Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

CEREBRAL VASKULAR ACCIDENT INTRAVENTRICULAR HEMORRHAGE


(CVA-IVH)

Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners Departemen Medikal
di Ruang 26s RSUD. Dr. Saiful Anwar Malang

OLEH:

NI MADE ARDANINGSIH

115070201111008

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2015
CEREBRAL VASCULAR ACCIDENT:
INTRAVENTRICULAR HEMORRHAGE (CVA-IVH)

1. DEFINISI
Perdarahan intraventrikel atau yang biasa disebut dengan IVH adalah perdarahan
yang terdapat pada sistem ventrikel otak, dimana cairan serebrospinal di produksi dan
disirkulasikan ke ruang subarachnoid. Perdarahan ini dapat disebabkan karena adanya
trauma ataupun juga perdarahan pada stroke.
Disebutkan pula bahwa Primary Intraventricular Hemorrhage merupakan perdarahan
intraserebral nontraumatik yang terbatas pada sistem ventrikel. Sedangkan perdarahan
sekunder intraventrikuler muncul akibat pecahnya pembuluh darah intraserebral dalam
dan jauh dari daerah periventrikular, yang meluas ke sistem ventrikel. IVH sekunder
mungkin terjadi akibat perluasan dari perdarahan intraparenkim atau subarachnoid yang
masuk ke system intraventrikel. Kontusio dan perdarahan subarachnoid (SAH)
berhubungan erat dengan IVH. Perdarahan dapat berasal dari middle communicating
artery atau dari posterior communicating artery.
Sepertiga pasien IVH tidak bertahan pada perawatan di rumah sakit (39%). Angka
kejadian IVH di antara seluruh pasien dengan perdarahan intrakranial adalah 3,1%
dengan prognosis yang dilaporkan lebih baik dari prognosis pasien perdarahan
intraventrikel sekunder. IVH menginduksi morbiditas, termasuk perkembangan
hidrosefalus dan menurunnya kesadaran. Dilaporkan terdapat banyak faktor yang
berhubungan dengan IVH, namun hipertensi merupakan faktor yang paling sering
ditemukan. Sering kali kejadian IVH bersamaan dengan munculnya CVA hemoragik lain,
yang tersering adalah ICH (intra cranial Hematoma), sehingga kejadian CVA ICH ini juga
menimbulkan kesan gejala yang sama dengan CVA yang terjadi setelah atau bersamaan.
Selain itu kejadian IVH lebih banyak terjadi pada bayi dibandingkan dengan orang
dewasa. Pada bayi IVH banyak terjadi pada bayi yang prematur atau BBLR, ha ini
dikarenakan belum matangnya pembentukan pembuluh darah, terutama di otak.
Ketidakmatangan inilah yang akan mengakibatkan adanya ruptur pembuuh darah pada
sistem ventrikel. Sedangkan pada orang dewasa IVH banyak terjadi karena perdarahan
dari sistem atau tempat disekitar ventrikel otak.

2. ETIOLOGI
Etiologi PIVH bervariasi dan pada beberapa pasien tidak diketahui. Tetapi menurut
penelitian didapatkan :
a. Hipertensi, aneurisma bahwa PIVH tersering berasal dari perdarahan hipertensi pada
arteri parenkim yang sangat kecil dari jaringan yang sangat dekat dengan sistem
ventrikuler.
b. Kebiasaan merokok dan Alkoholisme
Dari studi observasional dilaporkan meningkatnya kejadian stroke perdarahan pada
pasien merokok dan konsumsi alkohol. Kandungan (zat) yang terkandung dalam
rokok, terutama nikotin dapat menyebabkan penurunan elastisitas dinding vaskuler.
Konsumsi alkohol dengan jumlah banyak maupun sedikit namun dalam jangka
waktu yang lama akan berefek pada sistem kardiovasluler, gangguan yang mungkin
muncul pada sistem jantung diantaranya adalah berhubungan dengan fungsi
fisiologis jantung, yang tersering diantaranya adalah fungsi sebagai “pompa” darah,
sedangkan pada sistem vaskuler, konsumsi alkohol dapat mengganggu lipid profile
yang kedepannya akan mengakibatkan gangguan pada lemak di vaskuler yang
nantinya dapat menyebabkan penyempitan vaskuler.
c. Etiologi lain yang mendasari PIVH di antaranya adalah anomali pembuluh dara
hserebral, malformasi pembuluh darah termasuk angioma kavernosa dan aneurisma
serebri merupakan penyebab tersering PIVH pada usia muda. Pada orang dewasa,
PIVH disebabkan karena penyebaran perdarahan akibat hipertensiprimer dari
struktur periventrikel.

