Anda di halaman 1dari 8

ATRIBUSI SOSIAL

Diposkan oleh Susi Siti Sapaah |


Sep
16
2011

A. Pengertian Atribusi
Atribusi adalah memperkirakan apa yang menyebabkan orang lain itu berperilaku
tertentu. Menurut Myers (1996), kecenderungan memberi atribusi disebabkan oleh
kecenderungan manusia untuk menjelaskan segala sesuatu, termasuk apa yang ada dibalik
perilaku orang lain. Attribution theory (teori sifat) merupakan posisi tanpa perlu disadari pada
saat melakukan sesuatu menyebabkan orang-orang yang sedang menjalani sejumlah tes bisa
memastikan apakah perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan orang lain dapat
merefleksikan sifat-sifat karakteristik yang tersembunyi dalam dirinya, atau hanya berupa
reaksi-reaksi yang dipaksakan terhadap situasi tertentu.[1]
Kajian tentang atribusi pada awalnya dilakukan oleh Frizt Heider (1958). Menurut
Heider, setiap individu pada dasarnya adalah seseorang ilmuwan semu (pseudo scientist)
yang berusaha untuk mengerti tingkah laku orang lain dengan mengumpulkan dan
memadukan potongan-potongan informasi sampai mereka tiba pada sebuah penjelasan masuk
akal tentang sebab-sebab orang lain bertingkah laku tertentu. Dengan kata lain seseorang itu
selalu berusaha untuk mencari sebab mengapa seseorang berbuat dengan cara-cara tertentu.

Misalkan kita melihat ada seseorang melakukan pencurian. Sebagai manusia kita ingin
mengetahui penyebab kenapa dia sampai berbuat demikian.
Dua fokus perhatian di dalam mencari penyebab suatu kejadian, yakni sesuatu di
dalam diri atau sesuatu di luar diri. Apakah orang tersebut melakukan pencurian karena sifat
dirinya yang memang suka mencuri, ataukah karena faktor di luar dirinya, dia mencuri karena
dipaksa situasi, misalnya karena dia harus punya uang untuk membiayai pengobatan anaknya
yang sakit keras. Bila kita melihat/menyimpulkan bahwa seseorang itu melakukan suatu
tindakan karena sifat-sifat kepribadiannya (suka mencuri) maka kita telah melakukan atribusi
internal (internal attribution). Tetapi jika kita melihat atau menyimpulkan bahwa tindakan
yang dilakukan oleh seseorang dikarenakan oleh tekanan situasi tertentu (misalnya mencuri
untuk membeli obat) maka kita melakukan atribusi eksternal (external attribution).
Proses atribusi telah menarik perhatian para pakar psikologi sosial dan telah menjadi
objek penelitian yang cukup intensif dalam beberapa dekade terakhir. Cikal bakal teori
atribusi berkembang dari tulisan Fritz Heider (1958) yang berjudul Psychology of
Interpersonal relations). Dalam tulisan tersebut Heider menggambarkan apa yang disebutnya
native theory of action, yaitu kerangka kerja konseptual yang digunakan orang untuk
menafsirkan, menjelaskan, dan meramalkan tingkah laku seseorang. Dalam kerangka kerja
ini, konsep intensional (seperti keyakinan, hasrat, niat, keinginan untuk mencoba dan tujuan)
memainkan peran penting.
Menurut Heider ada dua sumber atribusi tingkah laku: (1). Atribusi internal atau
atribusi disposisional. (2). Atribusi eksternal atau atribusi lingkungan. Pada atribusi internal
kita menyimpulkan bahwa tingkah laku seseorang disebabkan oleh sifat-sifat atau disposisi
(unsur psikologis yang mendahului tingkah laku). Pada atribusi eksternal kita menyimpulkan
bahwa tingkah laku seseorang disebabkan oleh situasi tempat atau lingkungan orang itu
berada.

dua teori yang paling menonjol dari segi konsep dan penelitian, yaitu teori inferensi terkait
(correspondence inference) dari Jones dan Davis (1965) dan teori ko-variasi Kelley (Kellys
covarioance Theory) yang dirumuskan oleh Harlod Kelley (1972).

Teori Inferensi Terkait (correspondence inference Theory)


Analisis tentang bagaimana orang menyimpulkan disposisi dari tingkah laku
dilakukan oleh Jones and Davis (1965). Mereka melihat putusan-putusan dari intensi sebagai
syarat dari putusan-putusan tentang disposisi. Akan tetapi studi lebih diarahkan kepada faktor
disposisional. Teori ini dikembangkan oleh Jones and Davis bermula dari asumsi bahwa
seseorang mengobservasi perilaku orang lain dan kemudian menarik kesimpulan tentang
disposisi kepribadian orang lain tersebut. Dengan kata lain, teori ini membicarakan tentang
bagaimana kita menarik kesimpulan tentang sifat kepribadian orang lain melalui observasi
terhadap perilaku orang tersebut. Dan sifat kepribadian tersebut (disposisi) diasumsikan
keberadaannya stabil pada diri orang itu dan berlaku dari satu situasi ke situasi lainnya.
(Jones & Davies) ada beberapa faktor yang dapat dijadikan faktor untuk menarik
kesimpulan tentang apakah suatu perbuatan disebabkan oleh sifat kepribadian atau
disebabkan oleh faktor tekanan situasi. Bila diantara ketiga faktor tersebut di bawah ini ada
disaat seseorang melakukan suatu perbuatan, maka tindakan orang tersebut disebabkan oleh
sifat kepribadian (disposisional) orang tersebut.
1)

Non Common Effect : Situasi dimana penyebab dari tindakan yang dilakukan seseorang
adalah sesuatu yang tidak disukai oleh orang pada umumnya. (misal : Seorang pria menikah
dengan seorang wanita yang kaya, pintar tetapi tidak cantik dan sudah tua. Sifat-sifat yang
tidak umum ini (Tua dan tidak cantik) inilah yang disebut sebagai non common effect. Orang
akan segera saja menyimpulkan bahwa pria itu memiliki sifat-sifat kepribadian yang
meterialistic. Mengapa demikian? Sebab umumnya pria tidak menyukai menikah dengan

wanita yang buruk rupa dan tua usianya. Sebaliknya pria umum menyukai menikah dengan
wanita yang elok parasnya, banyak hartanya, muda usianya, sehat tubuhnya dan sebagainya.
2) Freely Choosen Act : Banyak tindakan yang dilakukan oleh orang dikarenakan oleh paksaan
situasi. (misalnya: seorang wanita muda harus menikah dengan seorang duda kaya yang
berusia tua. Wanita itu menikah karena dipaksa oleh orang tuanya. Dari peristiwa itu,
sangatlah sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa wanita tersebut adalah seorang yang
materialistik yang mengejar harta si duda. Tetapi kalau dia sendiri yang ingin menikah
dengan duda tersebut sedangkan orang tuanya tidak menyarankan maka dengan mudah kita
menarik kesimpulan bahwa wanita itu materialistik. Sebab tindakan untuk menikah dengan
duda adalah tindakan atas pilihannya sendiri, bukan tekanan situasi.
3)

Low Social Desirability (menyimpang dari kebiasaan): Kita akan dengan mudah menarik
kesimpulan bahwa seseorang memiliki kepribadian tertentu yang tidak wajar bila orang itu
menyimpang dari kebiasaan umum. (misal : Jika seseorang menghadiri upacara kematian
biasanya orang harus menujukkan roman muka yang sedih dan berempati pada ahlul duka.
Kalau orang yang melayat menujukkan hal yang demikian akan sulit bagi kita unyuk
mengatribusikan bahwa orang itu orang yang empatik, karena memang begitulah seharusnya.
Tetapi bila orang layat lalu menujukkan kegembiraan dengan tertawa terbahak-bahak di saat
orang lain susah, maka mudah untuk kita simpulkan bahwa kepribadian orang tersebut agak
kurang beres.

