Anda di halaman 1dari 20

KIMIA FARMASI II Dewi Marlina, S.F., Apt., M.

Kes

ANALISIS KUANTITATIF OBAT


PENDAHULUAN

Materi belajar ini merupakan pengantar untuk mempelajari dasar analisis kuantitatif obat secara
klasik (metode volumetri/titrimetri). Dengan mempelajari isi materi ini, diharapkan mahasiswa dapat
mengaplikasikan pada analisis obat dilaboratorium. Isi materi ini disajikan secara sederhana disertai contoh-
contoh untuk menentukan kadar obat secara volumetri.
Teknik analisis obat secara kuantitatif, dalam beberapa literatur didasarkan pada golongan obat
menurut jenis efek farmakologisnya. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mahasiswa mempelajari
bagaimana menentukan kadar obat masing-masing yang memiliki efek sama. Misalnya analisis obat
golongan analgetika-antipiretika, yaitu :
 asetosal dapat ditentukan dengan metode alkalimetri menggunakan prinsip reaksi netralisasi;
 parasetamol dapat ditentukan kadarnya dengan metode nitrimetri menggunakan prinsip reaksi
diazotasi;
 asam mefenamat dapat ditentukan dengan metode titrasi bebas air menggunakan prinsip reaksi
netralisasi.

(a) (b)

Gambar. Struktur molekul (a) parasetamol dan (b) asam mefenamat

Analisis kuantitatif adalah analisis untuk menentukan jumlah atau kadar dari suatu elemen atau
spesies yang ada di dalam sampel. Analisis kuantitatif dalam kimia farmasi secara spesifik bertujuan
untuk mengetahui kadar suatu senyawa obat dalam sampel, misalnya dalam sediaan tablet, atau untuk
mengetahui tingkat kemurnian suatu bahan obat.

A. ANALISIS VOLUMETRI

Masih ingatkan Anda materi tentang analisis kuantitatif secara volumetri pada mata kuliah Kimia
Dasar? Untuk memperdalam materi analisis secara volumetri, dalam uraian berikut akan dijelaskan hal-
hal praktis terkait dengan metode volumetri.
KIMIA FARMASI II Dewi Marlina, S.F., Apt., M.Kes

Analisis volumetri adalah suatu cara analisis kuantitatif dengan mengukur secara teliti volume larutan
yang diketahui konsentrasinya yang dapat bereaksi sempurna dengan zat yang akan ditentukan kadarnya.
Berikut adalah hal-hal yang diperlukan dalam analisis secara volumetri :
1. Alat pengukur volume seperti buret, pipet volum, dan labu ukur.
2. Neraca analitik untuk menimbang bahan yang akan diselidiki atau senyawa baku untuk membuat
larutan baku.
3. Senyawa yang digunakan sebagai larutan baku atau untuk pembakuan harus senyawa dengan
kemurnian yang tinggi.

Istilah-istilah berikut merupakan istilah yang sering dijumpai dalam analisis volumetri :
1. Titrasi adalah suatu proses penambahan larutan baku yang diketahui konsentrasinya menggunakan
buret ke dalam larutan yang akan ditentukan kadarnya sampai reaksi tepat selesai secara sempurna;
2. Titrasi kembali adalah cara titrasi dengan penambahan zat yang diketahui konsentrasinya
berlebihan ke dalam larutan yang akan ditentukan kadarnya. Kemudian kelebihannya ditentukan
dengan cara titrasi dengan pereaksi ke dua yang diketahui konsentrasinya;
3. Titrasi blanko adalah titrasi yang dilakukan dengan cara sama dengan titrasi menggunakan larutan
zat uji (pereaksi dan proses sama), tetapi tanpa menggunakan zat uji (hanya menggunakan pelarut
yang digunakan untuk melarutkan zat uji);
4. Larutan standar atau larutan baku adalah larutan pereaksi yang konsentrasinya diketahui dengan
seksama dan umumnya konsentrasi larutan standar/baku dituliskan sampai 4 desimal, serta larutan
standar/baku berfungsi sebagai larutan titer (titran);
5. Baku primer adalah zat-zat pereaksi yang mempunyai kemurnian yang tinggi dan digunakan
sebagai zat untuk menentukan konsentrasi larutan titer pada proses pembakuan;
6. Titik ekivalen adalah titik yang menunjukkan kondisi/keadaan jumlah larutan baku/larutan titer
yang ditambahkan ekivalen dengan jumlah zat yang ditentukan didalam Erlenmeyer;
7. Titik akhir titrasi adalah titik yang menunjukkan bahwa indikator yang digunakan sebagai penunjuk
telah mengalami perubahan warna. Perbedaan volume titik ekivalen dan titik akhir titrasi harus sekecil
mungkin, umunya hanya sebanyak 1-2 tetes larutan titer saja;
8. Penimbangan seksama adalah penimbangan dengan deviasi yang diperkenankan, tidak lebih dari 0,1%
dari jumlah yang ditimbang. Farmakope Indonesia edisi IV menyatakan bahwa penimbangan harus
dilakukan menggunakan alat timbangan yang ketidakpastian pengukurannya tidak lebih dari 0,1%
pembacaan. Penimbangan ini harus dilakukan menggunakan neraca analitik; (Lihat Farmakope
Indonesia Edisi IV pada bagian Lampiran 41);
9. Pengukuran seksama adalah pengukuran yang harus dilakukan menggunakan alat ukur volumetrik
(pipet volum/buret) yang mempunyai ketelitian hingga 0,1%. Farmakope Indonesia Edisi IV
mensyaratkan untuk suatu pengukuran volumetrik dan pengukuran
KIMIA FARMASI II Dewi Marlina, S.F., Apt., M.Kes

harus “diukur dengan seksama” artinya alat harus dipilih sehingga ukuran buret yang digunakan
harus sedemikian hingga volume titran tidak kurang dari 30% volume nominal. Pengukuran
seksama juga berarti pengukuran volume harus menggunakan pipet volum (Lihat Farmakope
Indonesia Edisi IV pada bagian Lampiran 21).

Syarat-syarat berikut ini harus dipenuhi untuk mendapatkan hasil analisis secara volumetri yang shahih:
1. Reaksi harus sederhana dan dapat dinyatakan dalam persamaan reaksi;
2. Reaksi harus berlangsung cepat;
3. Pada titik ekivalen, reaksi harus dapat diketahui titik akhirnya dengan tajam atau terlihat jelas
perubahannya;
4. Harus ada indikator.

