Anda di halaman 1dari 10

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Terapi komplementer dikenal secara luas dan digunakan dalam pelayanan

kesehatan Barat. Namun, dalam banyak survei yang telah dilakukan tentang

penggunaan terapi komplementer lingkupnya masih terbatas. Meningkatkan

pengetahuan perawat tentang pengobatan terapi komplementer yang dilakukan oleh

orang-orang di beberapa budaya di seluruh dunia sangat penting untuk kesehatan

dan kompetensi perawat. Untuk mengetahui penggunaan terapi komplementer dari

perspektif secara global, perawat diseluruh dunia di pandang perlu mengetahui dan

membahas bagaimana terapi komplementer yang digunakan di negara-negara

(Lindquist, Snyder, & Tracy, 2014).

Model filosofi holistik dan peduli (caring) dalam pemberian terapi

komplementer menjadi aspek penting dalam perawatan. Merawat diri sendiri bahkan

lebih penting dalam perawatan kesehatan di mana hal ini dilatih oleh perawat dan

profesional kesehatan lainnya hari ini (Lindquist, Snyder, & Tracy, 2014).

Perkembangan terapi komplementer pada beberapa tahun terakhir menjadi

sorotan oleh banyak negara. Terapi komplementer atau pengobatan alternatif

menjadi bagian penting dalam pelayanan kesehatan baik di Amerika Serikat

maupun di negara lainnya (Snyder & Lindquis, 2010). Estimasi di Amerika

Serikat 627 juta orang adalah pengguna terapi alternatif dan 386 juta orang

yang mengunjungi praktik konvensional. Data lain menyebutkan terjadi

peningkatan jumlah pengguna terapi komplementer di Amerika dari 33% pada

tahun 1991 menjadi 42% di tahun 1997 (Snyder & Lindquist, 2010).
Komponen dalam terapi komplementer yang sangat penting yaitu kehadiran

dan komunikasi. Banyak pasien dan keluarga mengharapkan seorang perawat yang

benar-benar hadir saat memberikan pelayanan. Pada beberapa aspek komunikasi,

baik verbal dan nonverbal, adalah kunci penting untuk memberikan perawatan

holistik yang merupakan bagian dari filosofi yang mendasari penggunaan terapi

komplementer. Komunikasi nonverbal menjadi lebih penting ketika berinteraksi

dengan orang-orang yang bukan dari budaya Barat (Lindquist, Snyder, & Tracy,

2014).

Kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, menyebabkan

munculkannya berbagai metode perawatan dimana salah satu cara yang dilakukan

adalah dengan melakukan terapi komplementer atau pengobatan alternatif. Sebagai

seorang tenaga kesehatan khususnya seorang perawat yang memiliki batasan-

batasan berdasarkan aspek legal etik dalam keilmuannya dipandang perlu

mengetahui lebih banyak aspek-aspek legal secara hukum dan etik dalam

memberikan pengobatan altenatif atau terapi komplementer kepada pasien.


BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Aspek Legal

Masalah perawatan kesehatan menjadi lebih kompleks antara interaksi hukum

dan peningkatan perawatan kesehatan. Peraturan pemerintah bidang kesehatan terus

dikeluarkan sementara tuntutan terhadap penyedia layanan kesehatan semakin

meningkatkan. Interaksi dari kekuatan-kekuatan ini secara signifikan

mempengaruhi kemampuan manajer informasi kesehatan untuk mengelola

informasi kesehatan pasien secara spesifik. Dengan demikian tenaga kesehatan

harus memiliki dasar pemahaman hukum (Mcway, 2010) .

Secara umum, Hukum didefinisikan sebagai suatu sistem prinsip-prinsip dan

proses dirancang oleh masyarakat yang terorganisir untuk menangani perselisihan

dan masalah tanpa menggunakan kekuatan. Hukum menetapkan standar tertentu

untuk perilaku manusia. Ketika standar-standar tersebut tidak dipenuhi, konflik

muncul. Individu dan pemerintah kemudian melihat ke hukum untuk

menyelesaikan

konflik dan menegakkan standar yang ditetapkan (Mcway, 2010).

