Anda di halaman 1dari 30

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN DAN


ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

Telah disetujui laporan pendahuluan dan


asuhan keperawatan pada klien

, dengan diagnosa medis

yang dirawat di Rumah Sakit , Ruang

NAMA : FATMA SUSANTI

NIM : 18Ns11008

Hari :

Tanggal :

Mengetahui,

Pembimbing Klinik, Pembimbing Institusi,

( ) ( )
LAPORAN PENDAHULUAN

KEHAMILAN EKTOPIK

A. Definisi
Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan dimana sel telur yang dibuahi
berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium kavum uteri. Kehamilan ektopik
dapat mengalami abortus atau ruptur pada dinding tuba dan peristiwa ini disebut
sebagai kehamilan ektopik terganggu. Kehamilan ektopik dapat terjadi diluar
rahim misalnya dalam tuba, ovarium atau rongga perut, tetapi dapat juga terjadi
didalam rahim misalnya dalam cervix, pars interstitialis tuba atau dalam tanduk
rudimenter rahim. Sebagian besar kehamilan ektopik terganggu berlokasi di tuba
(90%) terutama di ampula dan isthmus Dewi, (2016) dalam Barliatin, (2019).

B. Anatomi dan Fisiologi

Manusia baru mulai terbentuk ketika sebuah sel sperma dari sekian juta
yang keluar waktu bersenggama berhasil membuahi sel telur (ovum). Dari berjuta
– juta sel sperma yang masuk pada ujung atas vagina, hanya beberapa ribu saja
yang berhasil menerobos masuk ke dalam rongga rahim. Dari jumlah itu hanya
beberapa ratus yang mampu mencapai saluran telur melalui bagian tanduk (cornu)
rahim. Manusia baru sebenarnya mulai tersusun ketika kromosom – kromosom
dari sel sperma dan sel telur itu bergabung menjadi satu. Dengan dikendalikan
oleh gen, sel kemudian membelah diri sampai terbentuk manusia baru, seperti
yang telah diuraikan di depan Jones, 2005 dalam Barliatin, (2019).
Waktu persetubuhan, cairan semen tumpah kedalam vagina dan berjuta –
juta sel mani bergerak memasuki rongga rahim lalu masuk kesaluran telur,
pembuhan sel telur oleh sperma biasanya terjadi di bagian yang menggelumbung
dari tuba falopii. Di sekitar sel telur banyak berkumpul sperma yang banyak
mengeluarkan ragi untuk melindungi zat – zat yang melindungi ovum, kemudian
masuklah satu sel mani dan bersatu dengan sel telur. Peristiwa ini yang disebut
pembuahan Mochtar, (1998) dalam Barliatin, (2019).
Pembuahan adalah proses penyatuan gamet pria dan wanita., terjadi di
ampulla tuba falopi. Spermatozoa bergerak dengan cepat kedalam saluran telur.
Pergerakan naik ini disebabkan oleh kontraksi otot – otot uterus didalam tuba.
Spermatozoa dapat bertahan hidup didalam saluaran reproduksi wanita selam kira
– kira 24 jam Sadler, (1997) dalam Barliatin, (2019).
Ovum yang telah dibuahi ini segera membelah diri sambil bergerak oleh
rambut getar tuba menuju ruang rahim, kemudian melekat pada mukosa rahim
untuk selanjutnya bersarang diruang rahim, peristwa ini disebut nidasi
(implantasi). Dari pembuahan sampai nidasi diperlukan waktu kira – kira 6 – 7
hari. Untuk menyuplai darah dan zat – zat makanan bagi mudigah dan janin,
dipersiapkan uri atau plasenta hasil dari nidasi ini adalah blastula. Jaringan
endometrium ini banyak mengandung sel – sel desidua. Blastula ini akan masuk
kedalam desidua. Bila nidasi telah terjadi dimulailah diferensiasi sel – s el blastula
Mochtar,(1998) dalam Barliatin, (2019).
Wanita memiliki sifat kewanitaannya, karena setiap sel dalam tubuhnya
memiliki 44 otosom dan dua kromosom X, kecuali sel telurnya. Sifat kewanitaan
itu di perkuat oleh tidak adanya kromosom Y dalam sel – sel tubuh. Karena tidak
memiliki kromosom Y, maka alat kelamin akan berkembang sebagaimana
mestinya. Juga didapat bukti – bukti, dengan tidak adanya kromosom Y membuat
seorang wanita memiliki jiwa yang feminine Jones, (2005) dalam (Barliatin,
2019).
Dibawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari korpus luteum
graviditatis dan trofoblas, uterus menjadai besar dan lembek ; endometrium dapat
berubah pula menjadi desidua. Dapat ditemukan pula perubahan – perubahan pada
endometrium yang disebut fenomena Arias – Stella. Sel epitel membesar dengan
intinya hipertrofik, hiperkromatik, lobuler, dan berbentuk tak teratur. Sitoplasma
sel dapat berlubang – lubang atau berbusa, dan kadang – kadang ditemukan
mitosis. Perubahan tersebut hanya ditemukan pada sebagian kehamilan etopik.
Setelah janin mati, desidua dalam uterus mengalami degenerasi dan kemudian
dikeluarkan berkeping – keping, tetapi kadang – kadang dilepaskan secara utuh.
Perdarahan yang dijumpai pada kehamilan ektopik terganggu berasal dari uterus