3. FAKTOR RESIKO
a. Usia tua
b. Kebiasaan merokok 
c. Alkoholisme
d. Tekanan darah lebih dari 120 mmHg.
e. Lokasi dari Intracerebral hemoragik primer.
f. Perdarahan yang dalam, pada struktur subkortikal lebih beresiko menjadi
intraventrikular hemoragik, lokasi yang sering terjadi yaitu putamen (35-50%),
lobus(30%), thalamus (10-15%), pons (5%-12%), caudatus (7%) dan serebelum
(5%). Adanya perdarahan intraventrikular meningkatkan resiko kematian yang
berbanding lurus dengan banyaknya volume IVH.

4. PATOFISIOLOGI
Hipertensi
abnormalitas formasi vaskuler otak

Tek. Vaskuler melebihi tek. Menyebabkan vaskuler mudah ruptur


Maksimal vaskuler otak karena formasi vaskuler sendiri

Perdarahan yang terjadi menyebabkan


penekanan pada area otak (desak ruang)

Penekanan pada Penekanan pada area


area sensitif Peningkatan TIK tertentu pada otak
nyeri dapat menyebabkan
gangguan fisiologis otak
Apabila dibiarkan akan terjadi seperti :gangguan
Nyeri kepala edema otak bicara (area broca),
gangguan gerak, dll

Gangguan kesadaran (penurunan)

5. GEJALA
Pada dasarnya gejala dari IVH sama dengan gejala pada perdarahan intraserebral
lainnya, seperti sakit kepala mendadak, mual dan muntah, perubahan/penurunan status
mental atau level kesadaran.
a. Sakit kepala mendadak 
b. Kaku kuduk 
c. Muntah
d. Letargi.
e. Penurunan Kesadaran.
f. Gangguan atau penurunan fisiologis pada bagian tubuh tertentu misal pada anggota
gerak.

6. PROGNOSA
Prognosa IVH akan sangat buruk apabila merupakan hasil dari perdarahan intraserebral
yang disebabkan karena hipertensi, dan prognosa akan bertambah buruk apabila
hydrocephalus mengikuti. Hal ini dapat menyababkan peningkatan TIK dan dapat
menyebabkan hernia otak. Darah yang berada pada ventrikular otak dapat menggumpal
dan akan menyumbat aliran dari CSF sehingga dapat terjadi hydrochepalus yang dapat
dengan cepat meningkatkan TIK dan dapat menyebabkan kematian. Kemudian, produk-
produk pemecahan bekuan darah dapat merangsang pelepasan agen-agen inflamsi yang
dapat merusak granulasi dari arachnoid, menghalangi reabsorbsi CSF dan dapat
menyebabkan hydrochepalus permanen.

7. KOMPLIKASI
a. Hidrosefalus (Octaviani, 2011)
Hal ini merupakan komplikasi yang sering dan kemungkinan disebabkan karena
obstruksi cairan sirkulasi serebrospinal atau berkurangnya absorpsi meningeal.
Hidrosefalus dapat berkembang pada 50% pasien dan berhubungan dengan keluaran
yang buruk.
Terapi hidrosefalus pada pasien dilanjutkan dengan konsul ke bagian bedah saraf
dengan rencana tindakan VP shunt cito. Ventriculoperitoneal (VP) Shunt merupakan
tehnik operasi yang paling popular untuk tatalaksana hidrosefalus, yaitu LCS dialirkan
dari ventrikel otak ke rongga peritoneum. Sebuah studi tentang hidrosefalus
menunjukkan rasio kesuksesan perbaikan gejala dan tanda klinis pada 50%- 90%
penelitian pada anjing yang mendapatkan tatalaksana ventriculoperitoneal shunting.
b. Perdarahan ulang (rebleeding) (Octaviani, 2011)
Dapat terjadi setelah serangan hipertensi. Tindakan medis untuk mencegah
perdarahan ulang setelah SAH dari AHA Guideline 2009: 1). Tekanan darah
sebaiknya dimonitor dan dikontrol untuk mengimbangi risiko stroke, hipertensi yang
berhubungan dengan perdarahan ulang, dan mempertahankan CPP (cerebral
perfusion pressure). 2). Tirah baring saja tidak cukup untuk mencegah perdarahan
ulang setelah SAH. Dapat dipertimbangkan strategi tatalaksana yang lebih luas,
bersamaan dengan pengukuran yang lebih definitif. 3). Meskipun studi yang lalu
menunjukkan keseluruhan efek negatif dari antifibrinolitik, bukti sekarang
menyarankantatalaksana awal dengan pemberian antifibrinolitik jangka pendek
dilanjutkan dengan penghentian antifibrinolitik dan profilaksis melawan hipovolemi dan
vasospasme
c. Vasospasme. (Octaviani, 2011)
Beberapa laporan telah menyimpulkan hubungan antara intraventricular hemorrhage
(IVH) dengan kejadian dari vasospasme serebri, yaitu: 1). Disfungsi arteriovena
hipotalamik berperan dalam perkembangan vasospasme intrakranial. 2).
Penumpukkan atau jeratan dari bahan spasmogenik akibat gangguan dari sirkulasi
cairan serebrospinal. Rekomendasi tatalaksana vasospasme serebri dari AHA
Guideline pada SAH, yaitu: Nimodipin oral diindikasikan untuk mengurangi keluaran
yang buruk yang berhubungan dengan SAH aneurisma (I, A). Nilai dari pemberian
antagonis kalsium secara oral atau intravena masih belum jelas. Dosis oral yang
dianjurkan adalah 60 mg setiap 6 jam.

