Anda di halaman 1dari 15

A.

 Politik Luar Negeri Bebas Aktif pada Masa Orde Baru (1966-1998)

Di dalam dokumen yang berhasil disusun oleh pemerintah yang dituangkan di dalam Rencana

Strategi Politik Luar negeri Republik Indonesia (1984-1989) antara lain dinyatakan bahwa politik

Luar negeri suatu negara hakekatnya merupakan salah satu sarana untuk mencapai kepentingan

nasional. Sedangkan di Indonesia, jika dicermati, rumusan pokok kepentingan nasional itu dapat

dicari dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945, yaitu bahwa.

Meletusnya pemberontakan G.30.S/PKI menim-bulkan banyak korban, terutama korban jiwa.

Akibatnya muncullah berbagai tuntutan yang disponsori oleh berbagai kesatuan aksi dengan

tuntutannya yang terkenal “TRITURA” (Tri Tuntutan Rakyat), yaitu : bubarkan PKI, turunkan harga
dan reshuffle kabinet. Tuntutan pertama dapat dipenuhi pada tanggal 12 Maret 1966. Dan segera

setelah itu pada bulan Juni sampai Juli 1966 Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (setelah

anggota-anggotanya diperbaharui) menyelenggarakan Sidang Umum dengan menghasilkan

sebanyak 24 ketetapan. Salah satu ketetapan MPRS tersebut adalah Ketetapan No.XII/MPRS/1966

tentang Penegasan Kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar Negeri RI. Di dalam ketetapan

tersebut antara lain diatur hal-hal sebagai berikut :

1)      Bebas-aktif, anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya

dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi

dan keadilan sosial.

2)      Mengabdi kepada kepentingan nasional dan Amanat Penderitaan Rakyat.

Politik Luar Negeri Bebas Aktif bertujuan mempertahankan kebebasan Indonesia terhadap

imperialis dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya dan menegakkan ke tiga segi

kerangka tujuan Revolusi, yaitu :

1)      Pembentukan satu Negara Republik Indonesia yang berbentuk Negara Kesatuan dan Negara

Kebangsaan yang demokratis, dengan wilayah kekuasaan dari Sabang sampai Merauke.

2)      Pembentukan satu masyarakat yang adil dan makmur material dan spiritual dalam wadah

Negara Kesatuan Republik Indonesia itu.

3)      Pembentukan satu persahabatan yang baik antara Republik Indonesia dan semua negara di

dunia, terutama sekali dengan negara-negara Afrika dan Asia atas dasar bekerjasama membentuk
satu dunia baru yang bersih dari imperialisme dan kolonialisme menuju kepada perdamaian dunia

yang sempurna.

Kemudian secara berturut-turut penegasan politik luar negeri yang bebas-aktif oleh Majelis

Permus-yawaratan Rakyat selalu dipertegas dalam setiap kali menyelenggarakan sidang umum,

baik Sidang Umum 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, 1998 maupun dalam Sidang Umum MPR 1999.

Penegasan politik Luar Ne-geri Bebas-Aktif yang dituangkan di dalam Ketetapan MPR

No.IV/MPR/1973 Bab III huruf B Arah Pembangunan Jangka Panjang, di sana ditegaskan : Dalam

bidang politik luar negeri yang bebas aktif diusahakan agar Indonesia terus dapat meningkatkan

peranannya dalam memberikan sumbangannya untuk turut serta menciptakan perdamaian dunia

yang abadi, adil dan sejahtera.

Rumusan tersebut dipertegas lagi pada bab IVD (Arah dan Kebijaksanaan Pembangunan) huruf c

bidang politik. Aparatur Pemerintah, Hukum dan Hubungan Luar Negeri, di mana dalam hal

hubungan luar negeri diatur dalam hal-hal sebagai berikut :

1)  Terus melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif dengan mengabdikannya kepada

Kepentingan Nasional, khususnya pembangunan ekonomi.

2)  Mengambil langkah-langkah untuk memantapkan stabilitas wilayah Asia Tenggara dan Pasifik

Barat Daya, sehingga memungkinkan negara-negara di wilayah ini mampu mengurus masa

depannya sen-diri melalui pengembangan ketahanan nasionalnya masing-masing, serta

memperkuat wadah dan kerjasama antara negara-negara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia

Tenggara.

3)  Mengembangkan kerjasama untuk maksud-maksud damai dengan semua negara dan badan-

badan internasional dan lebih meningkatkan peranannya dalam membantu bangsa-bangsa yang

sedang memperjuangkan kemerdekaannya tanpa mengorbankan Kepentingan dan Kedaulatan

Nasional.

