Politik Luar Negeri Bebas Aktif pada Masa Orde Baru (1966-1998)
Di dalam dokumen yang berhasil disusun oleh pemerintah yang dituangkan di dalam Rencana
Strategi Politik Luar negeri Republik Indonesia (1984-1989) antara lain dinyatakan bahwa politik
Luar negeri suatu negara hakekatnya merupakan salah satu sarana untuk mencapai kepentingan
nasional. Sedangkan di Indonesia, jika dicermati, rumusan pokok kepentingan nasional itu dapat
Akibatnya muncullah berbagai tuntutan yang disponsori oleh berbagai kesatuan aksi dengan
tuntutannya yang terkenal “TRITURA” (Tri Tuntutan Rakyat), yaitu : bubarkan PKI, turunkan harga
dan reshuffle kabinet. Tuntutan pertama dapat dipenuhi pada tanggal 12 Maret 1966. Dan segera
setelah itu pada bulan Juni sampai Juli 1966 Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (setelah
sebanyak 24 ketetapan. Salah satu ketetapan MPRS tersebut adalah Ketetapan No.XII/MPRS/1966
tentang Penegasan Kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar Negeri RI. Di dalam ketetapan
1) Bebas-aktif, anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya
dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
Politik Luar Negeri Bebas Aktif bertujuan mempertahankan kebebasan Indonesia terhadap
imperialis dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya dan menegakkan ke tiga segi
1) Pembentukan satu Negara Republik Indonesia yang berbentuk Negara Kesatuan dan Negara
Kebangsaan yang demokratis, dengan wilayah kekuasaan dari Sabang sampai Merauke.
2) Pembentukan satu masyarakat yang adil dan makmur material dan spiritual dalam wadah
3) Pembentukan satu persahabatan yang baik antara Republik Indonesia dan semua negara di
dunia, terutama sekali dengan negara-negara Afrika dan Asia atas dasar bekerjasama membentuk
satu dunia baru yang bersih dari imperialisme dan kolonialisme menuju kepada perdamaian dunia
yang sempurna.
Kemudian secara berturut-turut penegasan politik luar negeri yang bebas-aktif oleh Majelis
Permus-yawaratan Rakyat selalu dipertegas dalam setiap kali menyelenggarakan sidang umum,
baik Sidang Umum 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, 1998 maupun dalam Sidang Umum MPR 1999.
Penegasan politik Luar Ne-geri Bebas-Aktif yang dituangkan di dalam Ketetapan MPR
No.IV/MPR/1973 Bab III huruf B Arah Pembangunan Jangka Panjang, di sana ditegaskan : Dalam
bidang politik luar negeri yang bebas aktif diusahakan agar Indonesia terus dapat meningkatkan
peranannya dalam memberikan sumbangannya untuk turut serta menciptakan perdamaian dunia
Rumusan tersebut dipertegas lagi pada bab IVD (Arah dan Kebijaksanaan Pembangunan) huruf c
bidang politik. Aparatur Pemerintah, Hukum dan Hubungan Luar Negeri, di mana dalam hal
1) Terus melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif dengan mengabdikannya kepada
2) Mengambil langkah-langkah untuk memantapkan stabilitas wilayah Asia Tenggara dan Pasifik
Barat Daya, sehingga memungkinkan negara-negara di wilayah ini mampu mengurus masa
Tenggara.
3) Mengembangkan kerjasama untuk maksud-maksud damai dengan semua negara dan badan-
badan internasional dan lebih meningkatkan peranannya dalam membantu bangsa-bangsa yang
Nasional.
Sidang Umum MPR 1999 juga kembali mempertegas politik luar negeri Indonesia. Dalam
ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN, Bab IV Arah Kebijakan, huruf C angka 2 tentang
kepentingan nasional, menitik beratkan pada solidaritas antar negara berkembang, mendukung
2) Dalam melakukan perjanjian dan kerjasama internasional yang menyangkut kepentingan
dan hajat hidup rakyat banyak harus dengan persetujuan lembaga perwakilan rakyat.
