NIM : 1191004012
Diawal tahun 2020, dunia digemparkan dengan merebaknya sebuah virus baru yaitu
Coronavirus (SARS-CoV-2) dan penyakitnya disebut dengan Coronavirus disease 2019 atau
sering disebut dengan Covid-19. Coronavirus merupakan bagian dari keluarga virus yang
dapat menimbulkan penyakit dimana muncul gejala berat seperti Middle East Respiratory
Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Virus Corona juga
termasuk zoonosis yang artinya ditularkan antara hewan dan manusia. Bedasarkan
penelitian, dikatakan bahwa SARS ditransmisikan dari kucing luwak ke manusia sedangkan
MERS dari unta untuk ke manusia.
Pada tanggal 31 Desember 2019, WHO China Country Office melaporkan adanya
kasus Pneuomonia yang misterius dan tidak diketahui apa yang menjadi penyebabnya.
Setelah itu, pada tanggal 7 Januari 2020, China mulai melakukan identifikasi terhadap
pneuomonia tersebut yang disebut sebagai jenis baru coronavirus (novel coronavirus).
Memang pada awalnya, bedasarkan data epidemiologi menunjukkan 66% pasien terpajan
dengan pasar seafood atau live market yang berada di Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok
(Huang, et.al., 2020). Yang kemudian sampel isolate dari setiap pasien diteliti dengan hasil
yang menunjukkan adanya infeksi coronavirus jenis betacoronavirus dan diberi nama 2019
Novel Cornavirus (2019-nCov). Sehingga pada tanggal 11 Februari 2020, WHO memberi
nama dari virus tersebut dengan sebutan Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2
(SARS-CoV-2) dan untuk nama penyakitnya adalah Coronavirus disease 2019 atau sering
disebut dengan Covid-19 (WHO,2020). Disamping itu, menurut WHO kasus Covid-19 ini
menjadi permasalahan kesehatan yang dihadapi oleh hampir seluruh Negara di dunia.
Memang pada awalnya transmisi dari virus ini belum dapat dipastikan apakah dapat/tidaknya
melalui antara manusia dengan manusia sehingga seiring dengan berjalannya waktu, jumlah
kasus mengalami peningkatan. Artinya bahwa penambahan jumlah kasus dari Covid-19 ini
berlangsung dengan cepat dan begitupun dengan penyebarannya sudah terjadi ke luar
wilayah Wuhan dan Negara lain. Secara global, pada tanggal 16 Februari 2020 peningkatan
jumlah kasus Covid-19 menujukkan sebanyak 51.857 yang terkonfirmasi kasus di 25 negara
dengan jumlah kematian yang mencapai 1.669 (CFR 3.2%).
Saat ini ada sebanyak 178 negara terinfeksi virus corona. Berdasarkan data dari WHO
per tanggaal 2 Maret 2020 menyatakan bahwa jumlah penderita yang terinfeksi virus corona
sudah mencapai lebih dari 90.308 orang dan jumlah ini akan mengalami peningkatan dengan
cepat, contohnya adalah sesuai dengan judul berita yang saya pilih dimana sudah mencapai
780.000 kasus dan sebanyak 165.000 sudah sembuh atau pulih. Ya, saat ini data mengenai
jumlah kasus akan terus berubah seiring dengan berjalannya waktu. Berdasarkan data dari
Worldmeters yang telah diperbaharui per pukul 22.19 WIB, pada tanggal 27 April 2020 total
keseluruhan kasus positif corona di dunia telah mencapai angka 3 juta orang dengan jumlah
kematian yang telah mencapai 208.112 jiwa. Akibat dari kasus Covid-19 ini, banyak kota di
Tiongkok dilakukan karantina dan begitupun dengan Negara lainnya. Kasus-kasus yang
ditemukan diluar Tiongkok atau berbagai Negara yang pada akhirnya terinfeksi Covid-19,
sebagaian besar mempunyai riwayat berpergian ke Wuhan untuk urusan tertentu atau
berkontak langsung dengan orang-orang yang sebenarnya sudah terinfeksi. Bahkan WHO
melaporkan bahwa penularan Covid-19 ini dapat terjadi antara manusia dengan manusia
melalui droplet, kontak, dan benda yang terkontaminasi.
Perancis
Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Perancis adalah dengan
memberlakukan lockdown dengan tujuan untuk menekan penyebaran virus corona.
