Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
Gurindam Pasal Pertama Barang siapa
tiada memegang agama, sekali-kali tiada
boleh dibilangkan nama. Barang siapa
mengenal yang empat,
maka ia itulah orang yang marifat
Barang siapa mengenal Allah, suruh
dan tegahnya tiada ia menyalah.
Barang siapa mengenal diri,
maka telah mengenal akan Tuhan yang bahari.
Barang siapa mengenal dunia,
tahulah ia barang yang teperdaya.
Barang siapa mengenal akhirat,
tahulah Ia dunia mudarat.
Demikian bunyi gurindam pasal pertama dari gurindam dua belas yang
ditulis Raja Ali Haji (1808-1873) yang merupakan keturunan kedua Raja Haji
Fisabillah Yang Dipertuan IV dari Kesultanan Lingga-Riau. Lahir di pulau
Penyengat Kepulauan Riau (Kepri) dan dikenal sebagai ulama penyair, ahli
sejarah, pedagogi pujangga, pencatat dasar-dasar tata bahasa Melayu melalui
Pedoman Bahasa, yang kemudian menjadi pijakan Bahasa Indonesia, yang
diresmikan dalam Kongres Pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928.
Kehebatan Raja Ali Haji dalam menafsir kebajikan dalam upaya
membangun moral individu pada setiap diri manusia tak perlu diragukan. Ini
tergambar utuh dari gurindam dua belas. Sebagaimana Confucius membangun
pilar-pilar karakter kebajikan pada masyarakatnya. Beliau terjun langsung ke
dunia pendidikan untuk mengajar Ilmu Nahu, Ilmu Sharaf, Ilmu Ushuluddin, Ilmu
Fiqih, dan Ilmu Tasawuf. Dengan kepakaran yang tinggi di berbagai disiplin ilmu
itu beliau menjadi seorang ulama besar yang sangat disegani.

Karya gurindam dua belas adalah maha karya Raja Ali Haji yang patut
dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari di Bumi Melayu
Kepulauan Riau. Sebagai pedoman bagi generasi mendatang, karya tersebut perlu
ditelaah sebagai pedoman bagi anak bangsa.
Mengamati keberadaan gurindam dua belas yang dibuat 300 tahun silam
tersebut, bisa disimpulkan bahwa Melayu adalah bangsa yang berjaya sejak dulu.
Kejayaan itu jelas terlihat dari segi budaya, etika, moral, tata krama, dan segala
tauladan kehidupan bersosial, beragama dan berbangsa.
Meskipun sebuah karya yang telah ada sejak ratusan tahun lalu, namun
kedahsyatan nilai yang terkandung dalam pasal demi pasal dalam gurindam dua
belas tak pernah lekang ditelan zaman. Isi dan pesan yang disampaikan selalu
relevan dengan perjalanan waktu, bahkan menjadi pedoman yang kokoh bagi
masyarakat Melayu hingga kini.

BAB II
GURINDAM DUA BELAS
A. LATAR BELAKANG GURINDAM DUA BELAS
1.

Riwayat Hidup Raja Ali Haji

Raja Ali Haji dilahirkan di Pulau Penyengat (sekarang masuk wilayah


Kepulauan Riau, Indonesia) pada tahun 1808 dari ayah bernama Raja Ahmad
(bergelar Engku Haji Tua) dan seorang ibu bernama Encik Hamidah binti
Panglima Malik Selangor. Raja Ali Haji adalah cucu dari Raja Haji Fisabilillah
Yang Dipertuan IV dari Kerajaan Riau-Lingga dan merupakan keturunan
bangsawan Bugis. Raja Ali Haji memiliki beberapa saudara laki-laki dan
perempuan dari ayah yang sama, yaitu Raja Haji Daud (sulung), Raja Endut alias
Raja Umar, Raja Salehah, Raja Cik, Raja Aisyah, Raja Abdullah, Raja Ishak, Raja
Muhammad, Raja Abu Bakar, dan Raja Siti (bungsu). Keluarga Raja Ahmad ini
termasuk orang-orang yang gemar menulis. Sebagai sastrawan, Raja Ahmad
pernah menghasilkan setidaknya tiga buah karya yaitu : Syair Engku Putri, Syair
Perang Johor, dan Syair Raksi. Darah sastrawan yang ada pada diri Raja Ahmad
tersebut tumbuh dan berkembang lebih besar pada diri Raja Ali Haji.
Sejak kanak-kanak, Raja Ali Haji mendapat pendidikan di lingkungan
istana kerajaan Penyengat dari para ulama yang datang dari berbagai negeri untuk
mengajarkan Islam. Untuk menambah wawasan, Raja Ali Haji seringkali
mengikuti perjalanan ayahnya ke berbagai daerah untuk berdagang, termasuk
perjalanan pergi haji. Tahun 1822 ia bersama sang ayah pergi ke Betawi
3

