suhu suatu
tempat mempengaruhi pertumbuhan flora.

Suhu dipengaruhi oleh pancaran sinar matahari semakin


tinggi suhu suatu tempat semakin panas tempat tersebut,
Papua yang memiliki topografi (permukaan bumi) bervariasi
mempunyai dataran tinggi dan dataran rendah. Tidak semua
jenis flora bisa tumbuh di daratan tinggi, Papua memiliki
suhu rata-rata 29–31,8 °C.

Tumbuhan memiliki suhu optimum antara 10–38 °C.


Tumbuhan tidak akan bertahan pada suhu di bawah 0 °C dan
di atas 40 °C, suhu berpengaruh terhadap laju metabolisme,
fotosintesis, respirasi, dan transpirasi tumbuhan.

Kelembapan udara menggambarkan uap air yang terkandung


di dalam udara, semakin lembab semakin banyak pula
uap air yang ada. Papua memiliki kelembaban udara rata-
rata bervariasi antara 79–81%, kelembapan dibutuhkan
4 oleh tanaman agar tumbuhan tidak cepat kering karena
penguapan dan dapat menghasilkan serapan zat hara oleh
akar tumbuhan.
Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan
tanah datar selama periode tertentu yang diukur dengan
satuan tinggi milimeter (mm) di atas permukaan horizontal.
Curah hujan yang turun menentukan kapasitas air yang
dibutuhkan flora untuk terus tumbuh. Variasi curah hujan di
Papua berkisar 45-255 mm/tahun dengan jumlah hari hujan
rata-rata bervariasi antara 148-175 hari hujan/tahun.

Angin adalah udara yang bergerak yang diakibatkan


oleh rotasi bumi dan juga karena adanya perbedaan
tekanan udara di sekitarnya. Fungsi angin bagi flora dapat
membantu penyerbukan tanaman, angin akan membawa
serangga penyerbuk  lebih aktif untuk membantu terjadinya
persarian bunga dan pembenihan alamiah, membawa uap
air  sehingga udara panas menjadi sejuk, dan membawa
gas-gas yang sangat dibutuhkan oleh pertumbuhan dan
perkembangan  tanaman.

Faktor edafik adalah faktor tanah, ada empat jenis tanah di


Papua yang baik bagi pertumbuhan tumbuhan. Ada tanah
vulkanis yang memiliki kandungan unsur hara sangat tinggi,
tanah aluvilal yang mengandung unsur hara dan memiliki
nilai fungsi tinggi bagi tumbuhan. Jenis tanah humus
dapat membuat tumbuhan menjadi lebih subur dan lebih
besar serta dapat menjaga tanah dan tumbuhan yang ada
disekitarnya dari kekeringan dikarenakan memiliki banyak
mineral dan mudah menyerap air. Jenis tanah gambut dapat
digunakan penyemaian bibit pohon sehingga bibit pohon
dan pertumbuhannya akan menjadi baik, dan tanaman yang
disemaikan di tanah gambut akan mudah tumbuh dan lebih
cepat proses pertumbuhannya.

5 Banyak yang mengatakan bahwa tanah gambut tidak


berdampak baik untuk tumbuhan, namun sebenarnya
pada hakikatnya semua jenis tanah bisa dimanfaatkan
untuk budidaya tanaman. Jadi tanah gambut pun tidak
menjadi faktor yang dapat merusak lingkungan untuk
budidaya tanaman.

Papua memiliki lingkungan habitat dengan wilayah vegetasi


(kumpulan dari beberapa jenis tumbuhan) terlengkap di
Asia–Pasifik. Salah satu dari tumbuhan berkayu di Papua
yang termaksuk dalam kategori langka, terancam punah,
endemik (LTE) adalah Alstonia beatricis. Pohon ini hanya
ditemukan di Pulau Waigeo, Raja Ampat.

Alstonia beatricis merupakan nama latin dari pohon kayu


susu. Tumbuhan ini adalah salah satu flora yang termasuk
dalam daftar merah spesies terancam punah menurut
International Union for Conservation of Nature and Natural
Resources (IUCN).

Alstonia beatricis berasal dari Kingdom Plantae. Istilah


kingdom dalam biologi adalah “tingkatan paling atas dari
tingkatan klasifikasi makhluk hidup”. Tumbuhan yang
termasuk dalam kingdom plantae ialah makhluk hidup yang
tidak dapat berpindah tempat, memiliki sel eukariotik,
bersel banyak dengan dinding sel yang tersusun atas
selulosa, bersifat autotrof (mampu membuat makanan
sendiri), memiliki klorofil, dapat melakukan fotosintesis,
menyimpan cadangan makanan dalam pati, dan mengalami
prgiliram keturunan dalam siklus hidupnya.

Alstonia beatricis termasuk dalam Phylum Tracheophyta.


Phylum adalah suatu tingkatan di bawah Kingdom. Flora
yang termasuk dalam kategori Tracheophyta adalah flora
berpembuluh. Alstonia beatricis salah satu jenis flora
6 berpembuluh angkut yang mempunyai akar sebagai alat
penyerap air dan zat-zat mineral, batang untuk sarana
pengakut air, dan garam mineral ke daun, melalui pembuluh
xylem (pembuluh kayu) untuk proses fotosintesis dan
pembuluh floem untuk mengangkut zat makanan.

Class dari Alstonia beatricis adalah Magnoliopsida yang


merupakan nama takson bagi semua tumbuhan berbunga
tidak termasuk monokotil.

Alstonia beatricis merupakan kelas tumbuhan biji berkeping


dua dari Angiospermae (tumbuhan biji tertutup). Gentianales
adalah Ordo dari Alstonia beatricis, yang merupakan salah
satu bangsa tumbuhan berbunga dari kelas Magnoliopsida.
Family dari Alstonia beatricis adalah Apocynaceae.

Apocynaceae adalah salah satu suku anggota tumbuhan


berbunga dari ordo Gentianales. Salah satu Genus dari
Apocynaceae adalah Alstonia, Alstonia beatricis merupakan
spesies dari genus Alstonia.

Morfologi Alstonia mencakup tinggi, diameter, batang, akar,


daun, bunga, dan buah. tinggi dari Alstonia 6-10 m dengan
diameter batang mencapai 60-100 cm, pada batangnya
terdapat banyak lentisel yang berpori, batang tuanya mudah
terkelupas karena sudah rapuh, kulit batang berwarna
coklat terang, dan terdapat getah berwarna putih susu pada
bagian dalam kulit kayu, akarnya berakar tunggang dengan
memiliki lentisel berpori yang banyak pada akar, daun
Alstonia adalah jenis daun tunggal yang tersusun secara
vertikal di ujung ranting.

Daunnya berbentuk oval atau ellips (ellipticus), dengan


pangkal agak lancip (cuneate), ujung bundar atau membusur
(rounded), permukaan daun licin atau tidak berbulu
(glabrous). Pertulangan daun sejajar, warna daun bagian
7 bawah keputihan dengan ukuran 8–12 cm x 3–5 cm banyak
daunnya bisa mencapai 4-9 helai, panjang tangka tangkai
bunga dari Alstonia berkembang biak dengan biseksual,
bunga akan mengelompok pada pucuk daun, panjang dari
bunga Alstonia sekitar 1 cm, buah dari Alstonia berbentuk
memanjang dan ramping ukuran panjangnya berkisar
20 – 40 cm, dan buahnya akan pecah saat kering.

Penyebaran Alstonia

Alstonia tersebar di wilayah Sumatera, Kalimantan,


Jawa, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua. Di
wilayah-wilayah penyebarannya Alstonia memiliki nama
atau sebutan yang khas. Di Jawa Barat menyebutnya
dengan lame, di Jawa menyebut pule, di Madura menyebut
polay, Sumatera menyebut pulai, Kalimantan menyebut
hanjalutung, Ambon menyebut rite, dan Irian Jaya
menyebutnya aliang.

Manfaat Alstonia

Potensi manfaat dari Alstonia beatricis seperti halnya Genus


Alstonia pada umumnya, kulitnya dapat digunakan untuk
mengatasi demam, limpa yang membesar, batuk berdahak,
disentri, nafsu makan kurang, perut kembung, sakit perut,
kolik, kencing manis, tekanan darah tinggi, wasir, anemia,
rematik akut.

Tidak hanya kulit, tetapi daun dari Alstonia dapat digunakan


untuk mengatasi borok, bisul, dan diberikan pada
perempuan setelah melahirkan (nifas), penderita beri-beri
dan payudara bengkak karena bendungan ASI. Bukan
hanya untuk kesehatan, kayu dari Alstonia bisa dipakai
sebagai bahan bangunan yang dibuat menjadi papan untuk
cor bangunan. n

8
9
Hutan perbukitan dataran rendah di hulu
sungai mahakam, kalimantan timur
(Foto: Yanuar Ishaq Dc)
ANCAMAN KEPUNAHAN
KAYU BELIAN SUDAH
DI DEPAN MATA
ANDRE RONALDO

Kalimantan merupakan pulau terbesar ketiga setelah


Greenland dan Irian Jaya. Tipe hutan di Kalimantan
adalah hutan hujan tropis yang luas dan sangat kaya akan
keanekaragaman jenis baik flora maupun fauna.

Pulau ini merupakan pusat keanekaragaman jenis


tumbuhan, ditemukan sebanyak 10.000–15.000 jenis
tumbuhan berbunga dan memiliki lebih dari 3.000
jenis pohon. Kekayaan jenis ini tersebar pada berbagai
tipe hutan di Kalimantan yang sangat bervariasi, mulai
dari hutan bakau, hutan rawa gambut, hutan kerangas,
hutan Dipterocarpaceae, dan beberapa formasi hutan
pegunungan (MacKinnon, 2000).

Seiring perkembangan zaman, luasan hutan di Kalimantan


semakin tahun tampak semakin berkurang. Menurut
Forest Wacth Indonesia (2018) tutupan hutan di wilayah
Aceh, Riau, Sumatera, Sulawesi, termasuk Kalimantan
hanya 39 persen dari luas daratannya.
10 Pada 2013-2016 terdapat seluas 8,9 Ha areal lahan yang
tumpang tindih antara Hak Pengusahaan Hutan (HPH),
Hutan Tanaman Industri (HTI), Perkebunan Kelapa Sawit
dan Pertambangan. Tumpang tindih areal perusahaan
tersebut dengan Wilayah Adat seluas 1,5 juta Ha.

Dampaknya di areal tumpang tindih tersebut telah


kehilangan Hutan Alam seluas 355,9 ribu Ha dan
mengakibatkan 1.084 kasus konflik lahan terhitung dari
tahun 2013-2017.

Pengelolaan hutan di Indonesia saat ini masih banyak


kekurangan. Maraknya praktik pembalakan liar dan
pembukaan wilayah hutan berskala besar menjadi faktor
utama berkurangnya hutan di Indonesia.

Pemerintah dalam hal ini justru memberikan


izin pengelolaan dan pemanfaatan hutan tanpa
mempertimbangkan sisi ekologi, ekonomi, dan sosial
budaya. Sangat jomplang jika dibandingkan dengan hak
pengelolaan hutan dan lahan yang pemerintah berikan
kepada masyarakat dan perusahaan.

Pada kenyataannya pembukaan wilayah hutan secara


besar-besaran menjadi biang keladi utama berkurangnya
kawasan hutan. Akibatnya beragam jenis pohon kini
keberadaan semakin berkurang, bahkan terancam punah.

Pemerintah sebenarnya tidak hanya diam, selain


menerbitkan peraturan tentang perlindungan flora dan
fauna, pemerintah juga memiliki beberapa program dalam
upaya perlindungan hutan dan kesejahteraan masyarakat.
Di antaranya program Perhutanan Sosial dan Tanah Objek
Reforma Agraria dalam rangka pemerataan ekonomi.

Selain itu dibentuk Badan Restorasi Gambut untuk


11 konservasi lahan gambut yang kerap menjadi konflik
sosial. Pemerintah juga melakukan Rehabilitasi Hutan
dan Lahan dalam rangka perlindungan Daerah Aliran
Kayu Belian sudah sejak
zaman dahulu dimanfaatkan
oleh masyarakat suku Dayak
sebagai bahan utama untuk
membuat rumah. Seiring
perkembangan zaman, kayu
ini dikenal masyarakat luas
dan mulai dikomersilkan

Sungai serta program penanaman untuk menghutankan


kembali Hutan Indonesia. Namun pemerintah perlu juga
mempertimbangkan masalah izin-izin usaha industri yang
membuka wilayah hutan dalam skala besar, justru hal ini
yang menjadi masalah utama dalam perusakan hutan yang
menyebabkan ancaman kepunahan suatu jenis.

Salah satu jenis pohon khas Kalimantan yang terancam


punah adalah kayu belian. Secara ilmiah kayu belian
tergolong ke dalam famili Lauraceae, genus Eusideroxylon,
dan jenis Eusideroxylon zwagery. Namun masyarakat lebih
mengenalnya dengan sebutan kayu ulin, kayu belian atau
kayu besi.

Pohonnya cenderung tinggi besar mencapai tinggi 50


meter dan diameter batang mencapai 200 cm. Batang keras,
tegak lurus, kulit batang sedikit mengelupas halus, daun
12 berseling, tidak berbulu, daun muda berwarna kemerahan,
bunga berwarna putih kekuningan, buah berbentuk
lonjong, keras seperti batu.
Kayu belian dapat ditemukan pada hutan dataran rendah
hingga lereng bukit pada ketinggian 500 m dpl, dengan
kelerengan landai sampai curam, tumbuh terpencar atau
mengelompok dalam hutan dataran rendah campuran
namun sangat jarang dijumpai di habitat rawa.

Persebarannya di Sumatera dan Kalimantan. Pemanfaatan­


nya adalah secara ekonomi sebagai dijual sebagai produk
kayu unggulan, secara ekologi menjadi habitat favorit bagi
orangutan karena kayunya yang keras dan kayu ini mampu
merpertahankan air tanah, secara sosial budaya diolah
sebagai kerajinan tangan dan obat-obatan tradisional.

Kayu belian sudah sejak zaman dahulu dimanfaatkan


oleh masyarakat suku Dayak sebagai bahan utama untuk
membuat rumah. Seiring perkembangan zaman, kayu ini
dikenal masyarakat luas dan mulai dikomersilkan.

Kayunya yang keras dan solid kerap digunakan untuk


konstruksi bangunan, terutama rumah dan jembatan. Tak
hanya itu, kayu ini juga tahan dengan perubahan cuaca.
Kekuatan kayu ini tidak akan berkurang saat terkena
sinar matahari dan air hujan secara langsung, dan sangat
tahan terhadap pengaruh air laut karena sifat kayunya
sangat berat dan keras.

Tak heran jika kayu jenis ini kerap dieksploitasi besar-


besaran, yang menyebabkannya keberadaannya semakin
berkurag. Ditambah lagi tuntutan ekonomi serta
kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang
pelestarian hutan menjadi faktor utama yang mengancam
kepunahan belian.
13 Kepunahan itu juga dipengaruhi faktor lain, yaitu pertum­
buhan Pohon Belian yang sangat lambat. Perkembangan
bijinya juga membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Untuk melidungi keberadaannya, IUCN Redlist bahkan
telah menetapkan kayu ini dengan status Vulnerable (Vu)
atau rentan, yang artinya status konservasi yang diberikan
kepada jenis yang sedang menghadapi risiko kepunahan
di alam liar. Pemerintah juga telah melindunginya dengan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.20 Tahun 2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan
satwa yang dilindungi.

Pemuliaan Pohon Belian di alam kurang maksimal,


karena persentase keberhasilan tumbuhan relatif rendah,
produksi buah juga relatif sedikit, sehingga pertumbuhan
belian di alam sangat lambat. Selain melindungi habitat
kayu belian di alam, menegakkan aturan-aturan terkait
perlindungan hutan dan jenis-jenis pohon, ancaman serius
terhadap kayu belian adalah masalah percepatan budidaya
tanaman tersebut. Inovasi-inovasi baru mengenai teknologi
percepatan perkecambahan biji Belian menjadi hal yang
diperlukan dalam upaya perbanyakan bibit.

Sejauh ini kemajuan rekayasa pembudidayaan biji belian


belum optimal. Seiring berkembangnya teknologi,
diharapkan ada teknologi baru yang dapat mempercepat
pertumbuhan biji b elian. Tentunya ini menjadi motivasi
bagi para peneliti muda untuk dapat menemukan sesuatu
hal yang baru sehingga dapat menjadi solusi ancaman
kepunahan kayu belian.

Solusi kongkrit yang sudah dilakukan saat ini adalah


Pelestarian Belian secara ex-situ di Kawasan Arboretum
Sylva UNTAN Pontianak Kalimantan Barat. Kawasan
tersebut adalah wujud nyata kepedulian terhadap
14 pelestarian jenis-jenis pohon di Kalimantan Barat.
Arboretum Sylva Untan merupakan salah satu kawasan
pelestarian plasma nutfah yang dikelola langsung oleh
mahasiswa Fakultas Kehutanan UNTAN Pontianak.
Tujuannya adalah untuk melestarikan jenis-jenis pohon
asli Kalimantan secara ex-situ sehingga tercipta replika
hutan hujan tropis Kalimantan yang dapat digunakan
sebagai tempat pembelajaran.

Selain pohon Belian, 214 jenis pohon berhasil dikoleksi


di Arboretum Sylva Untan. Jenis-jenis langka yang
terkoleksi diantaranya adalah tengkawang tungkul (Shorea
stenoptera), tengkawang (Shorea macrophylla), mabang
(Shorea pachyphylla), kawi (Shorea balangeran), ramin
(Gonystylus bancanus), damar borneo (Agathis borneensis)
dan masih banyak yang lainnya. Semoga semangat
konservasi bisa menular kepada anak-anak muda saat ini,
kita dapat mulai dari hal kecil dalam upaya melestarikan
hutan Kalimantan. n

15
CENDANA, KAYU
KOMERSIAL KHAS
NUSA TENGGARA TIMUR
YANG RENTAN PUNAH
DEBI MASTHURA PUTRI DAN RAZI WAHYUNI

Nama tumbuhan yang satu ini sudah tak asing lagi didengar.
Dengan segala manfaat dan kelebihannya, pamor tumbuhan
satu ini telah dikenal hingga mancanegara. Sandalwood
merupakan sebutan untuk tumbuhan ini oleh masyarakat
internasional. Namun di Indonesia, tumbuhan khas Nusa
Tenggara Timur ini populer dengan nama cendana, meski
ada beberapa daerah memiliki nama tersendiri untuk
menyebut tumbuhan ini.

Cendana (Santalum album L.) merupakan salah satu


komoditas hasil hutan Indonesia yang memiliki nilai
komersial yang tinggi. Kayu cendana terkenal akan wanginya
yang kuat dan khas. Selain itu, kualitas kayunya yang baik
dan minyak yang dihasilkannya membuat cendana sering
diburu, berbanding terbalik dengan laju pertumbuhannya
yang relatif rendah. Hal ini menyebabkan penurunan drastis
16 populasi cendana selama dua dekade terakhir.

Berdasarkan data dari International Union for Conservation


of Natural Forest (IUCN) sejak tahun 1997 cendana masuk
dalam kategori vulnerable (rentan punah), sementara CITES
(Convention on International Trade in Endangered Species
of Wild Fauna and Flora) telah memasukan cendana dalam
kategori Appendix II.

Cendana tergolong ke dalam famili Santalaceae. Tercatat,


ada 29 spesies dari Santalaceae yang tersebar di seluruh
dunia meliputi India, Indonesia, Australia, dan negara-
negara kepulauan Pasifik. Berdasarkan data Direktorat
Jenderal Kehutanan (1980) ada sekitar sepuluh spesies
cendana di Indonesia dan hanya delapan yang masih
dieksploitasi termasuk spesies Santalum album. Saat ini,
beberapa wilayah di Indonesia termasuk Nusa Tenggara
Timur telah mencoba mengkonservasi cendana secara ex
situ dan in situ sebagai salah satu upaya mempertahankan
populasi cendana dari kepunahan.

Karakteristik Cendana

Ditinjau dari segi morfologinya, cendana (Santalum album


L.) memiliki ciri batang bulat agak berlekuk dengan tinggi
maksimum 20—25 meter dan diameter 25—40 cm. Daun
cendana merupakan daun tunggal dengan bentuk seperti
pasak dan tepi bergelombang. Bunga cendana hermaprodit,
berbentuk malai atau seperti lonceng dengan warna merah
gelap kecokelatan. Sementara itu, buah cendana berbentuk
batu dan bewarna hitam saat masak. Biasanya cendana
berbunga dan berbuah dua kali dalam setahun. Fase ini
terjadi ketika cendana umumnya memasuki usia lima tahun.

Interaksi cendana dengan lingkungannya melibatkan


beberapa faktor seperti kondisi tanah (sifat fisika dan kimia
17 tanah), ketingggian tempat tumbuh, kelerengan tanah
(topografi) dan iklim. Cendana tumbuh dengan baik di
tanah yang memiliki drainase yang baik di lahan kering
dengan tekstur lempung. Cendana juga dapat tumbuh di
tanah berbatu, kering, dengan kelerengan > 40% (sangat
curam), serta juga sering ditemukan di lokasi dengan
ketinggian kurag lebih 1500 mdpl.

Umumnya cendana tumbuh di daerah dengan perbedaan


iklim yang jelas serta intensitas curah hujan yang relatif
rendah hingga sedang. Faktor iklim ini sangat erat kaitannya
dengan masa berbunga dan berbuah tumbuhan cendana.
Biasanya, tumbuhan cendana berbunga pertama kali di
bulan Mei—Juni, dilanjutkan masa masaknya buah di bulan
September—Oktober. Periode berbunga kedua terjadi di
bulan Desember—Januari dan pucak produksi buahnya
pada bulan Maret—April.

Keunggulan dan Manfaat Cendana

Cendana jenis Santalum album memiliki nilai komersial


yang cukup tinggi. Di Indonesia harga kayu cendana
kualitas biasa berkisar Rp290.000,00—Rp310.000,00 per kg
dan harga kayu cendana dengan kualitas yang lebih baik
berkisar Rp500.000,00—Rp600.000,00 per kg.

Sementara untuk pasar internasional, harga kayu cendana


dengan kualitas double super (sangat bagus) dapat berkisar
Rp15 juta– Rp30 juta per kg. Harga ini sewaktu-waktu dapat
berubah sesuai jumlah cendana yang mampu diproduksi
dan kebutuhan pasar terhadap kayu cendana baik dalam
skala nasional maupun internasional.

Tak hanya kayunya, cendana juga mampu menghasilkan


minyak yang juga banyak dimanfaatkan. Minyak atsiri
18 merupakan salah satu jenis minyak yang dihasilkan
oleh pohon cendana. Minyak pohon cendana umumnya
dihasilkan dari buah cendana ataupun kayunya.
Beberapa literatur menyatakan bahwa daun pohon cendana
juga berpotensi menghasilkan minyak, tetapi jumlah yang
dapat dihasilkan tidak sebanyak minyak yang mampu diha­
silkan dari buah atau kayunya. Minyak kayu cendana sering
digunakan sebagai aromaterapi, menghilangkan stres,
bahan kosmetika (berguna untuk kecantikan), dan parfum.

Manfaat pohon cendana ini sudah dirasakan dan


dimanfaatkan sejak zaman dulu. Di kalangan masyarakat
Eropa, cendana populer sejak abad ke-15. Sejak itu pula
kayu cendana mulai dieksploitasi dan diperdagangkan
di Eropa.

Beberapa alasan yang membuat cendana digemari banyak


kalangan yakni karena aromanya yang wangi dan khas,
serat kayunya halus, warna kayu yang indah (bewarna
kekuningan) serta memiliki nilai estetika yang tinggi
baik saat dijadikan produk kerajinan bahan baku parfum,
ataupun olahan lainnya.

Bahkan, dikatakan bahwa kayu cendana telah dimanfaatkan


oleh masyarakat India sebagai bahan untuk wewangian
dupa dan dimanfaatkan pula dalam berbagai upacara
keagamaan serta upacara pemakaman para anggota
kerajaan. Hal ini membuktikan bahwa cendana memiliki
nilai historikal, komersial, dan estetika yang cukup
diperhitungkan.

Di antara manfaat cendana antara lain: 1) sebagai bahan


baku furniture dan mebel, 2) sebagai bahan baku produk
kerajinan tangan, 3) sebagai bahan baku parfum, 4) sebagai
bahan baku produk kosmetik, 5) sebagai obat herbal,
19 antiseptik dan antimikroba, 6) sebagai bahan aromaterapi,
7) sebagai rempah-rempah, dan 8) sebagai bahan untuk
upacara-upacara keagamaan.
Keunikan Pohon Cendana

Sebagai flora maskot Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT),


cendana jenis Santalum album L. mampu memberikan
pemasukan daerah yang cukup tinggi dari hasil hutannya.
Di Indonesia, memang Provisi Nusa Tenggara Timur dikenal
sebagai daerah penghasil cendana dengan kualitas terbaik.

Padahal, sebagian besar wilayah di Provinsi Nusa Tenggara


Timur merupakan wilayah yang relatif kering dengan
tingkat curah hujan yang rendah. Bahkan, hampir tiap tahun
laporan tentang kodisi kekeringan ini sering kita dengar
melanda NTT dan sekitarnya. Namun, nyatanya cendana
jenis Santalum album L. dapat tumbuh dengan sangat baik
di daerah tersebut.

Pohon cendana ternyata memiliki keunikan tersendiri yang


tidak banyak diketahui. Di beberapa literatur dikatakan
bahwa pada saat awal kecambahnya, cendana hidup parasit
pada tumbuhan lain. Hal ini dikarenakan sistem perakaran
cendana yang belum kuat dan belum mampu berdiri sendiri.
Terlebih cendana banyak tumbuh di kawasan yang relatif
kering, sehingga tumbuhan ini membutuhkan tumbuhan
lainnya untuk menyokong hidupnya.

Keunikan lainnya ialah dilihat dari sebarannya, cendana


jenis Santalum album L. ternyata dapat ditemukan di
provinsi Aceh. Menurut Dinas Kehutanan Kabupaten
Pidie, cendana jenis Santalum album L dapat ditemukan di
kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie dan di Kecamatan
Selimeum, Kabupaten Aceh Besar.

Populasi cendana di Aceh ini tergolong langka dan terdapat


20 di wilayah tersebut saja. Meski tumbuh di tanah yang
cenderung berbatu juga, tetapi cendana ini sudah mampu
beradaptasi di lingkungan yang curah hujannya relatif tinggi.
Selain Santalum album L ada juga cendana jenis Santalum
spicatum atau lebih dikenal dengan sebutan cendana
jenggi yang dilaporkan tumbuh subur dan endemik di
wilayah hutan kabupaten Aceh Besar. Cendana jenis ini
biasa tumbuh di wilayah dengan intensitas curah hujan
sedang, kondisi tanah berbatu dan umumnya ditemukan di
daerah bukit.

Cendana jenis ini dilaporkan pernah dieksploitasi dan


diekspor besar-besaran karena kualitasnya yang hampir
sama bagusnya dengan cendana jenis Santalum album L.
Meski tidak sepopuler cendana dari Nusa Tenggara Timur,
tetapi cendana jenis Santalum spicatum telah memiliki pasar
sendiri di Tiongkok dan Timur Tengah.

Rentan Punah dan Upaya Pembudidayaannya

Tingginya permintaan dan tingkat konsumtif cendana.


baik secara nasional maupun internasional telah membuat
keberadaan populasi cendana ini menurun drastis. Rata-rata
produksi cendana di NTT dari rentang tahun 1992-2003
sebanyak 180 ton. Sementara pada 2009, dilaporkan oleh
Sekjen Asosiasi Pengusaha Eskportir Gaharu Indonesia,
kebutuhan gaharu seperti cendana di pasar internasional
mencapai 3.000 ton dengan nilai transaksi mencapai
Rp4 triliun dan Indonesia mampu menguasai 65%—70%
pangsa pasar.

Saat ini, kebutuhan terhadap cendana semakin meningkat,


sementara produksi cendana samakin menurun akibat
banyaknya eksploitasi cendana untuk memenuhi kebutuhan
pasar. Hal ini menyebabkan kenaikan harga kayu cendana di
21 pasaran baik skala nasional maupun internasional.

Upaya konservasi cendana saat ini sudah mulai digalakkan


oleh pemerintah khususnya pemerintah Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Hal ini dibuktikan dengan adanya
peraturan pemerintah tentang pemberdayaan cendana.
Namun, masyarakat masih kurang memahami bagaimana
ketentuan-ketentuan dalam peraturan tersebut. Kurangnya
sosialisasi akan pentingnya menjaga keberadaan
cendana juga berpengaruh terhadap tingkat pemahaman
masyarakat di NTT.

Untuk itu, diperlukan peran aktif berbagai pihak, khususnya


pemerintah dan masyarakat setempat dalam mengonservasi
tumbuhan berstatus vulnerable ini. Mahasiswa dan para
civitas akademika juga dapat berperan aktif dengan
melahirkan ide-ide dan penelitian terkini mengenai spesies
Santalum album L guna mendukung upaya konservasi
pohon cendana.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai upaya


menjaga keberadaan cendana dari kepunahan, di antaranya:
1) membuat dan menyosialisasikan peraturan tentang
cendana dan pemanfaatannya kepada masyarakat, sanksi
tegas juga dapat ditetapkan jika ada penebangan liar
kayu cendana oleh pihak-pihak yang tidak memiliki izin,
2) memberdayakan masyarakat lokal dan memberikan
pemahaman tentang memelihara cendana, 3) menciptakan
terobosan teknologi baru untuk upaya budidaya cendana
sekaligus untuk meningkatkan kualitas dan produksi
cendana jenis Santalum album L di Indonesia.

Cendana merupakan salah satu komoditas penting di


Indonesia. Untuk itu, menjaga kelestariannya adalah suatu
keharusan bagi masyarakat Indonesia. Dengan membangun
kesadaran akan pentingnya menjaga keberlangsungan
22 sumber daya alam ini dapat mendukung pembangunan
berkelanjutan bagi Indonesia sendiri baik itu di bidang
ekonomi, sosial, dan lingkungan. Aamiin!! n
23
Batang pohon merbau (Intsia bijuga)
(Foto : Yanuar Ishaq Dc)
DESTINASI POHON
KEHIDUPAN KIARA
(FICUS BENJAMINA L) DAN
KOKOLECERAN (VATICA BANTAMENSIS)
BERBASIS BUDAYA LOKAL
TAMAN NASIONAL UJUNG KULON
FARAH FITRIAH, FITRI NUR’AENI,
MARIO TEDJA SAPUTRA

Provinsi Banten merupakan provinsi yang berada di Pulau


Jawa Indonesia. Provinsi Banten dulunya merupakan bagian
dari Provinsi Jawa Barat, namun dipisahkan sejak tahun
2000, dengan keputusan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2000. Berdasarkan letak geografisnya, wilayah Banten
berada pada batas astronomi 5o7’ 50”–7o1’11” Lintang
Selatan dan 105o1’11”–106o7’ 12” Bujur Timur dengan pusat
pemerintahannya berada di Kota Serang.

Provinsi Banten dengan luas wilayah yang sangat luas


memiliki berbagai macam tempat destinasi potensi lokal
yang di dalamnya menjadi salah satu pusat perhatian dunia
dengan keindahan alamnya sehingga dapat dirasakan bukan
hanya masyarakat Banten melainkan masyarakat nasional
bahkan sampai ke internasional.
24 Salah satu tempat destinasi potensi lokal yang berada di
Provinsi Banten yaitu Taman Nasional Ujung Kulon. Taman
Nasional Ujung Kulon merupakan tempat wisata alam yang
berada di ujung barat Provinsi Banten dengan luas daratan
seluas 122,956 Ha dan 44,337 Ha di antaranya adalah laut.

Taman Nasional Ujung Kulon selain sebagai tempat wisata alam


potensi lokal Banten, juga memiliki panorama alam yang sangat
luar biasa dan di dalamnya terdapat juga kelimpahan flora dan
fauna yang begitu menakjubkan. “Apa yang ada dalam pikiran
Anda jika mendengar kata Taman Nasional Ujung Kulon?“

Jika jawaban Anda adalah badak bercula satu (Rhinoceros


sondaicus ) mungkin jawaban tersebut memang benar,
karena spesies badak bercula satu merupakan jenis fauna
yang sangat dilindungi. Sebab populasinya berada di titik kritis
dan hanya bisa di jumpai di Taman Nasional Ujung Kulon.
Hanya saja yang perlu kita ketahui bersama bahwa bukan
hanya Badak bercula satu saja yang telah menjadi ikon
sebagai fauna endemik di Taman Nasional Ujung Kulon.

Namun ada juga beberapa jenis flora yang terdapat di


sana, seperti pohon kiara dan pohon kokoleceran yang
memiliki status konservasi dan endemik yang perlu juga
kita perhatikan. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai
pohon kiara dan pohon kokoleceran, mari kita simak data
kelimpahan flora dan fauna di Taman Nasional Ujung Kulon
terlebih dahulu. Pada tabel berikut: Jenis dan jumlah flora
dan fauna di Taman Nasional Ujung Kulon

No. Jenis Potensi Jumlah Jenis


1. Flora 700 jenis
2. Fauna
a. Mamalia 35 jenis
b. Primata 5 jenis
c. Burung 240 jenis
d. Reptilia 59 jenis
25 e. Amphibia 22 jenis
f. Insecta 72 jenis
g. Pisces 142 jenis
h. Terumbu Karang 33 jenis
Dari data di atas disebutkan bahwa, keanekaragaman flora
yang ada di Taman Nasional Ujung Kulon berkisar 700
jenis flora. Dari 700 jenis flora yang ada pada tabel tersebut,
salah satu di antaranya masuk ke dalam status konservasi
“Endangered” (Genting) yang dikeluarkan oleh International
Union for Conversation of Nature (IUCN).

Selain terdapat status konservasi terancam punah, dari 700


jenis flora yang terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon
juga terdapat spesies yang masuk ke dalam kelompok
endemik. Disebut endemik karena habitatnya hanya
ditemukan di Taman Nasional Ujung Kulon. Oleh sebab
itu, perlu kita telaah lebih jauh mengenai spesies endemik
dari flora tersebut agar senantiasa menumbuhkan dan
menanamkan konservasi dalam kehidupan sekitar.

Tahukah Anda jenis pohon kiara dan pohon kokoleceran


yang telah kami sebutkan tersebut? Jika jawabannya belum
tahu! Maka, mari kita simak bersama lebih dekat dengan
pohon kiara dan kokoleceran.

Pohon Kiara (Ficus benjamina L)

Pohon kiara merupakan tumbuhan raksasa rimba yang ber­


batang besar, tajuknya rapat, daunnya berbentuk lonjong serta
pohon yang dapat mematikan tumbuhan lain. Perkembang­
an kiara pencekik ini diduga berasal dari fase satuan luar pe­
ma­kan buah ara yang dijatuhkan pada sebuah tajuk pohon.

Biji akan berkecambah dan tumbuh sebagai epifit dan lambat


laun ia akan mencekik tubuh inangnya hingga mati dalam
kurun waktu tertentu, yang tinggal adalah tumbuhan yang
semula epifit ini menjadi pohon yang mampu berdiri sendiri.
26 Pohon kiara memiliki tinggi sekitar 20-25 m, batang tegak
dan bulat, percabangan simpodial, permukaan kasar, pada
batang tumbuh akar gantung cokelat kehitaman, jenis
daunnya adalah daun tunggal, tersusun acak, panjangnya 3-6
cm, lebar 2-4 cm, bertangkai pendek, pertulangan menyirip,
hijau. Buah majemuk, bulat, panjang 0,5-1 cm, biji bulat,
keras dan berwarna putih.

