0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
81 tayangan7 halaman
Ringkasan Politik Luar Negeri Indonesia di Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Periode 1 tahun 2004-2009.
Politik LN Presiden RI sangat dipengaruhi oleh karateristik kepemimpinan yang ada pada diri Presiden SBY. Beberapa hal baru dalam dunia diplomasi Indonesia berasal dari pemikiran beliau, dan masih berlaku hingga sekarang.
Judul Asli
Politik Luar Negeri Indonesia di Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Periode 1
Ringkasan Politik Luar Negeri Indonesia di Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Periode 1 tahun 2004-2009.
Politik LN Presiden RI sangat dipengaruhi oleh karateristik kepemimpinan yang ada pada diri Presiden SBY. Beberapa hal baru dalam dunia diplomasi Indonesia berasal dari pemikiran beliau, dan masih berlaku hingga sekarang.
Ringkasan Politik Luar Negeri Indonesia di Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Periode 1 tahun 2004-2009.
Politik LN Presiden RI sangat dipengaruhi oleh karateristik kepemimpinan yang ada pada diri Presiden SBY. Beberapa hal baru dalam dunia diplomasi Indonesia berasal dari pemikiran beliau, dan masih berlaku hingga sekarang.
Politik Luar Negeri Indonesia di Era Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono Periode 1
Masa Kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden
Republik Indonesia ke 6, yakni periode pertama tahun 2004-2009. Menurut Dr. Dino Patti Djalal dalam bukunya Harus Bisa, Seni Memimpin ala SBY, masa kepresidenan Presiden SBY sangat menonjol karakteristik kepemimpinannya dalam pengambilan keputusan bai di dalam negeri maupun luar negeri (internasional). Beberapa karakteristik yang menonjol pada Presiden SBY yaitu merespon masalah secara real time, memimpin berada di depan dalam masa krisis (seperti masa krisis bencana tsunami Aceh 2004), thinking outside the box, mengubah krisis menjadi peluang, mendobrak birokrasi, pemimpin yang berimprovisasi dan transformasi, menghormati para (pemimpin) terdahulu, rasional, konsisten menjaga ‘warna’ politik, menjaga akhlak dan moralitas, menganggap kekalahan sebagai hal yang lumrah dan berkah, membela anak buah, membentuk timnya sendiri, mementingkan faktor timing, mengubah budaya korporat, selalu yakin harus bisa, teliti terhadap detail, pemimpin yang objektif dan pemimpin yang dapat mengambil keputusan dimana saja dan kapan saja. Selain itu, Presiden SBY juga dikenal sebagai pemimpin yang menghormati waktu, Be Yourself (tetap menjadi diri sendiri), berprinsip ‘jangan mendewakan kekuasaan’ dan A leader must be strong (bermental tangguh). Terhadap kebijakan politik luar negeri Indonesia yang diambil oleh Presiden SBY dalam periode pertama pun juga sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan beliau. Presiden SBY memiliki jiwa pemimpin yang nasionalis dan internasionalis. Pemimpin internasionalis percaya bahwa pergaulan internasional dapat bangsa Indonesia menjadi lebih maju dan kuat. Dino Patti Djalal menggolongkan pemimpin dunia, presiden atau perdana menteri, dalam dunia diplomasi yaitu: 1. foreign policy President, tipe presiden yang memiliki perhatian besar pada dunia internasional dan memegang kendali diplomasi. Masalah dalam negeri tetap nomor 1 tapi ia juga lincah dalam bermain di kancah internasional. 