menjumpai Gubernur Jendral Baron van der Capellen. Saat itu, ia sempat
menonton Komidi Holanda di Schouwbrurg (sekarang Gedung Kesenian Jakarta).
Tahun 1826, bersama sang ayah ia berniaga ke pulau Jawa dan sempat bertemu
dengan Residen Jepara D.W. Punket van Haak. Sekitar tahun 1827, Raja Ali Haji
bersama ayahnya menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kemudian tinggal di sana
selama setahun untuk memperluas pengetahuan agama. Di Mekah, ia sempat
belajar beberapa bidang keislaman dan ilmu bahasa Arab pada Syeikh Daud bin
Abdullah Al-Fatani.
Berbekal pengembaraan intelektual dan pengalaman yang telah dilaluinya,
Raja Ali Haji tumbuh menjadi pemuda berwawasan luas. Meskipun usianya masih
muda, ia sudah dikenal sebagai seorang ulama yang seringkali diminta fatwanya
oleh pihak kerajaan. Pada tahun 1845, Raja Ali bin Raja Jafar diangkat menjadi
Yamtuan Muda, dan Raja Ali Haji dikukuhkan sebagai penasehat keagamaan
negara. Pada tahun 1858, Yang Dipertuan Muda Riau IX Raja Abdullah Mursyid
mangkat, maka Raja Ali Haji diberi amanat untuk mengambil alih segala urusan
hukum yaitu semua urusan yang menyangkut jurisprudensi Islam. Meskipun ia
memiliki posisi penting di pemerintahan Kerajaan Riau-Lingga, hal itu tak
membuat produktivitasnya dalam menulis menjadi surut.
Begitu piawainya ia menulis dan merangkai kata-kata, sehingga hasil
karyanya meliputi berbagai bidang bahasan, seperti keagamaan, kesusastraan
Melayu, politik, sejarah, filsafat, dan juga hukum. Lewat karya-karya tersebut,
Raja Ali Haji membuktikan dirinya tidak hanya sekadar sejarawan, tapi juga
seorang ulama, pujangga, dan sastrawan yang memiliki komitmen memelihara
nilai keislaman serta rasa tanggung jawab terhadap masyarakat. Ia dikenal sebagai
pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat karyanya Pengetahuan
Bahasa yang menjadi standar bahasa Melayu yang kemudian dalam Kongres
Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa
Indonesia. Ia juga dikenal sebagai sejarawan lewat karya monumentalnya berjudul
Tuhfat al-Nafis, dan sebagai sastrawan lewat karyanya Gurindam Dua belas.
Raja Ali Haji wafat pada tahun 1873 dan dimakamkan di Pulau Penyengat,
tepatnya di kompleks pemakaman Engku Putri Raja Hamida. Untuk melestarikan
4

karya-karyanya, pada awal tahun 1890, segenap sanak keluarganya mendirikan


perkumpulan bernama Rusdyiah Club yang bergerak di bidang pembinaan umat
serta penerbitan buku-buku Islami.
2.

