Anda di halaman 1dari 5

Seputar Ikhtilat Pria dan Wanita

Tanya :
Ustadz, mohon dijelaskan tentang ikhtilat, pengertian dan batasan-batasannya!

Jawab :Ikhtilat (campur baur pria wanita) adalah adanya pertemuan (ijtima’) dan interaksi
(ittishal) antara pria dan wanita di satu tempat. (Sa’id Al Qahthani, Al Ikhtilath Baina Ar Rijal
wa An Nisaa`, hlm. 7).

Dari pengertian ikhtilat tersebut, terdapat 2 (dua) kriteria yang harus ada secara bersamaan
hingga pertemuan pria dan wanita dapat disebut ikhtilat; pertama, adanya pertemuan (ijtima’)
pria dan wanita di satu tempat yang sama, misalnya di kendaraan umum, jalan umum, pasar,
mall, rumah makan, ruang kelas, ruang kantor, gedung pertemuan, masjid, dan sebagainya.
Kedua, adanya interaksi (khilthah, ittishaal) antara pria dan wanita, misalnya berbicara, saling
berpandangan, saling memberi isyarat, bergurau, bersalaman, bersentuhan, dan sebagainya.
(Sa’id Al Qahthani, Al Ikhtilath Baina Ar Rijal wa An Nisaa`, hlm. 8-9).

Maka dari itu, jika hanya terjadi pertemuan tapi tanpa interaksi, tidak disebut ikhtilat. Misalnya,
laki-laki dan wanita yang duduk bersebelahan di kereta api dan di antara keduanya tidak terjadi
interaksi apa pun, seperti berbicara, dan sebagainya. Demikian pula jika terjadi interaksi tapi
tidak terjadi pertemuan di satu tempat, tidak disebut ikhtilat. Misalnya, laki-laki dan wanita yang
berbicara via telepon sedang keduanya berada di dua tempat yang berbeda.

Ikhtilat hukumnya haram, kecuali ada dalil syariah yang membolehkan ikhtilat dalam aktivitas
tertentu. Dalil-dalil yang menunjukkan haramnya ikhtilat terdiri dari sejumlah dalil syar’i, yang
dipahami secara dalalatul iltizam, yaitu dalil-dalil itu masing-masing mengharamkan satu hal,
namun pada saat yang sama mengharamkan hal lain sebagai konsekuensi logisnya, yaitu ikhtilat
antara pria dan wanita. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 2/290-291) :

Di antara dalil-dalil tersebut adalah;


Pertama. Islam mengharamkan laki-laki memandang aurat wanita yang bukan mahramnya
walaupun hanya selembar rambutnya. Dari Qatadah RA, Rasulullah SAW bersabda :

َ ‫ت لَ ْم يَصْ لُحْ أَ ْن ي َُر ِم ْنهَا إِالَ َوجْ هَهَا َو َكفَ ْيهَا إِلَى ْال ِم ْف‬
‫ص ِل‬ ْ ‫ض‬ ِ ‫إنَ ْال َج‬
َ ‫اريَةَ إِ َذا َحا‬

”Seorang perempuan jika telah haid maka tidak boleh dilihat darinya kecuali wajahnya dan
tangannya hingga pergelangan tangan.” (HR Abu Dawud, Al Marasil ma’a Al Asanid, Kitabul
Libas, hlm. 215).

Kedua, Islam mengharamkan wanita untuk memperlihatkan auratnya kepada laki-laki yang
bukan mahramnya meskipun hanya leher wanita tersebut. Dari Jabir bin Shakhr RA, Rasulullah
SAW bersabda :
ُ‫إِنا َ نُ ِه ْينَا أَنَ نُ َرى عَوْ َراتنَا‬

”Sesungguhnya kita telah dilarang untuk memperlihatkan aurat kita.” (inna nuhiina an nura
‘auratuna). (HR Al Hakim, Al Mustadrak, no 4984).
Ketiga, Islam telah memerintahkan untuk menundukkan pandangan (ghadhul bashar), yaitu tidak
memandang kepada aurat lawan jenis. (QS An Nuur [24] : 30-31).

