Anda di halaman 1dari 8

PROLAPSUS VAGINA

Prolaps vagina merupakan kejadian keluarnya mukosa vagina dari struktur


anatominya (Yin et al., 2018). Prolaps vagina pada sapi umumnya terjadi pada trimester
ketiga kebuntingan, namun juga dilaporkan terjadi pada sapi tidak bunting (Yotov et al.,
2013). Prolaps vagina pada sapi bunting trimester akhir terjadi karena peningkatan hormon
estrogen yang menyebabkan relaksasi ligamen dan struktur jaringan lunak di sekitar
perineum, peningkatan tekanan abdominal akibat pembesaran uterus, fetus yang berukuran
besar, dan distensi rumen (Ennen et al., 2011). Sapi tidak bunting dapat mengalami prolaps
vagina akibat faktor genetik serta kekurangan mineral makro dan mikro (Yotov et al., 2013).
Faktor predisposisi terjadinya prolaps vagina adalah penurunan tonus myometrium akibat
hipokalsemia, serviks yang terbuka, dan perut tegang (Miesner & Anderson 2008; Kumar et
al., 2018). Prolaps vagina yang tidak segera ditangani dengan baik dapat menyebabkan
edema kronis akibat trauma pada mukosa dan pendarahan (Widodo 2015).

KASUS

Anamnesis dan sinyalmen Sapi betina ras Peranakan Ongole atau P.O dengan warna rambut
putih, berumur 5 tahun 9 bulan, dan dipelihara di kandang. Sapi dalam keadaan postpartus
dan telah mengalami partus 2 hari sebelumnya dengan plasenta yang masih menggantung.
Vagina terekspos keluar dari vulva. Pemeriksaan fisik: Suhu rektal 39,9°C dan nafas
tersengal-sengal. Diagnosa: Prolaps vagina. Prognosa: Fausta. Terapi: Mukosa vagina
dibersihkan dari kotoran menggunakan air bersih mengalir dan diberikan aniseptik povidon
iodin 2 %. Vagina yang prolaps direposisi dengan cara didorong menggunakan tangan.
Antibiotik oxytetracyclin, antiradang phenylbutazone, prodryl sebagai antihistamin, dan
biodin diberikan secara intramuskular (im) serta pemberian antikiller untuk mencegah
datangnya ektoparasit. Penanganan dapat dilakukan pemberian anestesi epidural dan juga
penjahitan pada vulva. Langkah yang dilakukan untuk anestesi epidural ini adalah melakukan
pembersihan rambut pada ekor yaitu pada daerahsakraldicukurdan kulit dibersihkan dengan
menggunakan alkohol dan povidoneiodine. Penyuntikan dilakukantepat di Ruang
sacrococcygeal. Setelah terlihat respon akibat anestesi baru dilakukanpemasukkan vagina ke
abdomen melalui vulva kembali. Setelah semua organ vagina masukdilakukan penjahitan.
Metode yang dilakukan untuk penjahitannya adalah tehnik Buhner(Weaver et al, 2005).
Teknik buhner yaitu penjahitan dilakukan pada daerah vulva dengandua tusukan jarum yang
horisontal dibuat tepat di bawah komisura ventral dan dorsal vulva.Kemudian Jahitan diikat
menggunakan simpul mati (Abdullah et al,2014). Setelah semua selesai bagian vulva yang
terdapat tusukan jarum dan terikat oleh benang di beri iodine povidone dan disemprot
menggunakan gusanex agar tidak terjadi peradangan.

(Dokumentasi Pribadi)