B. Politik Luar Negeri Bebas Aktif pada Era Reformasi (1998-Sekerang)

Sidang Umum MPR 1999 juga kembali mempertegas politik luar negeri Indonesia. Dalam

ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN, Bab IV Arah Kebijakan, huruf C angka 2 tentang

Hubungan Luar Negeri, dirumuskan hal-hal sebagai berikut:


1)      Menegaskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dan berorientasi pada

kepentingan nasional, menitik beratkan pada solidaritas antar negara berkembang, mendukung

perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa, menolak penjajahan dalam segala bentuk, serta

meningkatkan kemandirian bangsa dan kerjasama internasional bagi kesejahteraan rakyat.

2)      Dalam melakukan perjanjian dan kerjasama internasional yang menyangkut kepentingan

dan hajat hidup rakyat banyak harus dengan persetujuan lembaga perwakilan rakyat.

3)      Meningkatkan kualitas dan kinerja aparatur luar negeri agar mampu melakukan diplomasi

pro-aktif dalam segala bidang untuk membangun citra positif Indonesia di dunia internasional,

memberikan perlindungan dan pembelaan terhadap warga negara dan kepentingan Indonesia,

serta memanfaatkan setiap peluang positif bagi kepentingan nasional.

4)      Meningkatkan kualitas diplomasi guna mempercepat pemulihan ekonomi dan pembangunan

nasional, melalui kerjasama ekonomi regional maupun internasional dalam rangka stabilitas,

kerjasama dan pembangunan kawasan.

5)      Meningkatkan kesiapan Indonesia dalam segala bidang untuk menghadapi perdagangan

bebas, terutama dalam menyongsong pemberlakuan AFTA, APEC dan WTO.

6)      Memperluas perjanjian ekstradisi dengan negara-negara sahabat serta memperlancar

prosedur diplomatik dalam upaya melaksanakan ekstradisi bagian penyelesaian perkara pidana.

7)      Meningkatkan kerjasama dalam segala bidang dengan negara tetangga yang berbatasan

langsung dan kerjasama kawasan ASEAN untuk memelihara stabilitas, pembangunan dan

kesejahteraan.

Politik Luar Negeri di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004 – 2009, dalam

visi dan misi beliau diantaranya dengan melakukan usaha memantapkan politik luar negeri. Yaitu

dengan cara meningkatkan kerjasama internasional dan meningkatkan kualitas diplomasi

Indonesia dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional. Prestasi Indonesia sejak 1 Januari

2007 menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, dimana Republik Indonesia dipilih oleh

158 negara anggota PBB. Tugas Republik Indonesia di Dewan Keamanan PBB adalah :

1)      Ketua Komite Sanksi Rwanda

2)      Ketua komite kerja untuk pasukan penjaga perdamaian,


3)      Ketua Komite penjatuhan sanksi untuk Sierra Leone,

4)      Wakil Ketua Komite penyelesaian konflik Sudan,

5)      Wakil Ketua Komite penyelesaian konflik Kongo,

6)      Wakil Kertua Komite penyelesaian konflik Guinea Bissau.

Baru-baru ini Indonesia berani mengambil sikap sebagai satu-satunya negara anggota tidak tetap

DK PBB yang bersikap abstain ketika semua negara lainnya memberikan dukungan untuk memberi

sanksi pada Iran.

Selain itu Republik Indonesia juga dipercaya dunia untuk duduk sebagai anggota Dewan Hak Asasi

Manusia (HAM) PBB yang bermarkas di Jenewa. Jika tahun lalu untuk masa tugas 1 tahun, maka

sekarang Republik Indonesia terpilih untuk periode 3 tahun hingga 2010. Saat itu dalam Sidang

Majelis Umum PBB, Republik Indonesia memperoleh dukungan 182 suara diantara 190 negara

anggota yang memiliki hak pilih. Hal ini berarti masyarakat internasional menaruh apresiasi yang

tinggi terhadap upaya penegakan HAM di Indonesia. Republik Indonesia sendiri akan

memanfaatkan masa keanggotaan di Dewan HAM untuk melanjutkan implementasi progresif

berbagai komitmen yang telah disampaikan Pemerintah Republik Indonesia sendiri. Kita semua

berharap semoga semua menjadi kenyataan.

C. Peranan Indonesia dalam Percaturan Internasional

Selain itu Republik Indonesia juga dipercaya dunia untuk duduk sebagai anggota Dewan Hak Asasi

Manusia (HAM) PBB yang bermarkas di Jenewa. Jika tahun lalu untuk masa tugas. Partisipasi aktif

Indonesia dalam upaya mewujudkan perdamaian dunia telah ditunjukkan dengan keikutsertaan

dalam setiap Operasi Pemeliharaan Perdamaian (OPP) PBB melalui pengiriman Konting kin

meningkatnya jumlah OPP PBB, peran serta Indonesia dalam OPP PBB selama beberapa tahun

terakhir justru mengalami penurunan. Dalam kaitan ini, dipandang perlu pembentukan suatu

Pusat OPP Nasional (National Peacekeeping Center) sebagai suatu mekanisme kerja yang

melakukan fungsi koordinatif inter-departemen secara teratur, terencana, terpadu dan

berkelanjutan dalam penyelenggaraan pelatihan personel untuk mempersiapkan kontingen

militer, polisi dan sipil dalam misi perdamaian PBB. Dan pada November tahun 2006 Indonesia
mengirim Konga ke Lebanon. Sampai sekarang kita sudah mengirimkan pasukan Konga XXIII B ke

Lebanon

1. Saat ini Indonesia menjadi anggota di lebih dari 170 organisasi internasional. Jumlah

kewajiban kontribusi Pemerintah RI sehubungan dengan partisipasinya dalam keanggotaan

pada organisasi internasional untuk tahun 2004 adalah sebesar + Rp. 140 milyar.