Pohon kiara (Ficus benjamina L) dapat ditemukan di kawasan


taman nasional ujung kulon pada ketinggian tempat 100-
1500 mdpl. Manfaat dari pohon kiara sendiri, buahnya dapat
dimanfaatkan sebagai pakan babi, jenis burung dan primata.

Pohon kiara (Ficus benjamina L) termasuk satu- satunya


spesies pohon dari genus Ficus yang masih terdapat di
Taman Nasional Ujung Kulondan memiliki usia yang
mencapai 100 tahun lebih. Hal ini dibuktikan dari hasil
wawancara kami dengan petugas Taman Nasional Ujung
Kulon yang menjelaskan bahwasanya keberadaan pohon
kiara sudah ada dari sebelum peristiwa meletusnya Gunung
Krakatau pada tahun 1883.

Informasi lebih lanjut yang kami dapatkan dari beliau men­


jelaskan bahwa pohon kiara merupakan satu-satunya spesies
dari berbagai populasi yang terdapat di Taman Nasional
Ujung Kulon yang dapat bertahan hidup dari bencana alam
meletusnya Gunung Krakatau yang terjadi pada tahun 1883.
Pengaruh dari ledakan Gunung Krakatau ini, merusak
seluruh populasi yang ada di Taman Nasional Ujung Kulon,
kecuali pohon kiara yang tetap bertahan hidup.

Pohon Kokoleceran (Vatica bantamensis)

Tanaman kokoleceran adalah salah satu tanaman yang


berada di provinsi Banten. Tanaman kokoleceran
merupakan maskot dari provinsi Banten yang merupakan
27 salah satu tanaman endemik Banten yang dipercaya hanya
terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon. Kokoleceran
(Vatica bantamensis) merupakan flora identitas provinsi
Banten. Namun, tanaman kokoleceran merupakan tanaman
langka yang keberadaannya sangat misterius.

Saat ini, kokoleceran termasuk dalam status konservasi


“Endangered” (Genting). Oleh karena itu, diperlukan upaya
pemerintah dan masyarakat dalam upaya melestarikan
tanaman kokoleceran. Kokoleceran merupakan pohon yang
mampu mencapai tinggi hingga 30 m. Pada bagian batang
yang muda memiliki bulu-bulu halus dan lebat. Daun
kokoleceran menjorong atau melanset, dengan tangkai daun
yang panjangnya mencapai 2,2 cm.

Perbungaannya malai dan terdapat di ujung daun atau dike­­


tiak daun. Bunga kokoleceran panjangnya mencapai 7 cm.
Buah tanaman endemik ini agak bulat dan mempunyai
tang­kai yang pendek sekitar 5 mm panjangnya. Pada buah­nya
terdapat biji yang berdiameter mencapai 1 cm. Cara perkem­
bang­biakan pohon kokoleceran adalah dengan biji. Tanaman
ini berkerabat dekat dengan resak hiru (Vatica rassak).

Batangnya banyak dimanfaatkan sebagai bahan bangunan


dan pembuatan kapal. Kokoleceran (Vatica bantamensis),
tanaman ini menurut iucnredlist.org yang dikeluarkan oleh
International Union for Conversation of Nature (IUCN), sejak
tahun 1998 dikategorikan dalam status terancam punah.
Tanaman tersebut merupakan maskot dari provinsi Banten.

Apakah kalian pernah melihat tanaman ini? Kami sendiri


sebagai penduduk asli dari provinsi Banten belum pernah
melihat tumbuhan tersebut. Mungkin kalian pun belum
melihat tanaman langka tersebut.

Apa penyebab dari tanaman ini bisa langka? Ini dia salah
satu mengapa saya bilang tanaman ini unik. Jika kalian
28 membaca dengan cermat, tanaman ini menurut sumber-
sumber yang saya sudah baca adalah tanaman yang sangat
misterius keberadaannya. Jangan kan tahu penyebab
tanaman ini punah itu karena apa, keberadaan tanaman ini
saja sudah sangat misterius.

Jika kalian mencari penelusuran tumbuhan bernama


kokoleceran ini, yang muncul hanya “Vatica bantamensis is
a species of plant in the Dipterocarpaceae family. It is endemic
to Indonesia.” Dalam garis besarnya kenapa tanaman ini
bisa hampir punah mungkin penyebabnya yaitu perubahan
iklim, konversi lahan, pembakaran hutan, dan sebagainya.

Sehingga, upaya penyelamatan dan pelestarian tanaman


kokoleceran ini sangat mutlak, tanaman kokoleceran
kebanggan provinsi Banten ini akan punah dan bakal tinggal
cerita. Provinsi Banten memiliki keanekaragaman hayati
yang memiliki nilai ekonomis dan menjadi unggulan di
Provinsi Banten tersebut.

Demi menjaga kelestarian dari keanekaragaman hayati ter­sebut,


pemerintah Kabupaten/Kota mengeluarkan surat kepu­tusan
yang diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk membu­
didayakan dan melestarikan keanekaragaman tersebut.
Apakah anak dan cucu kita akan dapat melihat tanaman ini
suatu saat nanti? Jawabannya ada pada kalian semua, apakah
kalian mau menjaganya dan melestarikan tanaman ini? n

SUMBER PUSTAKA
Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL).
2001. Atlas Flora dan Fauna Indonesia. Grasindo, Jakarta.
http://pertanian.untirta.ac.id/index.php?option=com content&view
article&id=136%3Atana man-kokoleceran-endemik-banten-yang-
terancam-punah&catid=90&Itemid=707
IUCN. Vatica bantamensis. http://www.iucnredlist.org/details/31319/0.
Diakses 06 September 2015
Purwaningsih. 2004. Review : Sebaran Ekologi Jenis-jenis Dipterocarpaceae
29 di Indonesia. Biodiversitas (5) 2 : 89-95.
http://biodiversitas.mipa.uns.ac.id/D/D0502/D050210.pdf Risa, I. 2012.
Hanya ada di Indonesia 1100++ Keajaiban & Prestasi yang Mendunia. Puspa
Swara, Jakarta. //www.id.peucangisland.com
EBONI, SI HITAM MANIS
DARI SULAWESI
BETI SEPTIANA DARSONO

Saat saya kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB), pihak


kampus tengah gencar mengampanyekan “Kampus
Biodiversitas”. Ketertarikan saya terhadap pohon langka
semakin meningkat pada saat saya melakukan penelitian
Keanekaragaman Tumbuhan Langka dan Sebarannya di
Kampus IPB Darmaga. Mencengangkan, penelitian saya
mengungkap setidaknya ada 30 jenis tumbuhan langka di
Kampus IPB Darmaga, 26 di antaranya berhabitus pohon.

Kriteria langka itu mengacu pada PP No. 7 Tahun 1999,


IUCN Redlist, dan CITES, LIPI, dan beberapa penelitian.

Salah jenis pohon langka yang ditemukan, yaitu eboni.


Kayu hitam itu merupakan jenis pohon endemik Sulawesi.
Daya tarik kayu hitam ada pada corak dan kualitas kayunya
yang kuat. Dua hal itu yang membuat kayu ini menjadi
primadona dan banyak diburu masyarakat.

Secara alami, pohon jenis ini tersebar di Pulau Sulawesi


dan Maluku. Eboni tumbuh di berbagai tipe tanah, baik
tanah yang berkapur, berpasir sampai tanah liat dan berbatu
asalkan tidak tergenang.
30 Kayu hitam yang ada di Sulawesi sendiri bervariasi, tergantung
tempat tumbuhnya. Bahkan di luar Sulawesi, jenis ini dapat
tumbuh dengan cukup baik, salah satunya di kampus IPB.
Pohon eboni punya tinggi mencapai 40 meter dengan diame­
ter batang 1 m. Salah satu ciri yang menonjol yaitu kulit luar
batangnya beralur agak mengelupas dan berwarna kehitam­
an. Hal inilah yang menyebabkan jenis ini dijuluki kayu hitam.

Sementara daun eboni memiliki karakterisitik tunggal,


permukaannya mengkilap dan bentuknya lanset. Bagian
bawah permukaan daunnya berwarna pucat dan agak
berbulu. Seringkali ditemukan bintik-bintik kelenjar yang
tersebar jarang di lembaran daunnya. Tulang daun utama
menonjol dan melekuk menjadi alur di tengah daun.

Bunga kayu hitam tersusun secara malai di ketiak, kadang-


kadang keluar dari batang. Kelopak bunga tidak rontok, mem­
besar, dan seringkali mengeras nantinya menutupi pangkal
buah. Buah kebanyakan berdaging, isinya 1-16 butir biji.

Pohon eboni dapat dikenali dari jauh karena bentuk


tajuknya yang khas. Tajuknya menyerupai tajuk pohon
cemara yang mirip gunungan. Cabang-cabang kecil yang
terisi oleh daun-daun menjulur di sekeliling batangnya.
Warna daunnya hijau tua mengkilap untuk daun yang sudah
tua. Daun-daun muda berada pada ujung-ujungnya. Warna
daun muda yaitu hijau muda dan mengkilap permukaannya.

Eboni kini menjadi salah satu pohon langka karena


keberadaanya semakin berkurang. Populasinya di alam terus
menurun akibat ekploitasi yang berlebihan. Banyak orang
memburu pohon karena kayunya yang berkualitas bagus
untuk bahan bangunan dan furniture. Selain kuat, eboni
juga punya corak yang khas. Tak heran jika kayu eboni kerap
diburu untuk bahan furniture. Harganya yang mahal, membuat
31 banyak orang berlomba menebang pohon eboni di alam.

Menurut Santoso et al. (2002) penebangan eboni biasa


dilakukan pada areal bekas tebangan, puncak bukit
atau mengambil kayu eboni yang sudah ditebang orang.
Maraknya pembalakan liar membuat pemerintah menge­
luarkan peraturan, hanya diameter ukuran 60 cm ke atas
yang boleh ditebang.

Namun demikian, ada saja pihak-pihak jahil yang tetap


melanggar aturan itu. Akibatnya, eksploitasi Eboni tetap
terjadi dan makin tidak terkendali.

Pohon Eboni bahkan telah masuk dalam kategori vulnerable


menurut iucn redlist. Artinya, pohon jenis ini mengalami
penurunan populasi yang signifikan dan diperkirakan pada
beberapa tahun yang akan datang populasinya akan turun,
bahkan bisa punah. Eboni juga masuk dalam Appendix II
CITES. Appendix CITES yang mengatur batasan jumlah
eboni yang diperdagangkan. n

32
33
Daun dari Pohon Balangeran (Shorea balangeran)
(Foto : Yanuar Ishaq Dc)
KAPUR BARUS :
HABIS MANIS SEMUTNYA
DATANG LAGI
MUHAMMAD AZWAR NASUTION,
SARWAN HAMID NASUTION

Siapa yang tak kesal apabila makanan yang sudah disediakan


di meja kemudian dikerubungi semut?

Begitu juga ketika baju yang sudah rapih tergantung di


lemari saat hendak dipakai berbau apek tidak karuan. Jelas,
hati pasti kacau tidak karuan.

Untuk mengatasi kedua masalah ini, orang tua seringkali


menggunakan kapur barus atau kamper.

Kapur barus atau kamper dapat menyebabkan semut-


semut kecil yang berbaris di dinding itu tidak sampai ke
meja makan, tidak hanya itu, kamper juga dapat menyerap
bau apek di dalam lemari juga menghindarkan lemari dari
jamahan rayap.

Namun, siapa sangka kapur barus atau kamper ini tidak


terbuat dari batu kapur seperti kapur- kapur lainnya.

Kapur barus dan kamper yang kita gunakan sehari-hari


34 merupakan produk sintetis dari senyawa terpenoid. Akan
tetapi, di alam senyawa ini dihasilkan oleh spesies tumbuhan
Cinnamomum camphora yang berasal dari daratan China.
Selain dihasilkan oleh kayu Cinnamomum camphora, bahan
baku pembuatan kapur barus dan kamper ini ternyata
dihasilkan oleh Dryobalanops sumatrensis yang merupakan
tanaman asli Indonesia

Sayangnya, tumbuhan ini masuk ke dalam Daftar Merah


IUCN dengan status Vulnerable untuk skala global dan
Endangered untuk tingkatan nasional atau se-Indonesia

Menurunnya jumlah spesies Dryobalanops sumatrensis di


alam bak pepatah, “habis manis, sepah dibuang”, meski
kemanisan dari kayu ini tidak sekalipun habis.

Dryobalanops sumaterensis dikenal juga dengan nama


Dryobalanops aromatica dan orang-orang lokal mengenalnya
dengan nama pohon kapur. Pohon kapur tersebar di
sepanjang Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan
juga Brunei Darussalam.

Pohon kapur memiliki habitat berupa lowland forest atau


hutan dataran rendah dengan kondisi tanah berpasir
ataupun berbatu. Ketinggian tempat ditemukannya tanaman
pada rentang 300-700mdpl

Pohon ini memiliki ciri berupa kulit batang berwarna coklat


serta coklat kemerahan pada bagian dalamnya. Sesuai
dengan namanya, pohon ini akan mengeluarkan aroma
menyerupai kapur apabila dikupas batangnya. Selain dapat
kita bedakan dengan mudah lewat batangnya, pohon ini
dapat juga dibedakan dari formasi daunnya.

Daun dari pohon kapur berupa tunggal dan duduk berse­


ling dengan stipula di sisi pangkal tangkai daun. Permukaan
35 dari daunnya mengkilap dengan tulang daun yang menyirip
rapat. Daun dari pohon kapur akan mengeluarkan aroma
seharum kapur saat diremas
Seperti pohon lain dari familinya (Dipterocarpaceae),
pohon ini memiliki kriteria yang baik jika dijadikan sebagai
material bangunan, diameter yang berkisar 70 cm hingga
150 cm dengan tinggi mencapai 60 meter membuat pohon
ini tidak diambil untuk keperluan kapur barus saja

Selain diambil kayunya untuk bangunan, pengusir serangga


ataupun penghilang bau pada pakaian, fungsi kapur barus
begitu beragam. Kapur barus digunakan sebagai penyedap
rasa di India.

Selain itu, beberapa sumber mengatakan digunakan untuk


pembalseman mayat petinggi kerajaan di Mesir. Kandungan
resin pada pohon kapur juga dapat diolah untuk bahan
baku kosmetik, pengawet, pewarna hingga peningkat birahi.
Manfaat yang beragam ini membuat pohon ini dieksploitasi
oleh manusia

Diketahui dari catatan sejarah, pencarian terhadap pohon


kapur telah terjadi di awal-awal abad ke 7 masehi. Pada masa
itu, saudagar-saudagar yang berlayar dari Timur Tengah,
India bahkan Mesir datang ke Nusantara untuk memperoleh
tidak hanya kapur barus tapi juga lada, kemenyan dan
rempah lain yang menjadi komoditas di masa itu.

Eksploitasi dari pohon kapur pun tidak berhenti pada


masa itu, hingga akhir abad 20 kapur barus masih menjadi
komoditas yang menjual, sebelum akhirnya tergantikan
dengan senyawa sintetik

Pohon yang berhabitat di hutan dataran rendah ini memang


memiliki banyak manfaat seperti yang telah disebutkan di
36 atas. Secara fungsional pengolahan dari pohon ini dapat
mendatangkan keuntungan bagi manusia. Akan tetapi,
pendayagunaan dengan mengeksploitasi benar-benar
mengakibatkan penurunan terhadap populasi Dryobalanops
aromatica di habitat alaminya.

Skema pengusahaan hutan pernah dicanangkan pada masa


orde baru. Tidak hanya dicanangkan saja, skema tersebut
juga dieksekusi dengan baik yang menempatkan pemasukan
devisa dari komoditas ini pada posisi ke dua, di bawah
pemasukan dari komoditas minyak. Sayangnya pemasukan
ini tidak diimbangi secara bijak oleh pemerintah pada masa
itu. Tidak adanya penanaman ulang dan eksploitasi yang
terus menerus menyebabkan penurunan populasi dari
Dryopbalanos aromatica hingga 50 persen

Skema pengusahaan hutan di masa orde baru ini tidak saja


mengeksploitasi berbagai spesies tumbuhan yang menjadi
komoditas. Akan tetapi, juga mengakibatkan pembukaan
berbagai lahan yang digunakan menjadi lahan untuk
pertanian dan perkebunan komoditas-komoditas tertentu
yang memiliki waktu produksi pendek.

Pembukaan lahan ini secara tidak langsung menyebabkan


fragmentasi habitat asli dari beberapa tumbuhan lain, tidak
hanya Dryopbalanos aromatica. Beberapa tumbuhan lain
yang mengalami imbas dari kebijakan di masa orde baru
adalah Damar dan Cendana.

Selain mengalami fragmentasi habitat, tidak dilakukannya


pemilahan pada proses penebangan dari pohon-pohon
tersebut juga dinilai menjadi salah satu penyebab hilangnya
individu-individu muda dari spesies ini, yang mendorong
penurunan dari jumlah populasinya di alam

Pada akhir 1990, skema pengusahaan hutan diberhentikan.


37 Berakhirnya masa pengusahaan hutan ini tidak merta
mengakhiri eksploitasi dari spesies-spesies yang memiliki
nilai jual tersebut. Penerapan dari skema pengusahaan hutan
ini membentuk persepsi di masyarakat, apa yang terdapat
di alam harus dimanfaatkan, alam adalah berkah dari yang
maha kuasa. Hal ini dapat dilihat dengan angka deforestasi
yang terus meningkat di daerah Sumatera dan Kalimantan
dekade pertama tahun 2000. Berdasarkan data statistik
Kementerian Kehutanan pada 2011, deforestasi hutan terjadi
sebesar 1,2 juta hektar tiap tahun pada dekade awal tersebut.

Deforestasi dari hutan ini selain ditujukan untuk pembukaan


permukiman juga untuk alih fungsi sebagai perkebunan. Per­­
kebunan untuk produksi pulp atau kertas serta kebun kelapa
sawit adalah dua yang mendominasi lahan hutan. Seti­daknya di
daerah Sumatera dan Kalimantan, tempat dari Dryobalanops
aromatica seharusnya ditemukan dengan mudah

Perjumpaan dari pohon kapur dahulu sangat masif hingga


suatu daerah di Tapanuli dinamai atas tanaman ini.

Barus, sebuah kota tempat ditemukannya pohon kapur


secara masif, itu dahulu, meski mungkin sekarang masih ada
beberapa pohon kapur di Barus. Namun, pohon kapur tidak
akan sebanyak dahulu dan hanya menjadi buah bibir dari
kakek nenek ke cucu-cucunya.

Usaha pemulihan ulang tanaman ini terus dilakukan. Salah


satunya oleh BP2LHK Aek Nauli. Usaha ini didukung
dengan penetapan suatu kawasan seluas 1.485 oleh
keputusan Menteri Kehutanan 2014 sebagai Taman Hutan
Rakyat (Tahura) Bukit Kapur. Dukungan dari semesta juga
ikut membantu proses penjagaan plasma nutfah ini karena
individu pohon kapur yang ditemukan di kawasan ini
terletak di daerah tebing yang sulit dijangkau oleh manusia
sehingga dapat tumbuh dengan aman
38
Bagi kita, hilangnya dari spesies pohon kapur di alam
bukanlah masalah besar. Terlebih, komoditas telah berganti,
orang-orang telah berbeda, daya jual berubah. Angka yang
dulu besar mungkin sudah terkikis inflasi. Itu bagi kita,
yang melihat alam sebagai sumber rezeki dan bukan sebagai
jasa. Ketidakmampuan kita bijak dalam memanfaatkan
pemberian Tuhan adalah langkah awal. n

SUMBER PUSTAKA

Soepadmo, E. Saw, L. Chung, R. 2007. Tree Flora of Sabah and Sarawak.


http://www.chm.frim.gov.my/Resources/Publications/Books/Floras/Tree-
Flora-of-Sabah- and-Sarawak.aspx [Online] diakses pada 10 Oktober 2018
11.21 AM WIB

IUCN Redlist. 2018. Dryobalanops sumatrensis. http://www.iucnredlist.org/


details/61998024/0 [Online] diakses pada 10 Oktober 2018 9.32 PM WIB

Kusumadewi, Y.S., Wardani, W., Sudarmonowati, E. and Partomihardjo,


T. 2017. Prekursor Buku Daftar Merah Indonesia 1: 50 Jenis Pohon Kayu
Komersial. LIPI, Bogor.

Asian plant. 1988. Dryobalanops sumatrensis. http://www.asianplant.net/


Dipterocarpaceae/Dryobalanops_sumatrensis.htm [Online] diakses pada 10
Oktober 2018 8.30 PM WIB

Irvan. 2017. Barus, Kota Asal Kapur Barus yang Punah. http://www.
industry.co.id/read/6191/barus-kota-asal-kapur-barus-yang-punah
[Online] diakses pada 10 Oktober 2018 9.32 PM WIB

Trubus Online. 2016. Jangan Sirna Wangi Kapur. http://www.trubus-online.


co.id/jangan-sirna-wangi-kapur/ [Online] diakses pada 10 Oktober 2018
8.30 PM WIB

Ahmad, M. Kehutanan. https://www.wwf.or.id/program/reduksi_dampak_


lingkungan/kehutanan/ [Online] diakses pada 10 Oktober 2018 11.21 AM
WIB

Morad, A. Dryobalanops sumatrensis https://www.flickr.com/photos/


adaduitokla/7985377063/sizes/h/ [Online] diakses pada 10 Oktober 2018
39 11.21 AM WIB

Khaytarova, M. Trees of Tropical Asia – Dryobalanops sumatrensis. http://


www.plantsofasia.com/index/dryobalanops_sumatrensis/0-1200 [Online]
diakses pada 10 Oktober 2018 11.21 AM WIB
KAYU BESI
(POHON MERBAU),
TONG TRA JAGA
AKAN HABIS
NIKITA WIJAYANTI TEHUPEIORI

Indonesia adalah negara kaya akan keanekaragaman baik


budaya, suku, agama, golongan tapi juga keanekaragaman
akan hayati maupun non hayati.

Akan tetapi, salah satu masalah yang dihadapi oleh


Indonesia dengan berlimpahnya keanekaragaman khususnya
keanekaragaman hayati (tumbuhan) adalah penebangan liar
(illegal logging), kebijakan-kebijakan pemerintah yang belum
optimal, dan keinginan orang-orang yang menggunakannya
untuk kepentingan diri sendiri tanpa peduli akan akibatnya.

Salah satu tumbuhan dari Papua yang kalau tidak dipelihara


atau dilestarikan akan habis dalam waktu dekat, yaitu kayu
besi sebutan masyarakat Papua untuk kayu yang berasal dari
pohon merbau. Oleh karena itu, patutlah kita melestarikan dan
berhenti melakukan penebangan liar terhadap pohon ini karena
kalau tidak mungkin generasi selanjutnya hanya mengetahui
nama tapi tidak dapat melihat langsung pohonnya.

Sebelum membahas mengapa pohon merbau atau yang


disebut kayu besi oleh masyarakat Papua menjadi pohon yang
40 jika tidak dijaga akan hilang. Saya akan membahas terlebih
dahulu atau mengenalkan salah satu tentang pohon merbau
dan mengapa masyarakat Papua menyebutkan kayu besi.
Pohon merbau atau ipil adalah nama sejenis pohon penghasil
kayu keras berkualitas tinggi dengan klasifikasinya dari
kingdom plantae, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida,
ordo Fabales, famili Fabaceae, sub famili Caesalpinioideae,
genus Intsia, dan spesies Intsia bijuga.

Adapun ciri-ciri dari pohon merbau adalah pohon berpera­


wakan sedang hingga besar, dapat mencapai tinggi 50 m,
dengan batang bebas cabang sekitar 20 m dan gemang hingga
160-250 cm. Dengan banir (akar papan) yang tinggi dan tebal.
Daun majemuk dengan 2 pasang anak daun, terkecuali daun-
daun di ujung yang hanya memiliki sepasang anak daun. Anak
daun bundar telur miring tak simetris, 2,5-16,5 × 1,8–11 cm,
dengan ujung tumpul atau melekuk dan pangkal membundar,
permukaannya gundul dan licin, tulang daun utama berambut
panjang di sisi bawah dan daunnya cenderung lebih bulat dan
kecil-kecil. Batang merbau berbanir hingga 4-5 meter lebarnya.
Diameter kayu merbau bisa mencapai 100 meter, tapi jenis ini
termasuk jenis yang lambat tumbuh.

Kulitnya mengelupas dan berwarna kemerahan. Ciri khas dari


kayu merbau adalah terasnya yang berwarna hitam dan sangat
keras bagaikan besi sedangkan gubalnya berwarna putih
kecoklatan. Warna hitam pada tersa ini disebabkan oleh getah
yang keluar saat kayu dipotong.

Bunganya terkumpul dalam karangan di ujung (terminal),


panjang hingga 10 cm, berambut halus. Bunga mekar pada
November -Januari dan buah tua pada Mei-Agustus. Benih siap
dipanen setelah masak fisiologis yang ditandai dengan warna
buah coklat tua sampai kehitaman, kulit buah sudah keras dan
benih berwarna coklat tua kemerahan (Yuniarti, 2000).
41 Mahkota berwarna putih, yang berubah menjadi merah,
benangsari seluruhnya merah atau ungu. Buah polong, 10-28
× 2–4 cm, berbiji 1-8 butir. Biji merbau mirip dengan petai
ukuran besar. Tersimpan dalam polong dan keras. Pada
umumnya genus ini tumbuh pada tanah kering berbatu,
terkadang pada tanah berpasir, tanah liat dan tanah lembab
yang tidak tergenang air, mulai dataran rendah sampai
dataran tinggi dengan elevasi 0 – 1000 meter dpl.

Merbau sesuai tumbuh pada habitat berpasir dan berbatu


terutama pada tanah-tanah endapan di hutan dataran rendah.

Saya sangat bersyukur bisa melihat pohon ini secara langsung


di sekolah saya walaupun hanya satu pohon dan masih kecil.
Itu pun saya diberitahu oleh guru. Sebelumnya saya tidak tahu
ada jenis pohon ini tumbuh di sekitar lingkungan sekolah
saya. Adapun penyebarannya di Indonesia meliputi Pulau
Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Timor dan Irian Barat.

Mengapa orang Papua menyebutnya kayu besi karena struktur


kayunya yang keras dan kuat seperti besi dan juga tidak
mudah rapuh. Secara umum, kayu ini memiliki karateristik
tekstur kayu yang kasar, kuat dan merata, dengan arah serat
yang kebanyakan lurus. Kayu yang telah diolah memiliki
permukaan yang licin dan mengkilap indah serta memiliki
warna yang ekstotik.

Kayu Merbau termasuk ke dalam golongan kayu berat dan


kuat (kelas kuat I-II). Kayu ini memiliki penyusutan yang
sangat rendah, sehingga tidak mudah menimbulkan cacat
apabila dikeringkan. Merbau juga awet daya tahannya
terhadap jamur pelapuk kayu termasuk kelas I dan terhadap
rayap kayu kering termasuk kelas II.

Kayu Merbau termasuk tahan terhadap penggerek laut (teredo),


sehingga acap digunakan pula dalam pekerjaan kons­truksi
42 perairan. Adapun manfaat dari kayu besi (pohon merbau) biasa
digunakan dalam konstruksi berat seperti balok-balok, tiang
dan bantalan, di bangunan rumah maupun jembatan.
Karena kekuatan, keawetan dan penampilannya yang menarik,
sekarang kayu merbau juga dimanfaatkan secara luas untuk
pembuatan kusen, pintu dan jendela, lantai parket (parquet
flooring), papan-papan dan panel, mebel, badan truk, ukiran
dan lain-lain. Bahan pewarna coklat dan kuning diekstrak dari
substansi berminyak yang dikandung kayu dan pepagannya.

Pepagan dan daun juga digunakan sebagai bahan obat


tradisional. Pepagan yang mengelupas, ditumbuk dan
dicampur dengan buah pinang yang tua, sebagai obat untuk
menghentikan diare. Biji-bijinya direndam dalam arang atau
abu panas agar pecah kulitnya, lalu direndam dalam air garam
selama 3-4 hari, sebelum direbus dan dimakan.

Dari pengenalan tentang kayu besi (pohon merbau) dan


kelebihan kayunya serta kegunaannya yang cukup besar
dalam kehidupan. Tidak bisa dipungkiri, bahwa banyak yang
ingin mendapatkannya kayu ini. Dengan permintaan atau
keinginan yang cukup besar sedangkan persediaan di alam
yang semakin terbatas membuat kayu besi (pohon merbau)
menjadi langka dan jika tidak segera di tindaklanjuti akan
habis atau punah dengan sendirinya.

Seperti diketahui, Uni Konservasi Dunia (IUCN) telah


mengklasifikasikan jenis Kayu Merbau sebagai jenis yang
“menghadapi risiko tinggi kepunahan di alam bebas dalam
waktu dekat”, dengan pembalakan dan penghancuran habitat
sebagai ancaman-ancaman utamanya.

Greenpeace memperkirakan Kayu Merbau akan tertebang


habis dalam waktu 35 tahun ke depan. “Saat ini 83 persen
habitat merbau rusak, tinggal 17 persen lagi yang belum
dirusak atau masuk blok tebangan. Tapi jangan lupa ada
43 sekitar 68 HPH di seluruh hutan Papua yang mempercepat
proses kepunahan merbau di Indonesia,” kata Hapsoro, juru
kampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara.
Ia menilai, bila semua pemenang HPH dan IPK (Izin
Pemanfaatan Kayu) di Papua beroperasi aktif, maka
merbau akan semakin diburu dan lantas langka di “tempat
perlindungan terakhirnya”.

Pada 1998, menurut laporan Badan Investigasi Lingkungan


Hidup (IEA), Indonesia mengekspor sekitar 50.000 meter
kubik merbau. Tapi angka itu melonjak hingga 660.000
meter kubik pada tahun 2001. Sebuah peraturan larangan
ekspor dikeluarkan pada 2001, namun gagal menghentikan
pembalakan dan ekspor kayu merbau. Bahkan IEA
menjelaskan merbau telah menjadi subjek eksploitasi tak
terkontrol tingkat tinggi di Tanah Papua, Indonesia.

IEA dan Telapak (organisasi lingkungan non-pemerintah


Indonesia) menyebut sekitar 3,6 juta meter kubik merbau
telah dipanen secara tidak terkontrol lalu diekspor dari
Tanah Papua pada tiap tahunnya ke negara maju. Hapsoro
juru kampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara merinci
rekomendasi Greenpeace menghadapi ancaman kepunahan
merbau. Ia mengatakan, seluruh pemerintah di dunia harus
berpartisipasi dalam kerjasama internasional bilateral
dan multilateral melindungi merbau, “Mereka juga harus
melakukan tindakan terkait di dalam negerinya untuk
menghentikan pembalakan liar dan melarang impor produk
kayu hasil pembalakan liar.”

Salah satu upaya kontrol internasional menurut Hapsoro,


adalah dengan mewajibkan prosedur lacak-balak dari pihak
ketiga yang terpercaya untuk memastikan bahwa pasokan
resmi merbau terletak di luar hutan yang dilindungi. Salah
satu bentuk konkretnya pada Februari 2009, ada penanaman
44 pohon langka Merbau di Monas, penyerahannya oleh Menteri
Kehutanan ke beberapa siswa-siswi. Hal-hal ini perlu diting­
katkan lagi bukan sampai disitu saja.
Jadi, untuk meminimalkan tingkat kelangkaan dan
kepunahan dari kayu besi (pohon merbau) agar generasi
selanjutnya dapat melihat bahkan menikmatinya harus ada
kebijakan yang lebih optimal untuk mengatasinya baik kerja
sama antara badan-badan pemerintahan terkait maupun
peran masyarakat dalam menjaga dan melestarikannya.

Boleh mengambil, tapi juga harus mengikuti ketentuan-


ketentuan yang ada seperti melakukan penebangan pilih atau
melakukan penanaman bibit baru setelah penebangan. Mari
bersama menjaga dan melestarikannya, orang Papua bilang
“tong tra jaga dengan baik barang (kayu besi/pohon merbau)
ini lama-lama de akan habis ”. n

SUMBER PUSTAKA

Ismail, Burhan. Pertumbuhan Tanaman Merbau Umur 7 Tahun Di Bondowoso


https://forestryinformation.wordpress.com/tag/merbau/. Diakses pada
tanggal 13 Oktober pukul 10:00.

Kusumawardani, Karina. Kamu Tau Kayu Merbau https://hanyakarin.


wordpress.com/2009/07/09/kamu-tau-kayu-merbau/. Diakses pada tanggal
13 Oktober pukul 9:35.

Lestari, Dwi Puji. Merbau Kayu Besi Papua http://lestaripujidwi.blogspot.


com/2011/08/merbau-kayu-besi-papua.html. Diakses pada tanggal 13
Oktober pukul 09:40.

Syafputri, Ella. Merbau Indonesia yang Diburu dan Memunah https://


www.antaranews.com/berita/64387/merbau-indonesia-yang-diburu-dan-
memunah. Diakses pada tanggal 14 Oktober pukul 13:00.

Tokede, Max J , B. Mambai, L. Pangkali, dan Zulfikar M. Persediaan Tegakan


Alam Dan Analisis Perdagangan Merbau Dipapuanatural Standing Stock And
Trade Analysis Of Merbau In Papua http://dishut.papuabaratprov.go.id/index.
php?option=com_content&view=article&id=74:merbau&catid=45:artikel-
45 ragam&Itemid=60. Diakses pada tanggal 14 Oktober pukul 19:50.

Wikipedia. Merbau https://id.wikipedia.org/wiki/Merbau. Diakses pada


tanggal 13 Oktober pukul 09:30.
KELANGKAAN
POHON CENDANA
SOKHIFAH HIDAYAH

Cendana atau cendana wangi (dalam bahasa Inggris:


Sandalwood) merupakan pohon asli Indonesia yang
termasuk famili Santalaceae dari ordo Loranthales
yang dapat digunakan sebagai rempah-rempah, bahan
dupa, aromaterapi, campuran parfum, serta sungkur
(warangka keris).

Keistimewaan kayu cendana yaitu dapat menyimpan


aromanya selama berabad-abad. Konon di Srilanka,
cendana digunakan untuk mengawetkan jenazah putri-
putri raja sejak abad ke-9. Di Indonesia sendiri, kayu
ini banyak ditemukan di Nusa Tenggara Timur dan
Pulau Sumba, khususnya di Pulau Timor, meskipun
sekarang ditemukan di pulau Jawa dan kepulauan Nusa
Tenggara lainnya.

Cendana adalah tumbuhan parasit pada awal


kehidupannya. Kecambah cendana memerlukan pohon
inang untuk men­dukung pertumbuhannya, karena
perakarannya sendiri tidak sanggup mendukung
kehidupannya. Tanaman yang biasa dijadikan inang
46 oleh cendana antara lain Akasia, Albasia, Dalbergia,
Inga, Pongamia, dan Alang-alang. Karena hal inilah
cendana sulit dikembangbiakkan atau dibudidayakan.
Cendana kini sangat langka dan harganya sangat mahal
dikarenakan sekarang keberadaannya sudah mulai langka
untuk dijumpai dan membuat harga pemasarannya menjadi
lebih tinggi. Kayu yang berasal dari daerah Mysoram di
India biasanya dianggap yang paling bagus kualitasnya.
Tetapi di Indonesia, kayu Cendana dari Timor juga
sangat dihargai.

Sebagai gantinya sejumlah pakar aromaterapi dan parfum


menggunakan kayu cendana jenggi (Santalum spicatum).
Kedua jenis kayu ini berbeda konsentrasi bahan kimia yang
dikan­dungnya. Oleh karena itu, kadar harumnya pun berbeda.