Keempat, Islam telah mengharamkan seorang wanita untuk melakukan perjalanan sendirian
walaupun untuk menunaikan haji jika tidak disertai mahramnya atau suaminya. Dari Ibnu Abbas
RA, Rasulullah SAW bersabda :

‫ت‬ْ ‫ َر َج‬rَ‫ َرأَتِ ْي خ‬r‫وْ َل هللاِ إِنَ ا ْم‬r‫ا َر ُس‬rrَ‫تُ َسافِ ُر ْال َمرْ أَةُ إِالَ َم َع ِذيْ َمحْ َر ٍم فَقَا َم َر ُج ٌل فَقَا َل ي‬  َ‫الَ يَ ْخلُ َونَ َر ُج ٌل بِا ْم َرأَ ٍة إِالَ َو َم َعهَا ُذوْ َمحْ َر ٍم َوال‬
َ‫ُج َم َع ا ْم َرأَتِك‬
َ ‫ال ا ْنطَلِ ْق فَح‬ ُ ‫َحا َجةً َوإِنِ ْي ا ْكتُتِب‬
َ َ‫ْت فِ ْي غ َْز َو ِة َك َذا َو َك َذا ق‬

”Janganlah sekali-kali seorang laki-laki bersepi-sepi (berkhalwat) dengan seorang perempuan,


kecuali [perempuan itu] disertai mahramnya.” Lalu seorang laki-laki berdiri lalu berkata,”Wahai
Rasulullah, sesungguhnya istriku telah berangkat untuk menunaikan haji sedangkan aku telah
ditetapkan untuk mengikuti perang ini dan ini.” Rasulullah SAW bersabda,”Kalau begitu
pergilah kamu dan berhajilah bersama istrimu.” (HR Muslim, no 1341).

Kelima, Islam telah menjadikan shaf wanita di masjid berada di belakang dan terpisah dengan
shaf pria. Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda :

‫ف النِ َسا ِء آ ِخ ُرهَا َو َش ُرهَا أَ َولُهَا‬ ُ ‫الر َجا ِل أَ َولُهَا َو َش ُرهَا آ ِخ ُرهَا َو َخ ْي ُر‬
ِ ْ‫صفُو‬ ِ ‫ف‬ ِ ْ‫صفُو‬
ُ ‫َخ ْي ُر‬

”Sebaik-baik shaf bagi laki-laki adalah yang paling depan, dan seburuk-buruknya adalah yang
paling belakang. Sebaik-baik shaf untuk wanita adalah yang paling belakang, dan seburuk-
buruknya adalah yang paling depan.” (HR Muslim, no 440).

Dalil-dalil syar’i di atas menunjukkan bahwa secara umum ikhtilat antara pria dan wanita
hukumnya adalah haram. Dengan kata lain, pria dan wanita hukum asalnya adalah wajib terpisah
(infishal), tidak boleh bercampur baur.

Namun keharaman ikhtilat tersebut dikecualikan dengan 2 (dua) kriteria sbb;


Pertama,  jika ada dalil syariah tertentu yang membolehkan adanya interaksi pria dan wanita,
misalnya berjual-beli.

Kedua, jika interaksi tersebut memang mengharuskan pertemuan (ijtima’).