3) Meningkatkan kualitas dan kinerja aparatur luar negeri agar mampu melakukan diplomasi
pro-aktif dalam segala bidang untuk membangun citra positif Indonesia di dunia internasional,
memberikan perlindungan dan pembelaan terhadap warga negara dan kepentingan Indonesia,
4) Meningkatkan kualitas diplomasi guna mempercepat pemulihan ekonomi dan pembangunan
nasional, melalui kerjasama ekonomi regional maupun internasional dalam rangka stabilitas,
5) Meningkatkan kesiapan Indonesia dalam segala bidang untuk menghadapi perdagangan
prosedur diplomatik dalam upaya melaksanakan ekstradisi bagian penyelesaian perkara pidana.
7) Meningkatkan kerjasama dalam segala bidang dengan negara tetangga yang berbatasan
langsung dan kerjasama kawasan ASEAN untuk memelihara stabilitas, pembangunan dan
kesejahteraan.
Politik Luar Negeri di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004 – 2009, dalam
visi dan misi beliau diantaranya dengan melakukan usaha memantapkan politik luar negeri. Yaitu
Indonesia dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional. Prestasi Indonesia sejak 1 Januari
2007 menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, dimana Republik Indonesia dipilih oleh
158 negara anggota PBB. Tugas Republik Indonesia di Dewan Keamanan PBB adalah :
Baru-baru ini Indonesia berani mengambil sikap sebagai satu-satunya negara anggota tidak tetap
DK PBB yang bersikap abstain ketika semua negara lainnya memberikan dukungan untuk memberi
Selain itu Republik Indonesia juga dipercaya dunia untuk duduk sebagai anggota Dewan Hak Asasi
Manusia (HAM) PBB yang bermarkas di Jenewa. Jika tahun lalu untuk masa tugas 1 tahun, maka
sekarang Republik Indonesia terpilih untuk periode 3 tahun hingga 2010. Saat itu dalam Sidang
Majelis Umum PBB, Republik Indonesia memperoleh dukungan 182 suara diantara 190 negara
anggota yang memiliki hak pilih. Hal ini berarti masyarakat internasional menaruh apresiasi yang
tinggi terhadap upaya penegakan HAM di Indonesia. Republik Indonesia sendiri akan
berbagai komitmen yang telah disampaikan Pemerintah Republik Indonesia sendiri. Kita semua
Selain itu Republik Indonesia juga dipercaya dunia untuk duduk sebagai anggota Dewan Hak Asasi
Manusia (HAM) PBB yang bermarkas di Jenewa. Jika tahun lalu untuk masa tugas. Partisipasi aktif
Indonesia dalam upaya mewujudkan perdamaian dunia telah ditunjukkan dengan keikutsertaan
dalam setiap Operasi Pemeliharaan Perdamaian (OPP) PBB melalui pengiriman Konting kin
meningkatnya jumlah OPP PBB, peran serta Indonesia dalam OPP PBB selama beberapa tahun
terakhir justru mengalami penurunan. Dalam kaitan ini, dipandang perlu pembentukan suatu
Pusat OPP Nasional (National Peacekeeping Center) sebagai suatu mekanisme kerja yang
militer, polisi dan sipil dalam misi perdamaian PBB. Dan pada November tahun 2006 Indonesia
mengirim Konga ke Lebanon. Sampai sekarang kita sudah mengirimkan pasukan Konga XXIII B ke
Lebanon
1. Saat ini Indonesia menjadi anggota di lebih dari 170 organisasi internasional. Jumlah
pada organisasi internasional untuk tahun 2004 adalah sebesar + Rp. 140 milyar.
