Anda di halaman 1dari 28

KATA PENGANTAR

       Puji syukur kami panjatkan kehadirat Alloh SWT, karena dengan


rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah tentangSejarah hadits pada masa abad II, III, dan IV H. ini dengan
baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima
kasih pada Bapak SUPRAPTO. Selaku Dosen mata kuliah STUDI ULUMUL
HADITS Universitas Islam Jakarta, yang telah memberikan tugas ini kepada
kami.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang


membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi
kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon
maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami
memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Jakarta , Februari 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………….

DAFTAR ISI …………………………………………………………………

BAB I …………………………………………………………………………
Pendahuluan ………………………………………………………………
A. Latar Belakang …………………………………………………
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………
C. Tujuan pembahasan masalah ………………………………………

BAB II …………………………………………………………………………..
Pembahasan ……………………………………………………………

BAB III ………………………………………………………………….


Penutup ……………………………………………………………….
A. Kesimpulan …………………………………………………….
B. Saran …………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………...


BAB I

 PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Alhamdulillah patut kita syukuri karena nikmatnya, kita dapat merasakan indahnya dunia
tanpa ada rasa kurang sedikitpun pada diri kita.Shalawat serta Salam semoga senantiasa
terlimpah kepada sang pelopor umat yaitu Nabi Muhammad SAW, karena yang telah
diwariskan kepada umatnya sehingga dengan mudahnya kita untuk mengikuti jejak serta
tuntunannya.

Dalam makalah yang singkat ini penulis uraikan sejarah perkembangan


hadits pada masa sesudak zaman sahabat sampai dengan sekarang, dimulai
dengan pembahasan Penulisan dan Pembukuan Hadits secara resmi (Hadis
pada Abad ke 2 H), Masa Pemurnian danPenyempurnaan Penulisan Hadits
(Abad ke 3 H), Masa Pemeliharaan,Penertiban dan Penambahan dalam
penulisan Hadis (Abad 4 H),

Sebagai pemula dalam mata kuliah Studi hadist.untuk lebih lanjut akan di bahas dalam
kelompok. Kami sebagai penulis sebelumnya minta maaf jika pada pembahasan kami terdapat
kekeliruan yang kami sengaja maupun yang tidak sengaja, karna kami hanyalah manusia yang
lemah. Dan semoga makalah ini dapat diterima oleh semua mahasiswa dan Dosen pengampu,
serta bermanfaat di kemudian hari.

B.  Rumusan Masalah
1. para ulama pengumpul dan penulis kitab hadits
2. Perjuangan para ulama menjaga keaslian hadits dari para pemalsu hadits
3. Periwayatan Bil Lafdzi dan Bil Makna

C. Tujuan pembahasan masalah


1. Agar pembaca dapat memahami sejarah diadakanya pembukuan hadits
di masa tersebut
2. Agar pembaca memahami problematika pembukuan hadits di masa
tersebut
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hadist  Pada Abad  Pertama Hijriyah


Periode ini dibagi menjadi dua fase, yaitu : pertama pada masa Rasulullah 
SAW; dan kedua , masa sahabat dan tabiin
1.      Hadist pada masa Rasulullah SAW.
a.       Cara sahabat menerima Hadist pada masa Rasulullah
Ada empat cara yang ditempuh oleh para sahabat untuk mendapatkan hadist
nabi muhammad SAW yaitu :[1]
1)      Mendatangi majelis taklim yang diadakan Rasulullah Saw. Rasulullah
Saw selalu memyediakan waktu waktu khusus untuk mengajarkan agama
Islam kepada para sahabat. Para sahabat salalu berusaha untuk menghadiri
majelis taklim tersebut meskipun mereka juga sibuk dengan pekerjaan masing-
masing. Apabila mereka berhalangan , maka mereka bergantian menghadiri
majelis tersebut, sebagaimana yang dilakukan Umar dan tetangganya. Yang
hadir memberi tahu informasi yang mereka dapatkan kepada yang tidak hadir.
2)      Terkadang Rasulullah Saw sendiri menghadapi beberapa peristiwa
tertentu,kemudian beliau menjelaskan hukumnya kepada sahabat. Apabila
para sahabat yang hadir menyaksikan peristiwa itu jumlahnya banyak, maka
berita tentang peristiwa itu akan segera tersebar luas. Namun apabila yang
hadir hanya sedikit, maka rasulullah memerintahkan mereka untuk
memberitahukannya kepada sahabat lain yang tidak hadir.
3)      Terkadang terjadi sejumlah peristiwa pada diri sahabat , kemudian
mereka menanyakan hukumnya kepada rasululah dan Rasululah memberikan
fatwa atau penjelasan hukum tentang peristiwa tersebut.
4)      Para sahabat terkadang menyaksikan Rasulullah melakukan suatu
perbuatan yang berkaiatan dengan tata cara pelaksanaan ibadah seperti shalat,
zakat, puasa haji dsb.sahabat yang menyaksikan perbuatan trsebut kemudian
menyampaikan kepada yang lainya atau generasi sesudahnya.

b.      Penulisan hadis pada masa Rasululah SAW


Pada masa Rasulullah keadaan hadist berbeda dengan Alquran.yang belum
ditulis secara resmi.Terdapat beberapa keterangan dan argumentasi yang
kadang kadang satu dengan yang lainya saling bertentangan .diantaranya
adalah:
1)      Larangan menulis Hadis
 Terdapat sejumlah hadis Nabi SAW yang melarang para sahabat menuliskan
hadist .Di antara hadist tersebut adalah hadist yang berasal dari Said al
Khudri :
‫ رواه مسلم‬-‫ال تكتبو ا عني غير القرأن ومن كتب عني غير القرأن فليمحه‬  .
Artinya:
"Nabi muhammad Saw bersabda: Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu
dengar dari aku selain Al- Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu
dariku selain Al- Quran, hendaklah dihapuskan. " (HR. Muslim)
Ø  Larangan menuliskan hadist terjadi pada masa awal islam yang ketika itu
dikhawatirkan terjadi pencampuradukan antara hadist dengan alquran.Tetapi
setelah umat islam bertambah banyak dan mereka telah dapat membedakan
antara hadist dan alquran, maka hilanglah kekhawatiran itu dan mereka
diperkenankan untuk menuliskannya.
Ø  Larangan tersebut ditujukan terhadap mereka yang memiliki hafalan yang
kuat,sehingga mereka tidak terbebani dengan tulisan; sedangkan kebolehan
diberikan kepada mereka yang hafalannya yang kurang baik.
Ø  Larangan tersebut sifatnya umum, sedangkan kebolehan menulis diberikan
khusus kepada mereka yang pandai membaca dan menulis sehingga tidak
terjadi kesalahan dalam menuliskannya.
2)      Perintah (kebolehan) menuliskan Hadis
Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW yang memerintahkan atau membolehkan
menuliskan hadis diantanya adalah:
Dari Anas Ibn Malik bahwa dia berkata, Rasullullah SAW bersabda: “ Ikatlah
ilmu itu dengan tulisan (menuliskannya).
3)      Sikap para ulama dalam menghadapi kontroversi Hadis- hadis mengenai
penulisan hadis. ‘Ajjaz al Khatib menyimpulkan ada beberapa pendapat yang
berpariasi dalam rangka mengkompromikan dua kelompok hadist yang terlihat
saling bertentangan dalam hal penulisan tersebut yakni :[2]

c.       Faktor-faktor yang menjamin kesinambungan hadist


Ada beberapa faktor yang menjamin kesinambungan hadist, antara lain:
ü  Quwwat al-dzakirah( kuatnya hafalan para sahabat )
ü  Kehati-hatian para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasulullah
SAW.
ü  Kehati-hatian para sahabat dalam menerima hadist.
ü  Pemahaman terhadap ayat alquran surat  Al hijr: 9. Yang artinya
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya
Kami benar-benar memeliharanya.”[3]

B.     Hadist Pada Masa Sahabat dan Tabi’in


a)      Pengertian Sahabat dan Tabi’in
Kata sahabat (arabnya: sahabat ) menurut bahasa adalah Musytaq (pecahan)
dari kata shuhbah yang berarti orang yang menemani yang lain, tanpa ada
batasan waktu dan jumlah. Muhammad Jamal al din alqasimi mengatakan
bahwa yang disebut sahabat adalah orang yang pernah bertemu dengan nabi
Muhammad Saw walaupun sesaat, dalam keadaan beriman kepadanya baik
meriwayatkan hadist dari beliau ataupun tidak. Sedangkan pengertian Tabi’in
adalah orang yang pernah berjumpa dengan sahabat dan dalam keadaan
beriman, serta meninggal dalam keadaan beriman juga.

