Anda di halaman 1dari 8

BAB II

KERANGKA TEORI

A. LITERATUR REVIEW
Makalah yang penulis susun ini berjudul “Analisa Kebijakan Generalized System of
Preference (GSP) Sebagai Kerja Sama Perdagangan Indonesia dan Amerika Serikat” yang akan
mengkaji materi mengenai gambaran umum, penerapan kebijakan, dan pengaruh adanya
kebijakan GSP bagi hubungan politik luar negeri Indonesia dan Amerika Serikat. Adapun
kesamaan tema dan beberapa pembahasan berupa jurnal maupun buku yang penulis baca
sebelumnya yang kemudian dijadikan sebagai rujukan dalam pembatan makalah ini yakni
sebagai berikut:

1. Judul : “Arah Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat di Bawah Presiden Joe
Biden”
Ditulis oleh : Lisbet
Sumber : Info Singkat - Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI

Pembahasan mengenai kebijaka Generalized System Preference tentu saja memiliki


keterkaitan dengan kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat. Pada jurnal (Lisbet, 2021),
bahwa pada kebijakan politik luar negeri AS di bawah kepemimpinan Joe Biden kembali ke arah
kebijakan luar negeri AS lama, yaitu dengan kebijakan multilateralismenya yang menekanan
pada kegiatan diplomasi. Kebijakan terseut dianggap penting karena pada kepemimpinan AS
sebelumnya di bawah Donal Trump, dianggap bahwa AS mengalami kemerosotan akibat dari
kebijakan luar negeri AS yang pada saat itu menekankan pada hubungan unilateralisme sehingga
menimbulkan dampak pada AS yang kehilangan kredibilitasnya selaku actor yang utama dalam
politik dunia.

Dalam hal kerjasama bilateral yang dijalankan oleh Indonesia dan AS telah berlangsung
lama dan kemudian semakin diperkuat kembali dengan hadirnya Kemitraan Strategis antara
Indonesia dengan AS. Kemitraan strategis telah diluncurkan sejak tahuh 2015 pada saat AS
dibawah kepemimpinan Barack Obama dan wakilnya Joe Biden. Maka dengan terpilihnya Biden
menjadi Presiden AS, maka kemitraan srategis semakin diperkuat kembali, yang kemudian dapat
menjadi potensi dalam membangun kerja sama yang dapat saling memberikan keuntungan dan
menghormati antara kedua negara tersebut.

Terdapat beberapa potensi dalam hal kerja sama yang dapat diperoleh Indonesia yakni:
pertama, potensi guna memperkuat nilai mata uang rupiah sebagai aakibat dari adanya sentiment
pada pasar global pada dollar AS. Kedua, potensi dalam meningkatkan kembali dalam hal
komoditas ekspor Indonesia ke AS. Ketiga, potensi dalam mendorong kenaikan harga komoditas
ekspor Indonesia, seperti minyak sawit mentah (crude palm oil) dan juga batu bara. Keempat,
potensi dalam membuka kerja sama ekonomi antara Indonesia dan AS yang lebih luas. Kelima,
potensi dalam mempermudah pemberian dalam sektor pendidikan seperi penelitian, bebasiswa,
pergerakan tenaga ahli, dan pada sektor kesehatan dalam bermitra serta berkarya dalam pasar AS
melalui terbykanya tenaga kerja migran.

Potensi kerja sama Indonesia dan AS lainnya seperti dalam hal pemanfaatan fasilitas
sistem preferensi tarif umum atau yang disebut dengan generalized system of preference (GSP).
Fasilitas GSP ini lah yang menjadi topik utama dalam pembahasan makalah yang penulis susun.
GSP merupakan suatu fasilitas dalam hal pemebasan tarif bea masuk yang diberikan oleh AS
secara unilateral kepada beberapa negara berkembang di dunia termasuk Indonesia. GSP bukan
lah fasilitas atau kebijakan baru dalam politik luar negeri AS di bawah kepemimpinan Joe Biden,
akan tetapi pemberian fasilitas GSP ini telah dilakukan sejak tahun 1974. Sedangkan Indonesia
sendiri mendapatkan fasilitas GSP pada saat tahu 1980.