Pemikiran / Pengaruh Raja Ali Haji


Sebagai sosok ulama dan kalangan elit kerajaan, pemikiran Raja Ali Haji

lebih banyak berkisar pada upaya restorasi kerajaan dan tradisi Melayu pada masa
itu. Pemikiran tersebut, sebagian besar tertuang dalam berbagai karyanya. Dalam
Tuhfat al-Nafis, disebutkan bahwa suasana Melayu telah memasuki masa modern
dan kolonialisme, dimana masyarakat Melayu tengah menghadapi perubahanperubahan di bidang sosial dan budaya. Maka Raja Ali Haji tampil sebagai
seorang askar kerajaan untuk menjaga keberlangsungan tradisi dan budaya
Melayu. Pemikiran Raja Ali Haji dinyatakan melalui himbauan moral yang
ditujukan kepada elit kerajaan yang berkuasa, agar melaksanakan kekuasaan
mereka berdasarkan nilai dan norma islami.
Dalam Tsamarat al-Muhimmah, Raja Ali Haji juga menegaskan bahwa
prasyarat untuk menjadi seorang raja dan elit kekuasaan, yaitu : harus beriman,
cakap, adil, bijaksana, serta syarat-syarat lain yang menjadi kriteria konsep
penguasa ideal. Baginya, kerajaan merupakan sistem politik yang tepat untuk
membangun masyarakat Melayu. Oleh karena itu, kedudukan raja sangat penting
dalam pembentukan kehidupan sosial-keagamaan kerajaan dan masyarakat.
Bahkan pada salah satu pembahasannya, ia mengetengahkan kritik pedas
terhadap perilaku politik raja-raja Melayu yang dinilai telah menyimpang dari
nilai-nilai Islam. Dalam hal ini, ia menunjuk pada konflik politik antara Sultan
Mahmud dan Raja Indra Bungsu, yang berujung pada terjadinya kerusuhan pada
tahun 1787. Menurut Raja Ali Haji, kasus ini merupakan bukti bahwa ajaran
Islam, khususnya pengendalian hawa nafsu, telah terabaikan dalam kehidupan
politik raja-raja Melayu. Dalam pemikiran-pemikiran yang dilontarkan, Raja Ali
Haji berusaha membangun kembali supremasi politik kerajaan Melayu sebagai
satu bangunan sosial-politik bagi masyarakat Melayu. Pemikiran Raja Ali Haji
tersebut banyak berpengaruh pada masyarakat Melayu, khususnya para seniman
5

dan budayawan di daerah Sumatera, Jawa, Malaysia, Singapura, Brunei, bahkan


sampai ke Belanda.
3.

Karya-karya Raja Ali Haji


Sebagai sosok ulama, pujangga, sejarawan dan budayawan, Raja Ali Haji

telah banyak melahirkan karya berupa naskah dan cetakan dalam huruf Arab,
antara lain :
a. Bustan al-Katibin Li al-Subyan al-Mutaallimin, Yayasan Kebudayaan
Indera Sakti Pulau Penyengat, (tahun 1983)
b. Kitab

Pengetahuan

Bahasa,

diterbitkan

oleh

Al-Mathba

at

Al-

Ahmadiyah/Al-Ahmadiah Press, Singapura (tahun 1345 AH).


c. Syiar Hoekoem Nikah
d. Syair Siti Shianah Shahib al-Ulum wa al-Amanah, Yayasan Kebudayaan
Indera Sakti Pulau Penyengat (tahun 1983)
e. Gurindam Dua belas dan terjemahannya dalam bahasa Belanda oleh E.
Netscher De Twaalf Spreukgedichten, diterbitkan oleh Tijdschrift van het
Bataviaasch Genootschap II, Batavia (tahun 1854)
f. Muqaddimah Fi Intizam al-Wazaif al-Mulk, diterbitkan oleh Pejabat
Kerajaan Lingga (tahun 1304 AH)
g. Tsamarat al-Muhimmah, diterbitkan oleh Pejabat Kerajaan Lingga (tahun
1304 AH)
h. Sinar Gemala Mestika Alam, diterbitkan oleh Mathba at Al-Riauwiyah,
Pulau Penyengat (tahun 1313 AH)
i. Silsilah Melayu dan Bugis, diterbitkan oleh Al-Imam, Singapura (tahun
1911)
j. Suluh Pegawai, diterbitkan oleh Mathba at Al-Ahmadiah, Singapura
(tahun 1342 AH)
k. Siti Shianah, diterbitkan oleh Mahtha at Al-Ahmadiah/Al-Ahmadiah
Press, Singapura (tahun 1923)
l. Tuhfat Al-Nafis, diterjemahkan oleh R.O Winstedt dan diterbitkan oleh
The Malayan Branch of Royal Asiatic Society, Singapura (tahun 1932)
6

m. Syair Abdul Muluk, Singapura.