b)      Pemeliharaan Hadis Pada Masa Sahabat dan Tabi’in


Sejarah mencatat bahwa pada periode khulafa alrasyidin , khususnya Abu
Bakar dan Umar, periwayatan hadist begitu sedikit dan lamban. Hal ini
disebabkan kecenderungan mereka secara umum untuk menyedikitkan
riwayat, disamping sikap hati-hati dan teliti para sahabat dalam menerima
hadist. Begitu juga dengan Ustman dan Ali yang tidak dengan mudah
menerima hadist dari orang lain. Ali mengatakan ,”Aku tidak ragu-ragu
menerima hadist yang langsung aku terima dari Rasulullah Saw. Tetapi jika
orang lain yang meriwayatkannya maka aku akan mengambil sumpah orang
tersebut. Sikap kesungguhan dan kehati-hatian juga ditunjukkan oleh para
tabi’in yang datang sesudah mereka. Mereka menganggap perlu untuk
mengkonfirmasi hadist yang diterima dari sahabat yang ada di Basrah dan
Madinah.
c)      Masa Penyebarluasan Periwayatan Hadis
Wilayah kekuasaan Islam pada periode Utsman telah meliputi seluruh jazirah
Arabia, wilayah Syam (Palestina, Yordania, Siria, dan Libanon), seluruh
kawasan Irak, Mesir, Persia, dan kawasan Sanarkand.
Diantara kota-kota yang banyak terdapat para sahabat dan aktifitas
periwayatan hadist adalah:[4]
1)      Madinah
Di kota ini terdapat para sahabat yang mempunyai ilmu yang luas dan
mendalam tentang hadist, diantaranya adalah Khulafa’ al
Rasyidin,Aisyah,’Abdullah bin Umar, Abu said al Khudri, Zaid bin Tsabit dan
lainnya.
2)      Mekkah
Setelah kota mekkah ditaklukan pada masa Nabi Muhammad Saw, disana
ditunjuk Muadz bin jabal sebagai guru yang mengajari  para penduduk
setempatn tentang masakah halal dan haram dan memperdalam pengetahuan
mereka mengenai ajaran Islam dan sumber sumbernya yaitu Alquran dan
hadist. Dikota ini muncul juga para ulama hadist seperti Mujahid, ‘Atha bin
Abi Rabah, Thawus ibn Kisan, Ikrimah maula ibn Abbas, dll.
3)      Kufah
Setelah Irak ditaklukan pada masa Khalifah Umar ibn al Khattab, dikota
Kufah tinggal sejumlah besar sahabat, diantaranya Ali ibn abi Thalib,Saad bin
Abi Waqqash, Said ibn Zaid ibn ‘amr ibn Nufail,Abdullah bin Mas’ud dll.
4)      Basrah
Dikota Basrah terdapat sejumlah sahabat,seperti Anas ibn Malik yang dikenal
dengan Imam fi al Hadisth di Basrah, Abu Musa al asyari, abdullah bin Abbas,
dll. Juga melahirkan tokoh terkenal dari kalangan tabiin , seperti Al Hasan al
Bashri, dan Muhammad ibn Sirrin.
d)     Penulisan Hadis Pada Masa Sahabat dan Tabi’in
Kegiatan penulisan hadis pada masa Rasul SAW bagi mereka yang diberi
kelonggaran oleh Rasul SAW untuk melakukannya, namun para sahabat, pada
umumnya menahan diri dari melakukan penulisan hadis dimasa pemerintahan
Khulafa al-Rasidin. Hal tersebut adalah karena besarnya keinginan mereka
untuk menyelamatkan Al- Qur’an Al- Karim dan sekaligus Sunah (Hadis),
Salah seorang sahabat yakni Umar menyatakan penolakannya terhadap
penulisan hadis adalah disebabkan adanya kekhawatiran berpalingnya umat
Islam untuk menuliskan suatu yang lain selain Al-Qur’an dan melontarkan
kitab Allah (Al-Qur’an). Justru itu beliau melarang umat Islam untuk
menuliskan sesuatu yang lain dari Al- Qur’an, termasuk hadis. Akan halnya
Tabi’in, sikap mereka dalam hal penulisan hadis adalah mengikuti jejak para
sahabat. Hal ini tidak lain adalah karena para Tabi’in memperoleh ilmu,
termasuk didalamnya hadis-hadis Nabi SAW adalah dari para sahabat. Akan
tetapi tatkala Umar melihat bahwa pemeliharaan terhadap alquran telah aman
dan terjamin, Beliau pun mulai menuliskan sebagian hadist nabi yang
selanjutnya dikirimkan kepada sahabat dan pegawainya.

C.    Hadis Pada Abad Ke II Hijriyah


            Pada periode ini hadis-hadis Nabi SAW mulai ditulis dan dikumpulkan
secara resmi. ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz, salah seorang khalifah dari dinasti
Umayah yang mulai memerintah dipenghujung abad pertama Hijriyah, merasa
perlu untuk mengambil langkah-langkah bagi penghimpunan dan penulisan
hadis Nabi secara resmi, yang selama ini berserakan didalam catatan dan
hafalan para sahabat dan Tabi’in.
Terdapat beberapa Faktor-faktor yang mendorong pengumpulan dan
pengkodifikasian hadist pada periode ini diantaranya adalah :
  I.  tidak adanya lagi penghalang untuk menuliskan dan membukukan hadist,
yaitu kekahawatiran bercampurnya hadist dengan Alquran . Karena Alquran
ketika itu telah dibukukan dan disebarluaskan
  II. munculnya kekhawtiran akan hilang dan lenyapnya hadist karena
banyaknya para sahabat yang meninggal dunia akibat usia lanjut dan karena
seringnya terjadi peperangan.
 III. Semakain maraknya kegiatan pemalsuan hadist yang dilatarbelakangi oleh
perpecahan politik dan perbedaan mazhab di kalangan umat islam.
 IV. Semakin luasnya daerah kekuasaan Islam disertai dengan semakin banyak
dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi umat Islam.
Dengan tersebarnya Islam, terpencarnya sahabat dan sebagian wafat, maka
mulai terasa perlunya pembukuan hadits. Hal ini menggerakkan khalifah Umar
bin Abdul Aziz (menjabat th 99H-101H) untuk memerintahkan para ulama
untuk menghimpun dan mengumpulkan hadist terutama pada Abubakar bin
Muhammad bin Amr bin Hazm (qadhi Madinah) dan Muhammad bin Muslim
bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab az Zuhri al-Madani (tokoh ulama
Hijaz dan Syam 124H).
Setelah kedua tokoh ini maka mulailah banyak yang mengikuti mereka seperti
Ibnu Juraij (150-H) dan Ibnu Ishaq (151-H) di Makkah; Ma'mar (153-H) di
Yaman; al-Auza'i (156-H) di Syam; Malik (179-H), Abu Arubah (156-H) dan
Hammah bin Salamah (176-H) di Madinah; Sufyan ats-Tsauri (161-H) di
Kufah; AbduLLAH bin Mubarak (181-H) di Khurasan; Husyaim (188-H) di
Wasith; Jarir bin abdul Hamid (188-H) di Ray,dan Abdullah ibn Wahab (125
H ) di Mesir.
Kitab yang mahsyur pada saat itu adalah :
Ø  Mushannaf oleh Syu'bah bin al-Hajjaj (160-H)
Ø  Mushannaf oleh Al-Laits bin Sa'ad (175-H)
Ø  Al-Muwaththa' oleh Malik bin Anas al-Madani, Imam Darul Hijrah (179-
H).
Ø  Mushannaf oleh Sufyan bin Uyainah (198-H)
Ø  Al-Musnad al Syafi’i oleh  Imam asy-Syafi'i (204-H)
Ø  Al Sirat an Nabawiyah oleh Ibn Ishaq.
D.    Hadist Pada Masa Ke-III Hijriah (Masa Pemurnian, Penshahihan
dan penyempurnaan Kodifikasi.)
Periode ini berlangsung pada masa Pemerintahan Khalifah Al Ma’mun sampai
pada awalpemerintahan khalifah Al-Muqtadir dari kekhalifahan Dinasti
Abbasiyah. Pada masa ini ulama memusatkan perhatian mereka pada
pemeliharaan keberadaan dan terutama kemurnian Hadist Nabi SAW, sebagai
antisipasi mereka terhadap pemalsuan Hadist yang semakin marak.
       I. Kegiatan Pemalsuan Hadist
Pada abad ke-II hijriah telah banyak melahirkan para Imam Mujtahid di
berbagai bidang, diantaranya dibidang Fiqih dan Ilmu Kalam. Meskipun
dalam beberapa hal mereka berbeda pendapat, akan tetapi mereka saling
merhormati. Akan tetapi memasuki abad ke-3 Hijriah , para pengikut masing-
masing imam berpendapat bahwa imam nya lah yang benar, sehingga
menimbulkan bentrokan pendapat yang semakin meruncing. Diantara pengikut
fanatik akhirnya menciptakan hadist-hadist palsu dalam rangka memaksakan
pendapat mereka.
Dan setelah Khalifah Al Ma’mun berkuasa mendukung golongan Mu’tazilah.
Perbedaan pendapat tentang kemakhlukan Al Qur’an dan siapa yang tidak
sependapat akan dipenjara dan disiksa, salah satu Imam yaitu Imam Ahmad
Bin Hambal yang tidak mengakuinya. Setelah pemerintahan Al Muwakkil,
maka barulah keadaan berubah positif bagi ulama.
    II. Upaya Pelestarian Hadist.
Diantara kegiatan yang dilakukan oleh para ulama Hadist dalam rangka
memelihara kemurnian Hadist Rasulullah SAW adalah :
 Perlawatan ke daerah-daerah
 Pengklsifikasian Hadist kepada : Marfu’ (disandarkan kepada Nabi
Muhammad Saw), Mawquf (disandrkan kepada sahabat ), dan
Maqthu’( disandarkan kepada tabi;in ).
 Penyeleksian kualitas Hadist dan pengklasifikasian kepada : Shahih,
Hasan, Dha’if.
  III. Tokoh-tokoh Pengumpul Hadist
Diantara tokoh-tokoh Hadist yang lahir pada masa ini adalah :Ali Ibn Madany,
Abu Hatim Ar Razy, Muhammad Ibn Jarir ath Thabary, Muhammad Ibn
Sa’ad, Ishaq Ibn Rahawaih, Ahmad, Al Bukhari Muslim, An Nasa’I, Abu
Daud, At Turmudzy, Ibnu Majah, Ibnu Qutaibah Ad Dainury
 IV. Bentuk penyusunan Kitab hadist pada Abad ke III Hijriyah
·         Kitab Shahih, kitab ini hanya menghimpun hadist-hadist
sahih,sedangkan yang tidak shahih tidak dimasukkan
kedalamnya.Penyusunannya berbentuk Mushannaf, Yaitu penyajian
berdasarkan bab masalah tertentu. Hadist yang dihimpun menyangkut masalah
fiqh ,aqidah ,akhlak ,sejarah dan tafsir .Contoh : sahih Muslim dan sahih
Bukhari.
·         Kitab Sunan. Didalam kitab ini dijumpai hadist yang sahih dan juga
hadit dhaif yang tidak terlalu lemah dan mungkar.Terhadap hadist dhaif
dijelaskan sebab kedhaifannya. Bentuk penyusunannya berbentuk Mushannaf
dan hadistnya terbatas hanya pada masalah fiqh . Contoh : Sunan Abu Dawud,
Sunan at Turmidzi, Sunan al Nasai, Sunan Ibn Majah dan Sunan al Darimi.
·         Kitab Musnad. Didalam kitab ini hadist disususn berdasrkan nama
perawi pertama. Urutan nama perawi pertama ada yang berdasrkan nabi
kabilah seperti bani hasyim dsb. Ada juga yang berdasarkan nama sahabat
berdasrkan urutan waktu memeluk Islam,dan ada yang berdasarkan hijaiyah
dll. Contoh : Musnad Ahmad ibn Hanbal, Musnad Abu qasim Albaghawi, dan
musnab ustman ibn abi syaibah.

E. Hadist pada abad ke-IV sampai ke-V (Masa Pemeliharaan,


Penertiban, Penambahan, dan Penghimpunan).
1.   Kegiatan periwayatan Hadist pada periode ini.
Periode ini dimulai pada masa Khlifah Al Muktadir sampai Khalifah Al
Muktashim. Meskipun kekuasaan Islam Pada periode ini mulai melemah dan
bahkan mengalami keruntuhan pada abad ke-7 Hijriah akibat serangan Hulaqu
Khan, Cucu dari Jengis Khan. Kegiatan para Ulama Hadist tetap berlansung
sebagaimana periode-periode sebelumnya, hanya saja hadist-hadist yang
dihimpun pada periode ini tidaklah sebanyak penghimpunan pada periode-
periode sebelumnya, kitab-kitab hadist yang dihimpun pada periode ini
diantaranya adalah :
 Al Shahih oleh Ibn Khuzaimah.(313 H)
 Al Anma’wa al Taqsim oleh Ibn Hibban (354 H)
 Al Musnad oleh Abu Amanah ( 316 H)
 Al Mustaqa oleh Ibn Jarud.
 Al Mukhtarah oleh Muhammad Ibn Abd Al Wahid al Maqdisi.
Setelah Lahirnya karya-karya diatas maka kegiatan para ulama berikutnya
pada umumnya hanyalah merujuk pada karya–karya yang telah ada dengan
bentuk kegiatan mempelajari, menghafal, memeriksa dan menyelidiki sanad-
sanadnya dan matannya.
2.   Bentuk Penyusunan Kitab Hadist pada masa periode ini:
Para Ulama Hadist Periode ini memperkenalkan sitem baru dalam penusunan
Hadist , yaitu :
a). Kitab Athraf, didalam kitab ini penyusunannya hanya menyebutkan
sebagian matan hadist tertentu, kemudian menjelaskan seluruh sanad dari
matan itu, baik dari sanad kitab hadist yang dikutib matannya ataupun dari
kitab-kitab lainya contohnya :
1. Athraf Al Shahihainis, oleh Al Dimasyqi (400 H)
2. Athraf Al Shahihainis, oleh Abu Muhammad khalaf Ibn Muhammad al
Wasithi
 (401 H)
3. Athraf Al Sunnah al arrba’ah, oleh Ibn Asakir al dimasyqi (571 H)
4. Athraf Al Kutub al Sittah, oleh Muhammad Ibn Tharir al Maqdisi ( 507 H)

b). Kitab Mustadhrak, Kitab ini memuat matan Hadist yang diriwayatkan oleh
Bukhari atau Muslim, atau keduanya atau lainnya, dan selanjutnya penyusun
kitab ini meriwayatkan matan hadist tersebut dengan sanadnya sendiri,
conntoh :
1. Mustadhrak Shahih Bukhari , oleh Jurjani
2. Mustadhrak Shahih Muslim, oleh Abu Awanah (316 H)
3. Mustadhrak Bukhari Muslim, oleh Abu bakar Ibn Abdan al Sirazi (w.388
H)

c). Kitab Mustadhrak, Kitab ini menghimpun hadist-hadist yang memiliki


syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau yang memiliki salah satu dari
keduanya, contoh :
1. Al Mustdhrak oleh Al Hakim ( 321-405 H)
2. Al Ilzamat , oleh Al Daruquthni (306-385 H)

d). Kitab Jami’, Kitab ini menghimpun Hadist-hadist yang termuat dalam
kitab-kitab yang telah ada yaitu yang menghimpun hadsit shahih Bukhari dan
Muslim. Contohnya :Al Jami’ bayn al Shahihaini , oleh Ibn Al Furat ( Ibn
Muhammad Al Humaidi (w.414 H)).,Al Jami’ bayn al Shahihaini, oleh
Muhammad Ibn Nashir al Humaidi (488 H),Al Jami’ bayan al Shahihaini, oleh
Al Baqhawi (516 H)

F.     Periode Mengklasifikasikan dan Mensistematiskan Susunan Kitab-Kitab


Hadist Abad ke V sampai Sekarang
Usaha ulama ahli hadits pada abad ke V samapi sekarang adalah ditujukan
untuk mengklasifikasikan Hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang
sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam satu kitab hadits.
Disamping itu mereka pada men-syarahkan dan mengikhtishar kitab-kitab
hadits yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. seperti yang
dilakukan oleh Abu 'Abdillah al-Humaidi (448 H.) adapun contoh kitab-kitab
hadits pada periode ini antara lain:
 Sunan al-Kubra, Karya abu Bakar Ahmad bin Husain 'Ali al-Baihaqy
(384-458 H.)
 Muntaqa al-Akhbar, karya Majduddin al-Harrany (652 H.)
 Fathu al-Bari Fi Syarhi al-Bukhari, Karya Ibnu Hajar al-'Asqolany
(852 H.).
 Nailu al-Awthar, Syarah kitab Muntaqa al-Akhbar, karya al-Imam
Muhammad bin Ali al-Syaukany (1172- 1250 H.)
 Hadits dimasa abad V H sampai sekarang hanya ada sedikit tambahan
dan modifikasi kitab-kitab terdahulu. Sehingga karya-karya ulama
hadits abad kelima lebih luas, simple dan sistematis. Diantara mereka
adalah :
 Abu Abdillah al-Humaidi tahun 448 H beliau mengumpulkan 2 kitab
sahih sesuai urutan sanad.
 Abu Sa’adah Mubarak bin al-‘Asyir tahun 606 H beliau
mengumpulkan enam kitab hadis dengan urutan bab.
 Nuruddin Ali al-Haitami beliau melengakapi 6 kitab dengan
karangan-karangan lain ( selain  kutub al-sittah ).
 Al-Suyuthi tahun 911 H beliau menulis kitab yang berjudul al-Jami
al-Kabir