2. Dalam memberikan perlindungan dan bantuan hukum khususnya kepada TKI, selama

tahun 2004 Pemerintah telah mengadakan serangkaian perundingan untuk mewujudkan

MoU, antara lain: antara RI dan Uni Emirat Arab (UAE) mengenai Penempatan TKI ke UAE

yang menegaskan hak dan kewajiban TKI dan pengguna jasa; RI dan Malaysia mengenai

Penempatan TKI di Sektor Formal ke Malaysia yang didasari oleh keinginan untuk

menertibkan penempatan dan perlindungan TKI sektor formal di luar negeri; serta RI dan

Korea Selatan tentang pengiriman TKI ke Korea Selatan yang mengatur proses rekrutmen,

pengiriman dan pemulangan TKI.

Dalam rangka mewujudkan politik luar negeri yang bebas dan aktif itulah, maka Indonesia

memainkan sejumlah peran dalam percaturan internasional. Peran yang cukup menonjol yang

dimainkan oleh Indonesia adalah dalam rangka membantu mewujudkan pemeliharaan perdamaian

dan keamanan internasional. Dalam hal ini Indonesia sudah cukup banyak pengirimkan Kontingen

Garuda (KONGA) ke luar negeri. Sampai sekarang ini Indonesia telah mengirimkan kontingen

Garudanya sampai dengan kontingen Garuda yang ke duapuluh tiga (XXIII).

Secara garis besar kontingen garuda yang telah dikirim ke luar negeri secara berturut-turut

adalah :

1)      Konga I bertugas di Mesir, yang dikirim pada bulan Nopember l956, dengan tugas

mengamankan dan mengawasi genjatan senjata di Mesir.

2)      Konga II dikirim pada bulan September l960 yang bertugas di Kongo. Tugas ini diembannya

sampai bulan Mei l961.

3)      Konga III dikirim ke Kongo pada bulan Desember l963 sampai Agustus l964.

4)      Konga IV, Konga V dan Konga VII di kirim ke Vietnam, dan bertugas mulai bulan Januari

l974.

5)      Konga VI, dikirim ke Sinai, Mesir, bertugas dari bulan Agustus l973 sampai April l974.
6)      Konga VIII, ke Sinai, Mesir, pada bulan September l974.

7)      Konga IX, ke Irak-Iran, pada bulan Agustus l988 sampai bulan Nopember l990.

8)      Konga X, ke Namibia, pada bulan Juni l989 sampai Maret l990.

9)      Konga XI, ke perbatasan Irak-Kuwait, pada bulan April l991 sampai Nopember l991.

10)  Konga XII, ke Kamboja, pada bulan Oktober l991 sampai Mei l993.

11)  Konga XIII, ke Somalia, pada bulan Juli l992 sampai April l993.

12)  Konga XIV, ke Bosnia Herzegovina, bulan Nopember l993 sampai Nopember l995.

13)  Konga XV, ke Georgia, bulan Oktober l994 sampai Nopember l995.

14)  Konga XVI, ke Mozambik, tahun l994.

15)  Konga XVII, ke Philipina, Oktober l994 sampai Nopember l994.

16)  Konga XVIII, ke Tajikistan, Nopember l997.

17)  Konga XIX, yang terdiri atas XIX-1, XIX-2, XIX-3 dan XIX-4, bertugas di Siera Leone, mulai

l999 sampai 2002.

18)  Konga XX, bertugas di Republik Demokratik Kongo, tahun 2005.

19)  Konga XXI-XXIII , bertugas di Lebanon, 2006- sampai sekarang.

Selain pengiriman Kontingen Garuda, Indonesia juga mempunyai sumbangan yang cukup berarti

bagi penyelesaian sengketa yang terjadi di Kamboja, dengan menyelenggarakan Pertemuan

Informal Jakarta (Jakarta Informal Meeting) I dan II. Indonesia juga menjadi anggota tidak tetap

Dewan Keamanan PBB, menjadi anggota Badan Tenaga Atom Internasional. Salah seorang putra

terbaik Indonesia juga pernah memegang jabatan Presiden Majelis Umum PBB yaitu Adam Malik

tahun 1971.