Presiden Prancis, Emanuel Macron mengatakan bahwa semua warga wajib tinggal
dirumah, kecuali untuk bekerja, membeli bahakan makanan ataupun memperoleh
perawatan medis. Ketika melanggar aturan tersebut, maka akan dikenakan
sanksi/denda. Selain itu, pemerintah Prancis juga akan mengerahkan sekitar 100 ribu
polisi untuk melaksanakan isolasi dan pos pemeriksaan juga akan didirikan secara
nasional yang bertujuan untuk melakukan pemeriksaan terhadap masyarakat yang
melakukan perjalanan, termasuk para pejalan kaki. Sebelumnya, begitu banyak
masyarakat yang mengabaikan aturan dari pemerintah yang dapat meningkatkan
angka penyebaran dan infeksi dari Covid-19. Memang lockdown menjadi salah satu
pilihan yang tepat ditambah jika melanggar akan dikenakan sanksi atau denda sebesar
135 Euro (2.3 juta). Mengapa? Karena kebijakan lockdown ini bagi pemerintah Prancis
dilaksanakan secara tegas karena masih banyak masyarakat yang mengabaikan
peringatan dan masih berpergian/jalan-jalan di akhir pekan, artinya adalah tidak bisa
mendiagnosa secara langsung siapa yang terinfeksi Covid-19 dan hal tersebut sama
saja dengan mempertaruhkan kesehatan sendiri begitupun dengan orang lain. Istilah
lainnya adalah pemerintah Prancis dalam kebijakan lockdown ini menjadi otoriter
dimana pemerintah membatasi setiap kegiatan/aktivitas dan pemerintah yang akan
mengontrol kehdiupan masyarakat dengan tujuan positif untuk memerangi Covid-19 di
Prancis.
Jepang
Kebijakan yang dilakukan Jepang adalah dengan menetapkan status darurat di
ibu kota Tokyo dan enam wilayah lainnya. Hal tersebut dikarenakan jumlah kasus
Covid-19 di Tokyo melonjak hingga dua kali lipat dalam sepekan, menjadi lebih dari
1.000 orang. Dengan berlakunya status darurat, para gubernur mempunyai kuasa
untuk menutup sekolah dan perkantoran. Berbeda dengan Prancis yang mewajibkan
masyrakat untuk karantina dirumah, pemerintah Jepang sendiri tidak mempunyai hak
untuk memaksa warganya untuk karantina dirumah. Artinya adalah meskipun Jepang
menetapkan status darurat, Jepang tidak akan melakukan karantina kota-kota seperti
yang dilakukan oleh Negara lain. Perdana Menteri Jepang yang berperan sebagai
actor penting mengumumkan adanya paket stimulus jumbo yang bertujuan untuk
meredam dampak Covid-19 terhadap sector perekonomiannya. Jepang sendiri hanya
menguiji sekitar 14.000 sampel padahal Jepang mempunyai kapasitas untuk
melakukan 6.000 tes diagnostic per harinya. Yang mana jumlah test tersebut bahkan
20 kali lebih rendah jika dibandingkan dengan Korea Selatan yang mengalami dampak
berat dari pandemic covid-19 ini. Disamping itu, pasien yang dapat melakukan test
adalah ketika sudah mengalami gejala parah. Artinya bahwa Jepang harus mencapai
lonjakan kasus Covid-19 yang kemudian akan dilakukan tes secara luas. Salah satu
contohnya adalah ketika sebuah sekolah di salah satu pulau di Jepang terpapar wabah
Covid-19 ini, pihak dari pemerintah akan berwenang untuk menutup sekolah dan
kemudian menyatakan status darurat, setelah 3 minggu penyeberan virus dikatakan
telah dihentikan. Analisis saya dalam kejadian seperti ini adalah bahwa kebijakan
tersebut tidak ektif, yang mana dalam hal ini Jepang sama saja sedang
mengumpulkan virus Covid-19 dan meningkatkan angka penyebaran dari Covid-19 ini.
Mulai dari Jepang tidak menetapkan karantina bagi warganya hingga pelaksanaan test
yang dilakukan setelah adanya lonjakan covid-19, dapat dikatakan bahwa Jepang
gagal dalam memprioritaskan infrastuktur kesehatan public dan telah mengeluarkan
kebijakan yang salah yang sangat berisiko dalam pengingkatan jumlah kasus covid-19.
Bahkan pemerintah Amerika Serikat dan Jerman menilai serta mengkritik kegagalan
pemerintah Jepang dalam menetapkan kebijakan test secara luas terhadap warganya
dan kebijakan social distancing.
Taiwan
Taiwan melaporkan kepada WHO bahwa terdapat virus covid-19 yang
penularannya antar manusia dan kemudian meminta agar melakukan tindakan demi
memotong rantai penluran penyakit tersebut (31 Desember 2019). Namun, WHO tidak
mengubris peringatan dari Taiwan tersebut yang mangatakan bahwa tidak ada bukti
yang dapat menunjukkan bahwa virus SARS –CoV-2 dapat menular ataupun
menyebar melalui manusia. Sehingga tanggapan serta reaksi tersebut menimbulkan
banyak pihak yang sepele akan penyebaran virus tersebut. Akan tetapi, Taiwan sendiri
tidak ingin mengambil resiko. Kemudian Taiwan belajar pengalamannya dalam
menghadapi wabah SARS yang terjadi di tahun 2003-2004 dimana saat itu Taiwan
menetapkan kebijakan-kebijakan kesehatan yang bertujuan untuk melakukan
identiifkasi dan untuk menahan penyebaran dari wabah tersebut.
Selama bulan Januari dan Februari 2020, Taiwan menetapkan 124 kebijakan
yang bertujuan untuk Manahan penyebaran virus Covid-19 yang dimulai dari adanya
penerbitan larangan kunjungan dan melakukan perjalanan, alokasi sumber daya dalam
produksi masker wajah serta pedoman institusi pendidkan yang berskala nasional.
Selain itu, Taiwan juga mengaktifkan Pusat Komodo Kesehatan Nasional dan adanya
penegakan hokum bagi siappaun yang menyebarkan hoaks. Disamping itu, Taiwan
juga tidak lepas dari bantuan teknologi yang dapat mengelola penyebaran wabah
Covid-19 sehingga pemerintah juga dapat melakukan monitor serta mengumpulkan
riwayat perjalanan warga selama 14 hari ke belakang dan tidak lupa juga menghimbau
warganya yang mengunjungi wilayah beresiko untuk melakukan isolasi secara mandiri.
Selain itu, agar public dapat melaporkan berbagai macam gejala yang mecurigakan,
pemerintah Taiwan juga mengaktifkan hotline bebas pulsa. Tentunya kebijakan yang
telah ditetapkan disertai dengan informasi baik secara transparan dimana setiap hari
adanya laporan dan kabar terbaru serta pelayanan public secara regular. Inforpemasi
yang disampaika berupa penggunaan masker wajah, rajin untuk cucui tangan,
menjaga kebersihan, dan bahaya dari panic buying yang dapat diserap masyarakat
secara efektif.
Tentunya setiap kebijakan-kebijakan tersebut menujukkan kepada public bahwa
pemerintah serius dalam menangani/menanggulangi serta memutus rantai penyeberan
dari virus corona. Oleh karena keseriusan dan kesiapsiagaan yang telah dilakukan
oleh otoritas yang berwenang, maka model penanggulangan Covid-19 yang dilakukan
oleh Taiwan mendapat pujian dan pemimpin-pemimpun dunia.
Korea Selatan
Dalam melihat penyebaran Covid-19 di Korea Selatan, jumlah dengan kasus
positif mencapai lebih dari 10.000 dimana untuk angka kematian mencapai diatas 200
jiwa sampai dengan bulan April, artinya bahwa dengan angka tersebut menunjukkan
rasio kematian mcepai 2% kebawah sehingga hal tersebut cukup penting untuk
dijadikan sebagai acuan atas setiap kebijakan yang diterapkan oleh Korea Selatan
dengan tujuan untuk menekan dan mengurangi angka kematian dari infeksi Covid-19.
Pada tanggal 20 Januari 2020 Kore Selatan mencatat kasus Covid-19 untuk perta
kalinya dari seorang perempuan yang berasal dari Tiongkok. Setelah itu, mulai dari
bulan Januari hingga Februari Korea Selatan mencatat pengingkatan Covid-19 yang
bisa dikatakan cukup rendah, akan tetapi pada pertengahan Februari 2020 mengalami
peningkatan yang luar biasa.