2. Dalam memberikan perlindungan dan bantuan hukum khususnya kepada TKI, selama
MoU, antara lain: antara RI dan Uni Emirat Arab (UAE) mengenai Penempatan TKI ke UAE
yang menegaskan hak dan kewajiban TKI dan pengguna jasa; RI dan Malaysia mengenai
Penempatan TKI di Sektor Formal ke Malaysia yang didasari oleh keinginan untuk
menertibkan penempatan dan perlindungan TKI sektor formal di luar negeri; serta RI dan
Korea Selatan tentang pengiriman TKI ke Korea Selatan yang mengatur proses rekrutmen,
Dalam rangka mewujudkan politik luar negeri yang bebas dan aktif itulah, maka Indonesia
memainkan sejumlah peran dalam percaturan internasional. Peran yang cukup menonjol yang
dimainkan oleh Indonesia adalah dalam rangka membantu mewujudkan pemeliharaan perdamaian
dan keamanan internasional. Dalam hal ini Indonesia sudah cukup banyak pengirimkan Kontingen
Garuda (KONGA) ke luar negeri. Sampai sekarang ini Indonesia telah mengirimkan kontingen
Secara garis besar kontingen garuda yang telah dikirim ke luar negeri secara berturut-turut
adalah :
1) Konga I bertugas di Mesir, yang dikirim pada bulan Nopember l956, dengan tugas
2) Konga II dikirim pada bulan September l960 yang bertugas di Kongo. Tugas ini diembannya
3) Konga III dikirim ke Kongo pada bulan Desember l963 sampai Agustus l964.
4) Konga IV, Konga V dan Konga VII di kirim ke Vietnam, dan bertugas mulai bulan Januari
l974.
5) Konga VI, dikirim ke Sinai, Mesir, bertugas dari bulan Agustus l973 sampai April l974.
6) Konga VIII, ke Sinai, Mesir, pada bulan September l974.
7) Konga IX, ke Irak-Iran, pada bulan Agustus l988 sampai bulan Nopember l990.
8) Konga X, ke Namibia, pada bulan Juni l989 sampai Maret l990.
9) Konga XI, ke perbatasan Irak-Kuwait, pada bulan April l991 sampai Nopember l991.
10) Konga XII, ke Kamboja, pada bulan Oktober l991 sampai Mei l993.
11) Konga XIII, ke Somalia, pada bulan Juli l992 sampai April l993.
12) Konga XIV, ke Bosnia Herzegovina, bulan Nopember l993 sampai Nopember l995.
13) Konga XV, ke Georgia, bulan Oktober l994 sampai Nopember l995.
17) Konga XIX, yang terdiri atas XIX-1, XIX-2, XIX-3 dan XIX-4, bertugas di Siera Leone, mulai
Selain pengiriman Kontingen Garuda, Indonesia juga mempunyai sumbangan yang cukup berarti
Informal Jakarta (Jakarta Informal Meeting) I dan II. Indonesia juga menjadi anggota tidak tetap
Dewan Keamanan PBB, menjadi anggota Badan Tenaga Atom Internasional. Salah seorang putra
terbaik Indonesia juga pernah memegang jabatan Presiden Majelis Umum PBB yaitu Adam Malik
tahun 1971.
Indonesia juga menjadi sponsor dan sekaligus tuan rumah diselenggarakannya Konferensi Asia
Afrika di Bandung tahun l955; menjadi salah satu sponsor lahirnya Gerakan Non Blok, juga
sponsor lahirnya organisasi regional Asia Tenggara “ASEAN” 8 Agustus 1967di Bangkok, Thailand.
Apa yang diraikan adalah sejumlah contoh yang menggambarkan bagaimana peranan Indonesia di
domestik yang diduga akan menjadi faktor pendukung ataupun penghambat proses
demokratisasi. Keumuman ini terjadi karena beberapa alasan. Diantaranya adalah bahwa aktor-
cenderung bersifat inward-looking. Selain itu, kuatnya kecenderungan untuk menganalisis proses
demokratisasi melalui lensa dinamika politik domestik juga terjadi karena adanya anggapan
bahwa pada akhirnya aktor-aktor politik domestiklah yang akan menentukan tindakan politik apa
Akan tetapi, situasi ketidakpastian yang melingkupi setiap proses transisi politik sebetulnya
membuat sebuah negara yang sedang menjalani demokratisasi sangat mudah dipengaruhi oleh
faktor-faktor eksternal. Pengaruh internasional dari sebuah proses demokratisasi bisa terjadi
dalam beberapa bentuk: contagion, control, consent dan conditionality. Contagion terjadi ketika
demokratisasi di negara-negara Eropa Timur setelah Perang Dingin usai dan juga gelombang
demokratisasi di negara-negara Amerika Latin pada tahun 1970-an merupakan contoh signifikan.