Minyak dasar kayu cendana yang sangat mahal dalam


bentuknya yang murni, digunakan terutama untuk
penyembuhan cara Ayurveda, dan untuk menghilangkan
rasa cemas. Cendana memiliki bagian yang penting, yaitu
minyak atsiri dengan kandungan 10%.

Di Indonesia, kayu cendana dikenal dengan berbagai


nama, antara lain Candana (Minangkabau), Tindana atau
Sindana (Dayak), Candana (Sunda, Belitung, dan Makassar),
Candana, Candani (Jawa), Candhana, Chandhana lakek
(Madura), Ai nitu atau Dana (Sumbawa), Kayu ata (Flores),
Sundana (Sangir), Sondana (Sulawesi Utara), Ayu luhi
(Gorontalo), Ai nituk (Roti), Hau meni, Ai kamelin (Timor),
Kamenir (Wetar) dan Maoni (Kisar).

Cendana ada dua jenis, yaitu cendana merah dan cendana


putih. Cendana merah banyak tumbuh di Nusa Tenggara
Timur, antara lain di pulau Flores, Alor, Sumba, Solor,
Adonara, Lomblen, Pantar, Timor, Rote, dan Sabu. Dari segi
kualitas, keduanya tidak sama. Kayu cendana merah relatif
47
kurang harum dan kualitasnya kurang bagus, sehingga tidak
terlalu laris diperdagangkan.
Cendana tumbuh baik di daerah yang memiliki perbedaan
iklim yang jelas antara musim kemarau dan musim
penghujan. Cendana dapat tumbuh di dataran dengan
ketinggian hingga 1500 mdpl dan mampu tumbuh hingga
ketinggian 11—15 m, dengan diameter batang 25—30 m.

Cendana sendiri dapat berumur panjang, dan biasanya


sudah dapat dipanen ketika mencapai umur 40 tahun.
Cendana juga kerap ditemukan di daerah bebatuan atau
bebatuan vulkanis yang meneruskan aliran air. Agar dapat
tumbuh maksimal, pohon cendana membutuhkan cahaya
matahari sepanjang hari.

Cendana memiliki batang yang bulat dan kulit berwarna


mulai coklat keabu-abuan hingga coklat merah. Cabang
mulai tumbuh pada bagian setengah pohon. Dahan-dahan
primer jenis ini sangat tidak beraturan, kerap bengkok
dan memiliki banyak ranting. Dahan bagian bawahnya
cenderung tumbuh menggantung. Daunnya berhadap-
hadapan berbentuk elips hingga lanset (bulat telur) dengan
dua ujungnya lancip.

Selain untuk parfum, kayu cendana sering juga digunakan


sebagai bahan bangunan, furniture, kriya, atau kerajinan
tangan, karya seni, hingga tasbih. Selain kegunaan tersebut,
sebenarnya masih ada manfaat pohon cendana, yaitu di
bidang kesehatan. Tumbuhan ini bermanfaat untuk bahan
terapi pengobatan herbal. Bagian yang biasa digunakan
sebagai obat adalah kayu, kulit, dan minyak cendana.

Sebagai bahan untuk aromaterapi, kayu cendana memberi


efek tenang. Berkhasiat untuk menentramkan hati dan
sebagai pewangi ruangan untuk menetralisasi hawa negatif.
48
Cendana kerap dimanfaatkan juga untuk menyembuhkan
flu, sakit kulit, lemah jantung, lesu, demam, infeksi saluran
kencing, liver, sebagai antioksidan, dan juga sebagai anti-
hiperglikemik. Sebagai bahan herbal, cendana memiliki
khasiat antara lain sebagai antiradang dan antidisentri.

Cendana juga bermanfaat bagi organ kewanitaan yaitu


sebagai pembersih usai haid. Bedak yang terbuat dari
cendana baik digunakan untuk wajah berminyak karena
dapat menghilangkan minyak yang berlebihan. Manfaat
lainnya yaitu dapat mengatasi kulit keriput dan membantu
menghilangkan jerawat di wajah. Sekarang ini berbagai
usaha modern seperti membuat sabun berbahan dasar
minyak cendana juga bisa dilakoni. n

49
KERUING, POHON RAKSASA
DARI NUSANTARA
APRILIA RAHMAWATI

Indonesia memiliki letak geografis dan iklim yang sangat


menguntungkan. Salah satunya yaitu di bidang biodiversitas,
baik flora, fauna, maupun mikroorganisme yang tak kasat
mata. Dengan iklim tropis, cahaya matahari yang cukup,
kelembapan, dan suhu yang sesuai membuat banyak tanaman
tumbuh subur di Indonesia.

Tanaman itu bervariasi, ada yang berukuran kecil, sedang,


hingga yang berukuran sangat besar. Misalnya, di hutan hujan
tropis dan pegunungan banyak pohon berukuran raksasa
tumbuh di sana. Salah satu pohon raksasa tersebut berasal
dari genus Dipeterocarpus.

Genus Dipterocarpus terdiri dari sekitar 70 spesies yang


tersebar dari Sri Lanka dan India hingga Filipina. Genus
ini terdiri dari pohon-pohon yang berukuran sangat besar
dengan tajuk yang relatif kecil. Rata-rata tinggi pohon
Dipterocarpus adalah 50 meter, sungguh ukuran yang tidak
umum dijumpai bukan? Pohon Dipterocarpus baru memiliki
cabang utama ketika sudah mencapai tinggi 35 meter. Salah
satu contoh dari genus ini adalah Dipeterocarpus grandiflorus.
Spesies tersebut akan dibahas lebih lanjut.

Karakteristik
50
Di Indonesia dan Malaysia, Dipterocarpus grandiflorus biasa
disebut dengan keruing, keruing beku, keruing belimbing,
keruing pekat, keruing gombang dan keruing dadeh.
Sedangkan, di Filipina biasa disebut dengan apitong. Selain
keruing dan apitong, ada pula yang menyebutnya dengan
gurjan. Hal ini mungkin disesuaikan dengan senyawa alfa
dan beta gurjuene yaitu sejenis senyawa sesquiterpene yang
dikandungnya. Keruing atau apitong ini memiliki ukuran
pohon raksasa dengan tinggi yaitu 30—50 meter.

Batang berbentuk silindris. Diameter batangnya pun cukup


fantastis yaitu 100 hingga 180 cm. Kulit pohon keruing ini
berwarna abu-abu muda dan halus. Bagian dalam kulit pohon
berwarna kemerahan-merahan. Daun keruing berbentuk
elips dengan struktur yang keras dan kaku. Bagian atas daun
berkilau sedangkan bagian bawah daun cenderung kusam.
Biasanya daun hanya berkumpul di bagian ujung ranting.

Untuk rantingnya, berwarna abu-abu kecokelatan. Bunganya


berwarna merah muda. Kemudian, buahnya berbentuk bulat
dan memiliki dua sayap yang panjang. Bentuk yang cukup
unik, dan merupakan salah satu bentuk strategi dari pohon
keruing itu sendiri untuk membantu penyebaran biji. Keruing
memiliki akar yang tumbuh relatif dalam. Hal ini berfungsi
untuk mencapai permukaan air di dalam tanah karena pada
umumnya tumbuhan ini tumbuh subur di lereng gunung.

Distribusi

Persebaran pohon keruing ini cukup luas yaitu meliputi India,


Sri Lanka, Pulau Andaman, Thailand, dan Wilayah Malesia.
Wilayah Malesia sendiri meliputi Indonesia bagian barat
dan tengah, Malaysia, Brunai Darussalam, Singapura, Timor
Leste, dan Filipina. Selain itu, keruing juga dapat ditemukan
51 di Afrika dan Amerika Utara di hutan monsoon dan hutan
hujan tropis. Di Pulau Andaman, keruing terdapat di hutan
tropis dan hijau sepanjang tahun. Faktor yang berpengaruh
terhadap pertumbuhan pohon keruing tumbuh subur di
Pulau Andaman adalah curah hujan melebihi 3000 mm,
terdistribusi secara merata, dan tanah yang cukup dalam
dengan drainase internal yang baik.

Habitat

Habitat keruing ada di dataran rendah dan pegunungan


yaitu hingga 700 meter di atas permukaan laut (mdpl). Di
Taman Nasional Bukit Tigapuluh (Riau, Sumatera, Indonesia)
keruing ditemukan di hutan sekunder yaitu 270 mdpl.
Umumnya, tanaman ini tumbuh di tanah liat dengan pH 6. Di
habitatnya, keruing berasosiasi dengan tumbuhan lain yaitu
Pandanus furcatus, Bouea oppositifolia, Aglaia sp., Baccaurea
parvifolia, dan beberapa spesies dari Arecaceae.

Status

Menurut WCMC (World Conservation Monitoring Center)


1996, status konservasi keruing tidak terancam, sedangan
di Sumatera memiliki status vulnerable atau terancam.
Menurut IUCN, pada tahun 2018 status dari keruing adalah
endangered (terancam punah). IUCN (International Union
for Conservation of Nature and Natural Rsources) merupakan
sebuah organisasi internasional yang didedikasikan untuk
konservasi sumber daya alam.

Hal ini membuktikan bahwa semakin tahun status


keberadaan keruing semakin terancam. Faktor yang
menyebabkan kelangkaan keruing yaitu penebangan ilegal
dan pembukaan lahan lokal.

Budidaya
52
Keruing ini dapat dikembangbiakan menggunakan
bijinya. Biji umumnya dikumpulkan dari lantai hutan
karena susah untuk memanjat pohon yang sangat tinggi.
Viabilitas biji sangat pendek yaitu hanya beberapa hari atau
dapat diperpanjang hingga 8 minggu apabila disimpan
di suhu dingin di dalam wadah berisi nitrogen. Keruing
membutuhkan naungan saat awal tahap perkembangannnya.
Pot pembimbitan perlu ditempatkan di samping pohon
naungan, misalnya Leucaena leucocephala, Gmelina arborea,
Paraserianthes falcataria, dan Acacia spp.

Segera setelah pohon cukup tinggi yaitu sekitar 40—60 cm,


maka pohon keruing ditanam di antara pohon naungan.
Jarak antar tanaman yaitu 3x3 m, 4x4 m, atau 2x4 m. Cabang
dipangkas agar tidak terjadi kompetisi cahaya matahari.
Proses penanaman memerlukan penyiangan selama 3 tahun
pertama, pemangkasan cabang dilakukan setelah usia 5, 10,
15, dan 25 tahun. Pada 2—3 bulan pertama diperlukan pohon
naungan.

Hama

Rayap bersama dengan jamur dapat menyerang bagian tengah


kayu sehingga menjadi berongga. Rayap biasaya menyerang
pohon yang sudah tua, terluka, sakit, atau pun terbakar.
Buahnya diserang oleh kumbang (Alcidodes crassus). Kelayuan
disebabkan oleh sejenis jamur yang bernama Polyporus sp.

Keruing dapat diserang pula oleh hama lainnya sehingga


diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai propagasi buatan
maupun proteksi alami. Selain itu, faktor alam seperti hujan
lebat dan angin kencang juga dapat menyebabkan kerusakan
pada pohon dewasa dan seedling muda.

Manfaat
53
Umumnya, keruing digunakan sebagai sumber kayu untuk
konstruksi dan perabot rumah tangga. Fungsi lain keruing
yaitu digunakan untuk pembuatan kertas dan sebagai
sumber resin untuk pembuatan vernis. Pohon yang disadap
akan menghasilkan oleoresin (minyak keruing) dengan
berbagai aplikasi industri. Karena kualitas kayu dan resin
yang diproduksi tersebut, keruing memiliki potensi sebagai
tanaman komersial.

Penyadapan dilakukan di bagian kayu yang berjarak 1 meter


dari atas tanah. Dari dalam kayu tersebut akan dihasilkan
oleoresin yang dikeluarkan dalam bentuk cairan kental yang
akan berubah menjadi massa semiplastik ketika terpapar di
udara dalam jangka waktu lama. Eksudat tersebut memiliki
konsistensi seperti madu, baunya seperti balsam, berwarna
cokelat kemerahan, dan mengandung 35% minyak volatil.
Oleoresin digunakan pada pernis, dilarutkan dalam minyak
biji rami dan turpentine, dan kemudian akan mengeras.

Oleoresin pada keruing dapat digunakan untuk mengobati


bisul, kurap, dan penyakit kulit lainnya. Selain itu, oleoresin
dapat digunakan sebagai komposisi dari bahan pembuat
tinta dan lapisan anti korosif. Ketika oleoresin dicampurkan
dengan damar dari Shorea robusta atau S. siamensis,
maka dapat digunakan untuk pembuatan keranjang dan
perahu tahan air.

Sedangkan ekstrak kulit kayu dari keruing mengandung tanin


formaldehid adhesive. Berdasarkan hasil penelitian dari Kadir
dan Hale pada tahun 2015, kulit keruing memiliki potensi
sebagai antioksidan karena mengandung seyawa fenolik. Di
Filipina, minyak apitong digunakan untuk bahan bakar disel,
tetapi memerlukan penelitian lebih lanjut. n

54
55
Batang pohon ulin Eusideroxylon zwageri
(Foto : Rina Wahyuni)
KOLEKSI ULIN,
TENGKAWANG TUNGKUL,
DAN DAMAR MINYAK
DI ARBORETUM
SYLVA UNIVERSITAS
TANJUNGPURA
RINA WAHYUNI

ULIN (EUSIDEROXYLON
ZWAGERI TEYSM. & BINNEND. )

Borneo Iron Wood

Pohon Ulin (Eusideroxylon zwageri Teysm. & Binnend.) atau


masyarakat lokal biasa meyebutnya kayu besi adalah salah
satu pohon berkayu asli di pulau Kalimantan.

Pohon Ulin, salah satu pohon asli Indonesia (indigenous


tree species) yang digolongkan ke dalam family Lauraceae. Ulin
termasuk ke dalam daftar IUCN Redlist yaitu berstatus VU
(vulnerable ) atau dalam kondisi rentan dan masuk kedalam
peraturan Mentri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
56 Indonesia PP 7/1999, P20/2018 (NOMOR P.20/MENLHK/
SETJEN/KUM.1/6/2018) tentang jenis tumbuhan dan satwa
yang dilindungi, dan Menteri Pertanian Nomor 54.
Kayu Ulin sangat kuat dan awet, dengan kelas kuat 1
dan kelas awet 1. Kayu Ulin tahan akan serangan rayap
dan serangga penggerek batang, tahan akan perubahan
kelembaban dan suhu serta tahan terhadap air laut.

Kayu ini sukar digergaji dan dipaku tapi mudah dibelah.


Pohon Ulin merupakan salah satu pohon yang fase
pertumbuhannya sangat lambat, sehingga persediaan di
alam lebih sedikit dibanding dengan penggunaannya.

Kayu Ulin terkenal dengan kekuatan dan keawetannya


sehingga sering sekali masyarakat lokal menjadikannya
sebagai bahan pondasi bangunan rumah dan sebagainya.

Kurangnya pembudidayaan, penggunaannya yang


berlebihan, dan rusaknya habitat asli dari Pohon Ulin ini
yang menjadi penyebab keberadaanya di alam semakin
sedikit. Hal ini pula yang menjadikan pohon kayu besi
ini termasuk ke dalam salah satu pohon langka dan
terancam punah.

Masyarakat lokal Kalimantan Barat mengenal kayu ulin


terbagi menjadi empat jenis ( varietas ) ulin  : 

• Ulin tando biasanya memiliki ciri


warna batang coklat kemerahan.
• Ulin lilin biasanya memiliki ciri
warna batang coklat gelap
• Ulin tembaga biasanya memiliki
ciri warna batang kekuningan
• Ulin kapur biasanya memiliki ciri
warna batang coklat muda

Ulin tando, lilin dan tembaga biasanya digunakan sebagai


57 pondasi bangunan dan lantai. Ulin Kapur merupakan satu-
satunya ulin yang mudah dibelah sehingga cocok untuk
bahan baku atap sirap.
Morfologi

Ulin memiliki tinggi pohon umumnya 30,35 m, diameter


setinggi dada (dbh) 60-120 cm, tapi dapat mencapai 50 m
dengan diameter sampai 200 cm.

Contohnya di Taman Nasional Kutai, Kutai Timur, Kalimantan


timur, dengan tinggi bebas cabang 45 m dan diameter 225 cm.

Bentuk batangnya lurus berbanir, tajuk berbentuk bulat dan


rapat serta memiliki bentuk percabangan mendatar.

Pohon Ulin umumnya tumbuh pada ketinggian 5–400


m di atas permukaan laut dangan medan datar sampai
miring. Pohon ini tumbuh berpencar atau berkelompok
dalam hutan campuran tapi sangat jarang sekali dijumpai di
habitat rawa-rawa.

Kayu Ulin juga tahan terdapat perubahan suhu, kelembaban,


dan pengaruh air laut sehingga sifat kayu-nya sangat berat
dan keras.

Perkecambahan biji ulin memerlukan waktu yang cukup


lama sekitar 6-12 bulan dengan persentase keberhasilan
relatif rendah.

Habitat

Pohon Ulin tumbuh baik di hutan hujan tropis basah,


umumnya tumbuh di dataran rendah dengan ketinggian
400 mdpl, di daerah datar dekat sungai dan anak-anak
sungai, daerah bergelombang hingga punggung bukit.

Tanah tempat tumbuh ulin umumnya berpasir dengan pH


58 dan unsur hara makro (N, P, K) yang rendah.

Pohon Ulin adalah jenis pohon hutan yang menghasilkan


kayu yang bernilai ekonomi tinggi.
Perkecambahan biji ulin
memerlukan waktu yang
cukup lama sekitar 6-12
bulan dengan persentase
keberhasilan relatif rendah.

Secara alami hanya terdapat di Sumatera bagian timur dan


Selatan, Pulau Bangka dan Belitung, Kalimantan, Kepulauan
Sulu, Pulau Palawan di Filipina, Brunei Darussalam, Sabah
dan Sarawak.

Manfaat

Manfaat Kayu Ulin dari segi ekologi ialah sebagai habitat


bersarangnya orang utan, akarnya yang kuat mampu
mencengkram tanah dengan kuat sehingga dapat mencegah
erosi dan tanah longsor.

Kayu Ulin sangat kuat dan awet, sehingga banyak digunakan


untuk berbagai macam keperluan, seperti pondasi bangunan
di dalam air dan di lahan basah, atap rumah (sirap), kusen
dan pintu.

Kayu Ulin terutama dimanfaatkan sebagai bahan bangunan


seperti kontruksi rumah, jembatan, tiang listrik, dan bahan
bangunan kapal.

Di Kalimantan, fosil kayu ulin dijadikan batu cincin dan


59 perhiasan.

Selain itu, masyarakat di Kalimantan memiliki kebudayaan


membuat kerajinan seperti, patung pantak, gasing, sumpit,
lesung kayu dan rumah panggung dari kayu ulin di pinggir
sungai atau rawa. Hal ini karena ketahanan dan hanya Kayu
Ulin yang mampu bertahan di dalam air.

TENGKAWANG TUNGKUL
( SHOREA STENOPTERA BURCK. )

Light Red Meranti

Tengkawang tungkul ( Shorea stenoptera Burck ) atau dalam


bahasa perdagangannya biasa disebut Meranti Merah.

Pohon ini jenis pohon berkayu dan salah satu jenis pohon
ikonik khas Kalimantan Barat.

Tengkawang tungkul adalah pohon yang termasuk ke dalam


suku Dipterocarpaceae.

Tengkawang tungkul termasuk ke dalam daftar IUCN


Redlist yaitu berstatus: EN (Endangered) dan SK Menteri
Kehutanan No. 261.

Tengkawang tungkul banyak tumbuh di tanah aluvial


di hutan hujan tropis dan wilayah dataran rendah sekitar 600
meter di atas permukaan laut.

Tumbuhan ini sudah lama akrab dengan masyarakat


Kaliman­tan Barat  karena sejarah pemanfaatan­nya pan­
jang. Pemanfaatanya sudah berjalan turun temurun serta
pembudidayaannya sudah dilakukan sejak lama.

Morfologi

Tinggi Pohon Tengkawang tungkul dapat mencapai 30 m


60 dengan garis tengah sekitar 60 cm, batangnya tegak lurus,
tidak berbanir, permukaan batangnya berwarna abu-abu
serta berbercak-bercak. 
Tengkawang tungkul
termasuk ke dalam daftar
IUCN Redlist yaitu berstatus:
EN (Endangered)

Daun Tengkawang tungkul tunggal, tebal, kaku, besar, bulat


panjang, Buahnya bundar telur, berbulu tebal dan bersayap.

Manfaat

Kayu Tengkawang tungkul dimanfaatkan untuk konstruksi


ringan, yaitu kayu lapis, perabot rumah tangga, dinding
rumah, dan bahan kertas. 

Selain kayu, buahnya diolah sebagai bahan pengolahan


makanan (cokelat), kosmetik, lilin.

Buah Tengkawang tungkul juga dapat dipakai sebagai


sumber penghasil minyak nabati karena dibandingkan
dengan biji dari meranti lainnya, biji tengkawang tungkul
mempunyai kadar minyak nabati paling tinggi sumber
penghasil minyak nabati dan sebagai pakan fauna langka
seperti burung enggang (Bucerotidae).

DAMAR MINYAK
( AGATHIS BORNEENSIS WARB. )

Borneo Kauri

61 Damar minyak( Agathis borneensis Warb.) adalah tanaman


pohon yang termasuk dalam keluarga Araucariaceae. Pohon
ini termasuk dalam status IUCN yaitu EN ( Endangered ).
Kayu asli Indonesia ini banyak
dimanfaatkan sebagai bahan
pembuatan furnitur, karena
dikenal dengan kualitas kayu
yang sangat baik.

Pohon ini tersebar di dataran rendah hingga hutan hujan


tropis da­taran tinggi, di hutan dataran rendah pada tanah 
bergambut, atau kadang-kadang di habitat kerangas berpasir.
Jenis ini dapat memben­tuk tegakan murni yang luas dan
dapat tumbuh hingga 55 meter.

Morfologi

Pohon besar dengan tinggi 55 m dan diameter 3,5 m. Batang


menghasilkan resin emas bening. Kulit kayu berwarna abu-
abu, coklat muda, hitam, berlesung pipit hingga bersisik tipis
atau kasar, mengelupas.

Manfaat

Kayu asli Indonesia ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan


pembuatan furnitur, karena dikenal dengan kualitas kayu
yang sangat baik. Produk furnitur dari kayu agathis ini
banyak dijual bahkan sampai ke luar negeri.

Kayu Agathis dikenal memiliki beberapa karakternya yang


berat, keras, awet, memiliki daya retak yang rendah, mudah
dalam pengolahannya, memiliki warna kayu yang bagus,
62 memiliki arah serat kayu yang bervariasi, tekstur kayu yang
halus serta permukaan kayunya licin. Selain dimanfaatkan
untuk bahan furniture.
Persebaran

Biasanya pohon ini tumbuh pada tanah berpasir hingga


tanah gambut di hutan tertutup. Kadang-kadang bisa
menjadi komponen kanopi yang dominan.

Pelestarian ulin, tengkawang tungkul,


dan damar minyak

Pembibitan maupun penanaman, baik insitu maupun


eksitu telah dilakukan di beberapa daerah di Kalimantan.
Pelesatarian jenis ulin, tengkawang tungkul, dan damar
minyak telah dilakukan melalui di Arboretum Sylva
Universitas Tanjungpura Pontianak. Ketiga jenis ini telah
dilestarikan secara eksitu oleh mahasiwa Fakultas Kehutanan
Universitas Tanjungpura Pontianak.

Lokasi pelestarian ulin, tengkawang tungkul,


dan damar minyak

Arboretum Sylva Untan merupakan kebun koleksi tanaman


dan pepohonan khusus Kalimantan Barat. Kebun tersebut
juga sebagai tempat pelestarian keanekaragaman hayati,
pengembangan pendidikan, pengembangan hutan kota,
serta sarana rekreasi dan hiburan masyarakat. Jenis Pohon
Damar Minyak ini juga terdapat di Arboretum Sylva
Universitas Tanjungpura Pontianak. n

63
LESTARI ULINKU,
LESTARI ALAMKU
NADYATI FAZRIN

Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang berlimpah.


Di dalamnya tersimpan banyak spesies yang berpotensi
membantu kehidupan manusia.

Keanekaragaman hayati menurut pendapat Prof. Ani


Mardiastuti merupakan suatu kelimpahan berbagai jenis
sumber daya alam (SDA) baik nabati maupun hewani yang
terdapat di muka bumi.

Namun, seiring berjalannya waktu, pemanfaatan


keanekaragaman hayati yang meningkat tidak diiringi
dengan pelestarian yang berkelanjutan. Salah satu
pemanfatannya utamanya yaitu penebangan pohon untuk
memenuhi kebutuhan primer manusia.

Pertambahan penduduk yang meningkat akan


berbanding lurus dengan kebutuhan sehari-hari yang
juga terus ikut meningkat. Dewasa ini semakin maraknya
penebangan pohon secara liar terjadi demi memenuhi
kebutuhan manusia.

Di sisi lain, masyarakat masih banyak yang kurang


peduli terhadap pentingnya eksisting pohon-pohon bagi
64 kelangsungan hidup di bumi. Padahal, peradaban butuh
keberadaan pohon-pohon yang mampu menjaga stabilitas
oksigen. Kalimantan merupakan salah satu pulau di
Indonesia yang menyimpan kekayaan keanekaragaman
hayati, satwa dan tumbuhan endemik.

Namun, dalam perjalanan waktu, Kalimantan mengalami


masalah pengikisan terhadap keanekaragaman hayati,
sebagai contoh yaitu berkurangnya Ruang Terbuka Hijau
(RTH). Artinya adalah ketika RTH berkurang, populasi
pepohonan semakin berkurang. RTH di Kalimantan
dari tahun ke tahun terus berkurang. Fakta di lapangan
menunjukkan, pepohonan terus-menerus ditebang
untuk membuka lahan baru maupun pemenuhan
kebutuhan lainnya.

Terdapat beberapa pohon yang dahulunya banyak


tersebar di Kalimantan tapi kini menjadi jenis pohon yang
dilindungi oleh pemerintah akibat mengecilnya jumlah
eksisting dari pohon tersebut, satu di antaranya adalah
pohon ulin.

Melansir dalam laman Wisata Pontianak, Arboretum Sylva


Universitas Tanjungpura ini merupakan ruang terbuka
hijau kota yang memiliki koleksi tanaman dan pepohonan
khusus Kalimantan Barat sebagai tempat keanekaragaman
hayati, pengembangan pendidikan, pengembangan hutan
kota, serta sarana rekreasi dan hiburan masyarakat.

Pohon ulin (Eusideroxylon zwageri) atau disebut juga


dengan belian atau belian atau kayu besi adalah pohon
berkayu dan merupakan tanaman khas Kalimantan. Pohon
ulin adalah jenis pohon asli Indonesia (indigenous tree
species) yang digolongkan ke dalam suku Lauraceae.

Pohon ulin memiliki tinggi pohon umumnya 30-35 m,


65 diameter setinggi dada (dbh) 60-120 cm. Batang lurus
berbanir, tajuk berbentuk bulat dan rapat serta memiliki
percabangan yang mendatar.
Keberadaan Pohon Ulin di
alam hari ini sangat terbatas.
Lamanya waktu tumbuh serta
rendahnya kelulus hidupan
anakan menyebabkan jumlah
Pohon Ulin semakin menurun.

Salah satu ciri khas tumbuhan Kalimantan adalah kayu


ulinnya. Dahulu penduduk asli maupun pendatang, baik
yang tinggal di pingiran hutan maupun tinggal di atas air
dengan rumah panggungnya memanfaatkan kayu ulin
sebagai bagian utama dari tiang, lantai rumah, pagar, patok-
patok tanah, atap sirap dan sebagainya.

Kayu ulin mempunyai keistimewaan yang khas yaitu


selain keras, berat, juga tidak lapuk kena air bahkan
lebih tahan lama.

Kayu ulin termasuk di antara kayu yang cukup tahan akan


serangan rayap. Pohon ulin juga hidup di sebagian hutan
pulau Sumatera. Warnanya dari mulai coklat sampai ke
hitam-hitaman. Namun, kelemahannya adalah dapat retak-
retak bila terkena suhu panas yang lama.

Masyarakat Kalimantan memandang pohon ulin sebagai


sumber utama untuk membuat rumah. Apalagi, bagi
masyarakat suku Dayak yang hidup di pedalaman kayu ulin
dimanfaatkan sebagai kebutuhan utamanya. Semakin tua
66 umur kayu ulin, semakin keras kayunya.

Kayu ulin yang pada dasarnya memiliki keistimewaan yang


khas yaitu selain keras, berat, juga tidak lapuk terkena air
serta tahan terhadap serangan rayap. Selain itu, pohon ulin
juga dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan, tempat tidur
dan perabot rumah tangga.

Sayangnya, keberadaan pohon ulin di alam hari ini sangat


terbatas. Lamanya waktu tumbuh serta rendahnya kelulus
hidupan anakan menyebabkan jumlah pohon ulin semakin
menurun. Apalagi kegiatan eksploitasi berlebihan tanpa
diimbangi pelestarian turut mendukung punahnya pohon
ulin di Kalimantan.

Saat ini, kayu ulin dalam status konservasi menurut


IUCN termasuk katagori rentan. Namun, tidak menutup
kemungkinan, beberapa tahun lagi akan masuk ke dalam
status genting bahkan kritis.

Kayu ulin sangat kuat dan awet. Kayu ulin tahan akan
serang­an rayap dan serangga penggerek batang, tahan akan
perubahan kelembaban dan suhu serta tahan pula terhadap
air laut.

Kayu ini sangat sukar dipaku dan digergaji tetapi mudah


dibelah. Kayu ulin sangat kuat dan sangat awet, sehingga
banyak digunakan untuk berbagai keperluan, seperti
pondasi bangunan di dalam air dan lahan basah, atap rumah
(sirap), kusen dan pintu.

Manfaat utamanya adalah sebagai bahan bangunan, seperti


konstruksi rumah, jembatan, tiang listrik, dan perkapalan.

Di Kalimantan, masyarakat setempat memiliki kebudayaan


membuat rumah panggung dari kayu ulin di pinggir sungai
atau rawa, karena hanya kayu ulin yang mampu bertahan di air.
67
Selain dimanfaatkan sebagai konstruksi rumah, ternyata
kayu ulin atau Kayu Belian ini dapat pula dimanfaatkan
sebagai kerajinan. Adapun kerajinan yang dapat dibentuk
seperti kerajinan untuk pembuatan furnitur rumah,
misalnya meja, kursi, lemari, dan lain sebagainya.

Selain itu, tunggak pohon ulin yang telah mati dapat dijadi­
kan bahan kerajinan ukir yang memiliki nilai jual cukup tinggi.

Tidak hanya itu saja, ternyata terdapat manfaat lain yaitu


sebagai perhiasan. Akhir-akhir ini banyak sekali pengrajin
yang keluar masuk hutan hanya untuk mencari fosil kayu
ulin yang telah membatu.

Karena fosil tersebut ternyata dapat menjadi berbagai


macam perhiasan yang nilai jualnya tidak kalah dengan
perhiasan yang terbuat dari berbagai jenis batu-batuan.

Selain itu, ternyata tekstur dan guratan kayu ulin lebih


eksotis jika dibandingkan dengan batu permata.

Kelebihan lainnya adalah bahan baku mudah didapat dan


lebih ringan dalam proses pengerjaannya.

Jika di atas secara garis besar dapat di katakan jika kayu ulin
atau kayu belian ini bermanfaat dari segi ekonomi, namun
perlu diketahui pula kayu ini juga memiliki manfaat lain
yakni dari segi kesehatan.

Kayu ulin ini memiliki khasiat mengobati dan mengatasi


beberapa penyakit. Tidak semua bagian dari kayu ini dapat
dimanfaatkan untuk kesehatan. Misalnya seperti bagian biji,
buah serta daunnya saja yang dapat dimanfaatkan untuk
keperluan kesehatan.

Biji ulin atau belian ini memiliki khasiat untuk pengobatan.


68 Biji yang dihaluskan dapat dimanfaatkan sebagai obat pada
benkak, dapat menghitamkan rambut atau biasa disebut
dengan semir rambut.
Kayu Ulin ini memiliki
khasiat mengobati dan
mengatasi beberapa penyakit.

Buah ulin dapat dimanfaatkan dengan cara dikeringkan


terlebih dahulu, lalu dicampurkan dengan minyak kelapa.

Produk olahan buah berupa minyak ulin ini banyak


dipasarkan di pasar–pasar tradisional, khususnya di
Kalimantan sebagai produk yang berkhasiat untuk
menghitamkan rambut serta mencegah tumbuhnya uban.

Daun ulin banyak mengandung zat fitokimia, yaitu zat kimia


atau nutrien yang memang pada dasarnya diturunkan dari
tumbuhan, biasanya pada manfaat sayur-sayuran atau buah-
buahan. Kandungan fitokimia yang dimiliki pohon ulin
antara lain, manfaat senyawa flavonoid, tanin, saponin dan
sterol – terpenoid.

Keunikan kayu ulin atau kayu belian ini yakni tergolong


sangat tahan atau mampu bertahan terhadap perubahan
suhu yang terjadi di lingkungannya, bahkan jika perubahan
tersebut tergolong ekstrim.

Selain itu, kayu ulin juga tahan terhadap kelembaban


lingkungan, mampu beradaptasi dengan baik terhadap air
laut dan lahan basah hal inilah yang membuat kayunya
memiliki sifat yang sangat berat dan sangat keras. itulah
sebabnya mengapa ia dijuluki sebagai kayu besi.

Oleh karena itu, mengingat keberadaan pohon ulin yang


semakin terbatas di balik manfaatnya yang begitu berlimpah
69 kami memandang pentingnya perhatian pemerintah
maupun seluruh pemangku kepentingan untuk dapat
melestarikan pohon ulin.
Dibutuhkan pelestarian secara berkelanjutan sehingga man­fa­
at pohon ulin dapat terus dirasakan hingga generasi yang akan
datang. Pohon ulin memiliki manfaat ekologis, ekonomis,
maupun manfaat yang menyentuh seluruh aspek kehidupan.

Ketika keberlangsungan pohon dapat kita jaga kelestari­


annya, stabilitas ekologis di muka bumi ini dapat sampai
pada titik seimbang. Hidup adalah tentang bagaimana kita
dapat menyeimbangkan segala sesuatu sehingga nantinya
tidak akan ada ketimpangan yang begitu berarti.

Ketika alam seimbang, seluruh ekosistem peradaban


dapat bersinergi dengan baik. Perlu diingat juga, kita tidak
terpisah dari alam tapi kita bagian dari alam. Jika alam
tidak seimbang akan berpengaruh juga bagi kehidupan kita
sebagai manusia yang mana kita adalah bagian dari alam.

Cara lain yang menurut kami perlu dilakukan juga adalah


ikut berperannya masyarakat. Mengingat tidak hanya peme­
rintah ataupun pemangku kepentingan yang berada di muka
bumi ini tapi masyarakat juga turut andil dalam hal ini.

Cara yang kami maksud adalah peran masyarakat dengan


mengadopsi gaya hidup yang lebih hijau. Gaya hidup yang
lebih hijau berarti membiasakan diri dengan gaya hidup
yang mempertimbangkan segala sesuatunya untuk lebih
memperhatikan aspek lingkungan dengan kata lain ramah
lingkungan.