8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Diagnosis klinis dari PIVH sangat sulit dan jarang dicurigai sebelum CT scan meskipun
gejala klinis menunjukkan diagnosis mengarah ke IVH, namun CT Scan kepala diperlukan
untuk konfirmasi. CT sangat sensitif dalam mengidentifikasi perdarahan akut dan
dipertimbangkan sebagai baku emas. Rekomendasi AHA Guideline 2010 untuk pencitraan
pada kasus stroke adalah:
a. Computed Tomography-Scanning (CT- scan).
CT Scan merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk PIS (perdarahan intra
serebral/ICH) dalam beberapa jam pertama setelah perdarahan. CT-scan dapat
diulang dalam 24 jam untuk menilai stabilitas. Bedah emergensi dengan
mengeluarkan massa darah diindikasikan pada pasien sadar yang mengalami
peningkatan volume perdarahan.
b. Magnetic resonance imaging (MRI).
MRI dapat menunjukkan perdarahan intraserebral dalam beberapa jam pertama
setelah perdarahan. Perubahan gambaran MRI tergantung stadium disolusi
hemoglobin oksihemoglobin – deoksihemoglobin – methemoglobin - ferritin dan
hemosiderin.
c. CT angiografi, CT venografi, contrast-enhanced CT, contrast-enhanced MRI, magnetic
resonance angiography, and magnetic resonance venography dapat digunakan untuk
mengevaluasi lesi struktural yang mendasari, termasuk malformasi pembuluh darah
dan tumor jika terdapat kecurigaan klinis atau radiologis.