Hasil dan Pembahasan

Prolaps vagina ditemukan pada sapi post partus yang diperlihara di kandang. Hasil
pemeriksaan fisik menunjukkan sapi mengalami demam dan frekuensi napas lebih tinggi dari
normal, serta mukosa vagina terekspos keluar dari vulva. Penanganan prolaps vagina harus
segera dilakukan dengan cara yang higienis untuk mencegah terjadinya infeksi pada uterus
(Widodo 2015). Penanganan dilakukan dengan membersihkan kotoran, benda asing, dan
jaringan yang mengalami nekrosa. Mukosa selanjutnya dibersihkan menggunakan air bersih
mengalir dan dicuci dengan povidon iodin 2%. Pemberian povidon iodin berfungsi sebagai
antiseptik. Selanjutnya dilakukan reposisi vagina dengan cara didorong secara perlahan
menggunakan tangan. Penanganan pada kasus ini dilakukan tanpa pemberian anestesi
epidural maupun penjahitan pada vulva. Antibiotik xytetracyclin (20 mL, im) diberikan untuk
mencegah terjadinya infeksi sekunder. Phenylject® (Interchemie, Netherlands) mengandung
phenylbutazone (20 mL, im) juga diberikan sebagai antiinflamasi dan analgesik (Yin et al.
2018). Phenylbutazone bekerja dengan menghambat siklooksigenase, sehingga mengurangi
sintesis prostaglandin (Plumb 2008). Multivitamin Biodin® (Romindo, Indonesia) dengan
kandungan vitamin B12, ATP, potassium aspartate, magnesium aspartate, dan sodium
selenite diberikan secara intramuskular untuk menguatkan otot, memperbaiki metabolisme,
dan meningkatkan daya tahan tubuh sapi selama masa persembuhan, prodryl sebagai
antihistamin dengan kandungan per ml Dipenhydramine HCL 20mg.

DISTOKIA

Distokia adalah kesusahan dalam proses kelahiran yang diakibatkan oleh faktor induk
atau fetus, sehingga untuk terjadinya kelahiran diperlukan bantuan manusia. Penyebab
kesukaran dalam proses kelahiran pada sapi meliputi tiga faktor utama yaitu kekurangan
tenaga pada induk untuk mengeluarkan fetus, adanya gangguan pada jalan kelahiran induk,
dan adanya kelainan pada fetusnya. Kejadian distokia yang diakibatkan oleh faktor induk
dapat disebabkan oleh berbagai keadaan. Keadaan tersebut meliputi bangsa, periode
kelahiran, jumlah pakan, pergerakan tubuh induk 26 (exercise) di luar kandang, gangguan
reproduksi yang pernah diderita dan trauma saat kebuntingan. Faktor fetus yang berpengaruh
terhadap kasus distokia meliputi ukuran fetus, jenis kelamin, kondisi fetus, dan letak fokus
(Febrianila dkk., 2018). Umur induk berkaitan dengan dewasa kelamin pada induk. Jika
induk masih berupa sapi dara kemungkinan untuk terjadinya distokia lebih tinggi karena
umurnya masih terlalu muda. Hal ini disebabkan karena pada sapi betina yang masih muda
ukuran rongga pelvis masih terlalu kecil sehingga jika dipaksakan untuk bunting saat
melahirkan akan menyebabkan terjadinya fraktur (Jackson, 2007). Menurut Jackson (2004),
tanda klinis yang bisa diamati pada sapi yang mengalami distokia diantaranya, yang pertama
kelahiran pada tahap pertama yang berkepanjangan dan tidak progresif kejadian ini
disebabkan karena kegagalan dilatasi serviks yang merupakan penyebab distokia sapi paling
umum, tidak ada kontraksi uterus dan amnion sering kali masih utuh. Tidak adanya kontrasi
yang efektif biasanya akibat hipokalsemia dengan tanda-tanda milk fever saat kelahiran.
Gejala klinis kedua yaitu induk sapi berusaha keras untuk melakukan perejanan selama 30
menit namun tidak nampak fetus mengambil postur kelahiran, biasanya disebabkan karena
otot perut hewan tidak mampu berkontraksi atau mengejan dengan baik. Selain itu pada sapi
yang sangat tua, otot-otot perut mungkin sudah tertarik melebihi kapasitas elastisitas
alamiahnya. Gejala ketiga adalah kondisisakit yang melibatkan abdomen, diafragma dan dada
seperti retikulitis/perikarditis dapat menghambat upaya mengejan. Kegagalan fetus untuk
dikirim ke vulva dalam waktu 2 jam setelah amnion muncul biasanya dipengeruhi oleh
ukuran tulang pelvis yang terlalu kecil untuk lewatnya fetus. Meternal immaturity adalah
penyebab paling umum dan sering terjadi sebagai akibat sapi dara dikawinkan pada umur
terlalu muda dan disebabkan ketika fetus lebih besar dari ukuran normal. Gejala klinis
keempat saat fetus mengalami malpresentaion yang jelas, malposture, atau maldisposition;
misalnya penampilan kepala fetus tanpa disertai forelimbs (kaki depan), 27 ekor tapi tidak
ada tungkai belakang, kepala dengan satu forelimb (kaki depan).
KASUS

Anamnesis dan sinyalmen Sapi betina ras Simental dengan warna coklat kemerahan, berumur
3 tahun 2 bulan, dan dipelihara di kandang. Sapi dalam keadaan distokia fetalis. Diagnosa:
Distokia Fetalis. Prognosa: Fausta-infausta.

Presentasi: longitudinal posterior

Posisi: dorso sacrum

Postur: hock flexion posture

Terapi dan penanganan:

Palpasi vagina untuk mendapatkan kaki fetus, setelah dirasa maka ikat dengan dengan tali,
posisi tubuh repulse lalu eksitansikan untuk membenahi posisi badan dari fetus. Lalu lakukan
versio dengan hati-hati arag posisi pas depan-belakang, kemudian lakukan retraksi perlahan
sesuai irama kontrasi dari induk.

Terapi yang diberikan ke induk adalah dengan injeksi nematodin 10 ml, injektamin 7 ml.
Pencegahan terjadinya distokia dengan memberi edukasi ke peternak tentang manajemen
reproduksi dan kehamilan, salah satunya dengan edukasi pemilihan jenis sapi yang akan di IB
ke indukan sapi bahwa jenis sapi tidak boleh dari jenis/ras yang memiliki ukuran tubuh lebih
besar dari ukuran jenis/ras indukan karena pedet yang terlalu besar tidak bisa keluar dengan
ukuran pelvis induk yang kecil maka akan menyebabkan distokia.

(Dokumentasi Pribadi)
THELEZIASIS

Theleziasis merupakan penyakit mata yang disebabkan oleh cacing thelazia sp.
menyerang hewan ternak sapi, kerbau, kuda, kambing, burung, kucing dan anjing (Otranto et
al., 2004). Cacing tersebut hidupdalam membrane niktitan atau kantong konjungtiva atau
duktus lakrimalis. Infestasi cacing thelazia sp. menjadi penting karena hewan penderita akan
tampak tidak tenang karena adanya iritasi pada mata dan akan tampak kemerahan, keluar
cairan dari mata yang lama kelamaan apabila dihinggapi lalat akan semakin memperparah
kondisi mata sehingga mata tidak dapat terbuka, pada tahap selanjutnya akan terjadi ulserasi
pada kornea dan akhirnya menyebabkan kebutaan (Togar et al., 2017). Hal ini sangat
merugikan para peternak, karena dapat menurunkan harga jual ternak sapi.

(Dokumentasi Pribadi)

Patogenesis Siklus hidup Thelazia sp. tidak langsung membutuhkan inang antara yaitu
lalat famili Muscidae (diptera). Lalat terinfeksi oleh cacing stadium larva (L1) pada saat
makan disekitar mata inang defenitif. Larva (L1) memasuki usus lalat dan menembus folikel
ovarium kemudian berkembang menjadi larva tahap kedua (L2) yang berukuran panjang 3-4
mm. Larva kemudian ekdisis menjadi larva tahap ketiga (L3) berukuran panjang 5-7 mm
yang merupakan larva infektif. Larva kemudian meninggalkan folikel ovarium dan
bermigrasi kebagian mulut lalat. Perkembangan dari larva tahap pertama sampai dengan larva
tahap ketiga berlangsung selama 15-20 hari di dalam tubuh lalat. Larva infektif akan
menginfeksi mata sapi ketika lalat makan disekitar mata sapi. Di dalam mata sapi cacing akan
menjadi dewasa dalam waktu 20-25 hari (Soulsby, 1982). Kornea mata, kantung konjungtiva
merupakan habitat dari T. rhodesii, T. skrjabini, dan T. gulosa. Kutikula yang keras dan
bergerigi dari Thelazia menyebabkan kerusakan mekanis pada epitel konjungtiva dan kornea
sehingga produksi air mata meningkat yang berperan penting dalam transmisi cacing ke
vektornya, dalam hal ini lalat Musca spp (face flies) yang pakannya adalah sekresi air mata
sapi (Otranto dan Traversa, 2005). Gejala klinis 19 Kasus yang kami temukan, sapi
menunjukkan gejala adanya hiperlakrimasi dan corneal opacity. Gejala ini sesuai dengan data
yang diperoleh Anderson (2000) yang menjelaskan infeksi oleh cacing Thelazia sp
menyebabkan iritasi dan reaksi inflamasi pada organ mata ternak. Infeksi yang parah
menyebabkan kerusakan konjungtiva dan blepharitis organ mata. Pada penelitian lain, juga
ditemukan keratitis, ulcerasi, perforasi (berlubang) dan fibrosis permanen; Selain itu juga
infeksi pada sapi diketahui menyebabkan konjungtivitis, keratitis, lakrimasi dan kerusakan
organ mata. Manifestasi klinik yang ditimbulkan oleh infeksi cacing thelazia menyebabkan
hewan stress, napsu makan menurun drastis dan yang paling parah adalah menyebabkan
rusaknya kornea mata akibat terbentuknya benjolan disertai selaput putih yang menutupi
mata (Otranto et al.,2007) Treatment Pengobatan dilakukan dengan pemberian
antihelminthiasis levamisole 10% yang telah diencerkan dengan aquades dengan
perbandingan 1:9 ml. Levamisole 10% merupakan obat antihelminth yang digunakan secara
tetes ocular dengan jumlah 3ml/ hari. Selain itu, juga diberikan pemberian vitol-140
( Kandungan aktif vitamin A D E ) sebanyak 7 ml secara intramuscular untuk mempercepat
penyembuhan pada mata dan dapat meningkatkan daya tahan tubuh. Pengobatan dilakukan
selama 2 hari. Edukasi Peternak Client education yang diberikan mengenai faktor risiko yang
secara nyata mempengaruhi kejadian thelaziasis pada ternak sapi adalah manajemen
peternakan dan pemberian agen antihelminthik serta eradikasi vector pembawa yaitu lalat
musca, sehingga perlu dilakukan pemberian obat antihelmintik secara rutin dan perbaikan
pada manajemen peternakan sapi, seperti menjaga kebersihan sekitar kandang.

METRITIS

Metritis merupakan peradangan pada lapisan uterus (endometrium, myometrium,


perimetrium) dan membran mukosa uterus yang sering disebabkan oleh adanya infeksi
bakteri. Kejadian metritis kemungkinan besar terjadi pada saat inseminasi buatan atau
penanganan kelahiran yang kurang higienis, sehingga banyak bakteri yang masuk ke uterus,
seperti bakteri non spesifik (E. coli, Staphylococcus sp., Streptococcus dan Salmonella),
maupun bakteri spesifik (Brucella sp, Vibrio foetus dan Trichomonas foetus). Kasus metritis
dapat memberikan efek negatif terhadap performa reproduksi serta mempengaruhi fertilitas
pada sapi perah. Hal tersebut disebabkan karena terganggunya kondisi uterus sehingga
menyebabkan terganggunya siklus estrus dan perkembangan embrio (Giuliodori et al, 2013).

Anamnesa dan sinyalmen Sapi Simental berumur 6 tahun, warna rambut coklat
kemerahan, suhu 39,4 sapi dipelihara dikandang milik Pak Badrus memiliki riwayat metritis
setelah partus pemilik melaporkan bahwa sapinya mengeluarkan leleran keruh berwarna
putih, nanah dan berbau dari vulva setelah 1 minggu pasca melahirkan.

Gejala Klinis Gejala klinis yang tampak pada sapi yaitu adanya leleran keruh
berwarna putih, nanah konsistensi kental, dan berbau tidak sedap.

Terapi dan pengobatan: Antibiotik penstrep, preparat hormon oxitocyn,vit A,D,E.


Pembersihan leleran dengan air mengalir agar mengurangi infeksi sekunder.

Diagnosa banding yang dapat diambil dari gejala klinis yang tampak yaitu pyometra
dan endometritis.

(Dokumentasi pribadi)

Anda mungkin juga menyukai