Mekanisme control terjadi ketika sebuah pihak di luar negara berusaha menerapkan demokrasi di
negara tersebut. Misalnya Doktrin Truman 1947 mengharuskan Yunani untuk memenuhi beberapa
kondisi untuk mendapatkan status sebagai ‘negara demokrasi’ dan karenanya berhak menerima
Bentuk ketiga, consent, terjadi ketika ekspektasi terhadap demokrasi muncul dari dalam negara
sendiri karena warga negaranya melihat bahwa sistem politik yang lebih baik, seperti yang
berjalan di negara demokrasi lain yang telah mapan, akan bisa juga dicapai oleh negara tersebut.
Dengan kata lain, pengaruh internasional datang sebagai sebuah inspirasi yang kuat bagi warga
negara di dalam negara itu. Kasus yang paling sering disebut dalam hubungannya dengan hal ini
adalah reunifikasi Jerman Timur dengan Jerman Barat. Bentuk keempat dari dimensi internasional
dalam proses demokratisasi adalah conditionality, yaitu tindakan yang dilakukan organisasi
internasional yang memberi kondisi-kondisi tertentu yang harus dipenuhi negara penerima
bantuan.
datang dari luar batas sebuah negara. Proses lain yang mungkin terjadi adalah proses inside-out,
yaitu proses dimana negara yang tengah mengalami proses demokratisasi menggunakan
diplomasi dan politik luar negeri untuk mengkonsolidasikan demokrasinya. Dalam studinya
mengenai bagaimana negara-negara demokrasi baru menggunakan politik luar negerinya, Alison
Stanger menemukan bahwa proses transisi bisa dipertahankan arahnya ketika negara-negara
demokrasi baru ‘membawa dirinya lebih dekat kepada negara-negara demokrasi yang lebih
mapan.
Dua alasan bisa dikemukakan untuk menjelaskan hal ini. Pertama, politik luar negeri bisa
digunakan sebagai alat untuk menjaga jarak atau membedakan diri dari rezim autoritarian yang
digantikannya. Kedua, sebagai konsekuensi dari alasan pertama, prospek bagi kerjasama
internasional, terutama dengan negara-negara yang mapan demokrasinya akan semakin baik dan
Indonesia yang tengah meniti jalan menuju demokrasi mengalami kedua aspek outside-in dan
diterapkan IMF berkenaan dengan bantuan keuangan pada masa krisis ekonomi berpengaruh baik
Dalam kaitannya dengan konteks inside-out, politik luar negeri Indonesia sejak kejatuhan
pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998 tidak dapat dilepaskan dari perubahan politik secara
masif yang mengikuti kejatuhan pemerintahan otoritarian tersebut. Pemerintahan Habibie, yang
menggantikan Suharto, merupakan salah satu contoh tepat untuk menggambarkan pertautan
antara proses demokratisasi dan kebijakan luar negeri dari sebuah pemerintahan di masa transisi.
Di awal masa pemerintahannya, Habibie menghadapi persoalan legitimasi yang cukup serius.
Akan tetapi, Habibie berusaha mendapatkan dukungan internasional melalui beragam cara.
dengan perlindungan atas hak asasi manusia. Pertama adalah UU no.5/1998 mengenai
Pengesahan Convention against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Forms of Racial Discrimination 1965. Selain itu, pemerintahan Habibie pun berhasil mendorong
ratifikasi empat konvensi internasional dalam masalah hak-hak pekerja. Pembentukan Komnas
Perempuan juga dilakukan pada masa pemerintahan Habibie yang pendek tersebut.