Jika dua kriteria ini terpenuhi maka ikhtilat pria dan wanita diperbolehkan. Misalnya bertemunya
pria dan wanita di toko untuk melakukan jual-beli, bertemunya pria dan wanita di masjid untuk
menuntut ilmu, bertemuanya pria dan wanita untuk melakukan thawaf di sekitar Ka’bah,
bertemuanya pria dan wanita di rumah sakit untuk melakukan pengobatan, bertemunya pria dan
wanita di rumah untuk bersilaturahim (dengan kerabat/dzawil arham), dan sebagainya. Wallahu
a’lam. [M. Shiddiq Al Jawi]
Bahaya Ikhtilat Menurut Hukum Islam
Pertanyaan :

Sekarang ini, campur baur antara laki-laki dengan perempuan sudah biasa terjadi, termasuk
dalam acara-acara yang diselenggarakan oleh orang-orang Islam. Bagaimana sesungguhnya
hukum Islam terkait acara yang bercampur baur tersebut?

Jawaban :

Apakah Ikhtilath Itu?

Ikhtilath artinya adalah bertemunya laki-laki dan perempuan (yang bukan mahramnya) di suatu
tempat secara campur baur dan terjadi interaksi di antara laki-laki dan wanita itu (misal bicara,
bersentuhan, berdesak-desakan, dll). (Said Al Qahthani, Al Ikhtilat, hlm. 7).

Contoh ikhtilat, para penumpang laki-laki dan perempuan yang berada di suatu gerbong kereta
api yang sama secara berdesakan-desakan. Jika seseorang pernah menumpang KRL Jabotabek
jurusan Jakarta-Bogor pada jam-jam sibuk (jam masuk kerja atau pulang kerja), sangat mungkin
dia terjebak dalam ikhtilat. Karena dalam KA Jabotabek itu para penumpang laki-laki dan
perempuan berada dalam gerbong yang sama dan saling berdesak-desakan satu sama lain.

Contoh ikhtilat lainnya, para penumpang laki-laki dan perempuan dalam bus Trans Jakarta. Pada
jam-jam sibuk para penumpang itu dipastikan akan berdesak-desakan. Kondisi seperti itu disebut
ikhtilat. Contoh lainnya, misalkan di sebuah restoran, dalam satu meja ada laki-laki dan
perempuan yang bukan mahram, mereka makan dan ngobrol bersama. Ini juga ikhtilat.

Ikhtilat hukumnya haram dan merupakan dosa menurut syariah (Hukum Islam), meskipun
disayangkan kaum muslimin banyak yang melakukannya. Mungkin itu karena ketidaktahuan
mereka akan hukum Islam, atau mungkin karena terpengaruh oleh gaya hidup kaum kafir dari
Barat yang serba boleh, yang tidak mengindahkan halal haram.

Di samping haram, ikhtilat juga berbahaya, karena mudah menjadi jalan untuk kemaksiatan-
kemaksiatan lain yang merusak akhlak, seperti memandang aurat, terjadinya pelecehan seksual,
terjadinya perzinaan, dan sebagainya. Banyak kitab karya para ulama yang khusus menerangkan
bahaya-bahaya ikhtilat itu, seperti : (1) kitab Khuthurah Al Ikhtilath (Bahaya Ikhtlath), karya
Syaikh Nada Abu Ahmad; (2) kitab Al Ikhtilath Ashlus Syarr fi Dimaar Al Umam wal Usar
(Ikhtilat Sumber Keburukan bagi Kehancuran Berbagai Umat dan Keluarga), karya Syaikh Abu
Nashr Al Imam, dan (3) kitab Al Ikhtilath wa Khatruhu ‘Alal Fardi wal Mujtama’ (Ikhtilat :
Bahayanya Bagi Individu dan Masyarakat), karya Syaikh Nashr Ahmad As Suhaji, dan
sebagainya.

 Kriteria Ikhtilat dan Keharamannya

Seperti dijelaskan di muka, pengertian ikhtilat adalah bertemunya laki-laki dan perempuan di


suatu tempat secara campur baur dan terjadi interaksi di antara laki-laki dan wanita itu. Maka
berdasarkan pengertian ikhtilat itu, suatu pertemuan antara laki-laki dan peremuan baru disebut
ikhtilat jika memenuhi dua kriteria secara bersamaan, yaitu :Pertama, adanya pertemuan
(ijtima’) antara laki-laki dan perempuan di satu tempat yang sama, misalnya di gerbong kereta
yang yang sama, di ruang yang sama, di bus yang sama, rumah yang sama, dan
seterusnya. Kedua, terjadi interaksi (ittishal, khilthah) antara laki-laki dan perempuan, misalnya
berbicara, saling menyentuh, bersenggolan, berdesakan, dan sebagainya.