Dari pemerintah juga dapat mengadakan sosialisasi kepada


masyarakat mengenai pentingnya ruang terbuka hijau dan
sudah seberapa parah bumi rusak hingga saat ini.
70 Hal ini agar masyarakat dapat mengerti lebih baik lagi
tentang pentingnya menjaga bumi tetap hijau, khususnya
untuk di daerah Kalimantan mengenai pohon ulin. n
71
Getah damar mata kucing (Shorea javanica)
(Foto : Ichvan Sofyan).
MENDULANG BERKAH
DARI POHON-POHON
KHAS SUMATRA
YUSRAN EFFENDI RITONGA

Indonesia termasuk dalam kawasan fitogeografi Malesia


yang memiliki kawasan hutan hujan tropis terbesar setelah
Brasil. Keanekaragaman jenis tumbuhan di Indonesia sangat
tinggi. Keanekaragaman hayati Indonesia sangat beragam di
setiap pulau, meskipun tetap ada kesamaan.

Salah satunya Sumatra, pulau besar yang terdapat di barat


Indonesia ini memiliki kekhasannya sendiri. Dari ribuan
jenis tumbuhan yang hidup di Pulau Sumatra, beberapa di
antaranya akan dibahas secara mendalam pada tulisan ini.

Kemenyan Toba (Styrax sumatrana)

Kemenyan Toba (Styrax sumatrana) merupakan salah satu


tumbuhan penghasil getah bernilai ekonomis yang berada di
Provinsi Sumatera Utara. Haminjon Toba begitu masyarakat
setempat menyebutnya, hanya tersebar di Sumatera Utara,
antara lain di Kabupaten Dairi, Pak-pak Bharat, Humbang
Hasundutan hingga Tapanuli Utara.

Saat ini masyarakat sudah banyak membudidayakan jenis


72 kemenyan ini, tetapi kita juga bisa menemuinya di beberapa
hutan konservasi (TWA Sicike-cike, HL Batangtoru).
Kemenyan Toba diyakini sebagai kemenyan terbaik
dunia terbukti dengan harga getah paling tinggi di antara
kemenyan lainnya. Warna getahnya yang putih serta baunya
yang khas menambah bukti kualitasnya yang baik.

Tumbuhan ini memiliki habitus pohon (batangnya


monopodial, daun berhadapan berwarna hijau gelap
serta yang muda berwarna merah muda hingga krem.
Bunga majemuk dengan mahkota putih serta buah bulat
(kecil dibandingkan dengan jenis lain). Kemenyan toba
memiliki kelemahan seperti lambannya pertumbuhan atau
regenerasi, serta produksi getah yang sedikit dan rumit
sehingga dibutuhkan teknik khusus untuk memanennya.
Hal ini yang membuat petani memilh Styrax benzoin
(Kemenyan Durame) sebagai pilihan untuk dibudidayakan
dibandingkan kemenyan toba.

Di Sumatera Utara kemenyan disadap dengan teknik lama,


yaitu dengan memukul kulit batang hingga lekang dan getah
yang didapatkan kurang baik dan tidak teratur. Selain itu,
ada juga masyarakat yang membiarkan tumbuhan ini di
hutan tanpa ada perawatan.

Untuk saat ini, banyak balai penelitian yang membantu


masyarakat dalam melakukan pemanenan getah kemenyan
yang baik, seperti yang dilakukan oleh Balai Penelitian dan
Pengembangan Lingkungan Hidup Aek Nauli, Simalungun,
Sumatera Utara, dengan cara membuat bentuk sadapan
seperti huruf V di pohon yang disadap. Hal ini cukup efektif
untuk menghasilkan getah yang berkualitas tinggi dengan
kuantitas yang banyak.

Saat ini getah kemenyan sudah dipasarkan hingga


menjangkau pasar luar negeri. Pemanfaatan getahnya untuk
73 obat serta bahan dasar pembuatan parfum (sebagai pengikat
bau) selain itu bangsa atau suku tertentu menggunakannya
sebagai bahan dasar untuk sesajen atau pemujaan.
Kristal ini bisa dimanfaatkan
sebagai obat, pewangi, serta
pengawet. Selain itu, adapun
kegunaan lainnya untuk bahan
papan serta bahan dasar
pembuat kapur barus (kamper).

Kapur (Dryobalanops aromatica)

Dryobalanops aromatica termasuk dalam famili


Dipterocarpaceae. Tumbuhan penghasil damar ini bisa
ditemukan di hutan dataran rendah, dengan ketinggian
menjulang hingga 60 meter. Saat ini sudah sulit untuk
menemukannya, hingga masuk dalam kategori genting.

Hal ini disebabkan oleh eksploitasi berlebihan terhadap


tumbuhan berkayu keras ini. Batangnya yang larus serta
kayunya yang keras membuat kualitasnya sangat baik. Di
hutan, pohon ini terlihat dominan, dengan daun kecil dan
rapat serta kulit batang pecah-pecah.

Berdasarkan informasi yang didapat, tumbuhan kapur ini


sudah menjadi hasil dagang sejak peradaban Mesir Kuno.
Batangnya yang besar ditumbangkan dan dipotong kecil-
kecil sehinga didapatkan kristal kapur yang berada di dalam
pohon. Karena dipercaya kristal ini bisa dimanfaatkan
sebagai obat, pewangi, serta pengawet. Selain itu, adapun
kegunaan lainnya untuk bahan papan serta bahan dasar

74 pembuat kapur barus (kamper).

Dahulu kala, berdasarkan cerita orangtua, getah kapur ini


dicari dan dikumpulkan sebagai bahan bakar karena sulitnya
mencari minyak dan belum ada tabung gas. Kapur atau
damar dicari di sekitar hutan yang memiliki tumbuhan ini,
langsung diambil di pohon atau dengan cara membongkar
tanah di sekitarnya.

Balakka (Phyllanthus emblica L)

Mungkin sebagian penduduk Sumatera Utara tidak


asing dengan nama ini. Balakka (Phyllanthus emblica L)
merupakan tumbuhan khas di Tapanuli bagian selatan
meliputi Kabupaten Tapanuli Selatan, Kota Padang
Sidempuan, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten
Padang Lawas hingga Kabupaten Labuhanbatu Selatan.

Tumbuhan ini salah satu tumbuhan yang mampu


beradaptasi dengan baik di kawasan tandus (tanah berbatu)
yang minim sumber air. Batang berkayu, habitus perdu,
daun majemuk dengan helaian kecil.

Phyllanthus emblica L sangat mudah kita temukan di daerah


Padang Bolak, Padang Lawas Utara, dan hampir seluruh
masyarakat di daerah ini mengenal tumbuhan perdu ini.
Balakka bukanlah tumbuhan budidaya, melainkan tumbuh
liar di padang ilalang yang luas. Masyarakat setempat
biasanya mongonsumsi buah segar yang rasanya cukup unik,
manis sepat dan apabila dalam waktu dekat kita meminum
air putih akan terasa segar dan manis.

Selain itu, kulit tumbuhan ini dimanfaatkan sebagai bahan


utama makanan khas Padang Bolak yaitu holat. Holat mirip
seperti sop, hanya saja bahan yang digunakan ikan mas dan
kulit tumbuhan balakka ini (kulit batang balakka di kikis
75 dengan alat khusus).

Balakka merupakan tumbuhan perintis yang hanya bisa


kita temukan di daerah tandus, biasanya berdampingan
dengan rumput (ilalang) serta perdu berkayu keras lainnya.
Batangnya yang keras serta pertumbuhan yang lambat
menandakan bahwa tumbuhan ini beradaptasi dengan baik
di lahan tandus, begitu juga dengan daun majemuk sangat
kecil yang merupakan bukti bahwa tumbuhan ini sangat
sedikit melakukan penguapan. Tumbuh tersebar mengikuti
kontur bukit dan jarang ditemukan dekat mata air.

Selain di Sumatra Utara, tumbuhan ini juga dapat dijumpai


di Pulau Bangka, Kalimantan Selatan, Jawa Timur hingga
Kepulauan Nusa Tenggara yang notabene memiliki
tanah tandus seperti Tapanuli Bagian Selatan khususnya
Padang Bolak.

Kepayang (Pangium edule)

Kepayang atau keluak merupakan tumbuhan asli tropis,


tersebar di dataran rendah dan sering dijumpai di sekitar
tepian sungai. Pangium edule (Achariaceae) ini sering
disebut dengan buah bola, karena buahnya yang besar serta
bulat sedikit lonjong. Buah ini sudah sulit untuk ditemukan,
tetapi pemerintah daerah sudah banyak melakukan
penanaman terhadap tumbuhan ini di taman kota sebagai
wujud konservasi.

Buah kepayang belum dimanfaatkan dengan baik oleh


masyarakat karena rasanya yang sepat. Namun, di Toraja
buah ini sudah ada yang mengonsumsi. Kabarnya buah ini
juga beracun, dan istilah mabuk kepayang juga diambil dari
buah ini.

Masyarakat Jawa sudah lama memanfaatkan biji kepayang


sebagai bumbu masakan rawon yaitu pemberi warna hitam.
76 Namun, untuk menghilakan racun perlu dilakukan beberapa
langkah, yaitu merendam dan mencuci isi biji kemudian
dijemur hingga biji berwarna cokelat atau hitam. n
77
Daun dan buah dari gaharu (Aquilaria filaria)
(Foto : Arief Hamidi)
MENGENAL POHON
BULIAN DAN GAHARU,
TUMBUHAN KHAS
DI HUTAN JAMBI
ARIESKA PUTRI ABMI

Bulian atau yang kerap disapa dengan ulin merupakan


salah satu pohon yang khas hutan Sumatera yang terletak
di Provinsi Jambi. Habitat pohon bulian terletak pada hutan
tropika basah dengan ketinggian 400 mdpl tumbuh menyebar
ataupun berkelompok. Pohon bulian dapat hidup pada tanah
kering maupun liat namun sulit ditemukan pada daerah rawa-
rawa. Pohon bulian dapat mencapai tinggi lebih dari 50 meter.

Jumlah pohon bulian dari tahun ke tahun semakin menurun


diakibatkan pembalakan liar. Termasuk jenis kayu kelas
atas dan harga yang tinggi membuat banyak masyarakat
melakukan pembalakan liar pada kayu ini. Dalam status
konservasi IUCN, bulian termasuk tumbuhan rentan punah.

Bulian juga masuk dalam daftar tanaman yang terdapat pada


Appendiks II CITES. Di Jambi sendiri populasi dari sebaran
bulian tidak sampai 100 hektar, habitat sebaran bulian yang
masih baik terletak pada Cagar Alam Durian Luncuk II luas­
78 nya sekitar 42 hektar. Kerusakan sebaran hutan bulian terbesar
terletak pada Tahura Senami atau Sultan Thaha Syaifuddin
yang mana sampai 90% rusak akibat pembalakan liar.
Bulian sendiri termasuk jenis yang mempunyai pertum­
buhan lambat dalam setahun tumbuh kurang dari 1 cm
sehingga membutuhkan waktu yang panjang untuk bulian
mencapai diameter besar. Menurut keputusan menteri
nomor 54/Kpts/Um/2/1972 menyatakan bahwa bulian
merupakan spesies yang dilindungi dan penebangan hanya
diperbolehkan pada pohon berdiameter 60 cm.

Meskipun dalam keputusan menteri sudah diatur tetapi


perbandingan antara pertumbuhan bulian dan minat
masyarakat terhadap kayu ini tidak sebanding, sehingga
pembalakan liar pohon bulian menyebabkan kelangkaan
pohon tersebut.

Belum banyaknya kegiatan pembudidayaan pohon bulian juga


menjadi salah satu faktor yang menyebabkan menu­runnya
populasi pohon ini. Kulit buah yang keras menyebabkan
proses dormasi alami memakan waktu lama. Bunga dari
bulian cepat rontok sebelum menjadi buah, hal ini juga bisa
menjadi salah satu faktor penghambat pertumbuhan bulian.

Pohon bulian mulai berbuah setelah berumur 20 tahun,


sehingga dapat dibayangkan betapa lamanya pohon ini
untuk beregenerasi. Masa perkecambahan pohon bulian
tergolong cukup lama yaitu sekitar 6 sampai 12 bulan, selain
itu persentase dari keberhasilan perkecambahan pohon
bulian tergolong rendah. Dalam setahun pohon bulian
menghasilkan buah tidak terlalu banyak. Faktor yang
menyebabkan semakin berkurangnya pohon bulian selain
pembalakan liar adalah sebagai berikut :

1. Bulian termasuk tumbuhan yang mempunyai


79 pertumbuhan lambat
2. Tingkat keberhasilan perkecambahan yang kecil
3. Ketersediaan bibit cabutan yang sedikit
Ironisnya pemanenan pohon
bulian ilegal masih tetap bisa
dilakukan
Untuk perbanyakan pohon bulian dengan cara kultur
jaringan juga tergolong sulit. Karena daun bulian yang
relatif tebal sehingga sulit untuk calon kalus tumbuh.
Selain itu membutuhkan biaya yang relatif tinggi untuk
melakukan kultur jaringan. Perbanyakan pohon bulian
bisa juga dilakukan dengan cara cangkok, hanya saja jika
menggunakan metode ini akan merusak pohon induk dan
harus memanjat pohon indukan.

Di Jambi sendiri kegiatan penebangan pohon bulian sudah


dilarang berdasarkan surat keputusan gubernur Jambi nomor
522.12/760/PP menetapkan bahwa bulian merupakan spesies
yang dilindungi di Jambi. Namun, meskipun sudah ada pera­
turan yang berlaku mengenai larangan pemanenan pohon
bulian, hingga sekarang kayu bulian masih tersedia di pasaran.

Ironisnya pemanenan pohon bulian ilegal masih tetap


bisa dilakukan meskipun tingkat pengamanan hutan terus
ditingkatkan. Contohnya pada Tahura Senami atau Sultan
Thaha Syaifuddin yang masih kerap ditemukan pembalakan
liar. Di beberapa tahun belakangan Polisi Kehutanan, Dinas
Kehutanan Kabupaten Batanghari banyak mengamankan
kayu hasil pembalakan ilegal pada tahura ini.

Bagian yang diambil bukan hanya kayunya saja tetapi bagian


bonggol kayu bulian yang tertinggal di dalam tanah pun jadi
incaran pemanenan ilegal.
80 Akses yang mudah menyebabkan Tahura Senami atau
Sultan Thaha Syaifuddin menjadi sasaran empuk sebagai
lokasi pemanenan ilegal pohon bulian. Tahura Senami atau
Sultan Thaha Syaifuddin dekat dengan lokasi perkebunan
sawit dan desa warga. Pihak Tahura Senami atau Sultan
Thaha Syaifuddin sudah berupaya untuk mengembangkan
pembibitan bulian. Hanya saja karena pohon tua yang
menghasilkan bibit cabutan sedikit dan sulit ditemui
menyebabkan tidak banyak dari luasan tahura ini ditanami.
Persentase hidupnya pun sedikit.

Cadangan air pada Tahura Senami atau Sultan Thaha


Syaifuddin tidak terlalu baik dikarenakan bersebelahan
dengan perkebunan sawit. Pasalnya, pemilik kebun
membuat sistem drainase kanal membendung air dalam
suatu aliran untuk membasahi lahan sawitnya menyebabkan
lahan lain di sekitar perkebunan menjadi kering.

Perlunya ketegasan hukum terhadap masyarakat ataupun


oknum-oknum yang masih melakukan pembalakan liar
pohon bulian, agar tidak musnah di tangan manusia. Karena
bukan hal yang mustahil bahwa nantinya pohon bulian hanya
menjadi kenangan, sekadar foto pajangan di dinding dan
nama yang disebut tanpa tersedia bentuk aslinya di hutan.

Gaharu (Aquilaria malaccensis)

Gaharu merupakan tumbuhan yang termasuk pepohonan


dengan ketinggian dapat mencapai 40 meter. Gaharu
tumbuh di hutan hujan tropis di ketinggian 0 sampai 1000
mdpl. Gaharu menjadi salah satu pohon primadona yang
dimanfaatkan. Di masyarakat, pohon gaharu lebih populer
ketimbang pohon bulian. Pohon ini memiliki ciri khas
yaitu menghasilkan resin yang mengeluarkan aroma wangi,
umumnya dimanfaatkan masyarakat untuk upacara adat,
bahan obat ataupun kosmetik.
81 Gaharu masuk ke daftar CITES Appendix II sedangkan
pada IUCN masuk dalam daftar merah yang berarti pohon
gaharu termasuk terancam punah. Hal ini disebabkan
terjadinya eksploitasi besar-besaran terhadap pohon gaharu,
sedangkan ketersediaannya di alam tidak sebanding dengan
pohon gaharu yang dipanen.

Selain itu, pada pemanenan pohon gaharu kandungan resin


yang bisa dimanfaatkan tidak tersedia di semua pohon
gaharu. Masyarakat ataupun petani akan memanen semua
pohon gaharu disebabkan rendahnya pengetahuan mereka
mengenai tersedia atau tidak resin pada pohon gaharu.

Di habitat alaminya, pohon gaharu menghasilkan resin


yang beraroma wangi pada umur 25 tahun. Namun, dengan
semakin banyaknya permintaan gaharu, masyarakat
menemukan cara agar pohon gaharu dapat mengasilkan
resin beraroma khas kurang dari 25 tahun yaitu dengan cara
menyuntikkan mikroba ke dalam kayu pohon gaharu.

Jika cara pemanenan seperti ini tetap dipertahankan nanti­


nya pohon gaharu akan punah, karena gaharu mempunyai
waktu regenerasi yang cukup lama. Ketersediaan biji yang
terbatas juga biji gaharu tidak bisa disimpan dalam waktu
yang cukup lama atau bersifat rekalsitran. Di habitat alami­
nya pun, daya perkecambahan biji gaharu tergolong rendah
dan butuh waktu yang cukup lama.

Sehingga untuk memperbanyak pohon gaharu dilakukan


de­ngan metode kultur jaringan biji in vitro. Metode ini dapat
menghasilkan calon bibit gaharu secara massal dan dapat di­
kontrol pertumbuhan dan pasokan cahaya yang diterima oleh
biji pohon gaharu, selain itu bibit yang dihasilkan mempunyai
keseragaman yang tinggi.

Pohon gaharu sebagai pohon dengan tingkat ekonomis yang


tinggi harus dijaga keberadaannya, jika pengambilan secara
82 besar-besaran tanpa memperhatikan aspek regenerasinya
maka ada kemungkinan pohon gaharu akan punah beberapa
tahun yang akan datang. n
83
Batang pohon dari pohon balangeran
(Shorea balangeran)
(Foto : Yanuar Ishaq Dc)
MENYUSURI
HUTAN SANCANG,
MENCARI SISA-SISA
DIPTEROCARPACEAE
ANA ROHMA SEPTIANA

Shorea javanica, dilihat dari nama latinnya orang menyang­ka


ini tumbuhan Pulau Jawa. Nyatanya tidak, si damar mata kucing
itu merupakan spesies flora endemik Pulau Sumatera. Menga­
pa bisa begitu? Rasa penasaran ini yang membuat saya tertarik
ikut perjalanan penelitian Dipterocarpaceae di Cagar Alam
Leuweung Sancang, Garut, Jawa Barat, awal 2018 silam.

Di balik legenda, mitos, dan cerita mistis yang


melingkupinya, Hutan Sancang ternyata menyimpan
kekayaan alam, di antaranya beberapa spesies langka yang
terancam punah. Penelitian sebelumnya juga mengungkap,
Shorea javanica kini hanya tersisa di dua lokasi, yaitu Kebun
Raya Bogor dan Hutan Sancang.

Bukan perkara mudah untuk mencapai lokasi Hutan


Sancang. Butuh waktu sekitar 6 jam perjalanan menggu­
nakan tiga kendaraan umum berbeda, dua kali transit
terminal, ditambah treking sekitar 2 jam menyusuri pantai.

Kami membuka tenda di sekitar pintu masuk hutan di


84 daerah Sungai Cikolomberan untuk bermalam. Aktivitas
baru kami mulai sekitar tengah hari, menunggu air laut
surut. Tujuan kami memang treking ke dalam hutan, namun
perhitungan pasang surut air laut menjadi penting karena
medan yang kami lalui berupa hutan mangrove.

Ashton, dalam Flora Malesiana pernah mengatakan, family


Dipterocarpaceae adalah satu kelompok pohon penghasil
resin yang selalu hijau sepanjang tahun (evergreen tree).
Salah satu ciri khasnya adalah bentuk buahnya yang
bersayap (Fig 1), yang berfungsi untuk penyebaran
benihnya ketika jatuh dari pohon induknya.

Meskipun sayap tersebut memungkinkan buah untuk jatuh


sambil berputar dan melayang secara diagonal/miring,
namun di dalam kanopi utama, buah jatuh secara acak dan
rata-rata secara vertikal, sehingga banyak yang berlabuh di
dahan kemudian mati.

Family Dipterocarpaceae menunjukkan tingkat endemisitas


yang tinggi pada daerah tropis, yang memiliki kelembapan
tinggi dan biasanya tidak mengenal musim. Hal itu diduga
karena buruknya penyebaran buah pada daerah yang sedikit
hembusan angin. Selain itu, karakteristik penting dari
family yang tumbuh pada zona ini juga ada pada perilaku
berbunganya.

Tumbuhan ini tidak berbunga setiap tahun, melainkan


pada interval yang tidak teratur dengan jumlah perbungaan
yang bervariasi. Ciri khas tersebut sudah menggambarkan
betapa sulitnya tumbuhan tersebut untuk mempertahankan
populasinya secara alami.

Sambil menyusuri jalan setapak di Hutan Sancang, kami


terus bercerita tentang tumbuhan yang menjadi objek
penelitian kami hari itu. Kelompok Dipterocarpaceae ini
85 rupanya merupakan tumbuhan yang memiliki nilai ekonomi
tinggi. Resin yang dihasilkan, hingga kayunya, merupakan
komoditas utama dalam perdagangan di Indonesia.
Ancaman utama dari jenis
ini adalah penurunan luas
habitat dan fragmentasi
habitatnya karena
perkebunan dan pertanian.

Rekam jejak sejarah terkuat dalam ingatan penduduk di


sekitar Hutan Sancang adalah pembalakan hutan besar-
besaran yang terjadi sekitar 1998-2002, yang mengubah rona
Cagar Alam Leuweung Sancang. Saya tertegun. Ini artinya,
kami sedang melakukan penjelajahan untuk mencari sisa-
sisa Dipterocarpaceae yang ada di Tanah Jawa.

Imbas dari pembalakan hutan skala nasional kala itu adalah


penurunan populasi pohon-pohon endemik dan langka.
Bukan hanya penurunan populasi, bahkan ada jenis-jenis
pohon yang tadinya jumlahnya masih terancam, justru naik
statusnya menjadi terancam, atau bahkan punah.

Sekalipun kasus tersebut sudah berhasil diatasi pemerintah,


namun hingga hari ini langkah konservasi jenis-jenis pohon
yang masuk dalam kategori langka dan terancam punah
masih belum maksimal.

Setelah lama trekking akhirnya saya bertemu


Dipetrocarpaceae. Species Dipterocarpus retusus, alias
plahlar (Fig 2). IUCN Redlist menyatakan pada 1998,
status pohon ini adalah Vulnerable dan naik menjadi
Endangered berdasarkan hasil penilaian 2017. Pohon yang
86 satu generasinya mampu mencapai usia hingga 100 tahun ini
telah menurun jumlah populasinya 50-70 persen sepanjang
300 tahun terakhir. Hal itu dikarekan pembukaan lahan
untuk pertanian dan ekspoitasi kayunya. Sekalipun dalam
laju yang rendah, namun diperkirakan jumlah populasinya
terus mengalami penurunan.

Dalam artikel yang sama, IUCN juga menjelaskan, ancaman


utama dari jenis ini adalah penurunan luas habitat dan
fragmentasi habitatnya karena perkebunan dan pertanian.
Selain itu pohon ini juga terancam pada kegiatan tebang
pilih karena kayunya. Selain untuk dijadikan bangunan,
kayunya juga diolah menjadi kayu press dan kertas
kantung teh. Selain kayu, getah hasil penyadapannya
juga diperjualbelikan, karena biasanya digunakan untuk
mendempul perahu dan membuat obor.

Saat itu, kami masih memiliki waktu untuk mengunjungi satu


lokasi lagi. Akhirnya tibalah saya pada jenis Dipterocarpaeae
kedua hari itu, yaitu Dipterocarpus gracilis, yang memiliki
nama dagang keruing. IUCN mencatat D. gracilis masuk
dalam status Vulnerable pada penilaian tahun 2017.

Spesies ini sempat masuk dalam kategori Critically


Endangered (CR) pada 1998. Sama seperti D. retusus, dalam
300 tahun terakhir, populasinya mengalami penurunan
50-70 persen yang disebabkan oleh hilangnya habitat dan
eksproitasi kayunya, dan diduga hal ini akan terus terjadi
hingga 100 tahun ke depan. Spesies ini ditemukan pada
kawasan lindung, namun hanya pada kawasan ex-situ (di
luar habitat alaminya).

Keruing, seperti ciri khas familinya, memproduksi kayu


keras (medium) yang bernilai ekonomi. Biasanya digunakan
untuk membuat kerangka rumah, lantai kayu, dan juga
87 untuk konstruksi kapal dan jembatan. Sadapan resinnya
biasanya digunakan untuk membuat sabun dan juga
sebagai obat penyakit urinogenital (saluran kencing dan
reproduksi). Selain itu, IUCN juga menyebut penurunan
habitat akibat ekspansi pertanian dan pembukaan hutan
untuk perkebunan, merupakan ancaman menurunnya
populasi jenis ini, selain karena kayunya yang menjadi
sasaran penebang liar.

IUCN juga memberikan catatan mengenai aksi konservasi


terhadap genera Dipterocarpus ini, dimana keduanya
ditemukan pada koleksi di luar habitatnya (ex situ), sudah
seharusnya hal ini menjadi pertimbangan khusus untuk
dijadikan spesies prioritas pada negara-negara asalnya. Di
Indonesia, jenis ini hanya boleh ditebang ketika ukuran
diameternya sekitar 50 cm. Pemanenan dan perdagangannya
harus sangat dimonitor dan dibatasi, kalau perlu hanya
untuk kepentingan yang sangat mendesak saja.

Sangat merekomendasikan aksi konservasi secara in situ


dilakukan pada individu-individu yang tersisa pada habitat
aslinya dan penting untuk dilakukan penilaian pada struktur
dan keanekaragaman genetiknya.

Hari mulai gelap, perjalanan mencari sisa-sisa


Dipterocarpaceae di bagian Selatan Jawa Barat akan segera
kami akhiri. Agak sedih karena ternyata saya belum
berkesempatan untuk bertemu langsung dengan sosok
yang menjadi alasan saya turun ke lapangan, yaitu Shorea
javanica, si damar mata kucing yang terkenal. Namun
beruntungnya saya masih bisa berjumpa dengan keluarga
dekatnya, Dipterocarpus retusus dan Dipterocarpus gracilis.

Dari penjelajahan itu saya hanya berharap agar konservasi


kedua jenis tumbuhan itu bisa berjalan maksimal, sehingga
keberadaannya di alam bisa terus lestari tanpa harus
88 mengalami ancaman penebangan liar. Saya juga berharap
kedua jenis tanaman ini menjadi species prioritas yang tidak
boleh ditebang sama sekali di Indonesia. n
89
Buah tumbuh di ujung cabang, ketiak daun
dan ranting dari pohon Shorea sumatrana
(Foto : Zaki Jamil)
MERANTI SI POHON JODOH
ADHINDA THASYA BILLA

Indonesia, siapa yang tidak kenal negara ini? Negara dengan


biodiversitas yang tinggi kaya akan keanekaragaman hayati
baik flora maupun fauna.

Negara dengan hasil sumber daya alam yang melimpah mem­


buat semua mata tertuju berlomba-lomba ingin tahu dan
menyelam lebih dalam akan potensi alam yang dimilikinya.

Sebagai negara yang dijuluki negara maritim dengan jumlah


luas perairan yang lebih besar dibandingkan daratannya.

Ternyata Indonesia memiliki potensi daratan yang tidak kalah


banyak jenisnya. Dari Sabang hingga Marauke, semua bahan
yang disediakan oleh alam dapat dimanfaatkan oleh seluruh
Warga Negara Indonesia (WNI), termasuk kekayaan dari hasil
hutan, bercocok tanam, berkebun, dan sektor peternakan.

Paru-paru dunia, orang-orang menyebutnya begitu, selain


kaya akan hasil perairan lautnya, Indonesia ternyata
memiliki hutan-hutan yang tidak kalah luas.

Sebagian besar pulau seperti Sumatera, Kalimantan, dan


Papua merupakan daerah penghasil oksigen yang selama ini
kita hirup.
90 Pohon-pohon berperan penting pada proses fotosintesis
hingga sampai detik ini kita dapat menikmati hasil dari pro­
ses tersebut dan dapat menjalankan aktivitas dengan baik.
Namun, sebagaimana yang kita ketahui bersama, kurangnya
kesadaran dan rasa memiliki akan sumber daya alam yang
luas ini membuat kita kurang peduli akan betapa pentingnya
hutan-hutan yang dimiliki Indonesia.

Kebakaran hutan yang kerap kali menimpa Indonesia


khususnya Sumatera, membuat kekayaan hayati Indonesia
semakin lama menipis dan berkurang, sehingga lahan yang
dulu hijau kini berubah menghitam menjadi gersang.

Berkurangnya kekayaan hayati Indonesia yang tidak diimba­


ngi dengan penjagaan serta penanaman ulang membuat tanam­
an asli Indonesia semakin lama semakin berkurang dan langka.

Hal ini sangat disayangkan jika tidak ada kepedulian yang


besar dari masyarakat Indonesia itu sendiri.

Semakin berkurangnya pohon-pohon hasil hutan akan


mengakibatkan jenis-jenis tertentu dapat hilang. Selain itu,
benar-benar akan meningkatkan status konservasinya dari
pohon langka menjadi pohon yang telah punah sehingga
tidak dapat lagi kita nikmati dan kita pelajari lebih lanjut.

Di Indonesia, beberapa pohon seperti cendana, damar, teng­


kawang, ulin dan lain-lain perlahan mulai hilang dan jarang
terdengar keberadaan populasinya. Salah satu pohon yang keles­
tarian serta keberadaannya tetap harus dijaga adalah Meranti.

Pohon meranti merupakan tanaman berkayu yang tumbuh


tinggi dengan persebaran luas di Asia Tenggara.

Di Indonesia, persebaran pohon meranti banyak ditemui di


Kalimantan sebagai pusat dari keragaman jenis Shorea, seba­
nyak 138 spesiesnya dan 91 di antaranya bersifat endemik.
91 Pohon meranti banyak tumbuh di wilayah hutan tropis
dengan iklim sedang, tajuk pohon ini rindang sehingga
dapat menjadi teduhan, batangnya yang menjulang tinggi
serta diameter batang yang besar membuat sebagian orang
memanfaatkan kayu dari meranti sebagai bahan alat-alat
rumah tangga pengganti kayu jati.

Namun, besarnya angka penebangan pohon secara ilegal


tersebut, membuat spesies pohon meranti ini sepanjang
tahun semakin menurun. Famili Dipterocarpaceae bahkan
masuk dalam penetapan spesies prioritas di konservasi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI.

Dr Tukirin Partomiharjo (Peneliti dari Pusat Penelitian Biologi


LIPI), melalui media Kompas.com, Senin, 27 September 2010,
mengatakan, pohon meranti bersama tumbuhan lain dalam
family Dipterocarpaceae seperti kayu kapur, kruing, dan
bengkirai menjadi spesies yang paling banyak dimanfaatkan
manusia. Namun, eksplorasi besar-besaran terhadap
tumbuhan ini membuat populasinya terus berkurang.

Pohon meranti merupakan jenis pohon yang banyak tum­


buh di daerah dataran rendah, rentan menghadapi tingkat
kepunahan yang sangat tinggi karena tidak ada hukum yang
melindungi sehingga dapat dieksploitasi dengan bebas.

Kalau sudah seperti ini, harus ada upaya perlindungan dan


pengawetan sehingga kita tidak kehilangan populasinya.

Jenis pohon meranti yang mulai terancam keberadaannya


yaitu pohon meranti Bunga atau Meranti Tembaga dengan
nama ilmiah Shorea leprosula yang banyak tersebar di
Sumatera dan Kalimantan. Sama dengan Meranti yang lain,
Meranti bunga dapat tumbuh hingga mencapai 70 meter dan
diameter 110 cm dengan tajuk pohon yang tipis dan lebar.

Batang pohon ini menjulang tinggi dengan akar banir yang


92 besar. Daunnya berbentuk bundar telur ber­warna hijau
kecoklatan. Pada permukaan bawah berwar­na kuning
kecoklatan, jika mengering berwarna merah tem­baga pucat.
Jenis Pohon Meranti yang
mulai terancam keberadaannya
yaitu Pohon Meranti Bunga
atau Meranti Tembaga.

Biasanya pohon meranti Bunga tumbuh pada tanah liat atau


tanah berpasir bahkan tanah rawa serta tanah gambut.

Jenis pohon meranti Bunga tumbuh baik di tempat terbuka


dan mempunyai kecepatan tumbuh yang tinggi. Kayu
Meranti adalah salah satu jenis pohon idola. Kayu pohonnya
termasuk ke dalam golongan kayu keras berkualitas baik.

Kayu Meranti memiliki banyak keistimewaan yaitu memiliki


batang yang lurus, berdiameter besar, tinggi, bercabang
sedikit, minim cacat mata kayu karena kemampuan pruning
yang dimilikinya, pruning yaitu proses pada pohon meranti
untuk pembebasan cabang pohon.

Selain itu, mudah diolah menjadi produk-produk pertukang­


an, sehingga banyak sekali yang memanfaatkan Kayu Meranti
ini untuk dibuat sebagai perabot rumah tangga seperti
kusen, pintu, jendela, meja, kursi, dan lain-lain.

Manfaat lain yang dimiliki pohon meranti yaitu jika ditinjau


dari lingkungan dan ekologi alam, pohon meranti sering kali
menjadi sarang bagi Burung Punai (Columbidae).

Pohon meranti dapat mengurangi dampak erosi tanah, me­


nyuburkan tanah dengan komposisi daun dan perkembangan
mikoriza, meningkatkan kelembaban, dan meningkatkan
93 sumber cadangan air tanah.

Pada Selasa, 10 Juli 2018 ketika mengunjungi Kebun Raya


Bogor, saya berkesempatan untuk dapat melihat pohon
meranti bunga atau tembaga yang tumbuh tinggi dan
memiliki akar banir yang sangat besar.

Pohon meranti ini merupakan salah satu koleksi Kebun Raya


Bogor. Pohon meranti Bunga, Tembaga (Shorea leprosula
Miq.) tumbuh bersanding dengan Pohon Beringin putih
(Ficus albipila Miq.). Pohon ini berbeda jenis, tetapi ditanam
berdampingan sejak 1866.

Karena perawakannya yang mirip satu sama lain, masyarakat


sekitar menyebut pohon ini sebagai ‘Pohon Jodoh’. Kedua
pohon ini merupakan jenis pohon langka yang dia­badikan
oleh pihak Kebun Raya Bogor sebagai salah satu destinasi
yang banyak diminati karena keunikan yang dimilikinya.

Konon, masyarakat sekitar menyebutnya pohon ini sebagai


pohon jodoh karena cerita dan mitos yang beredar barang
siapa yang bertemu dengan seseorang di Kebun Raya Bogor,
hubungannya akan langgeng sampai ke jenjang pernikahan.
Hal itu disebabkan kedua pohon tersebut menggambarkan
sebuah sepasang kekasih yang sedang bersanding bersama.

Bagi mereka yang hanya melihat sekilas, kedua pohon


tersebut dinilai sama jenisnya karena memiliki ciri-ciri fisik
dan penampakan luar yang hampir sama.