Pada November tahun 2020 lalu, fasilitas GSP telah resmi diperpanjang oleh AS kepada
Indonesia. fasilitas GSP harus lah diperkuat dalam pelaksanaannya karena memiliki potensi
dalam menguntungkan kedua negara. Melihat pada keuntungan Indonesia pada periode Januari
hingga Agustus tahun 2020, yang dimana nilai ekspor Indonesia yang memanfaatkan fasilitas
GSP ini tercatat meraih 1,87 miliar dollar AS atau dengan naik 10,6 persen dibandingkan dengan
pada periode yang sama tahun sebelumnya (data Kompas 21 Januari, 2021). Hal ini menunjukan
bahwa terjadi kenaikan nilai ekspor dari tahun 2019 ke tahun 2020.

Indonesia pun memiliki kelompok kerja dalam hal eningkatan ekspor pada isu GSP
maupun non-GSP, dalam mengajuka proposal perjanjan dagang akses GSP tanpa syaratm serta
dalam hal revitalisasi pada paruh pertama tahun 2021. AS menjadi mitra dagang terbesar pada
urutan ke-4 setelah China, Jepang, dan juga Singapura untuk Indonesia. komoditas ekspor
Indonesia ke AS serikat seperti makanan laut, sepatu kulit, karet, alas kaki, baju, minyak kelapa
sawit, dan furniture. Nilai perdagangan antara AS dan Indonesia tidak serta merta meningkat,
akan tetapi terjadi penurunan pada tahun 2019 dan 2020, hal ini merupakan dampak dari
pandemic Covid-19 yang memang memberikan dampak negatif pada perekonomian di seluruh
dunia. Meskipun demikian, Indonesia masih memproleh keuntungan dari menjalin kerja sama
perdagangan dengan Amerika Serikat.

Berdasarkan jurnal (Lisbet, 2021) yang berjudul “Arah Kebijakan Luar Negeri Amerika
Serikat di Bawah Presiden Joe Biden”, memaparkan bahwa dalam kerja sama Indonesia dengan
Amerika dalam hal perdagangan dapat menguntungkan kedua negara tersebut. Adanya fasilitas
generalized system of preference (GSP) yang diberikan oleh AS sebagai fasilitas dalam hal
pemebasan tarif bea masuk tentu memberikan dampak terhadap kerja sama perdagangan antara
Indonesia dengan AS. Dalam pelaksanaan GSP tersbeut, Indonesia setiap tahunnya meraup
keuntungan yang kian meningkat dengan nilai ekspor yang kian meningkat setiap tahunnya.

2. Judul :“Kinerja Ekspor Udang Indonesia ke Amerika Serikat Pasca


Pemberlakuan Generalized System of Preferences (GSP) Tahun 2014-2019”
Ditulis oleh : Kesi Yovania & Varissa Adina
Sumber : Moestopo Journal International Relations

Pembahasan mengenai GSP dalam jurnal (Yovana & Adina, 2021), mengkaji mengenai
ekspor udang dari Indonesia ke AS dalam pemberlakuan GSP. GSP yang diberikan AS kepada
beberapa negara berkembang dalam menjalin kerja sama dengan syarat bahwa negara sebagai
penerima GSP memiliki keharusan dalam memberikan perlindungan pada Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) serta hak bagi para pekerja. Fasilitas pemberian GSP dari AS kepada Indonesia
dan negara berkembang lainnya sempat terhenti pada tahun 2013-2015 pada saat AS di bawah
kepemimpinan Barack Obama. Pengentian tersebut dilatar belakangi karena adanya
permasalahan pada HAKI, penghentian tersebut berdampak pada Indonesia yang menjadi harus
membayar bea masuk kepada AS dengan menggunakan Surat Keterangan Asal (SKA), yang
kemudian berdampak pada cost produk ekspor seperti pada komoditas udang. Sebelum
terjadinya pengenntia fasilitas GSP, permintaan ekspor udang kian meningkat permintaan.
Penghentian fasilitas GSP membuat volume serta nilai ekspor udang dari Indonesia ke AS
mengalami penurunan.
Dalam jurnal (Yovana & Adina, 2021), menunjukan bahwa fasilitas GSP yang diberikan
oleh AS kepada Indonesia belum dilakukan secara maksimal dalam pemanfaatanny oleh
pengusana maupun perusahaan eksportir Indonesia. Hal tersebut terjadi karena beberapa
pengusaha eksportir udang menganggap bahwa, dengan tidak menggunakan fasilitas GSP pun
mereka masih tetap dapat melakukan ekspor udang ke Indonesia karena telah memiliki kolega
pengusaha maupun perusahaan importir di AS yang kemudian telah memiliki perjajian harga
sebelumnya. Selain itu, kurang dilakukannya sosialisasi terkait manfaat dalam penggunaan
fasilitas GSP serta dalam proses maupun persyaratan penggunaan GSP masih terasa sulit untuk
dipenuhi. Padahal fasilitas GSP AS bagi Indonesia dirasa sangat penting sehingga AS masih
menjadi prioritas perdagangan Indonesia. Dalam pemanfaatan GSP, Indonesia senantiasa
mempertahankan status bagi pengguna GSP. Hal tersebut dikarenakan bahwa dengan adanya
fasilitas GSP ini memberikan harapan terhadap hubungan bilateral antara Indonesia dengan AS
semakin kuat lagi. Kemudian, mengigat bahwa AS yang merupakan sbagai negara hegemony
sehingga dengan semakin diperkuatnya hubungan Indonesia dengan AS melalui fasilitas GSP ini
membuka harapan utuk kedepannya akan menjalin kedekatan lainnya selain dalam sektor
perekonomian.

B. TEORI

Konsep Hubungan Bilateral

Menurut Kamus Politik Didi Krisna (dalam Agita, 2015), mengartikan hubungan bilateral
merupakan keadaan yang menggambarkan mengenai terdapatnya hubungan yang saling
mempengaruhi atau hubungan yang salung timbal balik antar dua negara pihak yang menjalin
hubungan. Berdasarkan hal tersebut, dapat diartikan bahwa huungan bilateral sebagai hubungan
dua negara yang memiliki timbal balik serta saling mempengaruhi. Konsep mengenai hubungan
bilateral bertujuan guna memperkokoh kerja sama antar dua negara untuk mencapai tujuan
bersama dengan menggunakan pengaruh maupun kekuatannya.

Hubungan bilateral dapat juga diartikan dengan terdapatnya kepentingan yang telah
mendasari kesepakatan pada dua negara dalam berinteraksi pada suatu sektor tertentu melalui
cara serta tujuan yang telah disepakati bersama pada kedua negara (Agita, 2015). Suatu
gambaran pada hubungan bilateral tersebut tidak terlepas dengan kepentingan nasional yang
dimiliki pada masing-masing negara terkait dalam menjalin hubungan serta kerja sama. Maka
dengan adanya tujuan tertentu pada masing-masing negara pun guna menciptakan perdamaian
dengan memperhatikan kerja sama dalam hal politik, kebudayaan, sosial, hingga struktur
ekonomi sehingga nantinya dapat menghasilakn suatu hubungan yang baik serta harmonis antar
kedua negara yang berkaitan.

Kebijakan Perdagangan Luar Negeri

Menurut Pawel Bozyk (dalam Yovana & Adina, 2021), menyatakan bahwa kebijakan
perdagangan luar negeri memiliki arah pada kemampuan suatu negaa dalam membuat suatu
keputusan mengenai hubungan perdagangan luar negeri negara tersebut. Kemudian, kebijakan
perdagangan luar negeri pada dasarnya dibuat dengan komprehensif, dengan artian bahwa dalam
kebijakan tersebut memyat hubungan perdagangan terhadap negate luar serta dalam hal
hubungan internal ekonomi pada negara tersebut. Kebijakan perdagangan luar negeri dalam
suatu negara pada nantinya akan dapat mempengatuhi kerjasama dengan negara lainnya. Adanya
kebijakan perdagangan luar negeri ini dapat membuka peluang bagi negara dalam rangka
mempengaruhi hubungan ekonomi terhadap negara lain.

Kebijakan dalam hal perdagangan luar negeri memuat keseimbangan terhadap adanya
untung serta rugi, maka dengan diambilnya suatu kebijakan tertentu nantinya negara dapat
meningkatkan keuntungan maupun mendapatkan kerugian sehingga dalam kebijaka ;uar negeri
pun dapat berdampak pada perubahan dalam sisi sosial serta politik. Berdasarkan hal tersebut,
maka dalam karekter kebijakan perdagangan harus lah berdasarkan pada keseimbangan serta
kemanfaatannya yang tak hanya pada sisi perekonomian saja, melainkan pada sisi sosial maupun
politik.

Generalized System Of Preference (GSP)

GSP adalah sebuah sistem tariff impor di negara-negara maju, yang dikhususkan bagi
berbagai produk yang berasal dari negaranegara berkembang (Developing Countries/DC) dan
terbelakang (Least-Developed Countries/LDC) (Pratomo, 2004). Awalnya fasilitas ini diajukan
ke sidang WTO sebagai alat untuk mengatasi adanya ketimpangan dayasaing antara negara-
negara maju dengan negara-negara berkembang, sehingga negara-negara berkembang
diperkenankan menerima kemudahan berupa pengenaan tariff bea masuk lebih rendah daripada
tariff normal – Most Favoured Nation (MFN) – dari negaranegara maju. Pada perkembangan
selanjutnya, fasilitas ini juga mampu meningkatkan keterbukaan dan kesejahteraan negara-
negara berkembang, seperti yang dialami oleh beberapa negara ASEAN – Indonesia, Thailand,
Vietnam dan Malaysia – bahkan Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Kebijakan Generalized System of Preference (GSP) adalah salah satu kebijakan


perdagangan luar negeri yang diadopsi oleh negara - negara maju seperti salah satunya Amerika
Serikat untuk mengurangi atau bahkan menghapus biaya bea masuk untuk barang-barang yang
masuk kenegaranya yang berasal dari negara berkembang, dimana kebijakan tersebut bertujuan
untuk membantu negara berkembang untuk dapat bersaing kedalam pasar internasional dan
meringankan salah satu faktor yang menjadi penghambat ekspor negara berkembang untuk
masuk ke pasar internasional yaitu biaya bea masuk suatu negara akan barang impor. (Bozyk,
2006).

Sejak pertamakali diperkenalkan pada awal tahun 70-an, fasilitas GSP ini telah
diaplikasikan oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat (USA), Uni-Eropa (EU) dan
Jepang. Umumnya berbagai produk yang termasuk ke dalam daftar GSP ini akan dikenakan tariff
0%. Selain itu, dalam GSP juga terdapat ketentuan terkait berbagai negara penerima fasilitas
(Beneficiaries) serta produk apa saja yang diperkenankan memperoleh fasilitas GSP. Hal yang
unik dari GSP adalah, meskipun wajib untuk diadopsi oleh negara-negara maju, akan tetapi
memberikan kebebasan bagi masing-masing negara yang mengadopsi untuk menentukan
beneficiaries serta product list sendiri.

Salah satu negara tujuan ekspor utama yang menerapkan fasilitas GSP dan telah
dinikmati oleh Indonesia adalah USA. Pada bulan Juli setiap tahunnya, pemerintah USA
menerbitkan sebuah Panduan GSP, berisikan daftar beneficiaries serta daftar produk apa saja
yang memperoleh fasilitas GSP (Office of the United States Trade Representatives, 2015). Pada
Juli 2015 yang lalu, panduan GSP di pasar USA terkini telah dipublikasi secara resmi. Setiap
perubahan yang terjadi pada rejim GSP tersebut, tentunya akan secara langsung berpengaruh
terhadap harga berbagai produk eligible yang diekspor oleh para beneficiaries ke USA, dan
tentunya akan berdampak pada perubahan market share baik pada produk yang ada pada eligible
list maupun pada produk-produk diluar list tersebut. Oleh karena itu, sebagai salah satu produk
yang diekspor ke USA, Produk Kelautan dan Perikanan (KP) juga akan terpengaruh oleh
perubahan yang terjadi pada rejim US-GSP 2015 ini.

Dinamika pemberian GSP Amerika Serikat terhadap Indonesia ini dimulai pada tahun
2013 ketika masa pemerintahan Presiden Barrack Obama, fasilitas GSP sempat diberhentikan
dengan alasan adanya dinamika politik Kongres Amerika Serikat sehingga hal tersebut juga
berdampak kepada pemberhentian pemberian fasilitas GSP kepada Indonesia. Selama
pemberhentian fasilitas GSP oleh Amerika Serikat, pemerintah Indonesia berupaya melakukan
respon ke Amerika Serikat melalui pertemuan – pertemuan negosiasi serta menunjukan bukti
bahwa Indonesia masih layak mendapat GSP. Selama pemerintah melakukan diplomasi serta
pendekatan secara bilateral ke Amerika Serikat, Kementerian Perdagangan RI memberikan
mandat kepada seluruh eksportir untuk menggunakan Surat Keterangan Asal (SKA) guna tetap
melakukan prosedur ekspor secara normal dan tetap mengisi form A untuk ekspor Indonesia ke
Amerika Serikat. Selama masa pengiriman ekspor normal ke Amerika Serikat berdasarkan data
kementerian perdagangan RI, total ekspor Indonesia ke Amerika Serikat selama tahun 2014
mencapai US$ 19,4 Miliar yang meningkat 0,5% dari capaian 2013 namun tidak bertahan lama,
karena beberapa bulan kemudian mengalami penurunan sebesar US$ 6,4 miliar (Direktorat
Jenderal Perunding Dinamika pemberian GSP Amerika Serikat terhadap Indonesia ini dimulai
pada tahun 2013 ketika masa pemerintahan Presiden Barrack Obama, fasilitas GSP sempat
diberhentikan dengan alasan adanya dinamika politik Kongres Amerika Serikat sehingga hal
tersebut juga berdampak kepada pemberhentian pemberian fasilitas GSP kepada Indonesia.
Selama pemberhentian fasilitas GSP oleh Amerika Serikat, pemerintah Indonesia berupaya
melakukan respon ke Amerika Serikat melalui pertemuan – pertemuan negosiasi serta
menunjukan bukti bahwa Indonesia masih layak mendapat GSP. Selama pemerintah melakukan
diplomasi serta pendekatan secara bilateral ke Amerika Serikat, Kementerian Perdagangan RI
memberikan mandat kepada seluruh eksportir untuk menggunakan Surat Keterangan Asal (SKA)
guna tetap melakukan prosedur ekspor secara normal dan tetap mengisi form A untuk ekspor
Indonesia ke Amerika Serikat. Selama masa pengiriman ekspor normal ke Amerika Serikat
berdasarkan data kementerian perdagangan RI, total ekspor Indonesia ke Amerika Serikat selama
tahun 2014 mencapai US$ 19,4 Miliar yang meningkat 0,5% dari capaian 2013 namun tidak
bertahan lama, karena beberapa bulan kemudian mengalami penurunan sebesar US$ 6,4 miliar
(Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional, 2015).
Dampak kebijakan perdagangan luar negeri Amerika Serikat yaitu GSP terhadap ekspor
Indonesia memungkinkan akan meringankan Indonesia dari adanya bea masuk yang di tetapkan
oleh AS, dengan tidak dinikmatinya fasilitas GSP maka Indonesia harus membayar bea masuk
kepada Amerika Serikat dan dinilai akan menganggu daya saing produk ekspor Indonesia di
pasar AS. Hal ini berkaitan dengan teori kebijakan perdagangan luar negeri yang menjelaskan
bahwa kebijakan perdagangan luar negeri mencakup hubungan perdagangan atau perekonomian
dengan negara lain yang merupakan mitra dagangnya, sehingga dapat mempengaruhi
perdagangan atau perekonomian negara mitranya. Dengan adanya penerapan kebijakan
perdagangan seperti fasilitas GSP akan berdampak kepada adanya perlakuan timbal balik dari
perdagangan internasional antara negara mitra., seperti Indonesia yang menikmati fasilitas GSP
dari AS harus membuka pasarnya untuk beberapa produk ekspor AS ke Indonesia. Dalam sektor
ekspor produk perikanan dan kelautan yaitu komoditas udang memiliki banyak permintaan dari
AS dan menjadi salah satu produk ekspor Indonesia yang menikmati GSP. Sehingga dalam
praktik GSP khususnya periode 2014 – 2019 tersebut memiliki dampak untuk produk ekspor
udang Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai