Anda di halaman 1dari 12

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Keselamatan Pasien

Keselamatan pasien adalah usaha untuk mengurangi risiko cedera yang tidak

diharapkan dalam pelayanan kesehatan sampai nilai terendah yang bisa diterima.

Batas terendah ini ditentukan oleh pengetahuan terkini, fasilitas yang dimiliki, sumber

daya yang ada, dan prosedur yang dijalankan harus bernilai lebih daripada tanpa

penanganan atau prosedur lain (Panesar et al., 2014).

Reason (2000) menggambarkan konsep keselamatan pasien ini seperti

tumpukan keju Swiss. Di mana terdapat banyak lubang pada tiap lapisan keju. Tiap

lapisan dari keju ini menggambarkan perlindungan yang dibentuk oleh sistem. Dalam

skema ini Reason menjelaskan bahwa kegagalan laten, di mana cenderung dimiliki

oleh individu dalam sistem, hanya akan menjadi kegagalan aktif apabila kegagalan ini

tidak tertangani oleh dinding yang ada, dengan kata lain, kegagalan ini bergerak

melalui celah sistem. Dinding-dinding pelindung itu secara fisik adalah kebijakan dan

prosedur, nilai-nilai profesionalisme, kerjasama dan komunikasi yang baik, peralatan

dan fasilitas yang baik, dan lingkungan kerja yang menunjang keselamatan pasien.

Oleh karena itu, sistem keselamatan pasien bukanlah tugas individu atau seorang

pemimpin, ini adalah tugas kelompok, karena itu para pelaku dalam badan-badan

kesehatan dewasa ini membutuhkan kemampuan berpikir dalam sistem (Panesar et al.,

2014).

Budaya keselamatan pasien atau iklim keselamatan pasien adalah istilah yang

digunakan untuk menjelaskan persepsi sekelompok tenaga kesehatan terhadap norma,


peraturan, dan prosedur yang berhubungan dengan keselamatan pasien (Weaver et al.,

2013).

Dalam keselamatan pasien, dikenal istilah faktor manusia dan ergonomi, atau

“Human Factor and Ergonomic (HFE)” di mana bisa didefinisikan sebagai disiplin

ilmu yang mempelajari tentang faktor manusia dalam badan penyelenggara kesehatan,

di mana hal ini penting dalam pembelajaran ilmu keselamatan pasien, terbukti dengan

kurikulum pendidikan keselamatan pasien WHO yang mengangkat faktor manusia

menjadi salah satu inti kurikulum (Carayon et al., 2013).

2. Manajemen Risiko

Clinical risk management atau manajemen risiko klinis adalah bentuk

manajemen risiko khusus yang mencangkup semua proses, intrumen, aktivitas, dan

struktur yang membuat rumah sakit mampu untuk melakukan mengenali, menganalisa,

dan mengelola risiko bersamaan dengan memberikan penanganan klinis kepada

pasien (Briner et al., 2010). Sistem ini berfokus pada sistem pencatatan risiko, di

mana memiliki 4 tahap, yaitu mengenali risiko, menilai tingkat keparahan dan

frekuensi risiko, mengurangi atau menghilangkan risiko, dan menghitung keuntungan

biaya yang bisa diambil dari menurunnya risiko atau kerugian yang dapat ditimbulkan

oleh kejadian yang tidak diharapkan. Manajemen risiko yang efektif merupakan kerja

kelompok, sehingga pemahaman dan pola pikir dari tiap anggota kelompok tenaga

kesehatan harus mengarah ke tujuan keselamatan pasien dan relevansinya ke lokasi

kerja masing-masing (WHO, 2009).

Menurut Reason (2000), kegagalan aktif, atau tindakan yang tidak diharapkan

memiliki dua faktor, yaitu: (1) faktor manusia melakukan kesalahan atau human

error; (2) faktor manusia melanggar aturan atau prosedur (violations).


a. Kesalahan manusia

Menurut Reason, kesalahan manusia yang secara langsung mengakibatkan

Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) dapat dikategorikan menjadi slips, lapse, dan

mistakes.

1) Slips, adalah kesalahan di mana suatu keputusan atau rencana sudah benar

namun mengalami kegagalan dalam penyelesaian tindakan (eksekusi).

2) Lapses, adalah kesalahan yang memiliki arti hampir sama dengan slips, namun

lebih mengarah pada hal yang tidak terlihat, seperti kendala memori atau daya

ingat, sedangkan slips mengarah ke kegagalan perhatian atau persepsi.

3) Mistakes, adalah suatu kesalahan yang disebabkan karena kurangnya

pemahaman atau keterampilan yang cukup, terutama di hadapan masalah yang

sulit.

b. Pelanggaran

Reason (2000) mengartikan pelanggaran sistem sebagai tindakan di mana

seseorang tidak menjalankan prosedur, peraturan, dan standar keamanan yang

telah ditetapkan, hal ini pun dibagi menjadi 3 jenis yaitu pelanggaran bersifat

routine violations, optimizing violations, dan necessary violation. Routine

violation adalah pelanggaran yang sudah dilakukan sebagai kebiasaan, karena

dianggap kecil dan tidak masalah, seperti tidak mencuci tangan sebelum dan

sesudah menyentuh pasien. Optimizing violation adalah pelanggaran yang

dilakukan untuk melebihkan sesuatu, seperti membiarkan dokter muda melakukan

tindakan yang sulit tanpa pengawasan karena pasien memiliki hubungan khusus

dengan dokter tersebut, atau mengubah hasil pengamatan pasien untuk


kepentingan nama baik dan ketenaran. Necessary violation adalah pelanggaran

karena situasi yang mendesak, seperti tidak melakukan prosedur yang lengkap

karena ketiadaan waktu maupun fasilitas ketika dibutuhkan (WHO, 2009).

3. Pendidikan Keselamatan Pasien

Sejak laporan Institute of Medicine tahun 1999 oleh James Reason, “To Err

is Human,” banyak upaya telah dilakukan untuk mengimplementasikan

keselamatan pasien dalam pendidikan tenaga kesehatan. Pada tahun 2009 World

Health Organization mengeluarkan panduan kurikulum pendidikan keselamatan

pasien untuk sekolah kedokteran, kurikulum ini berfokus pada 11 topik yang

terdiri baik dari kompetensi teknis, kompetensi non-teknis, dan topik

profesionalitas, panduan ini ditujukan untuk mendorong upaya pengenalan dan

pendidikan sistem keselamatan pasien (WHO, 2009).

Pada tahun 2011, beberapa universitas di Inggris dan Amerika Serikat telah

mengimplementasikan keselamatan pasien ke dalam kurikulum S1, walaupun

kebanyakan masih berupa kursus elektif, bukan topik formal dalam kurikulumnya

(Nie et al., 2011). Beberapa Beberapa mengalami hambatan internal, seperti pada

implementasi pada kurikulum Florida State University College of Medicine

(FSUCOM), di mana lokasi edukasi dibagi menjadi beberapa daerah, dengan

ketidakadaan rumah sakit pendidikan (Tsilimingras et al., 2012). Beberapa

instansi lain juga telah memulai pendidikan keselamatan pasien dalam bentuk

kursus pendek, baik dalam beberapa waktu atau kursus sehari, seperti pada

Imperial College UK, di mana residen bedah dari 19 rumah sakit di London

mendapat pelatihan setengah hari tentang keselamatan pasien dalam bentuk

kuliah, simulasi, dan kelompok diskusi, di mana hasil postest pelatihan


menunjukkan peningkatan pada pengetahuan dan kesadaran pesertanya (Arora et

al., 2012).

Melalui studinya, Griswold et al (2012), menghasilkan data di mana

simulasi dalam pendidikan, terutama pendidikan keselamatan pasien dapat

meningkatkan kerjasama kelompok dan kemampuan individu, karena dapat selain

meningkatkan pemahaman, dan kemampuan teknis, juga meningkatkan

kepercayaan diri tenaga kesehatan tanpa berisiko melukai pasien.

Dalam pembuatan kurikulum pendidikan keselamatan pasien, perlu disadari

bahwa keselamatan pasien berfokus pada tindakan preventif, bukan penanganan

kesalahan yang sudah terjadi, jadi idealnya, hal inilah yang seharusnya menjadi

topik utama dalam rancangan pendidikan tersebut (Moskowitz et al., 2007).

4. Pembedahan yang Aman

Seiring berkembangnya sistem keselamatan pasien, beberapa badan dan sarana

baru diperkenalkan, seperti checklist oleh WHO 2009, dalam kampanye "Safe Surgery

Saves Lives" yang diperkenalkan dengan nama "WHO Surgical Safety Checklist.”

Pada tahun 2009, sistem ini diperkenalkan di Inggris dan Wales, yang pada April

2010, mulai implementasikan ke semua rumah sakit di Inggris dan Wales, dengan

pendekatan lokal yang berbeda dan derajat kesuksesan yang bervariasi. Lebih dari

60% rumah sakit melaporkan bahwa checklist tersebut meningkatkan keselamatan dan

kerjasama, di mana hampir 40% dari rumah sakit melaporkan bahwa kecelakaan yang

nyaris terjadi (near-misses) menjadi lebih mudah disadari.

Terdapat beberapa yang merupakan tantangan dari implementasi sistem

checklist, seperti penilaian negatif, kecenderungan untuk melihat checklist sekedar

sebagai tugas memberi tanda di dalam kotak kecil, budaya meletakkan checklist
dalam prioritas rendah, kurangnya kepemimpinan dalam klinik, dan strategi

implementasi yang kurang baik (Panesar et al.,2014).

Sebuah checklist lain, yaitu SURgical PAtient Safety System (SURPASS) atau

“Sistem Keselamatan Pasien Bedah” adalah checklist yang lebih komprehensif, di

mana telah dikembangkan dan divalidasi di Belanda, checklist ini dibuat untuk pasien

bedah secara multidisiplin, mengandung lebih banyak informasi, dan berfokus pada

saat pergantian fase bedah, serta mengikuti alur dari saat pasien didaftarkan sampai

saat pasien dipulangkan (Ram dan Boermeester, 2013). Checklist adalah salah satu

langkah besar dalam membawa keselamatan pasien sebagai budaya di tengah badan

penyelenggara kesehatan dewasa ini, oleh karena itu, dengan mempertimbangkan

kemajuan ilmu keselamatan pasien sekarang ini, tidak menggunakan alat bantu yang

sederhana namun efektif ini, dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak profesional

(Panesar et al., 2011).

5. Proses Belajar dan Kondisi Fisik

Menurut teori reinforced learning, ada dua sistem dalam pengambilan

keputusan, baik dalam berbagai studi dengan hewan uji maupun manusia, terdapat dua

sistem, yaitu pembentukan kebiasaan atau habits yang terbentuk berdasarkan

pengalaman retrospektif, dan perilaku yang dilakukan untuk hasil prospektif atau

goal-directed (Daw et al., 2011).

Stress adalah salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan kemampuan

kognitif dan perilaku, melalui kerja mediator stress dalam usaha mengembalikan kita

ke kondisi homeostasis, dimana pada kondisi stress, sebagian besar mekanisme otak

kita menekan proses kognitif ke arah hal-hal di luar stressor, sehingga kita bisa cepat

menyelesaikan kondisi yang membuat kita stress, hal ini mendukung pembentukan
dan penggunaan memori retrospektif, namun mengurangi kemampuan kognitif dari

berperilaku prospektif (Schwabe & Wolf, 2013)

Kemampuan kognitif dari subyek yang mengalami kekurangan tidur akan

mengalami penurunan dalam berbagai aspek (Jackson et al, 2013). Irama sirkandian

yang kacau, terutama berhubungan dengan pola tidur, baik yang tidak teratur maupun

kurang tidur, dapat menimbulkan beberapa kondisi yang merugikan, seperti kenaikan

kortisol, peningkatan obesitas karena meningkatnya kadar insulin dan glukosa darah,

bersamaan dengna peningkatan pola makan, serta penurunan volume lobus temporal,

sehingga dapat mempengaruhi proses pembentukan ingatan, dan meningkatkan

kejadian berbagai kelainan mental, seperti mood disorder dan dementia (McEwen &

Karatsoreos, 2015).

Asupan nutrisi menentukan perkembangan struktur dan fungsi otak sepanjang

kehidupan manusia, secara epigenetik, perubahan ini dikarenakan asupan nutrisi yang

masuk mengubah ekspresi dan respon dari berbagai gen yang kemudian akan

mengubah variasi genetik seseorang, baik dalam jangka waktu pendek maupun

panjang, seperti meningkatkan atau menurunkan kemampuan kognitif, kecepatan

penurunan fungsi kognitif, maupun kejadian demensia. (Dauncey, 2014)

Motivasi seorang pelajar adalah hal yang memiliki banyak faktor dan bersifat

dinamis. Motivasi pelajar berpengaruh pada kebiasaan belajarnya yang kemudian

akan bermanifestasi pada komitmen dan pencapaian studi pelajar tersebut. Beberapa

hal yang mempengaruhi motivasi belajar adalah perspektifnya terhadap teori

inteligensia, self-efficacy, dan tujuan yang ingin dicapai oleh mahasiswa tersebut.

(Mega, Ronconi, & Beni, 2013)

Mahasiswa atau pelajar yang percaya bahwa kepandaian adalah hal yang

bersifat adaptif, bukan bawaan yang tidak bisa berubah, akan memiliki strategi belajar
yang berbeda dengan yang menerima kemampuan berpikirnya adalah sesuatu yang

tidak bisa diubah, seperti saat menghadapi tugas yang membutuhkan kemampuan

yang lebih dari yang mereka miliki sekarang, di mana yang memandang bahwa

kepandaiannya bersifat adaptif akan mengatur proses belajar yang akhirnya bisa

memampukan mereka menyelesaikan tugas tersebut. Self-efficacy akademik adalah

kepercayaan diri pelajar tentang kemampuannya dalam menyelesaikan tugas sampai

tingkat kesulitan tertentu. Self-efficacy ini dipengaruhi oleh pencapaian terdahulu,

tingkat kesulitan masalah yang dihadapi dan pengalaman pribadi sebelumnya. Pelajar

yang menyakini bahwa dirinya mampu melakukan tugas yang sulit dengan baik akan

memiliki motivasi yang lebih dalam hal ketekunan dan ketahanan dalam masa

pembelajaran. (Mega, Ronconi, & Beni, 2013; Lackaye & Margalit, 2006)

Pencapaian yang diinginkan oleh pelajar secara sederhana dibagi menjadi 6 tipe,

menurut 3x2 tabel, dimana pertama dibagi menjadi task (seberapa baik dapat

menyelesaikan tugas), intrapersonal (berhubungan dengan kompetensi diri sendiri),

dan interpersonal (berhubungan dengan kompetensi individu lain), kemudian ketiga

kategori tersebut dibagi menjadi 2, positif dan negatif, dimana positif berarti yang

membuat pelajar tersebut ingin mencapainya dan kategori negatif, atau yang dikenal

sebagai avoidance, adalah sisi yang ditimbulkan oleh pencapaian yang buruk dan

umumnya dihindari oleh pelajar tersebut (Murayama, Elliot, & Yamagata, 2011).

6. Risiko Kejadian Tidak Diharapkan dalam Tindakan Bedah

Berikut ini adalah 3 penyebab utama kejadian tidak diharapkan di kamar bedah:

a. Metode pengendalian infeksi yang buruk.

Implementasi dari kontrol infeksi yang lebih aman seperti pemberian

antibiotik profilaksis sudah terbukti menurunkan angka infeksi postoperatif,


ditambah peningkatan kesadaran akan risiko transimi infeksi menunjukkan

bagaimana mereka sebagai individu maupun anggota dari tim dapat

mengurangi risiko infeksi-silang.

Semua orang memiliki tanggung jawab untuk mengurangi kemungkinan

kontaminasi pada pakaian dan alat yang digunakannya, yang mungkin menjadi

sarana transmisi infeksi, didukung juga dengan praktik universal precaution

(WHO, 2009)

b. Manajemen pasien yang tidak memadai.

Tindakan dan lingkungan bedah berhubungan dengan tindakan rumit

yang intensif, hal ini mungkin menjelaskan mengapa lebih banyak kejadian

tidak diharapkan terjadi di ruang operasi dibandingkan di departemen rumah

sakit lainnya.

Kejadian tidak diharapkan yang paling sering terjadi dalam lingkungan

bedah meliputi infeksi dan sepsis pasca operasi, komplikasi kardiovaskular,

komplikasi sistem respirasi, dan komplikasi tromboembolik.

Bila kasus-kasus ini analisa lebih jauh, beberapa faktor laten dapat

diidentifikasi, beberapa contoh diantaranya adalah kurangnya implementasi

protokol dan guideline, kepemimpinan tim yang kurang baik, kerjasama yang

buruk, konflik antar departemen dan organisasi, kurangnya kompetensi staf,

sumberdaya yang tidak memadai, budaya kerja yang buruk, beban kerja yang

banyak, dan manajemen sistem yang buruk (WHO, 2009)

c. Komunikasi yang tidak efektif antar sejawat, baik sebelum, selama, dan

sesudah tindakan operasi (peri-operatif).

Salah satu masalah terbesar dalam suasana operasi adalah

miskomunikasi, hal ini dianggap bertanggung jawab dalam kasus seperti salah
pasien, salah sisi, maupun salah prosedur. Selain itu kegagalan untuk

menginformasikan keadaan pasien maupun pemberian antibiotik profilaksis

juga dapat menimbulkan kejadian tidak diharapkan.

Para profesional sering dihadapkan dengan banyak hal yang mempersulit

mereka di ruang operasi, bagi pelajar, stase bedah kadang merupakan stase

yang sangat sibuk. Selain tingginya beban kerja, lingkungan bedah merupakan

kumpulan individu-individu dengan tingkat kemampuan dan pengalaman yang

beragam, faktor-faktor ini dapat mempengaruhi kerja tim, di mana

kemampuan komunikasi yang tepat diperlukan. Masalah komunikasi mungkin

terjadi pada semua tingkatan fase bedah, namun terutama terjadi ketika pasien

berpindah dari satu fase rawat ke fase lainnya (WHO, 2009; Han, 2015)

Menurut daftar kasus laporan serius (Serious Reportable Events) oleh

National Quality Forum (2011) kejadian yang tidak diharapkan yang

berhubungan dengan tindakan pembedahan adalah sebagai berikut:

1. Wrong-site surgery, prosedur pembedahan dilakukan di sisi tubuh yang

salah.

2. Wrong-procedure, kesalahan prosedur.

3. Wrong-person surgery, prosedur pembedahan dilakukan bukan kepada

pasien yang seharusnya.

4. Instrumen bedah tertinggal di tubuh pasien, seperti gunting, kasa, dan

jarum.

5. Kematian intraoperatif atau segera setelah tindakan operasi pada pasien

dengan kategori dari the American Society of Anesthesiologists (ASA)

kelas 1.
B. Kerangka Pemikiran

Praktik
Manajemen
Pasien
Praktik
Pendidikan
Pengalaman Sistem
Teori
Stase Prevensi dan
Operatif Kontrol
Pendidikan
Infeksi
Dalam
Jumlah Stase Praktik Bentuk
Yang Sudah Komunikasi Simulasi
Dilalui Antar
Sejawat Bimbingan
Pengetahuan
dan
Supervisi Tentang Sistem
dari Senior Keselamatan
Pasien
Lingkungan
Pola tidur
Kerja
Pendidikan
Informal
Keluarga Stress Kondisi Fisik

Asupan
Genetik
Nutrisi
Individu
Faktor diluar
Sebagai
Pendidikan
Pelajar
Harapan Akan Goal-
Hasil Directed
(prospektif) Behaviour
Proses
Belajar
Pengalaman
Habitual
Masa Lalu
Behaviour
(retrospektif)
C. Hipotesis

Tingkat pengetahuan tentang keselamatan pasien pada dokter muda yang lebih

banyak memiliki pengalaman stase operatif lebih tinggi dibandingkan dokter muda

yang memiliki pengalaman yang lebih sedikit dalam stase operatif.

Anda mungkin juga menyukai