Dengan catatan positif atas beberapa kebijakan dalam bidang HAM yang menjadi perhatian
masyarakat internasional ini, Habibie berhasil memperoleh legitimasi yang lebih besar dari
Hubungan Habibie dengan lembaga International Monetary Fund (IMF) dapat dijadikan ilustrasi
yang menarik dalam hal ini. Sebelumnya, IMF mendesak Suharto untuk menghentikan proyek
pembuatan pesawat Habibie yang berbiaya tinggi pada bulan Januari 1998, tepat ketika suhu
belakangan ketika ia berkuasa, Habibie mendapatkan kembali kepercayaan dari dua institusi
penting yaitu IMF sendiri dan Bank Dunia. Kedua lembaga tersebut memutuskan untuk
mencairkan program bantuan untuk mengatasi krisis ekonomi sebesar 43 milyar dolar dan
Hal ini memperlihatkan bahwa walaupun basis legitimasi dari kalangan domestik tidak terlampau
kuat, dukungan internasional yang diperoleh melalui serangkaian kebijakan untuk memberi image
positif kepada dunia internasional memberi kontribusi positif bagi keberlangsungan pemerintahan
Habibie saat periode transisi menuju demokrasi dimulai.
Pemerintahan Habibie pula yang memberi pelajaran penting bahwa kebijakan luar negeri,
sebaliknya, juga dapat memberi dampak negatif bagi kelangsungan pemerintahan transisi.
Kebijakan Habibie dalam persoalan Timor-Timur menunjukan hal ini dengan jelas. Habibie
mengeluarkan pernyataan pertama mengenai isu Timor Timur pada bulan Juni 1998 dimana ia
mengajukan tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor Timur.
bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final atas masalah Timor
Timur.
Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan akibat dari surat yang dikirim
Perdana Menteri Australia John Howard pada bulan Desember 1998 kepada Habibie yang
menyebabkan Habibie meninggalkan opsi otonomi luas dan memberi jalan bagi referendum. Akan
tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa surat tersebut hanya berisi dorongan agar Indonesia
mengakui hak menentukan nasib sendiri (right of self-determination) bagi masyarakat Timor
Timur. Namun, Australia menyarankan bahwa hal tersebut dijalankan sebagaimana yang dilakukan
di Kaledonia Baru dimana referendum baru dijalankan setelah dilaksanakannya otonomi luas
selama beberapa tahun lamanya. Karena itu, keputusan berpindah dari opsi otonomi luas ke
Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian memojokkan
pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa hal. Pertama,
Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi referendum di Timor
Timur karena ia dianggap sebagai presiden transisional. Kedua, kebijakan Habibie dalam isu
Timor Timur merusakan hubungan saling ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto,
Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat internasional maupun domestik. Di mata
langkah presiden Habibie menawarkan refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro
integrasi yang berujung pada tindakan kekerasan di Timor Timur setelah referendum.
Di mata publik domestik, Habibie juga harus menghadapi menguatnya sentimen nasionalis,
terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia masuk ke Timor
Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie untuk memenangi pemilihan presiden pada bulan
September 1999 hilang. Sebaliknya, citra TNI sebagai penjaga kedaulatan territorial kembali
menguat. Padahal sebelumnya peran politik TNI menjadi sasaran kritik kekuatan pro demokrasi
demokrasi di Indonesia. Dinamika hubungan sipil militer ini terutama terlihat dalam isu
separatisme, baik di Aceh maupun Papua. Isu Timor Timur seperti di uraikan diatas juga menjadi
contoh penting yang memperlihatkan keterkaitan antara faktor domestik (hubungan sipil militer)
Bila dalam periode Habibie terjadi hubungan saling ketergantungan antara pemerintahan Habibie
dengan TNI, pada masa Abdurrahman Wahid terjadi power struggle yang intensif antara presiden
Wahid dengan TNI sebagai akibat dari usahanya untuk menerapkan kontrol sipil atas militer yang
subyektif sifatnya.
