Anda di halaman 1dari 12

Pengaruh Variasi Konsentrasi Inhibitor Tapioka terhadap Laju Korosi dan Perilaku

Aktif Pasif Stainless Steel AISI 304 dalam Media Air Laut Buatan
Fritz Ryandi Siagian (2), Prof. Dr.Ir. Sulistijono, DEA (1), Diah Susanti, ST, MT, Ph.D (1)
1. Dosen Teknik Material dan Metalurgi, FTI, Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
Surabaya
2. Mahasiswa Teknik Material dan Metalurgi, FTI, Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
Surabaya
Abstrak
Penambahan Inhibitor merupakan salah satu cara penanggulangan korosi.
Maraknya isu mengenai penyelamatan lingkungan hidup menjadikan banyak kajian yang
dilakukan terkait inhibitor untuk mencari alternatif inhibitor yang ramah lingkungan. Salah
satu kajian dilakukan oleh R.Rosliza dan W.B. Wan Nik dimana penggunaan tapioka sebagai
inhibitor mampu meningkatkan ketahanan korosi aliminium alloy AA6061 pada air laut.
Karakter oksida antara aluminium dan Stainless Steel memiliki kesamaan yaitu kemampuan
untuk membentuk lapisan pasif sehingga penggunaan inhibitor tapioka pada stainless steel
sangat memungkinkan untuk diteliti.
Dalam penelitian ini digunakan jenis Stainless Steel AISI 304 dengan variasi
konsentrasi dari tapioka 0 ppm, 1.000ppm, 2.000 ppm, 3.000 dan 4.000 ppm yang dilarutkan
kedalam air laut buatan. Perhitungan Laju korosi dilakukan dengan metode Gravimetri dan
Polarisasi Potensiodinamik. Pengambilan spesimen Pengujian Gravimetri dilakukan pada
hari ke-10, hari ke-20, dan hari ke-30. Pengujian polarisasi potensiodinamik juga digunakan
untuk melihat perilaku aktif-pasif dari Stainless Steel AISI 304 pada masing-masing
konsentrasi.
Dari penelitian diperoleh bahwa terjadi penurunan laju korosi pada Stainless Steel
dalam media air laut buatan dengan adanya penambahan inhibitor tapioka. Nilai laju korosi
terkecil yang didapatkan dari pengujian Gravimetri adalah 0.2081 mpy dan melalui
pengujian polarisasi potensiodinamik adalah 0.2303 mpy. Mekanisme inhibisi tergolong pada
inhibitor campuran yaitu inhibitor anodik dan mengahasilkan lapisan tipis yang terdiri atas
rantai panjang pati tapioka. Penambahan inhibitor tapioka tetap menghasilkan lapisan aktif
pasif pada Stainless Steel.
Kata Kunci: Inhibitor Tapioka, laju korosi, air laut buatan, Stainless Steel AISI 304

Abstrac
Adding of inhibitors is one of way to control the corrosion. The rise issue of saving
the environment makes a lot of related studies conducted to find environmentally friendly
alternative inhibitors. One study made by R. Rosliza and WB Wan Nik where the use of
tapioca as an inhibitor able to increase the corrosion resistance of AA6061 alloy aliminium
in sea water. Character oxide between the aluminum and Stainless Steel have in common
type. The ability to perform a passive layer so that the use of inhibitors of tapioca in the
stainless steel is very possible to be studied.
In this study used types of Stainless Steel AISI 304 with varying concentrations of 0
ppm tapioca, 1.000ppm, 2000 ppm, 3000 and 4000 ppm dissolved into artificial sea water.
Corrosion rate calculations performed by the Gravimetry method and polarization
Potensiodinamik. Gravimetry specimen retrieval testing done on day 10, day 20, and day 30.
Polarization Potensiodinamik test was also used to see the active- passive behavior of AISI
304 Stainless Steel at each concentration.
Obtained from the study that a decline is happened in the rate of corrosion on
Stainless Steel in artificial sea water medium with the addition of inhibitors of tapioca.
Smallest corrosion rate values obtained from the test Gravimetry is 0.2081 mpy and through
testing Polarization Potensiodinamik is 0.2303 mpy. Mechanism of inhibition inhibitor
belonging to a mixture of anodic inhibitors and produce a thin layer consisting of a long
chain of tapioca starch. Adding inhibitors produce tapioca remain passive in the active layer
of Stainless Steel.
Keywords: Tapioca inhibitors, corrosion rate, artificial sea water, Stainless Steel AISI 304

1
1. PENDAHULUAN S Max 0.03
Penggunaan Stainlees Steel pada Si Max 1
lingkungan air laut sangat umum dilakukan.
Ion-ion klorida yang terkandung pada air laut 2.2 Laju korosi
dapat menjadi sumber kerusakan material. 2.2.1 Gravimetri
Salah satu metode yang banyak dilakukan ( K . W)
dalam penanggulangan korosi ialah CR
( A . T . D)
penambahan inhibitor. Namun, inhibitor yang
Persamaan 2.1 Perhitungan laju korosi
ada saat ini umumnya beracun dan tidak
dimana :
ramah lingkungan.
W = berat yang hilang (gram)
Dewasa ini seiring dengan issue dan
D = densitas spesimen (g/cm3)
concern tentang lingkungan hidup, maka
A = luas permukaan spesimen (cm2)
berkembanglah penelitian mengenai bahan
T = waktu paparan (jam)
alam sebagai organic inhibitor dalam fluida
K = Konstanta Corrosion Rate Unit Desire
yang korosif. Beberapa ekstrak tanaman
mengandung sejumlah senyawa organic
2.2.2 Polarisasi Potensiodinamik
seperti tannins, alkaloids, saponins, asam K1. I corr .EW
amino pigment, dan protein yang memiliki CR
kemampuan mengurangi laju korosi Persamaan 2.2 Laju Korosi pada Kurva
(Martinez dan Stern, 2001; Martinez, 2002; Polarisasi Potensiodinamik
Kosar et al., 2005; Oguzie et al, 2006). Madu dimana :
dilaporkan memiliki kemampuan yang baik CR = Laju korosi (mm/yr)
sebagai inhibitor korosi pada carbon steel K1 = 3,27 x 10-3 g/µA cm yr
dalam saline water (A.Y. Etre dan M. Icorr= Rapat Arus saat Ecorr (µA/cm2)
Abdallah, 2000). Tapioka dapat = density (g/cm3)
meningkatkan ketahanan korosi aluminium EW = Equivalent Weight (Berat Ekivalen)
alloy AA6061 dalam air laut (R.Rosliza dan
W.B. Wan Nik, 2009). 2.3 Tapioka sebagai Inhibitor
Sifat tepung tapioka yang tidak Hasil penelitian tentang Tapioka sebagai
beracun, biodegradable, serta memiliki inhibitor menunjukkan berkurangnya laju
kelarutan yang baik dalam air (R.Rosliza dan korosi Aluminum Alloy 6061 dalam air laut
W.B. Wan Nik, 2009), ditambah dengan seiring dengan bertambahnya konsentrasi
melimpahnya bahan baku serta proses tapioka. Sedangkan nilai efesiensi inhibitor
pembuatan yang sederhana merupakan tapioka dengan berbagai metode pengujian
potensi besar untuk diteliti. dikembangkan laju korosi dapat dilihat pada Tabel 2.2
lebih lanjut, lalu diaplikasikan sebagai berikut.
menjadi inhibitor pada system perpipaan air Tabel 2.2 Harga Efesiensi Inhibitor Tapioka
laut
pada Aluminium Alloy 6061
2. TINJAUAN PUSTAKA efesiensi inhibitor (%)
Konsen
2.1 Stainless Steel AISI 304 merupakan salah Metod Metode Metod
trasi
satu jenis dari baja tahan karat austenitic. e Polarisasi e
Baja ini memiliki kemampuan pengelasan tapioka
gravi potensiodi Imped
yang baik sehingga banyak digunakan dalam (ppm)
metri namik ansi
konstruksi-konstruksi di industri.
200 73,28 70.27 71.13
Tabel 2.1 Komposisi dari Stainless Steel AISI 400 84,64 85.42 83.14
304 600 85,98 87.75 85.16
Component Wt. % 800 87,12 89.34 89.06
C Max 0.08 1000 91,41 93.98 93.73
Cr 18 - 20
Fe 66.345 - 74
Mn Max 2 Film tipis terbentuk akibat adsorpsi molekul-
Ni 8 - 10.5 molekul tapioka pada permukaan AA6061.
P Max 0.045 Dengan demikian tapioka bekerja sebagai

2
filming corrosion inhibitor yang 2.3 Oksida Stainless Steel
mengendalikan laju korosi. Tapioka tidak Karakteristik oksida dari stainless dan
bereaksi dengan atau menghilangkan ion-ion aluminium memiliki kesamaan yaitu
agresif. kemampuan untuk menghasilkan lapisan
pasif. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan
angka Pilling-Bedworth yang tidak berbeda
jauh dan sama-sama masuk dalam kategori
protective oxide seperti tampak pada tabel 2.3
di bawah ini.( Callister, 2007)
Tabel 2.3 Pilling-Bedworth Number dari
beberapa metal (Shreir,1993)

Gambar 2.1 Struktur Molekul Amylase dalam


Tepung Tapioka

Sementara bagian yang memiliki


banyak cabang (amylopectin) ditunjukkan
oleh Gambar 2.2 berikut ini.

3. METODOLOGI
3.1 Pengujian dengan Metode Polarisasi
Potensiodinamik
Pengujian korosi dilakukan dengan
potentiodinamik Gamry. Gamry adalah
sarana pengujian elektrokimia yang berupa
instrument card dalam komputer yang
berfungsi sebagai computer controlled
Gambar 2.3 Struktur Molekul Amylopectin potensiostat yang sudah dilengkapi dengan
dalam Tepung Tapioka potensial scan. Potensial scan digunakan
Keduanya merupakan polimer dari untuk mengatur secara otomatis penambahan
glukosa. Amylase tersusun oleh monomer- beda potensial. Potensistat yang dilengkapi
monomer glukosa yang bergabung satu sama dengan potensial scan dinamakan
lain membentuk sambungan head to tail potentiodinamik. Skema rangkaian uji
alpha-1,4. Sambungan-sambungan ini Potensiodinamik dapat dilihat pada Gambar
terhubung dengan atom oksigen, semua pada 3.1
sisi yang sama. Sedangkan Amylopectin
memiliki cabang yang berbeda, yaitu
sambungan alpha-1,6 berulang setiap 24-30
unit monomer glukosa. Amylopectin juga
mempunyai gugus phosphate yang terkait
pada beberapa gugus hydroxyl (Y. Wu et al,
2009). Proses adsorbsi tapioka pada
permukaan Aluminum alloy AA6061 akan
terjadi pada gugus fungsional. Semakin tinggi
konsentrasi inhibitor, bagian logam yang
tertutupi oleh molekul-molekul inhibitor
korosi semakin meningkat sehingga inhibitor Gambar 3.1 Susunan elemen potensiostat
effesiensi juga meningkat (Rosliza dan Wan Beberapa parameter pengujian tang
Nik, 2009). dilakukan, yaitu:
Elektroda Reference : SCE (Calomel)
Luas Area : 2,09 cm2
Scan Rate : 5 mV/s

3
EW : 25,12 ruang pertama akan diambil pada hari ke-10,
Density : 7,94 gr/cm3 spesimen di ruang kedua akan diambil pada
hari ke-20, dan spesimen di ruang ketiga akan
3.2 Pengujian Gravimetri diambil pada hari ke-30. Satu ruang akan
Spesimen dicelupkan ke dalam kotak yang diisi air laut buatan dan ekstrak tapioka. Total
berisi laruan air destilasi disertai penambahan volume campuran adalah 1 liter. Setiap batch
ekstrak tapioka masing-masing pada diisi 3 spesimen yang terdiri atas spesimen
konsentrasi 0 ppm, 1000 ppm, 2000 ppm, untuk pengujian gravimetri (pengurangan
3000 ppm, dan 4000 ppm. Pencelupan berat) dan pada batch 0 ppm dan 4000 ppm
dilakukan selama 30 hari dan pengambilan untuk pengambilan 30 hari ditambahkan 1
data pada hari ke-10, ke-20, dan hari ke-30 spesimen untuk pengujian SEM.
yang meliputi reduksi berat. Dengan data Agar memudahkan pencatatan maka
nilai reduksi berat yang diperoleh, dapat diberikan label pada tiap-tiap ruang dan
diketahui nilai laju korosi spesimen dalam spesimen yang akan diuji. Spesimen diikat
mpy. dengan senar kemudian digantung pada kayu
a. Preparasi Spesimen penahan dan dicelupkan pada larutan. Pada
Spesimen yang akan di uji laju korosinya hari ke-10 dilakukan pengangkatan pada
adalah logam tipe Stainless Steel AISI 304 spesimen gravimetri . Spesimen kemudian di
yang memiliki dimensi 200 mm x 200 mm x cuci, dikeringkan dan ditimbang. Spesimen
2 mm. Spesimen dipotong sebanyak 55 buah. untuk pengujian SEM langsung dikeringkan
Dimensi spesimen dapat dilihat pada Gambar dan ditempatkan ke ruang steril. Hal tersebut
3.2. dilakukan pada spesimen di ruang 2 di hari
ke-20 dan spesimen di ruang 3 di hari ke-30.

4. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN


4.1 Pengujian Laju Korosi dengan Metode
Gravimetri
Pengujian ini didasarkan pada reduksi berat
yang terjadi pada material ketika dicelupkan
ke dalam media. Pengambilan dilakukan pada
3 tahapan waktu dengan interval 10 hari.
Reduksi berat ini kemudian dikonversikan
Gambar 3.2 Dimensi Spesimen Pengujian
menjadi Laju Korosi atau Corrosion Rate
Laju Korosi
(CR).
b. Prosedur pengujian
Pengujian dilakukan dengan mengacu
pada standar ASTM (American Standard and
Testing Material) G-31 Laboratory
Corrosion Testing of Metals .
Spesimen dipotong, digerinda, lalu
dipolish. Bak plastik disiapkan.Massa awal
masing-masing spesimen ditimbang. Dimensi
spesimen diukur untuk mendapatkan surface
area.
Satu set aquarium disebut satu batch. Gambar 4.1 Perbandingan Laju Korosi
Satu batch akan diisi larutan air laut buatan Stainleess Steel AISI 304 dengan
dan tapioka pada konsentrasi yang sama. penambahan Inhibitor.
Terdapat lima batch dengan komposisi tiap
batch 0 ppm, 1000 ppm, 2000 ppm, 3000, Pada kurva tersebut terlihat tren penurunan
dan 4000 ppm. Pelarutan inibitor dilakukan laju korosi pada Stainless Steel AISI 304
dengan disertai pemanasan hingga inhibitor dengan semakin besarnya konsentrasi
benar-benar larut. Setiap batch berisi 3 ruang inhibitor yang dilarutkan. Nilai laju korosi
yang akan membedakan waktu pengambilan rata-rata terbesar terdapat pada spesimen
dari spesimen untuk ditimbang. Spesimen di yang dicelupkan pada media tanpa

4
penambahan inhibitor yaitu 0,3867 mpy. Pada gambar tersebut terlihat tren penurunan
Nilai laju korosi terkecil ditunjukkan oleh laju korosi pada spesimen di masing-masing
spesimen yang dicelupkan pada media media terhadap waktu pengambilan
dengan penambahan inhibitor sebesar 4.000 spesimen. Keseluruhan spesimen pada
pmm yaitu 0,2085 mpy. Pada kurva terlihat masing-masing media mengalami penurunan
penurunan cukup tajam terjadi antara laju korosi jika semakin lama spesimen
spesimen yang dicelupkan pada media tanpa tersebut tercelup. Tren yang ditunjukkan pada
penambahan inhibitor dengan spesimen yang kurva tersebut menggambarkan kurva
dicelupkan pada media dengan penambahan penurunan berupa garis hyperbolik pada
inihibitor 1.000 ppm. Penurunan yang terjadi seluruh media. Kemungkinan dengan
sebesar 0,1218 mpy. Hal ini mengindikasikan bertambahnya waktu lagi, laju korosi ini
adanya pengaruh yang terjadi pada perilaku dapat berada pada satu titik yang konstan
korosi spesimen dengan adanya penambahan pada masing-masing laju korosi. Hal ini
inhibitor tapioka. Selanjutnya dengan kemungkinan besar disebabkan adanya
penambahan inhibitor yang lebih besar akan adsorbsi inhibitor pada permukaan spesimen.
didapatkan penurunan kembali dari nilai laju Spesimen dengan jumlah inhibitor yang
korosi. Selisih penurunan yang terjadi adalah sedikit akan teadsorbsi dalam jumlah yang
0,0103 mpy pada penambahan inhibitor dari sedikit pada permukaan spesimen dengan
1.000 ppm ke 2.000 ppm, 0,0312 mpy dari waktu yang sempit. Hal ini menyebabkan laju
2.000 ppm ke 3.000 ppm, dan 0,0149 mpy korosi pada spesimen masih cukup tinggi.
dari 3.000 ppm ke 4000 ppm. Dari kurva Dengan semakin lamanya waktu yang
terlihat penurunan yang terjadi selanjutnya diberikan, adsorbsi inhibitor semakin besar
cenderung landai dan penurunan yang terjadi dan kemungkinan berakibat pada peningkatan
tidak terlalu jauh. ketebalan dan jumlah wilayah. Hal ini
Penurunan ini dikarenakan adanya menyebabkan terjadi penurunan laju korosi
inhibitor yang membentuk lapisan tipis pada yang lebih lanjut hingga pada suatu titik
permukaan spesimen. Hal ini sesuai dengan tertentu dimana adsorbsi inhibitor sudah
penelitian R.Rosliza, WB. Wan Nik yang mancapai titik jenuh, laju korosi pada
mengatakan laju korosi yang terjadi pada spesimen menjadi konstan.
spesimen berkurang dengan meningkatnya Pada konsentrasi inhibitor yang lebih
konsentrasi inhibitor tapioka. Tren ini terjadi tinggi, kemampuan adsorbsi dari inhibitor
karena adanya adsorbsi jumlah dan wilayah pada spesimen akan cenderung lebih cepat.
dari inhibitor pada spesimen meningkat Hal ini menghasilkan penurunan laju korosi
dengan adanya penambahan konsentrasi yang lebih cepat hingga mencapai suatu titik
inhibitor. Adsorbsi ini akan menjadi tertentu. Keadaan ini tentunya akibat adanya
semacam pembatas yang memisahkan inhibitor tapioka yang teradsorbsi pada
permukaan spesimen dari media. permukaan Stainless Steel AISI 304. Selain
Selanjutnya apabila laju korosi yang itu, suatu sistem yang terinhibisi ataupun
dihasilkan dibandingkan dengan waktu tidak terinhibisi akan cenderung menurun
pengambilan pada spesimen gravimetri akan dengan bertambahnya waktu. Penyebabnya
terlihat seperti pada kurva di Gambar 4.2 bisa dari kontaminasi air laut oleh deposit
berikut ini. dari korosi sehingga menurunkan reaktivitas
dari media (R.Rosliza, WB. Wan Nik, 2009).

4.2 Penentuan Laju Korosi dengan Metode


Polarisasi Potensiodinamik
Pengujian Polarisasi Potensiodinamik
dilakukan di Laboratorium Korosi,
Fakultas Teknik- Universitas Indonesia.
Pengujian ini menggunakan Elektroda
reference berupa Saturated Calomel
(SCE). SCE bekerja dengan
Gambar 4.2 Rata-rata Laju Korosi pada menggunakan jembatan garam. Garam
berbagai waktu pengambilan yang digunakan adalah KCl jenuh. Hasil

5
yang didapatkan dari pengujian ini berupa anodik dan katodik yang memiliki kelurusan
Potensial (V) vs Densitas Arus (A/cm2). terbesar. Kedua garis singgung ini kemudian
diperpanjang hingga bertemu pada suatu titik.
Titik inilah yang menunjukkan Icorr dan Ecorr
dari spesimen pada larutan tersebut.

Tabel 4.1 Laju Korosi Stainless Steel AISI


304 pada tiap konsentrasi inhibitor yang
didapatkan melalui Kurva Polarisasi
Potensiodinamik

Konsentra Polarisasi Potensiodinamik


si Corrosi
inihibitor Icorr -on Inhibitor
(ppm) Ecorr Log Icorr (mikro Rate Effecien-
Gambar 4.3 Kurva Polarisasi (mV) (A/cm2) A/cm2) (mpy) cy (%)
Potensiodinamik pada 5 jenis konsentrasi
0 -268 -6.00 1.0000 0.4095 -
inhibitor
1000 -237 -6.13 0.74131 0.3036 25.8690
Dari Gambar 4.3 dapat dilihat 2000 -227.5 -6.15 0.70631 0.2892 29.3682
pengaruh inhibitor terhadap kurva polarisasi
3000 -204 -6.23 0.58884 0.2411 41.1156
potensiodinamik yang dihasilkan. Tren yang
terlihat yaitu dengan bertambah konsentrasi 4000 -179 -6.25 0.56234 0.2303 43.7659
inhibitor yang dilarutkan pada media akan
semakin menggeser kurva ke atas. Harga laju korosi pada spesimen yang diuji
Pergeseran kurva ke harga yang lebih positif dengan metode polarisasi potensiodinamik
ini menunjukkan inhibitor yang ditentukan oleh nilai Icorr yang didapatkan.
ditambahakan bersifat anodik. Artinya Pada Tabel 4.1 dapat dilihat dengan
tapioka mempunyai pengaruh yang signifikan bertambahnya konsentrasi inhibitor pada
dalam menghambat anodic dissolution pada media akan semakin mengurangi harga Icorr.
Stainless Steel AISI 304 sekaligus Harga Icorr tertinggi terlihat pada spesimen
menghambat reaksi evolusi hidrogen pada yang dicelupkan pada media tanpa
katoda (R.Rosliza, WB. Wan Nik, 2009). penambahan inhibitor. Sedangkan nilai Icorr
Kenaikan kurva ke atas terlihat pada terendah dimiliki oleh spesimen yang
kenaikan harga Ecorr (Potensial Korosi). Nilai dicelupkan pada media dengan penambahan
Ecorr terendah dimiliki oleh media tanpa inhibitor sebesar 4.000 ppm.
penambahan inhibitor. Nilai Ecorr pada larutan Laju korosi dapat dihitung dengan
ini yaitu -286 mV. Sedangkan nilai Ecorr persamaan 2.3. Pada Tabel 4.1 terlihat tren
tertinggi terdapat pada media dengan penurunan laju korosi. Nilai laju korosi
penambahan inhibitor 4.000 ppm yaitu -179 terbesar terdapat pada spesimen yang
mV. Kenaikan harga Ecorr akan dicelupkan pada media tanpa penambahan
menyebabkan spesimen terlihat lebih katodik inhibitor yaitu 0,4090 mpy. Sedangkan harga
terhadap Elektroda Reference. Hal ini terlihat laju korosi terkecil dimiliki oleh spesimen
perbedaan nilai potensial korosi antara yang dicelupkan pada media dengan
keduanya akan semakin mengecil. penambahan inhibitor 4.000 ppm. Nilai laju
korosinya adalah 0,2303 mpy. Efisiensi suatu
4.2.1. Laju Korosi Berdasarkan Kurva inhibitor dapat diperoleh melalui laju korosi
Polarisasi Potensiodinamik. yang didapatkan. Efisiensi terbesar dimiliki
Perhitungan laju korosi didapatkan dari kurva spesimen yang dicelupkan pada media
hasil pengujian dengan terlebih dahulu dengan penambahan inhibitor 4.000 ppm.
mencar nilai Icorr (Densitas Arus Korosi) dan Efisiensi inhibitor ini sebesar 43,7659 %.
Ecorr (Potensial Korosi). Icorr dan Ecorr dari Data efisiensi inhibitor dan laju korosi
setiap sampel didapatkan dari ekstrapolasi menunjukkan perubahan yang sangat
tafel kurva. Ekstrapolasi dilakukan dengan minimal antara spesimen yang di uji
menarik garis singgung pada bagian cabang menggunakan larutan dengan penambahan

6
inhibitor 3000 ppm dengan 4000 ppm. Hal ini Proses absorbsi tapioka pada
kemungkinan sudah mendekati harga permukaan Stainless Steel AISI 304 akan
masksimal dari efisiensi inhibitor tapioka terjadi pada gugus fungsional. Semakin tinggi
pada Stainless Steel AISI 304. konsentrasi inhibitor, bagian logam yang
Jika dibandingkan dengan hasil tertutupi oleh molekul-molekul inhibitor
pengujian Gravimetri, tren yang terjadi pada korosi semakin meingkat sehingga inhibitor
laju korosi yang dihasilkan pada pengujian effesiensi juga meningkat (Rosliza dan Wan
Polarisasi Potensodinamik menghasilkan Nik, 2009). Ikatan yang terjadi pada adsorbsi
respon yang relatif sama. Penurunan laju inhibitor pada permukaan Stainless Steel
korosi pada meterial terjadi dengan semakain diduga sebagai ikatan physisorbtion (van der
besarnya konsentrasi inhibitor yang wals). Ini terlihat pada mudahnya lapisan
ditambahakan pada inhibitor. tersebut dihilangkan.
Adsorbsi yang terjadi pada inhibitor
4.3 Mekanisme Inhibitor tapioka adalah adsorbsi yang terjadi antara
Adanya inhibitor pada permukaan permukaan Stainless Steel AISI 304 dengan
Stainless Steel AISI 304 akibat adanya rantai hidrokarbon yang merupakan pati dari
adsorbsi. Adsorbsi timbul dikarenakan tapioka. Kemungkinan proses adsorbsi
adanya gaya adhesi antara inhibitor dengan hidrokarbon yang terdapat pada permukaan
permukaan Stainless Steel AISI 304. Stainless Steel AISI 304 dapat dijelaskan
Adsorbsi molekul inhibitor pada permukaan dengan metode adsorbsi Isothermal
Stainless Steel AISI 304 akan menghasilkan Henderson Kisliuk. Molekul-molekul
semacam lapisan tipis (film) pada Stainless amylase dan amylopectin yang merupakan
Steel yang dapat menghambat laju korosi. adsorbate (molekul yang nantinya
Pada kasus ini inhibitor pati dari tapioka akan terakumulasi pada permukaan) teradsorbsi
bertindak sebagai pembentuk lapisan tipis terjadi hingga molekul adsorbate pada
pada permukaan yang berfungsi sebagai permukaan menjadi jenuh. Rantai
kontrol dari laju korosi dengan cara membuat hidrokarbon tersebut menempel secara
pemisah antara metal dengan media. Namun, horizontal (tertidur) yang kemudian
tapioka tidak bereaksi dengan atau dihasilkan struktur pertama.
menghilangkan ion-ion agresif. Pada tahap adsorbsi selanjutnya
Proses inhibisi pada inhibitor tapioka terdapat rantai karbon yang terputus sehingga
ini dapat dijelaskan melalui penelitian yang menyebabkan gaya elektrostatis pada
dilakukan oleh R. Rosliza dan W.b Wan Nik. permukaan rantai yang teradsorbsi diawal
Pati tapioka terdiri atas campuran dua dengan yang baru saja teradsorbsi . Gaya ini
molekuler (polysakarida), bagian yang linier menyebabkan struktur baru yang terorientasi
adalah amylase sementara bagian yang tegak (berdiri). Struktur ini disebut struktur
memiliki banyak cabang yaitu amylopectin. kedua. Adsorbsi selanjutnya akan
Kedua glukosa yang adalah hidrokarbon menghasilkan molekul-molekul yang
tersebut merupakan polimer. Amylase terorientasi tegak hingga permukaan
tersusun oleh monomer-monomer glukosa adsorbent benar-benar jenuh. Deskripsi
yang bergabung satu sama lain membentuk struktur yang terjadi dapat dilihat di sketsa
sambungan head to tail alpha-1,4. pada Gambar 4.4berikut ini.
Sambungan-sambungan ini terhubung dengan
atom oksigen, semua pada sisi yang sama.
Rantai hidrokarbon amylase dapat dilihat Rantai hidrokarbon
inhibitor
pada Gambar 2.1.
Sedangkan amylopectin memiliki
cabang yang berbeda, yaitu sambungan Substrat
alpha-1,6 berulang setiap 24-30 unit Gambar 4.4 Deskripsi struktur hidrokarbon
monomer glukosa. Amylopectin juga pada adsorbsi inhibitor dengan Stainless Steel
mempunyai gugus phosphate yang terkait AISI 304 (Wikipedia, 2009).
pada beberapa gugus hydroxyl (Y. Wu et al,
2009). Rantai hidrokarbon amylopectin
dapat dilihat pada Gambar 2.2.

7
spesimen. Spesimen yang dicelupkan pada
4.4 Pengujian SEM dan EDS media dengan penambahan inhibitor 4.000
4.4.1 Pengujian SEM ppm memiliki permukaan yang lebih
Berikut hasil pengujian identifikasi oksida homogen.
pada Stainless Steel AISI 304 dengan 0 ppm
dan 4.000 ppm inhibitor tapioka pada
pengambilan 30 hari.
a. Hasil SEM Stainless Steel AISI 304 pada
media tanpa penambahan inhibitor.

(a)

(a)

(b)
Gambar 4.6 Hasil SEM Stainless Steel AISI
304 pada pengambilan hari ke-30 dengan
Perbesaran 2.000 x ;(a) pada spesimen tanpa
penambahan inhibitor; (b) pada spesimen
(b) dengan penambahan inhibitor 4.000 ppm.
Gambar 4.5 Hasil SEM Stainless Steel AISI
304 pada pengambilan hari ke-30 dengan 4.4.2 Pengujian EDS
Perbesaran 500 x ;(a) pada spesimen tanpa a. Hasil pengujian SEM/EDS pada spesimen
penambahan inhibitor; (b) pada spesimen tanpa penambahan inhibitor.
dengan penambahan inhibitor 4.000 ppm.

Gambar 4.5(a) dan Gambar 4.5 (b) di


atas menunjukkan pengujian SEM yang
dilakukan pada permukaan spesimen.
Spesimen yang sudah dipreparasi sebelumnya
kemudian dicelup pada dua larutan yang
berbeda. Pengambilan pada kedua spesimen
dilakukan pada hari ke-30. Gambar 4.5 (a)
merupakan pencitraan terhadap spesimen
yang dicelupkan pada media tanpa
penambahan inhibitor. Gambar 4.5 (b) adalah
pencitraan yang diperoleh pada spesimen
yang dicelupkan pada media dengan
penambahan inhibitor 4.000 ppm.
Dari perbandingan kedua gambar
tersebut dapat dilihat marfilogi permukaan
pada kedua spesimen tidaklah terlalu
berbeda. Terdapat bagian-bagian yang terlihat
lebih keatas dan ada bagian-bagian yang
terlihat lebih rendah.
Pada perbesaran yang lebih besar seperti Gambar 4.7. hasil pengujian SEM/EDS pada
terlihat pada Gambar 4.6 (a) dan Gambar 4.6 Stainless Steel AISI 304 tanpa penambahan
(b), terlihat sedikit perbedaan antara kedua inhibitor

8
b. Hasil pengujian SEM/EDS pada spesimen yang dimiliki oleh Stainless Steel AISI 304.
dengan penambahan inhibitor 4.000 ppm. Crom teridentifikasi 13,40 % nikel 6,02%,
dan Fe 54,62%. Kemungkinan besar harga ini
terjadi sebagai akibat adanya pergeseran
harga. Pergeseran yang ada disebabkan
dimunculkannya unsur oksigen. Tabel 4.2
berikut adalah rekapitulasi terhadap beberapa
unsur-unsur dan oksida yang teridentifikasi
pada pengujian SEM/EDS.

Tabel 4.2 Hasil SEM/EDS pada permukaan


Stainless Steel AISI 304 yang telah tercelup
pada larutan.
Unsur Inhibitor 0 Inhibitor Selisih
ppm (%) 4000 ppm(%)

C 0.97 1.43 +0.46


Mg 0.07 0.06 -0.01
Si 0.38 0.13 -0.25
Fe 54.56 54.62 +0.06
Ni 5.98 6.02 +0.04
Oksida
SiO2 0.8 0.28 -0.52
Gambar 4.8. hasil pengujian SEM/EDS pada Cr2O3 19.12 19.58 +0.46
Stainless Steel AISI 304 dengan penambahan NiO 7.61 7.65 +0.04
inhibitor 4.000 ppm
Pada Tabel 4.2 terlihat bahwa unsur-unsur
Gambar 4.7 dan Gambar 4.8 adalah hasil dan oksida penyusun pada kedua permukaan.
SEM/EDS yang dilakukan pada pemukaan Persentasi massa unsur pada kedua
spesimen tanpa dilakukan pencucian permukaan umumnya tidak memiliki
sebelumnya. Gambar 4.7 merupakan hasil perbedaan yang signifikan. Hal ini
SEM/EDS yang dilakukan pada spesimen kemungkinan disebabkan pengambilan yang
tanpa penambahan inhibitor. Analisa dilakukan pada permukaan. Perbedaan
dilakukan pada keseluruhan daerah yang terlihat pada unsur karbon yang terdapat
terdapat pada hasil SEM dengan perbesaran antara kedua permukaan. Pada spesimen yang
2.000 x yang ada pada Gambar 4.7. Pada data dicelupkan pada media dengan penambahan
diperoleh unsur-unsur pembentuk Stainless inhibitor 4.000 ppm terlihat identifikasi yang
Steel AISI 304 yang tidak sesuai. Crom pada lebih tinggi. Penambahan yang terjadi sebesar
spesimen ini terbaca 13,08%, nikel 5.98 %, 0,46 %. Carbon tersebut dapat berasal dari
Fe 54,56. Hal ini kemungkinan disebabkan inhibitor yang tersusun atas rantai-rantai
oleh adanya pergeseran harga yang panjang karbon. Ini dimungkinkan karena
disebabkan munculnya unsur oksigen yang. adanya adsorbsi inhibitor pada permukaan
Selain itu juga identifikasi yang cukup besar spesimen. Hal ini juga didukung oleh
terjadi pada usur karbon yang mencapai Gambar 4.9 yang merupakan foto makro dari
0,97%. Ini dimungkinkan adanya pengotor spesimen yang tercelup pada media dengan
yang menempel permukaan spesimen. penambahan inhibitor 4.000 ppm. Pada
Gambar 4.8 merupakan hasil SEM/EDS yang gambar tersebut terlihat adanya bercak-
dilakukan pada spesimen dengan bercak putih yang terdapat pada permukaan
penambahan inhibitor 4.000 ppm. Analisa spesimen setelah dilakukan pengeringan.
dilakukan pada keseluruhan daerah yang Bercak-bercak pituh ini diduga sebagai pati
terdapat pada hasil SEM dengan perbesaran tapioka yang menempel pada permukaan
2.000 x yang ada pada Gambar 4.8. Unsur- spesimen.
unsur yang teridentifikasi pada permukaan
spesimen ini juga menunjukkan
penyimpangan terhadap harga unsur-unsur

9
larutan. Salinitas dipengaruhi oleh klorinitas
Bercak putih seperti ditunjukkan oleh persamaan berikut.
Salinity = 1,80655 x chlorinity
Persamaan 4.1 Perhitungan harga Salinitas
(Sherier, 1994)
Sehingga semakin tinggi nilai kloronitas dari
larutan akan semakin meningkatkan nilai
konduktifitas dari larutan begitu pula
sebaliknya. Hal tersebut sesuai dengan
Gambar 4.9 Foto Makro spesimen yang Gambar 4.10 yang menunjukkan kurva
dicelupkan pada media dengan penambahan hubungan kloronitas dan salinitas (Sherier,
inhibitor 4.000 ppm. 1994).

4.5 Pengujian Salinitas dan Ph


4.5.1 Pengujian Salinitas
Pengujian Salinitas dilakukan di
Laboratorium Ekologi, Program Studi
Biologi, FMIPA, ITS. Tabel 4.3 berikut
menunjukkan harga salinitas pada berbagai
larutan.
Tabel 4.3 Nilai Salinitas media pada berbagai
larutan.
Konsentrasi Salinitas Klorinitas
No.
Inhibitor (ppm) Media ( ) Media ( )
Gambar 4.10 Hubungan antara konduktifitas
1 0 28 15 dan klorinitas pada air laut.(after Prentice-
2 1.000 27 15 Hall,Inc., USA)
3 2.000 32 18
4.5.2 Pengujian pH
4 3.000 32 18 Pengujian ini dilakukan dengan
5 4.000 34 19 menggunakan lakmus stick dengan 4 warna
penentu. Pengujian dilakukan terhadap
Dari Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa harga kelima larutan yang digunakan. Tabel 4.4
salinitas pada kelima larutan yang digunakan berikut menunjukkan harga pH pada berbagai
tidak terlalu menunjukkan perbedaan yang larutan
signifikan. Penambahan inhibitor tapioka Tabel 4.4 Harga pH pada berbagai larutan
pada media relative tidak merubah salinitas yang digunakan.
dari larutan. Perbedaan yang ada mungkin .No. Konsentrasi pH ECorr v Tanda
disebabkan oleh adanya penguapan yang Inhibitor SCE
terjadi pada air ketika perendaman dilakukan. 1 0(ppm) (mV)
7-8 -268
Penguapan air ini dapat mempengaruhi harga 2 1.000 5-6 -237
salinitas dari media. Hal ini memperkuat 3 2.000 5-6 -227.5
pernyataan bahwa mekanisme kerja dari 4 3.000 5-6 -204
inhibitor tapioka tidak bereaksi dengan media 5 4.000 5-6 -179
khususnya klorin (R.Rosliza, WB. Wan Nik).
Selain itu, dapat diasumsikan dengan indikasi
Tabel 4.4 menunjukkan tingkat keasaman
klorin yang tidak bereaksi dengan lapisan
(pH) dari larutan. Terlihat penambahan
tipis film menjadi inert terhadap klorin. Ini
inhibitor pada media akan menyebabkan
dapat membuat lapisan yang ada menjadi
penurunan tingkat keasaman (pH). Namun,
tidak mudah rusak sehingga dapat bertahan
peningkatan konsentrasi dari inhibitor tidak
lebih lama.
merubah pH secara signifikan. Pada diagram
Pada hakikatnya salinitas akan sangat
E-pH (Pourbaix) Gambar 4.11 dapat dilihat
berpengaruh terhadap konduktifitas dari
bahwa potensial korosi bebas dari Stainless

10
Steel AISI 304 pada masing-masing akan berakibat terjadinya pergeseran
konsentrasi inhibitor masih berada pada kurva poliarisasi potensiodinamik ke
wilayah pasifasi dimana lapisan pasif Cr2O3 atas.
terbentuk. Hal ini mendukung kurva 3. Penambahan inhibitor tapioka pada
polarisasi potensiodinamik yang dimana air laut mengakibatkan pH larutan
selalu didapatkan daerah pasif. menjadi turun. Namun, penurunan
yang terjadi tidak menggeser
Stainless Steel dari daerah pasifasi.

6. Saran
Saran yang dapat diberikan:
1. Perlu adanya variasi temperatur pada
pengujian selanjutnya untuk melihat
kinerja inhibitor pada temperatur
tinggi.

2. Percobaan dilakukan pada


konsentrasi inhibitor yang lebih
tinggi sehingga dapat mengetahui
nilai konsentrasi optimum dari
inhibitor tapioca

Daftar Pustaka

1. R. Rosliza and W.B. Wan Nik. 2009.


Improvement of corrosion resistance
of AA6061 alloy by tapioca starch in
seawater
2. Chamberlain, J. dan Trethewey, KR.
1991. Korosi untuk Mahasiswa dan
Gambar 4.18 Pourbaix diagram of Stainless Rekayasawan. Jakarta : PT. Gramedia
Steel AISI 304 pada larutan yang Pustaka Utama.
mengandung 35,000 ppm NaC1; 22°C 3. Sulistijono.2000. Diktat Korosi dan
(Azzerri N.,dkk , 1982) Analisa Kegagalan. Surabaya: ITS.
4. N. AZZERRI, F. MANCIA and A.
5. KESIMPULAN TAMBA, 1982. Electrochemical
Dari percobaan yang telah dilakukan dapat Prediction Of Corrosion Behaviour Of
disimpulkan : Stainless Steels In Chloride Containing
1. Penambahan tapioka sebagai Water* 1 ,Corrosion Science, Vol. 22,
inhibitor pada Stainless steel AISI No. 7, pp. 675-687
304 yang dicelupkan di dalam air laut 5. Andrew P. Henderson and team, A
buatan akan menurunkan laju korosi Novel Isotherm, Modeling Self-
dari Stainless Steel AISI 304. Nilai Assembled Monolayer Adsorption and
laju korosi terkecil didapatkan pada Structural Changes, Langmuir 2009,
penambahan inhibitor tapioka 4.000 25, 931-938
ppm dengan laju korosi 0.2085 mpy 6. Sheir, LL. 1994. Corrosion Volume
dengan pengujian Gravimetri dan
2. Oxford:Butterworth-Heonemann
0.2303 mpy dengan pengujian
Polarisasi Potensiodinamik. Ltd
2. Adanya penambahan inhibitor
tapioka pada spesimen tetap
menghasilkan wilayah-wilayah aktif
dan pasif yang sama pada spesimen
tanpa penambahan inhibitor.
Penambahan inhibitor pada media

11
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com.
The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.

Anda mungkin juga menyukai