Indonesia juga menjadi sponsor dan sekaligus tuan rumah diselenggarakannya Konferensi Asia

Afrika di Bandung tahun l955; menjadi salah satu sponsor lahirnya Gerakan Non Blok, juga

sponsor lahirnya organisasi regional Asia Tenggara “ASEAN” 8 Agustus 1967di Bangkok, Thailand.
Apa yang diraikan adalah sejumlah contoh yang menggambarkan bagaimana peranan Indonesia di

dalam percaturan internasional.

D. Pengaruh Globalisasi Terhadap Demokratisasi Sistem Politik Indonesia : Demokratisasi Sistem

Politik Luar Negeri Indonesia

Umumnya pembahasan mengenai demokratisasi lebih banyak menekankan pada faktor-faktor

domestik yang diduga akan menjadi faktor pendukung ataupun penghambat proses

demokratisasi. Keumuman ini terjadi karena beberapa alasan. Diantaranya adalah bahwa aktor-

aktor politik dalam proses demokratisasi senantiasa berkonsentrasi untuk usaha-usaha


mengkonsolidasi kekuasaannya masing-masing. Karena itu, proses-proses politik di masa transisi

cenderung bersifat inward-looking. Selain itu, kuatnya kecenderungan untuk menganalisis proses

demokratisasi melalui lensa dinamika politik domestik juga terjadi karena adanya anggapan

bahwa pada akhirnya aktor-aktor politik domestiklah yang akan menentukan tindakan politik apa

yang akan diambil.

Akan tetapi, situasi ketidakpastian yang melingkupi setiap proses transisi politik sebetulnya

membuat sebuah negara yang sedang menjalani demokratisasi sangat mudah dipengaruhi oleh

faktor-faktor eksternal. Pengaruh internasional dari sebuah proses demokratisasi bisa terjadi

dalam beberapa bentuk: contagion, control, consent dan conditionality. Contagion terjadi ketika

demokratisasi di sebuah negara mendorong gelombang demokratisasi di negara lain. Proses

demokratisasi di negara-negara Eropa Timur setelah Perang Dingin usai dan juga gelombang

demokratisasi di negara-negara Amerika Latin pada tahun 1970-an merupakan contoh signifikan.

Mekanisme control terjadi ketika sebuah pihak di luar negara berusaha menerapkan demokrasi di

negara tersebut. Misalnya Doktrin Truman 1947 mengharuskan Yunani untuk memenuhi beberapa

kondisi untuk mendapatkan status sebagai ‘negara demokrasi’ dan karenanya berhak menerima

bantuan anti komunisme dari Amerika Serikat.

Bentuk ketiga, consent, terjadi ketika ekspektasi terhadap demokrasi muncul dari dalam negara

sendiri karena warga negaranya melihat bahwa sistem politik yang lebih baik, seperti yang

berjalan di negara demokrasi lain yang telah mapan, akan bisa juga dicapai oleh negara tersebut.

Dengan kata lain, pengaruh internasional datang sebagai sebuah inspirasi yang kuat bagi warga

negara di dalam negara itu. Kasus yang paling sering disebut dalam hubungannya dengan hal ini

adalah reunifikasi Jerman Timur dengan Jerman Barat. Bentuk keempat dari dimensi internasional
dalam proses demokratisasi adalah conditionality, yaitu tindakan yang dilakukan organisasi

internasional yang memberi kondisi-kondisi tertentu yang harus dipenuhi negara penerima

bantuan.

Keempat bentuk di atas menggambarkan proses outside-in, dimana dorongan demokratisasi

datang dari luar batas sebuah negara. Proses lain yang mungkin terjadi adalah proses inside-out,

yaitu proses dimana negara yang tengah mengalami proses demokratisasi menggunakan

diplomasi dan politik luar negeri untuk mengkonsolidasikan demokrasinya. Dalam studinya

mengenai bagaimana negara-negara demokrasi baru menggunakan politik luar negerinya, Alison

Stanger menemukan bahwa proses transisi bisa dipertahankan arahnya ketika negara-negara

demokrasi baru ‘membawa dirinya lebih dekat kepada negara-negara demokrasi yang lebih

mapan.

Dua alasan bisa dikemukakan untuk menjelaskan hal ini. Pertama, politik luar negeri bisa

digunakan sebagai alat untuk menjaga jarak atau membedakan diri dari rezim autoritarian yang

digantikannya. Kedua, sebagai konsekuensi dari alasan pertama, prospek bagi kerjasama

internasional, terutama dengan negara-negara yang mapan demokrasinya akan semakin baik dan

pada akhirnya memberi kontribusi positif bagi proses konsolidasi internal.

E. Diplomasi dan Politik Luar Negeri Indonesia di Masa Transisi Demokrasi

a. Masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie

Indonesia yang tengah meniti jalan menuju demokrasi mengalami kedua aspek outside-in dan

inside-outseperti dipaparkan diatas. Sampai derajat tertentu misalnya, conditionality yang

diterapkan IMF berkenaan dengan bantuan keuangan pada masa krisis ekonomi berpengaruh baik

secara langsung ataupun tidak langsung terhadap perjalanan demokratisasi di Indonesia.