Selain karya-karya tersebut di atas, Raja Ali Haji juga memiliki karya
yang dicetak dalam huruf Latin, antara lain :
a. E. Netscher, De twaalf spreukgedichten; Een Maleisch gedicht door Radja
Ali Hasji van Riouw, uitgegeven en van de vertaling en aanteekeningen
voorzien, Tijdschbrift voor indische Taal-, Land-en Volkenkunde 2 : 1132 (tahun 1854)
b. Bustanu al-Katibin, diterjemahkan oleh H. Von de Wall, Boekbeoordeling
door H von de Wall: Kitab Perkeboenan bagi kanak-kanak jang hendak
menoentoet berladjar akan dija, Tjidschrift voor Indische Taal-, Landen
Volekenkunde (tahun 1870)
c. Tuhfat Al-Nafis, diterjemahkan oleh Encik Munir bin Ali, Malaysian
Publication Ltd., Singapura (tahun 1965)
d. The Precious Gift (Tuhfat al-Nafis), diterjemahkan oleh Virginia
Matheson & Barbara Watson Andaya, Oxford University Press, Kuala
Lumpur (tahun 1982)
e. Tuhfat Al-Nafis: Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, diterjemahkan oleh
Virginia Matheson, Fajar Bakti, Petaling Jaya (tahun 1982)
f. Gurindam Dua belas, dalam Abdul Hadi W.M., Sastra Sufi; Sebuah
Antologi, Pustaka Firdaus, Jakarta (tahun 1985)
g. Kitab Pengetahuan Bahasa, diterjemahkan oleh R. Hamzah Yunus,
Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Pekanbaru (tahun 198-1987)
h. Syair Abdul Muluk, Balai Poestaka, Batavia, (tanpa tahun)
i. Syair Abdul Muluk, diterjemahkan oleh Siti Syamsiar, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Pekanbaru (tahun 1988-1989)
j. Tuhfat al-Nafis, Virginia Matheson Hooker, Dewan Bahasa dan Pustaka
Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur (tahun 1991)
k. Syair Suluh Pegawai, Al-Mathba ah al-Ahmadiyah/al-Ahmadiah Press,
Singapura (17 Rabiul Awal 1342 AH/1923)
7

l. Penyair dan Tuan Puteri, dalam Berkala Sastra Menyimak, terbitan ketiga
28 April 28 Juli, Pekanbaru (tahun 1993).
4.

Penghargaan yang diterima Raja Ali Haji


Raja Ali Haji dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional, atas karyanya

Kitab Pedoman Bahasa yang ditetapkan sebagai Bahasa Nasional, Bahasa


Indonesia, dari Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (10
November 2004).
5.

Tentang Gurindam Dua belas


Gurindam dua belas ditulis oleh Raja Ali Haji di Pulau Penyengat,

Kepulauan Riau, pada tarikh 23 Rajab 1263 Hijriyah atau 1847 Masehi dalam usia
38 tahun. Karya ini terdiri atas 12 pasal dan dikategorikan sebagai Syiar
al-Irsyadi atau puisi didaktik, karena berisikan nasihat dan petunjuk menuju hidup
yang diridhoi Allah. Selain itu terdapat pula pelajaran dasar Ilmu Tasawuf tentang
mengenal yang empat : yaitu syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Diterbitkan
pada tahun 1854 dalam Tijdschrft van het Bataviaasch Genootschap No. II,
Batavia, dengan huruf Arab dan terjemahannya dalam bahasa Belanda oleh Elisa
Netscher.
Gurindam dua belas merupakan salah satu karya monumental Raja Ali
Haji. Disebut monumental, karena walaupun ditulis sekitar dua abad yang lalu,
kedalaman makna, keindahan bunyi, serta kandungan isinya masih relevan hingga
saat ini. Gurindam termasuk salah satu bentuk puisi lama. Menurut Raja Ali Haji,
Gurindam adalah perkataan bersajak pada akhir pasangannya, tetapi sempurna
perkataannya dengan satu pasangan sahaja, jadilah seperti sajak yang pertama itu
syarah dan sajak yang kedua itu seperti jawab. Sementara disebut Gurindam dua
belas karena gurindam ini terdiri dari dua belas pasal.
Gurindam dua belas merupakan sari pati dari dua karya Raja Ali Haji,
muqaddima fi intizam dan tsamarat al muhimmah (Hasan Junus dkk, 1995: 114).
Oleh karena itu, walaupun hanya terdiri dari dua belas pasal, kandungan isi