Dan muncul pula Kitab-kitab hadits targhib dan tarhib, seperti :


 Al-Targhib wa al-Tarhib, karya al-Imam Zakiyuddin Abdul ‘Adzim
al-Mundziry (656 H.)
 Dalailu al-falihin, karya al-Imam Muhammad Ibnu ‘Allan al-Shiddiqy
(1057 H.) sebagai kitab syarah Riyadu al-Shalihin, karya al-Imam
Muhyiddin abi zakaria al-Nawawawi (676 H.)
 Pada periode ini para ulama juga menciptakan kamus hadits untuk
mencari pentakhrij suatu hadits atau untuk mengetahui dari kitab
hadits apa suatu hadits didapatkan, misalnya :
 al-Jami’u al-Shaghir fi Ahaditsi al-Basyiri al-Nadzir , karya al-Imam
Jalaluddin al-Suyuthy (849-911 H.)
 Dakhairu al-Mawarits fi Dalalati ‘Ala Mawadhi’i al-Ahadits, karya
al-Imam al-‘Allamah al-Sayyid Abdul Ghani al-Maqdisy al-Nabulisy.
 Al-Mu'jamu al-Mufahras Li al-Alfadzi al-Haditsi al-Nabawy, Karya
Dr. A.J. Winsinc dan Dr. J.F. Mensing.
 Miftahu al-Kunuzi al-Sunnah, Karya Dr. A.J. Winsinc.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
1.         Penyebab dari Kodifikasi Hadist itu sendiri dikarenakan telah
banyaknya para sahabat, atau ulama penghapal hadist yang meninggal dunia.
2.         Penyebab Kedua adalah banyaknya beredar Hadist-hadist palsu
sehingga perlunya kodifikasi hadist yang mulai dilaksanakan secara perdana
dan massal pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdil Aziz. Yang
mereka hanya memperkuat eksistensi golongan dan ras mereka saja.
3.         Pada Kodifikasi Hadist ini melahirkan berbagai ulama dan tokoh-tokoh
Seperti yang kita kenal sampai sekarang yaitu Perawi Hadist-hadist shahih
seperti Imam Bukhari dan Muslim, Athurmudzi, Suanan Abu Daud, dan lain-
lain yang  masih banyak lagi.

4.         Dari sejarah kodifikasi hadist ini, kita bisa mengetahui kapan masa
jaya, kapan masa kodifikasi yang banyak memunculkan para ulama ahli hadist
yang banyak memhasilkan kitab-kitab hadist dan pada masa periode siapa
kitab-kitab hadist shahih bermunculan, mulai dari pertama kali di kodifikasi
sampai pada masa periode terakhir kemunduran islam itu sendiri.
Hadist Palsu dan Para Pemalsu Hadits  Al maudhu’ (‫)الموضوع‬: Hadits yang
didustakan atas Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits maudhu’
merupakan hadits yang tertolak (1). Tidak boleh disebutkan kecuali disertai
penjelasan tentang kepalsuannya dlm rangka memperingatkan bahwa hadits
tersebut palsu. Sebagaimana sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, ‫من حدث‬
‫“ عني بحيث يرى أنه كذبٌ فهو احد الكاذبين‬Barang siapa mengucapkan dariku dgn
sebuah hadits yang dia kira bahwa hadits tersebut adalah dusta maka dia salah
seorang pendusta.” (HR Muslim) Tanda-tanda hadits palsu Pengakuan orang
yang memalsukannya. Bertentangan dgn akal. Misalnya, kandungan hadits
tersebut mengumpulkan dua hal yang bertentangan, menetapkan hal yang
mustahil, meniadakan adanya sesuatu yang harus ada, & selainnya.
Bertentangan dgn yang diketahui secara pasti sebagai bagian dari agama.
Misalnya hadits tersebut mengingkari salah satu rukun Islam, menghalalkan
riba & selainnya, menetapkan waktu terjadinya kiamat, atau menetapkan
mungkin ada nabi setelah nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam &
selainnya. Hadits-hadits maudhu’ banyak sekali diantaranya: Hadits-hadits
tentang ziarah kubur Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam Hadits-hadits tentang
keutamaan bulan Rajab & keistimewaan sholat di bulan tersebut. Hadits-hadits
tentang hidupnya nabi Khidhir, sahabat nabi Musa ‘alaihissholatu wasalam &
bahwasannya beliau datang menemui nabi serta menghadiri pemakaman Nabi.
Hadits-hadits palsu tentang berbagai hal: “Cinta tanah air adalah bagian dari
iman” “Sebaik-baik nama adalah yang mengandung pujian & penghambaan”
“Aku melarang jual beli dgn syarat” “Hari puasa kalian adalah hari kalian
menyembelih kurban” “Cintailah orang arab karena tiga hal, karena aku
adalah orang arab, Al Quran itu berbahasa arab, & bahasa penghuni surga
adalah bahasa arab” “Ikhtilaf umatku adalah rahmat” “Bekerjalah utk dunia
seolah engkau hidup selamanya, & bekerjalah utk akhirat seolah engkau akan
mati esok hari” “Cinta dunia adalah sumber dari segala dosa” Banyak dari ahli
hadits yang menulis buku utk menjelaskan hadits-hadits palsu dlm rangka
membela sunnah dam memperingatkan umat darinya semisal: Maudhu’at
Kubro (‫)الموضوعات الكبرى‬. Ditulis oleh Ibnu Jauzi yang wafat pada tahun 597
H. Akan tetapi kitab ini tak mencakup semua hadits palsu, & di dalamnya
dimasukkan hadits-hadits yang sebenarnya tak palsu. Fawaidul Majmu’atu Fil
Ahadiysil Maudhu’ah (‫)الفوائد المجمعة في األحاديث‬, ditulis oleh Asy Syaukani yang
wafat pada tahun 1250 H. Di dalamnya penulis mudah memberikan vonis
palsu sehingga beliau memasukkan hadits-hadits yang bukan maudhu’ ke
dalamnya. Tanzihusy Syari’atil Marfu’atu ‘Anil Akhbarisy Syani’atil
Maudhu’ah (‫)تنزيه الشريعة المفوعة عن األخبار الشنيعة الموضوعة‬, ditulis oleh Ibnu
‘Iroqi yang wafat pada tahun 963 H. Kitab ini termasuk kitab terlengkap yang
ditulis mengenai hal ini. Pemalsu hadits sangat banyak Diantara tokoh
pemalsu hadits yang terkenal adalah: Ishaq bin Najh Al Malathi, Makmun bin
Ahmad Al Harowi, Muhammad ibnu As Saib Al Kulbi, Al Mughiroh bin Sa’id
Al Kufi, Muqotil bin Abi Sulaiman, Al Waqidi, Ibnu Abi Yahya. Pemalsu
hadits itu terdiri dari beberapa kelompok, diantaranya: Az Zindik Yaitu
mereka yang pura-pura masuk Islam utk merusak akidah kaum muslimin, &
memperburuk citra islam, & merubah hukum Islam. Misal: Muhammad bin
Sa’id Al Mashlub yang dibunuh oleh Abu Ja’far Al Manshur. Dia memalsukan
hadits dari Anas rodhiallahu ‘anhu yang disandarkan pada Nabi shollallahu
‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya aku adalah penutup nabi, tak ada nabi
setelahku kecuali yang Allah kehendaki.” Yang lain adalah ‘Abdul Karim bin
Abi Al ‘Aujai yang dibunuh oleh salah seorang gubernur Abasiyah di
Bashroh. Dia berkata saat dibawa untuk dibunuh, “Sesungguhnya aku telah
membuat di tengah-tengah kalian empat ribu hadits. Di dalamnya aku
haramkan yang halal & aku halalkan yang haram.” Sungguh dikatakan bahwa
orang-orang zindik telah memalsukan atas nama Rosulullah shollallahu ‘alaihi
wa sallam sebanyak 14.000 hadits. Orang yang hendak mencari muka kepada
kholifah atau gubernur. Misalnya Ghiyats bin Ibrohim. Ia pergi menemui
Khalifah Al Mahdi yang sedang bermain burung merpati. Dikatakan padanya,
“Sampaikan hadits pada amirul mukminin”, maka dia menyebutkan sebuah
sanad untuk membuat hadits palsu atas Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam
bahwasannya Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh ada
taruhan kecuali pada pacuan unta, melempar tombak, memanah, atau pacuan
merpati.” Mendengar itu, Al Mahdi berkata “Aku yang menjadi penyebab
orang itu membuat hadits palsu”, kemudian beliau meninggalkan burung
merpati tersebut & memerintahkan untuk disembelih (2). Orang yang mencari
perhatian kepada orang awam, dengan menyebut cerita yang aneh-aneh dalam
rangka memotivasi mereka untuk berbuat taat, menakuti-nakuti mereka untuk
berbuat maksiat, untuk mencari harta (3), atau mencari kedudukan.,Semacam
tukang-tukang kisah di masa silam, yaitu orang-orang yang berbicara,
memberikan pengajian di masjid-masjid di tempat orang berkumpul dgn cerita
yang membuat keterpengahan, berupa cerita yang aneh-aneh. Semisal dari
Imam Ahmad ibn Hambal & Imam Yahya ibn Ma’in. Keduanya suatu hari
sholat di masjid Rosafah. Setelah selesai sholat berdirilah seorang tukang
kisah/penceramah yang kemudian dia bercerita & mengatakan “Bercerita
kepada kami Ahmad ibn Hambal & Yahya ibn Ma’in kemudian menyebutkan
sanad sampai Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia
mengatakan, “Barang siapa yang mengucapkan la ilaha illallah maka Allah
ciptakan untuk setiap kalimat seekor burung, paruhnya dari emas, & bulunya
dari marjan (semacam tumbuh-tumbuhan yang indah) kemudian dia sebutkan
sebuah kisah yang panjang (4).” Ketika telah selesai bercerita, maka kemudian
dia mengambil pemberian dari hadirin yang terkesima dengan ceritanya.
Kemudian Imam Yahya ibn Ma’in berisyarat dengan tangannya kepada orang
tersebut. Maka dia datang karena mengira akan mendapat uang. Imam Yahya
ibn Ma’in bertanya kepadanya, “Siapa yang bercerita kepadamu hadits seperti
ini?”  Maka orang tersebut menjawab tanpa merasa bersalah, “Yang bercerita
adalah Ahmad ibn Hambal & Yahya ibn Ma’in (5).” Maka Yahya ibn Ma’in
mengatakan, “Saya ini Yahya ibn Ma’in & sebelah saya ini adalah Ahmad ibn
Hambal. Dan kami tak pernah mendengar hadits seperti ini dalam haditsnya
Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka si tukang cerita itu berkata,
“Aku tak pernah mengira kalau Yahya ibn Ma’in & Ahmad ibn Hambal itu
lebih bodoh daripada dari hari ini. Memangnya Ahmad ibn Hambal & Yahya
ibn Ma’in di dunia ini hanya dua saja.” Maka si tukang cerita berkata dengan
beraninya, “Selalu saja aku dengar bahwasannya Yahya ibn Ma’in itu lebih
dungu yang kuperkirakan kecuali pada detik ini. Aku tak pernah mengira
Yahya ibn Ma’in seorang bodoh, & tak pernah kuperkirakan ia ternyata lebih
bodoh lagi dari hari ini. Seakan-akan di dunia ini tak ada Yahya ibn Ma’in &
Ahmad ibn Hambal kecuali kalian berdua.  Sungguh aku telah menulis hadits
dari 17 orang yang bernama Ahmad ibn Hambal & 17 orang yang bernama
Yahya ibn Ma’in.” Maka Imam Ahmad pun meletakkan lengan bajunya ke
wajahnya & mengatakan kepada Yahya ibn Ma’in, “Biarkan dia pergi.” Lalu
dia berdiri dengan gaya seperti orang yang mengejek Yahya ibn Ma’in &
Ahmad ibn Hambal (6).   Semangat membela agama (7) Akhirnya membuat
hadits-hadits palsu tentang keutamaan Islam & hal-hal yang berkaitan
dengannya, tentang zuhud di dunia & semacam itu. Maksudnya mulia, lillahita
‘ala tak utk mendapat uang tapi agar orang mempunyai perhatian terhadap
agama. Semacam yang dilakukan Abu ‘Ishmah Nuh ibn Abi Maryam. Padahal
dia seorang hakim di daerah Marwa. Dia membuat hadits-hadits palsu tentang
keutamaan surat-surat Al-Qur’an, surat persurat (8). Kemudian diia
mengatakan motivasi membuat hadits palsu, “Sungguh aku lihat banyak orang
berpaling dari membaca Al-Qur’an. Orang sibuk mempelajari fiqh Abu
Hanifah & kitab Siroh Ibnu Ishaq. Maka aku membuat hadits palsu tersebut”
Karena penyakit fanatik Yaitu orang yang fanatik dgn madzhab fiqih atau
suatu metode atau suatu negara yang dia ikuti (9). Mereka membuat hadits-
hadits tentang sesuatu yang mereka fanatik dgn menyanjung-nyanjungnya,
semacam perbuatan Maisaroh ibn Abdu Robbihi yang mengaku telah
memalsukan hadits Nabi sebanyak 70 hadits tentang keutamaan Ali ibn Abi
Thalib . Tidak boleh dijadikan dalil Dalam hadits ini, terdapat tiga jenis
permainan yang itu diperbolehkan dgn bertaruh, boleh juga tanpa bertaruh.
Oleh karena itu, Syaikh Abdurrohman As Sa’di rohimahullah, membagi
permainan menjadi tiga jenis, Permainan yang haram, baik menggunakan
taruhan atau tidak. Misal : permainan yang menggunakan dadu, catur.
Permainan yang halal, yang diperbolehkan menggunakan taruhan atau tidak,
yaitu tiga jenis lomba ini. Permainan yang halal jika tak menggunakan
taruhan. Yaitu perlombaan yang selain tiga jenis ini. Demikian yang beliau
katakan di Qowaid wal Ushul Jamiah. Semacam meningkatkan oplah majalah.
Khusus di tempat kita majalah Hidayah. Lengkapnya tentang hadits dia ini ada
di Durotun Nasihin di bab Keutamaan La ilaha illallah. Dibuku yang lain ada
penjelasan, mereka saling bertanya, “Kamu pernah bercerita?”. Keduanya
saling menjawab tidak. Kalau yang ada sekarang, misalnya ada yang
meninggal, kemudian tanah tak bisa menerimanya, tubuhnya bau, tubuhnya
penuh belatung. Kemudian tukang cerita seakan-akan tahu yang ghoib
mengatakan, “Ini seperti ini karena durhaka pada orang tua”. Padahal dosanya
banyak sekali misalnya berjudi, tak sholat. Darimana dia dapat memastikan
belatung itu karena durhaka pada orangtua. Darimana tahu bahwa ini & itu
berhubungan. Adzab Allah Ta’ala adalah sesuatu yang ghoib. Itulah tukang
kisah di zaman ini. Kalau tukang kisah di masa silam membuat sanad palsu,
hadits palsu. Ulama menyebutnya, membuat hadits karena motivasi ihtisaban
(karena lillahi Ta’ala) namun membuat hadits palsu. Mereka mengatakan yang
dilarang adalah “Barangsiapa berdusta atas namaku” sedangkan yang kami
lakukan, “Barangsiapa berdusta yang menguntungkan Rosulullah”, jadi kami
tak dosa. Ini terjadi karena semangat tanpa ilmu. Mutahamisun terjadi karena
semangat yang luar biasa terhadap agama. Yang menyedihkan, adalah ada
orang yang menulis buku & isinya mencantumkan hadits-hadits palsu ini &
lebih menyedihkan lagi bukunya sudah diterjemahkan. Bahkan karena sangat
fanatiknya dgn seseorang sampai ada yang membuat hadits palsu. Semacam
hadits, “Lentera umatku adalah Abu Hanifah & akan muncul di tengah-tengah
umatku manusia yang lebih bahaya daripada Dajjal yang bernama Muhammad
ibn Idris As Syafi’i”. Hadits-hadits ini muncul karena fantaik berat dgn
madzhab. www.muslimah.or.id
 Pengertian Periwayatan Hadis

