Anda di halaman 1dari 3

Sultan Thaha Syaifudin, Raja Terakhir Kesultanan Jambi yang Ditetapkan Jadi Pahlawan Nasional

Sultan Thaha lahir di Istana Tanah Pilih, Kampung Gedang, Kerajaan Jambi sekitar tahun 1816. Nama
kecil yang diberikan kepadanya adalah Raden Thaha Djayadiningrat. Ayahnya bernama Sultan
Muhammad Fachrudin. Sultan Thaha termasuk keturunan ke-17 dari Ahmad Salim atau Datuk Paduko
Berhalo dan Putri Selaras Pinang Masak. Masa muda Sultan Taha dihabiskan dengan menimba ilmu ke
berbagai tempat, mulai dari Jambi hingga Aceh. Di Aceh, Sultan Thaha menimba ilmu agama Islam
selama dua tahun. Selain itu, dia juga mendapat pelajaran tentang kebangsaan. Pelajaran agama dan
kebangsaan yang diperoleh dari Aceh itu yang kemudian menginspirasi Sultan Thaha untuk melakukan
perjuangan melawan penjajahan Belanda. Sultan Thaha dikenal sebagai sosok pemimpin yang cerdas,
tangkas, pandai bergaul dan rendah hati. Dia juga seorang diplomat ulung sejak masa muda. Tepatnya
saat berusia 21 tahun, Sultan Thaha mendapat tugas untuk memperkuat hubungan dagang Kesultanan
Jambi dengan Malaya (Malaysia), Singapura, dan Patani. Perjalanan tugas ini rupanya membangkitkan
kesadaran Sultan Thaha tentang kondisi rakyatnya di Jambi yang tertindas oleh Belanda. Sultan Thaha
bertekad akan memperbaiki taraf hidup rakyatnya, di samping juga menghilangkan masalah utama rakyat
Jambi yaitu keberadaan Belanda.
Pada tahun 1841, Sultan Thaha diangkat sebagai Pangeran Ratu atau perdana menteri menyusul
meninggalnya sang ayah dan naik tahtanya sang paman. Posisi baru itu dimanfaatkan Sultan Thaha untuk
memulai misinya yaitu membantu rakyat agar mencapai taraf hidup yang lebih tinggi. Sultan Thaha
memulai misinya dengan memberantas buta huruf di kalangan rakyat. Sidang Dewan Menteri yang
dipimpinnya mengamanatkan agar seluruh rakyat bisa baca tulis huruf Al-Qur’an. Tak hanya soal
pendidikan, Sultan Thaha juga memperhatikan masalah ekonomi. Hal ini dilakukan dengan memperluas
pertanian dan perkebunan di Jambi. Pada tahun 1855, Sultan Thaha akhirnya naik tahta sebagai raja
Kesultanan Jambi. Jabatan tersebut memungkinkannya untuk melakukan perbaikan yang lebih banyak
lagi. Meski demikian, Sultan Thaha menyadari bahwa keberadaan Belanda menjadi masalah utama dari
semua masalah yang ada. Untuk itu, Sultan Thaha lantas memimpin perlawanan rakyat Jambi dalam
sebuah pertempuran sengit di Muara Kupeh pada tahun 1858. Sejak saat itu, perjuangan Sultan Thaha
dalam mengusir Belanda terus berlanjut hingga tahun 1904. Dalam menjalankan misinya ini, Sultan
Thaha mendapat dukungan penuh dari rakyatnya. Sultan bahkan bersumpah di hadapan rakyat, yang
kemudian dikenal dengan sumpah Setih Setia. Perlawanan yang dilancarkan Sultan Thaha sangat
merepotkan Belanda, yang kemudian melakukan penyelidikan untuk mencari titik lemah Sultan Thaha.
Penyelidikan untuk mencari titik lemah Sultan Thaha dipimpin oleh Snouck Hurgronje. Dia adalah
penasihat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan Bumiputera. Penyelidikan yang dilakukan salah
satunya adalah dengan mengungkap tempat persembunyian Sulthan Thaha. Upaya itu membuahkan hasil.
Belanda akhirnya mengetahui tempat Sultan Thaha bersembunyi yaitu di Sungai Aro. Belanda pun
melancarkan serangan mendadak ke tempat persembunyian tersebut. Pasukan yang terkejut berusaha
menyelamatkan diri ke hilir Sungai Aro. Namun, Sultan Thaha sudah tidak bersama pasukan saat
menyelamatkan diri. Rupanya Sultan Thaha gugur dalam serangan mendadak tersebut. Sultan Thaha
dinyatakan gugur di Desa Betung Bedarah pad 26 April 1904. Lokasi gugurnya Sultan Thaha itu kini
masuk ke dalam wilayah Kecamatan Tebo Ilir, Kabupaten Tebo, Jambi.
YG SATUNYA RAJA ABDUL KAHAR
TP NGGA TAU BIOGRAFINYA NGGA ADA HEHE
INI ADA JUGA PENGERTIAN DAN SITEM PEMERINTAHAN KERAJAAN ISLAM DI JAMBI INI
VERSI LAIN
Kesultanan Jambi adalah sebuah kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri di provinsi Jambi, Indonesia.[1][2]
[3]
 Kesultanan ini sebelumnya bernama kerajaan Melayu Jambi yang didirikan oleh Datuk Paduko
Berhalo bersama istrinya, Putri Selaras Pinang Masak di Kota Jambi, pada tahun 1460.[4][5] Dalam
perkembangannya, pada tahun 1615 kerajaan ini resmi menjadi kesultanan setelah Pangeran Kedah naik takhta
dan menggunakan gelar Sultan Abdul Kahar.[6][7] Kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh pemerintah Hindia
Belanda pada tahun 1906 dengan sultan terakhirnya Sultan Thaha Syaifuddin.

Pemerintahan[sunting | sunting sumber]
Kesultanan Jambi dipimpin oleh raja yang bergelar sultan. Raja ini dipilih dari perwakilan empat keluarga
bangsawan (suku): suku Kraton, Kedipan, Perban dan Raja Empat Puluh. Selain memilih raja keempat suku
tersebut juga memilih pangeran ratu, yang mengendalikan jalan pemerintahan sehari-hari.[butuh rujukan] Dalam
menjalankan pemerintahan pangeran ratu dibantu oleh para menteri dan dewan penasihat yang anggotanya
berasal dari keluarga bangsawan. Sultan berfungsi sebagai pemersatu dan mewakili negara bagi dunia luar.
Menurut R. Sahabuddin (1954) dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi (1978/1979),
pemerintahan di pusat Kesultanan Jambi dipimpin oleh seorang sultan yang dibantu oleh pangeran ratu (putra
mahkota) yang memimpin Rapat Dua Belas. Rapat Dua Belas terdiri atas dua bagian:

 Kerapatan Patih Dalam (Dewan Menteri Dalam)


 Kerapatan Patih Luar (Dewan Menteri Luar)
Masing-masing kerapatan terdiri dari 6 orang, 1 orang ketua dan 5 orang anggota.
Kerapatan Patih Dalam diketuai oleh Putra Mahkota yang bergelar Pangeran Ratu dengan para anggota yang
diberi gelar :

 Pangeran Adipati
 Pangeran Suryo Notokusumo
 Pangeran Jayadiningrat
 Pangeran Aryo Jayakusumo
 Pangeran Notomenggolo atau Pangeran Werokusumo
Kerapatan Patih Dalam pada hakekatnya merupakan Majelis Kerajaan (Rijksraad) yang berfungsi sebagai
lembaga legislatif (DPR) pada masa sekarang.

Anda mungkin juga menyukai