Gurindam dua belas mencakup ranah yang sangat luas, seperti masalah ketuhanan,
keluarga, etika pergaulan, dan kenegaraan.
Raja Ali Haji, selaku seorang muslim yang taat, mengaktualisasikan empat
aspek ajaran agamanya itu (syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat ) ke dalam
Gurindam dua belas yang terkenal dalam sejarah sastra Melayu Indonesia. Raja
Ali Haji menciptakan Gurindam dua belas itu pada hakikatnya merupakan
cerminan perasaan, pengalaman, dan pemikirannya dalam hubungannya dengan
hidup dan kehidupan manusia di dunia ini. Gurindam dua belas itu dengan
sendirinya mengandung intensi Raja Ali Haji yang berupa buah pikiran dan
perasaannya,

pandangan

dan

gagasannya,

ataupun

segenap

pengalaman

kejiwaannya, yang pada gilirannya karya sastranya itu membuat pembaca yang
mampu memahaminya merasa senang dan dengan perasaan yang tidak mengenal
jemu senantiasa menjadikannya sebagai sesuatu yang menyenangkan dan
berguna.
Di dalam Gurindam dua belas itu Raja Ali Haji telah mengungkapkan
pemikiran dan cita-cita keagamaanya yang pada dasamya sangat erat kaitannya
dengan sumber dan muara gurindam sebagai karya sastra, yakni bidang agama
yang melingkupi Raja Ali Haji dan masyarakat Me1ayu. Bagi Raja Ali Haji,
seseorang sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama apabila dia tidak mengenal
dan menghayati yang empat seperti yang diungkapkannya di dalam gurindam
pasal yang pertama itu. yakni syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Oleh karcna
itu, tidaklah terlalu berlebihan apabila dikatakan bahwa agama Islam bagi Raja
Ali Haji merupakan gapura agung bagi karya sastranya, atau merupakan sumber
penciptaan gurindamnya dan kepada agamalah gurindamnya itu bermuara. "Pada
awal mula, segala sastra adalah religius," demikian kata mangunwijaya (1982),
walaupun harus disadari bahwa pengertian agama jangan diidentikkan dengan
pengertian religi.
Bagi Raja Ali Haji, dalam perspektif kebudayaan bangsa dan
masyarakatnya, agama Islam merupakan simpul pengikat bagi berbagai macam
tingkatan sosial dalam pembinaan kebudayaan itu sendiri. Agama (nilai-nilai
Islam) yang akan menjaga pranata tradisi Melayu, yang menjaga pranata moral,
9

dan yang akan mengarahkan pembinaan generasi dengan mengajarkan bermacam


kebajikan, kebaikan, dan kebenaran. Bersamaan dengan fungsinya yang
konservatif itu, agama (nilai-nilai Islam) bagi Raja Ali Haji juga merupakan faktor
yang kreatif dan dinamik, yang merangsang dan memberi makna kehidupan,
mempertahankan kemapanan suatu pola kemasyarakatan dan sekaligus sebagai
penunjuk jalan bagi umat manusia di tengah rimba belantara kehidupan dunia
dengan memberikan harapan akan masa depan. Dengan demikian, jelaslah bahwa
agama (nilai-nilai Islam) merupakan dorongan penciptaan gurindam dua belas dan
sebagai sumber ilhamnya.
B. ISI GURINDAM DUA BELAS
Gurindam I
Ini gurindam pasal yang pertama:
Barang siapa tiada memegang agama,
sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama.
Barang siapa mengenal yang empat,
maka ia itulah orang yang marifat
Barang siapa mengenal Allah,
suruh dan tegahnya tiada ia menyalah.
Barang siapa mengenal diri,
maka telah mengenal akan Tuhan yang bahari.
Barang siapa mengenal dunia,
tahulah ia barang yang teperdaya.
Barang siapa mengenal akhirat,
tahulah Ia dunia mudarat.
Gurindam II
Ini gurindam pasal yang kedua:
Barang siapa mengenal yang tersebut,
tahulah ia makna takut.
Barang siapa meninggalkan sembahyang,
10

seperti rumah tiada bertiang.


Barang siapa meninggalkan puasa,
tidaklah mendapat dua termasa.
Barang siapa meninggalkan zakat,
tiadalah hartanya beroleh berkat.
Barang siapa meninggalkan haji,
tiadalah ia menyempurnakan janji.
Gurindam III
Ini gurindam pasal yang ketiga:
Apabila terpelihara mata,
sedikitlah cita-cita.
Apabila terpelihara kuping,
khabar yang jahat tiadalah damping.
Apabila terpelihara lidah,
niscaya dapat daripadanya paedah.
Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan,
daripada segala berat dan ringan.
Apabila perut terlalu penuh,
keluarlah fiil yang tiada senunuh.
Anggota tengah hendaklah ingat,
di situlah banyak orang yang hilang semangat
Hendaklah peliharakan kaki,
daripada berjalan yang membawa rugi.
Gurindam IV
Ini gurindam pasal yang keempat:
Hal kerajaan di dalam tubuh,
jikalau lalim segala anggotapun rubuh.
Apabila dengki sudah bertanah,
datanglah daripadanya beberapa anak panah.
11

Mengumpat dan memuji hendaklah pikir,


di situlah banyak orang yang tergelincir.
Pekerjaan marah jangan dibela,
nanti hilang akal di kepala.
Jika sedikitpun berbuat bohong,
boleh diumpamakan mulutnya itu pekong.
Tanda orang yang amat celaka,
aib dirinya tiada ia sangka. Bakhil
jangan diberi singgah, itupun
perampok yang amat gagah.
Barang siapa yang sudah besar,
janganlah kelakuannya membuat kasar.
Barang siapa perkataan kotor,
mulutnya itu umpama ketur.
Di mana tahu salah diri,
jika tidak orang lain yang berperi.
Gurindam V
Ini gurindam pasal yang kelima:
Jika hendak mengenai orang berbangsa,
lihat kepada budi dan bahasa,
Jika hendak mengenal orang yang berbahagia,
sangat memeliharakan yang sia-sia.
Jika hendak mengenal orang mulia,
lihatlah kepada kelakuan dia.
Jika hendak mengenal orang yang berilmu,
bertanya dan belajar tiadalah jemu.
Jika hendak mengenal orang yang berakal,
di dalam dunia mengambil bekal.
Jika hendak mengenal orang yang baik perangai,
lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai.
12

Gurindam VI
Ini gurindam pasal yang keenam:
Cahari olehmu akan sahabat,
yang boleh dijadikan obat.
Cahari olehmu akan guru,
yang boleh tahukan tiap seteru.
Cahari olehmu akan isteri,
yang boleh menyerahkan diri.
Cahari olehmu akan kawan,
pilih segala orang yang setiawan.
Cahari olehmu akan abdi,
yang ada baik sedikit budi,
Gurindam VII
Ini Gurindam pasal yang ketujuh:
Apabila banyak berkata-kata,
di situlah jalan masuk dusta.
Apabila banyak berlebih-lebihan suka,
itulah tanda hampirkan duka.
Apabila kita kurang siasat,
itulah tanda pekerjaan hendak sesat.
Apabila anak tidak dilatih,
Jika besar bapanya letih. Apabila
banyak mencela orang, itulah
tanda dirinya kurang. Apabila
orang yang banyak tidur, sia-sia
sahajalah umur.
Apabila mendengar akan khabar,
menerimanya itu hendaklah sabar.
Apabila mendengar akan aduan,
membicarakannya itu hendaklah cemburuan.
13

Apabila perkataan yang lemah-lembut,


lekaslah segala orang mengikut.
Apabila perkataan yang amat kasar,
lekaslah orang sekalian gusar.
Apabila pekerjaan yang amat benar,
tidak boleh orang berbuat onar.
Gurindam VIII
Ini gurindam pasal yang kedelapan:
Barang siapa khianat akan dirinya,
apalagi kepada lainnya.
Kepada dirinya ia aniaya,
orang itu jangan engkau percaya.
Lidah yang suka membenarkan dirinya,
daripada yang lain dapat kesalahannya.
Daripada memuji diri hendaklah sabar,
biar dan pada orang datangnya khabar.
Orang yang suka menampakkan jasa,
setengah daripada syirik mengaku kuasa.
Kejahatan diri sembunyikan,
kebaikan diri diamkan.
Keaiban orang jangan dibuka,
keaiban diri hendaklah sangka.
Gurindam IX
Ini gurindam pasal yang kesembilan:
Tahu pekerjaan tak baik,
tetapi dikerjakan,
bukannya manusia yaituiah syaitan.
Kejahatan seorang perempuan tua,
itulah iblis punya penggawa.
14

