Anda di halaman 1dari 6

Nama : Firdaus

Nim : 20102086

Prodi : ilmu pemerintahan

Semester 2

RAJA HAJI FISABILILLAH.

BIODATA.

Raja Haji Fisabilillah adalah pahlawan nasional dari Kerajaan Melayu. Dia lahir di Riau tahun
1975. Dia kemudian mendapatkan julukan Dipertuan Muda Riau-Lingga-Johor-Pahang IV
(YDM) Kerajaan Melayu Riau pada tahun 1777.

Raja Haji memerintah kerajaan Melayu, Riau. Di tangannya, Kerajaan Melayu berkembang
cukup baik. Dia juga berjuang untuk melawan Belanda. pada tahun 1780, Kerajaan Melayu Riau
telah mengadakan perjanjian damai dengan Belanda. Namun karena Belanda melanggar
perjanjian tersebut, maka peperangan di antara keduanya pun tidak dapat dihindari. Raja Haji
kemudian bekerja sama dengan Sultan Selangor untuk memerangi Belanda di Malaka. Untuk
menghadapi pasukan gabungan tersebut, Belanda mendatangkan pasukannya dari Pulau jawa
dalam jumlah yang besar.

Pada tahun 1784, terjadilah pertempuran hebat antara rakyat Malaka dengan Belanda. Raja Haji
sendiri yang memimpin pasukannya di Teluk Ketapang ( Melaka).  Jenazahnya dipindahkan dari
makam di Melaka (Malaysia) ke Pemakaman Raja-Raja Melayu Riau di Pulau Penyengat oleh
Raja Ja'afar (putra mahkotanya pada saat memerintah sebagai Yang Dipertuan Muda).

Atas Jasa – jasanya membela Indonesia, Raja Haji diberi gelar sebagai Pahlawan Nasional
berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No 072/TK/1887. Namanya juga diabadikan sebagai
nama bandar udara di Tanjung Pinang, Bandar Udara Internasional Raja Haji Fisabilillah.

Peran raja haji.


Raja Haji Fisabilillah lahir di Riau, 1727. Ia adalah adik dari Raja Lumu yang menjadi Sultan
Salehuddin Shah dari Selangor.  Sewaktu sang ayah wafat tahun 1744, Raja Haji masih berusia
19 tahun. Oleh sebab itu, ia pun ditunjuk untuk menjadi Engku Kelana.

Kemudian, tahun 1777, saat ia diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda Riau IV, Kerajaan Riau,
Johor, telah mengalami kemajuan pesat di bidang ekonomi, pertahanan, dan sosial budaya.
kiprah beliau Pada awal pemerintahannya, Raja Haji mengadakan perjanjian bersama Belanda. 
Salah satu isi perjanjiannya yaitu mengenai kapal asing yang disita Belanda atau Kerajaan Riau
harus dibagi dua antara Belanda dan Riau.  Namun, perjanjian tersebut dilanggar oleh Belanda. 
Raja Haji berusaha untuk membicarakan hal tersebut dengan Gubernur Belanda di Malaka, tetapi
gagal. Pada 6 Januari 1784, pasukan Belanda mendarat di Pulau Penyengat.

Tanggal 27 Januari 1784 seluruh kekuatan Belanda ditarik ke Malaka.  Kemudian, pada 13
Februari 1784, Raja Haji mengerahkan pasukannya untuk menyerang Malaka. Mereka mendarat
di Teluk Kepatang. Setelah bantuan datang dari pasukan Sultan Selangor, Raja Haji mulai
melawan.

Dalam kondisi yang hiruk pikuk, Belanda mendapat bantuan dari armada yang dipimpin Jacob
Pieter van Braam.  Pertempuran pun meletus pada 18 Juni 1784.  Raja Haji Fisabilillah gugur
dalam pertempuran tersebut bersama kurang lebih 500 pasukannya.  Keberaniannya ini
kemudian membuat Raja Hasi Fisabilillah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia
berdasarkan Keppres No. 972/TK/Tahun 1997, 11 Agustus 1997. Nama Raja Haji Fisabilillah
juga diabadikan menjadi nama sebuah masjid di Selangor. 

NILAI NILAI DAN SEMANGATNYA APA SAJA YG DI PERTOKOHKAN OLEH RAJA


HAJI YG HARUS KITA CONTOH.

Barangsiapa tiada memegang agama


Sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama
Barangsiapa mengenal yang empat
Maka yaitulah orang yang makrifat

Barangsiapa mengenal Allah


Suruh dan tegahnya tiada ia menyalah

Barangsiapa mengenal diri


Maka telah mengenal akan Tuhan yang bahari

Barangsiapa mengenal dunia


Tahulah ia barang yang terperdaya

Barangsiapa mengenal akhirat


Tahulah ia dunia mudharat

Itulah fasal pertama Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji yang telah akrab di telinga
kita. Gurindam Dua Belas memang telah sering kita dengan dan pelajari di bangku sekolah.
Sayangnya, hanya sebatas judul karyanya, tapi tidak dengan isinya. Ia lebih sering dilihat sebatas
sebuah karya sastra yang di dalamnya mengandung cikal bakal Bahasa Indonesia modern.
Padahal, Raja Ali Haji menuliskan karya ini untuk mendidik masyarakatnya ke arah kebaikan
melalui penyampaian sifat-sifat yang baik dan patut dilakukan dan pelarangan melakukan sifat-
sifat yang buruk dan tercela. Larangan dan perintah itu dilakukan terhadap tujuh anggota tubuh
yaitu mata, telinga, lidah, perut, kemaluan, dua kaki, dan dua tangan karena setiap anggota
mempunyai fungsinya dan wajar dijaga dari melakukan perkara yang keji.1

Di negara kita, nama Raja Ali Haji tampaknya dikenal baru sebatas karir kesusasteraan dan
kebahasaannya saja. Beliau dikenal sebagai Bapak Bahasa Indonesia dan diangkat menjadi
pahlawan nasional pada tahun 2014 silam. Padahal, kiprah Raja Ali Haji tidaklah sebatas itu.
Beliau adalah seorang ulama multi-disiplin yang juga membahas mengenai ketatanegaraan dan
sejarah. 

Riwayat Hidup Raja Ali Haji

Raja Ali Haji lahir pada tahun 1808 di Pulau Penyengat, pulau kecil yang kini menjadi bagian
dari Provinsi Riau. Di abad ke-19, pulau ini adalah pusat Kesultanan Riau-Lingga dan selama
abad itu hingga dua dasawarsa abad 20, pulau ini menjadi tempat yang paling banyak
menghasilkan karya dalam perjalanan budaya orang Melayu.2

Nama asli beliau adalah Tengku Haji Ali al-Haj bin Tengku Haji Ahmad bin Raja Haji
Fisabilillah bin Opu Daeng Chelak. Ayahnya bernama Raja Ahmad dan ibunya bernama Encik
Hamidah. Ayahnya adalah seorang tokoh politik dan ilmuwan terkenal yang telah menulis
banyak karya.3 Ayahnya juga merupakan saudara kandung Raja Jaafar (1779-1878), Yang
Dipertuan Muda (YDM) VI Kesultanan Riau-Lingga. Kakeknya adalah Raja Haji Fisabilillah,
YDM IV dari Kesultanan Riau-Lingga dan adik kandung Raja Lumu, Sultan Selangor yang
pertama. Kakeknya berjasa menjadikan Riau sebagai tempat terkenal sehingga dibanjiri oleh
ulama dan pedagang. Ia juga memakmurkan serta memperkuat pertahanan dan angkatan
bersenjata Riau. Sayangnya, ia meninggal dunia di Teluk Ketapang ketika melawan Belanda di
Malaka pada tahun 1784. Jika melihat silsilah beliau, dapat terlihat bahwa beliau lahir dari
kalangan keluarga istana dan baik dari sisi ayah maupun ibunya memiliki keturunan bangsawan
Melayu dan Bugis.

Raja Ali Haji dibesarkan ditengah pusat Kesultanan Joho-Riau-Lingga yang ketika itu menjadi
pusat perkembangan ilmu pengetahuan. Akses ini membuatnya mendapatkan pendidikan yang
terbaik di Pulau Penyengat. Pulau Penyengat, yang dibuka pada tahun 1804 adalah mas kawin
dari Sultan Mahmud Shah III kepada Engku Puteri Raja Hamidah. Pulau ini ramai dikunjungi
oleh banyak ulama yang mengajarkan ilmu agama kepada pemerintah, bangsawan, ataupun
masyarakat setempat.

Pendidikan awal Raja Ali Haji berasal dari ayahnya, tampat ia menerima ilmu agama. setelah
selesai, beliau menunaikan ibadah haji pada tahun 1828, di usia 19 tahun, di bawah bimbingan
langsung ayahnya. Mereka juga bermukim selama setahun di Tanah Suci, untuk menuntut ilmu
lebih dalam, khususnya Bahasa Arab, yaitu dalam hal menguasai dan memahami kitab berbahasa
Arab. Di sana beliau bertemu dengan ulama-ulama besar Melayu yang sedang berada di Mekah,
antara lain Syekh Daud al-Fattoni dan Syekh Syihabuddin al-Banjari. Dari kedua ulama inilah
beliau menelaah berbagai kitab karya para ulama Melayu.

Dari segi fiqih, seperti umumnya masyarakat Melayu, Raja Ali Haji memegang fiqih Mazhab
Syafi'i. Dari aqidah, beliau berpegang pada Ahlus Sunnah wal Jama'ah dengan mengasaskan
pemikirannya pada Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Beliau juga
mengamalkan sufi, yaitu melalui tarikat Naqshabandiyah al-Khalidiyah yang diterimanya dari
Syeikh Ismail Minangkabawi.4 

Sebenarnya tidak ada banyak catatan mengenai diri dan pribadi Raja Ali Haji, selain yang
bersumber pada salah satu karya beliau yang berjudul Tuhfat al-Nafis dan surat-surat beliau
kepada kawan Belandanya yang bernama Von de Wall. Berdasarkan karya beliau di atas,
diperkirakan beliau lahir pada tahun 1808/1809. Sedangkan waktu kematian beliau juga tidak
tercatat dalam catatan manapun. Namun, dari surat terakhirnya kepada Von de Wall diperkirakan
beliau meninggal sekitar tahun 1873.

Semasa hidupnya, Raja Ali Haji telah menjadi guru, ulama, dan penasihat para raja. Beliau
menjadi penasihat kepada tiga orang Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau, yaitu YDM Raja Ali
(1845-1857) yang masih sepupunya, YDM Raja Abdullah (1857-1858) yang juga masih
sepupunya, dan YDM Raja Muhammad Yusuf (1857-1899) putra YDM Raja Ali. Di masa
pemerintahan YDM Raja Ali, beliau ditugaskan untuk membawa masuk alim ulama ke Riau,
seperti Syed Abdullah Bahrain, untuk mengajarkan ilmu agama dan al-Qur'an baik kepada raja
maupun para pegawai kerajaan di Pulau Penyengat.

Raja Ali Haji mengajarkan fiqih, ushuluddin, nahwu, sharaf, dan bahasa Melayu kepada anak-
anak dan saudara-saudaranya yang berasal dari kalangan kerajaan. Selain itu, beliau juga turut
mengajarkan para pegawai negeri yang berada di Pulau Penyengat. Semasa menjadi penasihat
YDM Raja Abdullah, beliau juga dilantik untuk memegang segala urusan yang berkaitan dengan
hukum di Kerajaan Riau-Lingga, yang membuat nama beliau sangat dihormati tidak hanya oleh
masyarakatnya tetapi juga oleh Belanda.

Semangat dari diri beliau yang dapat kita ambil contoh yaitu dari karya beliau salah satunya
ialah.
Thamarat al-Muhimmah Ḍiyāfah li al-Umarā’ wa al-Kubarā’ li Ahl al-Maḥkamah (Buah-
buahan yang Dicita-cita jadi Jamuan bagi Raja-raja dan Orang Besar-besar yang Mempunyai
Pekerjaan di dalam Tempat Berhukum). 

Thamarat al-Muhimmah selesai ditulis pada 1275 H (1857 M), tapi baru diterbitkan pada 1304 H
(1886 M) di Lingga. Karya ini memiliki 79 halaman dan ditulis dalam Bahasa Melayu dengan
huruf Jawi. Di dalamnya terdapat tiga bagian dan 17 fasal, yang sebagian dipecah ke dalam furū
(cabang) dan setia (artikel perjanjian). Karya ini menunjukkan keluasan ilmu beliau di bidang
ketatanegaraan dan mengandung pemikiran-pemikiran penting mengenai segala hal yang
berkaitan dengan negara dan pemerintahan. Karya ini mengacu pada karya ulama sebelumnya,
seperi Tāj al-Ṣalāṭīn oleh al-Jawhari dan Bustān al-Salaṭīn oleh al-Raniri. Meskipun bersandar
pada karya-karya sebelumnya, tapi karya ini merupakan karya asli pertama dan terakhir sejauh
ini, yang ditulis oleh ilmuwan Melayu. Menurut Khalif Muammar A. Harris, kebesaran karya ini
karena bersandar pada karya-karya besar sebelumnya, selain juga karena kepiawaian Raja Ali
Haji dalam menggarap unsur-unsur baru dan terkini sesuai dengan semangat zamannya, serta
mencantumkan bait-bait syair untuk merumuskan mutiara-mutiara hikmah yang beliau jelaskan
dalam bukunya.

Anda mungkin juga menyukai