Teori ko-variasi Kelley (Kelleys covaration Theory)


Harlod Kelley dalam teorinya menjelaskan tentang bagaimana orang menarik
kesimpulan tentang apa yang menjadi sebab apa yang menjadi dasar seseorang melakukan
suatu perbuatan atau memutuskan untuk berbuat dengan cara-cara tertentu. Menurut Kelley
ada tiga faktor yang menjadi dasar pertimbangan orang untuk menarik kesimpulan apakah

suatu perbuatan atau tindakan itu disebabkan oleh sifat dari dalam diri (disposisi) ataukah
disebabkan oleh faktor di luar diri. Pertimbangan tersebut yaitu:
1)

Konsensus (consencus): Situasi yang membedakan perilaku seseorang dengan perilaku orang
lainnya dalam menghadapi situasi yang sama. Bila seseorang berperilaku sama dengan
perilaku orang kebanyakan, maka perilaku orang tersebut memiliki konsensus yang tinggi.
Tetapi bila perilaku seseorang tersebut berbeda dengan perilaku kebanyakan orang maka
berarti perilaku tersebut memiliki konsensus yang rendah. (misalkan pak Amin adalah
penyuka lawakan yang dimainkan oleh group lawakan Srimulat. Setiap menonton
pertunjukan Srimulat pak Amin selalu tertawa terpingkal-pingkel dan orang lain pun juga
tertawa. Dalam contoh ini dapat kita katakan bahwa perilaku pak Amin dalam hal tertawa
menonton lawakan Srimulat berkonsensus tinggi (high consencus). Tetapi bila hanya pak
Amin saja yang tertawa sedangkan orang lain tidak tertawa, maka perilaku pak Amin tersebut
memiliki konsensus yang rendah.

2)

Konsistensi (consistency) adalah sesuatu yang menunjukan sejauh mana perilaku seseorang
konsisten (ajeg) dari satu situasi ke situasi lain. Dalam contoh di atas, jika pak Amin selalu
tertawa menonton Srimulat pada hari ini atau kapanpun pak Amin menonton Srimulat selalu
tertawa, maka perilaku pak Amin tersebut memiliki konsistensi yang tinggi (high
consistency). Semakin konsisten perilaku seseorang dari hari ke hari maka semakin tinggi
konsistensi perilaku orang tersebut.

3)

Keunikan (distinctivenss) menunjukan sejauh mana seseorang bereaksi dengan cara yang
sama terhadap stimulus atau peristiwa yang berbeda. Dalam contoh di atas, kalau pak Amin
tertawa menonton lawakan Srimulat, juga tertawa menonton lawakan lainnya (lawakan Tukul
Arwana, extra vaganza, dll) maka dapat dikatakan perilaku pak Amin memiliki keunikan
yang rendah (low distinctivess), tetapi kalau pak Amin hanya tertawa ketika menonton
lawakan Srimulat sedangkan terhadap lawakan lainnya pak Amin tidak tertawa, maka

perilaku pak Amin memiliki keunikan tinggi (high distictiveness). Mengapa demikian?
Karena pak Amin konsisten hanya tertawa pada Srimulat, kepada lawakan lainnya meskipun
lucu, pak Amin tidak tertawa.
4)

Co-variasi antara ketiga faktor diatas akan menentukan apakah perlaku seseorang akan
diatribusikan secara atribusi internal ataukah akan diatribusikan secara ekternal. Perilaku
seseorang akan diatribusikan sebagai atribusi internal bila perilaku tersebut memiliki
konsensus yang rendah, konsistensi tinggi dan keunikan yang rendah. Perhatikan situasi
berikut: saya tertawa menonton srimulat-orang lain tidak tertawa menonton srimulat
(konsesnsus rendah), saya selalu tertawa kapanpun saja saya menonton srimulat (konsistensi
tinggi), dan saya selalu saja tertawa menonton pertunjukan lawak, tidak hanya dagelan
srimulat (keunikan rendah). Menurut anda apa sebab saya tertawa. Apakah karena sifat
kepribadian saya yang suka lawakan ataukah karena kecanggihan srimulat yang membuat
saya tertawa ?
Dalam situasi yang bagaimanakah orang akan mengatribusikan penyebab perilaku ke
atribusi ekternal ? Yaitu bila perilaku tersebut ditandai dengan konsensus yang tinggi,
konsistensi tinggi dan keunikan juga tinggi. Mari kita lihat situasi ini : saya tertawa menonton
dagelan srimulat orang-orang lain juga tertaa (konsesus tinggi), saya selalu tertawa menonton
srimulat kapan saja (konsistensi tinggi), saya hanya tertawa menonton srimulat, kepada
lawakan lain saya tidak tertawa (keunikan tinggi).
Apa kira-kira penyebab saya tertawa, apakah karena saya tipe orang yang suka tertawa,
ataukah karena memang srimulatnya yang lucu. Dalam situasi demikian ini orang umumnya
mengatakan srimulatnyalah yang membuat saya tertawa, karena saya tidak tertawa menonton
lawakan lainnya (atribusi ekternal).

KESALAHAN ATRIBUSI
Menurut Baron dan Byrne (1994) kesalahan bersumber pada beberapa hal, yaitu:
1. Kesalahan atribusi yang mendasar (the fundamental attribution error)
Kesalahan atribusi yang mendasar ini diakibatkan kecenderungan untuk selalu
memberi internal dalam melihat perilaku seeorang. Misalnya di kantor akademik fakultas
dakwah dan ilmu komunikasi, salah seorang petugasnya marah pada salah seorang
mahasiswa yang ingin urusannya serba cepat, atau lebih dulu diselesaikan. Oleh karena
itu mahasiswa tersebut tidak mematuhi aturan-aturan yang ada, petugas akademik
tersebut marah. Orang akan mengambil kesimpulan bahwa pegasai kelurahan merupakan
orang yang pemarah, tidak sabar, dan sebagainya.
Nah dari peristiwa tersebut perilaku yang dilihat hanya factor internal saja, namun
factor eksternalnya dihiraukan. Cara mengatribusi seperti diatas mungkin tidak tepat,
karena ada kemungkinan bahwa orang tersebut marah karena memang didorong oleh
factor situasi atau factor eksternal, jadi bukan semata-mata factor internalnya saja.
2. Efek pelaku-pengamat (the actor-observer effect)
proses persepsi dan atribusi sosial tidak hanya berlaku dalam hubungan antarpribadi,
melainkan juga terjadi dalam hubungan antar kelompok, karena pada hakikatnya prinsipprinsip yang terjadi ditingkat individu dapat digeneralisasikan ke tingkat antar kelompok.
Kesesatan disini adalah orang melihat prilaku orang lain hanya dari factor dalam,
sedangkan kalau perilakunya sendiri hanya dilihatnya dari luar. Misalnya A melihat si B
jatuh, si A beranggapan si B jatuh karena tidak hati-hati. Sedangkan apabila si A sendiri
yang jatuh, si A akan mengatakan dia jatuh karena jalannya licin, sepatunya rusak, dan
sebagainya.
3. Pengutamaan diri sendiri (the self-serving bias)
Setiap orang cenderung untuk membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain.
Bila orang mengalami keberuntungan, maka orang akan mengatakan itu disebabkan
factor internal, sedangkan kegagalan dirinya disebabkan factor eksternal. Misalnya si B

berhasil mendapatkan nilai yang bagus, si A akan menunjukkan bahwa si B berhasil


karena si B rajin belajar, intelegensinya tinggi, dan sebagainya. Sebaliknya jika A yang
mendapatkan nilai yang buruk, si A akan menunjukkan bahwa nilainya jelek diakibatkan
soalnya terlalu sulit, dosennya pelit dan sebagainya.
Maka timbullah pertanyaan dibenak kita, mengapa dia melakukan demikian?
Dalam menjawab pertanyaan ini, ada beberapa pendapat, yaitu:
a. Orang mengambil sikap demikian untuk mempertahankan harga dirinya, yaitu
bahwa seakan-akan sesuatu yang tidak baik itu disebabkan dari factor luar dirinya.
Dengan demikian harga dirinya tidak jatuh.
b. Orang mengambil sikap itu, orang lain akan tetap respek padanya, karena hal-hal
yang tidak baik itu disebabkan oleh factor-faktor luar dirinya, sehingga dengan
demikian masyarakat akan tetap menghargainya, dan ini disebut self-presentation.

Anda mungkin juga menyukai