BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kajian tentang atribusi telah banyak dilakukan oleh para ahli. Mereka mengatakan
setiap individu pada dasarnya berusaha untuk mengerti tingkah laku orang lain dengan
mengumpulkan dan memadukan potongan-potongan informasi sampai mereka tiba pada
sebuah penjelasan masuk akal tentang sebab-sebab orang lain bertingkah laku tertentu.
Dengan kata lain seseorang itu selalu berusaha untuk mencari sebab kenapa seseorang
berbuat dengan cara-cara tertentu. Misalkan kita melihat ada seseorang melakukan pencurian.
Sebagai manusia, kita ingin mengetahui penyebab kenapa dia sampai berbuat demikian.
Terdapat dua fokus perhatian dalam mencari penyebab suatu kejadian yakni sesuatu di dalam
diri atau sesuatu di luar diri. Apakah orang tersebut melakukan pencurian karena sifat dirinya
yang memang suka mencuri, ataukah karena faktor di luar dirinya, dia mencuri karena
dipaksa situasi, misalnya karena dia harus punya uang untuk membiayai pengobatan anaknya
yang sakit keras. Bila kita (individu) melihat/menyimpulkan bahwa seseorang itu melakukan
suatu tindakan karena sifat-sifat kepribadiannya (suka mencuri) maka kita (individu) tersebut
melakukan atribusi internal (internal attribution). Tetapi jika kita (individu) melihat atau
menyimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh seseorang dikarenakan oleh tekanan
situasi tertentu (misalnya mencuri untuk beli obat) maka kita melakukan atribusi eksternal
(external attribution).
Beragam teori dan pendapat dari tokoh psikologi yang mengamati kondisi jiwa manusia
terhadap respon yang diterima dan diamati kemudian tersimpulkan pada sebuah aksi dan
diwujudkan dalam proses belajar. Salah satu teori yang digunakan dalam proses belajar
adalah teori atribusi yang diharapkan dapat menjelaskan penyebab dari suatu kejadian.
Memahami sebuah kondisi emosional atau kejiwaan seseorang dapat bermanfaat dalam
beberapa hal. Akan tetapi hal ini hanya langkah pertama dalam pembahasan psikologi.
Biasanya kita ingin memahami hal tersebut lebih jauh agar dapat mengetahui sifat-sifat
individu yang bersifat tetap dan mengetahui penyebab di balik perilaku mereka. Dengan kata
lain, kita hanya sekedar ingin mengetahui bagaimana seseorang berbuat, namun lebih jauh
lagi kita ingin mengetahui mengapa mereka berbuat demikian. Penyebab dari suatu kejadian
proses dimana kita mencari informasi ini disebut dengan atribusi (attribution). Karena atribusi
adalah proses yang kompleks, sederetan teori telah lahir demi menjelaskan berbagai proses
lainnya. Salah seorang pakar teori ini adalah Bernard Weiner. Makalah ini akan mengupas
tentang asas motivasi belajar, asas-asas pembelajaran, aplikasi teori atribusi dalam
pembelajaran.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah
bagaimana bagaimana teori atribusi dalam pendidikan anak usia dini?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan Penulisan makalah ini adalah
untuk mengetahui teori atribusi dalam pendidikan anak usia dini.
BAB II PEMBAHASAN
A. Teori Atribusi
1. Pengertian Teori Atribusi
Pengertian atribusi menurut para ahli adalah sebagai berikut (Sumartik, 2018):
Unit analisis pendidikan adalah manusia, mengandung banyak aspek dan sifatnya
sangat kompleks. Karena sifatnya yang kompleks itu, maka tidak ada sebuah batasan pun
yang cukup memadai untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap. Batasan tentang
pendidikan yang dibuat para ahli beraneka ragam, dan kandungannya berbeda-beda yang satu
dengan lain. Perbedaan tersebut mungkin karena orientasinya, konsep dasar yang digunakan,
aspek yang menjadi tekanan, atau karena falsafah yang melandasinya.
Usia dini merupakan periode awal yang paling penting dan mendasar dalam
sepanjang rentang pertumbuhan serta perkembangan kehidupan manusia. Pada masa ini
ditandai oleh berbagai periode penting yang fundamental dalam kehidupan anak selanjutnya
sampai periode akhir perkembangannya. Salah satu periode yang menjadi penciri masa usia
dini adalah periode keemasan. Banyak konsep dan fakta yang ditemukan memberikan
penjelasan periode keemasan pada masa usia dini, di mana semua potensi anak berkembang
paling cepat. Beberapa konsep yang disandingkan untuk masa anak usia dini adalah masa
eksplorasi, masa identifikasi/imitasi, masa peka, masa bermain dan masa membangkang
tahap awal. Namun disisi lain anak usia dini berada pada masa kritis, yaitu masa keemasan
anak tidak akan dapat diulang kembali pada masa-masa berikutnya, jika potensi-potensinya
tidak distimulasi secara optimal dan maksimal pada usia dini tersebut. Dampak dari tidak
terstimulasinya berbagai potensi saat usia emas, maka akan menghambat tahap
perkembangan anak berikutnya. Jadi, usia emas hanya sekali dan tidak dapat diulang lagi
(Suryana, 2021).
Sayang sekali banyak orangtua, guru, dan pendidik anak usia dini yang justru
“mengunci mati” sel saraf otak tersebut untuk menjalankan fungsi kapasitasnya yang tak
terhingga (unlimited capacity to learn) (Semiawan, 2007). Hasil penelitian Keith Osborn di
University of Georgia, Burton L. White di Harvard Preschool Project, dan Benjamin S.
Bloom University of Chicago (Jalal, 2005) menyatakan bahwa sekitar 50 persen kapasitas
kecerdasan manusia telah terjadi ketika usia lahir sampai 4 tahun, 80 persen terjadi ketika
berusia 4 sampai 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi 100 persen ketika anak berusia 8
sampai 18 tahun. Pertumbuhan fungsional sel-sel saraf tersebut membutuhkan berbagai
situasi pendidikan yang men dukung, baik dalam situasi pendidikan keluarga, masyarakat
maupun sekolah. Para ahli pendidikan sepakat bahwa periode keemasan tersebut hanya
berlangsung satu kali sepanjang rentang kehidupan manusia, sehingga anak usia dini berada
pada usia kritis. Usia kritis dalam arti periode keemasan menentukan perkembangan
berikutnya sebagai tahap untuk perkembangan berbagai potensi yang dimiliki oleh anak dan
menentukan tahap perkembangan selanjutnya, namun apabila tidak maksimal dan tidak
optimal dalam stimulasinya, maka anak akan mendapatkan kesulitan perkembangan dalam
kehidupan berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa betapa meruginya suatu keluarga,
masyarakat dan bangsa jika mengabaikan masamasa penting yang berlangsung pada anak
usia dini.
Sebagai komitmen dan keseriusan antarbangsa terhadap anak usia dini telah dicapai
berbagai momentum dan kesepakatan penting yang telah digalang secara internasional. Salah
satunya adalah Deklarasi Dakkar yang di antaranya menyepakati bahwa perlunya upaya
memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini,
terutama bagi anak-anak yang sangat rawan secara ekonomi dan sosial atau kurang
beruntung. Adapun komitmen antara bangsa secara internasional lainnya adalah kesepakatan
antar negara yang tergabung dalam Perserikatan BangsaBangsa yang menyepakati “dunia
yang layak bagi anak 2002” atau dikenal, yaitu: ”world fit for children 2002”. Beberapa
kesepakatan yang diperoleh adalah (1) mencanangkan kehidupan yang sehat; (2) memberikan
pendidikan yang berkualitas; (3) memberikan perlindungan terhadap penganiayaan,
eksploitasi dan kekerasan. (available at http://www.unicef.org/specialsession/wffc/)
Apabila ditelaah lebih mendalam pendidikan dan perawatan anak usia dini harus
diberikan jauh-jauh saat mereka masih dalam kandungan selama lebih kurang sembilan bulan
sepuluh hari. Perhatian dari kedua orangtua (ayah dan ibu) terhadap janin yang ada di dalam
kandungan akan memberikan stimulasi dini terhadap perkembangan pendengaran, emosional,
dan dengan memberikan asupan gizi yang berimbang melalui makanan-makanan yang
dikonsumsi oleh ibu hamil akan mampu mengembangkan intelektual, fisik motorik janin baik
masih dalam kandungan maupun jika anak sudah lahir kemudian hari (Saleh, 2018).
Proses atribusi yang berusaha menyimpulkan perilaku siswa saat di sekolah akan
dapat membantu guru dalam pengembangan hubungannya. Sebab dengan mencari karakter
dan perilakunya dapat mengetahui tentang fakta mereka. Kesimpulan itu guna mendukung
pengembangan hubungan yang dimulai pada tahap Inisiasi. Proses perkenalan dengan hanya
bertatap muka, saling berpandangan, mengucapkan salam, dan menunjukkan ekspresi bahagia
(Darwati, 2015).
Kemudian, pada kesimpulan tentang siswa proses dimana guru mencari tahu tentang
fakta-fakta yang dilihatnya selama di sekolah. Biasa disebut dengan tahap eksplorasi.
Tentunya dilakukan juga dengan bertanya kepada orang tuanya. Seperti yang dilakukan oleh
kepala sekolah sejak awal pendaftaran mendapat penjelasan langsug dari orang tua tentang
mereka (Suwandi, 2012).
Tetapi, pada beberapa kesempatan guru juga sering menanyakan secara berkala setiap
kali mengantar ke sekolah tentang perkembangannya apakah masih sama atau mulai ada
perubahan dari sebelumnya. Kemudian, dalam tahap eksplorasi ini juga dilakukan dengan
diskusi bersama guru-guru lainnya setiap pulang sekolah. Dengan begitu, guru akan
mendapatkan masukan untuk lebih mendekatkan diri dengan mereka (Itamar & Boediman,
2019).
Tahap selanjutnya adalah redefine yaitu tahap untuk mengatur ulang beberapa aturan
bersama dalam hubungan. Redefine akan dilakukan saat siswa menunjukkan perubahan dari
aturan-aturan yang telah disepakati pada tahap formalisasi. Sebab, seiring berjalannya waktu
pada beberapa kesempatan menampilkan ketidaksukaannya terhadap sesuatu. Seperti siswa
pada beberapa hari menunjukkan ketidaksukaan terhadap sesuatu akan dilampiaskan dengan
cara menangis. Perubahan itu seperti menangis untuk meminta makanan kepada orang tuanya
saat belum waktunya makan. Kemudian guru mengajaknya bermain balok. Disinilah peran
guru untuk mengingatkan kembali aturan-aturan yang telah disepakati bersama. Dan
diselipkan dengan berbagai macam permainan di dalam kelas. Untuk mengalihkan
keinginannya makan.
Proses atribusi dan pengembangan hubungan yang dijalankan oleh guru terhadap
siswa dilakukan dengan melibatkan komunikasi dalam kelompok kecil dan sifatnya intim.
Dengan begitu, pelakunya lebih dari dua orang yang berlaku sesuai dengan keinginan dari
masing-masing siswa. Sehingga akan timbul keakraban. Meskipun pada awalnya dilakukan
secara bersama-sama seperti membaca doa. Namun, setelah itu bu RS memberi permainan
dan diselipkan dengan melakukan pendekatan terhadap mereka secara personal. Untuk
mengajaknya berbicara, menunjukkan perhatiannya, ikut bermain dengan mereka (Munjiat,
2018).
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah upaya pembinaan kepada anak sejak lahir
sampai dengan usia 6 tahun melalui rangsangan pendidikan. Di lembaga PAUD, guru
berperan mengidentifikasi perilaku siswa untuk menentukan rangsangan yang tepat. Untuk
itu, kualitas berkomunikasi guru dengan siswa menjadi penting. Teori yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teori Atribusi yang menjelaskan tentang bagaimana membuat
kesimpulan mengenai seseorang dilihat melalui perilakunya.
B. Saran
Darwati, Y. (2015). Keterlambatan Mahasiswa Dalam Studi Ditinjau Dari Teori Atribusi Dari
Weiner (Upaya Mencari Solusi Atas Keterlambatan Mahasiswa Dalam Studi Di Prodi
Psikologi Islam Stain Kediri). Universum, 9(1), 57–65.
Itamar, V., & Boediman, E. P. (2019). Persepsi Ibu Mengenai Akun Instagram Anak Selebriti
Indonesia Usia Bawah Lima Tahun (Deskriptif Kualitatif Ibu Pkk Rt 02 / Rw 23
Perumahan Lembah Pinus Sasmita Jaya, Pamulang Tangerang Selatan) Vanessa.
Pantarei, 3(2).
Khairi, H. (2020). Upaya Guru Dalam Meningkatkan Perkembangan Sosial Emosional Anak
Attention Deficit Hiperactivity Disorder (Adhd) Di Paud Inklusi Yogyakarta. J-Sanak:
Jurnal Kajian Anak, 1(2), 1–7.
Munjiat, S. M. (2018). Peran Agama Islam Dalam Pembentukan Pendidikan Karakter Usia
Remaja. Al-Tarbawi Al-Haditsah : Jurnal Pendidikan Islam, 3(1), 170–190.
Https://Doi.Org/10.24235/Tarbawi.V3i1.2954
Sujiono, Y. N. (2013). Strategi Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Pt. Indeks. Diambil Dari
Https://News.Ddtc.Co.Id/Strategi-Pendidikan-Pajak-Untuk-Anak-Usia-Dini-11555