2. Presiden atau perdana menteri yang lebih nyaman menyerahkan urusan diplomasi yang ruwet pada menteri luar negerinya saja. Presiden SBY merupakan foreign policy President karena banyak inisiatif diplomasi yang berasal dari Presiden, selalu sigap memberi arahan Menteri Luar Negeri (selanjutnya disebut Menlu) dan seringkali terlebih dahulu menanyakan perkembangan masalah internasional. Pernah suatu kali pada rapat koordinasi seluruh Duta Besar (selanjutnya disebut Dubes) dan Konsulat Jenderal (selanjutnya disebut Konjen) awal tahun 2009 para peserta dibuat tercengang karena Presiden SBY menyampaikan arahan tanpa teks mengenai berbagai isu-isu politik luar negeri secara lepas (off the cut) tentang ASEAN, Myanmar, Libanon, nuklir Iran, KKP Indonesia-Timor Leste dan lain sebagainya. Menurut Marty Natalegawa (sewaktu itu menjadi Dubes) menilai Presiden SBY menjiwai isu internasional yang kompleks melebihi diplomat yang sudah puluhan tahun di dunia diplomasi. Sebelum dilantik menjadi presiden, Presiden SBY mengadakan pertemuan dengan beberapa Dubes negara sahabat di Raffles Hill. Ketika dilantik pada 20 Oktober 2004, untuk pertama kalinya acara kenegaraan di gedung MPR tersebut dihadiri sejumlah pemimpin dan utusan negara sahabat. Segera setelah kabinet dilantik, Presiden SBY bersama Menlu Hassan Wirajuda membuat diplomasi Indonesia menjadi outward-looking. Stigma internasional tentang Indonesia kala itu sebagai negara inward-looking dalam tahun awal- awal reformasi. Indonesia menempati posisi yang sangat berbeda di pentas Internasional, hal ini dirasakan Presiden SBY ketika: pada tanggal 25 September 2007, Presiden SBY duduk di kursi Dewan Keamanan (selanjutnya disebut DK) PBB di New York sebagai anggota tidak tetap DK PBB. Sementara terakhir beliau berurusan dengan DK PBB tahun 1999 dan 2000 Indonesia sedang ‘babak belur habis’. PBB marah karena jajak pendapat di Timor Timur 1999 berakhir dengan kerusuhan massal dan 3 petugas PBB tewas mengenaskan di Atambua. Perwira TNI diancam akan dibawa ke tribunal internasional, citra Indonesia sangat terpuruk. Dalam waktu 7 tahun persepsi Indonesia di dunia internasional berubah pesat. Bulan Juli 2008, Presiden SBY direncanakan diundang untuk menghadiri KTT G-8 di Hokkaido, Jepang, hal ini pertama kalinya Indonesia diundang dalam pertemuan tersebut. Berikut aset Presiden yang dimanfaatkan dalam diplomasi: 1. Sebagai pemenang pemilu yang melibatkan 150 juta pemilih (salah satu pemilu terbesar di dunia), Presiden membawa diri dengan penuh percaya diri di forum Internasional sebagai negara demokrasi yang sukses melakukan transisi. 2. Posisi Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, suara Indonesia menjadi sangat bermakna dalam dunia Islam maupun dinamika Islam- Barat sejak era pasca perang dingin yang muncul gejala clash of civilizations. Hal ini membuka pandangan diplomat Indonesia tentang keunikan Indonesia yang memiliki 3 hal dalam dunia Islam yaitu Islam, modernitas dan demokrasi. (Presiden SBY berkata: “in Indonesia, Islam , modernity and democracy go hand in hand effortlessly” pada pertemuan puncak OKI di Dakar, Sinegal Maret 2009) 3. Aset ketiga adalah lingkungan hidup, hutan hujan tropis dalam konteks diplomasi global mengenai perubahan iklim menyebabkan hutan hujan tropis Indonesia menjadi negara yang strategis atau environmental superpower. Presiden SBY mengingatkan dunia bahwa tidak ada mesin yang dapat menyerap CO2 sampai sekarang, yang bisa adalah hutan milik Indonesia dan negara seperti Papua Nugini, Brazil, Malaysia dan lainnya. Kemampuan Indonesia untuk memelihara hutan dan mencegah illegal logging menambah pengaruh dalam pergaulan antar bangsa 4. Aset lainnya, posisi sebagai ekonomi dan negara terbesar di Asia Tenggara, posisi strategis Indonesia dalam rute perdagangan dan energy supply Asia Timur, prestasi Indonesia di bidang anti-terrorism, SDA yang melimpah. Aset-aset tersebut perlu diadaptasi dalam cara berpikir, memandang dan berinteraksi dengan dunia dan diperlukan kepemimpinan internasionalisme yang bercorak khusus, berikut Presiden SBY: 1. Kepemimpinan berorientasi pada peluang, hal ini ditekankan pada para Dubes: “saudara-saudara harus menjadi opportunity seekers, pencari peluang. Kalau ada tawaran menjadi tuan rumah konferensi internasional, para Dubes agar langsung saja angkat tangan”. Presiden pernah mengkritik kajian Lemhanas yang hanya berisi ancaman, bukan peluang. 