Dalam kaitannya dengan konteks inside-out, politik luar negeri Indonesia sejak kejatuhan

pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998 tidak dapat dilepaskan dari perubahan politik secara

masif yang mengikuti kejatuhan pemerintahan otoritarian tersebut. Pemerintahan Habibie, yang

menggantikan Suharto, merupakan salah satu contoh tepat untuk menggambarkan pertautan

antara proses demokratisasi dan kebijakan luar negeri dari sebuah pemerintahan di masa transisi.
Di awal masa pemerintahannya, Habibie menghadapi persoalan legitimasi yang cukup serius.

Akan tetapi, Habibie berusaha mendapatkan dukungan internasional melalui beragam cara.

Diantaranya, pemerintahan Habibie menghasilkan dua Undang-Undang (UU) yang berkaitan

dengan perlindungan atas hak asasi manusia. Pertama adalah UU no.5/1998 mengenai

Pengesahan Convention against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or

Punishment dan UU no.29/1999 mengenai Pengesahan Convention on the Elimination of All

Forms of Racial Discrimination 1965. Selain itu, pemerintahan Habibie pun berhasil mendorong

ratifikasi empat konvensi internasional dalam masalah hak-hak pekerja. Pembentukan Komnas

Perempuan juga dilakukan pada masa pemerintahan Habibie yang pendek tersebut.

Dengan catatan positif atas beberapa kebijakan dalam bidang HAM yang menjadi perhatian

masyarakat internasional ini, Habibie berhasil memperoleh legitimasi yang lebih besar dari

masyarakat internasional untuk mengkompensasi minimnya legitimasi dari kalangan domestik.

Hubungan Habibie dengan lembaga International Monetary Fund (IMF) dapat dijadikan ilustrasi

yang menarik dalam hal ini. Sebelumnya, IMF mendesak Suharto untuk menghentikan proyek

pembuatan pesawat Habibie yang berbiaya tinggi pada bulan Januari 1998, tepat ketika suhu

politik dan keberlangsungan pemerintahan Suharto sedang dipertanyakan. Akan tetapi,

belakangan ketika ia berkuasa, Habibie mendapatkan kembali kepercayaan dari dua institusi

penting yaitu IMF sendiri dan Bank Dunia. Kedua lembaga tersebut memutuskan untuk

mencairkan program bantuan untuk mengatasi krisis ekonomi sebesar 43 milyar dolar dan

bahkan menawarkan tambahan bantuan sebesar 14 milyar dolar.

Hal ini memperlihatkan bahwa walaupun basis legitimasi dari kalangan domestik tidak terlampau

kuat, dukungan internasional yang diperoleh melalui serangkaian kebijakan untuk memberi image

positif kepada dunia internasional memberi kontribusi positif bagi keberlangsungan pemerintahan
Habibie saat periode transisi menuju demokrasi dimulai.

Pemerintahan Habibie pula yang memberi pelajaran penting bahwa kebijakan luar negeri,

sebaliknya, juga dapat memberi dampak negatif bagi kelangsungan pemerintahan transisi.

Kebijakan Habibie dalam persoalan Timor-Timur menunjukan hal ini dengan jelas. Habibie

mengeluarkan pernyataan pertama mengenai isu Timor Timur pada bulan Juni 1998 dimana ia

mengajukan tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor Timur.

Proposal ini, oleh masyarakat internasional, dilihat sebagai pendekatan baru.


Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan menyatakan

bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final atas masalah Timor

Timur.

Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan akibat dari surat yang dikirim

Perdana Menteri Australia John Howard pada bulan Desember 1998 kepada Habibie yang

menyebabkan Habibie meninggalkan opsi otonomi luas dan memberi jalan bagi referendum. Akan

tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa surat tersebut hanya berisi dorongan agar Indonesia

mengakui hak menentukan nasib sendiri (right of self-determination) bagi masyarakat Timor

Timur. Namun, Australia menyarankan bahwa hal tersebut dijalankan sebagaimana yang dilakukan

di Kaledonia Baru dimana referendum baru dijalankan setelah dilaksanakannya otonomi luas

selama beberapa tahun lamanya. Karena itu, keputusan berpindah dari opsi otonomi luas ke

referendum merupakan keputusan pemerintahan Habibie sendiri.

Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian memojokkan

pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa hal. Pertama,

Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi referendum di Timor

Timur karena ia dianggap sebagai presiden transisional. Kedua, kebijakan Habibie dalam isu

Timor Timur merusakan hubungan saling ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto,

panglima TNI pada masa itu.

Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat internasional maupun domestik. Di mata

internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam pernyataan-pernyataannya mendukung

langkah presiden Habibie menawarkan refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro

integrasi yang berujung pada tindakan kekerasan di Timor Timur setelah referendum.