Hukum adalah dasar dari aturan, peraturan, dan ketetapan yang mengatur

perilaku individu dan anggota lembaga dan interaksi mereka dengan orang lain.

Aturan hukum adalah aturan formal perilaku yang memberikan dasar untuk resolusi

konflik antara individu, perusahaan, negara, dan organisasi lainnya. Hukum berlaku

untuk semua orang, terlepas dari pendidikan, posisi, pendapatan, atau filsafat

pribadi. Secara umum, peran hukum adalah untuk menyelesaikan konflik secara

damai dan melindungi kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan masyarakat.


Tuntutan hukum terhadap penyedia pelayanan kesehatan dapat diklasifikasikan

menjadi hukum pidana atau perdata (Aiken, 2002).

Hukum publik adalah badan aturan dan prinsip-prinsip yang mengatur hak

dan

tugas antara pemerintah dan pihak swasta, atau antara dua bagian atau

instansi pemerintah. Hukum publik mendefinisikan perilaku yang sesuai antara

warga, organisasi, dan pemerintah. Salah satu segmen yang sangat besar dari

hukum publik adalah hukum pidana. Inti dari hukum pidana adalah untuk

menyatakan perilaku tertentu merugikan ketertiban umum dan orang lain serta

memberikan hukuman tertentu bagi mereka yang terlibat. hukum pidana dapat

dibagi menjadi dua subkategori: substantif hukum dan hukum acara. hukum pidana

substantif mendefinisikan pelanggaran spesifik, prinsip-prinsip kewajiban umum,

dan hukuman yang spesifik sedangkan hukum acara pidana berfokus pada langkah-

langkah di mana kasus pidana berlalu, dari penyelidikan awal kejahatan melalui

percobaan dan kalimat, dan akhirnya dimuat dari pelaku kriminal (Mcway, 2010).

Hukum publik terdiri dari ketentuan konstitusional, undang-undang, dan

peraturan yang mengatur masyarakat dengan mengharuskan pemerintah entitas dan

pihak swasta untuk mengikuti kursus tertentu tindakan. Meskipun beberapa

peraturan pemerintah berisi hukuman pidana, mereka tujuannya adalah bukan untuk

menghukum pelanggar tapi untuk mengamankan sesuai dengan tujuan hukum

(Mcway, 2010). Secara konstitusional salah satu hukum publik yang dimuat dalam

suatu aturan pemerintah yaitu hukum kesehatan, yang menjadi dasar dalam praktik

pelayanan kesehatan. Saat ini praktisi kesehatan banyak dihadapkan masalah

hukum oleh masyarakat yang semakin sadar hukum, sebagian melihat bahwa medis
dan hukum sebagai suatu konflik tanpa kompromi, kontrol politik profesi pelayanan

kesehatan memperluas dengan cepat sehingga sarana dan arah kontrol profesional

sangat dipengaruhi (Mclean & Mason, 2004). Pelayanan kesehatan dalam

keperawatan meliputi asuhan keperawatan mandiri dan terapi komplementer /

pengobatan alternatif.

Keperawatan dan profesi kesehatan lainnya sering menyebut area terapi

komplementer, sedangkan National Center for Complementary and Alternative

Medicine (NCCAM) menyebutnya sebagai pengobatan komplementer. Ruang

lingkup yang luas dari model pengobatan ini dan banyak profesional kesehatan

serta terapis yang terlibat dalam memberikan terapi komplementer menciptakan

tantangan untuk menemukan definisi yang menangkap luasnya bidang ini. Seperti

yang didefinisikan oleh NCCAM, terapi komplementer atau pengobatan alternif

adalah sekelompok pelayanan medis dan pelayanan kesehatan, praktek, dan produk

yang saat ini tidak dianggap sebagai bagian dari konvensional obat (NCCAM,2012

dalam Mcway,2010). Dalam konteks ini, konvensional mengacu biomedis Barat.

