Allah Ta’ala
berfirman :
“Sesungguhnya shalat adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya bagi orang-orang yang
beriman.“ (QS. An Nisa’: 103).
Untuk merealisasikan shalat pada waktunya, perlu diketahui bahwa waktu shalat ada dua kondisi :
1. Kondisi pertama: Kondisi saat mampu (tidak ada udzur). Dalam kondisi ini ada lima waktu
shalat, untuk setiap masing-masing shalat ada waktu khusus tersendiri.
2. Kondisi kedua: Kondisi ketika ada udzur. Dalam kondisi ini ada tiga waktu. Untuk shalat Subuh
satu waktu, Zhuhur dan Ashar satu waktu, serta Maghrib dan Isya’ satu waktu.
Dalam shahih Muslim (no. 705), dari riwayat Sa’id bin Jabir dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu
‘Anhuma, beliau berkata: “Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak antara shalat
Zhuhur dan Ashar, serta shalat Maghrib dan Isya’ di Madinah dalam keadaan tidak takut dan
tidak pula hujan. Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, “Mengapa beliau melakukan demikian?”
Ibnu ‘Abbas menjawab, “Agar tidak memberatkan bagi umat beliau.” Dalam riwayat lain Ibnu
‘Abbas berkata, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak ingin menyulitkan umat beliau.”
Sebab-sebab diperbolehkannya menjamak sholat yaitu karena bepergian, wukuf di Arafah dan
Muzdalifah, sakit, dan hujan. Semua itu diperbolehkan untuk menjamak sholat karena adanya
masyaqqat atau kesusahan dan kesulitan di dalamnya.
shalat jamak ditinjau dari kaidah ushul fiqh al-masyaqqât tajlibu taysîr. Dari hasil analisis
ditemukan bahwa :
1) dokter bedah menjamak sholat mereka dikarenakan operasi. Kendatipun demikian namun
tidak semua operasi boleh dijadikan sebab atau alasan untuk menjamak sholat bagi dokter bedah.
Operasi yang boleh menjadi sebab diperbolehkannya menjamak shalat yaitu operasi-operasi yang
termasuk emergency, operasi yang memakan waktu yang lama.
2) cara menjamak sholat seperti biasa dalam syariat Islam. Yaitu boleh dikerjakan di waktu yang
pertama (jamak taqdim) atau di waktu kedua (jamak ta’khir). Hal ini boleh dilakukan antara
sholat dhuhur dan ashar serta sholat maghrib dan isya’. Sedangkan antara sholat subuh dan
dhuhur atau antara sholat ashar dan sholat maghrib tidak boleh dijamak.
3)Implementasi kaidah fiqhiyyah dalam operasi yang dilakukan dokter bedah telah sesuai dengan
kaidah ushul fiqh yaitu kaidah al-masyaqqât tajlibu taysîr. Apabila operasi tersebut telah
memenuhi syarat dan rukun dari kaidah al-masyaqqat tajlibu taysir dan didalamnya terdapat
kesusahan atau kesulitan maka dokter bedah boleh menjamak sholatnya
Jadi, yang perlu diperhatikan tentang masalah menjamak shalat, bahwa hendaknya berhati-hati dari sikap
bermudah-mudahan dalam menjamak shalat. Ulama telah ijma’ (sepakat) bahwa tidak boleh menjamak
dua shalat ketika mukim tanpa adanya udzur sama sekali. sebagaimana hal ini diriwayatkan oleh Ibnu
‘Abdil Bar dalam At-Tamhid (12/210). Serta dalam riwayat yang shahih dari ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhu,
ia berpendapat bahwa perkara tersebut termasuk dosa besar.
Lalu Bagi pasien yang dilakukan operasi yang kerap memakan waktu berjam-jam, yang
melampaui waktu-waktu shalat wajib. Bagaimana status shalat pasien yang ditinggalkan
tersebut?
Para ulama kerap menggolongkan masalah ini terkait syarat wajib shalat, yaitu status berakal
bagi mukallaf (orang yang memiliki kewajiban suatu ibadah).
Imam An-Nawawi dalam karyanya Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab mengomentari perihal obat
bius yang menghilangkan akal ini.