Kepada segala hamba-hamba raja, di


situlah syaitan tempatnya manja.
Kebanyakan orang yang muda-muda,
di situlah syaitan tempat berkuda.
Perkumpulan laki-laki dengan perempuan,
di situlah syaitan punya jamuan.
Adapun orang tua yang hemat,
syaitan tak suka membuat sahabat
Jika orang muda kuat berguru,
dengan syaitan jadi berseteru.
Gurindam X
Ini gurindam pasal yang kesepuluh:
Dengan bapa jangan durhaka,
supaya Allah tidak murka.
Dengan ibu hendaklah hormat,
supaya badan dapat selamat.
Dengan anak janganlah lalai,
supaya boleh naik ke tengah balai.
Dengan isteri dan gundik janganlah alpa,
supaya kemaluan jangan menerpa.
Dengan kawan hendaklah adil supaya tangannya jadi kafill.
Gurindam XI
Ini gurindam pasal yang kesebelas:
Hendaklah berjasa,
kepada yang sebangsa.
Hendaklah jadi kepala,
buang perangai yang cela.
Hendaklah memegang amanat,
buanglah khianat.
15

Hendak marah,
dahulukan hajat.
Hendak dimulai,
jangan melalui.
Hendak ramai,
murahkan perangai.
Gurindam XII
Ini gurindam pasal yang kedua belas:
Raja muafakat dengan menteri,
seperti kebun berpagarkan duri.
Betul hati kepada raja,
tanda jadi sebarang kerja.
Hukum adil atas rakyat,
tanda raja beroleh inayat.
Kasihan orang yang berilmu,
tanda rahmat atas dirimu.
Hormat akan orang yang pandai,
tanda mengenal kasa dan cindai.
Ingatkan dirinya mati,
itulah asal berbuat bakti.
Akhirat itu terlalu nyata,
kepada hati yang tidak buta.
C. MAKNA TIAP PASAL PADA GURINDAM DUA BELAS
Gurindam Dua belas merupakan sari pati dari dua karya Raja Ali Haji,
muqaddima fi intizam dan tsamarat al muhimmah (Hasan Junus dkk,1995: 114).
Oleh karena itu, walaupun hanya terdiri dari dua belas pasal, kandungan isi
Gurindam Dua belas mencakup ranah yang sangat luas, seperti masalah
ketuhanan, keluarga, etika pergaulan, dan kenegaraan. Melalui Gurindam Dua

16

belas, nampaknya Raja Ali Haji hendak membangun sebuah masyarakat Melayu
yang berlandaskan nilai-nilai keislaman.
Dalam pasal pertama misalnya, Raja Ali Haji menekankan pentingnya
orang agama. Menurutnya, hanya orang-orang beragama yang namanya pantas
untuk disebutkan. Orang yang beragama niscaya akan mengetahui dirinya dan
mengenal tuhannya, sehingga dia tidak akan terpedaya oleh tipu daya dunia.
Setelah menekankan pentingnya beragama dan bertuhan pada pasal
pertama, pada pasal kedua Raja Ali Haji memberikan alasan mengapa hanya
orang beragama yang namanya layak untuk disebutkan. Menurutnya, agama
mempunyai seperangkat aturan yang akan menuntun manusia menuju kebaikan.
Pada pasal ketiga, Raja Ali Haji menekankan pentingnya menjaga anggota
badan.