Entry point yang digunakan oleh presiden Wahid adalah persoalan Timor Timur. Komisi khusus
yang dibentuk oleh PBB menyimpulkan bahwa kerusuhan di Timor Timur setelah referendum 1999
direncanakan secara sistematis. Lebih jauh Komisi tersebut menyatakan dengan jelas bahwa TNI
dan milisi pro integrasi merupakan dua pihak yang harus bertanggung jawab atas kerusuhan
tersebut.
Dengan laporan sedemikian, sangat mungkin sekjen PBB akan memberi rekomendasi pada Dewan
Keamanan untuk membentuk pengadilan internasional untuk mengadili pejabat TNI yang dinilai
bertanggung jawab, termasuk Wiranto. Pada saat yang hampir bersamaan, KPP HAM yang
dibentuk presiden Wahid untuk menginvestigasi peristiwa di Timor Timur pasca referendum juga
melaporkan temuannya bahwa TNI dan milisi melakukan pelanggaran HAM serius di Timor Timur
dan merekomendasikan Jaksa Agung untuk memeriksa anggota TNI yang terlibat, termasuk
Wiranto.
Menyikapi laporan ini, Wahid menyatakan dari Davos saat ia menghadiri World Economic Forum
bahwa ia akan meminta Wiranto mundur dari jabatan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan
dalam kabinetnya. Wiranto menyatakan penolakannya untuk mundur dari kabinet dan akibatnya
Spekulasi ini antara lain muncul karena sebelumnya duta besar Amerika Serikat untuk PBB Richard
atas kasus pelanggaran di Timor Timur dan bahkan mempersiapkan pengambil alihan kekuasaan.
Untuk menolak kecurigaan ini, para kepala staff dari semua angkatan memberi pernyataan bahwa
TNI tidak memiliki rencana untuk menjatuhkan pemerintahan Wahid. Bahkan Panglima Daerah
Militer Jakarta ketika itu, Mayor Jenderal Ryamizard Ryacudu menyatakan bahwa TNI tetap loyal
kepada presiden Wahid sebagai panglima tertinggi. Bahkan ia memberi pernyataan menarik yaitu:
TNI could have toppled the government of former President Habibie over the East Timor issue. We
were able to stage a coup at that time out of our deep sorrow that the president wanted to let go
of East Timor at the expense of our sacrifice to keep the territory of Indonesia for years.
Pada akhirnya, keputusan untuk memberhentikan Wiranto mendapat dukungan penting dari ketua
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Amien Rais dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Akbar Tanjung. Patut diingat bahwa presiden Wahid secara terus menerus menggunakan
atas berbagai kebijakannya mengenai TNI ataupun penanganan kasus separatisme yang
melibatkan TNI. Keputusan pemberhentian Wiranto, misalnya, diungkapkan kepada publik ketika
Sekjen PBB Kofi Annan berada di Jakarta. Bahkan dalam konferensi persnya di istana presiden
setelah bertemu Wahid, Kofi Annan menyatakan bahwa ‘the decision [onWiranto] has proven that
Indonesia had taken on responsibility to ensure that those responsible for the atrocities in East
Dalam setiap kunjungan luar negeri yang ekstensif selama masa pemerintahannya yang singkat,
Abdurrahman Wahid secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam pertemuannya dengan
setiap kepala negara yang dikunjunginya. Termasuk dalam hal ini, selain isu Timor Timur, adalah
soal integritas teritorial Indonesia seperti dalam kasus Aceh dan isu perbaikan ekonomi.
Seperti pendahulunya Abdurrahman Wahid, Megawati juga secara ekstensif melakukan kunjungan
ke luar negeri. Sebagai presiden, Megawati antara lain mengunjungi Rusia, Jepang, Malaysia, New
York untuk berpidato di depan Majelis Umum PBB, Rumania, Polandia, Hungaria, Bangladesh,
Mongolia, Vietnam, Tunisia, Libya, Cina dan juga Pakistan. Presiden Megawati menuai kritik dalam
berbagai kunjungannya tersebut, baik mengenai frekuensi ataupun substansi dari berbagai
lawatan tersebut. Diantaranya adalah kontroversi pembelian pesawat tempur Sukhoi dan
helikpoter dari Rusia yang merupakan buah dari kunjungan Megawati ke Moskow.
