Anda di halaman 1dari 14

BIOGRAFI RAJA ALI HAJI

Raja Ali Haji (RAH) merupakan tokoh penting di dunia Melayu. Pengaruh
pemikirannya terhadap perkembangan dunia Melayu sangat kentara melalui
berbagai karya sastra dan lain-lain yang dijadikan rujukan dalam tradisi penulisan
klasik maupun modern. Ia juga dikenal sebagai ulama yang banyak berpengaruh
terhadap wacana dan tradisi pemikiran di dunia Melayu. Berikut ini dikemukakan
biografi RAH.
1. Data Diri
Nama Lengkap RAH adalah Raja Ali al-Hajj ibni Raja Ahmad al-Hajj ibni Raja Haji
Fisabilillah bin Opu Daeng Celak alias Engku Haji Ali ibni Engku Haji Ahmad Riau. Ia
dilahirkan pada tahun 1808 M di pusat Kesultanan Riau-Lingga di Pulau Penyengat
(kini masuk dalam wilayah Kepulauan Riau, Indonesia).
Sekilas tentang Pulau Penyengat. Dalam buku-buku Belanda, pulau kecil ini disebut
Mars. Menurut masyarakat setempat, nama pujian-pujian dari pulau ini adalah
Indera Sakti. Di pulau ini banyak terlahir karya-karya sastra dan budaya Melayu yang
ditulis oleh tokoh-tokoh Melayu sepanjang abad ke-19 dan dua dasawarsa abad ke-
20, di mana RAH termasuk di dalamnya.
Catatan tentang hari dan bulan kelahiran RAH berbeda dengan ayahnya. Catatan
mengenai kelahiran ayahnya begitu rinci, yaitu pada hari Kamis waktu ‘Ashar bulan
Rajab tahun 1193 H di Istana Yang Dipertuan Muda Riau-Raja Haji Ibni Daeng Celak.
Sedangkan catatan mengenai RAH jusru singkat sekali. Bahkan, catatan kelahiran
RAH lebih banyak didasarkan pada perkiraan saja. Menurut Hasan Junus (2002: 62),
masa yang berbeda, keadaan yang berbeda, mengantar pada semangat zaman yang
berbeda. Semangat zaman yang berkembang pada saat itu menyebabkan orang-
orang memanggil nama RAH dengan sebutan “Raja”.
Orang-orang Melayu pada masa itu sering mengingat waktu kelahiran si anak

1
dengan mendasarinya pada peristiwa-peristiwa penting. RAH lahir lima tahun
setelah Pulau Penyengat dibuka sebagai tempat kediaman Engku Puteri. Atau ia
lahir dua tahun setelah benteng Portugis A-Famosa di Melaka diruntuhkan atas
perintah William Farquhar. Orang-orang Melayu juga sering memberikan nama
anaknya dengan mengambil nama datuk (kakek) apabila datuknya itu sudah
meninggal. Hal inilah yang menyebabkan banyak terjadi kemiripan nama dalam
masyarakat Melayu.
Tahun kapan meninggalnya RAH sempat menjadi perdebatan. Banyak sumber yang
menyebutkan bahwa ia meninggal pada tahun 1872. Namun, ternyata ada fakta lain
yang membalikkan pandangan umum tersebut. Pada tanggal 31 Desember 1872,
RAH pernah menulis surat kepada Hermann von de Wall, sarjana kebudayaan
Belanda yang kemudian menjadi sahabat terdekatnya, yang meninggal di
Tanjungpinang pada tahun 1873. Dari fakta ini dapat dikatakan bahwa RAH
meninggal pada tahun yang sama (1873) di Pulau Penyengat.
Makam RAH berada di komplek pemakaman Engku Putri Raja Hamidah. Persisnya,
terletak di luar bangunan utama Makam Engku Putri. Karya RAH, Gurindam Dua
Belas diabadikan di sepanjang dinding bangunan makamnya. Sehingga, setiap
pengunjung yang datang dapat membaca serta mencatat karya maha agung
tersebut.
2. Silsilah dan Latar Belakang Keluarga
RAH adalah putra Raja Ahmad, yang setelah berhaji ke Mekkah bergelar Engku Haji
Tua, cucu Raja Haji Fisabilillah. Ibunya bernama Encik Hamidah binti Panglima Malik
Selangor atau Putri Raja Selangor yang meninggal pada tanggal 5 Agustus 1844.
Kakek (datuk) RAH bernama Raja Haji Fisabilillah, merupakan Yang Dipertuan Muda
(YDM) Riau IV. Ia dikenal sebagai YDM yang berhasil menjadikan Kesultanan Riau-
Lingga sebagai pusat perdagangan yang sangat penting di kawasan ini. Ia juga
seorang pahlawan yang terkenal berani melawan penjajah Belanda, sehingga
meninggal di medan perang di Teluk Ketapang (18 Juni 1784). Ia meninggalkan dua
putra, yaitu Raja Ahmad (ayah RAH) dan Raja Ja'far.
Raja Ahmad (ayah RAH) dikenal sebagai intelektual Muslim yang produktif menulis
karya-karya besar, seperti Syair Perjalanan Engku Putri ke Lingga (1835), Syair Raksi
(1841), dan Syair Perang Johor (1843). Ia juga dikenal sebagai pemerhati sejarah,
terutama sejarah masa lalu. Dalam karyanya, Syair Perang Johor, ia menguraikan
fakta perang Kesultanan Johor dan Kesultanan Aceh pada abad XVII, yaitu pada
masa keemasan Johor. Ia dikenal sebagai penulis pertama yang melahirkan sebuah
epik yang menghubungkan sejarah Bugis di wilayah Melayu dan hubungannya
dengan sultan-sultan Melayu.