Di mata publik domestik, Habibie juga harus menghadapi menguatnya sentimen nasionalis,

terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia masuk ke Timor

Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie untuk memenangi pemilihan presiden pada bulan

September 1999 hilang. Sebaliknya, citra TNI sebagai penjaga kedaulatan territorial kembali

menguat. Padahal sebelumnya peran politik TNI menjadi sasaran kritik kekuatan pro demokrasi

segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998.

b. Masa Pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid


Hubungan sipil militer merupakan salah satu isu utama dalam perjalanan transisi menuju

demokrasi di Indonesia. Dinamika hubungan sipil militer ini terutama terlihat dalam isu

separatisme, baik di Aceh maupun Papua. Isu Timor Timur seperti di uraikan diatas juga menjadi

contoh penting yang memperlihatkan keterkaitan antara faktor domestik (hubungan sipil militer)

dan faktor eksternal (diplomasi dan politik luar negeri).

Bila dalam periode Habibie terjadi hubungan saling ketergantungan antara pemerintahan Habibie

dengan TNI, pada masa Abdurrahman Wahid terjadi power struggle yang intensif antara presiden

Wahid dengan TNI sebagai akibat dari usahanya untuk menerapkan kontrol sipil atas militer yang

subyektif sifatnya.

Entry point yang digunakan oleh presiden Wahid adalah persoalan Timor Timur. Komisi khusus

yang dibentuk oleh PBB menyimpulkan bahwa kerusuhan di Timor Timur setelah referendum 1999

direncanakan secara sistematis. Lebih jauh Komisi tersebut menyatakan dengan jelas bahwa TNI

dan milisi pro integrasi merupakan dua pihak yang harus bertanggung jawab atas kerusuhan

tersebut.

Dengan laporan sedemikian, sangat mungkin sekjen PBB akan memberi rekomendasi pada Dewan

Keamanan untuk membentuk pengadilan internasional untuk mengadili pejabat TNI yang dinilai

bertanggung jawab, termasuk Wiranto. Pada saat yang hampir bersamaan, KPP HAM yang

dibentuk presiden Wahid untuk menginvestigasi peristiwa di Timor Timur pasca referendum juga

melaporkan temuannya bahwa TNI dan milisi melakukan pelanggaran HAM serius di Timor Timur

dan merekomendasikan Jaksa Agung untuk memeriksa anggota TNI yang terlibat, termasuk

Wiranto.

Menyikapi laporan ini, Wahid menyatakan dari Davos saat ia menghadiri World Economic Forum

bahwa ia akan meminta Wiranto mundur dari jabatan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan

dalam kabinetnya. Wiranto menyatakan penolakannya untuk mundur dari kabinet dan akibatnya

memunculkan spekulasi kemungkinan kudeta oleh TNI.

Spekulasi ini antara lain muncul karena sebelumnya duta besar Amerika Serikat untuk PBB Richard

Holbrook mengungkapkan kekhawatiran pemerintah AS bahwa TNI tidak mendukung investigasi

atas kasus pelanggaran di Timor Timur dan bahkan mempersiapkan pengambil alihan kekuasaan.

Untuk menolak kecurigaan ini, para kepala staff dari semua angkatan memberi pernyataan bahwa

TNI tidak memiliki rencana untuk menjatuhkan pemerintahan Wahid. Bahkan Panglima Daerah

Militer Jakarta ketika itu, Mayor Jenderal Ryamizard Ryacudu menyatakan bahwa TNI tetap loyal

kepada presiden Wahid sebagai panglima tertinggi. Bahkan ia memberi pernyataan menarik yaitu:
TNI could have toppled the government of former President Habibie over the East Timor issue. We
were able to stage a coup at that time out of our deep sorrow that the president wanted to let go
of East Timor at the expense of our sacrifice to keep the territory of Indonesia for years.

Pada akhirnya, keputusan untuk memberhentikan Wiranto mendapat dukungan penting dari ketua

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Amien Rais dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Akbar Tanjung. Patut diingat bahwa presiden Wahid secara terus menerus menggunakan

kredibilitasnya di dunia internasional sebagai tokoh pro-demokrasi untuk mendapatkan dukungan

atas berbagai kebijakannya mengenai TNI ataupun penanganan kasus separatisme yang

melibatkan TNI. Keputusan pemberhentian Wiranto, misalnya, diungkapkan kepada publik ketika

Sekjen PBB Kofi Annan berada di Jakarta. Bahkan dalam konferensi persnya di istana presiden

setelah bertemu Wahid, Kofi Annan menyatakan bahwa ‘the decision [onWiranto] has proven that

Indonesia had taken on responsibility to ensure that those responsible for the atrocities in East

Timor would be made accountable’.

Dalam setiap kunjungan luar negeri yang ekstensif selama masa pemerintahannya yang singkat,

Abdurrahman Wahid secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam pertemuannya dengan

setiap kepala negara yang dikunjunginya. Termasuk dalam hal ini, selain isu Timor Timur, adalah

soal integritas teritorial Indonesia seperti dalam kasus Aceh dan isu perbaikan ekonomi.

c. Masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri

Seperti pendahulunya Abdurrahman Wahid, Megawati juga secara ekstensif melakukan kunjungan

ke luar negeri. Sebagai presiden, Megawati antara lain mengunjungi Rusia, Jepang, Malaysia, New

York untuk berpidato di depan Majelis Umum PBB, Rumania, Polandia, Hungaria, Bangladesh,

Mongolia, Vietnam, Tunisia, Libya, Cina dan juga Pakistan. Presiden Megawati menuai kritik dalam

berbagai kunjungannya tersebut, baik mengenai frekuensi ataupun substansi dari berbagai

lawatan tersebut. Diantaranya adalah kontroversi pembelian pesawat tempur Sukhoi dan

helikpoter dari Rusia yang merupakan buah dari kunjungan Megawati ke Moskow.

Selain berbagai kunjungan formal tersebut, politik luar negeri Indonesia selama masa

pemerintahan Megawati juga dipengaruhi beragam peristiwa nasional maupun internasional.

Peristiwa serangan teroris 11 September 2001 di Amerika Serikat, pemboman di Bali 2002 dan

hotel JW Marriott di Jakarta tahun 2003, penyerangan ke Irak yang dipimpin Amerika Serikat dan
Ingrris dan juga operasi militer di Aceh untuk menghadapi GAM merupakan beberapa variabel

yang mewarnai dinamika internal dan eksternal Indonesia.

ariabel tersebut membawa persoalan turunan yang rumit. Misalnya, perang melawan terorisme di

satu sisi mengharuskan Indonesia untuk membuka diri dalam kerjasama internasional. Di sisi lain,

peristiwa ini juga menjadi isu besar mengenai perlindungan terhadap kebebasan sipil di tengah

proses demokratisasi, seiring dengan meningkatnya kekhawatiran bahwa negara akan

mendapatkan momentum untuk mengembalikan prinsip security approach di dalam negeri.

Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa diplomasi Indonesia kembali menjadi aktif pada masa

pemerintahan Megawati. Dalam pengertian bahwa pelaksanaan diplomasi di masa pemerintahan

Megawati kembali ditopang oleh struktur yang memadai dan substansi yang cukup. Di masa

pemerintahan Megawati, Departemen Luar Negeri (Deplu) sebagai ujung tombak diplomasi

Indonesia telah melakukan restrukturisasi yang ditujukan untuk mendekatkan faktor internasional

dan faktor domestik dalam mengelola diplomasi. Artinya, Deplu memahami bahwa diplomasi tidak

lagi hanya dipahami dalam kerangka memproyeksikan kepentingan nasional Indonesia keluar,

tetapi juga kemampuan untuk mengkomunikasikan perkembangan dunia luar ke dalam negeri.

Restrukturisasi ini sangat tepat waktu mengingat perubahan global terjadi begitu cepat, terutama

setelah peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat. Perubahan cepat ini memaksa setiap

negara untuk mampu beradaptasi dan mengelola arus perubahan tersebut.

1. F. Demokrasi dan Politik Luar Negeri di Masa Transisi: Mencari Benang Merah

Tidak bisa ditolak bahwa demokratisasi dan perubahan politik mendalam terus berlangsung di

semua aspek sosial politik di Indonesia. Perubahan tersebut bahkan menyentuh bidang diplomasi

dan politik luar negeri yang selama ini dianggap murni merupakan kewenangan penuh pihak

eksekutif. Di masa pemerintahan Orde Baru yang otoritarian, konsultasi antara pemerintah dengan

DPR dan kalangan publik mengenai kebijakan luar negeri dan diplomasi hanya terjadi dalam level

yang sangat minimal. Karena itu, perumusan kebijakan diplomasi dan politik luar negeri yang

melibatkan semakin banyak aktor akan membuka kemungkinan bahwa setiap kebijakan dalam

dua bidang tersebut akan merepresentasikan kepentingan nasional secara lebih luas.

Sementara itu, kritik terhadap politik luar negeri sebuah pemerintahan transisi, sebagaimana

dialami ketiga pemerintahan yang diuraikan diatas, adalah hal yang umum terjadi. Seperti ditulis
Neil Malcom dan Alex Pravda dalam bukunya Democratization and Russian Foreign Policy (1999),

partai oposisi selalu menjadikan politik luar negeri sebagai target karena ia merupakan arena

terbuka yang proses perumusannya dilihat sebagai monopoli pemerintah yang berkuasa.

Akibatnya, mudah diidentifikasi kekuatan atau kelemahan politisnya.