9. PEMERIKSAAN SYARAF KRANIAL


a. Fungsi saraf kranial I (N Olvaktorius)
Pastikan rongga hidung tidak tersumbat oleh apapun dan cukup bersih. Lakukan
pemeriksaan dengan menutup sebelah lubang hidung klien dan dekatkan bau-bauan
seperti kopi dengan mata tertutup klien diminta menebak bau tersebut. Lakukan untuk
lubang hidung yang satunya.
b. Fungsi saraf kranial II (N. Optikus)
 Catat kelainan pada mata seperti katarak dan infeksi sebelum pemeriksaan.
Periksa ketajaman dengan membaca, perhatikan jarak baca atau menggunakan
snellenchart untuk jarak jauh.
 Periksa lapang pandang: Klien berhadapan dengan pemeriksa 60-100 cm, minta
untuk menutup sebelah mata dan pemeriksa juga menutup sebelah mata dengan
mata yang berlawanan dengan mata klien. Gunakan benda yang berasal dari arah
luar klien dank lien diminta , mengucapkan ya bila pertama melihat benda
tersebut. Ulangi pemeriksaan yang sama dengan mata yang sebelahnya. Ukur
berapa derajat kemampuan klien saat pertama kali melihat objek. Gunakan
opthalmoskop untuk melihat fundus dan optic disk (warna dan bentuk)
c. Fungsi saraf kranial III, IV, VI (N. Okulomotoris, Troklear dan Abdusen)
 Pada mata diobservasi apakah ada odema palpebra, hiperemi konjungtiva, dan
ptosis kelopak mata
 Pada pupil diperiksa reaksi terhadap cahaya, ukuran pupil, dan adanya
perdarahan pupil
 Pada gerakan bola mata diperiksa enam lapang pandang (enam posisi cardinal)
yaitu lateral, lateral ke atas, medial atas, medial bawah lateral bawah. Minta klien
mengikuti arah telunjuk pemeriksa dengan bolamatanya
d. Fungsi saraf kranial V (N. Trigeminus)
 Fungsi sensorik diperiksa dengan menyentuh kilit wajah daerah maxilla,
mandibula dan frontal dengan mengguanakan kapas. Minta klien mengucapkan
ya bila merasakan sentuhan, lakukan kanan dan kiri.
 Dengan menggunakan sensori nyeri menggunakan ujung jarum atau peniti di
ketiga area wajah tadi dan minta membedakan benda tajam dan tumpul.
 Dengan mengguanakan suhu panas dan dingin juag dapat dilakukan diketiga area
wajah tersebut. Minta klien menyebabkanutkan area mana yang merasakan
sentuhan. Jangan lupa mata klien ditutup sebelum pemeriksaan.
 Dengan rasa getar dapat pukla dilakukan dengan menggunakan garputala yang
digetarkan dan disentuhkan ke ketiga daerah wajah tadi dan minta klien
mengatakan getaran tersebut terasa atau tidak
 Pemerikasaan corneal dapat dilakukan dengan meminta klien melihat lurus ke
depan, dekatkan gulungan kapas kecil dari samping kea rah mata dan lihat refleks
menutup mata.
 Pemeriksaan motorik dengan mengatupkan rahang dan merapatkan gigi periksa
otot maseter dan temporalis kiri dan kanan periksa kekuatan ototnya, minta klien
melakukan gerakan mengunyah dan lihat kesimetrisan gerakan mandibula.
e. Fungsi saraf kranial VII (N. Fasialis)
 Fungsi sensorik dengan mencelupkan lidi kapas ke air garam dan sentuhkan ke
ujung lidah, minta klien mengidentifikasi rasa ulangi untuk gula dan asam
 Fungsi motorik dengan meminta klien tersenyum, bersiul, mengangkat kedua al;is
berbarengan, menggembungkan pipi. Lihat kesimetrisan kanan dan kiri. Periksa
kekuatan otot bagian atas dan bawah, minta klien memejampan mata kuat-kuat
dan coba untuk membukanya, minta pula klien utnuk menggembungkan pipi dan
tekan dengan kedua jari.
f. Fungsi saraf kranial VIII (N. Vestibulokoklear)
 cabang vestibulo dengan menggunakan test pendengaran mengguanakan weber
test dan rhinne test
 Cabang choclear dengan rombreng test dengan cara meminta klien berdiri tegak,
kedua kaki rapat, kedua lengan disisi tubuh, lalu observasi adanya ayunan tubuh,
minta klien menutup mata tanpa mengubah posisi, lihat apakah klien dapat
mempertahankan posisi
g. Fungsi saraf kranial IX dan X (N. Glosovaringeus dan Vagus)
 Minta klien mengucapkan aa lihat gerakan ovula dan palatum, normal bila uvula
terletak di tengan dan palatum sedikit terangkat.
 Periksa gag refleks dengan menyentuh bagian dinding belakang faring
menggunakan aplikator dan observasi gerakan faring.
 Periksa aktifitas motorik faring dengan meminta klien menelan air sedikit,
observasi gerakan meelan dan kesulitan menelan. Periksa getaran pita suara saat
klien berbicara.
h. Fungsi saraf kranial XI(N. Asesoris)
 Periksa fungsi trapezius dengan meminta klien menggerakkan kedua bahu secara
bersamaan dan observasi kesimetrisan gerakan.
 Periksa fungsi otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien menoleh ke
kanan dan ke kiri, minta klien mendekatkan telinga ke bahu kanan dan kiri
bergantian tanpa mengangkat bahu lalu observasi rentang pergerakan sendi
 Periksa kekuatanotottrapezius dengan menahan kedua bahu klien dengan kedua
telapak tangan danminta klien mendorong telapak tangan pemeriksa sekuat-
kuatnya ke atas, perhatikan kekuatan daya dorong.
 Periksa kekuatan otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien untuk
menoleh kesatu sisi melawan tahanan telapak tangan pemeriksa, perhatikan
kekuatan daya dorong
i. Fugsi saraf kranial XII (N. Hipoglosus)
 Periksa pergerakan lidah, menggerakkan lidah kekiri dan ke kanan, observasi
kesimetrisan gerakan lidah
 Periksa kekuatan lidah dengan meminta klien mendorong salah satu pipi dengan
ujung lidah, dorong bagian luar pipi dengan ujung lidah, dorong kedua pipi dengan
kedua jari, observasi kekuatan lidah, ulangi pemeriksaan sisi yang lain

10. PEMERIKSAAN FUNGSI MOTORIK


Sistem motorik sangat kompleks, berasal dari daerah motorik di corteks cerebri, impuls
berjalan ke kapsula interna, bersilangan di batang traktus pyramidal medulla spinalis dan
bersinaps dengan lower motor neuron.
Pemeriksaan motorik dilakukan dengan cara observasi dan pemeriksaan kekuatan.
a. Massa otot : hypertropi, normal dan atropi
b. Tonus otot : Dapat dikaji dengan jalan menggerakkan anggota gerak pada berbagai
persendian secara pasif. Bila tangan / tungkai klien ditekuk secara berganti-ganti dan
berulang dapat dirasakan oleh pemeriksa suatu tenaga yang agak menahan pergerakan
pasif sehingga tenaga itu mencerminkan tonus otot.
 Bila tenaga itu terasa jelas maka tonus otot adalah tinggi. Keadaan otot disebut
kaku. Bila kekuatan otot klien tidak dapat berubah, melainkan tetap sama. Pada
tiap gerakan pasif dinamakan kekuatan spastis. Suatu kondisi dimana kekuatan
otot tidak tetap tapi bergelombang dalam melakukan fleksi dan ekstensi
extremitas klien.
 Sementara penderita dalam keadaan rileks, lakukan test untuk menguji tahanan
terhadap fleksi pasif sendi siku, sendi lutut dan sendi pergelangan tangan.
 Normal, terhadap tahanan pasif yang ringan / minimal dan halus.
c. Kekuatan otot :
Aturlah posisi klien agar tercapai fungsi optimal yang diuji. Klien secara aktif menahan
tenaga yang ditemukan oleh sipemeriksa. Otot yang diuji biasanya dapat dilihat dan
diraba. Gunakan penentuan singkat kekuatan otot dengan skala Lovett’s (memiliki nilai 0
– 5)
0 = tidak ada kontraksi sama sekali.
1 = gerakan kontraksi.
2 = kemampuan untuk bergerak, tetapi tidak kuat kalau melawan tahanan atau
gravitasi.
3 = cukup kuat untuk mengatasi gravitasi.
4 = cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh.
5 = kekuatan kontraksi yang penuh.