Selain berbagai kunjungan formal tersebut, politik luar negeri Indonesia selama masa
Peristiwa serangan teroris 11 September 2001 di Amerika Serikat, pemboman di Bali 2002 dan
hotel JW Marriott di Jakarta tahun 2003, penyerangan ke Irak yang dipimpin Amerika Serikat dan
Ingrris dan juga operasi militer di Aceh untuk menghadapi GAM merupakan beberapa variabel
ariabel tersebut membawa persoalan turunan yang rumit. Misalnya, perang melawan terorisme di
satu sisi mengharuskan Indonesia untuk membuka diri dalam kerjasama internasional. Di sisi lain,
peristiwa ini juga menjadi isu besar mengenai perlindungan terhadap kebebasan sipil di tengah
Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa diplomasi Indonesia kembali menjadi aktif pada masa
Megawati kembali ditopang oleh struktur yang memadai dan substansi yang cukup. Di masa
pemerintahan Megawati, Departemen Luar Negeri (Deplu) sebagai ujung tombak diplomasi
Indonesia telah melakukan restrukturisasi yang ditujukan untuk mendekatkan faktor internasional
dan faktor domestik dalam mengelola diplomasi. Artinya, Deplu memahami bahwa diplomasi tidak
lagi hanya dipahami dalam kerangka memproyeksikan kepentingan nasional Indonesia keluar,
tetapi juga kemampuan untuk mengkomunikasikan perkembangan dunia luar ke dalam negeri.
Restrukturisasi ini sangat tepat waktu mengingat perubahan global terjadi begitu cepat, terutama
setelah peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat. Perubahan cepat ini memaksa setiap
1. F. Demokrasi dan Politik Luar Negeri di Masa Transisi: Mencari Benang Merah
Tidak bisa ditolak bahwa demokratisasi dan perubahan politik mendalam terus berlangsung di
semua aspek sosial politik di Indonesia. Perubahan tersebut bahkan menyentuh bidang diplomasi
dan politik luar negeri yang selama ini dianggap murni merupakan kewenangan penuh pihak
eksekutif. Di masa pemerintahan Orde Baru yang otoritarian, konsultasi antara pemerintah dengan
DPR dan kalangan publik mengenai kebijakan luar negeri dan diplomasi hanya terjadi dalam level
yang sangat minimal. Karena itu, perumusan kebijakan diplomasi dan politik luar negeri yang
melibatkan semakin banyak aktor akan membuka kemungkinan bahwa setiap kebijakan dalam
dua bidang tersebut akan merepresentasikan kepentingan nasional secara lebih luas.
Sementara itu, kritik terhadap politik luar negeri sebuah pemerintahan transisi, sebagaimana
dialami ketiga pemerintahan yang diuraikan diatas, adalah hal yang umum terjadi. Seperti ditulis
Neil Malcom dan Alex Pravda dalam bukunya Democratization and Russian Foreign Policy (1999),
partai oposisi selalu menjadikan politik luar negeri sebagai target karena ia merupakan arena
terbuka yang proses perumusannya dilihat sebagai monopoli pemerintah yang berkuasa.