Tahap pertama yang harus dilakukan sebelum melakukan titrasi adalah pembuatan larutan standar
(larutan baku). Suatu larutan dapat digunakan sebagai larutan standar bila memenuhi persyaratan berikut :
 mempunyai kemurnian yang tinggi;
 mempunyai rumus molekul yang pasti;
 tidak bersifat higroskopis dan mudah ditimbang;
 larutannya harus bersifat stabil;
 mempunyai berat ekivalen (BE) yang tinggi.

Suatu larutan yang memenuhi persyaratan di atas disebut larutan standar primer. Sedangkan
larutan standar sekunder adalah larutan standar yang bila akan digunakan untuk standarisasi harus
distandarisasi lebih dahulu dengan larutan standar/baku primer.

Baku primer yang digunakan untuk menentukan konsentrasi larutan titer pada proses pembakuan
yang tertera pada Farmakope Indonesia Edisi III dan IV adalah :
1. Larutan titer asam (asam klorida/asam sulfat) digunakan natrium karbonat anhidrat P
2. Larutan titer dinatrium edetat digunakan kalsium karbonat P
3. Larutan titer iodium digunakan arsentrioksida P
4. Larutan titer kalium permanganat digunakan natrium oksalat P
5. Larutan titer natrium hidroksida digunakan kalium biftalat P
6. Larutan titer natrium tiosulfat digunakan kalium bikromat P
7. Larutan titer perak nitrat (argenti nitrat) digunakan natrium klorida P
8. Larutan titer ammonium tiosianat/kalium tiosianat digunakan larutan perak nitrat yang telah dibakukan
dengan natrium klorida

Analisis kuantitatif dengan metode volumetri didasarkan pada reaksi kimia antara zat uji dengan
larutan titer, baik reaksinya langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan cara titrasi, metode volumetri
dikelompokkan menjadi 2 yaitu:
KIMIA FARMASI II Dewi Marlina, S.F., Apt., M.Kes

1. Titrasi langsung
Cara ini dilakukan dengan menitrasi langsung zat yang akan ditetapkan kadarnya. Perhitungan
didasarkan pada kesetaraan langsung larutan titer dengan zat uji. Contoh pada metode Iodimetri
(lihat uraian metode iodimetri)
2. Titrasi tidak langsung / titrasikembali
Dilakukan dengan cara penambahan titran dalam jumlah berlebih, kemudian kelebihan titran dititrasi
dengan larutan titran lain. Dengan cara ini umumnya dilakukan titrasi blanko (tanpa zat uji),
perhitungan didasarkan pada kesetaraan tidak langsung larutan titer dengan zat uji. Contoh pada
metode iodometri (lihat uraian metode iodometri).
Berdasarkan jenis reaksinya, titrasi dikelompokkan menjadi empat macam yaitu:
a. Titrasi asam basa
b. Titrasi pengendapan
c. Titrasi kompleksometri
d. Titrasi oksidasi reduksi
e. Titrasi Diazotasi

B. MACAM-MACAM TITRASI BERDASARKAN JENIS REAKSI

1. TITRASI ASAM BASA


Titrasi asam basa melibatkan reaksi antara asam dengan basa, sehingga akan terjadi perubahan pH
larutan yang dititrasi. Reaksi antara asam dan basa, dapat berupa asam kuat atau lemah dengan basa kuat
atau lemah. Titrasi dengan larutan titer asam kuat (HCl 0,1 N atau H2SO4 0,1N) disebut asidimetri, dan
titrasi dengan larutan titer basa kuat (NaOH 0,1N) disebut alkalimetri.
Hanya ada sedikit titrasi asam kuat dengan basa kuat langsung yang tercantum di dalam
penetapan kadar obat yang tercantum dalam Farmakope. Pada titrasi asam kuat dengan basa kuat,
maka harga pH pada titik ekivalen (titik dimana jumlah zat yang direaksikan telah ekivalen/setara)
adalah 7 (netral). Demikian pula pada titrasi basa kuat dengan asam kuat, maka harga pH titik ekivalen
juga sama dengan 7. Jenis asam yang digunakan pada titrasi asam kuat dengan basa kuat pada
penetapan kadar senyawa obat dalam Farmakope adalah:
 asam perklorat;
 asam klorida;
 asam sulfat;
 tiamin hidroklorida.
Titik ekivalen pada titrasi asam lemah dengan basa kuat (natrium hidroksida) adalah > 7 (basa).
Jenis asam lemah yang digunakan pada titrasi asam lemah dengan basa kuat (natrium hidroksida)
pada penetapan kadar senyawa obat dalam Farmakope adalah:
 asetosal;
 asam asetat;
 asam sitrat;
 asam salisilat.
KIMIA FARMASI II Dewi Marlina, S.F., Apt., M.Kes

Titik ekivalen pada titrasi basa lemah dengan asam kuat adalah < 7 (asam). Jenis basa lemah yang
digunakan pada titrasi basa lemah dengan asam kuat (asam klorida/asam sulfat) pada penetapan kadar
senyawa obat dalam Farmakope adalah:
 natrium karbonat;
 natrium bikarbonat;
 boraks.

Perbedaan pH pada titik ekivalen titrasi asam basa ini mempengaruhi jenis indikator yang
digunakan untuk menentukan titik akhir titrasi. Pemilihan jenis indikator harus memperhatikan pH
indikator. Sedapat mungkin, pH indikator sama dengan pH titik ekivalen netralisasi. Karakteristik indikator
yang paling banyak dipilih pada titrasi asam basa adalah indikator yang mampu menunjukkan perubahan
warna yang nyata pada pH yang dekat dengan titik ekivalen. Contoh-contoh indikator yang biasa digunakan
pada titrasi asam basa adalah :
a. Fenolftalein (pp), termasuk indikator basa
Interval pH : 8,0 – 10,0; perubahan warna : tidak berwarna – merah jambu Dipakai
pada titrasi asam lemah dengan basa kuat (pH titik ekivalen > 7)
b. Jingga metil/methyl orange (mo) = metil jingga, termasuk indikator asam Interval pH
: 3,2 – 4,4; perubahan warna : merah – kuning
Dipakai pada titrasi basa lemah dengan asam kuat (pH titik ekivalen < 7)
c. Merah metil (mm), termasuk indikator asam
Interval pH : 4,2 – 6,2; perubahan warna : merah – kuning
Dipakai pada titrasi basa lemah atau kuat dengan asam kuat (pH titik ekivalen < 7)
Untuk lebih jelasnya lihat daftar indikator pada Farmakope Indonesia Edisi IV.