11. PEMERIKSAAN FUNGSI SENSORIK


Pemeriksaan sensorik adalah pemeriksaan yang paling sulit diantara pemeriksaan sistem
persarafan yang lain, karena sangat subyektif sekali. Oleh sebab itu sebaiknya dilakukan
paling akhir dan perlu diulang pada kesempatan yang lain (tetapi ada yang menganjurkan
dilakukan pada permulaan pemeriksaan karena pasien belum lelah dan masih bisa
konsentrasi dengan baik).
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengevaluasi respon klien terhadap beberapa
stimulus. Pemeriksaan harus selalu menanyakan kepada klien jenis stimulus.
Gejala paresthesia (keluhan sensorik) oleh klien digambarkan sebagai perasaan geli
(tingling), mati rasa (numbless), rasa terbakar/panas (burning), rasa dingin (coldness) atau
perasaan-perasaan abnormal yang lain. Bahkan tidak jarang keluhan motorik (kelemahan
otot, twitching / kedutan, miotonia, cramp dan sebagainya) disajikan oleh klien sebagai
keluhan sensorik. Bahan yang dipakai untuk pemeriksaan sensorik meliputi:
1. Jarum yang ujungnya tajam dan tumpul (jarum bundel atau jarum pada perlengkapan
refleks hammer), untuk rasa nyeri superfisial.
2. Kapas untuk rasa raba.
3. Botol berisi air hangat / panas dan air dingin, untuk rasa suhu.
4. Garpu tala, untuk rasa getar.
5. Lain-lain (untuk pemeriksaan fungsi sensorik diskriminatif) seperti :
a. Jangka, untuk 2 (two) point tactile dyscrimination.
b. Benda-benda berbentuk (kunci, uang logam, botol, dan sebagainya), untuk
pemeriksaan stereognosis
c. Pen / pensil, untuk graphesthesia.

12. PEMERIKSAAN FUNGSI REFLEKS


Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon menggunakan refleks
hammer. Skala untuk peringkat refleks yaitu :
0 = tidak ada respon
1 = hypoactive / penurunan respon, kelemahan (+)
2 = normal (++)
3 = lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal (+++)
4 = hyperaktif, dengan klonus (++++)
Refleks-refleks yang diperiksa adalah :
a. Refleks patella
Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi kurang lebih 30 0.
Tendon patella (ditengah-tengah patella dan tuberositas tibiae) dipukul dengan refleks
hammer. Respon berupa kontraksi otot quadriceps femoris yaitu ekstensi dari lutut.
b. Refleks biceps
Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 900 , supinasi dan lengan bawah
ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa ditempatkan pada tendon
m. biceps (diatas lipatan siku), kemudian dipukul dengan refleks hammer.
Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi fleksi sebagian
dan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi penyebaran gerakan fleksi
pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu.
c. Refleks triceps
Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 90 0 , tendon triceps diketok dengan
refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas olekranon).
Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat bila ekstensi
ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebabkanar keatas sampai otot-
otot bahu atau mungkin ada klonus yang sementara.
d. Refleks achilles
Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks ini kaki yang
diperiksa bisa diletakkan / disilangkan diatas tungkai bawah kontralateral.
Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa gerakan
plantar fleksi kaki.
e. Refleks abdominal
Dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan dibawah umbilikus. Kalau digores
seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas dan kearah daerah yang digores.

Reflek Patologis
a. Babinski
Stimulus : penggoresan telapak kaki bagian lateral dari posterior ke anterior.
Respons : ekstensi ibu jari kaki dan pengembangan (fanning) jari – jari kaki.
b. Chaddock
Stimulus : penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral, sekitar malleolus lateralis
dari posterior ke anterior. Respons : seperti babinski.
c. Oppenheim
Stimulus : pengurutan crista anterior tibiae dari proksimal ke distal. Respons : seperti
babinski.
d. Gordon
Stimulus : penekanan betis secara keras, Respons : seperti babinski.
e. Schaeffer
Stimulus : memencet tendon achilles secara keras. Respons : seperti babinski.
f. Gonda
Stimulus : penekukan ( planta fleksi) maksimal jari kaki keempat. Respons : seperti
babinski.
g. Hoffman
Stimulus : goresan pada kuku jari tengah pasien. Respons : ibu jari, telunjuk dan jari
– jari lainnya berefleksi.
h. Tromner
Stimulus : colekan pada ujung jari tengah pasien. Respons : seperti Hoffman.