Terhimpunnya hadis dalam kitab-kitab hadis semisal Shahih


Bukhari dan Shahih Muslim telah melalui kegiatan yang dinamai
dengan riwayatul hadis atau al-riwayat. Dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan dengan menceritakan hadis atau periwayatan[5]. Sesuatu yang
di riwayatkan secara umum juga biasa disebut dengan riwayat[6].
Kata riwayat adalah masdar dari kata
kerja rawa yang berarti naql dan zikir. Artinya adalah penukilan dan
penyebutan[7]. Dalam istilah ilmu hadis, riwayatadalah kegiatan penerimaan
dan penyampaian hadis.
Perawi hadis adalah orang yang menerima hadis dari guru dan kemudian
menyampaikan atau mengajarkannya kepada orang lain (murid). Dengan
demikian ada dua fungsi perawi, yaitu menerima dan menyampaikan. Seorang
sahabat yang menerima hadis dari Rasul, misalnya, tetapi dia tidak
menyampaikannya kepada yang lain, maka ia tidak disebut perawi. Adapun
proses penerimaan dan penyampaian hadis kepada yang lain disebut
periwayatan.
Seorang perawi hadis dituntut menyampaikan hadis yang diterimanya dari
rasul atau sahabat kepada lain seperti apa yang didengarnya tanpa disertai
komentar. Perawi bukan pensyarah atau penjelas hadis yang
disampaikan. Apabila ia memberi tambahan penjelasan atau
komentar, maka tidak disebut materi hadis.Oleh sebab itu dia bukan perawi
yang dipercaya dan diterima riwayatnya[8].
Secara istilah riwayah adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis,
serta penyandaran hadis itu kepada para periwayatnya dengan bentuk-bentuk
tertentu.
Beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis adalah
sebagai berikut:
Orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal
dengan   rawi (periwayat)
Apa yang diriwayatkan
Susunan rangkaian para periwayat (sanad/isnad)
 Kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal
dengan matan, dan
Kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian
hadis (at-tahamul wa ada al-hadis).
C.     Periwayatan dengan lafaz (riwayat bil lafzi)

Meriwayatkan hadis dengan lafaz adalah meriwayatkan hadis sesuai dengan


lafaz yang mereka terima dari Nabi Muahmmad. Dengan istilah lain yaitu
meriwayatkan hadis dengan lafaz yang masih asli dari Nabi
Muhammad SAW. Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadis melalui
jalur ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari
Nabi Muhammad SAW bukan menurut redaksi mereka. Malahan semua
sahabat menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzi bukan maknawi[9].
Tercatat dalam sejarah, bahwa para sahabat nabi adalah orang yang sangat
berhati-hati dan ketat dalam periwayatan hadis. Mereka tidak mau
meriwayatkan sebuah hadis hingga yakin betul teks serat huruf demi huruf
yang akan disampaikan itu sama dengan yang mereka terima dari Nabi
Muhammad SAW.
Sebagian sahabat ada yang jika ditanya tentang sebuah hadis merasa lebih
senang jika sahabat lain yang menjawabnya. Hal demikian agar ia terhindar
dari kesalahan periwayatan. Menurut mereka, apabila hadis yang diriwayatkan
itu tidak sesuai dengan redaksi yang diterima, mereka telah melakukan
perbuatan dosa,seolah-olah telah melakukan pendustaan terhadap nabi
Muhammad SAW. Kekhawatiran tersebut karena didorong oleh rasa keimanan
mereka yang kuat kepada Nabi Muhammad SAW[10].
Dalam hal ini Umar bin Khatab pernah berkata:
‫من سمع حديثا فحدث به كما سمع فقد سلم‬
Artinya: “Siapa yang mendengar sebuah hadis kemudian ia
meriwayatkannyaseperti  yang ia dengar, maka ia telah selamat”[11]

Periwayatan dengan lafaz ini dapat kita lihat pada hadis-hadis yang memiliki
redaksi sebagai berikut:
1.  ‫سمعت‬  (Saya mendengar)
Contoh:
‫ب َعلَى أَ َح ٍد فَ َم ْن‬ َ ‫ي لَي‬
ٍ ‫ْس َك َك ِذ‬ َّ َ‫ إِ َّن َك ِذبا ً َعل‬:‫ سمعت رسول هللا صلّى هللا عليه وسلّم يقول‬:‫عن المغيرة قال‬
ْ
)‫ار (رواه مسلم وغيره‬ ِ َّ‫ فَ ْليَتَبَوَّأ َم ْق َع َدهُ ِمنَ الن‬¤ً‫ي ُمتَ َع ِّمدا‬
َّ َ‫ب َعل‬
َ ‫َك َذ‬
Artinya: Dari Mughirah ra, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda: “Sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama
orang lain. Maka siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya
ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim dan lain-lainnya)

2. ‫ح ّدثنى‬  ( ia menceritakan kepadaku)


Contoh:
‫صلَّى‬َ ِ‫اَ َّن َرسُوْ ُل هللا‬ ُ‫ض َي هللاُ َع ْنه‬ ِ ‫ب ع َْن ُح َم ْي ِدب ِْن َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ع َْن اَبِى ه َُر ْي َرةَ َر‬ ٌ ِ‫َح َّدتَنِى َمال‬
ٍ ‫ك ع َِن ا ْب ِن ِشهَا‬
َُ‫ضانَ اِ ْي َمانًا َواحْ تِ َسابًا ُغفِ َر له‬
َ ‫ َم ْن قَا َم َر َم‬:‫ال‬ َّ َ
َ َ‫هللاُ َعل ْي ِه َو َسل َم ق‬
‫َما تَقَ َّد َم ِم ْن َذ ْنبِ ِه‬
Artinya: Malik dari Ibnu Syihab telah bercerita kepadaku, dari Humaidi bin
Abdur Rahman dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Siapa
yang melakukan qiyam Ramadhan dengan iman dan ihtisab, diampuni doasa-
dosanya yang telah lalu.”

3.  ‫أخبرنى‬  (Ia memberitakan kepadaku)


4.   ‫رأيت‬  (Saya melihat)
Contoh:
‫ رأيت عمربن الخطّاب رضي هللا عنه يقبّل الحجر “يعنى األسود” ويقول إِنِّى‬:‫عن عبّاس بن ربيع قال‬
‫ك َما قَب َّْلتُكَ (رواه‬
َ ُ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يُقَبِّل‬ ُ ‫ك َح َج ٌر الَتَضُرُّ َوالَ تَ ْنفَ ُع َولَوْ الَ أَنِّى َرأَي‬
َ ِ‫ْت َرسُوْ َل هللا‬ َ َّ‫الَ َء ْعلَ ُم أَن‬
)‫البخارى ومسلم‬

Artinya: Dari Abbas bin Rabi’ ra., ia berkata: Aku melihat Umar bin
Khaththab ra., mencium Hajar Aswad lalu ia berkata: “Sesungguhnya benar-
benar aku tahu bahwa engkau itu sebuah batu yang tidak memberi mudharat
dan tidak (pula) memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah
SAW. menciummu, aku (pun) tak akan menciummu.” (HR. Bukhari dan
Muslim)

Hadis yang menggunakan lafaz-lafaz di atas memberikan indikasi, bahwa para


sahabat langsung bertemu dengan Nabi SAW dalam meriwayatkan hadis. Oleh
sebab itu para ulama menetapkan periwayatan hadis dengan lafaz dapat
dijadikan hujjah, dan tidak ada khilaf.