Dalam hal ini, pemerintah Korea Selatan tidak tinggal diam. Sebelum menjadi
sebuah krisis, pemerintah Koreaa Selatan berhasil dalam melakukan penanggulangan
virus covid-19. Setelah setelah kasus pertama berhasil diidentifikasi, para perwakilan
perusahaan kesehatan melakukan pertemuan dengan dengan pihak-pihak yang
berwenang. Dalam hal ini, pemerintah Korea Selatan selalu mendesak perusahaan-
perusahaan tersebut untuk melakukan penelitian dan mencoba pembuatan alat tes
untuk deteksi virus corona yang dipergunakan untuk massal. Setelah alat tesnya
sudah tersedia, kemudian pihsk berwajib atau pihak kesehatan melakukan tes masal
terhadap masyarakat dengan tujuan untuk dapat melakukan tindakan medis yang
cepat dan sesuai terhadap pasien Covid-19. Selain itu, pihak pemerintah juga
menetapkan kebijakan yaitu melacak individu-individu yang melakukan kontak
langsung dengan pasien/pdenerita covid-19 sehingga pemerintah mendapatkan data
yang akurat. Masyarakat juga sering mendapatkan/menerima informasi yang berkaitan
dengan kasus Covid-19 yang berada disekitar dan masyarakat diminta untuk saling
bekerjasama dalam mencegah terjadinya kepanikan serta untuk tetap memastikan
kelancaran perawatan kesehatan kepada masyarakat yang membutuhkan. Dengan
adanya rasa kepercayaan tinggi dari publik terhadap pihak pemerintah dapat
menghasilkan jumlah kasus infeksi corona yang terkendali dengan baik tanpa harus
melibatkan kebijakan penutupan usaha dalam sektor ekonomi.
Jerman
Jerman merupakan salah satu negara yang berhasil dalam menekan angka
rasio kematian dan penyebaran virus Covid-19 sehingga tidak diragukan lagi bahwa
banyak pujian dari negara lain kepada Jerman. Italia merupakan negara dengan
jumlah kasus positif corona tertinggi di Eropa yang mencatat rasio angka kematian
mencapai 11-12% sedangkan jika dibandingkan dengan Spanyol berada di peringkat
kedua dengan rasio angka kematian mencapai 9-10%. Memang tidak ada satu
jawabanpun yang dapat menjelaskan bagaimana Jerman mampu berhasil dalam
menekan angka kematian tersebut. Dapat dikatakan bahwa Jerman serupa dengan
Korea Selatan dimana Jerman menekan angka ini agar pemerintah dan pihak
kesehatan dapat mempersiapkan kebijakan kesehatan yang efektif serta terarah.
Warga negara yang terjangkit dengan virus ini akan segera diisolasi dan tentunya
pihak berwajub yang menangani ini melakukan pelacakan terhadap warga ataupun
individu-individu yang pernah/telah melakukan kontak langsung dengan pasien.
Berbeda dengan negara lain, disisi lain juga Jerman menerapkan kebijakan
desentralisasi penanggulangan Covid-19 yang artinya adalah Jerman memberikan
tugas serta wewenang kepada setiap pemerintah negara-negara bagian dimana setiap
masing-masing mempunyai pakar-pakar kesehatan yang berfungsi untuk
mengelola/mengurus virus korona.
Selain itu, pemerintah Jerman juga memberikan izin bagi laborotorium klinik
serta setiap universitas swasta untuk melakukan pengetesan corona sehinggan
dengan adanya kebijakan tersebut dapat memberikan keleluasaan serta otonomi
secara merata bagi fasilitas-fasilitas kesehatan yang bertujuan untuk memberikan
diagnosanya terhadap pasien covid-19.
Penyakit yang disebabkan oleh virus corona ini atau yang dikenal dengan
sebutan Covid-19 menjadi sebuah pandemi global dengan eksistensi yang semakin
tinggi serta penyebarannya yang cepat hampir di seluruh dunia. Akibat dari pandemi
ini adalah munculnya rasa khawatir dalam masyarakat serta memperburuk di
beberapa sektor seperti sektor ekonomi yang mengalami krisis. Tentunya dalam
menghadapi pandemi ini, pemerintah tidak pernah berhenti berupaya dalam
penanganan serta pencegahan virus Covid-19. Selain itu, partisipasi dari masyarakat
juga sangat dibutuhkan dalam memerangi pandemi ini.
Dalam menganalisis masalah ini, ada teori yang menurut saya relevan yaitu
“Teori Modal Sosial” bahwa ketika suatu negara sedang menghadapi masalah besar
seperti pandemi ini, maka masyarakat sebagai bagian dari sebuah negara
membutuhkan nilai-nilai sosial. Artinya bahwa sangat dibutuhkan kerjasama antara
masyarakat dalam menyelesaikan sebuah masalah. Menurut saya Teori Modal sosial
ini dapat dijadikan suatu barang publik oleh pemerintah yang mana sebagai jaringan
horizontal dan kemudian menjadi eksistensi masyarakat. Mengapa? Karena Modal
Sosial dapat mengarahkan masyarakat untuk ikut berkontribusi dalam menyelesaikan
serta menghadapi suatu permasalahan demi mewujudkan tujuan bersama. Tentunya
ditengah pandemi global ini, tujuan yang diperlukan dan ingin dicapai adalah melawan
virus corona secara bersama-sama. Disamping itu, pemerintah dalam menerapkan
modal sosial untuk menyelesaikan masalah virus ini, tentunya tidak lepas dari setiap
kebijaka-kebijakan yang telah ditetapkan dan program yang efektif dalam rangka
mengajak masyarakat untuk ikut terarah dalam menyelesaikan pandemi covid-19 ini.
Contohnya adalah kebiakan dari pemerintah untuk beraktivitas di rumah atau stay at
home dan dilaksanakan baik oleh masyarakat menjadi salah satu kekuatan modal
sosial yang ampuh untuk menyelesaikan pandemi ccovid-19 ini.
Memang ditengah-tengah pandemi global ini, banyak menimbulkan
kepanikan/rasa khawatir dan adanya silang pendapat yang ditimbulkan dari luar
konteks untuk penanganan virus covid-19. Menurut saya, perang menyerang pademi
ini adalah arena untuk memperjuangkan kemanusiaan, bukan arena politik ataupun
ekonomi. Artinya bahwa dibutuhkan sikap positif antara sesama untuk melawan
pandemi ini. Seperti :
1. Saling Menguatkan
Jika kita berkaca dan kemudian belajar dari China yang berjuang dalam
memerangi Covid-19, masyarakat China saling menguatkan dan patuh
terhadap instruksi dari pemerintah. Masyarakat China juga memberikan
penghormatan kepada tenaga medis yang berjuang untuk melawan Covid-
19. Menurut saya sikap seperti ini sangat perlu ditanamkan didalam
kehidupan bermasyarakat ketika sedang menghadapi permasalahan baik itu
kecil ataupun besar.
2. Sikap Nasionalisme
Nasionalisme adalah sikap masyarakat dalam suatu negara yang
mempunyai kesamaan kebudayaan, wilayah serta kesamaan cita-cita serta
tujuan. Ya, ditengah pandemi ini kita harus beranggapan bahwa “kita harus
menghadang virus ini sebagai musuh bersama dan kemudianharus dihadapi
secara bersama-sama” artinya bahwa kdengan sikap ini kita mempunyai
tujuan yang sama yaitu utuk memerangi wabah virus covid-19 ini untuk
meciptakan kesejahteraan masyarakat dalam suatu bangsa.
3. Sikap Anti Hoax
Ditengah pandemi global ini, ancaman yang dihadapi oleh banyak negara
adalah merebaknya hoax terkait virus corona yang semakin banyak beredar
di media sosial. Beredarnya berita hoax ini menimbulkan ketakutan
ditengah-tengah masyarakat bahkan bisa mengalami depresi karena berita
yang tidak benar tentang corona sehingga adanya sugesti terhadap diri
sendiri, seperti merasa bahwa dirinya sudah terjangkit virus corona setelah
membaca berita yang tidak benar tentang gejala dan penyebaran virus
corona. Sikap anti hoax ini sangat diperlukan untuk diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari sehingga ditengah pandemi ini masyarakat tetap
merasa tenang dan aman (bebas dari rasa takut dan panik)
DAFTAR PUSTAKA
Duff-Brown, Beth. “How Taiwan Used Big Data, Transparency, and a Central
Command to Protect Its People from Coronavirus.” Stanford University FSI. 03
March 2020.
Fisher, Max; Sang-Hun, Choe. “How South Korea Flattened the Curve.” The
New York Times. 23 March 2020.
Kurt M. Campbell dan Rush Doshi, “The Coronavirus Could Reshape Global
Order,” Foreign Affairs, 18 Maret 2020,
https://www.foreignaffairs.com/articles/china/2020-03-18/coronavirus-could-
reshape-global-order.
Morris, Chris. “Coronavirus: What can the UK learn from Germany on testing?”
BBC News. 11 April 2020.
Wang CJ, Ng CY, Brook RH. “Response to COVID-19 inTaiwan: big data
analytics, new technology, and proactive testing”. JAMA. 2020.
Tambahan : TABEL ANALISIS KASUS PENYEBARAN VIRUS COVID-19