Pemeriksaan khusus sistem persarafan, untuk mengetahui rangsangan selaput otak


(misalnya pada meningitis) dilakukan pemeriksaan :
a. Kaku kuduk
Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak dapat
menempel pada dada, kaku kuduk positif (+).
b. Tanda Brudzinski I
Letakkan satu tangan pemeriksa dibawah kepala klien dan
tangan lain didada klien untuk mencegah badan tidak
terangkat. Kemudian kepala klien difleksikan kedada
secara pasif. Brudzinski I positif (+) bila kedua tungkai
bawah akan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut.
c. Tanda Brudzinski II
Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien pada sendi panggul secara
pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada sendi panggul dan lutut.
d. Tanda Kernig
Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan
tungkai bawah pada sendi lutut. Normal, bila tungkai
bawah membentuk sudut 1350 terhadap tungkai atas.
Kernig (+) bila ekstensi lutut pasif akan menyebabkan
rasa sakit terhadap hambatan.

13. TATALAKSANA
a. CT Scan kepala sangat sensitif dalam mengidentifikasi perdarahan akut
dandipertimbangkan sebagai gold standard.
b. Terapi konvensional PIVH berpusat pada tatalaksana hipertensi dan
peningkatantekanan intrakranial bersamaan dengan koreksi koagulopati dan
mencegah komplikasiseperti perdarahan ulang dan hidrosefalus.
Tatalaksana peningkatan TIK adalah dengan :
a. Resusitasi cairan intravena
b. Elevasi kepala pada posisi 300
c. Mengoreksi demam dengan antipiretik.
d. Usaha awal untuk fokus menangani peningkatan tekanan intrakranial (TIK) sangat
beralasan, karena peningkatan tekanan intrakranial yang berat berhubungan dengan
herniasi dan iskemi. Rasio mortalitas yang lebih rendah konsisten ditemukan pada
kebijakan terapi dengan: 1) Penggunaan keteter intraventrikuler untuk
mempertahankan TIK dalam batas normal dan 2) Usaha untuk menghilangkan
bekuan darah dengan menyuntikkan trombolitik dosis rendah.
 
Rekomendasi AHA Guideline 2009:
a. Pasien dengan nilai GCS <8, dan dengan bukti klinis herniasi transtentorial, atau
dengan IVH yang nyata atau hidrosefalus dipertimbangkan untuk monitor dan
tatalaksana TIK. Cerebral perfusion pressure (CPP) 50-70 mmHg beralasan
untuk dipertahankan tergantung dari autoregulasi serebri.
b. Drainase ventrikuler sebagai terapi untuk hidrosefalus beralasan pada pasien
dengan penurunan tingkat kesadaran.
c. Terapi hidrosefalus pada pasien dilanjutkan dengan konsul ke bagian bedah
saraf dengan rencana tindakan VP shunt cito. Ventriculoperitoneal (VP)
Shuntmerupakan tehnik operasi yang paling popular untuk tatalaksana
hidrosefalus,yaitu LCS dialirkan dari ventrikel otak ke rongga peritoneum.Menurut
Butler et gambaran klinis pada PIVH dapat berbeda tergantung dari jumlah
perdarahan dan daerah kerusakan otak di sekitarnya. Pada CT Scan kepala pasien
tampak bahwa darah sebagian besar mengisi ventrikel sebelah kiri, hal ini yang
menjelaskan terdapatnya hemiparesis dekstra pada pasienini. Kerusakan pada
reticular activating system (RAS) dan talamus selama fase akut dari perluasan
perdarahan dapat menyebabkan menurunnya derajat kesadaran.
Pengkajian Keperawatan