2
Keluarga Raja Ahmad terdiri dari orang-orang terpelajar dan suka dengan dunia
tulis-menulis. Anggota keluarganya yang pernah menghasilkan karya adalah Raja
Ahmad Engku Haji Tua, RAH, Raja Haji Daud, Raja Salehah, Raja Abdul Mutallib, Raja
Kalsum, Raja Safiah, Raja Sulaiman, Raja Hasan, Hitam Khalid, Aisyah Sulaiman, Raja
Ahmad Tabib, Raja Haji Umar, Abu Muhammad Adnan, dan lain sebagainya. Jika
ditelusuri hingga keturunan Raja Haji Fisabilillah (kakek RAH), maka anggota
keluarga Raja Ahmad yang giat berkarya akan bertambah lagi, yaitu Raja Ali, Raja
Abdullah, Raja Ali Kelana, R. H. M. Said, dan lain sebagainya.
Dari ayah yang sama (Raja Ahmad), Raja Ali Haji mempunyai beberapa saudara laki-
laki dan perempuan, yaitu Raja Haji Daud yang menjadi tabib, Raja Haji Umar (Raja
Endut), Raja Salehah (Zaleha), Raja Cik, Raja Aisyah, Raja Haji Abdullah, Raja Ishak,
Raja Muhammad Said, Raja Abu Bakar, Raja Siti, Raja Abdul Hamid, dan Raja Usman.
RAH sebenarnya berasal dari keturunan Bugis. Garis keturunan ini berasal neneknya
(Opu Daeng Cellak) yang berasal dari tanah Bugis, namun kemudian menetap di
Riau dan memperoleh jabatan sebagai Yang Dipertuan Agung (pembantu sultan
dalam urusan pemerintahan). Cerita ini bermula ketika La Madusilat, Raja Bugis
yang pertama kali masuk Islam, ternyata memiliki keturunan yang salah satunya
bernama Daeng Rilaka.
Daeng Rilaka mempunyai lima anak, yaitu Opu Daeng Parani, Opu Daeng Marewah,
Opu Daeng Menambun, Opu Daeng Cellak, dan Opu Daeng Kemasi. Bersama kelima
anaknya itu, Daeng Rilaka meninggalkan tanah Bugis dan mengembara ke wilayah
Kesultanan Riau-Johor. Keturunan ini mendapat kedudukan di istana kesultanan.
Anak keempat Daeng Rilaka, Opu Daeng Cellak yang merupakan nenek RAH menjadi
Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau II (1728-1745), menggantikan saudaranya Opu
Daeng Marewah, YDM Muda Riau I (1723-1728).
Jabatan tersebut merupakan realisasi dari perjanjian Kesultanan Riau-Lingga dengan
Raja Bugis yang telah berhasil menaklukkan Minangkabau. Ketika itu memang
terjadi perang antara Kerajaan Minangkabau dan Kesultanan Melayu. Berdasarkan
garis keturunan itu, maka RAH merupakan keturunan Kesultanan Riau-Lingga yang
dikenal memiliki tradisi keagamaan dan keilmuan yang sangat kuat.
RAH memiliki 17 orang putra-putri, yaitu: 1). Raja Haji Hasan, 2). Raja Mala’, 3). Raja
Abdur Rahman, 4). Raja Abdul Majid, 5). Raja Salamah, 6). Raja Kaltsum, 7). Raja
Ibrahim Kerumung, 8). Raja Hamidah, 9). Raja Engku Awan ibu Raja Kaluk, 10). Raja
Khadijah, 11). Raja Mai, 12). Raja Cik, 13). Raja Muhammad Daeng Menambon, 14).
Raja Aminah, 15). Raja Haji Salman Engku Bih, 16). Raja Siah, dan 17). Raja Engku
Amdah.
Anak RAH yang pertama (Raja Haji Hasan) mempunyai 12 orang putra-putri, yaitu:

3
1). Raja Haji Abdullah Hakim, 2). Raja Khalid Hitam (meninggal dunia di Jepang), 3).
Raja Haji Abdul Muthallib, 4). Raja Mariyah, 5). Raja Manshur, 6). Raja Qamariyah,
7). Raja Haji Umar, 8). Raja Haji Andi, 9). Raja Abdur Rasyid, 10). Raja Kaltsum, 11).
Raja Rahah, dan 12). Raja Amimah. Cucu-cucu RAH ini kemudian menjadi ulama-
ulama dan tokoh-tokoh masyarakat.
3. Pendidikan
RAH memperoleh pendidikan dasarnya dari ayahnya sendiri. Di samping itu, ia juga
mendapatkan pendidikan dari lingkungan istana Kesultanan Riau-Lingga di Pulau
Penyengat. Di lingkungan kesultanan ini, secara langsung ia mendapatkan
pendidikan dari tokoh-tokoh terkemuka yang pernah datang. Ketika itu banyak
tokoh ulama yang merantau ke Pulau Penyengat dengan tujuan mengajar dan
sekaligus belajar. Di antara ulama-ulama yang dimaksud adalah Habib Syeikh as-
Saqaf, Syeikh Ahmad Jabarti, Syeikh Ismail bin Abdullah al-Minkabawi, Syeikh Abdul
Ghafur bin Abbas al-Manduri, dan masih banyak lagi.
Pada saat itu, Kesultanan Riau-Lingga dikenal sebagai pusat kebudayaan Melayu
yang giat mengembangkan bidang agama, bahasa, dan sastra. Oleh karena RAH
merupakan bagian dari keluarga besar kesultanan, maka ia termasuk orang pertama
yang dapat bersentuhan dengan pendidikan model ini, yaitu bertemu langsung
dengan tokoh-tokoh ulama yang datang ke Pulau Penyengat. Ia belajar al-Qur’an,
hadits, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Pendidikan dasar yang diperoleh RAH adalah
sama dengan anak-anak seusianya. Hanya saja, memang RAH memiliki kecerdasan
yang di atas rata-rata.
RAH juga mendapatkan pendidikan dari luar lingkungan kesultanan. Ketika ia
beserta rombongan ayahnya pergi ke Betawi pada tahun 1822 (sebagaimana akan
dibahas pada bagian tersendiri), RAH memanfaatkan momentum ini sebagai
wahana untuk belajar. Ia juga pernah belajar bahasa Arab dan ilmu agama di
Mekkah, yaitu ketika ia bersama ayahnya dan sebelas kerabat lainnya mengunjungi
tanah suci Mekkah pada tahun 1828 (untuk berhaji). Mereka merupakan
bangsawan Riau yang pertama kali mengunjungi Mekkah. RAH beserta ayah dan
rombongannya sempat ke Mesir, setelah berkelana di Mekkah beberapa bulan.
Ketika itu, RAH masih berusia muda.
Selama berkelana di Mekkah, RAH memanfaatkan banyak waktunya untuk
menambah pengetahuan keagamaannya. Di tanah suci inilah, pendidikannya
seakan-akan mengalami peningkatan yang sangat tajam. Di sana ia sempat
berhubungan dengan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fatani. Ia belajar kepadanya
seputar pengetahuan bahasa Arab dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Ulama ini
merupakan sosok ulama terpandang di kalangan masyarakat Melayu yang ada di
Mekkah. Selama di Mekkah, RAH juga bersahabat dengan salah seorang anak Syeikh

4
Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari, yaitu Syeikh Syihabuddin bin Syeikh
Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari.
4. Pengalaman Jabatan
Ketika masih dalam usia muda, RAH sudah diamanahi tugas-tugas kenegaraan yang
penting. Dalam usia 30 tahun, RAH mengikuti saudara sepupunya, Raja Ali bin Ja’far,
pergi ke seluruh kawasan Kesultanan Riau-Lingga hingga ke pulau-pulau terpencil.
Keperluan mereka adalah untuk memeriksa kawasan tersebut. Ketika Raja Ali bin
Ja’far dipercaya menjadi Wakil Yang Dipertuan Muda di Kesultanan Riau-Lingga,
RAH juga ikut membantu pekerjaan saudara sepupunya itu.
Ketika usia RAH telah mencapai 32 tahun, ia beserta saudara sepupunya itu
dipercaya memerintah wilayah Lingga untuk mewakili Sultan Mahmud Muzaffar
Syah, yang pada saat itu masih berumur sangat muda. Ketika itu Sultan Mahmud
Muzaffar Syah belum mau menunjuk Yang Dipertuan Muda pengganti Marhum
Kampung Bulan yang telah meninggal dunia. Pada tanggal 26 Juni 1844 atau Hari
Rabu 9 Jumadil-akhir 1260 H, RAH membuat petisi yang isinya mendukung Raja Ali
menjadi Wakil Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau-Lingga. Petisi itu ditandatangani
oleh para pendukung Raja Ali.
Ketika Raja Ali bin Ja’far diangkat sebagai Yang Dipertuan Muda Riau VIII pada tahun
1845, RAH diangkat sebagai penasehat keagamaan kesultanan. Meski diserahi
tanggung jawab kenegaraan yang begitu berat karena menguras tenaga dan
pikirannya, namun RAH tetap menunjukkan profesionalitasnya sebagai penulis yang
sangat produktif.
Bersama dengan Raja Abdullah Mursyid dan Raja Ali bin Ja’far, RAH berdagang di
Pulau Karimun dan Kundur. Mereka juga mengelola penambangan timah. Ketika
Yang Dipertuan Muda Riau Raja Ali bin Ja’far digantikan oleh adiknya Raja Haji
Abdullah Mursyid, RAH dan Raja Ali bin Ja’far kemudian membangun lembaga
“Ahlul Halli wa Aqdi” yang membantu jalannya roda pemerintahan kesultanan.
Menjelang wafatnya pada tahun 1858, Yang Dipertuan Muda Raja Haji Abdullah
Munsyi menulis surat wasiat yang isinya mengangkat RAH sebagai pemegang segala
pekerjaan hukum, yaitu semua urusan yang menyangkut jurisprudensi Islam. Di
sela- sela tugasnya sebagai abdi negara, pada tanggal 7 Mei 1868, RAH mengetuai
rombongan Kesultanan Riau-Lingga menuju Teluk Belanga untuk menghadiri
penobatan Tumenggung Johor Abu Bakar sebagai Maharaja Johor. Pekerjaan
sebagai penanggung jawab bidang hukum Islam di Kerajaan Riau-Lingga diemban
oleh RAH hingga ia meninggal pada tahun 1873.
5. Aktivitas Nasional dan Internasional
5. 1. Perjalanan ke Betawi

5
RAH dikenal sangat dekat dengan ayahnya. Pada tahun 1822, RAH ikut ayahnya ke
Betawi selama tiga bulan. Ayahnya membawa rombongan Kesultanan Riau-Lingga,
termasuk istri dan dua orang anaknya, yaitu RAH sendiri dan Raja Muhammad.
Kepergian ayahnya beserta rombongan itu adalah dalam suatu urusan Kesultanan
Riau-Lingga dengan pemerintah Hindia Belanda, tepatnya dalam urusan
perdagangan dan penelitian. Secara khusus, rombongan ini akan menemui
Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Godart Alexander Gerad Philip Baron van der
Capellen. Mereka bertolak dari Riau dengan menggunakan sebuah penjajab, sebuah
penisi, sebuah “belah semangka”, dan sebuah perahu biasa. Perjalanannya dimulai
dengan bersinggah sebentar di Lingga, dan kemudian meneruskan pelayaran
melalui Selat Bangka.
Sesampainya di Betawi, RAH memanfaatkan sebaik-baiknya apa yang bakal dilihat
atau ditemuinya di sana. Ia sempat bertemu dengan Gubernur Jenderal Godart
Alexander Gerard Philip Baron van der Capellen yang menjamu rombongan Raja
Ahmad di Istana Gubernur Jenderal Belanda. Ia juga dapat berkenalan dengan
beberapa orang Belanda yang menguasai bahasa Melayu dengan baik. Ia juga dapat
mengunjungi Bogor dan menonton berbagai pertunjukan kesenian di sana, seperti
opera. Ia juga sempat mengunjungi ulama terkenal Betawi bernama Saiyid Abdur
Rahman al-Mashri.
Rekaman peristiwa dan pengalaman RAH selama di Betawi dituangkan dalam
karyanya berjudul Tuhfat al-Nafis. Ada dua peristiwa penting dari pengalamannya
selama di Betawi yang kelak mempengaruhi pemikiran RAH. Pertama,
kesempatannya ketika menonton opera di Gedung Schouwburg (yang kini bernama
Gedung Kesenian Pasar Baru Jakarta). Bangunan gedung ini bentuknya seperti
rumah yang lekuk ke dalam tanah. Kedua, pertemuannya dengan Christiaan van
Angelbeek, penerjemah resmi Biro Urusan Pribumi pada Pemerintah Hindia
Belanda.
Pada abad ke-19, sebenarnya ada tiga buah gedung yang sering digunakan sebagai
tempat pertunjukan kesenian di Betawi, yaitu Gedung Schouwburg, Gedung
Societet de Harmonie, dan Gedung Societet Concordia. Gedung terakhir tidak
mungkin ditonton oleh RAH dan rombongan Kesultanan Riau-Lingga karena baru
dibangun setelah kedatangan mereka, yaitu pada tahun 1833. Gedung Societet de
Harmonie sendiri dibangun pada tahun 1815 dengan kapasitas tempat duduk 250
orang dan beratapkan rumbia. Oleh Daendels, gedung ini difungsikan sebagai
gedung pameran. Pada tahun 1821, gedung ini dipugar kembali untuk dijadikan
sebagai gedung teater dengan luas 1.476 meter persegi dan diberi nama
Schouwburg.
Pernah ada perdebatan tentang manakah yang benar: di Gedung Societet de

6
Harmonie atau di Gedung Schouwburg sebagai tempat RAH dan rombongan
Kesultanan Riau-Lingga menonton berbagai pertunjukan kesenian? Teks dalam
Tuhfat al-Nafis disebutkan: “Syahdan pada satu malam datang panggil Gubernur
Jenderal segala anak raja utusan itu; yang disuruhnya yaitu Sayid Hasan. Maka
pergilah sekalian utusan itu. Maka lalulah dibawanya kepada satu rumah main
wayang, Holanda, kata orang namanya wayang komedi, dan sifat rumahnya itu
lekuk ke dalam tanah....”. Berdasarkan teks ini, maka jelas bahwa gedung yang
ditontoh RAH dan rombongan Kesultanan Riau-Liangga adalah Gedung Schouwburg
(yang terbaru), bukan Gedung Societet de Harmonie.
Pada tahun 1826, RAH juga pernah ikut ayahnya pergi ke pesisir utara Pulau Jawa,
selain Betawi. Ayahnya melakukan perjalanan ke sana dengan tujuan berniaga agar
dapat menghasilkan dana untuk pergi haji. Menurut cerita, RAH sempat sakit di
Kota Juana, bahkan dalam keadaan koma (hampir meninggal). Ayahnya sempat
membelikan keranda karena mengira anaknya akan meninggal. Namun atas kuasa
Allah SWT, RAH akhirnya dapat sembuh kembali.
5. 2. Perjalanan ke Mekkah
Sebagaimana telah sedikit dibahas pada bagian sebelumnya, pada tahun 1828 RAH
mengikuti sejumlah rombongan Kesultanan Riau-Lingga untuk menunaikan ibadah
haji yang dipimpin oleh ayahnya sendiri (Raja Ahmad). Pada tanggal 5 Maret 1828
atau 18 Sya’ban 1243, rombongan ini sampai di Jeddah. Sejak menunaikan ibadah
haji itu, Raja Ahmad dikenal dengan gelar Engku Haji Tua dan anaknya (RAH) mulai
bergelar Raja Ali Haji. Selama berkelana di Mekkah, RAH banyak mendapat ilmu
yang sangat berharga dalam kehidupan dan perkembangan intelektualnya.
Sekembalinya dari tanah suci, RAH menjadi ulama terkemuka di masanya. Ketika
saudara sepupunya yang bernama Raja Ali bin Raja Ja’far menjadi Yang Dipertuan
Muda Kerajaan Riau VIII (tahun 1845-1857) menggantikan saudaranya Raja Abdur
Rahman bin Raja Haji Yamtuan Muda Kerajaan Riau VII (tahun 1833-1845), RAH
diminta oleh sepupunya itu untuk mengajar agama Islam di lingkungan Kesultanan
Riau-Lingga. Bahkan, Raja Ali bin Raja Ja’far juga ikut belajar kepada RAH.
RAH menjadi tumpuan banyak orang yang menanyakan masalah-masalah
keislaman. Dengan penuh kesabaran, ia menuntun dan membimbing masyarakat
dengan segala keahliannya. Ia dikenal ahli dalam bidang agama, sastra, bahasa,
sejarah, hukum, dan tata negara. Ia mengajarkan ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu
ushuluddin, ilmu fikih, ilmu tasawuf, dan pengetahuan agama lainnya. Ada banyak
tokoh ulama setelah itu yang merupakan murid RAH, di antaranya adalah Raja Haji
Abdullah yang kemudian menjadi Yang Dipertuan Muda Riau IX (tahun 1857-1858)
dan Saiyid Syaikh bin Ahmad al-Hadi.

7
5. 3. Aktivitas Kepenulisan
Usia 40 tahun adalah masa di mana RAH banyak mencurahkan perhatiannya pada
penulisan karya-karya sastra. Ia tercatat sebagai penulis paling produktif di
masanya. Kesultanan Riau-Lingga, Johor, dan Pahang ketika itu menjadi terkenal
berkat karya- karya RAH yang banyak dibicarakan pakar bahasa dan sastra di
Nusantara dan juga di luar negeri.
Adapun aktivitas kepenulisan RAH digambarkan berikut ini. Pada tahun 1846, RAH
menyelesaikan penulisan karya Gurindam Dua Belas, yang diterbitkan dalam bahasa
Belanda Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap II (oleh E. Netscher) pada
tahun 1854. Karyanya berjudul Bustanul Katibin selesai dicetak di Betawi pada
tahun 1850. Pada tanggal 15 April 1857, karya ini dicetak-batu di Pulau Penyengat.
Pada tahun ini pula, RAH dan Haji Ibrahim bekerjasama dengan H. Von de Wall
menyusun sebuah kamus bahasa Melayu. Pada tahun ini, RAH menyiapkan naskah
berjudul Muqaddimah fi Intizam al-Wazaif al-Mulk Khususan ila Maulana wa
Shahibina Yang Dipertuan Muda Raja Ali al-Mudabbir lil Biladi al-Riauwiyah wa Sairi
Dairatihi, yaitu sebuah risalah tipis yang berisikan tiga buah wazifah yang dijadikan
sebagai pegangan oleh pemegang kendali hukum sebelum menjatuhkan (putusan)
hukuman. Pada tahun 1865, karyanya Silsilah Melayu dan Bugis selesai ditulis. Pada
tahun 1866, RAH menyelesaikan karya Syair Hukum Nikah atau Kitab Nikah atau
Syair Suluh Pegawai. Pada tanggal 25 November 1866, RAH menyelesaikan Tuhfat
al-Nafis.
RAH dikenal dekat dengan Hermann von de Wall yang nama aslinya adalah
Hermann Theodor Friedrich Karl Emil Wilhelm August Casimir von de Wall
(kelahiran Giessen, Jerman, tanggal 30 Maret 1807). Pada bulan November hingga
Desember 1807, RAH menyiapkan sebuah silsilah untuk sahabatnya itu. Pada
tanggal 12 Juni 1862, RAH menyarankan kepada Hermann von de Wall agar
menyusun sebuah kamus bahasa Melayu. Kerjasama mereka berlanjut hingga tahun
1870, di mana H. Von de Wall menerbitkan Bustanul Katibin karya RAH sebagai
“Kitab perkeboenan djoeroetoelis bagi kanak-kanak yang hendak menoentoet
belajar akan dija”. Atas kerjasama sahabatnya itu pula, pada tahun 1872 karya RAH
berjudul Tjakap-2 Rampai-2 Bahasa Malajoe Djohor jilid II diterbitkan oleh
Percetakan Gupernemen di Betawi (Batavia). Pada tanggal 2 Mei 1873, H. Von de
Wall meninggal dunia. Sebagaimana disebutkan di atas, diperkirakan RAH
meninggal dunia pada tahun yang sama.
6. Penghargaan
Pada tanggal 10 November 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada RAH pada saat peringatan Hari
Pahlawan 10 November di Istana Negara, Jakarta. Buku karya RAH berjudul Kitab

8
Pengetahuan Bahasa (selesai ditulis tahun 1851 M, dicetak di Singapura tahun 1925
M) telah ditetapkan dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 sebagai
bahasa nasional (Indonesia). Atas dasar kontribusi yang sangat penting inilah,
penghargaan tersebut memang layak diberikan kepada Raja Ali Haji. (HS/tkh/33/12-
07).

Sumber
Abdullah, Wan Mohd. Shaghir. “Raja Ali Haji: Pujangga Melayu
termasyhur”,www.ulama-nusantara.blogspot.com. Junus, Hasan. 2002.
Raja Ali Haji: Budayawan di Gerbang Abad XX, cet. II. Pekanbaru: Unri
Press.
“Raja Ali Haji: Magma Sastra Melayu”, dalam
http://www.kompas.com/gayahidup/news/0411/25/011519.htm, diakses
tanggal 20 November 2007.
Tim Penyusun, Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji sebagai Bapak Bahasa Indonesia,
(Pekanbaru: Unri Press, 2004). “Ulama dan Sastrawan Melayu”, dalam
http://republika.co.id/, diakses tanggal 21 November 2007.

9
BIOGRAFI HAMZAH FANSURI

Pada abad ke XVII, kerajaan Aceh mencapai zaman kejayaannya. Kerajaan Aceh
pada masa ini banyak dikunjungi oleh ulama dan orang-orang Muslim yang ingin
menuntut ilmu Islam, baik dari mancanegara maupun dalam negeri. Hal ini
disebabkan karena Aceh pada waktu itu merupakan tempat studi agama Islam yang
terkenal di kepulauan Nusantara dan sekitarnya. Selama di Aceh, orang-orang yang
menuntut ilmu agama Islam ini bekerja sebagai pengajar ilmu agama dan ada juga
yang menjadi pengarang kitab dari berbagai cabang ilmu pengetahuan. Salah satu
cendikiawan yang turut menuntut ilmu di Aceh ialah Hamzah Fansuri yang terkenal
dengan ajaran tasawuf wujudiyah-nya. Kehidupan Hamzah Fansuri tidak terlepas
dari sejarah perjalanan penyebaran agama Islam di Nusantara. Hamzah Fansuri

10
merupakan orang pertama yang mempelopori pengembangan sastra Melayu di
Nusantara dengan aliran tasawuf wujudiyah yang diaplikasikan dalam kehidupan
dan dipaparkan dengan lirik sastra Melayu.
Hamzah Fansuri adalah seorang cendikiawan, ulama tasawuf, sastrawan, dan
budayawan terkemuka. Ia diperkirakan telah menjadi penulis pada masa Kesultanan
Aceh diperintah oleh Sultan Alauddin Riayat Syah Sayid al-Mukammal (1588-1604)
dan dapat ditarik benang merah jika Hamzah Fanshuri hidup antara pertengahan
abad ke-16 hingga awal abad ke-17. Ia berasal dari Fansur yakni sebuah kota pantai
di barat Sumatera bagian utara, arah ke selatan daerah Aceh (sekarang sebagian
masuk dalam wilayah Sumatera Utara). Ciri khas negeri Fansur itu adalah penghasil
kapur barus yang sangat terkenal di dunia pada saat itu. Ia sering melakukan
perjalanan untuk menuntut ilmu, antara lain ke Kudus, Banten, Johor, Siam, India,
Persia, Irak, Mekah, Madinah, dan lain-lain. Setelah pengembaraannya selesai, ia
kembali ke Aceh dan mengajarkan ilmunya. Pada mulanya ia berdiam di Barus lalu
ke Banda Aceh, kemudian ia mendirikan dayah di Oboh, Singkil.
Hamzah Fansuri termasuk orang yang sangat gemar dan mementingkan dalam
mencari ilmu, terutama ilmu agama, khususnya tasawuf. Untuk itu, ia tidak segan-
segan berpergian jauh dalam waktu lama untuk tujuan itu. Namun, perjalanannya
tidak hanya untuk mencari ilmu pengetahuan tetapi juga untuk kepentingan amalan
agama, terutama berkaitan dengan ajaran tasawuf yang dianutnya. Hamzah Fansuri
dapat dikatakan tokoh tasawuf dari Aceh yang membawa faham wahdatul wujud.
Ajaran Hamzah Fansuri ini banyak bersumber dari pemikiran Ibnu Arabi. Ajaran
wahdatul wujud adalah ajaran yang meyakini bahwa Tuhan dapat bersatu dengan
makhluknya atau serupa dengan pengertian pantheisme. Jasanya yang paling
menonjol dalam bidang pendidikan adalah usahanya memperkaya bahasa Melayu
menjadi bahasa ilmu pengetahuan yang tidak kalah dengan bahasa-bahasa ilmu
pengetahuan dunia lain. Oleh karena itu, Hamzah Fansuri dianggap sebagai perintis
penggunaan bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu pengetahuan yang hingga kini
semakin berkembang pesat.            
Pada mulanya Hamzah Fansuri mempelajari ilmu tasawuf setelah menjadi anggota
tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Abdul Qadir Jailani. Pengaruh Hamzah Fansuri
cepat tersebar di seluruh Nusantara terutama melalui pengajaran-pengajaran yang
beliau berikan selama perantauan ke berbagai tempat dan melalui karya-karyanya
yang tersebar di seluruh Asia Tenggara. Murid-muridnya pun tersebar pula di mana-
mana. Hamzah Fansuri tidak saja dikenal sebagai ulama tasawuf dan sastrawan
terkemuka tetapi juga seorang perintis dan pelopor pembaharuan yang sangat
besar bagi perkembangan kebudayaan Islam di Nusantara. Khususnya di bidang
kerohanian, keilmuan, filsafat, bahasa, dan sastra. Di bidang keilmuan, Hamzah
Fansuri telah mempelopori penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang

11
demikian sistematis dan bersifat ilmiah. Sebelum karya-karya Hamzah Fansuri
muncul, masyarakat Melayu mempelajari masalah-masalah agama, tasawuf, dan
sastra melalui kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab dan Persia.
Hamzah Fansuri juga telah berhasil meletakkan dasar-dasar puitika dan estetika
Melayu. Dasar-dasar puitika ini terekam dalam syair-syair Hamzah Fansuri yang
diketahui tidak kurang 32 untaian. Syair ini dianggap sebagai syair Melayu pertama
yang ditulis dalam bahasa Melayu, yaitu sajak empat baris dengan pola bunyi akhir
a-a-a-a pada setiap barisnya.
Ciri-ciri sajaknya yang menonjol akhirnya dijadikan semacam konvensi sastra atau
puisi Melayu klasik. Pertama, pemakaian penanda kepengarangan. Kedua, banyak
petikan ayat Al Qur’an, Hadits, Pepatah, dan kata-kata Arab. Itu menunjukkan
derasnya proses Islamisasi untuk pertamakalinya melanda bahasa, kebudayaan dan
sastra Melayu abad ke-16. Ketiga, dalam setiap bait terakhir syairnya selalu
mencantumkan takhallus (nama diri), yaitu nama julukan yang biasanya didasarkan
pada nama tempat kelahiran penyair atau tempat ia dibesarkan. Keempat, terdapat
pula tamsil dan citraan-citraan simbolik atau konseptual yang biasa digunakan oleh
penyair-penyair Arab dan Persia dalam melukiskan pengalaman dan gagasannya.
Kelima, karena paduan yang seimbang antara diksi atau pilihan kata, rima dan
unsur-unsur puitik lainnya. Sumbangan pemikiran selanjutnya mengenai
kebahasaan dapat dibaca dalam syair-syair dan risalah-risalah tasawuf Hamzah
Fansuri.
Hamzah Fansuri mempelopori pula penulisan puisi-puisi filosofis dan mistis bercorak
Islam. Sangat besar jasanya dalam proses Islamisasi bahasa Melayu. Islamisasi
bahasa sama saja dengan Islamisasi pemikiran dan kebudayaan. Syair-syairnya
bukan saja memperkaya perbendaharaan kata bahasa Melayu tetapi juga
mengintegrasikan konsep-konsep Islam dalam berbagai bidang kehidupan dalam
sistem bahasa dan budaya Melayu. Kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar
ditandingi oleh penyair lain yang sezaman bahkan sesudahnya.
Bidang kebahasaan, Hamzah Fansuri telah memberikan sumbangan pemikirannya.
Pertama, sebagai penulis pertama kitab keilmuan dalam bahasa Melayu. Ia telah
berhasil mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa intelektual dan ekspresi
keilmuan yang hebat. Dengan demikian, kedudukan bahasa Melayu di bidang
penyebaran ilmu dan persuratan menjadi sangat penting dan mengungguli bahasa-
bahasa Nusantara lainnya pada waktu itu. Oleh karena itu, pada abad ke-17 bahasa
Melayu menjadi bahasa pengantar pada berbagai lembaga pendidikan Islam.
Bahkan digunakan pula oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai bahasa
administrasi dan bahasa pengantar di sekolah-sekolah pemerintah. Hal ini
memberikan peluang besar terhadap bahasa Melayu untuk berkembang maju dan

12
dipilih serta ditetapkan menjadi bahasa persatuan dan kebangsaan Indonesia pada
dewasa ini.
Dalam bidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra, Hamzah Fansuri telah
mempelapori penerapan metode takwil atau hermeneutika keruhanian. Sebagai
contoh, dalam tulisannya Rahasia Ahli Makrifat, Hamzah Fansuri menyampaikan
analisisnya dengan tajam dan dengan landasan pengetahuan yang luas mencakup
metafisika, teologi, logika, epistemologi, dan estetika. Murid Hamzah Fansuri yang
terkenal ialah Syekh Syamsuddin bin Abdullah as Samathrani. Ia sangat berpengaruh
dalam kehidupan keagamaan di Kesultanan Aceh Darussalam, terutama pada masa
pemerintahan Sayid al Mukammal dan Sultan Iskandar Muda. Pendirian Syekh
Syamsuddin itu merupakan cerminan dari pendirian Hamzah Fansuri. Hal itu dapat
dilihat dari seluruh karya Syamsuddin, bahkan karyanya tersebut dapat dianggap
memperjelas pendirian Hamzah Fansuri.
Salah satu pandangan dan uraian Syamsuddin atas karya Hamzah Fansuri berjudul
Ruba-i Hamzah Fansuri. Namun, setelah Sultan Iskandar Muda meninggal, ajaran
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin mendapat serangan hebat dari ulama besar
lainnya yaitu Nuruddin Ar-Raniri dan Abdurrauf Al Singkili. Bentuk dan sifat
pertentangan ini berpangkal pada adanya dua aliran dalam ilmu tasawuf yang
memang sulit untuk dikompromikan. Aliran pertama seperti sudah disebutkan yaitu
wujudiyah, teori ini merupakan monisma (serba esa). Menurut ahli tasawuf dari
aliran itu, dunia hanyalah emanasi atau pancaran dari inti sari yang tidak tercipta.
Aliran yang kedua wihdatussyuhud yakni kesatuan persaksian.
Pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda sebenarnya telah ada benih-benih
pertentangan kedua aliran tasawuf tersebut tetapi dengan kebijaksanaan Sultan
Iskandar Muda pertentangan itu tidak sampai menimbulkan kekacauan dikehidupan
keagamaan. Sesudah Sultan Iskandar Muda mati maka Syekh Nuruddin Ar Raniri
berhasil mempengaruhi Sultan Iskandar Sani untuk meberantas ajaran-ajaran
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Samathrani yang dianggap olehnya sebagai
ajaran sesat. Buku-buku karya Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as Samathrani
dibakar dan dimusnahkan. Serta rakyat Aceh dilarang menganut faham kedua tokoh
tersebut.
Karya-karya Hamzah Fansuri dapat disebutkan di kesusasteraan Melayu/Indonesia
antaranya adalah:
 Syair Burung Pinggai, bercerita tentang burung pinggai yang melambangkan
jiwa manusia dan Tuhan. Dalam syair itu, Hamzah Fansuri mengangkat satu
masalah yang banyak dibahas dalam tasawuf, yaitu hubungan satu dan
banyak. Yang esa adalah Tuhan dengan alamnya yang beraneka ragam.

13
 Syair Burung Pungguk, bercerita tentang hubungan manusia denga Tuhan.
Syair Perahu, melambangkan tubuh manusia sebagai perahu layar di laut.
Pelayaran itu penuh marabahaya. Apabila manusia kuat memegang
keyakinan akan Tuhan maka dapat dicapai suatu tahap yang menunjukkan
tidak adanya perbedaan antara Tuhan dengan Hambanya.
 Syair Dagang, bercerita tentang kesengsaraan seorang anak dagang yang
hidup di rantau.
 Asrar al Arifin fi Bayan Ilmi as Suluk wa at Tauhid (keterangan mengenai
perjalanan ilmu suluk dan keesaan Tuhan), berisi pandangan Hamzah Fansuri
tentang makrifat Tuhan, sifat Tuhan, dan nama Tuhan. Dalam karya ini ia
mengatakan bahwa pada dasarnya syariat, hakikat, dan makrifat adalah
sama.
 Syarah al Asyiqin (minuman orang-orang yang cinta kepada Tuhan). Berisi
antara lain tentang perbuatan syariat, perbuatan tarikat, perbuatan hakikat,
perbuatan makrifat, kenyataan zat Tuhan, dan sifat-sifat Tuhan. Di sini
Hamzah Fansuri memandang Tuhan sebagai yang maha sempurna dan yang
maha mutlak. Dalam kesempurnaan itu, Tuhan mencakup segala-galanya.
Apabila tidak mencakup segala-galanya, Tuhan dapat disebut maha
sempurna dan maha mutlak, karena mencakup segala-galanya maka
manusia juga termasuk dalam Tuhan.
 Syair sidang faqir
 Syair ikan tongkol
 Al-Muhtadi
 Ruba’i Hamzah al-Fansuri

14

Anda mungkin juga menyukai