Namun, ternyata keduanya berbeda, pohon meranti diiba­


rat­kan sebagai laki-laki atau sang suami karena batangnya
yang berwarna kehitaman sehingga terkesan kuat dan
kekar. Sedangkan, Pohon Beringin Putih diibaratkan sebagai
istri karena batangnya yang berwarna putih kekuningan
seperti perempuan dengan gambar anggun dan lembut. Dari
perbedaan itu pun masyarakat juga menganggap, sebu­ah
94 perbedaan merupakan hal yang biasa dalam suatu hubungan.

Hal ini dapat dicontoh dari kedua pohon tersebut yang


walaupun berbeda tetapi masih dapat tumbuh hingga
menjadi salah-satu pohon yang masih bertahan meskipun
ditanam ratusan tahunlalu.

Oleh sebab itu banyak sekali pengunjung yang tidak


melewatkan untuk mengabadikan momen berfoto dengan
latar belakang pohon yang hampir langka tersebut.

Pohon meranti menjadi perhatian khusus untuk terus


dilestarikan karena jumlahnya yang kian menipis.

Menurut laman daring www.iucndredlist.org dan referensi


beberapa contoh jenis pohon LTE yang dikeluarkan oleh
tim sayembara menulis, pohon meranti bunga ini masuk
ke dalam kategori status konservasi EN (Endangered), hal
tersebut berarti keadaannya genting dan terancam.

Selain itu, sedang menghadapi risiko kepunahan di alam liar


yang tinggi dalam waktu akan datang. Di Kebun Raya Bogor
ini sendiri, terdapat koleksi pohon meranti lebih dari satu
jenis, tetapi untuk yang tumbuh besar hanya beberapa saja.

Hal tersebut tentu menjadi keresahan bagi kita semua jikalau


pohon meranti yang tumbuh cukup besar ini harus musnah
dan terlupakan.

Oleh sebab itu, sebagai generasi penerus bangsa yang kelak


akan melanjutkan tongkat estafet dalam menjaga keutuhan
dan kelestarian sumber daya alam (SDA) yang dimiliki
Indonesia, sudah sepatutnya kita ikut berperan aktif dalam
menggalakan suatu ajakan-ajakan untuk tidak melupakan
betapa banyak flora yang hampir punah tetapi tidak disadari
oleh masyarakat Indonesia.

Jadi, sebagai generasi muda, mari kita sadari dan mulai


95 memikirkan nasib dari hal-hal yang menjadi hak bagian
cucu kita untuk bisa melihat dan menikmati berbagai jenis
flora di Indonesia. n
MERSAWA DAN
DAMAR MATA KUCING:
PRIMADONA LANGKA
CAGAR ALAM
LEUWEUNG SANCANG
AFRI IRAWAN

Indonesia terkenal kaya akan keanekaragaman hayati. Flora


dan fauna merupakan salah satu komponen pendukungnya,
yang menjadikan ekosistem di memiliki tingkat
keanekaragaman jenis yang tinggi.

Wilayah Indonesia yang terbentang dari ujung timur hingga


ujung barat memiliki sifat geografis maupun ekologis yang
berbeda, hal ini menyebabkan setiap wilayah di Indonesia
memiliki kekhasan flora maupun faunanya.

Cagar Alam Leuweung Sancang merupakan kawasan kon­


servasi (baik flora maupun fauna) di habitat alaminya. Cagar
Alam Leuweung Sancang terletak di selatan Kabupaten
Garut, tepatnya di Desa Sancang, Kecamatan Cibalong.

Leuweung Sancang menjadi habitat alami bagi flora


96 mangrove (bakau), flora hutan pantai, dan flora hutan
dataran rendah, serta jenis-jenis burung, Reptil, Amfibi,
Primata, dan jenis Mamalia lainnya.
Flora atau tumbuhan merupakan komponen penting dalam
suatu ekosistem. Tumbuhan berperan sebagai produsen.
Produk dari produsen tersebut dalam bentuk bahan
makanan, bahan bangunan, bahan pakaian, menyediakan
oksigen untuk bernapas, serta sebagai cadangan karbon.

Anisoptera costata, lebih dikenal dengan nama lokal sebagai


mersawa, merupakan salah satu jenis pohon yang memiliki
kualitas kayu terbaik. Pohon ini termasuk ke dalam suku
Dipterocarpaceae (meranti-merantian).

Pohon mersawa tumbuh menjulang dengan batang yang


lurus. Pohon yang seperti ini sangat disukai oleh pihak yang
menggunakannya sebagai bahan bangunan. Pohon dengan
nilai ekonomi yang tinggi ini sangat diminati.

Permintaan pasar akan pohon mersawa yang tinggi, menye­


babkan ketersediaan di alam terus berkurang. Penggunaan
pohon tidak sesuai dengan laju pertumbuhan pohon yang
sangat lambat. Sehingga saat ini, pohon mersawa semakin
langka keberadaannya.

Anisoptera costata atau mersawa, tumbuh di Cagar Alam


Leuweung Sancang. Namun sejak adanya perambahan
liar, keberadaan pohon mersawa semakin berkurang. Jenis
meranti-merantian lainnya pun ikut berkurang, akibat
perambahan liar ini.

Misalnya pohon Dipterocarpus atau palahlar yang turut


serta menjadi incaran para perambah hutan. Tidak hanya
suku meranti-merantian yang menjadi sasaran penebangan,
termasuk juga Pterospermum javanicum (caruy), Alstonia
macrophylla (pulai), serta pohon-pohon lain yang memiliki
97 batang lurus.

Saat ini pohon mersawa yang tersisa dan masih tumbuh


di Leuweung Sancang cukup terancam kepunahan. Pohon
mersawa ditemukan tumbuh dekat perbatasan antara kebun
karet Mira-Mare dan Cagar Alam Leuweung Sancang.

Tumbuh berdampingan dengan Dipterocarpus. Oleh warga


setempat wilayah perkebunan tersebut diberi nama Blok
Meranti. Berdasarkan laporan salah satu polisi hutan di
Cagar Alam Leuweung Sancang, masih ada satu individu
pohon mersawa yang tumbuh didekat Sungai Cipangisikan
di blok Cikajayaan.

Jadi pohon mersawa yang tumbuh di Cagar Alam Leuweung


Sancang hanya tersisa dua individu pohon induk. Anakan
atau semai dari pohon mersawa sangat sulit ditemukan,
karena pohon ini jarang sekali berbuah, itulah sebabnya po­
hon ini sangat jarang. Pohon mersawa yang berada di kawas­­an
Cagar Alam ini dikeramatkan oleh penduduk sekitar.

Adanya tindakan pengeramatan oleh penduduk sekitar


ini cukup membantu pengawasan pohon tersebut untuk
tetap tumbuh di Leuweung Sancang. Sehingga dalam
beberapa waktu ke depan pohon ini akan tetap bertahan
keberadaannya.

Pohon lain yang masih termasuk ke dalam suku Dipterocarpaceae


adalah Shorea javanica. Pohon ini lebih dikenal dengan
sebutan pohon meranti atau damar mata kucing. Kata ”javanica”
yang melekat pada nama jenis pohon ini menandakan
bahwa pohon ini merupakan tumbuhan asli dari pulau jawa.
Dan memang benar adanya bahwa pohon ini ditemukan
tumbuh di Cagar Alam Leuweung Sancang. Pohon damar
mata kucing ini bernasib sama dengan pohon mersawa.

Pohon ini merupakan sisa-sisa penebangan liar pada


98 masanya. Pohon ini pun menjadi target penebangan karena
memiliki kualitas kayu yang sangat baik. Selain itu, pohon
damar mata kucing juga memiliki resin yang bisa dipanen.
Shorea javanica atau pohon damar mata kucing merupakan
pohon yang cukup langka di Leuweung Sancang. Berdasar­
kan hasil eksplorasi singkat pada akhir bulan April 2018,
pohon ini ditemukan tumbuh di dekat Sungai Cipalawah.

Hanya satu individu yang terekam di dekat sungai tersebut.


Di wilayah tepian Sungai Cipalawah juga ditemukan
beberapa individu Dipterocarpus retusus (palahlar) yang
memiliki semai yang cukup banyak. Namun pohon damar
mata kucing ini tidak memiliki semai atau anakan di
bawahnya.

Satu individu lagi ditemukan di dekat Sungai Sakad, dengan


substrat yang sedikit berbatu. Kedua individu pohon damar
mata kucing yang ditemukan ini memiliki diameter batang
yang lebih kecil dari jenis Dipterocarpaceae lainnya. Berbeda
dengan pohon palahlar yang ukuran diameternya cukup
besar mencapai 100 cm bahkan lebih.

Anisoptera costata dan juga Shorea javanica sangat sulit untuk


menemukan semai keduanya. Hal ini menjadi salah satu
penye­bab tumbuhan ini cukup langka. Pengawasan terhadap
primadona yang tumbuh di Cagar Alam Leuweung Sancang
ini harus selalu dilakukan.

Status konservasi berdasarkan IUCN Redlist untuk kedua


pohon ini adalah Endangered. Artinya kedua pohon
ini se­dang genting akan mengalami kepunahan. Status
Endangered ini ditambah lagi dengan keadaan populasinya
yang terus menurun.

Untuk itu, pelestarian hutan yang menjadi habitat kedua


pohon ini harus ditingkatkan. Perlu ditambah lagi personil
99 polisi hutan untuk mengawasinya, serta melibatkan mas­
yara­kat sekitar untuk tetap melestarikan pohon-pohon
tersebut. n
MR. ODORATA DAN
MR. LEPROSULA
MIRANDA BAHAR

Masyarakat pohon hidup hampir di seluruh benua, beda


tempat beda keluarga. Yang menetap seperti jenis odorata
(Hopea odorata) yang hidup di wilayah barat Pulau Papua
tepatnya Kabupaten Raja Ampat dan jenis leprosula (Shroea
leprosula) yang hidup di wilayah Tengah pulau Kalimantan
tepatnya di Kabupaten Murung Raya serta di wilayah pesisir
timur bagian tengah Pulau Sumatera Provinsi Jambi[1].

Saat ini, odorata hidup dengan status rawan (Vulnerable) dan


leprosula berstatus hampir terancam (Near Threatened) [2].

Status odorata dan leprosula akan semakin terancam bila


tidak segera ditindak lanjuti secara benar dan tepat. Odorata
dan leprosula berasal dari kerajaan Plantae, masyarakat
pohon dari keluarga besar Dipterocarpaceae (Dua Sayap).
Odorata dari marga Hopea dengan nama lain Merawan
dan leprosula dari marga Shorea dengan nama lain Tahan
Mahisap.

Sebutan dua sayap berasal dari kata latin di- (dua), ptero-
(sayap) dan carpa/carpus (buah) “Dipterocarpus” yang
berarti buah dengan dua sayap. Odorata dan leprosula
100 berasal dari keluarga dengan jumlah sayap buah bervariasi
tiap jenisnya, sayap buah yang panjang dari marga Hopea
dan Shorea terdiri dari 2 hingga 5 sayap.
Buah odorata memiliki dua sayap panjang (berukuran
sama), dan tiga sayap pendek. Kulit luar batang berwarna
kelabu-coklat atau coklat-hitam mengelupas, memiliki
getah (bening, putih, kuning sampai kuning tua) dan dapat
tumbuh setinggi 30-40 m.

Sedangkan buah leprosula memiliki tiga sayap panjang


(satu sayap kadang berukuran lebih panjang dan besar
dari dua sayap lainnya), dan dua sayap pendek. Kulit luar
batang berwarna kelabu-coklat yang mengelupas agak
besar dan tebal, kayu pohon berwarna kuning-coklat muda
sampai kemerah-merahan dan dapat tumbuh dengan tinggi
mencapai 60 m.

Saat ini, keberadaan odorata dan leprosula juga tersebar di


wilayah Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Selain itu
juga merupakan suku yang paling banyak hidup atau yang
paling mendominasi di wilayah ini, sehingga jenis odorata
dan leprosula terbilang penting karena jumlah sebarannya
yang banyak[3].

Untuk itu keberadaan keduanya harus dijaga agar tidak


mengganggu keseimbangan lingkungan hidup sekitar.
Menurunnya keberadaan odorata dan leprosula dapat
menyebabkan beberapa komponen hidup kerajaan lain
terganggu, seperti kerajaan Animalia dari jenis Pongo abelii
yang membutuhkan kedua jenis ini sebagai penyedia tempat
untuk mereka membuat sarang[3] .

Sebagian kecilnya lagi untuk penyedia pakan, seperti kera­


jaan manusia yang menggunakan odorata dan leprosula
serta jenis lain dari kerajaan Plantae untuk menjaga keters­
ediaan udara segar, air bersih, menjaga lingkungan hidup,
101 dan menciptakan lapangan kerja bagi individu mereka secara
khusus. Selain itu, bagi kerajaan mereka secara umum dari
hasil produksi kerajaan Plantae.
Tubuh mereka yang besar
mampu menaungi makhluk
kecil di bawahnya, mampu
menyimpan air untuk
ketersediaan air bersih dan
mencegah penggenangan air.

Keberadaan individu leprosula lebih banyak ditemukan


dari individu odorata saat kegiatan analisis jenis oleh salah
satu individu (Peneliti) dari kerajaan manusia di wilayah
TNGL. Odorata dan leprosula tumbuh kembang dengan
ketersediaan hara dan mineral yang ada (bangkai dan
kotoran hewan; serasah daun, ranting, cabang, buah, bunga,
dan batang; udara; dan air).

Odorata dan leprosula memiliki tubuh yang besar dan


rindang saat dewasa, keduanya dapat tumbuh besar dan
tinggi dalam waktu yang cukup lama, setiap tahunnya odorata
dan leprosula mengalami pelebaran tubuh (batang) lebih dari
1 cm, untuk pertambahan tinggi keduanya ber­langsung cepat
pada tahun pertama hingga menengah.

Setelah pertambahan tinggi keduanya melambat bahkan


sampai terhenti. Kekuatan bangsa kerajaan ini berada pada
akar yang setiap individunya miliki, pertumbuhan akar
kurang lebih 2-3 m ke dalam tanah (mengarah ke pusat
bumi) selebihnya akar menjalar,melebar ke arah vertikal.
102 Hal inilah yang mempengaruhi kekokohan bangsa kerajaan
ini untuk terus berdiri tegak dari ancaman kerajaan
Animalia dan alam.
Odorata dan leprosula tumbuh tinggi dan besar, kebutuhan
akan hara dan air akan semakin banyak, persaingan sehat di
lingkungan mereka kian meningkat, bukan siapa cepat dia
dapat, melainkan siapa kuat yang mampu bertahan dalam
kondisi tercekik untuk tetap hidup.

Tubuh mereka yang besar mampu menaungi makhluk kecil


di bawahnya, mampu menyimpan air untuk ketersediaan
air bersih dan mencegah penggenangan air dalam volume
kecil maupun besar (banjir), mencengkram tanah dengan
kuat untuk mencegah longsor, kemampuan menyerap polusi
yang lebih besar untuk kemudian memproduksi oksigen
lebih banyak bagi kehidupan banyak makhluk. Selain itu,
menyediakan makanan dari buah serta daunnya dan obat-
obatan dari daun, getah, kulit dan batangnya. Peran mulia
yang tak mampu diperankan oleh makhluk lainnya.

Hidup dengan jumlah individu banyak tidak menjamin


keberadaan jenis odorata dan leprosula tetap tersedia untuk
ke depannya.

Odorata menghasilkan getah dengan kualitas rendah dan


kayu yang dapat digunakan untuk banyak hal serta leprosula
yang memiliki kayu dengan kualitas baik untuk konstuksi
(bangunan).

Pemanfaatan beragam ini menjadikan keduanya sebagai


incaran nyata dengan batas kemampuan tumbuh yang lama
tentu menyebabkan keberadaan keduanya secara perlahan
akan berkurang bahkan habis.

Alam tempat hidup beragam kerajaan ini Tuhan ciptakan


sedemikian sempurna, sehingga secara sadar atau tidak
103 sadar semuanya berputar dalam lingkaran yang sama dan
saling mempengaruhi antara satu dan lainnya dengan
hukum sebab akibat.
Keadaan yang semuanya saling membutuhkan tanpa
keinginan lebih, sebab berlebihan pada satu sisi berakibatkan
kekurangan pada sisi lain dan ini tidak baik.

Berdasarkan rantai kebutuhan pangan untuk bertahan


hidup, kerajaan Plantae merupakan kerajaan penyedia
bahan mentah dan siap pakai yang sangat penting.

Kerajaan ini hanya meminta dan mengambil yang mereka


butuhkan, tidak lebih dan tidak kurang.

Tiap-tiap individu kerajaan tidak memiliki kemampuan


mengekspresikan kesakitan, menyuarakan penderitaan,
menyampaikan keinginan, serta tidak mampu menyerang
dan menghindari bahaya yang datang pada mereka.
Berserah, begitulah sebutan yang tepat untuk individu
kerajaan ini. Mereka unik dengan caranya, berbeda dengan
sederhana, memiliki prinsip hidup luarbiasa “Memberi
tanpa mengharap kembali”.

Sebab mereka mengingat pesan Tuhan, “Jadilah sebaik-baik


makhluk yang memberikan banyak manfaat untuk makhluk
lainnya”.

Odorata dan leprosula merupakan sebagian kecil dari sekian


banyak jenis kerajaan plantae yang saat ini keberadaannya
terancam turun (berkurang) bahkan sampai menghilang
(punah).

Karena manfaat yang mereka berikan tidak mereka umbar,


sehingga sebagian yang menerima tidak mengerti betapa
penting keberadaan mereka saat ini dan masa mendatang.

104 Keberadaan mereka mempengaruhi hidup makhluk lain,


tapi keberadaan makhluk lain tidak berpengaruh terhadap
hidup baik mereka. Odorata dan leprosula memberi sedikit
informasi penting berupa gambaran keadaan kerajaan
mereka yang kebanyakan dari beberapa jenis masyarakatnya
digunakan secara berlebihan sehingga keberadaan dari jenis
itu berkurang jumlahnya dan menjadi langka. n

SUMBER PUSTAKA
[1] Global Tree Campaign.
[2] International Union for Conservation of Nature (IUCN).
[3] Bahar M. 2018. Identifikasi Jenis Pohon Tempat Bersarang Orangutan
Sumatera (Pongo abelii) di Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser
[Skripsi]. Repository USU.

105
POHON BARANGAN
THORIQ ALFATH F AHSANUL HUSNA

Castanopsis argentea atau bisa disebut juga pohon barangan


ialah salah satu tumbuhan tipe berkayu yang hidup pada
kawasan hutan-hutan Gamaran. Pohon ini termasuk dalam
keluarga Fagaceae. Castanopsis argentea masuk ke dalam
tumbuhan dengan tipe berkayu yang memiliki struktur kayu
yang kokoh.

Penyebaran dari pohon C. argentea secara alami berada di


hutan primer atau sekunder tua, dan tumbuh pada daerah
tanah kering yang subur. Pohon ini tersebar hampir di
seluruh pulau-pulau di Indonesia. Pohon ini termasuk
pohon yang digemari oleh hewan-hewan seperti burung,
mamalia kecil dan mamalia besar sebagai tempat bernaung.

Pohon ini juga memiliki kanopi yang tidak terlalu rapat


sehingga dapat menunjang kehidupan ekosistem di
sekitarnya (Heriyanto et al., 2007). Menurut Prawira (1990),
ciri khas dari spesies pohon Castanopsis argentea terletak
pada organ vegetasinya yaitu bila daun dilipat maka akan
terlihat garis lilin berwarna putih memanjang pada bagian
daun di sebelah atas.

Pohon Barangan atau saninten ini memiliki beberapa siklus


di mana pohon ini berbunga pada bulan Agustus hingga
bulan Oktober dan berbuah pada bulan November hingga
106 bulan Februari (Van Steenis 1972, Martawijaya 1989).

Pohon tipe berkayu ini memiliki tinggi kurang lebih 40


meter. Kulit pohon berwarna coklat gelap, dengan tekstur
pecah-pecah dan kasar yang membuat permukaan batang
tidak rata. Pada batang memiliki alur-alur memanjang yang
menonjol keluar.

Tipe daun pada pohon ini ialah daun tunggal yang tumbuh
berselang seling pada cabang batang utama. Daunnya memi­
liki tekstur licin berwarna hijau terang pada permukaan
atas daun, sedangkan pada bagian permukaan bawah daun
berwarna hijau pucat dan tipe daunnya lancip memanjang.

Menurut ahli botani, Van Steenis (1972) bagian daun penum­


pu (stipula) pada pohon ]ini ditumbuhi bulu yang lebat,
panjang daun berkisar antara 10-15 cm dan lebar 2-3 cm.

Pohon C. argentea ini memiliki bunga jantan tersusun dalam


bentuk untaian sepanjang lebih kurang 17 cm, sedangkan
bunga betina tumbuh menyendiri dengan panjang lebih
kurang 13 cm berwarna kuning keputihan.

Buah berangan ini mirip seperti buah rambutan, tetapi me­


miliki perbedaan pada permukaan buahnya. Buah berangan
ini memiliki duri yang panjang kira-kira berukuran 1cm.

Penyebaran pohon berangan ini meliputi Jawa, Sumatera,


Papua, Myanmar dan Malaysia (Heyne, 1987). Untuk
Indonesia sendiri, berangan ini banyak terdapat pada daerah
Sumatera, Jawa, dan Papua. Tutupan kanopi yang tidak
terlalu rapat berperan penting dalam ekosistem pegunungan.

Pohon Berangan ini memiliki banyak manfaat bagi masya­


rakat dan hewan-hewan di sekitarnya. Hewan-hewan
seperti burung, mamalia kecil, dan mamalia besar memiliki
hubungan erat dengan pohon ini sebagai tempat bernaung, dan
107 sumber pakan bagi mamalia besar (Heriyanto et al., 2007).

Biji Berangan sendiri dimanfaatkan oleh kelompok primata


dan mamalia besar sebagai sumber makanan. Masyarakat
setempat yang hidup berdampingan dengan pohon ini
menjadikan pohon ini sebagai sumber pakan dan juga
sebagai kebutuhan kayu perabotan dan kayu pertukangan.

Kayu yang kuat dan kokoh sangat dibutuhkan bagi


masyarakat untuk membuat bangunan. Bagi bahan
perabotan seperti furniture sendiri memiliki ciri khas
tersendiri. Masyarakat tidak hanya memanfaatkan kayunya
saja, biji yang ada pada buah juga dimanfaatkan untuk
dikonsumsi, yaitu bagian biji dari tanaman ini dapat
dimanfaatkan dan diolah sebagai bahan pangan dengan cara
direbus maupun dibakar (Van Steenis, 1972).

Dengan banyaknya manfaat pohon ini menjadikan pohon


itu sendiri menjadi spesies kunci pemilik potensi yang cukup
tinggi sebagai bahan pangan. Hewan-hewan yang memakan
biji dan juga masyarakat yang menjadikan buah sebagai bahan
pangan membuat penyebaran alami pohon berangan ini sulit.

Dengan maraknya pembukaan lahan yang akan dijadikan


sebagai lahan perkebunan juga akan membuat sulitnya
penyebaran dan bertahannya spesies ini. Berkelanjutanya
kegiatan tersebut dapat membuat spesies ini punah.

Minimnya pengetahuan dan informasi yang didapatkan


akan memicu kepunahan dari spesies ini. Pada saat sekarang
ini, masyarakat era milenial banyak yang tidak mengenali
pohon berangan ini.

Sedikit informasi yang diketahui oleh masyarakat tersebut.


Manfaat dari tanaman saninten menjadi salah satu alasan
pentingnya upaya perbanyakan tanaman saninten untuk
108 menunjang keberadaan dan kebutuhan akan jenis ini.

Perbanyakan secara generatif melalui permudaan alam


untuk jenis ini sulit dilakukan karena buahnya yang
Saat ini jumlahnya semakin
sedikit karena pertumbuhannya
yang lambat, pembalakan untuk
diambil kayunya dan sedikit
pemudaan alami.

disenangi satwa (Heriyanto et al., 2007). Selain itu, lamanya


pertumbuhan dan perkembangan tanaman kehutanan
menjadi alasan untuk ditemukannya teknik perbanyakan
secara vegetatif yang cepat dan menghasilkan individu
tanaman yang unggul.

Sebagai sumber bahan makanan, pohon ini perlu dibudida­


yakan, sedangkan penelitian mengenai ekologi dan populasi
saninten di alam belum banyak dilakukan. Untuk itu perlu
dilakukan penelitian terhadap penyebaran anakan saninten,
kondisi lingkungan dan keragaman jenis lain yang berasosiasi
dengan tumbuhan ini.

Namun saat ini jumlahnya semakin sedikit karena


pertumbuhannya yang lambat, pembalakan untuk diambil
kayunya dan sedikit pemudaan alami (P.57/Menhut).
Saninten merupakan salah satu pohon yang permudaan
alaminya sulit ditemukan karena populasinya sangat sedikit,
sementara itu buahnya disukai satwa liar dan masyarakat
lokal untuk dikonsumsi (Heriyanto et al. 2007).

Banyaknya penggunaan pada masyarakat terhadap dua


109 produk hutan tersebut, telah mendorong pemerintah
untuk melakukan upaya pengembangan yang bersifat tetap
menjaga kelestarian hutan.
Menurut data IUCN Redlist, C. argentea atau Barangan
ini berada pada status Endangered (Terancam Punah).
Penyebaran spesies pohon ini hanya berada pada Sumatera
dan Jawa dan Populasi spesies ini menurun setidaknya 50%
selama tiga dekade terakhir. Hal ini dipicu oleh tingginya
angka pembukaan lahan untuk pertanian di Indonesia.

Pada kepulauan Sumatera, pohon berangan ini telah


tidak ditemukan lagi pada daerah dataran rendah. Pohon
berangan ini dapat ditemukan pada wilayah cagar alam
dan di dataran tinggi. Jenis spesies ini pun merupakan
sebagai salah satu indigenous species berperan penting dalam
ekosistem pegunungan dengan tajuk yang lebar.

Bentuk upaya yang dilakukan pemerintah ialah dengan


diter­bitkannya peraturan Menteri Kehutanan Nomor:
P.57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi
Spesies Nasional 2008-2018. Melalui peraturan tersebut
pemerintah berupaya memperkenalkan potensi dari C.
argentea (Blume) A.DC atau saninten dan menjadikannya
sebagai yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan
dan dibudidayakan.

Dan upaya yang masyarakat dapat lakukan untuk melesta­


rikan tumbuhan langka yaitu dengan cara menjaga pohon
jenis ini dengan tidak menebang pohon jenis pohon ini sem­
barangan, jika sangat dibutuhkan masyarakat melakukan
tebang pilih artinya menebang dengan memilih ukuran dan usia
tumbuhan, penanaman kembali tanaman yang telah diman­­
faatkan atau peremajaan tanaman, pemeliharaan tanam­an de­
ngan benar, dan memanfaatkan jenis tanaman ini dengan tepat.

Adapun upaya dalam pelestarian C. argentea yaitu telah


110 dilakukan pada tahun 2015 dengan cara perbanyakan
saninten secara vegetatif melalui stek pucuk dengan
persentase stek hidup sebesar 92.78% dan stek berakar
sebesar 40.56% pada umur 45 hari. Namun upaya pelestarian
metode ini tidak memungkinkan karena terkendala adanya
penyakit jamur yang muncul di bagian pangkal stek pucuk
pada beberapa stek yang hidup.

Teknik perbanyakan vegetatif lainnya yang dapat dipilih


ialah perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan, dengan
keunggulan: (1) sifat genetik yang sama dengan pohon
induknya, (2) dapat diperbanyak dalam skala besar, dan (3)
waktu relatif singkat (Sulistiani dan Yani 2012).

Perbanyakan saninten secara in vitro belum pernah


dilaporkan. Lestari (2008) menyatakan keberhasilan
tanaman melalui teknik kultur jaringan dipengaruhi oleh
keberadaan zat pengatur tumbuh (ZPT). n

SUMBER PUSTAKA

Herbarium ANDA. Universitas Andalas. Padang. Sumatera Barat.


Heriyanto NM, Sawitri R, Subandinata D. 2007. Kajian ekologi permudaan
saninten (Castanopsis argentea (Bl) A.DC.) di Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango, Jawa Barat. Buletin Plasma Nutfah 13 (1):34-42.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Terjemahan.
Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta. hlm. 535-537.
http://www.iucnredlist.org/search (2018)
Lestari EG. 2008. Kultur Jaringan: Menjawab Persoalan Pemenuhan
Kebutuhan akan Peningkatan Kualitas Bibit Unggul dan Perbanyakan secara
besar-besaran.Bogor (ID): Penerbit Akademia.
Martawijaya, A. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor. hlm. 13-15.
Prawira, R.S.A. 1990. Organografi dan terminologi tumbuhan. Pengenalan
suku dan marga penting. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan,
Bogor. hlm. 10.
Sulistiani E, Yani SA. 2012. Produksi bibit tanaman dengan menggunakan
111 teknik kultur jaringan. Bogor (ID): SEAMEO BIOTROP.
Van Steenis, C.G.G.J. 1972. Flora Malaysiana. Director of the
Foundation Published by Voordhaff International Puleleyzen the
Netherlands. I(7):311-312.
POHON BULIAN YANG
SEMAKIN MENURUN
DI MUARA BELIAN
RIKHA HANISYAH

Di Jambi, bulian (Eusideroxylon zwageri T.et B.) masih bisa


ditemukan di daerah Muara Bulian Batanghari walaupun
dulu ada di beberapa Kabupaten Jambi.

Di sini nama daerahnya saja sudah sangat unik, bulian


berarti kita sebagai pembaca beranggapan bulian sangatlah
banyak jumlahnya di daerah Bulian. Akan tetapi, pada
kenyataan di lapangan jumlah bulian yang menciri khaskan
habitat bulian di situ bisa dihitung jumlah dan jenisnya tidak
bervariasi lagi, melainkan perkebunan masyarakat yang
diisi dengan sawit dan kebun karet, walaupun sudah sangat
banyak usaha dari pihak yang ingin memperbaiki hingga
saat ini belum ada hasil pasti.

Menurut pendapat saya, bulian akan punah untuk ke depan­


nya. Akan tetapi, usaha dari pihak yang ingin memper­baiki­
nya harus tetap diapresiasikan. Walaupun sangat banyak
kendala yang dialami mulai dari konflik dengan masya­rakat
ditambah dengan masalah benih, persemaian, perawatan,
pemindahan bibit di lapangan, penanaman, perawatan
setelah ditanam hingga kepemanenan pihak rehabilitasi dan
112 konservasi tumbuhan selalu mengalami kendala.

Pohon bulian (Eusideroxylon zwageri T.et B), menurut


saya, pohon yang sangat unik dan perlu dilindungi dan
diperbanyak agar tidak masuk lagi dalam daftar tumbuhan
yang terancam punah.

Bulian adalah pohon asli Indonesia yang masuk dalam kayu


kelas awet I dan kayu mewah. Di Indonesia, pohon bulian
di Indonesia hanya ditemukan di Kalimantan dan Sumatera
bagian Selatan. Dalam pasar perdagangan, kayu bulian bisa
menjadi penghasil yang bisa meningkatkan pendapatan
Pemerintah. Dari keseharian dan pengalaman saya di dalam
lingkungan, sebaiknya ada komunitas pencinta pohon
langka agar keberadaan pohon bulian bisa dilindungi dan
pohon-pohon induk bisa menjadi penghasil benih dan bisa
memperbanyak bibit untuk ke depannya.

Bulian adalah jenis pohon yang perawatannya harus baik


tidak seperti tumbuhan lainnya dan merupakan Kayu
Besi yang sangat tahan terhadap serangan rayap, cahaya
matahari dan air hujan hingga puluhan tahun. Sebelumnya
saya pernah bertemu dengan pohon bulian yang berukuran
mencapai 40 cm. Sedangkan untuk ukuran 120 cm saya
belum menemukannya untuk saat ini. Bulian merupakan
sasaran para perambah hutan karena nilai jual yang sangat
tinggi. Oleh karena itu, wajar bulian termasuk dalam
daftar pohon terancam punah, selama puluhan tahun para
perambah hutan merajalela bagaikan raja hanya memilih
jenis pohon yang tahan lama dan bernilai jual tinggi.

Dalam lingkungan saya sendiri, saya merasa miris pohon yang


menjadi ciri khas daerah tidak dapat ditemukan lagi karena
kecerobohan kita semua. Dalam kasus ini kita tidak bisa me­
nyalahkan satu pihak saja, dari informasi yang saya dengar
tentang kepunahan pohon bulian, dan pengalaman yang saya
113 lewati bulian ini sebenarnya membuat saya menangis.

Pohon ini bukan hanya yang berdiameter siap panen saja


yang diambil untuk dijual, tetapi yang berukuran muda
sudah diambil karena permintaan pasar yang sangat tinggi.
Sehingga harapan untuk menjadi induk atau penghasil
benih untuk tahun berikutnya tidak ada lagi. Menurut saya,
pada 2025, kayu bulian tidak akan ditemukan di Indonesia.
Eksploitasi penebangan kayu yang tidak terkontrol di masa
lalu dan ditambah kebakaran 2015 membuat populasi Pohon
Ulin dan pohon lainnya menurun drastis.

Apalagi permintaan pasar yang tinggi, jadi para perambah


hutan baik yang dapat izin maupun tidak dapat izin
menebang kayu yang relatif muda, tanpa kita sadari untuk
menyemai Pohon Ulin siap panen membutuhkan waktu
puluhan tahun.

Saya tidak tahu pohon bulian ini seperti apa ke depan?


Mungkinkah seperti teknologi pembudi-dayaan beberapa
jenis tumbuhan yang telah maju pesat, sehingga tidak butuh
waktu lama untuk proses pembibitan, perawatan hingga ke
pemanenan, seperti jenis pohon jati dan lainnya.

Pada saat ini saya belum mendapatkan informasi tentang


kemajuan pembudidayaan pohon bulian agar cepat tumbuh
dan cepat di panen. Walaupun ada dari sebagian wilayah
di Kalimantan, usaha untuk pembudidayaan pohon bulian
tetapi dengan keterbatasan pohon bulian yang ada di Indonesia
tidak akan bisa seimbang, karena di antara bulian dan Jati
karakteristik jenis pembudidayaannya sangat jauh berbeda.

Sehingga menurut saya, cara yang paling efesien adalah


melarang jual beli pohon bulian, dan yang merambah pohon
ini mendapat sanksi agar para pelaku penebang pohon ini
lebih waspada dan memikirkan risiko atas tindakan yang di
114 lakukan nantinya.

Saya tidak terlalu membahas tenang cara membudidayakan


pohon bulian karena di sini saya juga masih belajar. Namun,
Bukan hanya yang berdiameter
siap panen saja yang diambil
untuk dijual, tetapi yang
berukuran muda sudah diambil
karena permintaan pasar yang
sangat tinggi. Sehingga harapan
untuk menjadi induk atau
penghasil benih untuk tahun
berikutnya tidak ada lagi.

dari yang saya lihat di pembibitan di universitas, pembibitan


pohon bulian sangat sulit untuk proses pemeliharaan
benih, persemaian perawatannya dan penanaman sehingga
Jenis ini terancam punah karena susah dikembangbiakan
ditambah rendahnya regenerasi.

Saya mengambil contoh daerah tempat tinggal saya


sekarang Jambi. Secara sosial dapat dikatakan kebanggaan
masyarakat Jambi, seluruh masyarakat Jambi tidak ada yang
tidak mengenal bulian, kayu yang begitu penting yang bisa
mengangkat perekonomian sehingga tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat Jambi.

Kondisi dan status pohon bulian di Jambi sangat miris


akibat pembalakan dan pembukaan lahan untuk
perkebunan dan pertanian terjadi sangat begitu luas di
dataran rendah di bagian timur Bukit Barisan.

