Anda di halaman 1dari 14

TEORI ATRIBUSI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kajian tentang atribusi telah banyak dilakukan oleh para ahli. Mereka mengatakan
setiap individu pada dasarnya berusaha untuk mengerti tingkah laku orang lain dengan
mengumpulkan dan memadukan potongan-potongan informasi sampai mereka tiba pada
sebuah penjelasan masuk akal tentang sebab-sebab orang lain bertingkah laku tertentu.
Dengan kata lain seseorang itu selalu berusaha untuk mencari sebab kenapa seseorang
berbuat dengan cara-cara tertentu. Misalkan kita melihat ada seseorang melakukan pencurian.
Sebagai manusia, kita ingin mengetahui penyebab kenapa dia sampai berbuat demikian.
Terdapat dua fokus perhatian dalam mencari penyebab suatu kejadian yakni sesuatu di dalam
diri atau sesuatu di luar diri. Apakah orang tersebut melakukan pencurian karena sifat dirinya
yang memang suka mencuri, ataukah karena faktor di luar dirinya, dia mencuri karena
dipaksa situasi, misalnya karena dia harus punya uang untuk membiayai pengobatan anaknya
yang sakit keras. Bila kita (individu) melihat/menyimpulkan bahwa seseorang itu melakukan
suatu tindakan karena sifat-sifat kepribadiannya (suka mencuri) maka kita (individu) tersebut
melakukan atribusi internal (internal attribution). Tetapi jika kita (individu) melihat atau
menyimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh seseorang dikarenakan oleh tekanan
situasi tertentu (misalnya mencuri untuk beli obat) maka kita melakukan atribusi eksternal
(external attribution).
Beragam teori dan pendapat dari tokoh psikologi yang mengamati kondisi jiwa manusia
terhadap respon yang diterima dan diamati kemudian tersimpulkan pada sebuah aksi dan
diwujudkan dalam proses belajar. Salah satu teori yang digunakan dalam proses belajar
adalah teori atribusi yang diharapkan dapat menjelaskan penyebab dari suatu kejadian.
Memahami sebuah kondisi emosional atau kejiwaan seseorang dapat bermanfaat dalam
beberapa hal. Akan tetapi hal ini hanya langkah pertama dalam pembahasan psikologi.
Biasanya kita ingin memahami hal tersebut lebih jauh agar dapat mengetahui sifat-sifat
individu yang bersifat tetap dan mengetahui penyebab di balik perilaku mereka. Dengan kata
lain, kita hanya sekedar ingin mengetahui bagaimana seseorang berbuat, namun lebih jauh
lagi kita ingin mengetahui mengapa mereka berbuat demikian. Penyebab dari suatu kejadian
proses dimana kita mencari informasi ini disebut dengan atribusi (attribution). Karena atribusi
adalah proses yang kompleks, sederetan teori telah lahir demi menjelaskan berbagai proses
lainnya. Salah seorang pakar teori ini adalah Bernard Weiner. Makalah ini akan mengupas
tentang asas motivasi belajar, asas-asas pembelajaran, aplikasi teori atribusi dalam
pembelajaran.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah
bagaimana bagaimana teori atribusi dalam pendidikan anak usia dini?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan Penulisan makalah ini adalah
untuk mengetahui teori atribusi dalam pendidikan anak usia dini.
BAB II PEMBAHASAN

A. Teori Atribusi
1. Pengertian Teori Atribusi

Pengertian atribusi menurut para ahli adalah sebagai berikut (Sumartik, 2018):

a. Fritz Heider (1958)