Pengkajian adalah merupakan tahap awal dari proses perawatan yaitu suatu pendekatan
yang sistematis dimana sumber data, diperoleh dari klien, keluarga klien.
1. Anamnesia/Identitas.
Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, agama, bangsa/suku, pendidikan,
bahasa yang digunakan dan alamat rumah.
2. Keluhan Utama.
Biasanya pada klien mengeluh sakit kepala, kadang-kadang nyeri, awalnya bisa pada
waktu melakukan kegiatan.
3. Riwayat Penyakit Sekarang.
Klien biasanya datang dengan keluhan pusing yang sangat, parase pada extrimitis,
yang didapat sesudah bangun tidur baik sinistra atau dextra, gangguan fokal,
menurunnya sensasi sensori dan tonus otot biasanya tanpa disertai kejang,
menurunnya kesadaran seperti CVA Bleeding.
4. Riwayat Penyakit Dahulu.
Pada klien dengan CVA didapat hipertensi, aktivitas dan olahraga yang tidak adekuat,
kadang klien juga cidera kepala di masa mudah dan punya riwayat DM.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga.
Dari pihak keluarga resesif mempunyai riwayat DM dan hipertensi atau punya anggota
keluarga yang punya atau pernah mengalami CVA Bleeding maupun infark
6. Riwayat Kesehatan Lingkungan.
Resiko tinggi terjadi CVA berada pada lingkungan yang kurang sehat seperti gizi yang
jelek, aktivitas yang kurang adekuat dan pola hidup yang kurang sehat
7. Riwayat Psikososial.
Riwayat psikososial sangat berpengaruh dalam psikologi klien dengan timbul gejala-
gejala yang dialami dalam proses penerimaan terhadap penerimaan terhadap
penyakitnya.
8. Pola Sehari-hari :
1. Pola Nutrisi dan Metablisme
Biasanya pada klien dengan CVA makanan yang disukai atau tidak disukai oleh
klien, mual – muntah, penurunan nafsu makan sehingga mempengaruhi status
nutrisi
2. Pola Eliminasi.
Kebiasaan dalam BAB didapatkan ,sedangkan kebiasaan BAK akan terjadi retensi,
konsumsi cairan tidak sesuai dengan kebutuhan.
3. Pola aktivitas dan latihan
Biasanya klien dengan CVA tidak bisa melakukan aktivitas, badan terasa lemas,
muntah dan terpasang infus.
4. Pola tidur dan istirahat.
Biasanya klien sebelum tidur, lama tidur siang dan malam karena nyeri kepala yang
hebat maka kebiasaan tidur akan terganggu.
5. Pola persepsi dan konsep diri.
Didalam perubahan konsep diri itu bisa berubah bila kecemasan dan kelemahan
tidak mampu dalam mengambil sikap.
6. Pola sensori dan kognitif
Perubahan kondisi kesehatan dan gaya hidup akan mempengaruhi pengetahuan
dan kemampuan dalam merawat diri.
7. Pola reproduksi sexual
Pada pria reproduksi dan seksual pada klien yang telah/sudah menikah akan terjadi
perubahan
8. Pola hubungan dan peran
Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan peran dan peran
serta mengalami tambahan dalam menjalankan perannya selama sakit.
9. Pola penanggulangan stress
Stress timbul apabila seorang klien tidak efektif dalam mengatasi masalah
penyakitnya.
11. Pola tata dan kepercayaan.
Timbulnya distress dalam spiritual pada klien, maka klien akan menjadi cemas dan
takut akan kematian, serta kebiasaan ibadahnya akan terganggu.
# Pemeriksaan Fisik :
1. Keadaan umum
Biasanya klien CVA mengalami badan lemah, nyeri kepala, penurunan kesadaran, tensi
meningkat, suhu, nadi, pernafasan.
2. Kepala dan leher
Keadaan rambut, kepala simetris atau tidak, ada tidaknya benjolan kepala, panas atau
tidak, maka simetris atau tidak, keadaan sclera, puppi reflek terhadap cahaya, hidung
simetris atau ada tidaknya polrip, epistaksis mulut, leher simetris serta ada pembesaran
kelenjar tiroid
3. Thorax dan abdomen
Biasanya klien CVA tidak terdapat kelainan, bentuk dada simetris.
4. Sistem respirasi
Apa ada pernafasan abnormal, tidak ada suara tambahan dan tidak terdapat
pernafasan cuping hidung
5. Sistem kardio vaskuler
Pada umumnya klien dengan CVA ditemukan tekanan darah normal/meningkat akan
tetapi bisa didapatkan Tachicardi atau Bradicardi
6. Sistem integument
Pada umumnya klien CVA turgor kulit menurun, kulit bersih, wajah pucat, berkeringat
banyak
7. Sistem eliminasi
Pada sistem eliminasi urine dan alvi biasanya tidak ditemukan kelainan
8. Sistem muskulos keletal
Apakah ada gangguan pada extriminitas atas dan bawah atau tidak ada gangguan
9. Sistem endoksin
Apakah didalam penderita CVA ada pembesaran kelenjar tiroid dan tonsil
10. Sistem persyarafan
Apakah kesadaran itu penuh atau apatis, somnolen dan koma dalam klien CVA

Diagnosa yang Mungkin Muncul


1. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial yang berhubungan dengan peningkatan volume
intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan akumulasi sekret,
penurunan mobilitas fisik, dan penurunan tingkat kesadaran.
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/ hemiplegia, kelemahan
neuromuskular pada ekstremitas.
4. Risiko tinggi cidera berhubungan dengan penurunan sensari, luas lapang pandang.
5. Defisit perawatan diri : mandi dan eliminasi berhubungan dengan kelemahan
neuromuskular, menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan koordinasi otot.
6. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari kerusakan pada area
bicara pada hemisfer otak, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral, dan kelemahan
secara umum.