Sementara itu, realitas kontemporer kita yang merupakan buah dari proses demokratisasi
perubahan dalam berbagai proses pengambilan keputusan, termasuk dalam bidang politik luar
negeri. Berkaitan dengan hal ini, adalah penting bagi Deplu untuk menyadari bahwa ia bukanlah
satu-satunya instrumen diplomasi. Karena, input-input untuk sebuah kebijakan menjadi amat
Sebagai contoh, berseberangannya pendapat antara pihak pemerintah dan beberapa pihak di DPR
dalam negosiasi masalah Aceh dengan GAM merupakan fenomena sehat dalam bidang diplomasi
diplomacy’[21], yaitu adanya keharusan mereka yang terlibat dalam proses diplomasi untuk
menyadari bahwa diplomasi selalu memiliki dua dimensi: dalam dan luar negeri. Di dalam negeri,
langkah diplomasi dan kebijakan luar negeri secara imperatif harus mendapatkan persetujuan
Akan tetapi, pada saat yang sama, aktor-aktor politik di dalam negeri juga harus menyadari
bahwa dalam bidang diplomasi dan politik luar negeri, setiap kebijakan juga penting untuk selalu
memperhatikan harapan atas peran yang dinantikan dari negara tersebut oleh negara-negara lain,
Indonesia, pada level ASEAN, berkali-kali menjalankan peran sebagai pihak yang mencoba
menjembatani konflik di kawasan Asia Tenggara. Indonesia aktif membantu mencari solusi damai
dalam persoalan Spratly Island di Laut Cina Selatan yang diklaim oleh beberapa negara ASEAN dan
luar ASEAN, aktif membantu penyelesaian konflik Kamboja, dan juga dalam isu domestik di
Filipina Selatan.
Peran tradisional ini kembali dimunculkan ketika Indonesia mengajukan konsep pembentukan
ASEAN Security Community (ASC). Fakta bahwa proposal ASC datang dari Indonesia
memperlihatkan bahwa politik luar negeri Indonesia merupakan refleksi atas perubahan politik
dalam negeri menuju kearah yang lebih demokratis. Masyarakat demokratis adalah masyarakat
yang selalu menempatkan penyelesaian konflik dengan cara damai sebagai pilihan utama.
ASC merupakan refleksi yang menempatkan diplomasi sebagai first-linerpertahanan negara di
masa damai. ASC yang digagas Indonesia tersebut bertujuan membentuk sebuah masyarakat Asia
Tenggara yang bersepakat untuk menjauhi penggunaan kekerasan atau instrumen militer dalam
menyelesaikan konflik. Karena itu, apabila Indonesia tidak mampu secara konsisten menempuh
jalan damai untuk menyelesaikan persoalan di Aceh, bukan tidak mungkin Indonesia akan
terjebak dalam praktek standar ganda, yakni selalu mendorong penyelesaian damai dalam
persoalan yang dialami negara tetangga, namun menempuh cara kekerasan dalam menghadapi
persoalan dalam negeri sendiri. Praktek standar ganda semacam ini yang akan memberi citra
Karena itu, aktor-aktor politik di luar Deplu harus menerima informasi yang cukup dan perlu
memahami bahwa situasi damai dan stabil di kawasan Asia Tenggara sepenuhnya bersesuaian
dengan kepentingan Indonesia. Situasi damai dan stabil hanya akan dicapai apabila penyelesaian
konflik secara damai, tanpa kekerasan, telah disepakati menjadi norma bersama. Dan Indonesia
telah menunjukan diri sebagai penganjur penyelesaian damai dalam berbagai konflik di kawasan
Pencitraan diri sebagai negara demokratis di luar negeri akan menjadi dorongan untuk pencitraan
diri sebagai negara demokratis di dalam negeri. Pengalaman transisi demokrasi di negara-negara
Eropa Timur seperti Hongaria dan Polandia memperlihatkan bahwa pencitraan diri sebagai negara
demokratis melalui politik luar negeri dapat memberi dorongan substansial bagi proses
Preseden baik telah dicapai dalam sikap Indonesia saat menolak aksi unilateralisme dalam isu
Irak. Sikap Indonesia dalam forum internasional konsisten dengan sikap sebagian besar
masyarakat Indonesia yang menolak perang. Bahkan melalui diplomasi publiknya, Deplu bersama-
sama elemen masyarakat dan tokoh agama aktif mengkampanyekan suara anti perang dan
memilih prinsip multilateralisme. Dalam isu Irak tersebut semakin terlihat bahwa suara publik kian