115 Ditambah akibat kebakaran yang ada di Jambi pada 2015 se­
hingga kebanyakan tegakan bulian yang ada di Jambi hancur
dan terbakar ditambah ladang berpindah, pembangunan
infrastruktur sehingga terjadi kepunahan bulian akibat
eksploitasi. Ini membuat pohon bulian sudah termasuk
dalam spesies daftar merah spesies terancam punah.

Dari kejadian ini tentu saja mendapat perhatian


untuk segera dilakukan upaya penanggulanan atau
penyelamatan melalui konservasi.

Dari kejadian di atas pemerintah, dan masyarakat Jambi


sudah merasa kehilangan tumbuhan yang dibanggakan.
Pemerintahan mengupayakan hal yang harus dilakukan
agar tidak punah yaitu pemerintah daerah Jambi
mengeluarkan PP nomor 522.12/760/pp tanggal 25 Januari
1989 keputusan dibuat agar spesies bulian ini merupakan
yang di lindungi di Jambi dan melarang penebangan kayu
bulian di daerah Jambi.

Pada 1995, Gubernur Jambi mengeluarkan surat edaran


yang berisi aturan distibusi dan perdagangan kayu bulian di
Jambi. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 54/kpts/
UM/2/1972, menyatakan bulian termasuk yang dilindungi di
Indonesia sehingga penebangan hanya dapat dilakukan jika
pohon telah mencapai diameter setinggi dada 60 cm.

Pemerintah Indonesia juga sudah mengeluarkan larangan


ekspor untuk kayu jenis bulian dan juga merupakan spesies
prioritas yang harus dilestarikan di Indonesia.

Inilah menariknya Indonesia, peraturan sudah ada tetapi


tingkat kepunahan semakin meningkat dan pembalakan
tidak pernah bisa dihentikan dan dihindari, yang lebih
menariknya masyarakat di sekitar hutan yang membuka
lahan hutan tidak pernah meningkat perekonomiannya.

116 Lalu sebenarnya yang menyebabkan masyarakat ingin mene­


bang jenis bulian dan merambah hutan untuk apa, jika tidak
bisa meningkatkan perekonomian masyarakat. n
117
Hutan dataran rendah di Raja Ampat
yang masih belum tersentuh
(Foto : Yanuar Ishaq Dc)
POHON GAHARU
TUMBUHAN ASLI
INDONESIA YANG
TERANCAM PUNAH
DEVI CAHYANI, ADI WIJAYA, ANDI PURNOMO

Pohon Gaharu memiliki daun yang berbentuk lonjong me­


manjang dengan panjang 5-8 cm dan lebar 3-4 cm serta
bagian ujung daun runcing dengan permukaan daun meng­
kilap. Bunga pada pohon ini berwarna hijau atau kuning
yang terletak pada bagian atas atau bawah ketiak daun.

Biji pohon ini berbentuk bulat dengan rambut-rambut halus


berwarna merah serta buah yang dihasilkan berbentuk bulat
telur, dan batang pohon ini berkayu keras dengan diameter
rata-rata 40-60 cm yang mencapai ketinggian hingga 40 m.
Habitat pohon ini berada di hutan primer dataran rendah
hingga daerah dataran tinggi dengan ketinggian 900 m di
atas permukaan laut.

Namun, sebagian tanaman ini berada pada daerah dengan


ketinggian 400-800 m. Pohon ini dapat tumbuh di tanah
yang memiliki cukup unsur hara, pori-pori tanah cukup
baik, tekstur tanah yang proporsional, memiliki tingkat
aerase tanah yang baik, keadaan tanah yang gembur, pH
118 tanah yang tidak terlalu asam atau basa dan dekat dengan
sumber air. Usia panen pada pohon ini berkisar antara
kurun waktu 5-10 tahun.
Selain sebagai bahan baku kayu, pohon ini juga
dimanfaatkan sebagai parfum atau aksesoris, obat untuk
terapi penyakit tertentu, bahan penambah bahan di shampo
dan kosmetik, bahan baku tasbih. Dapat juga digunakan
dalam ritual adat tertentu seperti membakar dupa,
aromanya juga digunakan sebagai antidepresan hingga dapat
digunakan dalam bidang kesehatan seperti meringankan
penyakit hipertensi, sesak napas, masuk angin, kembung,
ginjal, diare, sembelit, kanker, tumor dan sebagai antibiotik.

Terdapat 6 spesies pohon gaharu yang tersebar di Indonesia


secara alami yaitu di pulau Kalimantan, Papua, Sulawesi, dan
Sumatra.

Pohon yang terbilang berkelas ini tentunya memiliki harga


yang beragam, mulai dari harga yang terendah hingga yang
tertinggi. Harga terendah untuk 1 kg pohon gaharu menca­
pai Rp300.000. Sedangkan, harga tertinggi dapat mencapai
lebih dari Rp100.000.000. Di pasaran untuk harga 1 kg
pohon ini berkisar antara Rp10.000.000-Rp 35.000.000.

Pohon gaharu dikatakan sebagai pohon yang memiliki harga


berkelas di dunia, ini dikarenakan berdasarkan ilmu ekonomi,
suatu produk mempunyai harga yang tinggi akibat adanya
permintaan yang tinggi sedangkan produk yang ada terbatas.
Sama halnya dengan pohon ini yang keberadaannya sudah
jarang ditemukan, tetapi memiliki daya guna yang tinggi
sehingga menarik daya beli konsumen untuk memilikinya.

Status kelangkaan dari pohon gaharu akibat maraknya


pemanfaatan kayu itu sendiri. Pada tanggal 2-14 Oktober
2004 Kongres CITES (Convention On International Trade In
119 Endangered Species) ke-13 di Bangkok Thailand menyatakan
bahwa beberapa jenis tanaman gaharu saat ini digolongan
kedalam jenis tanaman yang hampir punah oleh APPENDIX
Berkurangnya populasi dari
spesies ini cukup pesat, hal ini
dikarenakan ketidakmampuan
para petani gaharu dalam
mengenali apakah pohon
tersebut mengandung minyak
atau tidak.

II. Untuk itu, perlunya membatasi ekspor gaharu yang


diambil dari hutan alam pada jumlah tertentu khususnya
untuk jenis Aqualaria mallacensis, Aqualaria filaria (Papua)
dan Grynops spp.

Berdasarkan IUCN Redlist, jenis-jenis pohon gaharu lain


yang status kerentanannya terancam punah adalah Aquilaria
beccariana yang berada di pulau Kalimantan dan Sumatera,
Aquilaria cuminii berada di pulau Halmahera dan Morotai
di Malaku, Aquilaria hirta berada pada pulau Sumatera, dan
Aquilaria microcarpa di pulau Kalimantan dan Sumatera.
Biasanya jenis kayu gaharu yang berkualitas baik dihasilkan
oleh spesies Aqualaria malacensis.

Berkurangnya populasi dari spesies ini cukup pesat, hal ini


dikarenakan ketidakmampuan para petani gaharu dalam
mengenali apakah pohon tersebut mengandung minyak
atau tidak. Sehingga, para petani langsung menebang semua
pohon-pohon yang tidak mengandung minyak sekali pun.

Secara umum pohon gaharu yang tumbuh alami di hutan


120 berkualitas lebih tinggi dari pohon gaharu yang dibudi­
dayakan. Karena potensi harga yang sangat tinggi, eksploitasi
gaharu alam dilakukan tanpa mengindahkan kelestariannya.
Oleh karena itu, pemerintah menetapkan bahwa pohon
gaharu merupakan pohon yang terancam punah. Karena
harga jualnya yang tinggi seperti yang telah dijelaskan di
atas, ini berarti memberikan peluang bagi kita semua apabila
berhasil membudidayakannya, selain dapat menyelamatkan
populasinya yang terancam punah, di sisi lain juga dapat
menambah nilai ekonomis bagi para petani gaharu dan
menjadikannya sebagai peluang bisnis yang menjanjikan.

Apa akibatnya jika pohon gaharu tidak dibudidayakan


dan ditebang secara terus menerus? Hal ini berakibat pada
ketersediaan pohon gaharu yang secara terus-menerus akan
habis. Selain itu, juga dapat berdampak buruk terhadap
keanekaragaman hayati. Lalu bagaimana akibatnya jika kita
membudidayakan dan melindungi pohon gaharu? Tentu saja
dengan membudidayakan dan melindunginya, kelestarian
pohon gaharu akan terjaga dan lebih menambah nilai
ekonomi bagi para petani gaharu. n

121
POHON LANGKA
BERKAYU BESI
DWI SUSILOWARDANI

Pohon ulin/bulian/belian merupakan salah satu jenis


tumbuhan dari famili Lauraceae (medang-medangan). Pohon
ulin merupakan jenis tumbuhan asli Pulau Kalimantan,
Indonesia. Pohon ulin memiliki kualitas kayu yang
sangat baik, tahan terhadap serangan rayap, dan mudah
menyesuaikan diri (adaptif) dengan kondisi lingkungan.

Karena karakter kayunya yang sangat keras, pohon ulin


dijuluki pohon besi (iron wood). Harga kayu ulin tiga kali lipat
lebih mahal dari kayu jati. Karakter kayu ulin dan kualitasnya
yang sangat baik serta harganya yang mahal memicu
tingginya permintaan pasar terhadap kayu ulin.

Kondisi tersebut membuat eksploitasi kayu ulin secara besar-


besaran terus dilakukan. Eksploitasi kayu ulin yang berlebihan
tanpa disertai upaya penanaman kembali berdampak pada
penurunan jumlah populasi kayu ulin di Indonesia.

Selain eksploitasi, menurut laporan World Wildlilfe


Fund (WWF) tahun 2011 penurunan populasi ulin juga
dipengaruhi oleh kerusakan habitat ulin akibat adanya
konversi hutan menjadi areal budidaya tanaman pertanian.
122
Karena jumlah populasi pohon ulin terus berkurang,
International Union for Conservation of Nature and Natural
Resources (IUCN) mengategorikan pohon ulin sebagai jenis
tumbuhan yang rawan kepunahan (vulnerable).

Nama pohon ulin juga tercantum pada daftar tanaman yang


dilindungi menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018. Jika
perusakan habitat ulin dan eksploitasi besar-besaran gencar
dilakukan maka pohon ulin dapat mengalami kepunahan
dimasa yang akan datang.

Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya untuk mening­


katkan kepedulian masyarakat terhadap keberadaan jenis
tumbuhan langka dan hampir punah tersebut. Karya tulis
ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis dan
memperkaya referensi tulisan tentang tumbuhan langka,
terancam punah, dan endemik (LTE) khususnya pada jenis
ulin (Eusideroxylon zwageri).

Sebaran alami pohon ulin meliputi seluruh Pulau Kalimantan


bahkan hingga Serawak dan Brunei. Di Pulau Sumatra pohon
ulin ditemukan di wilayah Palembang, Bangka Belitung,
Lampung, Jambi, Sumatra Barat, Bengkulu, dan Riau. Selain
di Indonesia, ulin dapat ditemukan hanya di beberapa negara
saja seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand.

Pohon ulin tumbuh di hutan dataran rendah dengan


ketinggian ±500 mdpl, di sepanjang aliran sungai, di sekitar
perbukitan, dan area-area yang berpasir dengan drainase yang
baik. Anakan alami pohon ulin banyak ditemukan pada area
yang ternaungi, sedangkan tumbuhan dewasanya mudah
dijumpai pada area yang lebih terbuka.

Batang ulin berwarna kelabu muda, lurus, dan bebanir.


123 Pohon ulin dapat mencapai tinggi ±40-50 meter dan diameter
hingga 2,2 meter. Penambahan ukuran diameter kayu ulin per
tahunya sangat kecil yaitu 0,8 mm dan waktu berkecambah
yang cukup lama yaitu 6-12 bulan. Ulin memiliki tajuk yang
lebat dengan bentuk yang membulat.

Susunan daun ulin tersebar, daun berbentuk lonjong, dan


ujung daun meruncing dengan pangkal daun membulat.
Daun muda berwarna kemerahan. Bagian adaksial
(permukaan atas) daun licin sedangkan bagian abaksial
(permukaan bawah) berbulu halus.

Bunga ulin berukuran sangat kecil (±1mm) dengan


warna hijau kekuningan dan harum. Pohon akan berbuah
pada umur 15-20 tahun. Buah ulin memiliki bentuk
bulat hingga oval. Kayu ulin merupakan salah satu kayu
kebanggaan masyarakat Jambi. Pohon ulin begitu penting
bagi kehidupan masyarakat Jambi baik dalam aspek sosial,
ekonomi, maupun budaya. Sedangkan bagi masyarakat
dayak di Kalimantan pohon ulin merupakan pohon keramat
(sacred tree). Mereka menganggap bahwa pohon ulin
merupakan rumah dari roh leluhur sehingga tidak akan
dibiarkan rusak atau ditebang sembarangan.

Pada tahun 2017 lalu tepatnya pada bulan Maret, Indonesia


kedatangan tamu istimewa yaitu Raja Salman beserta
rombongan dari kerajaan Arab Saudi. Maksud kedatangan
Raja Salman tersebut adalah melakukan pertemuan bersama
Presiden Joko Widodo dan para ulama di Indonesia.

Setelah agenda tersebut selesai, Presiden Joko Widodo


mengajak Raja Salman untuk menanam bibit pohon di
sekitar Istana Merdeka, Jakarta. Presiden Joko Widodo
memilih secara langsung jenis pohon yang akan ditanam.
Uniknya, bibit pohon yang dipilih oleh Presiden adalah bibit
124 pohon ulin (Eusideroxylon zwageri).

Presiden Joko Widodo memilih pohon ulin karena


pohon ulin memiliki kayu yang sangat kuat dan keras
seperti besi. Harapannya agar hubungan kerja sama dan
persahabatan antara keduanya pun kuat seperti kayu
ulin. Selain memiliki nilai ekonomi dan manfaat bagi
lingkungan, ternyata pohon juga dapat menjadi simbol
yang mengandung makna atau filosofi tertentu.

Indonesia sebagai negara yang memiliki keanekaragaman


flora dan fauna yang tinggi menyimpan banyak keunikan.
Salah satunya yaitu pohon ulin terbesar di dunia yang ada
di Taman Nasional Kutai (TNK), Kalimantan Timur. Pohon
ulin tersebut memiliki diameter sebesar 2,47 meter dan
diperkirakan sudah berusia seribu tahun.

Pohon tersebut masih berdiri kokoh dengan tinggi sekitar


20 meter. Pohon ulin tersebut pertama kali ditemukan oleh
seorang penjaga hutan TNK pada tahun 1993 silam. Saat
ditemukan pohon ulin masih berdiameter 2,41 meter dan
tinggi 20 meter. Pohon ulin terbesar di dunia tersebut juga
telah dijadikan ikon Taman Nasional Kutai.

Pohon ulin telah dikonservasi secara ex situ di Kebun Raya


Bogor (KRB) sehingga tetap dapat dijumpai meskipun
berada di luar habitat alaminya. Pengawetan pohon ulin di
KRB merupakan salah satu upaya dalam rangka mencegah
degradasi keanekaragaman tumbuhan di Indonesia.

Selain tujuan pengawetan, konservasi tumbuhan secara


ex situ juga bermanfaat sebagai sarana penelitian dan
pendidikan. Saat ini kayu ulin tergolong ke dalam kayu
yang langka dan terancam punah. Hal ini juga dipicu oleh
lambatnya pertumbuhan dan keberhasilan perkecambahan
biji ulin yang rendah. Oleh karena itu, generasi penerus
harus memiliki tekad untuk mengupayakan pelestarian kayu
125 ulin dan habitatnya agar kayu ulin dan tumbuhan langka
lainya tetap dapat dijumpai dan dipelajari oleh generasi
dimasa yang akan datang. Salam lestari! n
POHON ULIN
(EUSIDEROXYLON ZWAGERI)

HARY PRAKASA, EKO PRASETYA

Ulin (Eusideroxylon zwageri ) atau sering disebut kayu belian


merupakan pohon kayu asli Indonesia khas Kalimantan.
Namun Pulau Borneo itu bukan pemilik tunggal, sebab
penyebaranya mencapai Sumatera bagian timur dan selatan,
Kepulauan Sulu, hingga Pulau Palawan di Philipina.

Tergolong suku tanaman Lauraceae, pohon ulin termasuk


pohon besar berdiameter hingga 120 cm, tingginya dapat
menjulang hingga 50 meter. Merupakan jenis pohon yang
tumbuh subur di dataran rendah, ulin tumbuh terpencar
pada medan datar sampai miring, di ketinggian 5-400 mdpl.

Meski tahan terhadap perubahan kondisi lingkungan


tempat dia, dan tak mudah terpengaruh oleh perubahan
suhu, kelembaban, dan pengaruh air laut. Namun Ulin tak
suka habitat basah seperti rawa-rawa. Kayu dengan sifat
fisik yang sangat berat dan keras ini, lebih suka berada di
hutan campuran.

Banyaknya kegunaan ulin, karena ia sangat kuat, awet,


tahan terhadap serangan rayap maupun serangga penggerek
batang. Saking kuatnya, ia tergolong kayu yang sukar dipaku
dan digergaji, tapi mudah dibelah.
126
Contoh pemanfaatan dari kayu ulin adalah untuk fondasi
bangunan, bahkan di dalam air dan lahan basah. Juga
sebagai atap rumah (sirap), selain kusen dan pintu.
Berdasarkan sifat-sifat vegetatif maupun sifat generatif
terutama pada bentuk dan ukuran buah maupun
bijinya, membuat Ulin memiliki keragaman morfologi
yang sangat tinggi.

Di Banjarmasin, fosil kayu ulin biasa dijadikan batu cincin


dan perhiasan. Sedangkan masyarakat di Kalimantan dan
Sumatera, menggunakan kayu ulin sebagai bahan untuk
membuat rumah panggung.

Sesuai hukum ekonomi: tingginya minat masyarakat


membuat permintaan terhadap kayu ulin kian meningkat.
Di sisi lain, seiring lajunya pertambahan penduduk,
berimbas pada pesatnya pembangunan gedung dan
perumahan.

Kondisi ini mengancam kelestarian pohon ulin, yang selama


ini sumber bahan bakunya hanya diambil dari hutan alam,
tanpa memperhatikan kelestariannya. Potensi kayu ulin pada
awalnya cukup besar dan mudah ditemui di hutan. Namun
kini, jumlah Ulin semakin menipis, bahkan tergolong langka
dan sulit ditemukan.

Pembibitan dan penanaman, baik in situ maupun ex situ


telah dilakukan di beberapa daerah di Kalimantan dan
Sumatera. Salah satunya terdapat di arboretum pusat
penelitian dan pengembangan hutan dan konservasi
alam Bogor, dan di Hutan Penelitian Sumberweringin,
Bondowoso Jawa Timur. n

127
POHON ULIN YANG
TERANCAM PUNAH
DEWI YULI YANA, MUSLIMIN

Pohon ulin merupakan jenis pohon asli Indonesia dan


tumbuh alami di Pulau Kalimantan. Selain tumbuh alami di
Pulau Kalimantan, penyebaran pohon ulin juga menjangkau
wilayah Pulau Sumatra bagian selatan, Sumatra bagian
timur, dan Kepulauan Bangka Belitung serta Pulau Sulawesi.
Selain di Indonesia, pohon ulin juga tumbuh di Kepulauan
Sulu dan Pulau Palawan di Filipina. Pohon Ulin juga dapat
ditemukan di Brunei Darussalam, Sabah, dan Serawak.

Ada berbagai nama daerah untuk Ulin, antara lain bulian,


bulian rambai, onglen (Sumatra Selatan), belian, tabulin,
telian, tulian, dan ulin (Kalimantan). Sedangkan berdasarkan
Botanis, ulin dinamakan Eusideroxylon zwageri Teijsm &
Binn dan digolongkan suku Lauraceae. Nama-nama botani
lain yang digunakan untuk ulin dan merupakan sinonim
adalah Eusideroxylon malagangai Sym. dan Eusideroxylon
borneense F. Villar, tetapi nama-nama ini kurang populer
dibandingkan nama ulin (Sidiyasa dan Juliaty, 2001).

Pohon ulin termasuk jenis pohon yang pertumbuhannya


lambat sehingga stok di alam lebih sedikit daripada
permintaan masyarakat terhadap kayu jenis ini. Kayu ulin
128 sangat diminati masyarakat karena sangat awet dan kuat
serta sangat cocok digunakan sebagai bahan bangunan.
Kayu ulin yang biasanya diperdagangkan merupakan kayu
ulin yang berasal dari pohon ulin di alam dengan usia
ratusan tahun. Akibat terus diperdagangkan, keberadaan
pohon ulin di alam semakin berkurang dan harga kayu ulin
di pasar sangat tinggi.

Kayu ulin merupakan jenis favorit untuk perdagangan


lokal maupun ekspor sebagai bahan bangunan maupun
furnitur yang bernilai tinggi karena termasuk dalam kelas
I untuk kekuatan dan keawetannya (Martawijaya et al.,
2005). Namun, karena eksploitasi yang tidak terkendali dan
tidak mempertimbangkan aspek kelestarian, jenis ini telah
mengalami penurunan populasi yang sangat mengkha­
watirkan sehingga dimasukkan dalam Jurnal WASIAN Vol.2
No.2 Tahun 2015:79-86 80 kategori vulnerable (VU A1cd+2cd
ver 2.3) oleh IUCN sejak tahun 1998 (IUCN, 2011).

Sifat pertumbuhan ulin yang sangat lambat menyebabkan


masyarakat enggan untuk melakukan budidaya tanaman
ulin sehingga satu-satunya sumber kayu ulin adalah dari
hutan alam. Oleh karena itu, konservasi sumber daya genetik
dan budidaya terhadap jenis ini perlu segera dilakukan
dalam rangka menyediakan materi genetik yang memiliki
sifat pertumbuhan yang lebih baik.

Ulin atau belian (Eusideroxylon zwageri) dikelompokkan ke


dalam suku Lauraceae, tumbuh dan hidup berpencar pada
hutan-hutan primer dataran rendah dan bercampur dengan
kelompok suku Dipterocarpaceae. Persebaran tumbuhan
ini meliputi Sumatera, Bangka, Belitung, Kalimantan, dan
kepulauan Sulu dan Palawa (Filipina) (Kostermants et al.,
2002). Di Kalimantan Timur, kayu ulin sudah dikenal sejak
dahulu sampai sekarang, banyak dimanfaatkan sebagai
129 bahan bangunan, perkapalan, lantai serta konstruksi rumah,
jembatan dan sebagainya. Karena kekuatannya kayu ini juga
disebut iron wood atau kayu besi.
Saat ini, permudaan pohon
ulin masih mengandalkan
cara alami, permudaan secara
buatan dalam skala besar
belum dilakukan. Tanaman
ini terancam kepunahan
karena eksploitasi habitatnya
yang berlebihan dan tanpa
diimbangi usaha peremajaan.

Saat ini pohon ulin terbesar ditemukan di Taman Nasional


Kutai, Kutai Timur, Kalimantan Timur dengan tinggi bebas
cabang mencapai 45 meter dan diameter pohonnya 225 cm.
Buah pohon ulin merupakan buah batu berbentuk elips
hingga bulat dan berbiji satu. Buah ulin memiliki panjang
7-16 cm dengan diameter 5-9 cm. Daging buahnya bergetah,
licin, dan bening. Di dalam satu buah ulin, terdapat satu
benih dengan panjang 5-15 cm dan diameternya 3-6 cm.
Kulit benih ulin sangat keras dan beralur berwarna cokelat
muda. Benih ulin ini memiliki berat yang bervariasai yaitu
antara 45–360 gr/butir.

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman


Hutan Yogyakarta telah melakukan serangkaian kegiatan
penelitian ulin untuk menyelamatkan keanekaragaman sum­
berdaya genetik dan pemuliaan ulin sejak tahun 2003. Hasil
130 analisis DNA ulin berdasarkan penanda RAPD menunjukkan
bahwa keragaman genetik di dalam populasi atau provenan
sangat tinggi (Sulistyawati et al., 2005; Rimbawanto et al.,
2006), sehingga memungkinkan untuk melakukan seleksi
gen dalam rangka optimalisasi dan maksimali­sasi perolehan
genetik dari sifat-sifat tertentu yang diinginkan.

Oleh karena itu, serangkaian kegiatan pemuliaan perlu


dila­kukan, salah satunya adalah dengan membangun uji
keturunan ulin di Bondowoso, Jawa Timur pada tahun 2008.
Plot uji keturunan ini akan memberikan informasi genetik
dari spesies ulin dan akan menyediakan benih dengan kualitas
genetik yang baik apabila dikonversi menjadi kebun benih.

Saat ini, permudaan pohon ulin masih mengandalkan


cara alami, permudaan secara buatan dalam skala besar
belum dilakukan. Tanaman ini terancam kepunahan karena
eksploitasi habitatnya yang berlebihan dan tanpa diimbangi
usaha peremajaan. Peremajaan hutan tanaman ini dapat
dilakukan secara generatif menggunakan bahan tanam
berupa benih maupun secara vegetatif dengan cangkok.

Kendala pada perbanyakan ulin dengan benih adalah


memerlukan waktu yang cukup lama yakni 4-6 bulan,
karena benihnya mempunyai kulit yang keras (Kostermants
et al., 2002). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ning
Wikan Utami salah seorang peneliti di LIPI. Ning meneliti
mengenai Perbanyakan Ulin (Eusideroxylon Zwageri T.Et.B)
dengan Bui dan Setek.

Pada penelitian tersebut didapatkan hasil perlakuan skarifi­kasi


dengan cara menghilangkan seluruh kulit benih menghasil­
kan perkecambahan terbaik yakni daya kecambah tertinggi
90%, mencapai 50% berkecambah paling cepat (10 MST)
dan nilai perkecambahan tertinggi 0,386. Bahan setek yang
diambil dari tanaman induk yang muda (seedling) lebih baik
131 daripada pohon yang lebih tua serta kombinasi perlakuan IBA
10 mg/1 dan vitamin C 50 mg/1 merupakan paduan terbaik
dan menghasilkan pertumbuhan setek paling baik.
Martawijaya et al. (1989) menyatakan bahwa kayu ulin
sangat kuat dan awet, dengan kelas kuat I dan kelas awet I,
berat jenis 1,04. Kayu ulin tahan terhadap serangan rayap
dan serangga penggerek batang, tahan akan perubahan
kelembaban dan suhu, serta tahan pula terhadap air laut.
Kayu ini sangat sukar dipaku dan digergaji tetapi mudah
dibelah. Ulin dapat digunakan sebagai bahan konstruksi
berat, rumah, lantai, tiang listrik dan telpon, perkapalan,
sirap, dan sebagainya.

Departemen Kehutanan (1992) menyatakan bahwa kayu ulin


ini merupakan salah satu jenis kayu mewah atau indah yang
masuk dalam daftar jenis pohon yang ditanam untuk berbagai
tujuan. Ulin dikenal memiliki pertumbuhan yang lambat,
sehingga untuk usaha komersial jenis ini kurang diminati.
Sementara besarnya minat masyarakat terhadap jenis ini
sangat besar, sehingga dikhawatirkan jenis ini akan musnah.

Status Konservasi

Ulin merupakan tanaman yang termasuk ke dalam kategori


IUCN 2.3 (International Union for Conservatian of Nature)
yaitu termasuk kategori rentan. Ulin juga termasuk ke dalam
daftar tanaman yang ada pada Apendiks II CITES (Conve on
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora) sehingga konservasi sumber daya genetik dan budidaya
terhadap jenis ini perlu segera dilakukan (Prastyono 2014).

Kayu ulin boleh diperdagangkan untuk lokal dan beberapa


ekspor selama management authority dari negara pengekspor
mengeluarkan izin ekspor berdasarkan saran scientific authority
yang telah mengadakan kajian dan menyimpulkan bahwa
132 perdagangan jenis tumbuhan ini tidak akan membahayakan
kelestariannya atau populasi pohon ulin di alam (Soehartono
dan Mardiastuti 2003 dalam Zumarlin 2011).
Status konservasi ulin juga dinyatakan dalam Peraturan Menteri
Pertanian N0. 54/Kpts/Um/2/1972 menyatakan bahwa ulin
termasuk spesies yang dilindungi dan penebangan pohon ulin
hanya diperbolehkan pada pohon yang berdiameter 60 cm.

Selain kedua peraturan tersebut, masyarakat adat di


beberapa daerah juga mengatur penggunaan dari kayu ulin
dan menjadikan pohon ulin sebagai bagian dari budaya serta
ritual tradisional masyarakat adat. n

SUMBER PUSTAKA

Departemen Kehutanan. 1992. Manual Kehutanan. Departemen Kehutanan


Republik Indonesia. Jakarta

IUCN. 2011. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2011.2. .


Downloaded on 16 December 2011.

Kostermans AJGH, Sunarno B, Martawijaya A dan Sudo S. 2002.


Eusideroxylon swageri Dal am: Sumber Daya Nabati Asia Tenggara No
5(1). Pohon Penghasil Kayu Perdagangan Utama.Soeranegara dan RHMJ
Lemmens (Ed). PT Balai Pustaka, Jakarta, 222-227.

Martawijaya A., I. Kartasujana, Y.I.Mandang, S.A.Prawira dan K. Kadir.


1989. Atlas Kayu Indonesia. Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan. Bogor

Prastyono. 2014. Variasi Pertumbuhan Pada Uji Provenan Ulin Di


Bondowoso. Jurnal Wana Benih. 15 (2): 73-80.

Rimbawanto, A., A.Y.P.B.C. Widyatmoko dan Harkingto. 2006. Keragaman


populasi E. zwageri Kalimantan Timur berdasarkan penanda RAPD. Jurnal
Pemuliaan Tanaman Hutan 3(3):193-200

Sidiyasa, K & N, Juliaty. 2001. Pelestarian Ulin; Aspek pemanfaatan,


Budidaya dan Konservasi. Makalah pada Lokakarya Pelestarian species flora
langka (ulin), Bapedalda Prop. Kalimantan Timur.

133 Sulistyawati, P., A.Y.P.B.C. Widyatmoko dan A. Rimbawanto. 2005. Studi


keragaman genetik empat populasi Eusideroxylon zwageri menggunakan
penanda RAPD dalam Peran Konservasi Sumber Daya Genetik, Pemuliaan
dan Silvikultur dalam Mendukung Rehabilitasi Hutan (Prosiding Seminar,
26 Mei 2005, Yogyakarta).
PRIMADONA
CAGAR ALAM
LEUWEUNG SANCANG
AFRI IRAWAN

Cagar Alam Leuweung Sancang merupakan kawasan kon­­ser­


vasi (baik flora maupun fauna) di habitat alaminya (in situ).
Cagar Alam ini terletak di selatan Kabupaten Garut, tepatnya
di Desa Sancang, Kecamatan Cibalong. Leuweung Sancang
menjadi habitat alami bagi flora mangrove (bakau), flora
hutan pantai, dan flora hutan dataran rendah, serta jenis-jenis
burung, reptil, amfibi, primata, dan jenis mamalia lainnya.

Anisoptera costata atau yang lebih dikenal dengan nama


mersawa, merupakan salah satu jenis pohon dengan kayu
terba­ik yang hidup di Cagar Alam Leuweung Sancang.
Pohon ini termasuk ke dalam suku Dipterocarpaceae
(meranti-merantian).

Pohon mersawa tumbuh menjulang dengan batang yang


lurus. Pohon yang seperti ini sangat disukai oleh pihak
yang menggunakannya sebagai bahan bangunan. Pohon
dengan nilai ekonomi yang tinggi ini sangat diminati.
Permintaan pasar akan mersawa yang tinggi, menyebabkan
ketersediaan di alam terus berkurang. Penggunaan pohon
134 tidak sesuai dengan laju pertumbuhan pohon yang sangat
lambat. Sehingga saat ini, pohon mersawa semakin langka
keberadaannya.
Sejak perambahan liar makin marak di Cagar Alam
Leuweung Sancang, keberadaan pohon mersawa semakin
berkurang. Jenis meranti-merantian lainnya pun ikut
berkurang, akibat perambahan liar ini. Misalnya pohon
Dipterocarpus atau Palahlar yang turut serta menjadi incaran
para perambah hutan. Tidak hanya suku meranti-merantian
yang menjadi sasaran penebangan, Pterospermum javanicum
(caruy), Alstonia macrophylla (pulai), serta pohon-pohon
lain yang memiliki batang lurus juga jadi korban.

Saat ini mersawa di Leuweung Sancang terancam punah.


Beberapa pohon mersawa masih ditemukan tumbuh dekat
perbatasan antara kebun karet Mira-Mare dan Cagar
Alam Leuweung Sancang. Tumbuh berdampingan dengan
Dipterocarpus. Oleh warga setempat wilayah perkebunan
tersebut diberi nama Blok Meranti.

Berdasarkan laporan salah satu polisi hutan di Cagar


Alam Leuweung Sancang, masih ada satu individu pohon
mersawa yang tumbuh di dekat Sungai Cipangisikan di blok
Cikajayaan. Praktis pohon mersawa yang tumbuh di Cagar
Alam Leuweung Sancang kini hanya tersisa dua individu
pohon induk.

Anakan atau semai dari pohon mersawa sangat sulit


ditemukan, karena pohon ini jarang sekali berbuah, itulah
sebabnya pohon ini sangat jarang. Pohon mersawa yang
berada di kawasan Cagar Alam ini dikeramatkan oleh
penduduk sekitar.

Adanya tindakan pengeramatan oleh penduduk sekitar


ini cukup membantu pengawasan pohon tersebut untuk
135 tetap tumbuh di Leuweung Sancang. Sehingga dalam
beberapa waktu ke depan pohon ini akan tetap bertahan
keberadaannya.
Pohon lain yang masih termasuk ke dalam suku
Dipterocarpaceae adalah Shorea javanica. Pohon ini lebih
dikenal dengan sebutan pohon meranti atau damar mata
kucing. Kata ”javanica” pada nama jenis yang melekat
pohon ini menandakan bahwa pohon ini merupakan
tumbuhan asli dari Pulau Jawa.

Dan memang benar adanya bahwa pohon ini ditemukan


tumbuh di Cagar Alam Leuweung Sancang. Pohon damar
mata kucing ini bernasib sama dengan mersawa. Pohon ini
merupakan sisa-sisa penebangan liar pada masanya. Pohon
ini pun menjadi target penebangan karena memiliki kualitas
kayu yang sangat baik. Selain itu, pohon damar mata kucing
juga memiliki resin yang bisa dipanen.

Shorea javanica atau pohon damar mata kucing merupakan


pohon yang cukup langka di Leuweung Sancang. Berdasar­
kan hasil eksplorasi singkat pada akhir bulan April 2018,
pohon ini ditemukan tumbuh di dekat Sungai Cipalawah.
Hanya satu individu yang terekam di dekat sungai tersebut.

Di wilayah tepian Sungai Cipalawah juga ditemukan


beberapa individu Dipterocarpus retusus (palahlar) yang
memiliki semai yang cukup banyak. Namun pohon damar
mata kucing ini tidak memiliki semai atau anakan di
bawahnya. Satu individu lagi ditemukan di dekat Sungai
Sakad, dengan substrat yang sedikit berbatu.

Kedua individu pohon damar mata kucing yang ditemukan


ini memiliki diameter batang yang lebih kecil dari jenis
Dipterocarpaceae lainnya. Berbeda dengan pohon palahlar
yang ukuran diameternya cukup besar mencapai 100 cm
bahkan lebih.
136
Anisoptera costata dan juga Shorea javanica sangat sulit
untuk menemukan semai keduanya. Hal ini menjadi salah
satu penyebab tumbuhan ini cukup langka. Pengawasan
terhadap primadona yang tumbuh di Cagar Alam Leuweung
Sancang ini harus selalu dilakukan.