Definisi NCCAM mengakui bahwa lainnya sistem perawatan kesehatan yang ada

dan digunakan. Menurut World Health Organisasi, 80% dari perawatan kesehatan

di negara berkembang terdiri dari praktek kesehatan tradisional adat daripada

biomedis Barat (Organisasi Kesehatan Dunia, 2012 dalam Mcway,2010).

Meskipun NCCAM telah mendefinisikan secara jelas sebagai pelayanan

kesehatan namun tidak defenisi tersendiri untuk terapi komplementer dalam

masalah hukum. Meskipun demikian, hampir 30 negara yang telah menambahkan

berbagai definisi ke dalam masalah hukum yang memperkenankan dokter untuk

menggunakan dan mempraktekkan berbagai jenis terapi komplementer, alternatif,


dan pengobatan tradisional. Secara umum, hukum menentukan terapi

komplementer atau alternatif sama dengan ketentuan pelayanan kesehatan. Oleh

karena itu, dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang memiliki izin praktek yang

mengintegrasikan terapi komplementer dan alternatif ke dalam pengobatan

konvensional harus mengetahui bagaimana hukum dapat berlaku pada masalah

praktek, perizinan, dan malpraktik ketika prosedur dan intervensi telah

dipertimbangkan untuk menjadi terapi komplementer atau alternatif (Deutsch &

Anderson, 2008).

Terapi komplementer atau pengobatan alternatif telah diakui secara hukum di

Indonesia, berikut ini aspek legal terapi komplementer atau pengobatan alternatif :

1. Undang-undang 1945

a. Pasal 28A tentang “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak

mempertahankan hidup dan kehidupannya”.

b. Pasal 28H (ayat 1) tentang “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan

batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan linkungan hidup yang baik dan

sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

c. Pasal 34 tentang “Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas

pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.

2. keputusan Menkes RI No. 1076/Menkes/SK/VII/2003 yang mengakur tentang

tentang penyelenggaraan pengobatan tradisional. Keputusan Menkes tersebut

menjelaskan cara-carauntuk mendapatkan izin praktek pengobatan tradisional

beserta syarat-syaratnya (Peraturan Mentri Kesehatan Repubik Indonesia,

2007).
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1109/Menkes/Per/IX/2007 tentang

“penyelenggaraan pengobatan komplementer – alternatif di fasilitas pelayanan

kesehatan yang dapat dilaksanakan secara sinergi, terintegrasi, dan mandiri

pada fasilitas pelayanan kesehatan. Pemberian pengobatan pada dasarnya harus

aman, bermanfaat, bermutu, dan dikaji institusi berwenang sesuai dengan

peraturan atau ketentuan yang berlaku”.

4. Undang – Undang RI No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan

a. Pasal 1 butir 16, tentang “pelayanan kesehatan tradisional adalah

pengobatan dan atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada

pengalaman dan keterampilan turun – temurun secara empiris yang dapat

dipertanggung jawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku

di masyarakat”.

b. Pasal 48 tentang “pelayanan kesehatan tradisional”.

c. Bab III Pasal 59 s/d 61 tentang “pelayanan kesehatan tradisonal”.

5. Keputusan Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik, No. HK.03.05/I/199/2010

tentang “pedoman kriteria penetepan metode pengobatan komplementer –

alternatif yang dapat diintegrasikan di fasilitas pelayanan kesehatan”.

6. Undang-Undang Republik Indonesia No 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan

Pasal 30 ( Tugas dan wewenang ) ayat 2 menjelaskan Dalam menjalankan

tugas sebagai pemberi Asuhan Keperawatan di bidang upaya kesehatan

masyarakat, Perawat berwenang

a. Melakukan pengkajian Keperawatan kesehatan masyarakat di tingkat

keluarga dan kelompok masyarakat

b. Menetapkan permasalahan Keperawatan kesehatan masyarakat


c. Membantu penemuan kasus penyakit

d. Merencanakan tindakan Keperawatan kesehatan masyarakat

e. Melaksanakan tindakan Keperawatan kesehatan masyarakat.

f. Melakukan rujukan kasus;

g. Mengevaluasi hasil tindakan Keperawatan kesehatan masyarakat;

h. Melakukan pemberdayaan masyarakat

i. Melaksanakan advokasi dalam perawatan kesehatan masyarakat

j. Menjalin kemitraan dalam perawatan kesehatan masyarakat.

k. Melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling.

l. Mengelola kasus; dan

m. Melakukan penatalaksanaan Keperawatan komplementer dan alternatif.