D.    Periwayatan dengan ma’na (riwayat bil ma’na)

Meriwayatkan hadis dengan makna adalah meriwayatkan hadis berdasarkan


kesesuaian maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang
yang meriwayatkan. Dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah
hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan
lafaz atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat
tidak sama daya ingatannya, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di
samping itu kemungkinan masanya sudah lama, sehingga yang masih ingat
hanya maksudnya sementara apa yang diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya
lagi.
Periwayatan hadis dengan makna tidak diperbolehkan kecuali jika perawi lupa
akan lafaz tapi ingat akan makna, maka ia boleh meriwayatkan hadis dengan
makna[12].
Sedangkan periwayatan hadis dengan makna menurut Luis Ma’luf adalah
proses penyampaian hadis-hadis Rasulullah SAW dengan mengemukakan
makna atau maksud yang dikandung oleh lafaz karena kata makna
mengandung arti maksud dari sesuatu[13].
Menukil atau meriwayatkan hadis secara makna ini hanya diperbolehkan
ketika hadis-hadis belum terkodifikasi. Adapun hadis-hadis yang sudah
terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak
diperbolehkan merubahnya dengan lafaz/matan yang lain meskipun maknanya
tetap.
Dengan kata lain bahwa perbedaan sehubungan dengan periwayatan hadis
dengan makna itu hanya terjadi pada masa periwayatan dan sebelum masa
pembukuan hadis. Setelah hadis dibukukan dalam berbagai kitab, maka
perbedaan pendapat itu telah hilang dan periwayatan hadis harus mengikuti
lafaz yang tertulis dalam kitab-kitab itu, karena tidak perlu lagi menerima
hadis dengan makna[14].
Pada umumnya para sahabat Nabi membolehkan periwayatan hadis secara
makna, seperti: Ali bin Abi Talib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin
Mas’ud(wafat 32 H/652 M), Anas bin Malik (wafat 93 H/711 M), Abu Darda’
(wafat 32  H/652 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M) dan Aisyah istri
Rasulullah (wafat 58 H/678 M). Para sahabat Nabi yang melarang periwayatan
hadis secara makna, seperti: Umar bin Al-khattab, Abdullah bin Umar bin al-
Khattab dan Zaid bin Arqam[15].
Terjadinya periwayatan secara lafaz disebabkan beberapa faktor berikut:
a.       Adanya hadis-hadis yang memang tidak mungkin diriwayatkan secara
lafaz, karena tidak adanya redaksi langsung dari nabi Muhammad SAW,
seperti hadis fi’liyah, hadis taqririyah, hadis mauquf dan hadis maqthu’.
Periwayatan hadis-hadis tersebut adalah secara makna dengan menggunakan
redaksi perawi sendiri.
b.      Adanya larangan nabi untuk menuliskan selain Alquran. Larangan ini
membuat sahabat harus menghilangkan tulisan-tulisan hadis. Di samping
larangan, ada pemberitahuan dari nabi tentang kebolehan menulis hadis
c.       Sifat dasar manusia yang pelupa dan senang kepada kemudahan,
menyampaikan sesuatu yang dipahami lebih mudah dari pada mengingat
susunan kata-katanya[16].

Adapun contoh hadis ma’nawi adalah sebagai berikut:


‫ب‬ َ ‫د اَ ْن تَ ِه‬¤َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َواَ َرا‬َ ‫ت اِ ْم َرأَةٌ اِلَى النَّبِ ِّي‬ ْ َ‫َجائ‬
ُ‫ارس ُْو َل هللاِ اَ ْن ِكحْ نِ ْيهَا َولَ ْم يَ ُك ْن َم َعه‬َ َ‫ ي‬:‫نَ ْف َسهَالَهُ فَتَقَ َّد َم َر ُج ٌل فَقا َ َل‬
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ‫آن فَقا َ َل لَهُ النَّبِ ُّي‬ِ ْ‫ْض ْالقُر‬
ِ ‫ِم َن ْال َمه ِْر َغي َْر بَع‬
‫ك‬َ ‫ قَ ْد َز َّوجْ تُ َكهَا ِب َما َم َع‬,‫آن وفىرواية‬ ِ ْ‫ك ِم َن ْالقُر‬ َ ‫اَ ْن َكحْ تُ َكهَا بِ َما َم َع‬
,‫رآن وفىرواية‬ ِ ُ‫ك ِم َن ْالق‬ َ ‫ َز َّوجْ تُ َكهَا َعلَى َم َع‬,‫آن وفىرواية‬ ِ ْ‫ِم َن ْالقُر‬
)‫رآن (الحديث‬ ِ ُ‫ك ِم َن ْالق‬ َ ‫َملَ ْكتُ َكهَا بِ َما َم َع‬

Artinya: Ada seorang wanita datang menghadap Nabi SAW, yang bermaksud


menyerahkan dirinya (untuk dikawin) kepada beliau. Tiba-tiba ada seorang
laki-laki berkata: Ya Rasulullah, nikahkanlah wanita tersebut kepadaku,
sedangkan laki-laki tersebut tidak memiliki sesuatu untuk dijadikan sebagai
maharnya selain dia hafal sebagian ayat-ayat Alquran. Maka Nabi SAW
berkata kepada laki-laki tersebut: Aku nikahkan engkau kepada wanita
tersebut dengan mahar (mas kawin) berupa mengajarkan ayat Alquran.

Dalam satu riwayat disebutkan:


“Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar berupa
(mengajarkan) ayat-ayat Alquran.”

Dalam riwayat lain disebutkan:


“Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut atas dasar mahar berupa
(mengajarkan) ayat-ayat Alquran.”

Dan dalam riwayat lain disebutkan:


“Aku jadikan wanita tersebut milik engkau dengan mahar berupa
(mengajarkan) ayat-ayat Alquran.” (Al-Hadis)

E.     Hukum Periwayatan Hadis secara Makna

Telah terjadi perselisihan pendapat antara ulama tentang hukum periwayatan


hadis secara makna. Perselisihan itu terjadi sebelum dikodifikasinya hadis.
Sedangkan setelah pentadwinan dengan berbagai karangan-karangan buku
hadis maka tidak boleh adanya periwayatan hadis secara makna[17].
Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan meriwayatkan hadis secara
makna. Sebagian ahli hadis, ahli ushul dan ahli fiqh mengharuskan para
perawi meriwayatkan hadis dengan lafaznya yang didengar, tidak boleh ia
meriwayatkan hadis dengan maknanya sekali-kali.
Sedangkan jumhur ulama, yaitu imam yang empat memperbolehkan
periwayatan hadis secara makna bagi yang mempunyai ilmu terhadap lafaz-
lafaz hadis dengan catatan bukan hadis yang berhubungan dengan ibadah dan
bukan perkataan Rasulullah[18].
Ulama-ulama lain berpendapat membolehkan seseorang mendatangkan atau
meriwayatkan hadis dengan pengertiannya tidak dengan lafaz aslinya. Apabila
ia seorang yang menguasai ilmu Bahasa Arab, mengetahui sistem
penyampaiannya, berpandangan luas tentang fiqh, dan kemungkinannya lafaz-
lafaz yang mempunyai beberapa pengertian sehingga akan terjaga dari
pemahaman yang berlainan dan hilangnya kandungan hukum dari hadis
tersebut dan wajib menyampaikan dengan lafaz yang ia dengar dari gurunya.
Imam Syafi’i menerangkan tentang sifat-sifat perawi bahwa hendaknya orang
yang menyampaikan hadis itu seorang yang kepercayaan tentang agamanya
lagi terkenal bersifat benar dalam pembicaraannya, memahami apa yang
diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafaz dan
hendaklah dia dari orang yang menyampaikan hadis persis sebagaimana yang
didengar, bukan diriwayatkan dengan makna.
Apabila diriwayatkan dengan makna sedang dia seorang yang tidak
mengetahui hal-hal yang memalingkan makna niscaya tidaklah dapat kita
mengetahui boleh jadi ia memalingkan yang halal kepada yang haram. Tetapi
apabila ia menyampaikan hadis secara yang didengarnya, tidak lagi kita
khawatir bahwa dia memalingkan hadis kepada yang bukan maknanya. Dan
hendaklah ia benar-benar memelihara kitabnya jika dia meriwayatan dengan
hadis itu dari kitabnya.
Dari penjelasan ini nyatalah bahwa orang yang mengetahui hal-hal yang
memalingkan makna dari lafaz, boleh meriwayatkan dengan makna apabila
dia tidak ingat lagi lafaz yang asli, karena dia telah menerima hadis, lafaz dan
maknanya.
Imam Mawardi mewajibkan menyampaikan hadis dengan maknanya apabila
lupa lafaznya, khawatir apabila hadis itu tidak disampaikan, kita termasuk
golongan yang menyembunyikan hadis.
Ada pendapat lain yang membolehkan meriwayatkan hadis dengan maknanya
saja dengan syarat bahwa hadis itu bukan yang diibadati dan ini hanya terjadi
pada periode sahabat dan tabi’in, dan dibolehkan hanya bagi ahli-ahli ilmu
saja. Menjaga kehati-hatian dalam meriwayatkan hadis yang hanya dengan
maknanya itu setelah meriwayatkan hadis harus memakai kata-kata  ‫كما‬
‫قال‬ dan ‫شبهه‬ serta yang serupa dengannya.
Secara lebih terperinci dapat dikatakan bahwa meriwayatkan hadis dengan
maknanya itu sebagai berikut:
1.    Tidak diperbolehkan, pendapat segolongan ahli hadis, ahli fiqh dan
ushuliyyin.
2.    Diperbolehkan, dengan syarat yang diriwayatkan itu bukan hadis marfu’.
3.     Diperbolehkan, baik hadis itu marfu’ atau bukan asal diyakini bahwa
hadis itu tidak menyalahi lafaz yang didengar, dalam arti pengertian dan
maksud hads itu dapat mencakup dan tidak menyalahi.
4.    Diperbolehkan, bagi para perawi yang tidak ingat lagi lafaz asli yang ia
dengar, kalau masih ingat maka tidak diperbolehkan menggantinya.
5.    Ada pendapat yang mengatakan bahwa hadis itu yang terpenting adalah
isi, maksud kandungan dan pengertiannya, masalah lafaz tidak jadi persoalan.
Jadi diperbolehkan mengganti lafaz dengan murodif-nya.
6.    Jika hadis itu tidak mengenai masalah ibadah atau yang diibadati,
umpamanya hadis mengenai ilmu dan sebagainya, maka diperbolehkan
dengan catatan:
a.       Hanya pada periode sahabat
b.      Bukan hadis yang sudah didewankan atau di bukukan
c.       Tidak pada lafaz yang diibadati, umpamanya tentang
lafaz tasyahuddan qunut.