Jika perempuan dan laki-laki duduk berdampingan di suatu bus angkutan umum, tapi tidak
terjadi interaksi apa-apa, maka kondisi itu tidak disebut ikhtilat (hukumnya tidak apa-apa). Tapi
kalau di antara mereka lalu terjadi interaksi, misalnya perbincangan, kenalan, dan seterusnya,
maka baru disebut ikhtilat (haram hukumnya). Sebaliknya kalau di antara laki-laki dan
perempuan terjadi interaksi, misalnya berbicara, tapi melalui telepon, maka tidak disebut ikhtilat
karena mereka tidak berada di satu tempat atau tidak terjadi pertemuan (ijtima’) di antara
keduanya.

Jadi yang disebut ikhtilat itu harus memenuhi 2 (dua) kriteria secara bersamaan, yaitu : (1)
adanya pertemuan antara laki-laki dan perempuan (yang bukan mahramnya) di suatu tempat, dan
(2) terjadi interaksi di antara laki-laki dan perempuan itu.

Mengapa ikhtilat diharamkan? Karena melanggar perintah syariah untuk melakukan infishal,


yaitu keterpisahan antara komunitas laki-laki dan perempuan.  Dalam kehidupan Islami yang
dicontohkan dan diperintahkan oleh Rasulullah SAW di Madinah dahulu, komunitas laki-laki
dan perempuan wajib dipisahkan dalam kehidupan, tidak boleh campur baur. Misalnya, dalam
shalat jamaah di masjid, shaf (barisan) laki-laki dan perempuan diatur secara terpisah, yaitu shaf
laki-laki di depan yang dekat imam, sedang shaf perempuan berada di belakang shaf laki-laki.
Demikian pula setelah selesai shalat jamaah di masjid, Rasulullah SAW mengatur agar jamaah
perempuan keluar masjid lebih dahulu, baru kemudian jamaah laki-laki. Pada saat Rasulullah
SAW menyampaikan ajaran Islam di masjid, laki-laki dan perempuan juga terpisah. Ada kalanya
terpisah secara waktu (hari pengajiannya berbeda), ada kalanya terpisah secara tempat. Yaitu
jamaah perempuan berada di belakang jamaah laki-laki, atau kadang jamaah perempuan diatur
terletak di samping jamaah laki-laki. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizhamul Ijtima`i fil Islam,
hlm. 35-36).

Namun demikian, ada perkecualian. Dalam kehidupan publik, seperti di pasar, rumah sakit,
masjid, sekolah, jalan raya, lapangan, kebun binatang, dan sebagainya, laki-laki dan perempuan
dibolehkan melakukan ikhtilat, dengan 2 (dua) syarat, yaitu ;

Pertama, pertemuan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan itu untuk melakukan perbuatan
yang dibolehkan syariah, seperti aktivitas jual beli, belajar mengajar, merawat orang sakit,
pengajian di masjid, melakukan ibadah haji, dan sebagainya.

Kedua, aktivitas yang dilakukan itu mengharuskan pertemuan antara laki-laki dan perempuan.
Jika tidak mengharuskan pertemuan antara laki-laki dan perempuan, hukumnya tetap tidak boleh.
Sebagai contoh ikhtilat yang dibolehkan, adalah jual beli. Misalkan penjualnya adalah seorang
perempuan, dan pembelinya adalah seorang laki-laki. Dalam kondisi seperti ini, boleh ada
ikhtilat antara perempuan dan laki-laki itu, agar terjadi akad jual beli antara penjual dan pembeli.
Ini berbeda dengan aktivitas yang tidak mengharuskan pertemuan laki-laki dan perempuan.
Misalnya makan di restoran. Makan di restoran dapat dilakukan sendirian oleh seorang laki-laki,
atau sendirian oleh seorang perempuan. Tak ada keharusan untuk terjadinya pertemuan antara
laki-laki dan perempuan supaya bisa makan di restoran. Maka hukumnya tetap haram seorang
laki-laki dan perempuan janjian untuk bertemu dan makan bersama di suatu restoran.
(Taqiyuddin An Nabhani, An Nizhamul Ijtima`i fil Islam, hlm. 37).

Perlu diperhatikan juga, di samping dua syarat di atas, tentunya para laki-laki dan perempuan
wajib mematuhi hukum-hukum syariah lainnya dalam kehidupan umum, misalnya kewajiban
menundukkan pandangan (ghaddhul bashar), yaitu tidak memandang aurat (QS An Nuur : 30-
31), kewajiban berbusana muslimah, yaitu kerudung (QS An Nuur : 31) dan jilbab atau baju
kurung terusan (QS Al Ahzaab : 59), keharaman berkhalwat (berdua-duaan dengan lain jenis)
(HR Ahmad), dan sebagainya.

Bahaya-Bahaya Ikhtilat

Sesungguhnya ikhtilat adalah jalan yang memudahkan terjadinya berbagai kemaksiatan. Antara
lain : (1) terjadinya khalwat, yaitu laki-laki yang berdua-duaan dengan perempuan yang bukan
mahramnya. Sabda Rasulullah SAW,”Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berdua-duaan
dengan seorang perempuan, karena yang ketiganya adalah syaitan.” (HR Ahmad);

(2) terjadinya pelecehan seksual, seperti persentuhan antara laki-laki dan perempuan bukan
mahram, dan sebagainya. Rasulullah SAW pernah bersabda,”Kedua mata zinanya adalah
memandang [yang haram]; kedua telinga zinanya adalah mendengar [yang haram], lidah zinanya
adalah berbicara [yang haram], tangan zinanya adalah menyentuh [yang haram], dan kaki
zinanya adalah melangkah [kepada yang haram].” (HR Muslim). Rasulullah SAW juga melarang
laki-laki dan perempuan berdesak-desakan. Maka dari itu pada masa Rasulullah SAW para
perempuan keluar masjid lebih dulu setelah selesai shalat, baru kemudian para laki-laki. (HR
Bukhari, no 866 & 870).

(3) terjadinya perzinaan, yang diawali dengan ikhtilat. Imam Ibnul Qayyim pernah berkata dalam
kitabnya At Thuruqul Hukmiyyah,”Ikhtilat antara para laki-laki dan perempuan, adalah sebab
terjadinya banyak perbuatan keji (katsratul fawahisy) dan merajalelanya zina (intisyar az zina).”

Dan yang lebih mengerikan lagi, jika zina sudah merajalela di suatu negeri, maka akan terjadi
kerusakan atau bencana umum bagi sebuah negeri. Sabda Rasulullah SAW,”Tidaklah merajalela
perbuatan zina di suatu kaum, kecuali kematian pun akan merajalela di tengah kaum itu.” (HR
Ahmad, dari ‘A`isyah RA).

Maka dari itu, jelaslah ikhtilat adalah perbuatan buruk yang wajib kita jauhi. Jika tidak, berbagai
kemaksiatan akan terjadi, dan bahaya kematian pun akan merajalela pula di tengah-tengah umat
Islam. Nauzhu billah min dzalik. (www.konsultasi.wordpress.com)

Sumber jawaban :

Artikel karya KH. M. Shiddiq Al Jawi yang berjudul Bahaya Ikhtilat Menurut Hukum Islam

Anda mungkin juga menyukai