Sementara itu, realitas kontemporer kita yang merupakan buah dari proses demokratisasi

memperlihatkan bahwa sentra kekuasaan telah mengalami diversifikasi. Konsekuensinya, terjadi

perubahan dalam berbagai proses pengambilan keputusan, termasuk dalam bidang politik luar

negeri. Berkaitan dengan hal ini, adalah penting bagi Deplu untuk menyadari bahwa ia bukanlah

satu-satunya instrumen diplomasi. Karena, input-input untuk sebuah kebijakan menjadi amat

beragam, baik isi ataupun sumbernya.

Sebagai contoh, berseberangannya pendapat antara pihak pemerintah dan beberapa pihak di DPR

dalam negosiasi masalah Aceh dengan GAM merupakan fenomena sehat dalam bidang diplomasi

sebuah negara yang demokratis. Robert Putnam (1993) menyebutnya sebagai’double-edged

diplomacy’[21], yaitu adanya keharusan mereka yang terlibat dalam proses diplomasi untuk

menyadari bahwa diplomasi selalu memiliki dua dimensi: dalam dan luar negeri. Di dalam negeri,

langkah diplomasi dan kebijakan luar negeri secara imperatif harus mendapatkan persetujuan

sebanyak mungkin aktor politik, salah satunya adalah pihak legislatif.

Akan tetapi, pada saat yang sama, aktor-aktor politik di dalam negeri juga harus menyadari

bahwa dalam bidang diplomasi dan politik luar negeri, setiap kebijakan juga penting untuk selalu

memperhatikan harapan atas peran yang dinantikan dari negara tersebut oleh negara-negara lain,

baik dalam konteks regional ataupun global.

Indonesia, pada level ASEAN, berkali-kali menjalankan peran sebagai pihak yang mencoba

menjembatani konflik di kawasan Asia Tenggara. Indonesia aktif membantu mencari solusi damai

dalam persoalan Spratly Island di Laut Cina Selatan yang diklaim oleh beberapa negara ASEAN dan

luar ASEAN, aktif membantu penyelesaian konflik Kamboja, dan juga dalam isu domestik di

Filipina Selatan.

Peran tradisional ini kembali dimunculkan ketika Indonesia mengajukan konsep pembentukan

ASEAN Security Community (ASC). Fakta bahwa proposal ASC datang dari Indonesia

memperlihatkan bahwa politik luar negeri Indonesia merupakan refleksi atas perubahan politik

dalam negeri menuju kearah yang lebih demokratis. Masyarakat demokratis adalah masyarakat

yang selalu menempatkan penyelesaian konflik dengan cara damai sebagai pilihan utama.
ASC merupakan refleksi yang menempatkan diplomasi sebagai first-linerpertahanan negara di

masa damai. ASC yang digagas Indonesia tersebut bertujuan membentuk sebuah masyarakat Asia

Tenggara yang bersepakat untuk menjauhi penggunaan kekerasan atau instrumen militer dalam

menyelesaikan konflik. Karena itu, apabila Indonesia tidak mampu secara konsisten menempuh

jalan damai untuk menyelesaikan persoalan di Aceh, bukan tidak mungkin Indonesia akan

terjebak dalam praktek standar ganda, yakni selalu mendorong penyelesaian damai dalam

persoalan yang dialami negara tetangga, namun menempuh cara kekerasan dalam menghadapi

persoalan dalam negeri sendiri. Praktek standar ganda semacam ini yang akan memberi citra

buruk di luar negeri.

Karena itu, aktor-aktor politik di luar Deplu harus menerima informasi yang cukup dan perlu

memahami bahwa situasi damai dan stabil di kawasan Asia Tenggara sepenuhnya bersesuaian

dengan kepentingan Indonesia. Situasi damai dan stabil hanya akan dicapai apabila penyelesaian

konflik secara damai, tanpa kekerasan, telah disepakati menjadi norma bersama. Dan Indonesia

telah menunjukan diri sebagai penganjur penyelesaian damai dalam berbagai konflik di kawasan

Asia Tenggara sebagaimana dicontohkan di atas.

Pencitraan diri sebagai negara demokratis di luar negeri akan menjadi dorongan untuk pencitraan

diri sebagai negara demokratis di dalam negeri. Pengalaman transisi demokrasi di negara-negara

Eropa Timur seperti Hongaria dan Polandia memperlihatkan bahwa pencitraan diri sebagai negara

demokratis melalui politik luar negeri dapat memberi dorongan substansial bagi proses

konsolidasi di dalam negeri.

Preseden baik telah dicapai dalam sikap Indonesia saat menolak aksi unilateralisme dalam isu

Irak. Sikap Indonesia dalam forum internasional konsisten dengan sikap sebagian besar

masyarakat Indonesia yang menolak perang. Bahkan melalui diplomasi publiknya, Deplu bersama-

sama elemen masyarakat dan tokoh agama aktif mengkampanyekan suara anti perang dan

memilih prinsip multilateralisme. Dalam isu Irak tersebut semakin terlihat bahwa suara publik kian

menjadi elemen penting dalam politik luar negeri Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai