Anda di halaman 1dari 32

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemerdekaan yang diraih Negara Indonesia tidak diraih hanya melalu


secarik kertas teks proklamasi, namun melalui berbagai perjuangan fisik,
mental, dan material yang banyak mengorbankan banyak hal dan melibatkan
tokoh-tokoh pejuang. Bahkan perjuangan para tokoh-tokoh tersebut masih
berlanjut hingga saat ini. Tokoh-tokoh pejuang ini tidak luput dari peran
seorang wanita yang mendukung dan mempelopori perjuangan baik itu
kemerdekaan hak wanita atau bahkan kemerdekaan seluruh rakyat.

Oleh sebab itu, kelompok kami akan membahas biografi beberapa


tokoh pejuang wanita dari Kepulauan Riau sehingga diharapkan pembaca
dapat mengetahui dan menghargai pejuang wanita secara spesifik pejuang
wanita Kepulauan Riau yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan baik
sebelum atau pasca kemerdekaan Negara Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


 Bagaimana latar belakang kehidupan para tokoh pejuang
wanita Kepulauan Riau?
 Apa saja peranan para tokoh pejuang wanita Kepulauan Riau
dalam perjuangan Indonesia?
1.3 Tujuan
 Mengetahui latar belakang kehidupan tokoh pejuang wanita
Kepulauan Riau.
 Mengetahui peranan tokoh pejuang wanita Kepulauan Riau.
 Dapat memahami perjuangan tokoh pejuang wanita Kepulauan
Riau.
2

 Dapat meneladani sifat dan pola pikir pejuang wanita


Kepulauan Riau.
3

BAB II
PEMBAHASAN
Pada pembahasan ini, tokoh-tokoh pejuang wanita akan dibagi menjadi tiga
kategori sebagai berikut.

2.1 Tokoh Pejuang Wanita yang Terlibat


1. Engku Hamidah

Ketika dilahirkan nama Engku Hamidah adalah Raja Hamidah, anak


perempuan pertama Raja Haji. Ibu nya adalah Raja Perak, Putri Daeng Kamboja.
Raja Haji Dipertuan Muda Riau Lingga IV (1778-1874) , sedangkan Raja Perak
Dipertuan Muda Riau Lingga III (1748 -1777). Raja Hamidah dilahirkan di Ulu Riau
pusat pemerintahan kerajaan Riau Lingga. Raja Hamidah diperkirakan lahir sekitar
tahun 1774. Setelah pusat kerajaan pindah dari Johor. Ketika dia dilahirkan, ayahnya
Raja Haji masih berstatus Kelana Putra Jaya, yaitu jabatan yang diberikan kepada
calon yang Di Pertuan Muda. Tugasnya menjaga teluk Rantau dan memerangi musuh
yang datang. Raja Hamidah mungkin dilahirkan di istana Kota Piring, karena ayahnya
telah membangun istana megah itu jauh sebelum dia menjadi Yang Dipertuan Muda.
Mungkin juga dikawasan di istana Yang Dipertuan Besar (Sultan) di Ulu Riau.
4

Karena dikawasan itu dahulunya baik Yang Dipertuan Besar maupun Yang Dipertuan
Muda menetap bersama. Raja Hamidah masih mempunyai beberapa saudara yang
lain. Yang seibu seayah adalah Raja Siti. Seayah tapi berlainanan ibu antara nya Raja
Djafaar, Raja Idris, dan tentu saja Raja Ahmad sibungsu.

Sebagai putri seorang panglima perang Kelana Jaaya Putera yang


Dipertuan Muda, maka Raja Hamidah tentulah dibesarkan dalam tradisi istana, tradisi
kebangsaan, tradisi perang dan militerisasi. Tetapi Raja Haji juga seorang yang taat
beragama, menghargai para ulama dan keistanaanya di Kota Piring, ia pun banyak
mendatangkan banyak guru dan mengajarkan mereka tentang ilmu agama dan
pengetahuan. Raja Hamidah pun dibesarkan dalam tradisi adat Melayu dari ibunya
maupun pemuka adat dari garis Bugis. Tradisi ini tentu ikut membentuk karakter dan
pemahaman Raja Hamidah tentang dirinya, posisinya sebagai putri bangsawan,
sebagai ahli waris dari seorang yang Dipertuan Muda dan garis keturunan yang
unggul, baik dari garis Melayu maupun Bugis. Proses pendidikan besar dalam istana
yang dipertuan muda, pengembaraannya di tengah perang bersama abang sepupunya
Raja Ali, dan konflik politik yang mewarnai masa muda nya tentulah akhirnya
mewujudkan sosok Raja Hamidah yang anggun, kukuh, beradat istiadat, cerdas, dan
bijaksana. Wanita anggun dan sangat beribawa.

Raja Hamidah telah masuk ke wilayah kekusaan dan politik begitu ia


dewasa, dan kemudian dipersunting Sultan Mahmud lll dan menjadi Permaisuri
kerajaan Riau Lingga. Saat menikah dengan Sultan Mahmud tahun 1803 Raja
Hamidah sudah menjadi perempuan yang matang dan karena itu dinilai sanggup
memikul berbagai masalah pelik bagi seorang perempuan istana, baik beban politik
maupun tekanan kekuasaan lain dipundaknya yang di titpkan para pemuka adat dan
pembesar negeri khususnya keturunan Bugis. Usianya yang sekitar 29 tahun, tentulah
telah memberikan Raja Hamidah usia yang matang dan bijak sebagai seorang
bangsawan dari pihak Bugis maupun sebagai permaisuri.
5

Perkawinan dengan Sultan Mahmud lll memang sebuah perkawinan


politik bukan perkawinan yang bangkit dengan rasa cinta. Ketika perkawinan itu
terjadi mereka berselisih 20 tahun lebih. Sultan Mahmud mendkati umur 50 tahun
dan sudah mempunyai tiga orang istri. Yang pertama Encik Puan, putri Bendahara
Pahang yang dianggap sebagai permaisuri gahara. Yang kedua adalah Encik Makoh
keturunan Bugis. Yang ketiga adalah Encik Mariam keturunan Melayu. Tapi Raja
Hamidah telah menerima perkawinan itu dengan ikhlas menjadi istri keempat, dan
dari penafsiran catatan – catatan yang ada, tampak nya ia sadar saat menjalani
perkawinan itu, paling tidak mengemban tiga tugas berat :

a. Bagian Pertama

NikahulSiasah ( perkawinan politik ) yang tujuan utama nya untuk meredam


konflik politik antara pihak Melayu dan Bugis, akibat perebutan kekuasaan dan
jabatan yang dipertuan muda Riau Lingga antara Tengku Muda Muhammad ( putera
Temenggung Abdul Jamal ) dengan Raja Ali ( putera Daeng Kamboja ). Konflik
politik yang diwarnai perang saudara ini berlangsung lebih dari 8 tahun ( 1795-1803 )
dan menelan banyak harta dan nyawa.

Tengku Muda Muhammad melawan karena merasa dia lah yang


berhak sebagai yang dipertuan muda, karena dialah yang ditugaskan dan di angkat
oleh Sultan Mahmud sebagai Raja Muda ( sebutan jabatan dari pihak Melayu
sedangkan pihak Bugis menyebutkan yang Dipertuan Muda ). Setelah Belanda
menang perang melawan Riau (1784) sebagaimana isi perjanjian diatas kapal perang
Utrecht mensyaratkan, bahwa jabatan Raja Muda tidak boleh diberikan keturunan
Bugis. Sementara Raja Ali, juga merasa berhak, karena jabatan yang Dipertuan Muda
itu hak keturunan Bugis dan sudah di ikrarkan dalam sumpah setia Melayu- Bugis,
sejak tahun 1722, dan dia katanya sudah dilantik menjadi yang Dipertuan Muda Riau
Lingga oleh Sultan Salahuddin Selangor, saudara Raja Haji, setelah Raja Haji tewas
di Teluk Ketapang. ( inilah sengjeta politik yang unik, Raja Ali itu anak Daeng
6

Kamboja, cucu dari Daeng Perani. Sementara Tengku Muda Muhammad itu anak
Raja Maimunah dan Raja Maimunah itu adalah anak Daeng Perani. Jadi yang
berkelahi dan berebut kuasa itu adalah cucu- cucunya Upu Daeng Perani. Satu
mewakili dinasti Bugis Luwu. Yang satu mewakili dinasti Melayu Johor. Tapi kedua
kaum itu sudah bercampur baur. Konflik ini memang benar- benar konflik
kepentingan dan nafsu politik mereka, karena setelah gugur nya Raja Haji yang
Dipertuan Muda IV Riau Lingga tahun 1784 adalah : Tengku Muda Muhammad yang
Dipertuan Muda Riau Lingga V ( 1795-1803 ), Raja Ali yang Dipertuan Muda Riau
Lingga VI (1803-1805), Raja Djafaar yang Dipertuan Muda Riau Lingga VII (1805-
1832), dan Raja Abdurrahman yang Dipertuan Muda Riau Lingga VIII (1833-1844)
dan seterusnya).

Untuk meredam konflik ini, maka harus ada perdamaian dan


penyelesaian politik yang menguntungkan kedua pihak. Dan orang di balik sekenario
politik dan perdamaian ini, berdirilah Sultan Salahuddin atau Raja Limu, Sultan
Selangor ( anak Daen Celak, saudara kandung Raja Haji Fisabilillah, ayah saudara
sepupu kedua tokoh yang bertikai itu ). Raja Limu ini, dalam perjalanan sejarah Riau
Lingga memang menjadi tokoh sentral pihak Bugis, yang sangat disegani dan di
hormati para keturunan Bugis. Namun tentu saja yang sangat tidak disenangi pihak
Melayu seperti Temenggung Johor, Bendahara Pahang, dan tokoh sentralnya pihak
Melayu ini adalah Tun Dalam, Raja Terengganu.

Upaya damai itu, akhirnya melahirkan apa yang disebut sebagai?


Perdamaian Kuala Bulang ( menggambil nama sebuah pulau besar di sekitar Batam,
tempat menetap pihak keturunan Mealyu, seperti Temenggung Johor dan Bendahara
Pahang). September 1803. Inti kesepakatan politik itu, antara lain adalah : Sultan
Mahmud, sebagai sosok keturunan Bugis, dan penerus Raja Haji Fisabilillah),
dengan tujuan meluluhkan perseteruan Melayu dan Bugis. Bukannya hanya dalam
politik, juga dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bayangan mereka, melalui
percampuran darah itu kelak, jika di takdirkan, putera yang lahir dari perkawinan ini,
7

akan menjadi Putera Mahkota ( Tengku Besar, begitu sebutan nya ) sebagai calon
Sultan yang gahara, dan di tubuh nya darah Melayu dan Bugis bersatu, dan akan
menjadi keturunan Bugis Melayu pertama di tahta kerajaan Riau Lingga ( karena
sebelumnya semua Sultan Johor, Riau Lingga, harus berdarah Melayu yang sangat
kuat, karena jabatan sultan itu memang menjadi hak nya orang- orang keturunan
Melayu). Itulah beban politik dan sejarah yang di letakkan di bahu Raja Hamidah,
perempuan bangsawan yang berusia 29 tahun itu.

Sementara itu, untuk mengeleminir konflik lainnya, anak Tengku


Muda yang bernama Tengku Puan atau Tengku Buntat ( nenek nya adalah Raja
Maimunah, anak Daeng Perani). Dikawinakan dengan putera sulung Sultan Mahmud,
yang bernama Tengku Husin atau Tengku Long ( ibunya Encik Makoh, keturunan
Bugis tetapi bukan permaisuri yang gahara). Inipunsekenario penyelesaian konflik
melalaui percampuran darah. Kelak putera Tengku Husin dan Tengku Buntat, di
harapkan akan menjadi Sultan Riau Lingga dari campuran darah Bugis Melayu yang
sudah sulit dibedakan.

Seterusnya, Raja Ali, tokoh Bugis itu mendapat kembali jabatan


yang Dipertuan Muda, Dan dia akan menjadi Yang Dipertuan Muda VI Riau Lingga.
Sedang Tengku Muda Muhammad, tokoh Melayu itu yang meskipun anaknya
menjadi calon permaisuri kerajaan Riau Lingga, tapi dia menolak ketika ditawarkan
jabatan jadi Temenggung Johor mengganti ayahnya Temenggung Abdul Jamal yang
meninggal. Tengku Muda Muhammad memilih menyingkir ke Temasek ( Singapura
sekarang ) dan kemudian menetap di pulau Bulang, meniggaldisana. Jabatan
Temenggung, diberikannya kepada anak saudaranya Tun Abdurrahman.

b. Bagian Kedua

Sebagai putri bangsawan yang darah Bugis nya lebih besar, dapat
diperkirakan pihak pembesar Bugis, ingin Raja Hamidah sebagai permaisuri dapat
menjaga kepentingan pihak Bugis di puncak kekuasaan. Baik dalam mengatur
8

jabatan, maupun kepentingan ekonomi dan kekuasaan lainnya ( dalam Tuhfat An


Nafis, ada kutipan kata bersayap yang diucapakan oleh Raja Ali, ketika Raja
Hamidah hendak di kawinkan dengan Sultan Mahmud : Akhirnya hinggap juga elang
itu ke sarang ). Raja Hamidah diharapkan menjadi kekuatan dibelakang layar yang
ikut mengatur peraturan kekuasaan yang menguntungkan pihak Bugis, sampai kepada
penetapan siapa pengganti Mahmud kelak sebagai Sultan, jika Mahmud mangkat.
Karena itu, masuk akal lah kalau Tengku Husin, disebut-sebut sebagai pilihan utama
untuk dijadikan pengganti Mahmud, jika perkawinan Mahmud dan Raja Hamidah
tidak menghasilkan keturunan ( malang nya memang begitulah takdirnya, meskipun
menurut satu catatan Raja Hamidah pernah melahirkan seorang putri namun meniggal
). Karena selain darah Bugis nya lebih besar, dia juga putera yang sulung. Bukan
Tengku Abdurrahman,putera mahkota kedua sultan yang darah Melayunya lebih
besar, karena ibunya Encik Mariam adalah keturunan Melayu, dan juga bukan putera
dari permaisuri gahara. Itulah beban yang agaknya di panggul Raja Hamidah, yang
setelah menjadi permaisuri.

Dalam perjalanan kepermaisuriannya, memang dapat di mengerti


seperti beberapa catatan yang menyatakan Raja Hamidah memang sangat
menyayangi dan memanjakan Tengku Husin, anak tiri nya itu. Memang tidak lah ada
kutipan atau fakta eksplisit yang menyebutakan itulah memang perujudan dari beban
politik yang di pikulakan oleh petinggi pihak Bugis kepadanya, dan Engku Puteri
telah menjalankan nya sebagai strategi pihak, dan itulah pula sebab mengapa ketika
Raja Djafaar memilih Tengku Abdurrahman sebagai pengganti Mahmudsyah, dan
bukan Tengku Husin, maka Engku Puteri begitu marah, dan nyaris berpatah orang
dengan saudara kandungnya itu.

Namun, dari berbagai catatan lain, sebuah kenyataan yang juga


tercatat dengan baik adalah, ternyata Raja Hamidah telah meletakan dirinya, benar-
benar sebagai permaisuri dan istri yang setia, dan bukan sebagai personifikasi
kepentingan politik keturunan Bugis sementara. Dia benar- benar seorang istri,
9

seorang permaisuri, tempat Sultan Mahmud meletakan kasih sayang dan


kerinduannya. Tempat Sultan bertanya, tempat Sultan bertanya, tempat Sultan
mencurahkan kerisauannya. Kecantikannya, kecerdasaannya, keteguhan hati, dan
pemahamannya yang luas tentang politik, adat istiadat, dan kebiasaan negeri-negeri
yang besar ( Engku Puteri banyak belajar dari pamannya Sultan Selangor tentang
pemerintahan, dan belajar membangun negeri dengan sering berkunjung ke Selangor,
Malaka, dll di semenanjung Malaka ) membuat pengetahuan sangat luas, dan arif
dalam bersikap.

Engku Puteri telah menjadi ThinkThanknya Sultan Mahmud.


Menjadi penasehat ( bukan pembisik ), dan pengawal adat istiadat dan budaya
kerajaan Melayu itu pulalah agaknya, kemudian Sultan Mahmud, memberi dua tugas
menjadi penjaga dan pemegang Regelia kerajaan, berupa tanda dan panji kebesaran,
pangkat nobat, sirih besar ( cogan, gendang, nafiri, dll ). Sebuah kedaulatan tidak
akan sah dan berdaulat seorang Sultan, jika pelantikannya tidak menggunakan
Regelia ini, karena itu pemegang Regelia itu, sekaligus jga adalah penjaga adat
istiadat, dan tradisi. Didalam kesatuan anataraRegelia dan adat istiadat kebesaran
budaya kerajaan itu, melekat marwah ( kehormatan ), harkat dan martabat kerajaan.
Jika rusak dan binasa kedua kekuatan spritual ini, maka hancur dan runtuhlah harkat
dan harga diri bangsa itu. Bagi kerajaan- kerajaan Melayu itu, sebuah kerajaan boleh
saja takluk, direbut dan dikuasai oleh pihak lain. Raja dan Sultannya bisa saja terusir
dan melariakan diri ke kawasan lain, mencari perlindungan. Tetapi, selagi Regelia
kerajaan tidak di rampas, tidak di rebut, selagi Regelia sakti dan keramat itu masih
dipegang san rajanya, maka selagi itulah kedaulatan negeri itu masih tegak. Sultannya
tetap punya daulat, dan dia bisa bekerjaandimana saja, dan dirajakan dimana saja.
Karena sukma yang sakti itu, belum di taklukkan.karena itulah, siapa pun yang
memegang dan di beri tugas menjaga Regelia itu, adalah seorang yang kuat dan
perkasa. Seorang yang kuasa nya jauh di atas kekuasaan lain, termasuk sultannya
sendiri.
10

c. Bagian Ketiga

Sebagai keponakan Sultan Selangor ( Raja Lumu ), Raja Hamidah


diharapakan menjadi sosok yang menjadi simbol dari eksitensi keturunan Bugis yang
ada di Riau, tempat kaumnya berlindung dan hidup terjaga di negeri orang.
Sebagaimana beban yang di panggul pamannya itu untuk keturunan Bugis yang ada
di semenanjung. Ini beban yang tak kurang beratnya. Apalagi begitu selesai pesta
perkawinannya dengan Sultan Mahmd, maka sang Sultan telah memaklumkan bahwa
dia menganugerahakan Raja Hamidah, sebuah pulau yaitu pulau penyengat
inderasaksi, sebagai mas kawin dan tempat kediaman, tempat istana permaisuri.
Dengan penganugerahan itu, maka Mahmud juga memaklumkan, bahwa sejak hari itu
dia membagi wilayah kuasa ekonomi antara pihak Melayu Bugis.

Raja Hamidah, dengan para saudara- saudara dan pihak Bugis lainnya, akan
memiliki pulau Penyengat dan kawasan sekitarnya ( sampai ke Batam, Natuna dan
sekitarnya )sebagai “ daerah permakanan “. Sumber ekonomi, pendapatan, dan biaya
hidup mereka, dan pihak Melayu tidak boleh menggangu gugat. Karena itulah kelak
di pulau Penyengat itu pula lah, misalnya Dipertuan Muda Riau Lingga, sebagai
sosok Bugis dan kuasanya, akan beristana dan mengendalikan pemerintahan, seperti
yang dilakukan Raja Djafaar, seperti urusan pertahanan, ekonomi, poitik dan
hubungan luar negeri. Sedangkan Lingga ( Daik dan sektarnya, termasuk singkep, dll
) menjadi kawasan “ permakanan “ pihak Melayu, melalui sosok Tengku
Abdurrahman ( tampaknya, memang sejak awal Sultan Mahmud telah menetapkan
penggantiannya, adalah Tengku Abdurrahman atau si komeng atau Tengku Jumat ),
putera kedua Sultan Mahmud, dan pihak Bugis tidak boleh menggangunya ( di
singkep ketika ia sudah di temukan dan di produksi timah ). Beberapa penulis sejarah
tentang jatuh bangun kerajaan Lingga, kemudian menganggap keputusan Sultan
Mahmud membagi wilayah permakanan ini sebagai keputusan politik yang luar biasa
dampak dan pengaruh nya di kemudiankan hari bagi kedua kaum itu dan kerajaan itu
11

sendiri. Dan sebagai salah satu strategi untuk mengakhiri konflik politik di kerajaan
Riau Lingga.

Engku Puteri memang gagal menjadi permaisuri yang mewariskan putera


mahkota dan membangun zuriat dari darah nya untuk menjadi sultan dipuncak
kekusaan Riau Lingga. Ia memang gagal merajakan anak tirinya Tengku Husin
sebagai sultan Riau. Tapi, dia berhasil menjadi benteng yang tangguh sebagai
pemegang, pemelihara, dan pengawal kebesaran dan kedaulaatn kerajaan, yang
bernama Regelia itu. Dia berhasil menjadi kekuatan yang senantiasa menjaga
kesucian Sirih Besar dan perangkat kebesaran dan lambang kekusaan itu, sebagai
kekuatan suci dan semua yang di bawah nya harus tunduk dan berlutut. Itulah sebab
mengapa dia rela berselisih paham, dan nyaris memutus hubungan darah dan
persaudaraan dengan abangnya Raja Djafaar, Yang Dipertuan Muda Riau Lingga,
ketika Raja Djafaar justru menetapakan Tengku Abdurrahman sebagai pengganti
Sultan Mahmud yang mangkat, dan bukan memilih putera sulung Sultan, Tengku
Husin, Engku Puteri menetang pemilihan itu, dan menganggap penetapan Tengku
Abdurrahman itu, melanggar adat dan kebiasaan, apalagi ketika itu Bendahara dan
Temenggung, dua pejabat teras kerajaan tidak berada di tempat dan belum memberi
persetujuan. Raja Djafaar dianggap melanggar tradisi dan menjatuhkan marwah
kerajaan Riau Lingga. Karena itu pula, dia tidak mau menyerahkan Regelia kerajaan
itu ke tangan Tengku Abdurrahaman sebagai simbol pelantikan. Dia membawa
pusaka keramat itu keistananya di Penyengat, dan membiarkan Raja Djafaar melantik
Sultan Abdurrahman (1812) tanpa Regelia. Membiarkan peristiwa pelantikan itu
menjadi sebuah peristiwa sejarah yang sumbang dan memalukan. Dan membiarkan
Sultan Abdurrahman merasa belumlah sebagai sultan, dan membiarkan Raja Djafaar
sang yang Dipertuan Muda, berduka dan terluka. Perseteruannya dengan abangnya
itu, menjadi konflik baru Bugis Melayu yang Famulasinya sudah makin sulit di
terjemahkan. Konflik itu tidak lagi konflik darah dan keturunan, tetapi menjadi
12

konflik kepentingan, kekuasaan,dan rasa tidak puasan lainnya yang rawan untuk di
tanggapi oleh tangan tanagan politik yang keji dan jahat.
13

Begitu marah nya Engku Puteri kepada abang nya itu, membuat dia nyaris
tidak pernah lagi mengijakan kaki ke Lingga. Sementara Raja Djafaar pun begitu
kecewa pada adiknya sehingga tidak lagi mau beristana di Penyengat, dan tetap
memilih tinggal di Daik, Lingga. Perseteruan ini begitu melukakan ( meskipun
akhirnya Regelia itu berhasil diambil Sultan Abdurrahman dengan bantuan Belanda
secra paksa, 1821 ) dan terus berdarah. Hanya, ketika datang kabar Raja Djafaar
gering dan hampir naza, maka Engku Puteri akhirnya pergi juga ke Lingga. Dia
memaafkan abangnya, agar abangnya dapat menghadiri maut dengan tenang dan
tanpa beban. Raja Djafaar pun demikian seakaan hanya rela meniggalkan dunia fana
itu setelah berdamai dengan adiknya ( crita ini dengan bagusnya ditulis oleh Raja
Ahmad, adik bungsu mereka dalam syair: syair Engku Puteri pergi ke Lingga ).
Engku Puteri ingin membawa abang nya yang sedang sakit itu ke Penyengat, dan
merawat nya, tetapi abangnya menolak. Akhirnya, setelah sakt abangnya hampir
pulih, dia pun kembali ke Penyengat. Tetapi kesembuhan itu ternyata hanya
permainan perasaan, untuk menyenangkan hati mereka yang ditinggalakan. Tak lama
Raja Djafaar pun meniggal dengan tenang di Daik. Di kebumikan disana, dan baru
beberapa tahun kemudian, jenazahnya dibawake Penyengat dan di makamkan di sana.
Dan Engku Puteri, membawa luka itu yang secara tak terasa menggerogoti usianya.
Wanita Ranggi, peri sejarah ini, meninggal pada tanggal 5 Agustus 1844, di
istananya, di pulau Penyengat. Jika benar dia lahir sekitar tahun 1744, maka saat dia
14

meninggal, wanita perkasa itu


dan berhati baja ini meninggal
berusia 70 tahun. Dia memang
hidup lebih lama dari abang
nya Raja Djafaar, yang saat
meninggal di perkirakan
berusia 66 tahun. Keduanya
meniggal dengan memendam
rasa pedih dan kecewa atas
takdir politik, meski keduanya

Makam Engku Hamidah merasa telah mengemban


tugas di pundak masing-
masing dengan rasa kuat. Mereka harus memendam luka persaudaraan yang lama
dan berdarah. Sepak terjangnya sebagai permaisuri, sebagai ibu suri, sebagai
pemegang Regalia kerajaan, telah membuat namanya ditulis dan di catat dalam
berbagai buku kronik dan sejarah. Orang mengaguminya sebgai perempuan yang
tegar, keras, dan tak kenal menyerah atas prinsip hidup dan amanah yang
dilimpahkan kepadanya, dan juga seorang permaisuri yang kesepian.

Raja Hamidah di makamkan di pulau Penyengat. Kini makamnya yang


terawat baik dalam komplek pemakaman para bangsawan kerajaan Lingga, banyak
di kunjungi terutama para penziarah yang ingin melihat dan mencatat jejak
perjuangannya yang menggetarkan itu.

2. Syarifah Latifah

Lahir dengan nama Syarifah Latifah, ia


merupakan putri Tengku Pangeran Embung.
15

Pada tanggal 27 Oktober 1912 Sultan Syarif Kasyim II menikahinya. Sultan Syarif
Kasyim II bergelar Sultan Assyidis Syarif Kasyim Sani Abdul Jalil Syaifuddin adalah
Sultan terakhir di Kerajaan Siak yang memerintah dari tahun 1915 hingga 1946.
Sultan Syarif kemudian menyerahkan kerajaannya kepada pemerintah Republik
Indonesia. Baru pada tanggal 6 November 1998, atas jasa-jasanya kepada
kemerdekaan RI, Sultan Syarif Kasyim II dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh
Presiden BJ. Habibie.

Syarifah Latifah tidak sekadar menjabat sebagai permaisuri Kerajaan Siak Sri
Indrapura, ia juga dikukuhkan sebagai seorang Sultanah. Jabatan Sultanah berarti ia
bisa menggantikan posisi Sultan, apabila sang pemimpin utama itu berhalangan.
Syarifah Latifah kemudian bergelar Tengku Agung Sultanah Latifah.

Selain cantik, Permaisuri Sultan juga menjadi ikon perempuan yang berjuang
mengangkat harkat martabat kaumnya, terutama di bidang pendidikan dan agama
Islam. Tengku Agung, begitu masyarakat memanggilnya, semasa hidup sangat giat
memotivasi kaum perempuan di kerajaan Siak Sri Indrapura kala itu agar melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ia juga mengajarkan berbagai keterampilan
terutama di bidang kerajinan tenun Siak yang terkenal hingga kini.

Ia membangun lembaga pendidikan Sultanah Latifah School pada 1926. Masa


pendidikan di sekolah itu ditempuh selama 3 tahun, dengan para gurunya: Halimah
Batang Taris dari Pematang Siantar yang mengajar bahasa Belanda; Encik Saejah,
istri Encik Muhayan dari Siak, mengajar jahit-menjahit; dan Zaidar dari Payakumbuh
mengajar masak-memasak.

Pendidikannya memberi bekal bagi perempuan melalui kecerdasan dan


keterampilan sebagai modal pengetahuan jika kelak berumahtangga. Pendidikan yang
digagasnya berpijak pada keterbukaan dan pluralisme, bertujuan agar perempuan Siak
16

dan pantai timur Sumatera dapat berhubungan dan membuka diri dengan dunia luar
serta bisa menerima ide-ide dari suku bangsa mana pun.

Sekitar tahun 1929, Tengku Agung Sultanah Latifah mangkat. Jasadnya


dikebumikan di halaman Masjid Syahabudin. Ia wafat dalam usia muda dan belum
memiliki keturunan. Namun, dari Sultanah Latifah School yang dibangunnya, terlahir
srikandi-srikandi yang turut berjasa membangun Riau di kemudian hari. Salah satu
contohnya adalah Masajo, perempuan yang berhasil mengenalkan tenun indah Riau
kepada dunia. Tenun Masajo telah menjadi tradisi pakaian kelas tinggi, yang dipakai
oleh dara, bujang, bahkan petinggi Siak dan Riau, dalam acara-acara penting.

3. Raja Aisyah binti Raja Sulaiman

Nama lengkapnya Raja Aisyah binti


Raja Sulaiman dan lebih dikenal dengan
panggilan Aisyah Sulaiman. Istri dari Raja
Khalid bin Raja Hasan atau Khalid Hitam
ini adalah cucu dari pujangga besar Raja Ali
Haji. Sebenarnya, Asiyah Sulaiman sepupu
dari Khalid Hitam yang juga seorang
pengarang ternama di masa Kerajaan Riau-Lingga. Artinya, Aisyah Sulaiman
memang dari keturunan para pengarang, selain juga keturunan Diraja Kerajaan Riau-
Lingga.

Aisyah Sulaiman diperkirakan lahir pada 1869 atau 1870 dan wafat pada 1924
atau 1925 dalam usia lebih kurang 55 tahun. Pada 1913 Kerajaan Riau-Lingga
dimansuhkan (ditiadakan) oleh pemerintah kolonial Belanda. Karena tak sudi hidup
di bawah pemerintahan kolonial aisyah Sulaiman dan keluarga hijrah ke Singapura.
17

Kemudian Aisyah pindah ke Johor dan bertempat tinggal di sana hingga akhir
hayatnya.

Dalam tradisi kepengarang, Aisyah Sulaiman dapat digolongkan sebagai


pelopor pengarang zaman peralihan atau transisi dari kesusastraan Melayu tradisional
ke kesusastraan Melayu atau Indonesia modern. Masa kepengarangan dan tema yang
dihasilkan walaupun beliau masih menggunakan genre kesusastraan tradisional
berupa syair dan hikayat. Pendapat yang selama ini menyatakan Munsyi Abdullah
Abdul Kadir atau Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi sebagai pelopor kesusastraan
Melayu modern masih perlu diperdebatkan. Pasalnya, Munsyi hidup di sampai
pertengahan abad ke-19 sedangkan peralihan kesusastraan Melayu tradisional ke
Melayu modern berlangsung sejak pertengahan abad ke-19 sampai abad perempat
awal abad ke-20.

Masa itulah aisyah Sulaiman sedang giat-giatnya berkarya, sedangkan Munsyi


telah tiada. Lagipula, karya-karya Aisyah telah mengungkapkan perubahan dalam
masyarakat, dari masyarakat Melayu lama ke masyarakat Melayu baru dan
perjuangan masyarakat, terutama kaum perempuan, merubuhkan tembok-tembok
kokoh tradisi yang dianggap tak lagi sesuai dengan perubahan zaman.

Aisyah menghasilkan empat karya terbaik dan karya-karya itu antara lain
“Hikayat Syamsul Anwar atau Hikayat Badrul Muin” hikayat ini dipercaya menjadi
karya awal si pengarang. “Syair Khadamuddin yang terbit pada 1345 H atau 1926 M,
menurut beberapa peneliti, syair ini ditulis saat Aisyah Sulaiman sudah hijrah ke
Singapura. ‘’Hikayat Syarif al-Akhtar” dan hikayat satu ini baru diterbitkan setelah
Aisyiah meninggal pada 1929 M. Sedangkan karyanya keempat, ‘’Syair Seligi Tajam
Bertimbal’’. Berbeda dengan karya-karya sebelumnya, dalam karya ini beliau tak
menggunakan nama asli, tetapi memakai nama samaran Cik Wok Aminah.
18

Aisyah Sulaiman telah memperjuangkan harkat, martabat dan marwah kaum


perempuan melalui karya-karyanya pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 M.
‘’Hikayat Syamsul Anwar” misalnya, Aisyah Sulaiman berhasil menyuarakan
semangat emansipasi yang belum banyak terpikirkan kaum perempuan sezamannya.
Semangat individualistik begitu kentara di dalam hikayat ini sehingga mengantarkan
Aisyah Sulaiman sebagai pelopor kesusastraan Indonesia modern. Beliau bahkan
dapat mengungguli pengarang-pengarang sesudahnya, termasuk pengarang laki-laki
yang terlanjur disebut sebagai pelopor kesusastraan Indonesia modern. Aisyah
Sulaiman telah berhasil menjadikan dirinya dan karya-karyanya sebagai pejuang
emansipasi bagi kaumnya. Tak hanya sampai di situ, beliau bahkan mengukuhkan
diri sebagai pelopor kesusastraan Melayu-Indonesia modern.(fed)

2.2 Tokoh Pejuang Wanita yang Berkecimpung dalam Masyarakat

Pada umumnya, perempuan baru berkecimpung dalam masyarakat setelah


berkembangnya pendidikan, baik yang bersifat formal maupun nonformal. Dalam hal
ini penulis akan menguraikan beberapa tokoh perempuan yang diketahui, terutama
yang pernah menyumbangkan tenaga maupun pemikirannya dalam meningkatkan
peran perempuan Melayu, baik dalam organisasi masyarakat maupun dalam
pendidikan. Uraian peran perempuan dalam masyarakat Melayu akan dibagi atas dua
periode, yaitu periode sebelum tahun 1945 dan periode setelah tahun 1945.
19

Periode Sebelum Tahun 1945


Dang Merdu. Ia adalah tokoh perempuan yang telah berhasil mendidik anaknya
menjadi seorang laksamana, yaitu Laksamana Hang Tuah. Hang Tuah terkenal
dengan perjuangannya di sekitar Selat Melaka, walaupun dia berasal dari rakyat
biasa.

1. Cik Puan
. Pada masa
pemerintahan Sultan Siak V,
yaitu Sultan Assyaidis Syarif
Ali Abdul Jalil Syaifuddin
(1784– 1810), Kerajaan Siak
terkenal mempunyai dua belas
daerah jajahan, bahkan masih
mengadakan penyerangan ke
Kerajaan Sambas di
Kalimantan Barat. Dalam
penyerangan ini, peran
Srikandi Siak yang bernama
Cik Puan juga besar (Lutfi,
Bukti Keberadaan Cik Puan terdapat dalam buku ini. 1977: 253).
20

2. Tengku Agung.

Tengku Agung adalah Permaisuri Sultan Siak, Sultan Syarif Kasim


II. Perannya dalam memajukan kaumnya ialah mendirikan sekolah
perempuan yang bernama Latifah School, pada tahun 1926. Masa
pendidikan di sekolah itu ditempuh selama 3 tahun, dengan beberapa guru,
yaitu 1) Halimah Batang Taris dari Pematang Siantar yang mengajar vak
bahasa Belanda; 2) Encik Saejah, istri Encik Muhayan dari Siak, mengajar
vak jahit-menjahit; dan 3) Zaidar dari Payakumbuh, mengajar vak masak-
memasak (Jamil, 1985: 1).
Di samping sekolah umum, sekolah agama pun telah maju, baik untuk
kaum perempuan maupun untuk kaum lakilaki. Sekolah untuk kaum
21

perempuan bernama Madrasatun Nisak yang terdiri dari dua tingkat, yaitu
tingkat Ibtidaiyah, selama 5 tahun dan tingkat Tsanawiyah, selama 2
tahun.

Para guru sekolah agama tinggal di Istana Kesultanan Siak (Istana


Melintang) bersama dayang-dayang. Guru-guru tersebut antara lain
Raudha, Misbah Thaib, Fatimah, Rohana, Rohani, dan lainnya. Murid
yang tamat dari Madrasatun Nisak kemudian melanjutkan ke Kuliatul
Mualimat Islamiah (KMI) di Padang Panjang, karena Sultan Siak
berhubungan baik dengan pemimpin Diniyah Putri Padang Panjang.
Sultan dan permaisuri selalu berkunjung ke sana, baik untuk istirahat ke
Bukittinggi maupun meninjau murid-murid dari Kerajaan Siak yang
mendapat beasiswa dari kerajaan, seperti Misbah Thaib, Tengku Aisyah,
dan lainnya.

Pelajaran dilaksanakan pada pagi hari, sedangkan sore hari belajar di


sekolah agama. Dengan demikian, mereka telah membina perempuan-
perempuan lain agar nantinya dapat membina keluarga dan anak-anaknya
menjadi manusia berguna. Pada tahun 1926 pemerintah Belanda juga
mendirikan sekolah umum, seperti Volk School (Sekolah Desa) dan HIS.

Periode Setelah Tahun 1945

1. Tengku Maharatu
22

Tengku Maharatu adalah permaisuri Sultan Syarif Kasim II yang


kedua, setelah permaisuri pertama, Tengku Agung meninggal dunia. Dia
melanjutkan perjuangan kakaknya dalam meningkatkan kedudukan kaum
perempuan di Siak dan sekitarnya, yaitu dengan mengajarkan cara
bertenun yang kemudian dikenal dengan nama tenun Siak. Tenun Siak
yang merupakan hasil karya kaum perempuan telah menjadi pakaian adat
yang dipergunakan dalam pakaian adat pernikahan dan upacara lainnya.
Berkat perjuangan permaisuri pertama yang dilanjutkan oleh permaisuri
kedua, perempuan yang tamat dari sekolah Madrasatun Nisak dapat
menjadi mubalighat dan memberi dakwah, terutama kepada kaum
perempuan.
23

2. Raja Khodijah binti Raja H. Usman

Ia adalah salah seorang


tokoh perempuan dari Kepulauan
Riau yang berkecimpung dalam
masyarakat sebagai pemimpin
organisasi, baik pada masa
penjajahan maupun pada masa
kemerdekaan. Dia Lahir di Daik
Lingga pada 21 Februari 1919.
Pendidikannya adalah Inlandsche
School (5 tahun) di Daik dan tamat
tahun 1932. Pendidikan terakhir

Surat Pernikahan untuk menantunya Raja Kweek School Nieuwe Stijl (Gaya
Khadijah sebagai tradisi Daik
Baru) di Tanjungpinang tahun
1950. Sejak tahun 1937, dia menjabat sebagai pemimpin Aisyiyah,
kemudian pada zaman Jepang ikut aktif dalam organisasi wanita
(Fujinkai).

Pada masa Agresi Belanda kedua, dia aktif dalam organisasi BKIR (Badan
Kebangsaan Indonesia Riau) dan KRIR (Kaimoyapan Rakyat Indonesia
Riau). Tahun 1951, ia mulai ikut berpolitik dan memasuki Partai Islam.
Tahun 1985, ia menjadi anggota DPRD Tk. II mewakili Partai Persatuan
Pembangunan. Dari pendidikan dan kegiatan atau pengabdiannya, dia
telah mempunyai keinginan besar untuk memajukan perempuan seperti
perempuan lainnya.
24

3. Syahawa H. B.
Syahawa H. B. adalah
seorang perempuan yang telah
ikut berjuang untuk memajukan
kaumnya di Riau. Pendidikannya
adalah HIS di Siak Sri Indrapura
dan Kweek School di Bukit Tinggi
(Sekolah Pendidikan Guru). Pada
zaman Jepang, dia dikirim ke
Padang untuk mengikuti kursus
pertenunan.

Sampai tahun 1940 dapat


dikatakan bahwa dia adalah sedikit
Keberadaan karya sastra Syahawa H.B. Periode
Penjajahan Jepang. contoh di antara wanita terpelajar
di Melayu. Selama di Siak dia
selalu mengadakan kegiatan bagi kaum perempuan, terutama jahit-
menjahit dan tenunan Siak. Pada tanggal 16 Juli 1945 dia menikah dengan
Hasan Basri (Perwira Peta). Pada tanggal 22 Oktober 1945 Hasan Basri
diangkat sebagai pemimpin TKR/TNI di Riau. Dalam masa perjuangan
mempertahankan kemerdekaan RI, Syahawa menjabat sebagai ketua
organisasi ibu-ibu TNI yang bertugas memberikan informasi pada
masyarakat umum dan kaum ibu tentang makna dan tujuan perjuangan,
agar mendapat dukungan dari masyarakat dan sekaligus mengumpulkan
bahan makanan dan sumbangan untuk dikirim ke garis depan (Effendy
dan Effendy, t.t.: 41). Dia bekerja di dapur umum dengan Khadijah Ali,
pemimpin Muslimat Riau, Rajiah Rahim dari Palang Merah, dan Fatimah
Soldir dari Putri Kesatria.
Pada tanggal 16 September 1949 Syahawa H. B. disergap oleh Belanda
25

(KNIL) saat dia bersembunyi di sekitar Siak Sri Indrapura untuk


menunggu kelahiran bayinya yang ketiga. Oleh karena pandai berbahasa
Belanda, maka dia dapat menghadap Perwira Distrik KNIL. Sejak itu dia
menjadi tawanan Belanda dan baru bebas setelah pemulihan kedaulatan
RI.

Setelah Indonesia merdeka, dia bersama suaminya, Letkol Hasan Basri,


pindah ke Jakarta di awal tahun 1950. Di Jakarta Letkol Hasan Basri
mengundurkan diri dari dinas militer, sementara Syahawa H. B. aktif di
berbagai organisasi seperti Kerukunan Wanita Riau, Koperasi Wanita, dan
lain-lain. Syahawa H. B. sampai akhir hayatnya terkenal sebagai perias
pengantin , khususnya pakaian adat Siak. Di rumahnya terdapat alat tenun
Siak tradisional yang masih dimanfaatkan sampai sekarang. Syahawa-
Basri pun pernah diundang ke Singapura dan Malaysia untuk merias
pengantin dengan adat . Oleh karena mahir dan serasinya beliau
menggunakan adat khususnya Melayu Siak, maka apabila ada pesta atau
acara resmi dengan menggunakan adat Melayu tanpa Syahawa H. B.
rasanya kurang sempurnalah adat Melayu Siak yang akan ditampilkan itu.

Hasan Basri dan Syahawa H. B. pernah diundang oleh Gubernur Riau,


Haji Imam Munandar, untuk mengisi acara kunjungan Presiden Pakistan
Zia Ul Haq ke anjungan Riau Taman Mini Indonesia Indah. Pada waktu
itu, Hasan Basri bersama istri sempat ditepungtawari oleh Presiden
Pakistan dan Presiden Suharto. Adapun kegiatan Syahawa H.B. yang
terakhir ialah mempersiapkan pakaian dari tiap kabupaten seluruh
Provinsi Riau atas permintaan pengurus Sanggar Putih Melati Jakarta.
Dalam penampilan pakaian tersebut, Syahawa H. B. meninggal dunia,
sehingga penampilan busana Riau baru dapat disiarkan TVRI pada tanggal
18 November 1985 dalam Berita Nasional pukul 19.00 WIB. Kini
26

Syahawa H. B. telah tiada. Dia sangat dikenal masyarakat Jakarta,


khususnya daerah Menteng, karena selalu mempopulerkan adat-istiadat ,
khususnya Melayu Siak Sri Indrapura.

4. Khadijah Ali

Beliau adalah seorang tokoh pemuka masyarakat yang berasal dari


Pekanbaru. Dia lahir di Pekanbaru, pada tanggal 25 Oktober 1925.
Pendidikan terakhir adalah Diniyah Putri tahun 1938 di Padang Panjang.
Tahun 1944 (zaman Jepang) dia bekerja di bidang organisasi wanita
(Fujinkai) bagian Hahanokai (penerangan). Kegiatan pada zaman Jepang
adalah jahit-menjahit dan belajar memasak. Tahun 1946–1947, dia
menjabat sebagai Ketua Panitia Pemberantasan Buta Huruf (membaca
menulis) atas nama organisasi Aisyiah. Oleh karena aktivitasnya ini, ia
mendapat surat penghargaan dari Menteri Pengajaran dan Pendidikan Mr.
Ali Sastroamijoyo. Beliau pernah menjadi Ketua Kursus Pendidikan
Umum Bahagian Atas (KPUA) selama 3 bulan dengan matapelajaran
jahit-menjahit, masakmemasak, dan pengetahuan umum. Khadijah Ali
27

merupakan tokoh perempuan , namun tetap menjalankan fungsi sebagai


istri, ibu rumah tangga, dan pemuka masyarakat yang telah berperan aktif
di bidang pendidikan formal dan nonformal. Ia juga aktif di bidang
pemerintahan, karena posisinya sebagai penasihat ahli di kantor BP4 sejak
tahun 1963.

5. Fatimah binti Suhil.

Kegiatan Palang Merah Indonesia yang diikuti oleh Fatimah binti Suhil pada tahun 1945

Beliau adalah seorang perempuan yang telah mendapat


pendidikan Kuliatul Mualimat lslamiah di Padang Panjang. Dia lahir di
Bagan Siapi-api pada tanggal 11 November 1925. Pendidikan Kuliatul
Mualimat Islamiah tidak diselesaikan karena pada tahun 1943, ia harus
kembali ke Siak Sri Indrapura karena Jepang memasuki Singapura,
sehingga tidak memungkinkan untuk menyelesaikan pendidikannya. Di
Siak ia aktif di redaksi Riau Koho (surat kabar Jepang) yang
beranggotakan Fatimah, Rohani, Misbah Taib, dan lain-lain. Tahun 1944–
1946 menjadi anggota Palang Merah bersama Rohani, Misbah Thaib, dan
lainnya dengan tugas memberi makan pasukan gerilya, menjahit pakaian
28

dan alat perlengkapan tentara lainnya yang didatangkan dari Singapura.


Kegiatan lain yang berhubungan dengan agama ialah memberi wirid
pengajian kepada kaum ibu dan Barzanzi marhaban yang merupakan
kegiatan kaum perempuan yang dilaksanakan pada waktu upacara pesta
pernikahan, khitan, dan waktu mencukur rambut bayi saat berumur 40 hari
(Aziz, 1976: 29).

2.3 Tokoh Pejuang Wanita pada Masa Sekarang

Dwi Ria Latifa

Nama Lengkap : Dwi Ria Latifa


Alias : No Alias
Profesi : Tokoh Hukum
Agama : Islam
Tempat Lahir : Tanjung Balai
Karimun, Riau
Tanggal Lahir : Jumat, 2 Desember
1966
Zodiac : Sagittarius
Warga Negara : Indonesia

Suami : Drs. Helmy Fauzi


Anak : Genta Rizky La Musa

Dwi Ria pernah mengenyam Pendidikan Pers Mahasiswa se-Indonesia yang


diselenggarakan di Universitas Gajah Mada Yogyakarta di tahun 1987, International
Language Program (ILP) Jakarta, dan juga Kursus Advocat Peradin pada tahun 1991.
Memulai bekerja pada tahun 1990, lalu bergabung di kantor pengacara Elza
Syarif, SH pada tahun 1991. Setelah satu tahun berada di kantor Elza Syarif, SH. Dwi
29

Ria pun mendirikan kantor pengacara dan konsultan hukum Ria Latifa dan Partner
pada tahun 1992.

Kiprahnya di dunia politik di mulai dengan bergabung bersama Partai


Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan). Dia juga aktif dalam berbagai
organisasi seperti menjabat sebagai anggota PBHI, Sekjen LBH APIK, anggota Tim
Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Ketua III bantuan hukum Serikat
Pengacara Indonesia (SPI). Dwi Ria menjabat sebagai anggota DPR RI komisi II di
bidang Hukum dan Dalam Negeri.

Penghargaan yang di terima oleh Dwi Ria dari Ketua Umum PDI P karena
keaktifannya sebagai anggota TPDI. Pada tahun 2010 Dwi Ria mendaftar sebagai
calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

1. Masojo

Masajo, srikandi Lancang


Kuning yang pernah mengenyam
pendidikan di Sultanah Latifah
School. Masajo berhasil
mengenalkan tenun indahnya kepada
dunia. Kisah hidupnya berawal ketika
tentara Jepang yang kekurangan
sandang dan pangan memerintah
keluarga mereka untuk membuatkan
kain dari 10 goni kapas yang mereka bawa. Merasa tidak memiliki secuil
pengetahuan pun dalam membuat kain, Masajo berjuang mengubah kapas menjadi
benang, dan dari benang menjadi kain. Dari kehidupan Masajo itulah terlahir bidal
tua Melayu yang menjadi penuntun umum, yang berbunyi:

Dari kapas menjadi benang,


30

Pilin benang menjadi kain,

Orang lepas jangan dikenang,

Sudah menjadi si orang lain.

Masajo ialah sosok sederhana yang kreatif. Dengan pengetahuan yang sangat
minim, ia mampu menghasilkan karya monumental yang tak pernah terlintas di
benaknya. Kini, tenun Masajo telah menjadi hautecoutoure (tradisi pakaian kelas
tinggi), yang dipakai oleh dara, bujang, bahkan petinggi Siak dan Riau, dalam helat-
helat majelis tinggi.
31

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Beberapa peristiwa konflik yang terjadi pada masa kini,harus kita lihat
sebagai potensi disintegrasi bangsa yang dapat merusak persatuan negeri. Maka ada
baiknya bila kita belajar dari perjalanan sejarah nasional kita, yang juga pernah
diwarnai dengan aneka proses konflik dengan segala akibat yang merugikan,baik
jiwa,fisik,materi,psikis dan penderitaan rakyat. Bagaimanapun, salah satu guna
sejarah adalah dapat memberi hikmah atau pelajaran bagi kehidupan.

Selain dari peristiwa sejarah, kita dapat juga mengambil hikmah dari teladan
para tokoh pejuang wanita. Diantara mereka adalah para pahlawan nasional yang
berjuang untuk persatuan bangsa dengan tidak hanya menggunakan senjata, tetapi
juga melalui karya berupa seni,lukisan,musik,sastra atau ilmu pengetahuan.

3.2 Saran
Dengan ditulisnya makalah ini, kami berharap pembaca dapat terinspirasi
untuk terus mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para tokoh pejuang
wanita Kepulauan Riau dengan hal hal yang membawa manfaat. Hal yang terpenting
yakni senantiasa menjaga kesatuan negara Republik Indonesia dengan saling
menghormati dan menghargai, tidak membeda bedakan suku, agama ataupun ras dan
menjaga sikap toleransi satu sama lain.
32

DAFTAR PUSTAKA

http://krishadiawan.blogspot.com/2010/04/srikandi-bumi-lancang-kuning-
puan.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Dwi_Ria_Latifa

https://wikidpr.org/anggota/5403631742b53eac2f8ef718

Anda mungkin juga menyukai