Kemampuan

menjaga

anggota

badan

akan

membawa

manusia

mendapatkan kebaikan, dan kelalaian menjaganya akan merugikan. Misalnya


orang yang memelihara lidahnya, maka dia akan mendapatkan banyak faedah.
Sedangkan orang yang perutnya penuh (makan terus menerus), dari tubuhnya
hanya akan keluar barang-barang yang tidak senonoh.
Selanjutnya dalam pasal keempat, Raja Ali Haji berwasiat tentang
pentingnya menjaga hati agar terhindar dari sifat-sifat tercela, seperti dzalim,
dengki, marah, bakhil, dan lain sebagainya.
Setelah mengajarkan bagaimana menjadi individu yang baik dalam pasal
1-4, pada pasal kelima Raja Ali Haji mengajarkan bagaimana mengenal dan
memahami orang lain. Menurut Raja Ali Haji, dengan melihat budi dan bahasa
seseorang, kita akan mengetahui bangsa orang tersebut. Jika kita melihat orang
yang selalu memelihara yang sia-sia, maka kita akan bertemu dengan orang yang
berbahagia. Selain itu, pasal ini juga mengetengahkan bagaimana caranya
mengenal orang berilmu, berakal, dan berperangai baik. Dengan kata lain, dengan
melihat sikap dan perilaku seseorang, kita akan mengetahui dari jenis apakah
orang itu. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menjaga bahasa, sikap dan
perilaku kita.
Pasal keenam berisi tentang kriteria sahabat, guru, istri, dan kawan yang
harus dicari. Pasal ketujuh berisi himbauan agar senantiasa mawas diri, berbicara
17

seperlunya, tidak berhura-hura, para orang tua hendaknya melatih anaknya,


menjaga prilaku dan lain sebagainya. Demikian juga dengan pasal kedelapan dan
kesembilan. Di dalam kedua pasal tersebut, Raja Ali Haji mengingatkan kita agar
senantiasa mengerjakan hal-hal yang bermanfaat dan bersikap waspada terhadap
orang yang mempunyai kebiasaan buruk.
Gurindam Dua belas pasal kesepuluh berkaitan dengan etika anak kepada
orang tuanya, kewajiban orang tua kepada anaknya, dan etika bergaul dalam
pertemanan. Untuk menghindari kemurkaan Allah misalnya, anak tidak boleh
durhaka kepada bapaknya. Dan agar badan selamat, seoarang anak harus hormat
kepada ibunya.
Gurindam Dua belas juga membahas tentang kepemimpinan, sebagaimana
termaktub dalam pasal kesebelas. Pasal ini mendorong siapa saja untuk menjadi
pemimpin, yaitu pemimpin yang memberikan manfaat kepada yang dipimpinnya
(berjasa), beperangai baik (tidak tercela), teguh menjaga amanat (tidak khianat),
dan bersikap rasional (hujjah).
Pasal terakhir Gurindam Dua belas mengajarkan tentang etika politik
dalam pemerintahan yang meliputi permufakatan dalam membuat kebijakan,
menyerahkan pekerjaan kepada ahlinya, keadilan hukum, dan senantiasa
menghargai jasa kaum cerdik pandai. Selain itu, pasal ini juga mengingatkan
kepada kita bahwa para pemimpin harus senantiasa dikritisi dan ingatkan.

18

BAB III
PENUTUP
Demikianlah Raja Ali Haji telah menunjukkan kemampuannya dalam
menyerap teks-teks sumber ajaran agama, ajaran Islam, yang kemudian
diaktualisasikannya di dalam bait-bait gurindamnya. Raja Ali Haji telah
memanfaatkan

sebaik-baiknya

teks-teks

sumber

ajaran

agamanya

itu,

digunakannya untuk melaksanakan cita-cita artistiknya dalam kerangka sistem


konvensi sastra yang ada, konvensi sastra yang cukup populer dan menguasai
masyarakat zamannya, yakni jenis gurindam di samping jenis pantun dan syair,
konvensi puisi yang dipertahankan dengan konsisten untuk menjadi dasar ekspresi
dan merupakan pelaksanaan pola harapan dari masyarakat pembaca. Dengan
membaca dan memahami makna dari gurindam dua belas, Raja Ali Haji
mengharapkan agar terbentuknya masyarakat melayu yang agamis dan selalu
berpegang teguh pada ajaran Islam, sehingga akan selamat dunia dan akhirat.

19

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Musa. (2010). Aktualisasi Nilai-nilai Islam dalam Gurindam Dua Belas
Karya Raja Ali. [Online]. Tersedia:http://www.wordpress.com
Mahdini. (2003). Raja dan Kerajaan dalam Kepustakaan Melayu. Riau : Yayasan
Pustaka Riau.
-. (2010). Resensi Buku Gurindam Dua Belas dan Syair Sinar Gemala Mestika Alam.
[Online]. Tersedia:http://www.rajaalihaji.com
-. (2010). Raja Ali Haji. [Online]. Tersedia:http://www.melayuonline.com

20

Anda mungkin juga menyukai