2. TITRASI PENGENDAPAN
Metode titrasi endapan merupakan analisis volumetri yang berdasarkan pada reaksi pembentukan
endapan. Metode titrasi pengendapan yang paling banyak digunakan adalah metode argentometric. Titrasi
pengendapan dengan metode argentometri merupakan metode umum untuk menetapkan kadar senyawa
halogenida (Cl-, Br-, dan I-) dan senyawa- senyawa lain (SCN-) yang membentuk endapan dengan perak
nitrat (AgNO3).
Berdasarkan jenis indikator dan teknik titrasi yang digunakan, maka titrasi
argentometri dapat dibedakan atas 3 yaitu :
(a) Metode Mohr, yaitu :
Titrasi argentometri dengan metode Mohr dilakukan berdasarkan pada pembentukan endapan
berwarna pada titik akhir titrasi antara ion Ag+ sebagai larutan titer dengan ion CrO42- sebagai
indikator.
Reaksi yang terjadi pada titik akhir titrasi :
2 Ag+ + CrO42- → Ag2CrO4 ↙ (merah bata)
Cara ini dilakukan dalam suasana netral yaitu sekitar pH 6,5 – 10. Pada pH >10 akan terbentuk
endapan AgOH yang akan terurai menjadi Ag2O, sedangkan apabila pH<6,5
KIMIA FARMASI II Dewi Marlina, S.F., Apt., M.Kes

(asam), ion kromat akan bereaksi dengan H+ menjadi Cr2O72- dengan persamaan reaksi:
2 CrO42- + 2 H+ → 2 HCrO -4→ Cr2O72- + H2O
Penurunan konsentrasi CrO42- menyebabkan diperlukannya penambahan AgNO3 yang lebih banyak
untuk membentuk endapan Ag2CrO4, sehingga kesalahan titrasi makin besar.
(b) Metode Volhard, yaitu:
Titrasi argentometri dengan metode Volhard dilakukan berdasarkan pembentukan senyawa yang larut
dan berwarna sebagai hasil reaksi antara ion Fe3+ sebagai larutan titer dengan ion SCN- sebagai
indikator.
Reaksi yang terjadi pada titik akhir titrasi : Fe3+ +
SCN- → Fe(SCN)2+ (larutan merah)
Berbeda dengan metode Mohr, metode Volhard ini merupakan reaksi tidak langsung antara larutan
titer dengan zat uji. Larutan titer yang digunakan adalah larutan kalium tiosianat (KSCN) atau
ammonium tiosianat (NH4SCN). Dalam hal ini sampel direaksikan dengan larutan perak nitrat berlebih
dalam suasana asam, sisa perak nitrat direaksikan dengan larutan baku tiosianat. Suasana asam
diperlukan untuk mencegah terjadinya hidrolisis ion Fe3+.
(c) Metode Fayans, yaitu :
Titrasi argentometri dengan metode Fayans dilakukan dengan menggunakan indikator adsorpsi.
Indikator adsorpsi bekerja dengan cara : endapan mengadsorpsi indikator pada titik ekivalen dan
dalam proses penyerapan tersebut terjadi perubahan warna indikator. Senyawa organik yang
sering digunakan sebagai indikator adsorpsi adalah fluoresein (HFl). Pada kondisi ion klorida
berlebih, anion Fl- tidak diserap oleh perak klorida koloidal, tetapi dalam keadaan ion perak
berlebih, ion Fl- dapat ditarik kepermukaan sehingga partikel bermuatan positif.
Penetapan kadar dengan titrasi pengendapan argentometri metode Fayans yang terdapat dalam
Farmakope Indonesia antara lain adalah penetapan kadar:
 Tiamin HCl
 Teofilin
 kloramfenikol

3. TITRASI KOMPLEKSOMETRI
Titrasi kompleksometri merupakan metode volumetri yang berdasarkan pada reaksi pembentukan
kompleks antara ion logam dengan senyawa pengkompleks atau ligan. Senyawa pengompleks yang
paling umum digunakan dalam volumetrik adalah asam etilendiamin tetraasetat atau sering disingkat
EDTA (H4Y) dalam bentuk garam dinatrium (Na2H2Y).
Kelebihan EDTA sebagai ligan adalah kemampuannya untuk membentuk kompleks 1 : 1 dengan ion
logam, baik logam valensi 1, 2 atau 3. Contoh : untuk logam divalent, misalnya Ca 2+ reaksi dapat
dituliskan sebagai berikut :
Ca2+ + H2Y2- → CaY2- + 2 H+
KIMIA FARMASI II Dewi Marlina, S.F., Apt., M.Kes

Karena selama titrasi terjadi reaksi pelepasan ion H+ maka larutan yang akan dititrasi perlu ditambah
larutan bufer. Untuk menentukan titik akhir titrasi ini digunakan indikator, diantaranya Calmagite, biru
hidroksi naftol (BHN), Eriochrome Black T (EBT). Titik akhir ditandai dengan terjadinya perubahan
warna merah/ungu menjadi biru.
Penetapan kadar dengan metode kompleksometri yang terdapat dalam Farmakope Indonesia antara lain
adalah penetapan kadar:
 Aluminii hydroxydum colloidale
 Zinci undcylenas
 Magnesia trisilicas

4. TITRASI OKSIDASI REDUKSI


Titrasi oksidasi reduksi adalah cara analisis volumetri yang berdasarkan reaksi reduksi oksidasi
(redoks). Salah satu ciri reaksi redoks adalah terjadinya perubahan bilangan oksidasi (biloks) dari zat-zat
yang bereaksi sebelum dan sesudah reaksi.
Dalam titrasi ini perlu dipahami tentang pengertian oksidator, reduktor, oksidasi, dan reduksi, yaitu :
(a) Oksidator adalah zat yang dalam reaksi mengalami penurunan bilangan oksidasi (biloks), karena
dalam reaksi tersebut oksidator mengalami reduksi atau menerima elektron.
Contoh :
MnO4- + 8 H+ + 5 e → Mn2+ + 4 H2O
MnO4- (KMnO4) adalah suatu oksidator
Reduksi karena dalam reaksi tersebut terjadi penangkapan/menerima elektron
(b) Reduktor adalah zat yang dalam reaksi mengalami kenaikan bilangan oksidasi (biloks), karena dalam
reaksi tersebut reduktor mengalami oksidasi atau melepaskan elektron. Contoh :
Fe2+ → Fe3+ + e
Fe2+ (FeSO4) adalah suatu reduktor
Oksidasi karena dalam reaksi tersebut terjadi pelepasan elektron