F.      Syarat–syarat  Periwayatan  Secara Makna

Keabsahan periwayatan hadis bil secara mkna memunculkan kontroversi di


kalangan ulama. Abu Bakar ibn al Arabi (w. 573 H/1148) berpendapat bahwa
selain sahabat Rasulullah SAW tidak diperkenankan meriwayatkan hadis
secara makna.
Lebih jauh, Abu Bakar mengemukakan alasan yang mendukung pendapatnya
tersebut. Pertama, sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi dan
kedua, sahabat menyaksikan langsung keadaan perbuatan Nabi SAW.
Namun, pendapat yang populer di kalangan ulama hadis menyatakan selain
sahabat diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna dengan beberapa
ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu :
1.      Memiliki pengetahuan bahasa Arab. Dengan demikian periwayatan
matan hadis akan terhindar dari kekeliruan.
2.      Periwayatan dengan makna dilakukan bila sangat terpaksa misalnya
karena lupa susunan secara lafaz atau harfiah.
3.      Yang diriwayatkan dengan makna bukan merupakan bentuk bacaan
bacaan yang sifatnya ta’abbudi, seperti zikir, doa, azan, takbir dan syahadat,
serta bukan yang berbentuk jawami al kalim.
4.      Periwayat hadis secara makna atau mengalami keraguan akan susunan
matan hadis yang diriwayatkannya agar menambah kata ‫اوكما قال‬atau  ‫او نحو‬
‫هدا‬atau yang semakna dengannya setelah menyatakan matan hadis yang
bersangkutan.
5.      Kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya terbatas pada masa
sebelum dibukukannya hadis secara resmi. Sesudah masa pembukuan
(kodifikasi) hadis, periwayatan hadis harus secara lafaz.

Para sahabat lainnya berpendapat bahwa dalam keadaan darurat karena tidak
hafal persis seperti yang di wurud-kan Rasulullah SAW, dibolehkan
meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya
periwayatan hadis yang matannya tidak sama dengan yang didengarnya dari
Rasulullah SAW, tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh sesuai
dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW.
Shubhi Ismail menyebut empat syarat yang harus dipenuhi periwayatan
dengan makna adalah pertama, perawi hadis itu betul-betul seorang yang alim
mengenai ilmu nahwu, sharaf dan ilmu bahasa Arab; kedua, perawi itu harus
mengenal dengan baik segala madlul lafaz dan maksud-maksudnya; ketiga,
perawi itu harus betul-betul mengetahui hal-hal yang berbeda di antara lafaz-
lafaz tersebut; dan keempat, perawi itu harus mempunyai kemampuan
menyampaikan hadis dengan penyampaian yang benar dan jauh dari kesalahan
atau kekeliruan.
Di samping empat syarat tersebut Abu Rayyah menambah satu syarat lagi,
yaitu tidak boleh penambahan atau pengurangan di dalam terjemahan
(penyampaian hadis dengan makna) terserbut. Apabila syarat-syarat tersebut
tidak terpenuhi, maka tidak boleh meriwayatkan hadis bil ma’na, tetapi boleh
meriwayatkan bi al-lafzh.

G.    Kesimpulan

Dari kajian di atas maka dapat diperoleh poin-poin sebagai berikut :


1.    Dengan ucapan dan tutur bahasa sebagaimana yang didengar dari Nabi
SAW, dengan tidak mengurangi atau menambahnya. Inilah yang kemudian
dikenal dengan periwayatan hadis secara lafdzi. Hadis yang diterima dengan
cara ini ditetapkan oleh para ulama sebagai hujjah dengan tidak ada khilaf.
2.    Dengan pengertian atau maksudnya, sedangkan lafaz dan ucapan (susunan
bahasa) disusun sendiri. Hal inilah yang kemudian disebut dengan periwayatan
hadis secara makna.
3.    Periwayatan hadis dengan makna diperlukan syarat-syarat tertentu yang
akan memelihara kemurnian dan keotentikan hadis.
4.    Meskipun pendapat yang populer membolehkan periwayatan dengan
makna,     namun menuntut persyaratan berat bagi perawinya dan periwayatan
hadis dengan lafaz lebih diprioritaskan dan diutamakan.
5.    Penulisan periwayatan hadis secara makna hanya boleh dilakukan oleh
mereka yang benar-benar memenuhi syarat. Sehingga bagi mereka yang
syaratnya belum mencukupi sebaiknya tidak usah melakukan
periwayatan secara makna. Hal ini untuk menjaga supaya hadis tetap menjadi
acuan yang otentik tanpa campur tangan manusia yang mau merubah
(memalingkan) isi hadis tersebut.
6.         Harus memperhatikan pedoman dan ilmu-ilmu yang baku bagi mereka
yang akan melakukan periwayatan secara makna.

Demikianlah makalah ini penulis buat, kritik dan saran dari pembaca merupakan
sebuah keniscayaan untuk melengkapi makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Khatib, Muhammad Ajaj, Ushulul Hadis: Pokok-pokok Ilmu Hadis,2001, Jakarta:


Gaya Media Pratama
Al-Ramaharmuzi, al-Muhaddits al-Fashli Baina al-Rawi wa al-Wa’I, 1984.Beirut:
Dar al-Fikri.
Ismail, M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang
Itir,  Nuruddin, Manhaj al-Naqdi fi Ulumul al Hadis, 1997, Damaskus: Darel Fikri
Jasim, Abdul Aziz Ahmad, Hukmu Riwayat Hadis Nabawi bil
Ma’na,Kuwait: Jami’ah Kuwait
Ma’luf, Luwis, al-Munjid  fi al-Lughah, 1973. Beirut: Dar  al-Masyriq
Munawwir, A.W, Kamus Al-MunawwirArab-Indonesia Terlengkap, 1997. Surabaya:
Pustaka Progresif
Ritonga, A.Rahman, Studi Ilmu-Ilmu Hadis, 2011. Yokyakarta: Interpena
Soetari, Endang, Ulumul Hadis, 1997, Bandung :Amal Bakti Press
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, 2006, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

[1] Abdul Aziz Ahmad Jasim, Hukmu Riwayat Hadis Nabawi  bil Ma’na, (Kuwait:


Jami’ah Kuwait), h. 533
[2] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006), h. 195
[3] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadis: Pokok-pokok Ilmu Hadis, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001), h. 200
[4] Munzier Suparta, op.cit, h. 196
[5] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:
Puataka Progresif, 1997), h.551
[6] M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta:Bulan Bintang), h.23
[7] Luwis Ma’luf, al-Munjid  fi al-Lughah, (Beirut:Dar  al-Masyriq,1973), h.289
[8] A.Rahman Ritonga, Studi Ilmu-Ilmu Hadis, (Yokyakarta:Interpena, 2011), h.178
[9] Munzier Suparta, Op. Cit, h.83
[10] Ritonga, A.Rahman, Op.cit.,h.179
[11] Al-Ramaharmuzi, al-Muhaddits al-Fashli Baina al-Rawi wa al-Wa’I, (Beirut :
Dar al-Fikri.1984), hal.127
[12] Abdul Aziz Ahmad Jasim, Op Cit, h.24
[13] Luwis Ma’luf, Op.cit.
[14] Endang Soetari, Ulumul Hadis, (Bandung :Amal Bakti Press,1997), h.213.
[15] Muhammad Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah qablat-Tadwin, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001) h.126
[16] A.Rahman Ritonga, Op Cit, h.181
[17] Abdul Aziz Ahmad Jasim, Op.cit., h.29
[18] Nuruddin Itir, Manhaj al-Naqdi fi Ulumul al Hadis, (Damsiq : Dar el Fikri,
1997),hal.227

Anda mungkin juga menyukai