Fritz Heider adalah salah satu ahli psikologi yang pertama kali mendefinisikan istilah
atribusi. Terdapat dua pengertian atribusi menurut Heider, yaitu atribusi sebagai
proses persepsi dan atribusi sebagai penilaian kausalitas.
1) Atribusi sebagai proses persepsi
Menurut Heider, atribusi merupakan inti dari proses persepsi manusia. Lebih jauh
Heider berpendapat bahwa manusia terikat dalam proses psikologis yang
menghubungkan pengalaman subyektif mereka dengan berbagai obyek yang ada.
Kemudian, berbagai obyek tersebut direkonstruksi secara kognitif agar menjadi
sumbersumber akibat dari pengalaman perseptual. Sebaliknya, ketika orang
mencoba untuk membayangkan sebuah obyek, maka mereka akan
menghubungkan pengalaman tersebut ke dalam alam pikiran mereka.
2) Atribusi sebagai penilaian kausalitas
Ketertarikan Heider pada kognisi sosial telah mengantarkannya pada perumusan
atribusi selanjutnya. Menurutnya, kognisi sosial adalah proses dimana orang
merasakan dan membuat penilaian tentang orang lain. Di sinilah kemudian
muncul atribusi sebagai penilaian kausalitas yang menekankan pada penyebab
orang berperilaku tertentu.
Terdapat dua jenis atribusi kausalitas yaitu atribusi personal dan atribusi
impersonal. Yang dimaksud dengan atribusi personal adalah penyebab personal
atau pribadi yang merujuk pada kepercayaan, hasrat, dan intensi yang
mengarahkan pada perilaku manusia yang memiliki tujuan. Sedangkan, atribusi
impersonal adalah penyebab diluar pribadi yang bersangkutan yang merujuk pada
kekuatan yang tidak melibatkan intensi atau tujuan. Untuk itu, dalam ranah
persepsi sosial, orang akan berupaya untuk menjelaskan terjadinya sebuah
perilaku.
b. Edward E. Jones (1965)
Edward E. Jones adalah salah seorang peneliti yang tertarik pada suatu penilaian yang
terkadang diberikan oleh seseorang ketika mereka mengamati perilaku orang lain.
Inferensi yang dibuat umumnya terkait dengan disposisi orang yang lebih stabil
seperti sifat, sikap, dan nilai. Misalnya, kita melihat orang bertato dan bertampang
seram dan kemudian kita langsung menyimpulkan bahwa orang tersebut adalah
preman. Kita lebih suka membuat atribusi disposisi walaupun perilaku dalam situasi
tertentu tidak menjamin simpulan yang dihasilkan.
c. Para ahli psikologi sosial
Para ahli psikologi sosial menyatakan bahwa responsibility attributions dan blame
attributions merupakan penilaian yang bersifat moral. Ketika keluaran atau hasil
negatif terjadi maka orang akan mencoba untuk menemukan siapa yang bertanggung
jawab terhadap keluaran tersebut dan siapa yang harus disalahkan. Kerapkali,
responsibility attributions berhubungan langsung dengan atribusi kausalitas namun
kadangkala lebih kompleks. Responsibility attributions didasarkan pada kausalitas
dan apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang.
2. Teori Atribusi
a. Teori Atribusi Fritz Heider
Fritz Heider adalah peneliti pertama yang mengenalkan teori atribusi saat teori-teori
belajar dari pendekatan behaviorisme (contohnya teori operant conditioning), teori-
teori memori dan teoriteori psikoanalisis mendominasi ranah psikologi akademis.
Teori-teori tersebut jarang sekali digunakan untuk menjelaskan perilaku manusia.
Sebaliknya, melalui teori atribusinya, Heider mencoba untuk menekankan bahwa
mempelajari atribusi sangatlah penting karena atribusi memberikan pengaruh pada
apa yang dirasakan dan apa yang dilakukan oleh manusia.
Heider juga merupakan peneliti pertama yang mengkaji tentang proses atribusi
khususnya pada bagaimana seseorang membangun sebuah impresi atau kesan bagi
orang lain. Menurutnya, impresi atau kesan ini dibangun melalui tuga tahapan proses
yaitu pengamatan perilaku, menentukan apakah perilaku itu disengaja atau tidak, dan
mengelempokkan perilaku ke dalam perilaku yang termotivasi secara internal atau
eksternal (Sumartik, 2018).
b. Teori Atribusi dari Kelley
Teori Harold Kelley merupakan perkembangan dari Heider. Fokus teori ini, apakah
tindakan tertentu disebabkan oleh daya-daya internal atau daya-daya eksternal. Kelley
berpandangan bahwa suatu tindakan merupakan suatu akibat atau efek yang terjadi
karena adanya sebab. Oleh karena itu, Kelley mengajukan suatu cara untuk
mengetahui ada atau tidaknya hal-hal yang menunjuk pada penyebab tindakan,
apakah daya internal atau daya eksternal. Kelley mengajukan tiga faktor dasar yang
kita gunakan untuk memutuskan hal tersebut, yaitu:
1) Konsistensi
Respon dalam berbagai waktu dan situasi, yaitu sejauh mana seseorang merespon
stimulus yang sama dalam situasi atau keadaan yang yang berbeda.
2) Informasi consensus
Bagaimana seseorang bereaksi bila dibandingankan dengan orang-orang lain,
terhadap stimulus tertentu. Dalam artian sejauh mana orang-orang lain merespon
stimulus yang sama dengan cara yang sama dengan orang yang kita atribusi.
3) Kekhususan (distinctiveness)
Sejauh mana orang yang kita atribusi tersebut memberikan respon yang berbeda
terhadap berbagai stimulus yang kategorinya lama.
c. Teori Correspondence Interference (Jones dan Davis)
Setiap individu seolah-olah akan membuat inferensi, seperti inferensi statistik, yaitu
mencari pola umum (hukum umum) dengan membuang informasi yang tidak relevan.
Sebutan inferensi koresponden juga disebabkan karena teori ini mencari
korespondensi antara perilaku dengan atribusi disposisional (internal) yang berbeda
dengan penyebab-penyebab atribusi situasional.
Teori ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah suatu perilaku itu disebabkan oleh
disposisi (karakteristik yang bersifat relatif stabil) pada individu atau tidak. Hal
pertama yang harus diketahui adalah akibat. Dengan mengetahui akibat yang
ditimbulkan dari suatu tindakan yang dilakukan indivisu dapat diketahui intense atau
niat individu.
Setelah diketahui niat atau kesengajaan maka diinterferensi apakah perbuatan tersebut
diperbuat karena faktor disposisional atau bukan. Untuk meyakini adanya faktor
disposisional, maka harus ada dua hal yang dipenuhi, yaitu:
1) Noncommon effects (akibat khusus)
Perilaku tersebut bersifat unik pada individu, yaitu diantara berbagai pilihan yang
mungkin dilakukan, individu memilih yang paling unik
2) Social desirebility (kepantasan atau kelayakan sosial)
Seberapa jauh perbuatan mempunyai nilai sosial yang tinggi. Kalau suatu
perbuatan memang diinginkan banyak orang, maka perbuatan tersebut mempunyai
nilai kepantasan sosial yang tinggi.
d. Teori Bernard Weiner
Untuk memahami seseorang dalam kaitannya dengan suatu kejadian, Weiner
menunjuk dua dimensi, yaitu:
1) dimensi internal-eksternal sebagai sumber kausalitas
2) dimensi stabil-tidak stabil sebagai sifat kausalitas (Astuti, 2016).
B. Pendidikan

Unit analisis pendidikan adalah manusia, mengandung banyak aspek dan sifatnya
sangat kompleks. Karena sifatnya yang kompleks itu, maka tidak ada sebuah batasan pun
yang cukup memadai untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap. Batasan tentang
pendidikan yang dibuat para ahli beraneka ragam, dan kandungannya berbeda-beda yang satu
dengan lain. Perbedaan tersebut mungkin karena orientasinya, konsep dasar yang digunakan,
aspek yang menjadi tekanan, atau karena falsafah yang melandasinya.

Tilaar (2002) mengemukakan batasan-batasan pendidikan yang berbeda berdasarkan


fungsinya (Suryana, 2021).

a. Pendidikan sebagai Proses Transformasi Budaya

Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan


budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Seperti bayi lahir sudah berada dalam suatu
lingkungan budaya tertentu. Di dalam lingkungan masyarakat di mana seorang bayi
dilahirkan telah terdapat kebiasaan-kebiasaan tertentu, larangan-larangan, anjuran, dan ajakan
tertentu seperti yang dikehendaki oleh masyarakat. Hal-hal tersebut mengenai banyak hal
seperti bahasa, cara menerima tamu, makanan, istirahat, bekerja, perkawinan, bercocok
tanam, dan lain sebagainya. Nilai-nilai kebudayaan tersebut mengalami proses transformasi
dari generasi tua ke generasi muda. Ada tiga bentuk transformasi yaitu nilai-nilai yang masih
cocok diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab dan lain-lain, yang
kurang cocok diperbaiki; misalnya, tata cara perkawinan, dan yang tidak cocok diganti;
misalnya, pendidikan seks yang daulu ditabukan diganti dengan pendidikan seks melalui
pendidikan formal. Di sini tampak bahwa proses pewarisan budaya tidak semata-mata
mengekalkan budaya secara estafet. Pendidikan justru mempunyai tugas menyiapkan peserta
didik untuk hari esok.
b. Pendidikan sebagai Proses Pembentukan Pribadi

Tirtaraharja (2005: 34) mengemukakan bahwa pendidikan sebagai proses


pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan
sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Proses pembentukan pribadi
meliputi dua sasaran yaitu pembentukan pribadi bagi mereka yang belum dewasa oleh
mereka yang sudah dewasa, dan bagi mereka yang sudah dewasa atas usaha sendiri.
Keduanya-duanya bersifat alamiah dan menjadi keharusan. Bayi yang baru lahir
kepribadiannya belum terbentuk, belum mempunyai warna dan corak kepribadiannya yang
tertentu. Ia baru merupakan individu, belum suatu pribadi. Untuk menjadi suatu pribadi perlu
mendapat bimbingan, latihan-latihan, dan pengalaman melalui bergaul dengan
lingkungannya, khususnya dengan lingkungan pendidikan. Bagi mereka yang sudah dewasa
tetap dituntut adanya pengembangan diri agar kualitas kepribadian meningkat serempak
dengan meningkatnya tantangan hidup yang selalu berubah. Dalam hubungan ini dikenal apa
yang disebut pendidikan sepanjang hidup. Pembentukan pribadi mencakup pembentukan
cipta, rasa, dan karsa (kognitif, afektif, dan psikomotorik) yang sejalan dengan
pengembangan fisik. Dalam posisi manusia sebagai makhluk serba terhubung, pembentukan
pribadi meliputi pengembangan penyesuaian diri terhadap lingkungan terhadap diri sendiri,
dan terhadap Tuhan.

c. Pendidikan Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-undang Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan adalah usaha


sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU Sisdiknas, 2003 Bab 1 Pasal 1 ayat 1
dan Bab II Pasal 3).

d. Pendidikan sebagai Suatu Sistem


Pendidikan sebagai suatu totalitas atau suatu kesatuan yang terdiri dari komponen-
komponen yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan dan berhubungan secara fungsional
dalam rangka mencapai tujuan. Komponen-komponen yang ada dalam pendidikan di
antaranya: (1) tujuan pendidikan; (2) peserta didik; (3) pendidik; (4) isi pendidikan
(kurikulum); (5) fasilitas pendidikan; (6) interaksi edukatif. Komponen-komponen
pendidikan tersebut akan sangat bermakna apabila terjadi keterkaitan satu sama lain dan
saling berhubungan.

C. Anak Usia Dini

Usia dini merupakan periode awal yang paling penting dan mendasar dalam
sepanjang rentang pertumbuhan serta perkembangan kehidupan manusia. Pada masa ini
ditandai oleh berbagai periode penting yang fundamental dalam kehidupan anak selanjutnya
sampai periode akhir perkembangannya. Salah satu periode yang menjadi penciri masa usia
dini adalah periode keemasan. Banyak konsep dan fakta yang ditemukan memberikan
penjelasan periode keemasan pada masa usia dini, di mana semua potensi anak berkembang
paling cepat. Beberapa konsep yang disandingkan untuk masa anak usia dini adalah masa
eksplorasi, masa identifikasi/imitasi, masa peka, masa bermain dan masa membangkang
tahap awal. Namun disisi lain anak usia dini berada pada masa kritis, yaitu masa keemasan
anak tidak akan dapat diulang kembali pada masa-masa berikutnya, jika potensi-potensinya
tidak distimulasi secara optimal dan maksimal pada usia dini tersebut. Dampak dari tidak
terstimulasinya berbagai potensi saat usia emas, maka akan menghambat tahap
perkembangan anak berikutnya. Jadi, usia emas hanya sekali dan tidak dapat diulang lagi
(Suryana, 2021).

Setiap anak dilahirkan dengan potensi yang merupakan kemampuan (inherent


component of ability) yang berbeda-beda dan terwujud karena interaksi yang dinamis antara
keunikan individu anak dan adanya pengaruh lingkungan. Berbagai kemampuan yang
teraktualisasikan beranjak dari berfungsinya otak kita. Berfungsi- nya otak, adalah hasil
interaksi dari cetakan biru (blue print) genetis dan pengaruh lingkungan itu. Pada waktu
manusia lahir, kelengkapan organisasi otak memuat sekitar 100-200 miliar neuron atau sel
saraf yang siap melakukan sambungan antarsel, siap untuk dikembangkan serta
diaktualisasikan mencapai tingkat perkembangan potensi tinggi, jumlah ini mencakup
beberapa triliun jenis informasi dalam hidup manusia. Sayang sekali bahwa riset
membuktikan bahwa hanya tercapai 5% dari kemampuan tersebut (Ferguson, 1973 dalam
Clark, 1986 dalam Semiawan, 2007). Sel-sel neuron ketika dihubungkan secara bersama-
sama, jumlah koneksinya dapat diestimasi menjadi sekitar seratus triliun, yaitu kira-kira
sebanyak angka sepuluh diikuti dengan jutaan angka nol di belakangnya (lebih dari estimasi
jumlah atom di alam semesta yang telah dikenal). Angka tersebut memberikan gambaran
tentang kapasitas dari otak manusia (Sujiono, 2013).

Pembelajaran anak usia dini hendaknya mengembangkan kecerdasan. Penelitian di


bidang neuroscience (ilmu tentang saraf) menemukan bahwa kecerdasan sangat dipengaruhi
oleh banyaknya sel saraf otak, hubungan antarsel saraf otak, dan keseimbagan karena otak
kanan dan otak kiri. Pada saat lahir sel saraf otak sudah terbentuk semua yang banyaknya
mencapai 100-200 miliar, di mana setiap sel dapat membuat hubungan dengan 20.000 sel
saraf otak lainnya, atau dengan kata lain membentuk kombinasi 100 miliar x 20.000.
Berdasarkan hal tersebut, usia dini (0-8 tahun) merupakan usia yang sangat kritis bagi
pengembangan kecerdasan anak, jika masa keemasan ini tidak dioptimalkan dan
memanfaatkan dengan sungguh-sungguh untuk menstimulasinya.

Sayang sekali banyak orangtua, guru, dan pendidik anak usia dini yang justru
“mengunci mati” sel saraf otak tersebut untuk menjalankan fungsi kapasitasnya yang tak
terhingga (unlimited capacity to learn) (Semiawan, 2007). Hasil penelitian Keith Osborn di
University of Georgia, Burton L. White di Harvard Preschool Project, dan Benjamin S.
Bloom University of Chicago (Jalal, 2005) menyatakan bahwa sekitar 50 persen kapasitas
kecerdasan manusia telah terjadi ketika usia lahir sampai 4 tahun, 80 persen terjadi ketika
berusia 4 sampai 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi 100 persen ketika anak berusia 8
sampai 18 tahun. Pertumbuhan fungsional sel-sel saraf tersebut membutuhkan berbagai
situasi pendidikan yang men dukung, baik dalam situasi pendidikan keluarga, masyarakat
maupun sekolah. Para ahli pendidikan sepakat bahwa periode keemasan tersebut hanya
berlangsung satu kali sepanjang rentang kehidupan manusia, sehingga anak usia dini berada
pada usia kritis. Usia kritis dalam arti periode keemasan menentukan perkembangan
berikutnya sebagai tahap untuk perkembangan berbagai potensi yang dimiliki oleh anak dan
menentukan tahap perkembangan selanjutnya, namun apabila tidak maksimal dan tidak
optimal dalam stimulasinya, maka anak akan mendapatkan kesulitan perkembangan dalam
kehidupan berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa betapa meruginya suatu keluarga,
masyarakat dan bangsa jika mengabaikan masamasa penting yang berlangsung pada anak
usia dini.
Sebagai komitmen dan keseriusan antarbangsa terhadap anak usia dini telah dicapai
berbagai momentum dan kesepakatan penting yang telah digalang secara internasional. Salah
satunya adalah Deklarasi Dakkar yang di antaranya menyepakati bahwa perlunya upaya
memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini,
terutama bagi anak-anak yang sangat rawan secara ekonomi dan sosial atau kurang
beruntung. Adapun komitmen antara bangsa secara internasional lainnya adalah kesepakatan
antar negara yang tergabung dalam Perserikatan BangsaBangsa yang menyepakati “dunia
yang layak bagi anak 2002” atau dikenal, yaitu: ”world fit for children 2002”. Beberapa
kesepakatan yang diperoleh adalah (1) mencanangkan kehidupan yang sehat; (2) memberikan
pendidikan yang berkualitas; (3) memberikan perlindungan terhadap penganiayaan,
eksploitasi dan kekerasan. (available at http://www.unicef.org/specialsession/wffc/)

Apabila ditelaah lebih mendalam pendidikan dan perawatan anak usia dini harus
diberikan jauh-jauh saat mereka masih dalam kandungan selama lebih kurang sembilan bulan
sepuluh hari. Perhatian dari kedua orangtua (ayah dan ibu) terhadap janin yang ada di dalam
kandungan akan memberikan stimulasi dini terhadap perkembangan pendengaran, emosional,
dan dengan memberikan asupan gizi yang berimbang melalui makanan-makanan yang
dikonsumsi oleh ibu hamil akan mampu mengembangkan intelektual, fisik motorik janin baik
masih dalam kandungan maupun jika anak sudah lahir kemudian hari (Saleh, 2018).

D. Teori Atribusi pada Pendidikan Anak Usia Dini

Proses atribusi yang berusaha menyimpulkan perilaku siswa saat di sekolah akan
dapat membantu guru dalam pengembangan hubungannya. Sebab dengan mencari karakter
dan perilakunya dapat mengetahui tentang fakta mereka. Kesimpulan itu guna mendukung
pengembangan hubungan yang dimulai pada tahap Inisiasi. Proses perkenalan dengan hanya
bertatap muka, saling berpandangan, mengucapkan salam, dan menunjukkan ekspresi bahagia
(Darwati, 2015).

Kemudian, pada kesimpulan tentang siswa proses dimana guru mencari tahu tentang
fakta-fakta yang dilihatnya selama di sekolah. Biasa disebut dengan tahap eksplorasi.
Tentunya dilakukan juga dengan bertanya kepada orang tuanya. Seperti yang dilakukan oleh
kepala sekolah sejak awal pendaftaran mendapat penjelasan langsug dari orang tua tentang
mereka (Suwandi, 2012).
Tetapi, pada beberapa kesempatan guru juga sering menanyakan secara berkala setiap
kali mengantar ke sekolah tentang perkembangannya apakah masih sama atau mulai ada
perubahan dari sebelumnya. Kemudian, dalam tahap eksplorasi ini juga dilakukan dengan
diskusi bersama guru-guru lainnya setiap pulang sekolah. Dengan begitu, guru akan
mendapatkan masukan untuk lebih mendekatkan diri dengan mereka (Itamar & Boediman,
2019).

Intensifikasi adalah tahap selanjutnya dalam proses pengembangan hubungan. Tahap


dimana guru dan siswa mulai pada hubungan yang semakin dekat. Dengan mengetahui
faktafakta tentang mereka, guru tentunya akan melakukan proses komunikasi yang berbeda.
Memberikan perhatian yang juga berbeda. Karena mereka menunjukkan bahwa memang
belum memahami mana perbuatan baik dan buruk tetapi memiliki usaha untuk melakukan
sesuatu. Hanya bagaimana guru memberikan pengertian tentang hal yang dilakukannya.

Kemudian, formalisasi yaitu masing-masing pihak berpartisipasi dalam membangun


aturan hubungan. Partisipasi antara guru, dan siswa berupa aturan-aturan yang harus
dijalankan di dalam hubungan mereka. Keaktifan dari masingmasing pihak akan menjadi
kebiasaan yang tertanam, baik guru dan siswa. Seperti aturan untuk saat bermain puzzle,
bermain balok, dan bermain di luar kelas (Khairi, 2020).

Tahap selanjutnya adalah redefine yaitu tahap untuk mengatur ulang beberapa aturan
bersama dalam hubungan. Redefine akan dilakukan saat siswa menunjukkan perubahan dari
aturan-aturan yang telah disepakati pada tahap formalisasi. Sebab, seiring berjalannya waktu
pada beberapa kesempatan menampilkan ketidaksukaannya terhadap sesuatu. Seperti siswa
pada beberapa hari menunjukkan ketidaksukaan terhadap sesuatu akan dilampiaskan dengan
cara menangis. Perubahan itu seperti menangis untuk meminta makanan kepada orang tuanya
saat belum waktunya makan. Kemudian guru mengajaknya bermain balok. Disinilah peran
guru untuk mengingatkan kembali aturan-aturan yang telah disepakati bersama. Dan
diselipkan dengan berbagai macam permainan di dalam kelas. Untuk mengalihkan
keinginannya makan.

Proses atribusi dan pengembangan hubungan yang dijalankan oleh guru terhadap
siswa dilakukan dengan melibatkan komunikasi dalam kelompok kecil dan sifatnya intim.
Dengan begitu, pelakunya lebih dari dua orang yang berlaku sesuai dengan keinginan dari
masing-masing siswa. Sehingga akan timbul keakraban. Meskipun pada awalnya dilakukan
secara bersama-sama seperti membaca doa. Namun, setelah itu bu RS memberi permainan
dan diselipkan dengan melakukan pendekatan terhadap mereka secara personal. Untuk
mengajaknya berbicara, menunjukkan perhatiannya, ikut bermain dengan mereka (Munjiat,
2018).
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah upaya pembinaan kepada anak sejak lahir
sampai dengan usia 6 tahun melalui rangsangan pendidikan. Di lembaga PAUD, guru
berperan mengidentifikasi perilaku siswa untuk menentukan rangsangan yang tepat. Untuk
itu, kualitas berkomunikasi guru dengan siswa menjadi penting. Teori yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teori Atribusi yang menjelaskan tentang bagaimana membuat
kesimpulan mengenai seseorang dilihat melalui perilakunya.

B. Saran

Pemenuhan akan kualifikasi seorang guru untuk pengetahuannya tentang proses


berkomunikasi dengan siswa pada umumnya, dan siswa berkebutuhan khusus sangat penting.
Sebab, dalam berkomunikasi selain pesan dan komunikan yang memberikan perhatian
kepada komunikator dengan mendengarkan, memahami, dan mengikuti akan begantung dari
komunikator mengatur alur komunikasinya.
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, S. W. (2016). Atribusi Sosial. Universitas Mercu Buana. Diambil Dari


Http://Www.Mercubuana.Ac.Id

Darwati, Y. (2015). Keterlambatan Mahasiswa Dalam Studi Ditinjau Dari Teori Atribusi Dari
Weiner (Upaya Mencari Solusi Atas Keterlambatan Mahasiswa Dalam Studi Di Prodi
Psikologi Islam Stain Kediri). Universum, 9(1), 57–65.

Itamar, V., & Boediman, E. P. (2019). Persepsi Ibu Mengenai Akun Instagram Anak Selebriti
Indonesia Usia Bawah Lima Tahun (Deskriptif Kualitatif Ibu Pkk Rt 02 / Rw 23
Perumahan Lembah Pinus Sasmita Jaya, Pamulang Tangerang Selatan) Vanessa.
Pantarei, 3(2).

Khairi, H. (2020). Upaya Guru Dalam Meningkatkan Perkembangan Sosial Emosional Anak
Attention Deficit Hiperactivity Disorder (Adhd) Di Paud Inklusi Yogyakarta. J-Sanak:
Jurnal Kajian Anak, 1(2), 1–7.

Munjiat, S. M. (2018). Peran Agama Islam Dalam Pembentukan Pendidikan Karakter Usia
Remaja. Al-Tarbawi Al-Haditsah : Jurnal Pendidikan Islam, 3(1), 170–190.
Https://Doi.Org/10.24235/Tarbawi.V3i1.2954

Saleh, A. A. (2018). Pengantar Psikologi. Sulawesi Selatan: Penerbit Aksara Timur.

Sujiono, Y. N. (2013). Strategi Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Pt. Indeks. Diambil Dari
Https://News.Ddtc.Co.Id/Strategi-Pendidikan-Pajak-Untuk-Anak-Usia-Dini-11555

Sumartik. (2018). Perilaku Organisasi. Jawa Timur: Umsida Press.

Suryana, D. (2021). Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Kencana.

Suwandi, J. (2012). Penerapan Teori Atribusi Weiner Untuk Meningkatkan Pemahaman


Analisi Pendapatan Nasional. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, 22(2), 163–177.

Anda mungkin juga menyukai