Rencana Intervensi
1. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial yang berhubungan dengan peningkatan
volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
NOC : Tissue Perfusion: Cerebral
INDICATOR Severe Substantial Moderate Mild No deviation
deviation deviation deviation from deviation from normal
from normal from normal normal range from normal range
range range range
Tekanan intracranial v
Tekanan sistolik v
Tekanan diastolic v
MAP v

Indicator severe substantial moderate mild none


Headache v
Carotid bruit V
Decreased level of V
consciousness
Impaired neurological v
reflexes
Intervensi
a. Intracranial pressure (ICP) Monitoring
a. Mengkaji dengan alat monitoring ICP
b. Memeberikan informasi kepada pasien dan keluarga
c. Set alarm monitor
d. Monitor kualitas dan karakteristik gelombang ICP
e. Monitor status neurological
b. Cerebral perfusion promotion
a. Konsultasikan dengan dokter untuk menetukan parameter
hemodinamik
b. Memberikan analgesic sesuai order
c. Memberikan antikoagelan sesuai order
d. Memberikan antiplatelet sesuai order
e. Monitor tekanan darah
f. Monitor MAP

2. Hambatan mobilitas fisik b.d gangguan neuromuskular


Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2X24 klien mampu melakukan
aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya.
NOC: Mobility

Indicator Severely Substantially Moderately Midly Not


compromised compromised compromised compromised compromised
Balance V
Coordination V
Muscle movement V
Joint movement V
Moves with ease V
NIC:
1. Exercise Therapy: balance
 Menentukan kemampuan pasien untukmengikuti latihan
 Mengevaluasi kemampuan sensori (penglihatan, pendengaran)
 Menyediakan tempat yang aman untuk latihan
 Kaji respon klien selama latihan
2. Joint mobility
 Menetukan keterbatasan gerak sendi
 Kolaborasi dengan therapist dalam mengembangkan program latihan
 Mengkaji tingkat nyeri sebelum melakukan latihan
 Melindungi klien dari trauma selama latihan
 Membantu klien untuk posisi yang optimal dalam melakukan
passive/aktive joint movement
 Mendorong klien melakukan latihan ROM aktif
 Mengajari PROM dan membantu AROM jika diindikasikan
 Berikan pujian yang positif untuk

3. Defisit perawatan diri: Mandi


Setelah dilaukan tindakan keperawatan selama 1X24 jam klien nampak bersih
dan terawat.
NOC
Indicators Severely Substantially Moderately Midly Not
compromised compromised compromised compromised compromised
Cuci muka V
Mandi badan V
bagian atas
Mandi badan V
bagian bawah
Memebersihkan V
area perineal
Mengeringkan V
badan
NIC:
Self-care Assistance: Bathing/Hygiene
1. Mempertimbangkan budaya pasien ketika akan memandikan
2. Mempertimbangkan usia pasien ketika akan memandikan
3. Menetukan jumlah dan jenis bantuan yang dibutuhkan
4. Menyiapkan alat-alat mandi (handuk, sabun, deodorant, dan kebutuhan
mandi lainnya)
5. Menyediakan lingkungan yang terapeutik dan mejaga privacy klien
6. Bantu klien menggosok gigi dengan tepat
7. Bantu klien membersihkan badannya
8. Monitor kebersihan kuku klien.
9. Monitor integritas kulit klien.
DAFTAR PUSTAKA
Arboix, Adria, dkk. 2012. Spontaneous Primary Intraventricular Hemorrhage: Clinical
Features and Early Outcome. Medical Journal of Neurology International Scholarly
Research Network. 2012 (07) 22 : 1-7.
Boderick, Joseph, Connoly, Sander. 2007. Penuntun Manajemen Perdarahan Intraserebral
Spontan Usia Dewasa. AHA Journal. 2007 (04) 5 :1-36.
Deputy, Stephen. 2009. Neurological Emergencies.
http://facesofneurosurgery.blogspot.com/2011/10/ acute-management-of-adult.html,
diakses 01 September 2013.
Hinson, Holly E, dkk. 2010. Management of Intraventricular Hemorrhage. NIH (national
Institute of Health) Journal of Nourology. 2010 (03) 2 :1-16.
Kumar, raj, dkk. 2007. Delayed intraventricular hemorrhage with hydrocephalus following
evacuation of post traumatic acute subdural hematoma. Indian Journal of Neurotrauma
(IJNT). Vol. 4, No. 2. 2007 (06) 5 :119-122.
Octaviani, Donna, dkk. 2011. Perdarahan Intra Ventrikuler Primer. Jurnal Indonesian
Medical Association. Volume: 61. 2011. (05) 5: 210-217.
Batticaca, F.B. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai