Anda di halaman 1dari 10

Metritis Septica Puerperalis

         Etiologi
Puerperal metritis terjadi dalam beberapa hari postcalving, radang akut terjadi perubahan pada
endometrial, myometrial dan lapisan peritoneal dari uterus dalam 10 hari setelah partus (Andrew,
2004). Kasus ini terjadi mengikuti fase abnormal pada saat partus, khususnya pada kasus
distokia, uterine inertia, twin births, dan kerusakan dari vulva dan atau birth canal.. Organism
yang paling sering menginfeksi adalah Actinomyces pyogenes, group C streptococci, haemolytic
staphylococci, coliforms, and Gram-negative anaerobes,terutama Bacteroides spp (Arthur,
2001).

         Patogenesis
Bakteri kolonisasi pada non-involuted uterus, menghasilkan toxins yang akan diserap oleh
kapiler dan akan mengakibatkan gejala yang parah. Arcanobacterium pyogenes menghasilkan
haemolytic exotoxin yang mempunyai dermonecrotizing activity. Bakteri ini juga menghasilkan
protease dan neuraminidase, sebagi salah satu faktor virulence. Reaksi purulent typical dari
infeksi A. pyogenes pathogenic.  Arcanobacterium pyogenes umumnya menyebabkan
suppurative lesions pada banyak hewan domestik (Arthur, 2001). Khususnya sapi, kambing,
domba. Beberapa organ dapat terinfeksi, lymphadenitis, osteomyelitis, peritonitis , pyometra,
metritis and mastitis.

         Gejala Klinis


Pengejanan dari abdominal dan keluar leleran berwarna kemerahan sampai cokelat berbau busuk
dari vulva.  Sangat umum terjadi toksemia, septicaemia, pyrexia (40–41°C), tachypnoea,
tachycardia(100/menit), anorexia, rumen stasis and dehydration, toxaemia menginduksi
diarrhoea dan shock. Infeksi juga dapat menyebar dari dinding uterus kedalam peritoneum, yang
akan menyebabkan peritonitis. Uterus berisi toksin, eksudat busuk, kemerahan dan serous.
Eksplorasi rectum meyebabkan rasa tidak nyaman dan disertai usaha expulsive persistent. Sering
juga diikuti dengan mastitis, terutama pada saat rebah dan juga sering dibarengi dengan
hipokalsemia. Vulva dan vagina membengkak. (Arthur, 2001).

         Diagnosa
Dilihat dari gejala klinis
1)   Pengambilan sampel dari exudates, aspirates dan jaringan samples untuk culture
danhistopathology.
2)   Blood dan MacConkey agars diinokulasi dengan specimen dan diinkubasi 37OC untuk 5 hari.

         Terapi dan Penanganan


Pemberian 50 i.u. of oxytocin secara IV akan menyebabkan kontraksi uterus dan expulsive dari
cairan dan debris sisa partus. Penyakit ini paling baik dengan pemberian systemic broad-
spectrum antibiotics dan terapi supportive. Intrauterine antibiotics tidak dapat menghilangkan
infeksi kecuali apabila hewan sudah menunjukakan peningkatan kesahatan dan temperature yang
normal dan beberapa antibiotic seperti nitrofurazone, neomycin dan beberapa sulphonamides,
akan menyebabkan kerusakan pada endometrium. Demikian juga dengan pemberian infuse dari
iodine cair akan berbahaya pada endometrium. Infuse intrauterine dari tetracyclines mungkin
efektif untuk kasus ringan dari endometritis, tapi tidak dapat penetrasi jauh ke dalam dinding
uterus, harus diberikan pda dosis 10 - 15mg/kg.

b)Pyometra
Pyometra berasal dari dua kata, yaitu pyo yang artinya nanah dan metra yang artinya uterus.
Pyometra merupakan penyakit dimana terjadi penimbunan nanah pada uterus akibat terjadinya
endometritis kronis (M. Arifin Basyir, 2007).

         Patogenesis
Bakteri yang menyebabkab pyometra adalah Escherichia coli, Staphylococcus, Streptococcus,
Pseudomonas, dan Proteus spp. Selain itu, Penyakit kelamin menular seperti brucellosis,
trichomoniasis dan vibrosis juga menyebabkan pyometra. Kista hiperplasia endometrium dan
akumulasi sekresi uterus mendukung perkembangan dan menyediakan tempat yang sesuai untuk
pertumbuhan bakteri. Progesteron juga menghambat respon sel darah putih terhadap infeksi
bakteri (Kusuma, 2010).

Pyometra adalah hasil dari pengaruh hormonal yang menurunkan ketahanan tubuh normal
terhadap infeksi.Dan hal ini sudah dibuktikan bahwa uterus sapi lebih peka terhadap infeksi
sewakyu metestrus dibanding dengan estrus. Kadar estrogen berlebih dalam darah (hyper
estrogenism) menyebabkan hanya sedikit leukosit-leukosit yang tiba di dalam mucossa saluran
genital dan menyebabkan infeksi uterus mudah terjadi. Bakteri yang secara normal ada dalam
uterus maupun yang berasal dari luar tubuh kemudian pindah dari vagina ke uterus melalui aliran
darah berkembang biak diantara glandula uterina dan lumen. Jika bakteri tersebut sangat virulent,
sel darah putih (leukosit) tidak bisa membunuhnya. Leukosit akan mati dan terakumulasi sebagai
nanah / pus. Nanah dan sekresi kelenjar uterin yang tertimbun di dalam uterus tidak dapat
dikeluarkan karena kadar progesteron yang tinggi mengakibatkan negatif feedback (efek negatif)
pada kelenjar pituitaria anterior sehingga kadar esterogen rendah dan kontraksi uterus berkurang.
Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya korpus luteum dan kista-kista folikel pada ovarium
hewan yang menderita pyometra (Kusuma, 2010).

         Gejala Klinis


Pada sapi betina penderita pyometra adalah tidak munculnya birahi dalam waktu yang lama atau
anestrus, siklus birahi hilang karena adanya korpus luteumpersisten. Terdapat timbunan nanah
dari 200- 20.000 ml di dalam rongga uterus dan hanya keluar dari vagina pada waktu sapi
berbaring dan sapi akan merasakan sakit didaerah abdomen (Toleihere, 1985).

Suatu pengeluaran cairan seperti nanah yang terjadi 2 – 3 minggu setelah portus yang disebabkan
metritis paerpularis adalah bukan pyometra sejati. Pyometra yang sejati adalah bila nanah yang
tertimbun dan tidak dikeluarkan selama lebih dari 60 pasca melahirkan dan selama itu birahi
tidak pernah muncul. Pengeluaran nanah ditandai adanya kotoran yang melekat pada alat
kelamin luar maupun pada ekor, kaki belakang dan kandang. Abdomen terlihat membesar karena
uterus membesar sesuai dengan volume nanah yang tertimbun.hal ini dikarenakan servik uterus
menutup sehingga terjadi retensi exudat purulent dalam kornu uteri. Tubuh sapi penderita
pyometra terlihat kurus, bulu suram, temperatur tubuh naik,respirasi cepat pulsus naik dan turgor
kulit. Sapi tidak mau makan tetapi banyak minum dan urinasi.

Perubahan makroskopis yang terlihat adalah :


1)      Uterus mengalami penebalan dinding, atonis dan menggantung.
2)     Sewaktu rongga perut dibuka kedua kornu uteri terlihat sangat mencolok karena berisi      
      nanah,sedangkan mukosa terlihat licin (Kormu uteri membesar dan melebar)
3)      Teridentifikasi adanya corpus loteum di ovarium kanan
4)      Terlihat adanya sulaman fibrin di dorsal uterus
5)    Tidak adanya kotiledon fetus dan korunkula atau plasentom pada dinding uterus maupun fetus 
      yang tidak teraba pada palpasi rektal.
6)  Nanah cenderung untuk bergrafitasi dan berkumpul diapek atau ujung kornu dan tyidak ada 
    penonjolan dorsal pada kornu uterus sepertiyang lazim ditemukan pada kebuntingan muda .
7)  Selaput lendir yang biasanya sangat kasar karena hiperplasia mukosa,disamping kerusakan atau 
    erosi mukosa menjadi sangat jelas terlihat.
8)    Nanah biasanya tipis, kelabu kekuningan,sepertiair, sering mengandung bongkah-bongkah
nanah 
     dan utas-utas selaput dan tenunan fetal.konsistensi dan warna seperti subkentang ,nanah tidak 
    berbau, atau agak manis tapi tidak membusuk
(Arthur, 2001).

         Diagnosa
Pada pemeriksaan fisik, sapi yang mengalami pyometra akan menunjukkan pembesaran perut
yang simetris. Hal ini terjadi karena nanah yang tertimbun dalam uterus akan mengisi kedua
kornu. Badan kelihatan kurus dengan bulu yang kusam. Pada saat sapi berbaring, akan keluar
kotoran berupa nanah dari lubang vagina. Hasil eksplorasi rektal menunjukkan bahwa penyebab
pembesaran perut yang simetris pada pyometra adalah karena nanah mengisi kedua kornu uterus.
Mukosa uterus terasa lebih tebal dari normal, dan jika uterus ditekan akan berfluktuasi karena
ada tekanan balik dari cairan dalam uterus. Tidak ditemukannya karunkula, arteri uterina
mediana tidak teraba dan tidak ditemukannya fetus dalam uterus (M. Arifin Basyir, 2007).

Beda halnya jika sapi tersebut bunting, melalui eksplorasi rektal akan ditemukan fetus yang
hanya tumbuh pada salah satu koruna, dan koruna lainnya tetap kecil. Dinding uterus menipis,
mengikuti pertumbuhan fetus. Arteri uterina mediana teraba dan karunkulapun teraba pada
dinding uterus (M. Arifin Basyir, 2007).

         Terapi
Pemberian Oxytocin bertujuan untuk menimbulkan kontraksi uterus sehingga cairan di uterus
bergerak keluar. Lalu Prostaglandin menyebabkan luteolisis, kontraksi miometrium, relaksasi
servix, dan pengeluaran eksudat uterus. Setelah itu baru dberikan antibiotik (Anonim a, 2010).

Pada kasus pyometra harus diusahakan nanah dikeluarkan dari uterus, dengan cara irigasi, yaitu
memasukkan cairan antiseptik kedalam uterus dan dialirkan keluar membawa nanah tersebut.
Pada kasus pyometra pada prinsipnya semua jenis antiseptik dapat digunakan untuk irigasi.
Tetapi dianjurkan adalah antiseptik yang paling ringan dalam menimbulkan iritasi pada selaput
lendir endometrium atau selaput mukosa uterus. Selama ini dianjurkan adalah Povidon Iodin 2%.
Contoh lain ada  Permanganas Kalium (PK, KMnO4). Kelebihan PK murah, tetapi tingkat iritasi
sangat tinggi, bahkan bersifat korosif. Selain itu PK harus dipakai segera setelah dibuat larutan 
segar. Antiseptik lain dalam OGB adalah hidrogen peroksida (H2O2) 1,5-6%, Klorheksidin
Glukonat 5% (M. Arifin Basyir, 2007).

Pengobatan awal ditujukan pada upaya membuka cerviks dan kontraksi uterus sehingga nanah
dapat dipaksa mengalir keluar, diikuti dengan mengadakan irigasi dengan obat antiseptik dengan
maksud untuk membersihkan sisa-sisa dalam uterus, kemudian diobati dengan antibiotika untuk
membunuh mikroorganisme penyebabnya. Pemberian preparat estrogen atau sintesisnya
bertujuan untuk mendorong terjadinya kontraksi uterus dan pembukaan cerviks. Untuk itu
diberikan Dietil stilbestrol (larutan dalam minyak mengandung 10 mg/ml). Pada hewan besar
seperti sapi diberikan 50-100mg secara intramuskuler diulang 4 hari sekali. Obat lain yang dapat
dipakai adalah Hypophysin yang didalamnya mengandung oksitosin, diberikan sebanyak 60-100
IU atau 3-5 ml secara intramuskuler atau subcutan. Pengobatan ini mengakibatkan kontraksi
dinding uterus dan membuka cerviks diikuti keluarnya nanah dan terjadi involusi uterus
(Kusuma, 2010).

Irigasi ke dalam saluran uterus dapat dilakukan dengan larutan yodium 1-2%, kadang-kadang
dapat memberikan hasil yang cukup baik dalam usaha mengeluarkan nanah dari uterus. Stimulasi
pada uterus dapat dilakukan dengan cairan antiseptik seperti larutan lugol sebanyak 2,5 ml yang
dicampur ke dalam 250 ml aquades. Larutan ini diberikan untuk irigasi dalam uterus. Irigasi
dilakukan dengan kateter dan larutan dikeluarkan kembali setelah uterus dipijat. Dengan irigasi
ini, sisa nanah yang terkumpul dapat dikeluarkan walaupun tidak keseluruhan nanah dapat habis
(Kusuma, 2010).

Beberapa macam antibiotika dapat dipakai sebagai obat pilihan untuk membunuh bakteri
penyebab endometritis kronis disertai pyometra. Pemberian setiap hari secara intrauterin
penisilin bersama streptomisin, dengan dosis Penisilin G 1000 000 IU dan Dehidrostreptomisin
1000 mg dilarutkan dalm 40 ml aquades, diulangi selama beberapa hari, atau Oksitetrasiklin
(teramisin) dengan dosis 100 mg dilarutkan ke dalam 50-100 ml NaCl fisiologis, dapat dilakukan
dengan cara dimasukkan ke dalam uterus melalui kateter. Obat yang lain adalah Nitrofurosone
atau Furosin dapat diberikan larutan 0,2 % sebanyak 20-60 ml ke dalam rongga uterus (Kusuma,
2010).

c) Metritis
Metritis adalah peradangan yang terjadi pada beberapa lapisan uterus yang biasanya menyerang
endometrium hingga miometrium. Metritis dapat disebabkan oleh infeksi peripartus atau post
partus yang biasanya disertai septicemia sehingga disebut juga sebagai metritis septika
puerpuralis. Metritis juga dapat bersifat akut yang biasanya menimbulkan berbagai gejala klinis
yang jelas atau disebut juga sebagai metritis klinis. Metritis yang bersifat kronis biasanya disertai
dengan pembentukan jaringan ikat pada endometrium sehingga tidak fungsional lagi metritis ini
sering disebut dengan metritis sklerotik (Colin , 2003).

    Etiologi
Metritis dapat terjadi karena penanganan kelahiran yang tidak steril, laserasi akibat distokia,
kurangnya nutrisi sehingga terjadi gangguan hormonal yang menyebabkan system kekebalan
pada uterus terganggu. Dapat juga disebabkan oleh kontaminasi bakteri pada saat proses
perkawinan alami maupun IB.

         Patogenesis dan Gejala klinis


Pada kasus metritis puerpurium biasanya didahului terjadinya inersia uterine dan retensi plasenta
hal ini dapat memicu perkembangan mikroorganisme infeksius seperti C. pyogenes,
Stapilococcus hemolitik dan Streptococcus grup C yang akan berkolonisasi pada dinding uterus
sehingga terjadi infiltrasi sel radang yang dapat mengakibatkan kerusakan jaringan pada dinding
uterus. Beberapa bakteri tersebut dapat menghasilkan toksin yang sebagian dari itu akan terserap
tubuh dan sebagian yang lain akan keluar bersama lochia.

Bila bakteri memasuki aliran darah akan menimbulkan septicemia yang dimanisfestasikan dalam
gejala berupa demam, gejala lain yang dapat timbul diantaranya depresi, anoreksia, penurunan
produksi susu, diare yang disebabkan toksin dari bakteri tersebut, vulva vaguna biasa tampak
bengkak dan kongesti, peritonitis, pneumonia, poliartritis (radang sendi) (Colin, 2003). 

         Perubahan Patologi


Pada metritis sklerotik lapisan endometrium biasanya akan berubah menjadi jaringan ikat tebal
berlapisan padat, yang disertai foci dari infeksi, dan eksudat purulen, terjadi nekrosis pada
karunkula.

         Diagnosa
Dilihat dari gejala klinis dan palpasi perektal. Pada kasus metritis sklerotis biasanya uterus akan
teraba tebal dan keras mirip kartilago atau jaringan fibrosa padat.

    Terapi
Pada metritis puerpuralis sebelum dilakukan terapi, terlebih dahulu dilakukan pengeluaran
plasenta yang masih retensi. Pemberian injeksi intravena hormone oksitosin 10 ml. dan untuk
mensesitifsasi uterus terlebih dahulu diberi hormone esterogen dalam bentuk stilbestrol sebanyak
10-15 mg, pemberian kedua hormone ini bertujuan untuk memicu involusi uterus. Untuk
mengatasi bakteri yang tersisa dilakukan pemberian infuse 1 juta penicillin dan 1 gram
streptomycin dalam 40 ml larutan fisiologis secara intra uterine terapi ini dilakukan 7-14 hari
post partus hingga leleran lochia kembali normal (Arthur, 2001).

d)     Endometritis
Endometritis adalah radang pada lapisan endometrium di uterus. Endometritis ada 2, yaitu :
1)   Endometritis Subklinis
Merupakan endometris yang tidak nampak gejala klinisnya. Biasanya disebabkan karena IB yang
tidak steril dan legeartis. Akibatnya bisa menyebabkan kegagalan fertilisasi, kegagalan
implantasi embrio, dan terjadinya kematian embrio dini.
2)   Endometritis Klinis
Merupakan radang pada endometrium, dan merupakan peradangan uterus yang paling ringan.
Endometritis dapat merupakan lesi primer atau kondisinya berkembang secara cepat menjadi
peradangan uterus yang lebih berat. Uterus sapi biasanya terkontaminasi dengan berbagai
mikroorganisme selama masa puerpurium. Bakteri disingkirkan dari lumen uterus selama
minggu-minggu pertama setelah partus oleh proses fagositosis yang prosesnya dipacu oleh
estrogen dan dihambat oleh progesterone (Prihatno, 2004).
         Predisposisi/ Etiologi
Pada banyak kasus endometritis, disebabkan oleh oportunistik patogen yang menginfeksi setelah
partus, selain itu bakteri yang dapat menyebabkan infertil seperti Campylobacter fetus and
Trichomonas fetus juga dapat menyebabkan endometritis. Faktor predisposisi terjadinya
endometritis adalah distokia, retensi plasenta, musim, kelahiran kembar,  invasi bakteri serta
penyakit metabolit (Arhur, 2001).

         Patogenesis
Agen infeksi biasanya masuk ke dalam uterus melalui vagina pada saat coitus, inseminasi
buatan, partus, dan atau postpartus, walaupun memugkinkan juga pada suatu keadaan agen
infeksi berasal dari sirkulasi. Pada kebanyakan kasus, agen infeksi tersebut berasal dari
kontaminasi uterus postpartus tetapi biasanya flora tersebut akan segera dihilangkan.

Flora tersebut akan tetap tinggal di uterus, sehingga menyebabkan peradangan pada
endometrium. Tingkat kontaminasi bakteri pada uterus sangat menentukan terjadi endometritis
atau tidak. Patogenesis penyakit ini sangat berhubungan dengan faktor-faktor yang berkaitan
dengan kemampuan tubuh hospes untuk mengeliminasi flora tersebut, daripada faktor dari
bakteri-bakteri sendiri (Arthur, 2001).

         Gejala Klinis


Gejala pertama endometritis adalah adanya leleran dengan lender jernih atau keputihan yang
berlebihan. Adanya infeksi Actinomyces pyogenes mengakibatkan leleran menjadi purulen dan
berbau busuk yang khas. Evaluasi klinis keadaan uterus dapat dilakukan dengan pemeriksaan
lewat rektum. Ukuran uterus, ketebalan dinding uterus dan isi lumen uterus merupakan
pertimbangan dalam hubungannya dengan jumlah hari pasca beranak.

Gejala klinis endometritis bervariasi dari kekeruhan ringan dari lendir birahi sampai pembesaran
uterus yang mungkin terlihat pada vagina bagian depan dan saluran serviks dengan pemeriksaan
menggunakan spikulum.

Riwayat pengawinan mungkin menunjukkan adanya kegagalan konsepsi setelah beberapa kali
inseminasi. Penderita bisa nampak sehat, walaupun dengan leleran vulva purulen dan dalam
uterusnya teraba timbunan cairan. Pengaruh endometritis terhadap fertilitas adalah dalam jangka
pendek, meurunkan kesuburan, calving interval dan S/C naik, sedangkan dalam jangka panjang,
menyebabkan sterilitas karena terjadi perubahan traktus reproduksi, sehingga meningkatkan
pemotongan (Prihatno, 2004).

         Prognosa
Kesembuhan endometritis biasanya baik, kecuali kalau terjadi pengembangan proses peradangan
menjadi lebih parah.

         Diagnosis
Diagnosis dapat dilakukan dengan mengetahui gejala klinis dan riwayat hewan sebelumnya.
Diagnosis juga dapat dilakukan dengan biopsy uterus. Walaupun interpretasi material biopsy
memerlukan pengalaman dari perubahan siklus normal dari endometrium. Pada endometrial
biopsy bisa diketahui adanya endometrial subklinis yang gejalanya tidak nampak (Arthur, 2001).

         Terapi
Terapi yang biasa digunakan adalah dengan injeksi antibiotik dan hormon (Prostalglandin F-2α)
atau melakukan dengan antiseptik (yodium povidon) secara intra uterine (Prihatno, 2004).

         Akibat Infeksi


Endometritis menurunkan fertilitas, memperpanjang interval calving per konsepsi, meningkatkan
angka servis per kebuntingan. Selain itu endometritis bisa terjadi secara jangka panjang, dan
saluran reproduksi tidak bisa kembali seperti sebelum terinfeksi. Endometritis juga bisa
menurunkan keuntungan dari peternakan sapi perah (Arthur, 2001).

Anda mungkin juga menyukai