Macam-macam titrasi oksidasi reduksi antara lain :


1. Permanganometri
Larutan titer yang digunakan pada metode permanganometri adalah Kalium permanganat
(KMnO4) yang umumnya dilakukan dalam suasana asam (asam sulfat encer). KMnO 4 merupakan
suatu oksidator, sehingga zat yang dianalisis merupakan suatu reduktor.
Contoh : Penetapan kadar hydrogenperoksida yang tertera pada Farmakope Indonesia, reaksi yang
terjadi :
2 KMnO4 + 5 H2O2 + 3 H2SO4 →2 MnSO4 + 5 O2 + 8 H2O + K2SO4
2. Iodimetri dan Iodometri
 Iodimetri
KIMIA FARMASI II Dewi Marlina, S.F., Apt., M.Kes

Larutan titer yang digunakan pada metode Iodimetri adalah larutan Iodium (I2). Iodium
merupakan suatu oksidator, sehingga zat yang dianalisis merupakan reduktor.
Contoh : Penetapan kadar vitamin C (asam askorbat) yang tertera dalam Farmakope
Indonesia, reaksi yang terjadi :

Asam askorbat Asam dehidroaskorbat Gambar.


Reaksi antara vitamin C dengan Iodium (Rohman, 2008)

 Iodometri,
Larutan titer yang digunakan pada metode Iodometri adalah larutan natrium tiosulfat
(Na2S2O3). Natrium tiosulfat merupakan reduktor, namun reaksi dalam metode ini didasarkan
pada reaksi iodium (oksidator) dengan larutan titer (natrium tiosulfat). Dimana Iodium
merupakan hasil reaksi suatu oksidator (zat uji) dengan kalium iodida (KI). Iodometri juga bisa
dilakukan dengan mereaksikan zat uji reduktor dengan larutan iodium berlebih, sisa iodium
yang tidak bereaksi dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat (titrasi berlebih).
Contoh :
Penetapan kadar vitamin C, dapat dimodifikasi dengan menambahkan larutan iodium berlebih.
Sisa larutan Iodium selanjutnya dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat, untuk mengetahui
jumlah iodium yang bereaksi dengan zat uji (vitamin C), maka dilakukan titrasi blanko (titrasi
tanpa zat uji). Reaksi yang terjadi pada titrasi lanjutan :
2 Na2S2O3 + I2 → 2 NaI + Na2S4O6

5. TITRASI NITRIMETRI (REAKSI DIAZOTASI)

Metode nitrimetri didasarkan pada reaksi antara amina aromatik primer dengan natrium nitrit dalam
suasana asam membentuk garam diazonium (dikenal dengan reaksi diazotasi).
Zat yang dapat dititrasi dengan nitrimetri adalah zat yang mengandung gugus – NH 2 (amin) aromatis
primer atau zat lain yang dapat dihidrolisis/direduksi menjadi amin aromatis primer (Susanti, 2003). Titrasi
nitrimetri merupakan titrasi yang dipergunakan dalam analisa senyawa-senyawa organik, khususnya untuk
persenyawaan amina primer. Penetapan kuantitas zat didasari oleh reaksi antara fenil amina primer (aromatik)
dengan natrium nitrit dalam suasana asam membentuk garam diazonium. Reaksi ini dikenal dengan reaksi
diazotasi, dengan persamaan yang berlangsung dalam dua tahap seperti dibawah ini :
NaNO2 + HCl → NaCl + HNO2
Ar- NH2 + HNO2 + HCl → Ar-N2Cl + H2O
KIMIA FARMASI II Dewi Marlina, S.F., Apt., M.Kes

Reaksi ini tidak stabil dalam suhu kamar, karena garam diazonium yang terbentu mudah terdegradasi
membentuk senyawa fenol dan gas nitrogen. Sehingga reaksi dilakukan pada suhu dibawah 15°C. Reaksi
diazotasi dapat dipercepat dengan panambahan garam kalium bromida (Wunas, 1986)).

NaNO2+HCl→ NaCl+HONO
Reaksi dilakukan dibawah 15o, sebab pada suhu yang lebih tinggi garam diazonium akan terurai
menjadi fenol dan nitrogen. Reaksi diazonasi dapat dipercepat dengan menambahkan kalium bromida.

Dalam nitrimetri, berat ekivalen suatu senyawa sama dengan berat molekulnya karena 1 mol senyawa
bereaksi dengan 1 mol asam nitrit dan menghasilkan 1 mol garam diazonium. Dengan alasan ini pula, untuk
nitrimetri, konsentrasi larutan baku sering dinyatakan dengan molaritas (M) karena molaritasnya sama dengan
normalitas.

Pada titrasi diazotasi, penetuan titik akhir titrasi dapat menggunakan indikator luar, indikator dalam, dan
secara potensiometer (Ibnu ghalib ganjar: 2007. P 164).
· Indikator luar
Indikator luar yang digunakan adalah pasta kanji iodida atau dapat pula menggunakan kertas
kanji-iodida. Ketika larutan digoreskan pada pasta atau kertas, adanya kelebihan asam nitrit akan
mengoksidasi iodida menjadi iodium dengan adanya kanji atau amilum akan menghasilkan warna
biru segera. Indikator kanji iodida ini peka terhadap kelebihan 0,05-0,10 ml natrium nitrit dalam 200
ml larutan. Reaksi yang terjadi dapat dituliskan sebagai berikut (Ibnu ghalib ganjar: 2007. P 165):
NaNO2 + HCL → HNO2+NaCl
KI + HCl→KCl+HI
2HI+2HONO→I2 + 2NO+2H2O
I2 + kanji iod (biru)
Titik akhir titrasi tercapai apabila pada penggoresan larutan yang dititrasi pada pasta kanji-
iodida atau kertas kanji iodida akan terbentuk warna biru segera sebab warna biru juga terbentuk
beberapa saat seteleh dibiarkan diudara. Hal ini disebabkan karena oksidasi iodida oleh udara (O2)
menurut reaksi:
4KI + 4HCl + O2 → 2H2O + 2I2 +4 KCl
I2 + kanji iod (biru).
Untuk menyakinkan apakah benar-benar sudah terjadi titik akhir titrasi, maka pengujian seperti
diatas dilakukan lagi setelah dua menit (Ibnu ghalib ganjar: 2007. P 165).

·     Indikator dalam


Indikator dalam terdiri atas campuran tropeolin OO dan metilen biru. Tropelin OO merupakan
indikator asam-basa yang berwarna merah dalam suasana asam dan berwarna kuning bila dioksidasi
oleh adanya kelebihan asam nitrit, sedangkan metilen bitu sebagai pengontras warna sehingga pada
titik akhir titrasi akan terjadi perubahan dari ungu menjadi biru sampai hijau tergantung senyawa yang
dititrasi. (Ibnu ghalib ganjar: 2007. P 165)
Pemakaian kedua indikator ini ternyata memiliki kekurangan. Pada indikator luar harus
diketahui dulu perkiraan jumlah titran yang diperlukan, sebab kalau tidak tahu perkiraan jumlah titran
yang diperlukan, maka akan sering melakukan pengujian apakah sudah tercapai titik akhir titrasi atau
belum. Disamping itu, kalau sering melakukan pengujian, dikhawatirkan akan banyak larutan yang
KIMIA FARMASI II Dewi Marlina, S.F., Apt., M.Kes

dititrasi (sampel) yang hilang pada saat pengujian titik akhir. Sementara itu, pada pemakaian indikator
dalam walaupun pelaksanaanya mudah tetapi seringkali untuk senyawa yang berbeda akan
memberikan warna yang berbeda. Untuk mengatasi hal ini, maka digunakan metode pengamatan titik
akhir secara potensiometer. (Ibnu ghalib ganjar: 2007. P 166)
Metode yang baik untuk penetapan ttik akhir nitrimetri adalah metode potensiometer dengan
menggunakan elelktrode kolomplatina yang dicelupkan kedalam titrat. Pada saat titik akhir titrasi
(adanya kelebihan asam nitrit), akan terjadi depolarisasi elektroda sehingga akan terjadi perubahan
arus yang sangat tajam sekitar +0,80 volt sampai +0,90 volt. Metode ini sangat cocok untuk sampel
dalam bentuk sediaan yang berwarna.

Titrasi Diazotasi dapat digunakan untuk: (Ibnu ghalib ganjar: 2007. P 166)
a). Penetapan kadar senyawa-senyawa yang mempunyai gugus amin aromatis primer bebas seperti
sulfamilamid
b). Penetapan kadar senyawa-senyawa yang mana gugus amin aromatic terikat dengan gugus lain
seperti suksinil sulfatiazol, ftalil sulfatiazol, dan parasetamol.
Pada penetapan kadar senyawayang mempunyai gugus aromatik yang terikat dengan gugus lain
seperti suksinil sulfatiazol harus dihidrolisi lebih dahuu sehingga diperoleh gugus amin aromatis
bebas untuk selanjutnya bereaksi dengan natrium nitirt dalam suasan asam membentuk garam
diazonium.
c). Senyawa-senyawa yang mempunyai gugus nitri aromatis seperti kloramfenikol.
Senyawa-senyawa nitro aromatis dapat dietapkan kadarnya secara nitrimetri setelah direduksi
terlebih dahulu untuk menghasilkan senyawa amin aromatis pimer.

Kloramfenikol yang mempunyai gugus nitro aromatis direduksi terlebih dahuu dengan Zn/HCl untuk
menghasilkan senyawa amin aromatis primer yang bebas yang selanjutnya bereaksi dengan asam nirit untuk
membentuk garam diazonium. Dalam farmakope indonesia, titrasi diazotasi digunakan untuk menetapkan
kadar: benzokain; primakuin fosfat dan sediaan tabletnya; prokain HCl; sulfasetamid; natrium sulfasetamid;
sulfametazin; sulfadoksin; sulfametoksazol; tetrakain; dan tetrakain HCl. (Ibnu ghalib ganjar: 2007. P 167).
Brom dapat digunakan sebagai oksidator seperti iodium. Brom akan direduksi oleh zat-zat organik
dengan terbentuknya senyawa hasil subsitusi yang tidak larut dalam air misalnya tribromofenol, tribromoanilin,
dan sebagainya yang reaksinya berlangung secara kuantitatif. Brom juga dapat digunakan untuk menetapkan
kadar senyawa-senyawa organik yang mampu bereaksi secara adisi atau subsitusi dengan brom. Selainn
bromnya sendiri, brom juga dapat diperoleh dari hasil pencampuran kalium bromat dan kalium bromida dalam
lingkunagn asam kuat sesuai dengan reaksi berikut:
KBrO3 + 5KBr + 6HCl → 3Br2+ 6KCl +3H2O
Brom yang dibebaskan ini kemudian mengoksidasi iodida yang setara dengan jumlah iodium yang
dihasilkan menurut reaksi:
Br +2KI → 2KBr
Iodium ini selanjutnya diitrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat menurut reaksi:
I2 +2Na2S2O3 → 2NaI + Na2S4O6
Adanya brom tidak langsung dititrasi dengan natrium tiosulfat dikarenakan perbedaan potensialnya
yang sangat besar, akibatnya jika brom langsung dititrasi dengan natrium tiosulfat maka yang dihasilkan tidak
hanya tetrationat tetapi juga sulfat (SO 4)2 bahkan mungkin sukfida yang berupa endapan kuning. (Ibnu ghalib
ganjar: 2007. P 159)
KIMIA FARMASI II Dewi Marlina, S.F., Apt., M.Kes

Kalium bromat merupakan oksidator kuat dalam lingkungan asam dan reaksinya dengan zat-zat
pereduksi akan diubah menjadi bromida. Dengan terbentuknya brom titik akhir titrasi dapat ditentukan dengan
terbentuknya warna kuning dari brom, akan tetapi supaya warna ini menjadi jelas maka perlu ditambah
indikator seperti metil jingga, merah fuchsin dll. Dalam suasana asam, indikator-indikator ini mempunyai warna
yang bisa muncul dalam suasan asam sebagaimana dalam indikator asam basa, tetapi pada titik akhir titrasi
indikator ini akan dirusak dengan adanya kelebihan brom sehingga warnanya berubah dan tidak akan kembali
lagi jika misalnya ditambah dengan reduktor. Jadi indikator ini bersifat iriversibel. Titrasi langsung dengan
larutan kalium bromat yang menggunakan indikator iriversibel, biasanya dilakukan dalam lingkungan HCl 1,5-2
N. Perusakan indikator oleh brom seringkali berlangsung lebih awal dari semestinya, untuk itu perlu
ditambahkan indikator lagi pada saat mendekati titik akhir titrasi dan titrasi harus dilakukan secara perlahan-
lahan sekali sampai warna indikator memucat. Jika pemucatan warna indikator sebagai akhir titrasi dirasa
masih diragukan, maka penambahan indikator akan memberikan warna dan sebaliknya jika sudah selesai
maka penambahan indikator tadi akan dirusak oleh adnya sedikit kelebihan larutan bromat. (Ibnu ghalib
ganjar: 2007. P 163)

Warna dari sebuah larutan iodin 0,1 N cukup intens sehingga iodin dapat bertindak sebagai indikator
bagi dirinya sendiri. Iodin juga memberikan warna ungu atau violet yang intens untuk zat-zat pelarut seperti
karbon tetraklorida dan kloroform, dan terkadang kondisi ini dipergunakan dalam mendeteksi titik akhir dari
itrasi-titrasi. Namun demikian, suatu larutan (penyebaran koloidal) dari kanji lebih umum dipergunakan, karena
warna biru gelap dari kompleks iodin-kanji bertindak sebagai suatu tes yang amat sensitif untuk iodin.
Mekanisme pembentukan kompleks yang berwarna ini tidak diketahui, namun ada pemikiran bahwa molekul
iodin tertahan dipermukaan β-amylose, suatu konstituen dari kanji. Larutan-larutan dengan kanji lebih mudah
didekomposisinya oleh bakteri, dan biasanya sebuah substansi seperti asam borat ditambahkan sebagi
bahan pengawet. (Day, R.A dan Underwood A.L : 2002. P 297)

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam nitrimetri :


Apabila digunakan indikator luar, suhu harus dibawah 15°C karena bila suhu tinggi garam diazonium
akan pecah uap NO hasil tidak akurat, bila menggunakan indikator dalam suhunya tidak harus 15°C tetapi
harus tetap dijaga supaya tidak terlalu tinggi.
Penetesan NaNO2 dari buret jangan terlalu cepat karena pembentukan garam diazonium memerlukan
waktu yang lama. Bila penetesan terlalu cepat HONO belum bereaksi dengan sampel begitu diteteskan
dengan indikator luar akan menimbulkan warna biru langsung, maka hasil tidak akurat. pH harus asam karena
apabila keasaman kurang maka titik akhir titrasi tidak jelas dan garam diazonium yang terbentuk tidak
sempurna karena garam diazonium tidak stabil pada suasana netral atau basa pemakaian KBr boleh
dilakukan ataupun tidak, tetapi apabila tidak ditambahkan KBr suhu harus dibawah 15°C bila menggunakan
indikator luar, hati-hati pada reaksi titik akhir palsu. (Prima Amanda, 2013).

Prinsip Titrasi Nitrimetri


1.      Pembentukan garam diazonium dari gugus amin aromatik primer (amin aromatik sekunder dan gugus
nitro aromatik);
2.      Pembentukan senyawa nitrosamine dari amin alifatik sekunder;
3.      Pembentukan senyawa azidari gugus hidrazida dan
4.      Pemasukan gugus nitro yang jarang terjadi karena sulitnya nitrasi dengan menggunakan asam nitrit
dalam suasana asam.
KIMIA FARMASI II Dewi Marlina, S.F., Apt., M.Kes

C. DASAR-DASAR PERHITUNGAN PADA VOLUMETRI

Materi selanjutnya yang akan dibahas untuk melengkapi materi analisis kuantitatif senyawa obat
menggunakan analisis voluetri adalah dasar-dasar perhitungan pada volumetri. Hal utama yang harus
diperhatikan dalam perhitungan pada volumetri adalah satuan konsentrasi dari larutan yang digunakan
untuk analisis dan kesetaraan dalam penentuan Berat Ekivalen (BE). Berikut penjelasan dari hal utama
tersebut.
1. Konsentrasi larutan titer biasanya ditentukan dengan satuan konsentrasi normalitas
(N) atau molaritas (M).

a. Normalitas (N), adalah satuan konsentrasi larutan yang menyatakan jumlah gram ekuivalen
(grek) zat terlarut dalam 1 liter (1.000 ml) larutan. N dihitung dengan rumus :
N = grek/liter

 Keterangan :

 BE adalah berat ekuivalen molekul zat uji, yang didapatkan dari :


 Valensi ditentukan berdasarkan jumlah ekuivalen ion H +/OH- asam/basa pada titrasi asam-basa atau
jumlah elektron yang etrlibat dalam reaksi redoks.
b. Molaritas (M), adalah satuan konsentrasi larutan yang menyatakan jumlah mol zat terlarut dalam
1 liter (1.000 ml) larutan. M dihitung dengan rumus :
M = mol/liter

c. Dari satuan-satuan di atas dapat diperoleh persamaan-persamaan berikut :


N = M x Valensi
ml x N = mgrek
liter x N = grek
1 grek = 1.000 mgrek
VxN = liter x N = grek, atau
= ml x N = mgrek

= = grek atau

Demikian juga :
ml x M = mmol
liter x M = mol
KIMIA FARMASI II Dewi Marlina, S.F., Apt., M.Kes

1 mol = 1.000 mmol


VxM = liter x M = mol, atau
= ml x M = mmol
Pada pengenceran larutan berlaku rumus :
V 1 x N1 = V 2 x N2 V 1 x
M1 = V2 x M2

INGAT : terdapat 2 cara untuk mendapatkan nilai mgrek, tergantung pada data yang tersedia atau yang
akan ditentukan, yaitu :

Mgrek = ml x N atau

2. Kesetaraan dalam penentuan berat ekivalen (BE)


a. Kesetaraan dalam penentuan berat ekivalen (BE) yang didasarkan pada prinsip netralisasi
Pada reaksi asam-basa, valensinya ditentukan berdasarkan banyaknya mol H + atau OH- yang
dihasilkan tiap mol asam atau basa.
Contoh:
HCl akan terurai menurut reaksi HCl →H+ + Cl-, maka 1 mol HCl = 1 grek (BE = BM)
 H2SO4 akan terurai menurut reaksi : : H2SO4 →2H+ + SO42-, + SO42-, maka 1 mol
H2SO4 = 2 grek (BE = ½ BM)
 NaOH akan terurai menurut reaksi : NaOH →Na+ + OH-, maka 1 mol NaOH
= 1 grek (BE = BM)
b. Kesetaraan dalam penentuan berat ekivalen (BE) yang didasarkan pada prinsip reaksi
pengendapan
Pada reaksi pengendapan, 1 ion Ag+ dapat mengikat 1 ion halogen (Cl-, Br-, atau I-
)
, maka kesetaraan suatu senyawa halogen ditentukan oleh banyaknya atom halogen di
dalam rumus molekulnya yang dapat diendapkan sebagai garam perak.
Jika mengandung :
 atom halogen, maka 1 mol senyawa tersebut = 1 grek (BE = BM)
 atom halogen, maka 1 mol senyawa tersebut = 2 grek (BE =
½ BM), dst.
c. Kesetaraan dalam penentuan berat ekivalen (BE) yang didasarkan pada prinsip reaksi
pembentukan senyawa kompleks
Kelebihan EDTA sebagai ligan adalah kemampuannya untuk membentuk kompleks 1 : 1
dengan ion logam, baik logam valensi 1, 2, atau 3. Sehingga kesetaraannya selalu 1 : 1
pula, yaitu 1 mol senyawa = 1 grek (BE = BM). Oleh karena itu konsentrasi larutan titer
(EDTA) yang digunakan adalah dalam satuan molaritas (M).
d. Kesetaraan dalam penentuan berat ekivalen (BE) yang didasarkan pada prinsip reaksi redoks
Kesetaraan suatu oksidator dan reduktor dalam suatu reaksi redoks tergantung pada jumlah
KIMIA FARMASI II Dewi Marlina, S.F., Apt., M.Kes

elektron yang dilepaskan atau diterima, dimana 1 ekuivalen zat oksidator atau reduktor
setara dengan 1 mol elektron.
Contoh :

Pada reaksi :
MnO4- + 8 H+ + 5 e → Mn2+ + 4 H2O
Maka, 1mol KmnO4 setara dengan 5 mol elektron. Jadi 1 mol KmnO4 = 5 grek (BE
= 1/5 BM)
2 S2O32- → S4O62- + 2 e
Maka, 2 mol Na2S2O3 setara dengan 2 mol elektron. Jadi 2 mol Na2S2O3 = 2 grek atau 1 mol
Na2S2O3 = 1 grek (BE = BM)

Berikut ini contoh-contoh perhitungan pada volumetri:


1. 100 ml HCl 0,5 N diencerkan dengan air hingga 500 ml. berapa normalitas larutan yang terjadi ?
Jawab :
Gunakan rumus pengenceran : V1 x
N1 = V 2 x N2
100 ml x 0,5 N = 500 ml x N2

N2 =
= 0,1 grek/liter
Jadi normalitas larutan yang terjadi = 0,1 N
2. Pada pembakuan larutan HCl, diperoleh bahwa 22,3 ml larutan HCl tersebut setara dengan
0,1216 gram Na2CO3 murni. Hitunglah normalitas larutan HCl tersebut.
Jawab :
Persamaan reaksi : Na2CO3 + 2 HCl → 2 NaCl + H2CO3 1
mol Na2CO3 → 2 mol HCl ~ 2 mol H+

Maka, 1 mol Na2CO3 = 2 grek


BE = BM/2
= 106/2 = 53
Karena pada titik ekuivalen antara HCl dan Na2CO3, jumlah HCl ekuivalen dengan jumlah
Na2CO3. Maka gunakan rumus perhitungan berikut :
Mgrek HCl = mgrek Na2CO3
VHCl x NHCl =
22,3 x NHCl =
NHCl = 0,1029 grek/liter
Jadi normalitas larutan HCl tersebut adalah 0,1029 N

3. Hitung kadar Asam Banzoat.


Asam benzoat (C6H5COOH) yang ditimbang seksama sebanyak 0,2500 g dilarutkan dalam 15 ml
etanol yang telah dinetralkan terhadap merah fenol, lalu ditambahkan 20 ml air.
KIMIA FARMASI II Dewi Marlina, S.F., Apt., M.Kes

Larutan ini dititrasi dengan larutan baku NaOH 0,1000 N menggunakan


indikator merah fenol, ternyata volume larutan titer yang dibutuhkan 20,4 ml.
KIMIA FARMASI II Dewi Marlina, S.F., Apt., M.Kes

Jawab :
Persamaan reaksi : C6H5COOH + NaOH → C6H5COONa + H2O
1 mol C6H5COOH ~ 1 mol NaOH
Maka, 1 mol C6H5COOH = 1 grek
BE = BM = 122,12
Mgrek asam benzoat = mgrek NaOH Mgrek
asam benzoat = volumeNaOH x NNaOH
= 20,4 ml x 0,1 N
= 2,04 mgrek
Asam benzoat murni dalam zat uji = mgrek x BE
= 2,04 x 122,12
= 249,1 mg

Jadi kadar contoh asam benzoate = x 100% = 99,65%


4. Berapa normalitas larutan yang diperoleh jika 1,58 g kalium permanganat (KMnO4) dilarutkan
dalam air hingga volumenya tepat 500 ml.
Jawab :
KMnO4 adalah suatu oksidator yang digunakan sebagai larutan titer pada metode
permanganometri, reaksi reduksi yang KMnO4 dalam ½ reaksi redoks adalah :
MnO4- + 8 H+ + 5 e → Mn2+ + 4 H2O
1 mol MnO4- ~ 5 e
Maka, 1 mol KMnO4 = 5 grek
BE = BM/5 = 158/5 = 31,6
Gunakan rumus : N =
=
= 0,1 grek /liter
= 0,1 N
5. Untuk pembakuan larutan KMnO4, tertimbang asam oksalat sebanyak 0,1535 g. setelah dilarutkan
dengan 15 ml air suling, ditambahkan 15 ml larutan asam sulfat 2 N. dipanaskan sampai suhu 70
oC, lalu dititrasi dengan larutan KMnO4 yang hendak dibakukan, volume larutan titer KMnO4 yang
dibutuhkan adalah 24,9 ml. larutan baku KMnO4 ini digunakan untuk menentukan kadar besi (II) sulfat
dalam suatu zat uji. Berat zat uji yang tertimbang adalah 0,5560 gram, larutan titer KMnO4 yang
dibutuhkan pada titrasi zat uji ini adalah20,1 ml. Hitunglah a) normalitas larutan baku KMnO4
tersebut,
b) kadar besi (II) sulfat dalam zat uji.
Jawab :
a. Pada pembakuan: reaksi oksidasi asam oksalat pada ½ reaksi redoks antara asam oksalat
dengan KMnO4 adalah :
H2C2O4 → 2 CO2 + 2 H+ + 2 e
1 mol H2C2O4 ~ 2 mol elektron
KIMIA FARMASI II Dewi Marlina, S.F., Apt., M.Kes

Maka 1 mol H2C2O4 = 2 grek


BE = BM/2 = 126/2 = 63
Gunakan rumus :
Mgrek KMnO4 = mgrek H2C2O4
VKMnO4 x NKMnO4 =
24,9 ml x NKMnO4 =
NKMnO4 = 0,0978
b. Pada penetapan kadar besi (II) sulfat: reaksi oksidasi besi (II) pada ½ reaksi redoks antara besi
(II) dengan KMnO4 adalah :
Fe2+ →Fe3+ + e
1 mol Fe2+ ~ 1 mol elektron
Maka 1 mol FeSO4 = 1 grek
BE = BM = 152
Gunakan rumus :
Mgrek FeSO4 = mgrek KMnO4
= VKMnO4 x NKMnO4
= 20,1 ml x 0,0978 mgrek/ml
= 1,9658 mgrek
FeSO4 = 1,9658mgrek x 152 mg/mgrek
= 298,7986 mg
= 0,2988 g
Jadi kadar FeSO4 dalam zat uji = x 100%

= 53,74%

Latihan

1) Untuk pembakuan larutan titer EDTA, ditimbang kalsium karbonat (BM = 100) dan tertimbang
sebanyak 0,0955 g. Setelah dilarutkan dengan asam klorida encer dan ditambahkan buffer
amonia, larutan ini dititrasi dengan larutan EDTA yang hendak dibakukan menggunakan indikator
biru hidroksi naftol. Volume larutan titer yang dibutuhkan pada saat titrasi adalah 19,3 ml yang
ditandai dengan terbentuknya warna biru. Hitunglah molaritas (M) larutan EDTA tersebut.
2) 0,3 gram contoh asam sitrat (struktur dan BM lihat FI ed. IV) dilarutkan dengan 100 ml air. Dititrasi
dengan larutan baku NaOH 0,0997 N menggunakan indikator yang sesuai. Volume titrasi yang
dibutuhkan adalah 42,2 ml.
KIMIA FARMASI II Dewi Marlina, S.F., Apt., M.Kes

a. Tuliskan indikator yang sesuai tersebut, dan perubahan warna indikator yang terjadi pada
titik akhir titrasi.
b. Hitung kadar kemurnian contoh asam sitrat tersebut

Ringkasan

Metode volumetri merupakan metode analisis kuantitatif obat secara sederhana/konvensional yang
banyak digunakan dalam penetapan kadar obat dalam sampel (misalnya dalam sediaan tablet) atau untuk
mengetahui tingkat kemurnian suatu bahan obat.
Untuk dapat dilakukan analisis secara volumetri harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) reaksinya harus sederhana dan dapat dinyatakan dalam persamaan reaksi,
2) reaksinya harus berlangsung cepat,
3) pada titik ekivalen, reaksi harus dapat diketahui titik akhirnya dengan tajam (jelas perubahannya),
4) harus ada indikator.

Analisis kuantitatif dengan metode volumetri didasarkan pada reaksi kimia antara zat uji dengan
larutan titer, baik reaksinya langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan jenis reaksinya, maka titrasi
dikelompokkan menjadi empat macam titrasi yaitu :
1) Titrasi asam basa/netralisasi (asidimetri dan alkalimetri);
2) Titrasi pengendapan (argentometri);
3) Titrasi pembentukan senyawa kompleks (kompleksometri);
4) Titrasi oksidasi reduksi (permanganometri, iodimetri, iodometri).

Konsentrasi larutan dalam volumetri biasanya ditentukan dengan satuan konsentrasi normalitas (N)
atau molaritas (M). Dimana Normalitas adalah satuan konsentrasi larutan yang menyatakan jumlah
gram ekuivalen (grek) zat terlarut dalam 1 liter (1.000 ml) larutan. Molaritas adalah satuan konsentrasi
larutan yang menyatakan jumlah mol zat terlarut dalam 1 liter (1.000 ml) larutan.
Kesetaraan dalam penentuan berat ekivalen (BE) ditentukan berdasarkan reaksi yang terjadi.
Beberapa rumus yang dapat digunakan dalam perhitungan kadar secara volumetri adalah :
 N = grek/liter = dan M = mol/liter =
 ml x N = mgrek
 ml x M = mmol
KIMIA FARMASI II Dewi Marlina, S.F., Apt., M.Kes

Daftar Pustaka

Beale, JM. Block,JH. (2011). Wilson and Gisvold’s Textbook Of Organik Medicinal and Pharmaceutical
Industry. USA: Lippincott Williams and Wilkins
Day, R.A , Underwood, A.L. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta: Erlangga. P 297

Dirjen POM. (1979). Farmakope Indonesia edisi III. Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Dirjen POM.

(1995). Farmakope Indonesia edisi IV. Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Gandjar, ibnu gholib. 2007. Kimia Farmasi analisis. Yogyakarta: Pustaka pelajar. P 159-167

Gandjar, dan Rohman (2007), Kimia Farmasi Analisis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Harmita, Harahap Y, Hayun (2007), Kimia Medicinal, Departemen Farmasi FMIPA, UI, Cipta Kreasi Bersama,
Jakarta.

Patrick, Graham. (1995). An Introduction To Medicinal Chemistry. New York: Oxford University Press.

Sardjoko (1993), Rancangan Obat, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Siswandono. Soekarjo,B. (2015) Kimia Medisinal Edisi 2. Surabaya : Airlangga University Press

Sudjadi, dan Rohman (2012), Analisis Farmasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Sunaryo, (2002). Kimia Farmasi, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC

Tan, HT. Rahardja,K. (20017). Obat-obat Penting, Edisi 5. Jakarta: PT.Elex Media Komputindo
KIMIA FARMASI II Dewi Marlina, S.F., Apt., M.Kes

Anda mungkin juga menyukai