7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2014 Tentang

Pelayanan Kesehatan Tradisional pasal 10 menjelaskan :

a. Pelayanan kesehatan tradisional dengan menggunakan ilmu biocultural

dan ilmu biomedis yang manfaat dan keamanannya terbukti secara ilmiah

b. Pelayanan Kesehatan Tradisional Komplementer dapat menggunakan satu

cara pengobatan/perawatan atau kombinasi cara pengobatan/perawatan

dalam satu kesatuan Pelayanan Kesehatan Tradisional Komplementer

c. Pelayanan Kesehatan Tradisional Komplementer sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilaksanakan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tradisional.

d. Pelayanan Kesehatan Tradisional Komplementer yang memenuhi kriteria

tertentu dapat diintegrasikan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan.


B. Aspek Etik

Etik merupakan landasan perilaku seseorang dalam memutuskan benar atau

salam dalam suatu tindakan atau perilaku. Bioethics, Biomedical ethics, dan

medical ethics adalah komponen Etik yang memiliki hubungan erat dalam

pelayanan kesehatan serta hubungan antara tenaga kesehatan dan pasien.

Dalam pelayanan keperawatan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI)

menetapkan kode etik perawat yang selanjutnya diterapkan atau dilaksanakan oleh

komisi etik pelayanan keperawatan, sehingga hal ini akan mengarahkan seorang

perawat dalam menentukan keputusan benar atau salah asuhan keperawatan

maupun perilaku seorang perawat dari segi etik. peraturan etik untuk pelaksanaan

pelayanan kesehatan secara khas ditemukan pada kode etik asosiasi profesi masing-

masing. Milsanya, American Physical Therapy Association (APTA), memiliki

kumpulan pedoman etik bagi profesi terapis fisik dalam dua dokumen. The Code of

Ethics menetapkan penentuan anggota terapis fisik dan Standards of Ethical

Conduct for the Physical Terapist Assistant menetapkan pedoman etik tingkah laku

untuk bergabung sebagai anggota. Dokumen tersebut menggambarkan empat asas

dasar dari Biomedical Ethics yaitu, beneficence, nonmaleficence, autonomy, dan

justice/keadilan (Deutsch & Anderson, 2008).


DAFTAR PUSTAKA

Aiken, T, D. (2002). Legal and Ethical Issue in Health Occupations. Philadelpia:


WB Saunders

Deutsch, J, E. (2008). Complementary Therapies for Physical Therapy. Missouri:


Mosby Inc

Lindquist, R., Snyder, M., & Tracy, mary fran. (2014). Complementary &
Alternative Therapies in Nursing. New York: Springer Publishing company,
LLC.
Mclean, S., & Mason, john kenyon. (2004). LEGAL AND ETHICAL ASPECTS OF
HEALTHCARE. United States of America: cambridge university press.
Mcway, dana c. (2010). Legal Aspects of Health Information Management. United
States of America: Delmar Publishers.
Peraturan Mentri Kesehatan Repubik Indonesia No. 1109/ MENKES/ PER/IX/
2007. Penyelenggaraan Pengobatan Terapi Komplementer –Alternatif Di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Snyder, M & Lindquist, R. (2010). Complementary & Alternative Therapies in


Nursing. 6th ed. New York : Springer Publishing Company

Undang-Undang Republik Indonesia No 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2014 Tentang


Pelayanan Kesehatan Tradisional

Anda mungkin juga menyukai