2. Kepemimpinan internasional harus percaya diri. Presiden SBY risih terhadap talking points yang disiapkan untuk beliau masih sarat dengan meminta dukungan terhadap persatuan Indonesia dalam menghadapi tamu asing dan menganggap hal itu cengeng dan tidak percaya diri, kecuali jika relevan. Misalnya pada tahun 2005, Presiden SBY dan PM John Howard dari Australia membuat Comprehensive Partnership yang secara eksplisit menyatakan “Australia does not support separatist movement in any part of Indonesia. Indonesia’s unity, stability, and prosperity is vital for Australia…”. Selain percaya diri, terdapat pula sikap intellectual efficiency yaitu kemampuan mengolah kebijakan secara profesional dan akurat tanpa terbebani analysis paralysis, sentimen anti-, atau conspiracy theories. Presiden SBY menggambarkan tantangan politik luar negeri bebas aktif sekarang yakni ibarat berlayar dalam samudra yang penuh gejolak. Presiden menyampaikan pidato yang berjudul An Independent and active foreign policy for 21st century dan mengangkat kebijakan dasar politik luar negeri ini dalam Navigating a Turbulent Ocean, disini konsep baru yang diterapkan Presiden SBY untuk politik bebas aktif dalam konteks abad 21 adalah all directions foreign policy. Dunia sudah jauh berbeda dan untuk survive perlu memahami betul perubahan yang terjadi dan mencoba beradaptasi. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia tidak ada satu negara pun dianggap musuh atau memusuhi Indonesia. Sebab selama 3 generasi sebelumnya dari tahun 1945 konsep nasionalisme sangat lekat dengan faktor musuh: Jepang (penjajah), Belanda (penjajah), Amerika (RRI-Permesta), Malaysia dan Singapura (konfrontasi), Sekutu dalam revolusi Kemerdekaan, RRC (G.30S/PKI), Portugal (konflik Timor-Timur) dan Libya (pentolan GAM dilatih). Kini China, Australia, Rusia, Jepang menjadi mitra strategis, Malaysia dan Singapura menjadi sahabat di ASEAN, Amerika menganggap Indonesia sebagai democratic partnership, Libya mendukung Indonesia dalam konflik Aceh. Meski perbedaan kepentingan adalah sebuah realita di seluruh dunia namun sangat berbeda dengan konsep permusuhan konvensional. Meski demikian harus tetap waspada dengan musuh dan ancaman yang selalu ada, dengan skala dan modus operandi yang berbeda : penyakit menular (flu burung, HIV, SARS, virus Ebola), terorisme, korupsi, currency traders, penyelundup, kriminal transnasional, perdagangan manusia, LSM atau anggota parlemen luar negeri yang mendukung separatis, bencana alam. Presiden SBY sangat aktif memupuk lingkungan strategis yang zero enemy and a million friends for Indonesia, diplomasi seluruh penjuru ini mempunyai ruang gerak yang sangat luas untuk bergerak. Pada waktu itu (awal masa kepresidenan) ide tersebut merupakan suatu hal yang baru dan tidak mudah diresapi semua orang. Sifat internasionalisme yang paling penting adalah selalu mengabdikan pada kepentingan nasional. Setiap berkunjung ke luar negeri Presiden selalu menerapkan kriteria: deliverables atau harus ada hasil yang konkrit untuk kepentingan nasional dan untuk rakyat Indonesia yang bentuknya berbagai macam: pendidikan, teknologi, kerjasama bidang perdagangan, investasi dan lain sebagainya. Presiden pernah kecewa pada kunjungan ke Abu Dhabi pada Mei 2006, pertemuan tersebut bersama dengan para investor setempat. Namun pertemuan tersebut kurang persiapan sehingga hanya dihadiri oleh segelintir orang dan selebihnya adalah staff KBRI, beliau pun mendamprat pembantunya dan KBRI. Presiden sering mengadakan One-on-One Meeting dengan hasil konkrit, bahkan sebelum menyetujui kegiatan pertemuan, Presiden mengecek dan meneliti langsung, satu persatu, apa manfaat dan hasil yang didapat. Akibat tekanan Presiden yang sangat kuat terhadap deliverables, Dino Patti Djalal selaku pembantu presiden di bidang diplomasi, menerjemahkannya dalam formula 1-3-5 untuk kunjungan kenegaraan presiden ke luar negeri. Paling tidak 1 deklarasi/joint statement, 3 tema kerjasama utama (misalnya perdagangan, energi, tenaga kerja), dan 5 skema kerja sama atau MoU yang konkrit. Hal ini membuat para diplomat Indonesia di luar negeri jungkir balik, namun otomatis menaikkan standar diplomasi Indonesia. Salah satu kunjungan Presiden yang paling disorot adalah kunjungan ke Iran yang dilakukan pada bulan Maret 2008. Waktu itu, Iran telah menjadi faktor dalam politik dalam negeri Indonesia berkaitan dengan politik interpelasi DPR, dan juga faktor dalam hubungan internasional Indonesia karena desakan dari negara-negara Barat aga Indonesia mengambil sikap tertentu terhadap Iran. Presiden SBY sejak awal masalahnya dengan jernih dan independen: sebagai pelopor dalam Perjanjian Non Proliferasi Nuklir (NPT), Indonesia sangat berkepentingan mencegah proliferasi senjata nuklir di mana pun di dunia ini, karena hanya akan membahayakan keamanan internasional. Terhadap isu nuklir Iran yang kontroversial itu, sesuai ketentuan NPT, Indonesia mendukung hak setiap negara untuk mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan damai dan Indonesia sendiri pun suatu hari kelak akan membangun energi nuklir sipil. Negara-negara yang ingin membangun teknologi nuklir harus bekerjasama penuh dengan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) sebagai satu-satunya badan PBB yang memiliki kompetensi di bidang ini. Berdasarkan pertimbangan itu, Indonesia mendukung Resolusi 1747 bulan Maret 2007 karena dalam penilaian setelah mengkaji laporan IAEA, tidak ada tanda yang meyakinkan bahwa Iran bekerja sama penuh dengan IAEA. Namun dalam Resolusi 1803 bulan Februari 2008, Indonesia memilih bersikap abstain, karena laporan dari IAEA menyatakan Iran telah menunjukkan bahwa Iran mulai aktif bekerjasama dengan IAEA, walaupun masih belum sepenuhnya. Waktu itu Indonesia adalah satu-satunya anggota DK PBB yang mengambil sikap beda. Namun hal ini sama sekali tidak menjadi masalah bagi Presiden SBY karena ini adalah posisi prinsipil yang objektif dan independen. Bahkan sebelum mengambil keputusan untuk Indonesia berposisi abstain, Presiden sempat diingatkan tentang risiko karena harus berseberangan dengan seluruh anggota DK PBB. Presiden SBY menjawab bahwa hal tersebut jelas berisiko, tapi risiko tersebut harus diambil dan bersiap untuk menghadapinya. Kunjungan Presiden ke Iran 2 minggu setelah voting abstain di DK PBB New York memang mendapat perhatian internasional. Barat menyayangkan kunjungan Presiden SBY begitu dekat setelah voting DK PBB. Namun hal ini tidak mempengaruhi beliau, pertama karena Indonesia tetap menganggap Iran sebagai sahabat terlepas dari perbedaan pendapat mengenai isu tertentu, dan kedua karena Indonesia mempunyai kepentingan nasional untuk menjaga persahabatan. Ketika ditanya oleh pers Indonesia setibanya Presiden SBY di Tehran mengenai apakah kunjungannya ke Iran berarti menabuh genderang perang dengan pihak Barat. Presiden dengan tegas menjawab tidak, lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa kunjungan ke Iran atau Myanmar bukan berarti memusuhi Barat. Demikian juga jika beliau berkunjung ke Amerika, tidak berarti meninggalkan yang lain. Presiden memberi contoh dengan mendeklarasikan Strategic Partnership dengan Cina, tidak berarti Indonesia lantas meninggalkan Jepang dan Korea Selatan. Presiden membahas hal ini dengan pembantunya dan Komandan Paspampres bahwa Indonesia harus menerapkan asas kepatutan dalam menjalin hubungan dengan negara lain. Indonesia tidak boleh larut dengan satu pihak saja. Apa yang ‘terlalu’ biasanya tidak baik, terlalu memusuhi si A atau terlalu mengikuti si B tidak baik bagi diplomasi Indonesia. Pada akhirnya kunjungan Presiden SBY ke Iran dilakukan secara berimbang: sebagai anggota tidak tetap DK PBB, Presiden SBY tetap konsisten meminta Presiden Ahmadinejad untuk terus bekerja sama penuh dengan IAEA, dan mengutamakan dialog. Presiden SBY, sementara itu, juga berhasil meningkatkan hubungan bilateral Indonesia-Iran secara konkrit diantaranya pembangunan kilang minyak di Banten, pabrik Petrokimia di Iran, kerja sama di bidang perdagangan, gas, pertanian, pariwisata/penerbangan. Presiden tetap menjaga persahabatan dengan Iran namun juga tetap melaksanakan kewajiban sebagai anggota NPT dan tetap dalam koridor keanggotaan DK PBB. Hal yang penting dalam internasionalisme Indonesia adalah kemampuan menjaga jati diri Indonesia sebagai bangsa yang moderat dalam pergaulan bangsa-bangsa. Ada beberapa politisi menginginkan agar Presiden Indonesia bertindak seperti Hugo Chavez, Ahmadinejad, Khadafi, atau Mahathir Mohammad. Ide yang menarik, namun kalau Presiden SBY meniru mereka berarti Presiden telah kehilangan jati dirinya dan akan diremehkan sebagai imitator yang tidak berkepribadian. Suara Indonesia akan lebih didengar kalau mencerminkan warna Indonesia yang sebenarnya dan tidak meniru. Hal ini terlihat saat Presiden SBY menghadiri KTT Non-Blok di Havana tahun 2006. Sejak menjelang kedatangan di Kuba, terdapat kekhawatiran mengenai arah dari KTT Non-Blok yang sudah berumur 45 tahun dan beranggotakan 118 negara. Indonesia menginginkan KTT Non-Blok selalu menjadi kekuatan yang moderat tapi tetap berprinsip dan mainstream dalam sistem internasional. Namun dalam pembukaan KTT hari pertama, dijadwalkan 4 pembicara berturut-turut : Wakil Presiden Raul Castro (Wakil Presiden Kuba, saat itu Fidel Castro selaku Presiden Kuba sedang sakit keras), Presiden Ahmadinajed (Presiden Iran), Presiden Evo Morales (Presiden Bolivia), Presiden Hugo Chaves (Presiden Venezuela). Kekhawatiran bahwa gabungan ke-empat pembicara akan menyetir deklarasi KTT Non-Blok ke arah radikal dan konfrontatif. Ke-empat pemimpin tersebut berpidato sangat keras dengan beretorika anti-barat dan kecaman pedas. Situasi sidang menjadi hangat dan entertaining. Pada saat inilah Presiden SBY tampil sebagai pembicara berikutnya, tanpa goyah dan penuh percaya diri menyampaikan pidato yang warna dan nadanya sangat berbeda : moderat, persuasif, dan konstruktif meski ada appeal dan permintaan konkrit kepada negara maju untuk berbuat lebih banyak, lebih nyata agar keadilan dan kesejahteraan dunia dapat dirasakan oleh semua. Presiden menekankan pentingnya kemitraan Utara dan Selatan dan bukan konfrontasi untuk menjawab tantangan global, pentingnya kontrak kemitraan (Contract of Partnership) antara negara maju dan berkembang. Lebih jauh Presiden SBY juga mengajukan usulan praktis dimana kerjasama harus diwujudkan sertan kewajiban masing-masing negara berkembang. Presiden SBY, dengan kata lain, mengingatkan bahwa negara berkembang dalam menuntut tatanan dunia yang lebih adil juga harus menunaikan tanggung jawabnya, seperti: good governance, pembangunan SDM, menciptakan iklim yang kondusif untuk investasi dan melestarikan lingkungan hidup. Hal yang sama juga digaungkan oleh PM Manmohan Singh dari India. Akhirnya setelah 3 hari KTT Non-Blok di Havana, berhasil membuat satu deklarasi yang isinya berimbang, kritis, namun konstruktif dan tidak konfrontasional terhadap negara Barat. Presiden SBY sepenuhnya mendukung karena sesuai dengan semangat dan jiwa pidato Presiden.
Sumber: Dino Patti Djalal, 2008, Harus Bisa! Seni Memimpin ala SBY, Indonesia: Red and White Publishing.