Status konservasi berdasarkan IUCN Redlist untuk kedua


pohon ini adalah endangered. Artinya kedua pohon
ini sedang genting akan mengalami kepunahan. Status
endangered ini ditambah lagi dengan keadaan populasinya
yang terus menurun.

Untuk itu, pelestarian hutan yang menjadi habitat kedua


pohon ini harus ditingkatkan. Perlu ditambah lagi personil
polisi hutan untuk mengawasinya, serta melibatkan
masyarakat sekitar untuk tetap melestarikan pohon-pohon
tersebut. n

137
SAVE THE GAHARU TREE
SYDNEY M. N. MOLET DAN WINDA C. VIENA

Pohon-hijau-dan oksigen, sejak lama sudah menjadi satu


kesatuan di benak kita. Saking melekatnya, mungkin sampai
kita lupa: benda seperti apa yang layak disebut pohon?
Berapa banyak ia? Ekonomi atau oksigenkah yang kita kejar
darinya?

Ekonomi, dan kita semua membutuhkan itu, telah mengikis


jumlah pohon. Di dunia maupun Indonesia. Hal yang
mungkin tak pernah terpikir, adalah seberapa banyak
lagikah populasi pohon di dunia ini? Dan mengapa mereka
langka?

Sebagai pemilik hutan hujan tropis, Indonesia seharusnya


menjadi tempat berharap bagi banyak kehidupan di
dalamnya. Mereka para pohon, hewan, dan tanaman langka,
seharusnya aman di dalamnya. Namun harapan tak selalu
sama dengan kenyataan. Kebutuhan ekonomi manusia telah
menciptakan pohon-pohon langka, alias pohon yang hampir
tinggal cerita, karena sekarat dikejar kepunahan.

Bukankah setiap pohon besar dan tua yang diambil


batangnya, adalah bukti keterkaitan manusia-manusia
sebelum kita, dengan kita sekarang? Lalu mengapa kita
kerap lupa (atau enggan) meninggalkan kemanfaatan kepada
anak-cucu penerus kita?
138 Sejak pertama kali mengenal pelajaran Biologi pada
sekolah tingkat dasar, kita sudah tahu bahwa tumbuhan
berkayu pendahulu terbagi menjadi dua kelompok.
Pertama kelompok pohon berakar tunjang (dikotil). Kedua,
kelompok pohon berakar serabut (monokotil).

Sebatas itu umumnya pengetahuan kita terhadap pohon.


Namun kita abai, pada jumlah. Padahal jumlah pohon
merupakan hal paling berpengaruh dalam menentukan
ketersediaan oksien dan jumlah kayu kita di masa depan.

Menurut peneliti Botani dan Ekologi Lembaga Ilmu Penge­


tahuan Indonesia (LIPI), hingga saat ini belum ada gambaran
pasti mengenai jumlah pohon langka di Indonesia. Data
yang ada hanya hutan di daerah Jawa, yang meski sudah
mengalami kerusakan tapi memiliki kurang lebih 3000 jenis
tumbuhan. Dari jenis lumut hingga pohon langka.

Secara logika, jumlah dan jenis tumbuhan di seluruh


Indonesia, seharusnya lebih banyak. Termasuk jumlah dan
jenis pohon-pohon langka yang multiguna, dan bernilai
ekonomi tinggi. Salah satunya, sebagai ‘primadona’ pohon
langka adalah gaharu.

Gaharu, pohon kayu asli Indonesia, merupakan jenis


kayu yang berasal dari beberapa spesies pohon dari genus
Aquilaria spp. Kayu gaharu memiliki keunikan tersendiri
yang bikin iri jenis-jenis pohon lainnya, karena gaharu
punya aroma khas yang memikat.

Wangi gaharu tak lain karena kandungan resin pada bagian


ghubal kayu, alias kayu mudanya. gaharu berusia 25 tahun,
akan menghasilkan ghubal alias resin berwarna hitam
sebagai sumber aroma harum.

Makin pekat hitamnya ghubal, ia makin dicari oleh


139 para pembudidaya tanaman gaharu. Sebab, makin pekat
hitamnya ghubal, berarti kualitasnya makin bagus, dan kian
santer aromanya ketika kulit kayu tersebut disayat.
Pemanfaatan gaharu dari alam
secara tradisional di Indonesia,
akan menjamin kelestarian
pohon induknya. Namun, laba
membuat tata cara memanen
gaharu yang seharusnya tak
diperhatikan lagi.

Kulit batang kayu gaharu yang mengeluarkan ghubal


berwarna coklat ketika disayat, menunjukkan kualitas yang
kurang prima. Sehingga aromanya pun tidak sekuat pada
ghubal hitam yang menjadi penguat aroma merek-merek
wewangian dunia.

Kandungan aroma pada kayu gaharu tak hanya menjadi


bahan yang sangat dibutuhkan oleh produk-produk
kosmetik dan perawatan tubuh. Tentu saja contohnya kita
sudah tahu: mulai dari produk shampo, sabun, hingga
aromaterapi. Lebih dari itu, kayu gaharu juga bermanfaat
sebagai bahan dasar obat-obatan (pharmaceutical).
Contohnya, di negara-negara TimurTengah, Cina, Jepang,
dan lainnya.

Di Timur Tengah, selain sebagai dupa pewangi ruangan,


dan penghalau nyamuk. Sedangkan bagi masyarakat Cina
dan Jepang, batang kayu Gaharu sejak ratusan tahun lalu
dipercaya dapat menjaga kesehatan ginjal. Caranya, cukup
dengan meminum ramuan kulit batang gaharu yang diseduh
layaknya teh.
140
Ada juga sebagian masyarakat yang meyakini gaharu mam­
pu mencegah tumor, penuaan dini, menurunkan tekanan
darah, mencegah kanker, mengobati asma, mence­zgah
insomnia, mengontrol kadar gula darah, mengurangi racun
dalam tubuh, mengobati stroke dan masih banyak lagi.

Laiknya kayu Meranti, gaharu juga punya posisi terhormat


dalam dunia arsitektur dan bangunan. Warna hitamnya
memikat, untuk dibentuk menjadi kusen pintu, interior, dan
ornamen dekor rumah.

Kearifan lokal Nusantara, sejak masa nenek moyang dulu


sudah menghormati gaharu melalui perlakuan yang tidak
merusak. Ritual budaya Nusantara yang membutuhkan
wewangian dari aroma gaharu, membuat masyarakat hanya
mengambil ghubal pada lapisan kulit batangnya saja. Sama
sekali tak merusak pohon, apalagi menebangnya.

Pemanfaatan gaharu dari alam secara tradisional di


Indonesia, akan menjamin kelestarian pohon induknya.
Namun, pasar yang laba membuat tata cara memanen
gaharu yang seharusnya hanya bisa diterapkan pada pohon
yang berdiameter minimal 20 cm, tak diperhatikan lagi.
Padahal, pada gaharu muda yang belum memenuhi syarat
diameter 20 cm, tidak menyajikan kualitas gaharu yang
prima. Akibatnya, harus membakar kayunya agar muncul
wanginya. Sungguh cara yang bertentangan dengan prinsip
pelestarian alam maupun kearifan lokal.

Kelangkaan kayu gaharu yang umumnya bisa tumbuh


menjulang hingga 40 meter, dan diameter batang utama
sekira 60 cm, menjadi korban kerakusan pasar. Harganya
cukup tinggi di pasaran, tergantung spesies dan kualitasnya,
mulai dari Rp 100.000-30 juta per kilogram.

Minyak gaharu pun berharga di pasaran. Minyak hasil


141 suling kualitas rendah (kemedangan) saja, harganya sekitar
Rp 50.000-100.000 per mililiter. Atau sekitar Rp5000.000-
Rp10.000.000 per ons. Tak heran jika banyak pihak yang
berebut mengeksploitasinya. Campur tangan kebutuhan
ekonomi manusia dan perubahan area hutan menjadi
pemukiman, menjadi penyebab punahnya Gaharu.

Kini hutan alam sudah tidak mampu lagi menyediakan


Gaharu. Hanya hutan budidaya, alias hutan industri, yang
bisa menjadi alternatif bagi peremajaan gaharu. Adapun
peranan masyarakat Indonesia yang bisa dilakukan agar
pohon-pohon langka Indonesia bisa tetap lestari:

Mematuhi aturan penebangan pohon antara lain dengan


melakukan tebang pilih, sesuai regulasi yang berlaku.

1. Penanaman kembali tanaman yang telah dimanfaatkan.


2. Pemeliharaan tanaman dengan benar.
3. Membentuk cagar alam guna melindungi ragam
tumbuhan yang sudah hampir punah.
4. Memburu Pemburu gaharu di Papua

Kisah perburuan gaharu di Papua, dimulai sejak 1990


ketika sejumlah hutan gaharu di Kalimantan, Sulawesi, dan
Sumbawa (NTB) mulai punah. Pemburu dan pemodal mulai
melirik hutan-hutan pedalaman Jayapura, lalu ke Mimika, ke
pedalaman Merauke tempatnya suku Asmat.

Kesulitan geografis bukanlah kendala bagi para pemburu


yang bahkan sudah mencarter helikopter demi kemudahan
berburu gaharu di pedalaman Papua. Hingga suatu hari
di Mimika pada 2001 terjadi pembantaian tujuh pencari
gaharu asal Sulawesi, di Kali Kopi, Mimika oleh Organisasi
Papua Merdeka (OPM).

Para pemburu gaharu itu diduga dibekingi oknum aparat,


142 yang pada saat itu membangun pos komando khusus di
Kali Kopi, untuk memantau dan mengawasi keamanan para
pencari gaharu. World Wildlife Fund for Future (WWF)
bio-regian Sahul-Papua, melaporakan bahwa para pemburu
Gaharu telah menguasai sebagian Taman Nasional Lorentz.

Para pemburu ini berhasil membujuk penduduk setempat,


agar bisa memasuki kawasan Taman Nasional Lorentz, lalu
memburu hutan dan satwa di dalam taman itu. Tak hanya
Gaharu yang mereka ambil, tapi juga berburu burung
Cenderawasih, kasuari, rusa, dan kanguru, serta tumbuh-
tumbuhan tertentu.

Para pemburu Gaharu ini mendapat dukungan kuat dari


pengumpul di kota. “Mereka dibekali bahan makanan
dan uang, selama berburu di hutan,” kata Direktur WWF
Bioregion Sahul, Benja Mambay.

Informasi yang diterima seorang pemburu gaharu yang


tidak bersedia disebut namanya, mereka mendapat senjata
(pistol) dari aparat keamanan selama berburu Gaharudi
hutan Kali Kopi, Mimika. Tetapi syaratnya, hasil perburuan
Gaharu dan hewan lain yang ditemukan di hutan, dibagi
dengan anggota TNI itu. Berburu gaharu di Papua penuh
risiko dan tantangan.

Kondisi geografis yang sulit ditempuh, berikut kehadiran


OPM yang menguasai sebagian wilayah hutan rimba.
Karena itu pemburu gaharu sering bekerja sama dengan
aparat keamanan sehingga mendapat akses ke pedalaman.
Ada pepatah yang mengatakan bahwa “When environment
changes, there must be a coresponding change in life,” kata
Charles Lindbergh.

Alasannya, seta sebagai masyarakat harus memiliki rasa


kepedulian tinggi dan tanggung jawab besar, terhadap
lingkungan kita hidup dan berdiam. Bukankah seharusnya
143 dari hari ke hati, minggu ke minggu, berbilang bulan dan
tahun, sikap manusia akan berubah? Bisa semakin baik, atau
sebaliknya. YPPK Teruna Bakti Jayapura. n
SEBUAH KEBANGGAN
NEGERI DI BATAS
AMBANG KEPUNAHAN
RIZKY ANANDA

Indonesia termasuk negara mega biodiversity karena


memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang beragam.
Hal ini karena Indonesia berada pada posisi yang mengun­
tungkan yaitu memiliki kondisi geografis yang diapit oleh
dua bio-geografis yang kaya.

Indonesia terletak di antara dua benua Asia dan Australia,


dua samudera Hindia dan Pasifik dan dua paparan atau
sirkum Mediterania dan Paparan Pasifik.

Keadaan lain yang menguntungkan Indonesia sebagai nega­


ra mega biodiversity adalah penyinaran matahari sepanjang
tahun. Hal ini tentu sangat menguntungkan bagi sebagian
besar jenis flora maupun fauna di Indonesia. Cahaya
matahari merupakan energi terbesar di muka bumi ini.

Pusat Pengawasan Konservasi Dunia (World Conservation


Monitoring Centre), sebuah badan dalam Program Ling­
kung­an Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations
Environment Programme), telah menyatakan Indonesia
termasuk dalam salah satu di antara 17 negara mega
biodiversity di dunia.
144 Ini ditunjukkan dengan tingkat keanakaragaman fauna
tercatat tidak kurang dari 515 spesies mamalia, yang
termasuk terbanyak di dunia.
Kemudian 1.519 spesies burung dan termasuk keempat
terbanyak di dunia, 270 spesies amfibia yang termasuk
kelima terbanyak di dunia.

Lalu 600 spesies reptil, termasuk ketiga terbanyak, 121


spesi­es kupu-kupu dan 20.000 spesies tumbuhan berbunga
yang termasuk ketujuh terbanyak menghuni habitat-habitat
daratan dan lautan.

Sebagai negara mega biodiversity, saat ini Indonesia meng­


alami tingkat penurunan keanekaragaman hayati baik flora
maupun fauna.

Hal ini disebabkan oleh rusaknya lingkungan dan habiatat


akibat ulah manusia dalam mengeksploitasi sumber daya
tanpa mengindahkan kelestarian serta laju pertambahan
populasi manusia.

Faktor yang menjadi ancaman utama keberadaan spesies flora


dan fauna adalah pertanian, pembangunan komersial, proyek
air, rekreasi alam, penggembalaan ternak, polusi, infrastruktur
dan jalan, kebakaran alami, dan penebangan pohon.

Ancaman ini juga menyebabkan pemanasan global dan


merupakan isu terakhir abad ke-21 yang menjadi ancaman
kehidupan di muka bumi.

Akhir-akhir ini Indonesia menjadi sorotan dunia akibat


cepatnya laju kerusakan hutan serta semakin tingginya
tingkat keterancaman jenis-jenis kehidupan liar atau flora
dan fauna terhadap ancaman kepunahan.

Kekayaan jenis flora di Indonesia yang dapat dikatakan


sangat melimpah juga mengalami tekanan akibat laju
145 kerusakan hutan. Produk flora pohon, contohnya,
merupakan salah satu komoditas andalan untuk ekspor kayu
di era tahun 70-an yang menyumbangkan sebagian besar
pendapatan negara, devisa dan juga berkembangnya bisnis
industri perkayuan. Industri ini pula membuka kesempatan
kerja bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.

Jenis hasil hutan kayu yang diperdagangkan sebagian


besar adalah jenis-jenis yang masuk dalam keluarga
Dipterocarpaceae, seperti meranti (Shorea spp), keruing
(Dipterocarpus spp), kapur (Dryobalanops sp), mersawa
(Anisoptera spp) dan lain-lain.

Sedangkan dari kelompok non-Dipterocarpaceae antara lain


Pohon ulin (Eusyderoxylon zwageri), Agathis (Agathis spp), Ramin
(Gonystylus bancanus), eboni (Diospyros spp.), dan lain-lain.

Namun demikian, “booming” kayu ini hanya mengalami


masa kejayaan selama kurang lebih 30 tahun. Pada era akhir
tahun 90’an, hutan beserta isinya mengalami kerusakan yang
amat parah akibat eksploitasi besar-besaran di masa lalu.

Beberapa jenis kayu komersial seperti Kapur (Dryobalanops


sp) dan Bangkirai (Shorea laevis) mengalami penurunan
potensi yang tajam dan bahkan mulai sulit ditemukan di
habitat aslinya di alam, seperti contoh yang terjadi di bumi
Kalimantan.

Mersawa (Anisoptera costata) yang juga merupakan kayu


andalan perdagangan di masa lampau sudah masuk kategori
endangered (EN) berdasarkan IUCN. Jika tidak ditangani
cepat, beberapa jenis flora di Indonesia akan mengalami
kepunahan.

Salah satu jenis pohon yang akan dibahas adalah meranti


tembaga (Shorea leprosula Miq) yang merupakan salah satu
146 jenis pohon penting dari suku Dipterocarpaceae. S. leprosula
hanya tumbuh di Thailand, Malaysia, Sumatera, Kalimantan
dan Bangka Belitung.
Namun demikian, “booming”
kayu ini hanya mengalami masa
kejayaan selama kurang lebih
30 tahun. Pada era akhir tahun
90’an, hutan beserta isinya
mengalami kerusakan yang
amat parah akibat eksploitasi
besar-besaran di masa lalu.

Pohon jenis ini tidak memerlukan tempat tumbuh yang


khusus, bisa tumbuh di berbagai jenis tanah dan paling baik
di tanah liat pada ketinggian 0-800 meter di atas permukaan
laut (mdpl).

S. leprosula adalah salah satu jenis komersial yang populer


karena menghasilkan kayu kuat dan berbobot ringan,
sehingga karena sifatnya yang kuat dan ringan.

Ciri khas jenis ini diantaranya adalah tingginya bisa


mencapai 60 m dan diameter 175 cm. Batangnya
mempunyai kulit luar berwarna abu-abu, beralur tidak
dalam, mengelupas agak besar dan tebal.

Pada kayu bagian dalam kuning muda, kayu gubal berwarna


kuning muda, kayu teras berwarna coklat muda sampai merah.

Selain memiliki ciri umum, S. leprosula memiliki ciri khas


yaitu terletak pada bagian pangkal batang berbanir dengan
tinggi 3,50 m, lebar 2,50 m, tebal 20 cm dan pada bagian
147 daun, daun tersusun tunggal berbentuk bulat telur sampai
jorong dengan panjang 8-14 cm dan lebar 3,5-5,5 cm.
Tangkai daun berbulu halus lebat, panjangnya 1-2 cm.
Pada daun muda terdapat domatia mulai dari pangkal ibu
tulang daun sampai hampir di ujung daun membentuk garis
yang unik. Permukaan atas daun berwarna hijau dan licin.

Sedangkan permukaan bawah berwarna kelabu, coklat atau


kekuning-kuningan serta tertutup oleh bulu yang sangat
rapat. Stipula atau yang lebih dikenal dengan daun penumpu
berukuran 10 x 3,5 mm, berbentuk tombak besar, tumpul, bila
gugur bekas stipula akan berbentuk pendek dan horizontal.

Kuncup daun berukuran 3-5 x 2-3 mm, pipih, berbentuk


bulat telur, agak runcing, berbulu halus dan pendek
(pubescent) dan berwarna kuning tua.

Sifat kuat dan berbobot ringan yang dimiliki S. leprosula


disebabkan oleh berat jenisnya yang berkisar antara 0,3 –
0,86 pada kandungan air 15 persen.

Karena keungulan ini S. leprosula menjadi pohon yang


sangat dicari pada era 1980-1990an dan menjadi primadona
komoditas ekspor Indonesia kala itu. Hal tersebut salah
satunya disebabkan oleh tidak ada pohon lain yang bisa me­
nyamai kualitas kayu dari S. leprosula. Oleh karena itu, terjadi
eksploitasi besar-besaran yang terjadi di hutan Indonesia.

S. leprosula termasuk pohon unik, karena semua bagian dari


pohon dapat dimanfaatkan. Misalkan resinnya yang sering
disebut juga damar daging digunakan sebagai bahan baku
obat dan lem kapal.

Kemudian kulit batangnya dipakai untuk bahan pewarna.


Tentu kayunya memiliki kualitas unggulan dengan kelas
awet III-V dan kelas kuat II-IV sangat mudah dikerjakan,
148 tidak mudah pecah dan mengkerut sehingga sangat
cocok untuk bahan baku vinir dan kayu lapis, bangunan
perumahan, peti mati, perkapalan dan alat musik.
Perburuan yang sangat masif terhadap S. leprosula membuat
populasinya mengalami penurunan 20-29 persen dalam tiga
generasi terakhir (210 tahun).

Keadaan ini membuat kekhawatiran dunia akan terjadinya


kelangkaan terhadap S. leprosula semakin nyata.

Berdasarkan data yang dirilis oleh IUCN Redlist pada Maret


2017, status S. leprosula adalah “Near Threatened” yang
artinya mendekati keterancaman akan kepunahan.

Berkurangnya populasi S. leprosula disebabkan oleh bebera­


pa faktor di antaranya adalah aktivitas illegal logging dan
pembukaan wilayah hutan untuk ekspansi lahan pertanian.

Bila terus terjadi, ancaman-ancaman tersebut akan membuat


penurunan populasi S. leprosula cenderung berlanjut ke
masa depan dengan tingkat penurunan populasi yang belum
diketahui.

Untuk itu diperlukan langkah- langkah nyata untuk


menyelamatkan S. leprosula dari kepunahan.

Salah satu kendala utama yang ditemui dalam upaya


konservasi S. leprosula adalah regenerasi yang lambat. S.
leprosula hanya berbunga setiap 2-4 tahun pada Maret
hingga Juni, sehingga sangat sulit regenerasi bila hanya
mengandalkan benih dari pohon induk.

Beberapa metode yang efektif untuk upaya konservasi S. lepro­


sula dengan mengembangkan persemaian bibit S. leprosula
berskala besar dan melakukan konservasi di luar kawasan
lindung atau lebih dikenal dengan konservasi eksitu.

Dengan melakukan konservasi eks-situ akan membantu


149 regenerasi S. leprosula menjadi lebih cepat dan setiap
perkem­bangan populasi species S. leprosula dapat diawasi
secara berkala. n
SUMBER PUSTAKA
Ang, C.C., O’ Brien, M.J., Ng, K.K.S., Lee, P.C., Hector, A., Schmid, B and
Shimizy, K. 2016. Genetic diversity of two tropical tree species of the
Dipterocarpaceae following logging and restoration in Borneo: high
genetic diversity in plots with high species diversity. Plant Ecology and
Diversity 9(5-6): 459-469.
Bappenas. 2003. Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan. Dokumen
Nasional Bappenas. Jakarta
Bawa, K.S. 1998. Conservation of Genetic Resources in the Dipterocarpaceae.
In: Appanah, S and Turnball, J.M (eds), A review of Dipterocarps:
Taxonomy, Ecology and silviculture, pp. 45-56. Centre for International
Forestry Research, Jakarta.BGCI. 2017. PlantSearch. Botanic Gardens
ConservationInternational, London.
Chua, L.S.L., Suhaida, M., Hamidah, M. and Saw, L.G. 2010. Malaysia Plant
Red List : Peninsular Malaysian Dipterocarpaceae. Research Pamphlet No.
129. Forest Research Institute Malaysia.
IUCN. 2017. The IUCN Red List of Threatened Species. Version 2017-
3. Jatna Supriatna. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta
Krishnapillay, B. and Tompsett, P.B. 1998. Seed Handling. In: Appanah, S
and Turnball, J.M (eds), A review of Dipterocarps: Taxonomy, Ecology and
silviculture, pp. 73-89. Centre for International Forestry Research, Jakarta.
Lee, L. S., Alexander, I. J., & Watling, R. 1997. Ectomycorrhizas and
putative ectomycorrhizal fungi of Shorea leprosula Miq.(Dipterocarpaceae).
Mycorrhiza, 7(2), 63-81.
Masripatin, N., Rimbawanto, A., Widyatmoko, A.Y., Purwito D., Susanto,
M., Khomsah, N., Yuliah, Setiadji, T. and Hakin, L. 2003. Status of Forest
Genetic Resources Conservation and Management in Indonesia. In:Luoma-
aho, T., Hong, L.T., Ramanatha Rao, V. and Sim, H.C. (eds),
Asia Pacific Forest Genetic Resources Progreamme Inception Workshop,
pp. 164-183. Kuala Lumpur.
Mochamad Indrawan, Richard B Primack dan Jatna Supriatna. 2007. Biologi
Konservasi. Yayasan Obor Inonesia. Jakarta
Pooma, R. and Newman, M. 2017. Shorea leprosula. The IUCN Red List of
Threatened Species 2017: e.T33123A2833148.
Suhartini. 2009. Peran Konservasi Keanekaragaman Hayati Dalam
Menunjang Pembangunan yang Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional
Penelitian Pendidikan dan Penerapan MIPA. Fakultas MIPA. UNY
150 Yogyakarta.
Weinland. 1998. Plantations. In: Appanah, S and Turnball, J.M (eds), A
review of Dipterocarps: Taxonomy, Ecology and silviculture, pp. 151-187.
Centre for International Forestry Research, Jakarta.
151
Hutan alami di Raja Ampat yang bersubstrat
tanah vulkanik, ultramafik, kapur serta karst
(Foto : Yanuar Ishaq Dc)
SELAMATKAN CENDANA,
SEKARANG!
ABDULLAH FAQIH

Pohon cendana (Santalum album L.) yang tergolong dalam


famili Santalacea merupakan tumbuhan asli Indonesia, yang
berasal dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Daerah
di NTT yang menjadi habitat pohon cendana adalah Timor,
Sumba, Flores, Alor, Wetar, Lomblen, dan Rote. Selain
di NTT, pohon ini juga tumbuh di daerah Bali, Sulawesi,
Maluku, Bondowoso dan Jember di Jawa Timur, dan
Gunung Kidul di Yogyakarta.

Menurut berbagai literatur, tinggi pohon cendana dapat


mencapai 12-15 meter dengan diameter batang sebesar 20-
35 cm. Batang pohon cendana bercabang dan menghasilkan
banyak ranting-ranting halus dengan panjang sekitar 10-30
cm dan diameter 2-3 mm. Di antara ranting-ranting tersebut
ditumbuhi dedaunan yang biasanya berbentuk elips hingga
bulat telur dengan ukuran 4-8 cm dan 2-4 cm.

Daun pada ranting pohon cendana umumnya adalah daun


tunggal yang tumbuh berhadapan pada ranting dan letaknya
berselang-seling. Warna daunnya rata-rata adalah hijau
mengkilap dengan ujung berbentuk runcing.
152 Berbeda dengan daun, kulit batang pohon cendana
berwarna putih keabu-abuan, terutama setelah kulit tersebut
dewasa dan merekah. Bagian batang, dahan, dan akar pohon
cendana biasanya memiliki teras yang menghasilkan aroma
harum ketika sudah dewasa atau berumur 30-40 tahun.

Selain itu, dalam hal perakaran, sebagian besar akar pohon


cendana berbentuk mendatar (horizontal). Khusus untuk
pohon cendana yang berasal dari biji, umumnya memiliki
akar pancang yang tumbuh secara vertikal. Sementara
pohon cendana yang tumbuh dari tunas, biasanya tidak
memiliki akar pancang.

Pohon cendana juga tergolong sebagai tumbuhan setengah


parasit (hemi-parasitik) yang membutuhkan tumbuhan lain
untuk membantu pertumbuhannya. Pohon cendana mem­
peroleh suplai beberapa unsur hara dari tanaman inangnya,
seperti nitrogen, fosfor, kalium, dan asam amino. Beberapa
tanaman inang yang menjadi tumpuan hidup pohon
cendana adalah kaliandra (Calliandra calothyrsus), knamok
(Cassia timorensis), akasia (Acacia spp.), dan lain sebagainya.

Menembus Zaman

Banyak catatan di luar negeri yang menuliskan betapa cen­


dana merupakan primadona dari seluruh komoditas yang
ada di Nusantara, sebagaimana pala dari Banda dan cengkeh
dari Maluku. Sebuah catatan berbahasa Sansekerta dan baha­sa
Cina menyebutkan, pohon cendana asli NTT sudah digunakan
sejak 400 tahun yang lalu oleh orang Cina, Mesir Kuno, India,
dan para pemeluk agama Hindu, Budha, serta Islam. Mereka
memanfaatkan pohon cendana untuk dijadikan serbuk yang
kemudian dipakai sebagai bahan baku dupa pada upacara
kematian, pemujaan, dan pengawetan jenazah.

Dalam upacara keagamaan tersebut, pohon cendana juga


153 dijadikan sebagai sumber wewangian yang sangat dianjur­
kan untuk membantu kegiatan spiritual demi menciptakan
kedamaian.
Kayu cendana konon kerap digunakan sebagai bahan
baku minyak atsiri yang diolah dengan cara disuling.
Minyak atsiri tersebut kemudian digunakan dalam industri
parfum, sabun, kosmetik dan obat-obatan, terutama untuk
menyembuhkan sakit perut, asma, sakit kulit, infeksi ginjal,
dan anti kanker.

Sementara kayu cendana yang tidak diolah dengan cara


disuling akan dipergunakan sebagai bahan mentah industri
kerajinan rumah tangga, seperti kerajinan patung, kipas,
ukiran, rosario, tasbih, alat tulis, hingga digunakan sebagai
konstruksi bangunan pada candi-candi Hindu dan Budha.

Dalam sebuah catatan yang ditulis oleh Julianery dalam


Rahayu (2002), pohon cendana juga dinilai menyimpan
nilai ekonomi yang sangat tinggi. Sejak awal abad ke-15,
banyak kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru dunia,
termasuk dari Cina, singgah di Timor untuk membawa kayu
cendana ke India dan Malaka. Bangsa-bangsa itu menilai
bahwa kayu cendana memiliki kemewahan tersendiri dalam
perdagangan, tidak kalah dengan kayu jati, mahoni, meranti,
dan ramin.

Dalam konteks Indonesia, pohon cendana juga telah


diperjualbelikan oleh pemerintah dalam rangka menambah
pundi-pundi pemasukan daerah. Khususnya bagi Provinsi
NTT, perdagangan kayu cendana telah berkontribusi
signifikan bagi pendapatan daerah dan dikukuhkan sebagai
salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Pada periode 1986-1990 misalnya, penjualan kayu cendana


menyumbang 39 persen pendapatan daerah setiap tahunnya.
154 Pada periode 1990-1998, penjualan kayu cendana rata-rata
mencapai 760.126 kg per tahun dan sebesar Rp4.071.925.587
per tahun. Angka tersebut berhasil memberikan kontribusi
sebesar 22,61 persen setiap tahun dari total pendapatan asli
daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Riwayatmu Kini

Masa kejayaan pohon cendana hampir berakhir. Meskipun


pohon cendana masih menjadi primadona, populasinya
kian berkurang. Penelitian yang dilakukan Dinas Kehutanan
Provinsi NTT (1998) menyebut jumlah induk dan anakan
cendana di Pulau Timor antara rentang waktu 1987-1990 ada
sekitar 544.952 pohon. Namun, dalam rentang waktu 1997-
1998 jumlahnya menurun sebesar 53 persen menjadi hanya
250.940 pohon. Populasi cendana muda yang usianya berada
di bawah 40 tahun bahkan hanya tersisa 17.000 pohon.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Nomleni (2010) juga


menyebut, hingga 2010, jumlah Pohon Cendana hanya
ditemukan sebanyak 1.426 pohon dengan diameter 20-100
cm. Bukan hanya jumlahnya, dalam hal produksi kayu pun
Pohon Cendana mengalami penurunan. Sejak tahun 1987-
1996, penurunan produksi kayu cendana rata-rata mencapai
55.730 kg. Hal itu ikut berdampak pada penurunan jumlah
ekspor minyak cendana pada periode tahun 1987-1992,
yaitu menurun dari 25 ton menjadi 13 ton.

Data dari Dinas Kehutanan NTT (2007) turut memperkuat


fakta mengenai berkurangnya populasi Pohon Cendana.
Selama periode 1992-1997, terjadi penurunan presentase
nilai ekspor kayu cendana terhadap total produksi dari
sebesar 800 ton menjadi 300 ton. Hingga saat ini, penurunan
kuantitas pohon cendana masih terus terjadi yang tentunya
turut membawa konsekuensi logis pada menurunnya jumlah
155 produksi kayu dan minyak cendana.

Menurut berbagai referensi, penurunan jumlah pohon


cendana disebabkan oleh belum adanya upaya optimal dari
pemerintah untuk menyelamatkan sisa populasi pohon
tersebut. Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah
baru mencakup skala kecil, seperti pengembangan pohon
cendana di Timor Tengah Selatan pada 1958, di Buleleng
Barat pada 1967, di Puri Uluwatu pada 1982, di Gunung
Klotok dan Sanggrahan Kediri, Malang, Gunung Kidul,
Ngawi, Bromo, dan Imogiri.

Kebijakan pemerintah daerah terkait pengelolaan pohon


cendana juga berdampak signifikan pada besaran populasi
pohon tersebut. Peraturan Daerah Nomor 25 Tahun
2001 tentang pohon cendana dinilai sangat dominan
dan sentralistik kepada pemerintah. Dalam prosesnya,
pemerintah daerah sama sekali tidak melibatkan masyarakat
sipil, swasta, dan akademisi. Kondisi tersebut berbeda
dengan peraturan daerah pada periode 1966-1999 yang
melibatkan beragam stakeholders, mulai dari tokoh adat,
petani, pemerintah desa, akademisi, LSM, gubernur, hingga
dinas-dinas terkait.

Imbasnya peraturan yang sangat sentralistik itu membuat


pemerintah daerah cenderung semena-mena dalam
mengelola populasi pohon cendana. Sebagai misal, harga
kayu cendana yang ditetapkan pemerintah pada tahun 2000
adalah Rp 7 ribu per kilogram, sementara para pengusaha
menawarkan harga sebesar Rp17-Rp25 ribu per kilogram.
Hal itu mendorong masyarakat lokal melakukan penebangan
dan perdagangan liar serta penyelundupan dan pencurian
kayu cendana.

Masyarakat lokal juga cenderung bertindak sesuka hati


dalam memperlakukan pohon cendana. Mereka kerap
156 mengeksploitasi pohon yang kian langka itu dengan
menggali akar pohon karena memiliki kandungan minyak
cendana paling tinggi dan berharga mahal.
Hal itu menyebabkan tegakan cendana menjadi roboh dan
regenerasi vegetasi tunas mengalami gangguan. Berbagai
kegiatan eksploitatif itu cenderung berlebihan dan tidak
disertai dengan upaya penanaman kembali yang berimbang.
Selain itu, masyarakat juga kerap melakukan sistem
pertanian tradisional “tebas-bakar” untuk membuka lahan,
sehingga menyebabkan kebakaran hutan tempat pohon
cendana tumbuh. Imbasnya populasi pohon cendana kian
berkurang dari waktu ke waktu.

Menatap Masa Depan

Tak bisa dinafikan, pohon yang sejak ratusan tahun lalu


dipuja-puja oleh berbagai bangsa itu kini berada diambang
kepunahan. Kita memang perlu mengakui dengan hati
bersih bahwa pohon cendana memiliki arti penting bagi
kelangsungan hidup masyarakat. Harum namanya bahkan
diabadikan menjadi nama sebuah perguruan tinggi di NTT.

Kini, pohon cendana hampir menjadi memoar. Kebijakan


pemerintah daerah yang tidak tepat ditambah rendahnya
rasa kepemilikan masyarakat menjadi sumber dari
kepunahannya. Di masa depan, mungkin anak cucu kita
hanya bisa mengenang pohon cendana melalui buku-buku
cerita di sekolah, tanpa bisa melihat wujudnya secara nyata.

Anak cucu kita mungkin tidak bisa lagi mencium bau


harum minyak kasturi asli dari pohon cendana atau
menikmati prosesi keagamaan yang dipenuhi bau harum
semerbak dari dupa yang bahan bakunya juga berasal dari
pohon yang sama.

157 Tanpa perhatian dan rasa cinta semua orang, pohon cendana
di masa depan mungkin hanya bisa dikenang lewat nama
perguruan tinggi di NTT. n
SI KAYU BESI,
DIOSPYROS CELEBICA BAKH.
YANG KIAN MEMUDAR
AHMAD ARDI

Tiga materi yang wajib dimiliki oleh setiap orang, yaitu


sandang, papan, dan pangan. Di bidang papan salah satunya
ditandai oleh kebutuhan rumah sebagai tempat tinggal
sekaligus tempat berlindung.

Bahan bangunan yang dibangun pun bervariasi, mulai dari


anyaman bambu, seng, beton, hingga kayu.

Di beberapa wilayah di Indonesia kebutuhan kayu sebagai


bahan bangunan merupakan hal penting, salah satunya
di daerah Sulawesi Selatan. Bagi masyarakat di Sulawesi
Selatan, kayu telah menjadi salah satu komponen yang
esensial untuk kehidupan.

Rumah panggung khas Sulawesi Selatan dibuat


menggunakan kayu. Kayu-kayu ini dapat digunakan sebagai
tiang, lantai, dan dinding rumah.

Bagi masyarakat adat Sulawesi Selatan, kualitas kayu


menjadi identitas status bagi pemilik rumah. Beberapa jenis
kayu dapat digunakan untuk membangun rumah, seperti
kayu meranti, jati, kelapa, kamper dan lain-lain (Dinas
PUPKP Kabupaten Bantul, 2016).
158
Kayu eboni atau biasa disebut Kayu Seppu’ merupakan jenis
kayu premium bagi Masyarakat Sulawesi Selatan. Hal ini
ka­rena keindahan dan harganya yang tinggi. Selain sebagai
bahan bangunan rumah, eboni juga dapat digunakan untuk
menghasilkan berbagai perabot rumah tangga, aksesori se­perti
jam, vas bunga, mebel, peralatan musik, serta mebel (Informasi
Tanaman Kehutanan, 2011; Saleha dan Ngakan, 2016).

Kayu eboni atau Aju Seppu’, disebut demikian oleh masya­


rakat Bugis karena warna merah kehitaman yang mirip
seperti besi. Kayu ini telah lama menjadi kayu komersil
dari Sulawesi. Terdapat 100 jenis Diospyros di Indonesia,
tapi hanya 7 jenis yang dikatakan sebagai eboni. Tujuh jenis
Diospyros tersebut yaitu Diospyros celebica Bakh., D.ebenum
Koenig, D.ferrea Bakh., D.lolin Bakh., D.macrophylla Bl.,
D.pilosanthera Blanco dan D.rumphii Bakh.

Di antara tujuh jenis tersebut, terdapat dua jenis yang


menjadi prioritas utama dalam pasar nasional maupun
internasional, yaitu Diospyros celebica Bakh. dan D. rumphii
Bakh (Alrasyid, 2002). Diospyros celebica Bakh merupakan
tanaman endemik dari Sulawesi. Tanaman ini tersebar
hampir di seluruh tanah Sulawesi, khususnya di Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Sulawesi Utara
(Greeners.co, 2018).

Pohon eboni memiliki kandungan anti fungal, jamur, dan


berbagai senyawa alami. Hal ini menyebabkan kayu eboni
terbilang awet (Chen et al., 2017). Ekstrak kayu eboni
diketahui memiliki beberapa senyawa seperti antioksidan,
anti inflamasi, anti trombosit, dan aktivitas anti-angiogenik,
serta bermanfaat untuk menjaga kesehatan sel-sel pangkreas
(Chen et al., 2017).

159 Tampak luar penampakan pohon eboni dicirikan dengan


pohon berupa tegakan dengan tipe pertumbuhan
mengelompok (clumped) atau berpencar (Kinho, 2014).
Tegakan eboni mampu mencapai 40 meter. Eboni memilki
diameter batang hingga 1 – 1.5 meter dengan akar banir
yang mampu mencapai 4 meter dari permukaan tanah.

Kulit batang pohon beralur, mengelupas kecil-kecil dan


berwarna coklat hitam. Panjang batang bebas cabang yaitu
sepanjang 10 – 20 meter (Martawijaya et al., 2005).

Daun pohon eboni merupakan tipe daun tunggal yang


meman­jang hingga jorong. Panjang daun berkisar 12-35 cm
dan lebar 2.5 – 7 cm. Pangkal daun tumpul hingga man­
jantung, sedangkan ujung daun agak lancip hingga lancip.

Tulang daun menjala tarsier dan nyata jika diraba baik pada
bagian adaksial dan abaksial daun. Tumbuhan ini termasuk
tumbuhan berumah satu, yang mana pada satu pohon
terdapat bunga betina dan bunga jantan. Bunga berupa
perbungaan berbentuk payung menggarpu dengan bunga
jantan sebanyak 3 – 7 bunga yang masing-masing memiliki
4 petal dan 16 benang sari. Perbungaan betina berbentuk
payung menggarpu dengan jumlah bunga 1 – 3 bunga .

Terdapat empat petal dengan kelopak yang bergelombang


dan berkatup, rapat dan kaku di sebelah luar. Bakal buah
atau ovarium berjumlah 4 – 8 ruangan yang menyatu. Buah
eboni berbentuk bulat telur dengan ukuran 3.5 – 5 cm x 3.5-
5 cm dengan kulit buah yang halus.

Di dasar dan di ujung buah terdapat bulu tipis. Tumbuhan


eboni jenis D. celebica mulai berbunga dan berbuah pada
umur 5 – 7 tahun. Periode yang dibutuhkan eboni dari
pematangan bunga betina hingga berbuah membutuhkan
160 waktu selama enam bulan (Riswan, 2002). Puncak musim
berbuah eboni yaitu antar bulan September – November
(Hendromono, 1995 ; Riswan, 2002).
Tegakan pohon eboni umumnya dapat dijumpai hingga
ketiggian 900 m dengan frekuensi tertinggi pada ketinggian
10 – 400 meter (Kinho, 2014). Tumbuhan ini banyak
dijumpai di wilayah hutan tropis dengan curah hujan rata-
rata 2737 mm/tahun.

Keadaan hutan tersebut dapat dijumpai di daerah Malili,


Mamuju, dan Poso. Eboni tergolong sebagai tumbuhan
semi toleran terhadap cahaya. Semai eboni akan cepat mati
jika dipaparkan pada intensitas cahaya yang tinggi, namun
kurang optimal pada intensitas cahaya yang rendah.

Pertumbuhan optimal semai eboni terjadi pada kondisi


intesitas cahaya sedang, yaitu adanya pohon-pohon tua
eboni yang tidak terlalu rapat sehingga masih terdapat
cahaya yang dapat menembus lantai hutan (Nurkin et al.,
2002). Eboni membutuhkan rata-rata suhu lingkungangan
berkisar 22 – 28℃ (Alrasyid, 2002).

Pohon eboni mampu tumbuh pada berbagai tipe tanah,


pada tanah berbatu, berpasir, berkapur, tanah latosol atau
podsolik merah-kuning, dengan catatan terdapat sarang
yang cukup dan tanah yang tidak terlalu asam serta memiliki
iklim basah atau tropis. Eboni merupakan tumbuhan
perennial yang mana melakukan pembungaan sepanjang
tahun. Musim masak umumnya pada September–November,
dengan jumlah biji sebanyak 1.100 butir/kg atau 480 butir/
liter (Martawijaya et al., 2005).

Walau dengan jumlah yang banyak ini, tidak menutup kemung­


kinan dengan masih maraknya pembalakan liar dan pengurang­
an habitat menyebabkan biji eboni tidak mampu tumbuh.

Saat ini, diketahui harga per meter kubik kayu ini dapat
161 mencapai 30 juta/m3 di pasaran internasional dan 9-13
juta/m3 di pasar Indonesia. Tingginya harga kayu ini tentu
berhubungan dengan keindahan dan ketahanan kayu ini.
Kayu eboni memiliki ciri khas yaitu warna hitam pada
kayu teras dengan garis-garis berwarna coklat kemerahan.
Pada kayu gubal berwarna coklat kemerah-merahan dan
mempunyai batas yang jelas dengan kayu teras. Permukaan
kayu ini mengkilap dan licin dengan tekstur halus sampai
sangat halus dan merata. Arah serat lurus atau agak berpadu.

Di samping itu juga berat jenis kayu yang tinggi yaitu


sebesar 1,09 (Martawijaya et al., 2005). Adapun berat jenis
minimum kayu eboni yaitu 0,90 dan berat jenis maksimum
1,14 (Sakinah, 2015). Kelebihan kayu ini juga karena
keawetan kayu yang baik dan sukar termakan rayap. Kayu
eboni tergolong ke dalam kelas awet I dengan daya tahan
terhadap rayap kayu di kelas IV dan tergolong sebagai jenis
kayu mewah (Martawijaya et al., 2005).

Indonesia dikenal sebagai pengekspor utama kayu eboni,


hingga akhirnya mulai menurun ketika mendekati 1955.
Ekspor kayu eboni sempat meningkat pada 1960, tetapi tetap
tidak dapat semasif ekspor kayu eboni sebelum perang dunia
II. Menurunnya ekspor kayu eboni menunjukkan semakin
menurunnya populasi eboni di alam (Alrasyid, 2002). Hal
ini dapat disebabkan karena laju regenerasi kayu eboni yang
lebih lambat dibandingkan laju pengambilannya.

Berdasarkan World Conservation Union IUCN, eboni


tergolong dalam kategori vulnerable atau dalam status rawan
terhadap kepunahan. Hal ini didasarkan atas maraknya
eksploitasi pohon eboni sehingga populasi menurun lebih
dari 20 persen dalam kurun waktu 10 tahun (Samedi dan
Kurniawati, 2002).

Eboni turut dimasukkan ke dalam Apendix II CITES


162 (Convention on International Trade in Endangered Species
of Wild Fauna and Flora), yaitu merupakan flora yang
terancam punah jika tidak terdapat pengontorolan ketat
terhadap dinamika perdagangan jenis ini (Prastyono dan
Ismail, 2014).

Strategi konservasi eboni dapat dilakukan dalam tiga bentuk


yaitu strategi konservasi genetik, spesies, dan ekosistem.
Strategi konservasi genetik merupakan konservasi dalam
skala genetik organisme. Konservasi genetik bertujuan
untuk menjaga kelestarian keragaman genetik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang (Kinho, 2014).

Strategi konservasi genetik dapat dilakukan melalui dua


pendekatan, yaitu secara in situ dan ex situ. Konservasi
secara in situ dilakuan di alam dengan mempertimbangkan
data keragaman genetik untuk mengetahui pola lanskap
maupun pola keragaman genetik dalam populasi maupun
antar populasi, serta untuk mempertimbangkan jika
diperlukannya infuse materi genetik dalam populasi.

Diharapkan dari konservasi in situ maka akan terjadi


proses regenerasi, adaptasi, dan evolusi seacara alami.
Konservasi secara ex situ dilakukan di luar dari habitat asli
eboni. Data keragaman genetik pada konservasi ex situ
digunakan untuk mengkonfirmasi identitas materi genetik
maupun kemungkinan terjadinya perubahan materi genetik
dibandingkan dengan eboni yang tumbuh alami di alam
(Kinho, 2014).

Pemerintah Indonesia sendiri telah menetapkan Arahan


Kebijakan Khusus terhadap pengelolaan bebrapa jenis
pohon. Arahan ini mencangkup penelitian, perlindungan,
pelestrian, dan pemanfaatan masing-masing jenis yang telah
diprioritaskan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan
163 No. P.57/Menhut-II/2008.

Adapun arahan kebijakan khusus untuk pohon eboni


yaitu pada bagian penelitian mencangkup penelitian di
bidang genetika, pemanenan secara berkelanjutan, budidaya,
perbanyakan untuk tujuan komersial (perbanyakan skala
besar). Di bagian perlindungan arahan kebijakan khusus
diarahkan untuk dilakukannya sosialisasi dengan penyadaran
masyarakat, pembanguan sikap dan perilaku konservasi,
menaikkan status Kawasan menjadi Areal Sumber Daya
Genetik (ASDG), dan penegakan hukum illegal logging.

Di bagian pelestarian dilakukan dengan cara penerapan


pemanenan yang berkelanjutan dan pengembangan
skala luas (Menteri Kehutanan Republik Indonesia,
2008). Arahan Kebijakan Khusus ini memberikan arahan
untuk pemanfaatan spesies ini agar dapat dimanfaatkan
berkelanjutan dan tetap teregulasi dengan baik.

Pemanfaatan kayu eboni diprioritaskan untuk digunakan


sabagai bangan kayu yang multiguna dan berkualitas
tinggi. Sebagai pohon endemik Sulawesi, Pemerintah
Indonesia perlu meregulasi pengambilan, penggunaan, serta
pengedukasian ke masyarakat mengenai eboni.

Penyediaan bank genetik juga perlu dilakukan untuk


keperluan penelitian dan konservasi. Melalui bank genetik
baik dalam bentuk genom maupun gen parsial, maka
dapat dilakukan eksplorasi potensi gen-gen dari pohon
eboni. Hal ini mencakup berbagai bagian dari eboni seperti
eksplorasi gen potensional untuk produksi bahan kimia yang
bermanfaat, menentukan laju evolusi dan kerabat evolusi
dari pohon eboni, hingga ke manipulasi genetik.

Semakin berkembangnya teknologi dan mengingat


pentingnya data, tidak menutup kemungkinan suatu saat
164 konservasi dan komersialiasi kayu eboni dapat dilakukan
dalam tahap yang seirama dan mampu menjamin kelestarian
lingkungan dan pohon eboni itu sendiri. n
SUMBER PUSTAKA
Alrasyid, Harun. 2002. Kajian budidaya pohon eboni. Berita Biologi.
Vol.6 (2) : 219 – 222.
Chen, J., Ni, C., Lou, J., and Peng, W. 2017. Molecules and function
of rosewood : Diospyros celebica. Arabian Journal of Chemistry. (11) :
756 – 762.
Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan dan Kawasan Pemukiman
Kabupaten Bantul (Dinas PUPKP Kabupaten Bantul). 2016. http://
pu.bantulkab.go.id/berita/196-jenis-jenis-kayu-untuk-konstruksi-
bangunan. Diakses terkahir kali pada tanggal 10 OKtober 2018, pukul
22.26 WIB.
Greeners.co. 2018. https://www.greeners.co/flora-fauna/eboni-pohon-
unggulan-sulawesi-mulai-langka/. Diakses terakhir kali pada tanggal
10 Oktober 2018, pukul 23.00 WIB.
Hendromono. 1995. Pertumbuhan dan Mutu Bibit Eboni (Diospyros
celebica Bakh) pada Tiga Jenis Medium yang Dipupuk NPK. Jurnal
Litbang Kehutanan. Vol.7 (1) : 28-31.
Kinho, Julianus. 2014. Status dan strategi konservasi eboni (Diospyros
rumpii Bakh) di Sulawesi Utara. Seminar Nasional Biodiversitas V :
130 – 137.
Martawijaya, A., Kartasujana, I., Kadir, K., dan Prawira, S.A. 2005.
Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Bogor. Balai Penelitian Hasil Hutan.
Badan Litbang Pertanian. Hal.34-38.
Menteri Kehutanan Republik Indonesia. 2008. Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor : 57/Menhut-II/2008 Tentang Arahan Strategi
Konservasi spesies Nasional. Hal. 34.
Nurkin, B., Achmad, A., Oka, N.P., Rachman, W., dan Paembonan,
S.A. 2002. Karakteristk ekologi dan silvikulutura eboni (Diospytros
celebica Bakh.) Sulawesi Selatan. Berita Biologi. Vol.6 (2) : 267 – 275.
Prastyono dan Ismail, B. 2014. Eksplorasi dan koleksi materi genetik
eboni (Diospyros celebica Bakh.) untuk pembangunan plot konservsi
sumberdaya genetik. Wana Benih. Vol.15(1) : 41-60.
Riswan, Soedarsono. 2002. Kajian biologi eboni (Diospyros celebica
Bakh.). Berita Biologi. Vol.6 (2) : 211-218.
Sakinah, Ina Minatus. 2015. http://ina16.web.unej.ac.id/2015/09/14/
morfologi-anatomi-fisiologi-pohon-eboni-dan-cara-melestarikannya/
3/3. Diakses terakhir kali pada tanggal 2 September 2018, pukul 22.50
WIB.
Saleha, Sitti dan Ngakan, Putu Oka. 2016. Sebaran dan struktur
165 populasi anakan Diospyros celebica Bakh. di bawah pohon Induknya.
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea. Vol.5 (2) : 103 – 111.
Samedi dan Kurniawati, I. 2002. Kajian Konservasi Eboni (Diospyros
celebica Bakh.). Berita Biologi. Vol.6 (2) : 231-237.
SONOKELING DAN ULIN,
KAYU HUTAN ELEGAN
YANG LANGKA
IMMANUELA PUTRI DAME , FERDI ANDA SITEPU

Sonokeling atau Dalbergia latifolia merupakan tumbuhan


hutan dengan kayu yang memiliki tekstur halus dan
bercorak. Menurut asal namanya, tumbuhan ini dijuluki
sonokeling karena semakin tua warna kayunya semakin
“keeling” atau hitam cokelat gelap. Sebagai pohon yang
bernilai jual tinggi, ternyata bentuk pohon sonokeling tidak
semolek tumbuhan berbunga pada umumnya.

Tumbuhan asli Indonesia yang berciri daun majemuk


berbentuk bulat dengan tepi daun bergelombang ini, banyak
ditemui di Pulau Jawa. Namun nyaris tak banyak yang tahu
bentuk pohon dan kayunya. Padahal, di luar negeri, kayu
sonokeling telah menjadi primadona bernilai jual tinggi dan
sangat diminati.

Sonokeling yang jangkungnya bisa mencapai ± 30 m, serta


diameter pohon ± 1,2 m, memiliki corak kayu berwarna
cokelat mengilap bercampur merah keunguan. Selain warna
dan coraknya yang unik dan khas, kayu sonokeling bersifat
keras serta rentan terhadap serangan rayap dan jamur.
166 Kelebihan ini menjadikan kayu sonokeling digemari oleh
masyarakat, baik untuk bahan meubel atau furnitur rumah,
maupun bahan dasar untuk membuat senapan.
Kualitas kayu sonokeling asal Indonesia, dikenal bagus
dan diakui negara lain seperti Amerika dan Eropa. Tak
heran, kedua benua tersebut sering mengimpor olahan
kayu Sonokeling dari Indonesia. Berdasarkan harga pasar,
nilai jual kayu sonokeling telah mencapai Rp1.300.000,00–
Rp16.000.000,00 per meter kubik.

Keunggulan dan banyaknya minat konsumen terhadap kayu


sonokeling, memberikan peluang usaha yang sangat luas bagi
masyarakat. Ironinya, hal ini belum sesuai harapan, karena
pohon sonokeling yang ada di hutan tiap tahun semakin
berkurang jumlahnya. Sebab, penebangan liar dilakukan,
bahkan pada pohon yang berdiameter kurang dari 50 cm.

Jika hal ini terus berlangsung, dikhawatirkan pohon asli


Indonesia ini akan mengalami kepunahan. Hal ini telah
tercatat oleh IUCN (International Union for Conservation
of Nature) pada tahun 1998, bahwa pohon sonokeling telah
masuk ke daftar rentan terhadap kepunahan (vulnerable/VU).

Status konservasi keberadaan sonokeling yang mulai


berkurang di alam, menyebabkan badan Kementerian
Pertanian Republik Indonesia mengeluarkan regulasi, demi
melindungi tumbuhan tersebut. Regulasi tersebut tertuang
dalam Surat Keterangan Menteri Pertanian Republik
Indonesia no. 54 tahun 1972.

Selanjutnya, untuk menyuarakan regulasi yang mengatur per­


dagangan kayu sonokeling, maka pemerintah RI dalam CITES
(Convention on International Trade in Endagered Species)
memasukkan Sonokeling ke dalam daftar Appendices II.

Selain tanaman sonokeling, pohon ulin juga termasuk


167 dalam tumbuhan hutan yang dimanfaatkan kayunya untuk
pembuatan meubel atau furnitur dan bahan baku rumah.
Pohon ulin atau Eusideroxylon zwageri yang juga banyak
Kayu ulin juga menjadi
favorit karena corak warna
kayunya yang alami,
tidak mencolok, dan
terkesan elegan, sehingga
meningkatkan estetika
suatu bangunan.

diekspor ke luar negeri, di beberapa daerah di Indonesia


dikenal dengan sebutan Ironwood atau kayu besi. Nama
tersebut dikarenakan kekuatan dan ketahanan kayu ulin
yang sekuat besi, cocok sebagai bahan fondasi rumah.

Sebagai tumbuhan dengan kayu tinggi peminat, rupa atau


tampilan pohon ulin juga tidak semenarik tumbuhan
berbunga lainnya. Ciri-ciri ulin yaitu memiliki tinggi pohon
> 30 m dan diameter pohon yang berkisar 80-100 cm. Selain
itu, ulin memiliki daun tunggal menyirip dengan panjang
14-18 cm dan lebar 5-11 cm.

Seperti tumbuhan berbunga lainnya, ulin juga memiliki


buah berbentuk bulat lonjong dan keras dengan panjang
sekitar 15 cm dan diameter buah ± 7 cm. Namun tampang
yang tidak menarik, bukanlah penghalang bagi manusia
untuk memanfaatkan si primadona kayu ini.

Ketika kayu ulin sudah ditebang, barulah terlihat keindahan


corak warna kayu ulin, yang didominasi warna cokelat
168 keme­rahan, khususnya untuk pohon yang masih muda.
Sedangkan pohon yang usianya sudah lebih tua, berwarna
cokelat merah gelap.
Keindahan corak warna tersebut, disebabkan adanya struk­
tur oil body yang dihasilkan dari kayu tersebut, sehingga kayu
terlihat berkilau mengilap.

Keunggulan inilah yang menjadi daya tarik bagi kaum


pecinta arsitektur rumah bergaya American Craftsman, yang
hampir semua material, fondasi, hingga interior rumahnya
terbuat dari kayu.

Kayu ulin juga menjadi favorit karena corak warna kayunya


yang alami, tidak mencolok, dan terkesan elegan, sehingga
meningkatkan estetika suatu bangunan. Tak heran, kayu ulin
bersama dengan sonokeling juga menjadi tumbuhan yang
sering diekspor ke luar negeri untuk diperdagangkan.

Harga jual untuk 25 kayu ulin berukuran 10x10 dibandrol


dengan harga Rp4.500.000-Rp5.000.000 per meter kubik.
Hal ini juga menjadi lahan usaha yang sangat baik untuk
memperjualbelikan kayu tersebut.

Namun hingga kini, nasib ulin sama seperti sonokeling:


keberadaannya di alam semakin berkurang, akibat
ulah pihak- pihak tak bertanggung jawab, yang enggan
melakukan konsevasi tumbuhan tersebut. Peningkatan
peminat yang tak diimbangi upaya konservasi selama ini,
membuat ulin masuk ke dalam daftar tumbuhan rentan
punah (vulnerable), oleh IUCN pada 1955. Selain itu, CITES
juga telah memasukkan ulin ke dalam daftar Appendices II.

Pihak pemerintah RI dalam menangani kasus ini telah


membuat regulasi pelindungan ulin dari ancaman
kepunahan, melalui SK Mentan No. 54/Kpts/Um/2/1972 dan
169 P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018. Isi regulasi tersebut
antara lain: bahwa pohon ulin yang boleh ditebang, harus
berdiameter lebih dari 60 cm.
Selain itu, ekosistem hutan ulin diketahui juga sebagai
habitat bagi orangutan. Sehingga, jika jumlah areal hutan
ulin berkurang, maka akan turut memengaruhi jumlah
orangutan di alam. Hal ini telah diatur dalam Strategi
Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orang Utan periode 2018-
2028 yang diinisiasi oleh pihak KLHK.

Nyatanya, meski peraturan-peraturan tersebut telah


dibuat, kuantitas pohon ulin dan sonokeling yang tersisa
di alam saat ini, masih belum mampu mengembalikan
jumlahnya seperti dahulu. Hal ini pun juga disebabkan
karena faktor lain seperti iklim dan cuaca yang turut
memengaruhi lingkungan sekitarnya, serta kompetisi antar
spesies tumbuhan yang terjadi di sekitar habitatnya. Maka,
di Indonesia, konservasi sonokeling dan ulin dilakukan
secara in situ dan ex situ.

Konservasi sonokeling secara in situ, telah dilakukan di


seluruh cagar alam yang ada di pulau Jawa. Sedangkan
konservasi ulin secara in situ, telah dilakukan di Taman
Nasional Kutai. Universitas Indonesia sebagai salah satu
kampus yang turut ikut dalam gerakan penghijauan
kota, juga telah menanam sonokeling dan ulin di sekitar
lingkungan kampus. Bahkan ulin dijadikan sebagai salah
satu nama dari enam situ (danau) di area Universitas
Indonesia, yang sengaja ditanami pohon ulin.

Demi turut membantu upaya konservasi, UI yang memiliki


hutan kota membaginya ke dalam tiga bagian. Ketiga bagian
tersebut adalah Wales Barat, Wales Timur dan Vegetasi
Alami. Penetapan ulin dan sonokeling di wilayah Wales
Barat, disebabkan karena ulin dan sonokeling merupakan
170 tumbuhan yang berada di zonasi Indonesia bagian barat.

Upaya yang telah dilakukan oleh UI diharapkan dapat


memicu masyarakat untuk sadar dalam menjaga
biodiversitas yang dimiliki oleh Indonesia. Jangan sampai
ketidakpedulian dan kepentingan diri sendiri, dapat
menyebabkan kepunahan terhadap spesies-spesies yang
dimiliki oleh Indonesia. n

SUMBER PUSTAKA
CITES. 2018. https://www.cites.org/ Diakses pada Minggu, 14 Oktober
2018. Pkl. 15.12 WIB.
IUCN Red List. 2018. https://www.iucn.org/ Diakses pada Minggu, 14
Oktober 2018. Pkl. 20.34 WIB.
Khaerani, F. 2015. Studi potensi dan penyebaran ulin (Eusideroxylon
zwageri Teijsm. & Binnend.) pada kawasan perlindungan setempat areal
IUPHHK-HT PT. Wana Hijau Pesaguan Propinsi Kalimantan Barat.
[Skripsi] Departemen silvikultur IPB, Bogor: 55 hlm.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
No. P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan
Satwa yang Dilindungi.
Pradjadinata, S. & Murniati. 2014. Pengelolaan dan konservasi jenis ulin
(Eusideroxylon zwageri Teijsm. & Binn) di Indonesia. Jurnal penelitian hutan
dan konservasi alam, 11(3): 205--223.
Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 54/Kpts/Um/2/1972 tentang
Pohon-pohon di dalam Kawasan Hutan yang Dilindungi.
Strategi Rencana Aksi Konservasi Orang Utan (SRAK) periode 2018-2028.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.
Zulharman & Aryanti, N. A. 2016. Etnobotani tumbuhan penghasil bahan
bangunan, kerajinan dan rumah adat masyarakat Suku Sambori Kabupaten
Bima NTB. Seminar nasional dan gelar produk: 256--266.

171
TUMBUHAN ENDEMIK
YANG MULAI HILANG
RAFIKA ANNISA ASHARIA, SEPTIONO

Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa


banyaknya, khususnya pada keanekaragaman tumbuhan.

Dari dataran rendah hingga dataran tinggi, dari pegunungan


hingga pantai dan dari hutan sekunder maupun hutan primer
baik itu tumbuhan endemik maupun tumbuhan native.

Banyaknya jenis pada tumbuhan membuat Indonesia


“lengah” dan tidak menyadari ada beberapa bahkan
banyak tumbuhan endemik yang mulai hilang bahkan
keberadaannya sulit untuk ditemukan.

Tumbuhan endemik Indonesia yang dapat dikatakan asli


Indonesia jumlahnya sangat sedikit jika dibandingkan
dengan jumlah jenis tumbuhannya.

Tumbuhan langka Indonesia adalah tumbuhan asli Indonesia


yang populasi taksonnya cenderung berkurang, baik
dalam jumlah individu, populasi maupun keanekaragaman
genetisnya sehingga jika tidak ada usaha pelestarian yang
cukup berarti, akan segera punah dalam waktu yang singkat.

Saat ini, konsentrasi Indonesia khususnya di Jawa Barat


172 (Bogor) sedang di gembor-gemborkan pembibitan kembali
atau pembiakkan jenis endemik agar jenis jenis endemik
tumbuhan Indonesia tidak hilang begitu saja.
Tantangan yang didapat yaitu semakin sedikitnya jumlah
jenis yang ada serta kurangnya pengetahuan masyarakat
Indonesia akan jenis jenis tumbuhan endemik yang semakin
habis bahkan langka keberadaannya merupakan faktor
utama hilangnya jenis jenis endemik tumbuhan yang ada di
Indonesia hingga saat ini.

Tumbuhan tingkat tinggi atau biasa kita sebut dengan


“pohon” memiliki banyak sekali pengaruh dalam kehidupan
dan memberikan banyak timbal balik dalam lingkungan.

Pohon bagi orang awam akan terlihat sama saja, karena


kurangnya pengetahuan akan identifikasi morfologi
tumbuhan membuat jenis jenis endemik pohon Indonesia
semakin hari semakin berkurang, karena masyarakat
(hanya) akan menanam pohon yang “mereka anggap dapat
menghasilkan buah, pohon rindang dan sebagainya” seperti
pohon mangga, pohon pisang, dan pohon lainnya.

Kalau dipikir- pikir kembali, perspektif setiap orang me­


mang berbeda, jika dilihat dari sisi masyarakat yang hanya
menanam pohon untuk diambil sayur dan buah- buahan itu
sudah termasuk konservatif dan memberikan manfaat positif
bagi lingkungan.

Jika dilihat dari perspektif pemerintah yang andil dalam


pengelolaan studi konservasi, tidak adil jika yang ditanam
hanya pohon yang dapat menghasilkan buah dan sayur,
bahkan untuk diambil kayunya sebagai pembuat papan dan
kebutuhan rumah tangga lainnya.

Dalam arti dapat disimpulkan, tumbuhan ini bukan hanya


173 untuk semata mata memenuhi hajat hidup manusia tetapi
lebih luas lagi, semakin luas lingkup daerah, semakin banyak
kebutuhan yang harus dipenuhi begitu juga dengan tumbuhan.
Jika lingkup hanya di masyarakat, hanya beberapa jenis
tumbuhan yang ditanam, tetapi lebih luas lagi untuk
Indonesia maka bukan hanya sekadar diambil buah dan
sayur tetapi juga dalam berbagai macam hal dan yang paling
penting yaitu bukan hanya untuk manusia tetapi untuk
keperluan makhluk hidup lainnya.

Salah satu jenis tumbuhan endemik Indonesia saat ini


yang terancam punah atau dengan status IUCN “EN=
Endangered” atau genting yaitu Upuna borneensis.

Kategori Status konservasi IUCN Red List merupakan kate­


gori yang digunakan oleh IUCN dalam mengklasifikasi terha­
dap jenis-jenis makhluk hidup yang terancam kepunahan.

Tujuannya adalah untuk memperingatkan betapa


pentingnya masalah konservasi kepada publik dan pembuat
kebijakan untuk menolong komunitas internasional dalam
memperbaiki status kelangkaan jenis.

Jenis ini pernah saya temui di Kebun Raya Bogor dengan


kon­disi hanya satu pohon dengan lokasi yang sulit untuk
dikunjungi. Pohon ini termasuk ke dalam keluarga
Dipterocarpaceae.

Jenis tunggal di Kalimantan, dikenal dengan berbagai


nama yaitu di daerah Kalimantan Selatan Cangal tanduk,
Kalimantan Barat dikenal dengan nama Penyau tanduk, di
Brunei terkenal dengan nama Upun batu dan di Malaysia
dikenal dengan nama Penyau.

Pohon endemik ini asli Borneo di bagian selatan dan


barat dan telah terdistribusi di daerah Malesia (Sarawak,
174 Brunei, dan Sabah) dan sangat jarang ditemukan di daerah
Kalimantan Timur. Persebaran yang tidak merata dapat
disebabkan karena viabilitas biji dari jenis ini kurang, tanah
yang kekurangan hara dan banyaknya penebangan liar di
daerah Kalimantan.

Kalimantan dikenal dengan pulau yang masih asri karena


banyak sekali hutan yang belum terjamah, hingga pada
akhirnya banyak bangsa asing maupun penduduk negeri
yang mulai meliriknya dan dibuatlah tambang minyak
dengan menggali lahan yang ada di sana, membakar hutan
untuk pembangunan demi kemajuan dan keberlangsungan
tujuannya. Pohon pohon ditebang secara liar dan
dimanfaatkan untuk berbagai kegunaan.

Upuna borneensis yang biasa digunakan sebagai bahan dasar


konstruksi berat pembuatan kapal, jembatan, furnitur dan
sebagainya, semakin lama semakin habis jika tidak ditindak
lanjuti dan dapat menggeser keseimbangan lingkungan.
Jenis Upuna tidak diperjual belikan untuk ekspor karena
keberadaanya, nama dagang yang digunakan biasanya
yaitu balau (Shorea spp.), giam (Hopea spp.) atau resak
(Cotylelobium spp. dan Vatica spp.

Jenis pohon ini memiliki ciri yaitu pohon dengan tinggi


dapat mencapai 55 meter, batang pohon sangat tinggi, tidak
terdapat cabang hingga 25 meter, diameter batang mencapai
190 cm. Kulit batang terluar berwarna coklat tua hingga
ungu gelap memiliki ketebalan 1,5 cm keras, kulit dalam
memiliki tebal 1 cm berwarna kuning pucat hingga krem.

Daun duduk berselingan dan pada pasangan pertama


tumbuh berhadapan, berbentuk bulat telur terbalik hingga
lonjong, ujung dan pangkal daun tumpul bahkan terbagi
dua, venasi daun menjala, pertulangan daun menjari dan
175 memiliki permukaan adaksial daun berwarna hijau tua
dengan tekstur licin dan mengkilap sedangkan permukaan
abaksial berwarna hijau pucat dengan tekstur daun kasar
dengan pertulangan daun menonjol. Perbungaan cymosa,
calyx menyatu pada dasar, memiliki petal berjumlah lima.

Biji berasal dari arilus yang berbeda. Pemencaran berkaitan


erat dengan pola pembungaan. Pembungaan membutuhkan
sinar matahari yang cukup karena dapat dilihat dari pohon
yang menjulang sangat tinggi.

Umur pohon untuk bisa berbunga juga bervariasi tergantung


dengan kondisi lingkungan hutan.

Suku Dipterocarpaceae mendominasi pasar kayu tropis


dunia dan memiliki peran penting dalam perekonomian
di beberapa negara Asia Tenggara ( Appanah, 1998).
Dipterocarpaceae juga menghasilkan produk- produk non
kayu yang bernilai ekonomi tinggi, seperti buah, resin cair,
damar, kamper dan tannin.

Pelestarian dan penjagaan harus tetap dilakukan. Menurut


Dipterocarpaceae Data base of Royal Botanic Garden
Edinburgh, jumlah marga yang berhasil dikoleksi oleh
Kebun Raya Bogor adalah sebanyak 10 marga. Di antara
koleksi tersebut terdapat 8 jenis Dipterocarpaceae endemik
salah satunya yaitu Upuna borneensis yang merupakan
jenis monotipik. Mengacu pada data, Kebun Raya Bogor
baru dapat mengoleksi 54 dari 143 jenis Dipterocarpaceae
Indonesia yang terancam kepunahan (sekitar 37,8 persen).
Capaian ini masih jauh dari yang ditargetkan oleh GSPC (60
persen jenis tumbuhan terancam punah dapat dikonservasi
secara ex-situ). Upaya pengoleksian dan penyelamatan jenis
ini harus menjadi prioritas.

Penelitian dan pengembangan Dipterocarpaceae di Kebun


176 Raya Bogor untuk perbanyakan perlu dilakukan dengan
penyimpanan sumber daya genetik untuk jangka panjang
diintensifkan di masa depan. n

Anda mungkin juga menyukai