dan disebabkan oleh pelepasan desidua yang degrenatif Wiknjosastro, (2007)
dalam Barliatin, (2019).
C. Etiologi
Etiologi kehamilan ektopik terganggu telah banyak diselidiki, tetapi
sebagian besar penyebabnya tidak diketahui. Trijatmo Rachimhadhi dalam
Barliatin, (2019) menjelaskan beberapa faktor yang berhubungan dengan
penyebab kehamilan ektopik terganggu, yaitu :
1. Faktor Mekanis
Hal – hal yang mengakibatkan terhambatnya perjalanan ovum yang dibuahi
kedalam kavum uteri, antara lain :
a. Salpingitis, terutama endosalpingitis yang menyebabkan aglutinasi silia
mukosa tuba dengan penyempitan saluran atau pembentuk kantong –
kantong buntu. Berkurangnya silia mukosa tuba sebagai akibat infeksi juga
menyebabkan implantasi hasil zigot tuba falopi.
b. Adhesi Pertubal setelah infeksi paska aborsi/infeksi paska nifas, apenditis,
atau endometriasis, yang mengakibatkan tertekuknya tuba atau penyempitan
lumen.
c. Kelainan pertumbuhan tuba, terutama divertikulum, ostium asoserium dan
hipoplasi.
d. Bekas operasi tuba, memperbaiki fungsi tuba atau terkadang kegagalan
usaha untuk memperbaiki potensi tuba pada sterilisasi.
e. Tumor yang merubah bentuk tuba seperti mioma uteri dan adanya benjolan
adneksia.
f. Penggunaan IUD
2. Faktor Fungsional
a. Migrasi eksternal ovum terutama pada kasus perkembangan duktus mulleri
yang abnormal.
b. Refluk menstruasi.
c. Berubahnya motilitas tuba karena perubahan kadar hormone estrogen dan
progesteron.
3. Peningkatan daya penerimaan mukosa tuba terhadap ovum yang dibuahi.
4. Hal lain seperti : Riwayat KET dan abortus induksi sebelumnya.
D. Manifestasi Klinik
Gambaran klinik dari kehamilan ektopik terganggu tergantung pada
lokasinya. Tanda dan gejalanya sangat bervariasi tergantung pada ruptur atau
tidaknya kehamilan tersebut. Adapun gejala dan hasil pemeriksaan laboratorium
antara lain :
1. Amenorhea
Hampir sebagian besar wanita dengan kehamilan ektopik yang memiliki berkas
perdarahan pada saat mereka mendapatkan menstruasi, dan mereka tidak
menyadari bahwa mereka hamil.
2. Gejala kehamilan muda.
3. Nyeri perut bagian bawah pada ruptur tuba nyeri terjadi tiba – tiba dan hebat,
menyebabkan penderita pingsan sampai shock. Pada abortus tuba nyeri mula –
mula pada satu sisi, menjalar ke tempat lain. Bila darah sampai diafragma bisa
menyebabkan nyeri bahu dan bila terjadi hematokel retrouterina terdapat nyeri
defekasi.
4. Perdarahan pervagina bewarna coklat.
5. Pada pemeriksaan vagina terdapat nyeri goyang bila serviks digerakkan, nyeri
pada perabaan dan kavum douglasi menonjol karena ada bekuan darah
Mansjoer A, (2000 ; 267) dalam Barliatin, (2019).
Gejala lain antara lain :
1. Syock Hipovolemia.
2. Nyeri bahu dan leher.
3. Nyeri pada palpasi : Perut penderita biasanya tegang dan agak kembung.
4. Nyeri pada toucher.
5. Pembesaran Uterus.
6. Tumor dalam rongga panggul.
7. Gangguan berkemih.
8. Perubahan darah.
E. Patofisiologi
Salah satu fungsi saluran telur yaitu untuk membesarkan hasil konsepsi
(zigot) sebelum turun dalam rahim, tetapi oleh beberapa sebab terjadi gangguan
dari perjalanan hasil konsepsi dan tersangkut serta tumbuh dalam tuba. Saluran
telur bukan tempat ideal untuk tumbuh kembang hasil konsepsi. Disamping itu
penghancuran pembuluh darah oleh proses proteolitik jonjot koreon menyebabkan
pecahnya pembuluh darah. Gangguan perjalanan hasil konsepsi sebagian besar
karena infeksi yang menyebabkan perlekatan saluran telur. Pembuluh darah pecah
karena tidak mempunyai kemampuan berkontraksi maka perdarahan tidak dapat
dihentikan dan tertimbun dalam ruang abdomen. Perdarahan tersebut
menyebabkan perdarahan tuba yang dapat mengalir terus ke rongga peritoneum
dan akhirnya terjadi ruptur, nyeri pelvis yang hebat dan akan menjalar ke bahu.
Ruptur bisa terjadi pada dinding tuba yaitu darah mengalir antara 2 lapisan
dari mesosalping dan kemudian ke ligamentum latum. Perubahan uterus dapat
ditemukan juga pada endometrium. Pada suatu tempat tertentu pada endometrium
terlihat bahwa sel – sel kelenjar membesar dan hiperskromatik, sitoplasma
menunjukkan vaskularisasi dan batas antara sel – sel kurang jelas. Perubahan ini
disebabkan oleh stimulasi dengan hormon yang berlebihan yang ditemukan dalam
endometrium yang berubah menjadi desidua. Setelah janin mati desidua
mengalami degenerasi dan dikeluarkan sepotong demi sepotong. Pelepasan
desidua ini disertai dengan perdarahan dan kejadian ini menerangkan gejala
perdarahan pervaginam pada kehamilan ektopik terganggu Dewi, (2016: 47 – 48)
dalam Dr. Vladimir, (2019).
F. Pathway

Berduka

Risiko
Infeksi

Nyeri
Akut

Risiko
Konstipasi

Risiko Defisit Gangguan


Nutrisi Mobilitas
Fisik
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan air seni dapat dilakukan untuk mengetahui kehamilan
seseorang, sedangkan untuk mengetahui kehamilan ektopik seorang dokter dapat
melakukan :
1. Laboratorium
a. Hematokrit
Tergantung pada populasi dan derajat perdarahan abdominal yang terjadi.
b. Sel darah putih
Sangat bervariasi dan tak jarang terlihat adanya leukositosis. Leoukosite
15.000/mm3. Laju endap darah meningkat.
c. Tes kehamilan
Pada kehamilan ektopik hampir 100% menunjukkan pemeriksaan β-hCG
positif. Pada kehamilan intrauterin, peningkatan kadar β-hCG meningkat 2
kali lipat setiap dua hari, 2/3 kasus kehamilan ektopik menunjukkan adanya
peningkatan titer serial hCG yang abnormal, dan 1/3 sisanya menunjukkan
adanya peningkatan titer hCG yang normal. Kadar hormon yang rendah
menunjukkan adanya suatu masalah seperti kehamilan ektopik.
2. Pemeriksaan Penunjang/Khusus
Setelah 24 jam dan jumlah sel darah merah dapat meningkat :
a. Pemeriksaan ultrosonografi (USG)
Pemeriksaan ini dapat menggambarkan isi dari rahim seorang wanita.
Pemeriksaan USG dapat melihat dimana lokasi kehamilan seseorang, baik
di rahim, saluran tuba, indung telur, maupun di tempat lain. USG :
1) Tidak ada kantung kehamilan dalam kavum uteri.
2) Adanya kantung kehamilan di luar kavum uteri.
3) Adanya massa komplek di rongga panggul.
b. Laparoskopi
Peranan untuk menegakkan diagnosa kehamilan ektopik sudah diganti oleh
USG.
c. Laparotomi
Harus dilakukan pada kasus kehamilan ektopik terganggu dengan gangguan
hemostasis (tindakan diagnostik dan definitif).
d. Kuldosintesis
Memasukkan jarum kedalam cavum Douglassi transvaginal untuk
menentukan ada atau tidak adanya darah dalam cavum Douclassi. Tindakan
ini tak perlu dikerjakan bila diagnosa adanya perdarahan intraabdominal
sudah dapat ditegakkan dengan cara pemeriksaan lain.
H. Penatalaksanaan
Penanganan kehamilan ektropik pada umumnya adalalah laparotomi. Dalam
tindakan demikian, beberapa hal harus diperhatikan dan dipertimbangkan, yaitu
sebagai berikut :
1. Kondisi ibu pada saat itu.
2. Keinginan ibu untuk mempertahankan fungsi reproduksinya.
3. Lokasi kehamilan ektropik.
4. Kondisi anatomis organ pelvis.
5. Kemampuan teknik bedah mikro dokter.
6. Kemampuan teknologi fertilasi in vitro setempat.
Hasil pertimbangan ini menentukan apakah perlu di lakukan salpingektomi
pada kehamilan tuba atau dapat dilakukan pembedahan konservatif. Apakah
kondisi ibu buruk, misalnya dalam keadaan syok, lebih baik di lakukan
salpingektomi. Pada kasus kehamilan ektropik di pars ampularis tuba yang belum
pecah biasanya di tangani dengan menggunakan kemoterapi untung menghindari
tindakan pembedahan.
Karena kehamilan ektopik dapat mengancam nyawa, maka deteksi dini dan
pengakhiran kehamilan adalah tatalaksana yang disarankan. Pengakhiran
kehamilan dapat dilakukan melalui:
1. Obat – obatan
Dapat diberikan apabila kehamilan ektopik diketahui sejak dini. Obat yang
digunakan adalah methotrexate (obat anti kanker).
2. Operasi
Untuk kehamilan yang sudah berusia lebih dari beberapa minggu, operasi
adalah tindakan yang lebih aman dan memiliki angka keberhasilan lebih besar
daripada obat-obatan. Apabila memungkinkan, akan dilakukan operasi
laparaskopi.
Bila diagnosa kehamilan ektopik sudah ditegakkan, terapi definitif adalah
pembedahan :
1. Laparotomi : Eksisi tuba yang berisi kantung kehamilan (salfingo-ovarektomi)
atau insisi longitudinal pada tuba dan dilanjutkan dengan pemencetan agar
kantung kehamilan keluar dari luka insisi dan kemudian luka insisi dijahit
kembali.
2. Laparoskop : Untuk mengamati tuba falopi dan bila mungkin lakukan insisi
pada tepi superior dan kantung kehamilan dihisap keluar tuba.
3. Operasi Laparoskopik : Salfingostomi
Bila tuba tidak pecah dengan ukuran kantung kehamilan kecil serta kadar
β-hCG rendah maka dapat diberikan injeksi methrotexate kedalam kantung gestasi
dengan harapan bahwa trofoblas dan janin dapat diabsorbsi atau diberikan injeksi
methrotexate 50 mg/m3 intramuskuler.
Syarat pemberian methrotexate pada kehamilan ektopik :
1. Ukuran kantung kehamilan
2. Keadaan umum baik (“hemodynamically stabil”)
3. Tindak lanjut (evaluasi) dapat dilaksanakan dengan baik
Keberhasilan pemberian methrotexate yang cukup baik bila :
1. Masa tuba
2. Usia kehamilan
3. Janin mati
4. Kadar β-hCG
Kontraindikasi pemberian Methrotexate :
1. Laktasi
2. Status Imunodefisiensi
3. Alkoholisme
4. Penyakit ginjal dan hepar
5. Diskrasia darah
6. Penyakit paru aktif
7. Ulkus peptikum
Pasca terapi konservatif atau dengan methrotexate, lakukan pengukuran serum
hCG setiap minggu sampai negatif. Bila perlu lakukan “second look operation”.
I. Klasifikasi
Klasifikasi kehamilan ektopik berdasarkan tempat terjadinya implantasi dari
kehamilan ektopik Tarigan, (2016) dalam Dr. Vladimir, (2019), dapat dibedakan
menurut :
1. Kehamilan tuba merupakan kehamilan ektopik pada setiap bagian tuba fallopi
Merupakan bagian jenis terbanyak gestasi ekstra uterin yang paling sering
terjadi sekitar 95% dari kehamilan ektopik. Kehamilan tuba akan menghasilkan
salah satu dari ketiga hal ini :
a. Kematian hasil konsepsi dalam stadium dini : Hasil konsepsi ini kemudian
bisa di absorpsi seluruhnya atau tetap tinggal sebagai mola tuba.
b. Abortus tuba, yaitu hasil akhir yang paling sering ditemukan, bersama –
sama hasil konsepsi (dan kemungkinan pula darah) akan dikeluarkan dari
tuba untuk masuk ke dalam uterus atau keluar ke dalam kavum peritoneum.
c. Ruptura tuba : Erosi dan akhirnya rupture tuba terjadi kalau hasil konsepsi
terus tumbuh hingga melampaui kemampuan peregangan otot tuba.
2. Kehamilan ovarial
Merupakan kehamilan pada ovarium, perdarahan terjadi bukan saja disebabkan
oleh pecahnya kehamilan ovarium tetapi juga rupture tuba korpus luteum, torsi
dan endometriosis. Meskipun daya akomodasi ovarium terhadap kehamilan
lebih besar daripada daya akomodasi tuba, kehamilan ovarium umumnya
mengalami ruptur pada trimester awal.
3. Kehamilan uterus
Merupakan kehamilan pada uterus tidak pada tempat yang tepat, pada
endometrium kavum uteri sebab implantasi terjadi pada kanalis servikalis
(gestasi pada servikal uteri), diverticulum (gestasi pada invertikulum uteri),
kurnua (gestasi pada kornu uteri), tanduk rudimenter (gestasi pada tanduk
rudimenter).
4. Kehamilan servikal adalah jenis dari kehamilan ektopik yang jarang terjadi.
Nidasi terjadi dalam selaput lendir serviks. Dengan tumbuhnya hasil konsepsi,
serviks mengembang. Kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi 20
minggu sehingga umumnya hasil konsepsi masih kecil.
5. Kehamilan Abdominal terbagi menjadi dua yaitu :
a. Primer, dimana impantasi sesudah dibuahi langsung di peritoneum atau
cavum abdominal.
b. Sekunder, yaitu pembentukan zigot terjadi ditempat yang lain misalnya
didalam saluran telur atau ovarium yang selanjutnya berpindah ke dalam
rongga abdomen oleh karena terlepas dari tempat asalnya. Hampir semua
kasus kehamilan abdominal merupakan kehamilan ektopik sekunder akibat
rupture atau aborsi kehamilan tuba atau ovarium ke dalam rongga abdomen.
Walaupun ada kalanya kehamilan abdominal mencapai umur cukup bulan,
hal ini jarang terjadi, yang lazim ialah bahwa janin mati sebelum tercapai
maturitas (bulan ke 5 atau ke 6) karena pengambilan makanan kurang
sempurna.
6. Kehamilan Heterotopik adalah kehamilan intrauterin yang dapat terjadi dalam
waktu berdekatan dengan kehamilan ektopik. Kehamilan heterotopik dapat di
bedakan atas :
a. Kehamilan kombinasi (Combined Ectopik Pregnancy) yaitu kehamilan yang
dapat berlangsung dalam waktu yang sama dengan kehamilan intrauterin
normal.
b. Kehamilan ektopik rangkap (Compound Ectopic Pregnancy) yaitu
terjadinya kehamilan intrauterin setelah lebih dahulu terjadi kehamilan
ektopik yang telah mati atau pun ruptur dan kehamilan intrauterin yang
terjadi kemudian berkembang seperti biasa.
7. Kehamilan interstisial yaitu implantasi hasil konsepsi terjadi dalam pars
interstitialis tuba. Kehamilan ini juga disebut sebagai kehamilan kornual
(kehamilan intrauterin, tetapi implantasi plasentanya di daerah kornu, yang
kaya akan pembuluh darah. Karena lapisan miometrium di sini lebih tebal
maka ruptur terjadi lebih lambat kira – kira pada bulan ke 3 atau ke 4.
8. Kehamilan intraligamenter berasal dari kehamilan ektopik dalam tuba yang
pecah (bagian yang berada di antara kedua lapisan peritoneum visceral yang
membentuk ligamentum latum).
9. Kehamilan tubouterina merupakan kehamilan yang semula mengadakan
implantasi pada tuba pars interstitialis, kemudian mengadakan ekstensi secara
perlahan – lahan ke dalam kavum uteri.
10. Kehamilan tuboabdominal berasal dari tuba, dimana zigot yang semula
mengadakan implantasi di sekitar bagian fimbriae tuba, secara berangsur
mengadakan ekstensi ke kavum peritoneal.
11. Kehamilan tuboovarial digunakan bila kantung janin sebagian melekat pada
tuba dan sebagian pada jaringan ovarium.
J. Komplikasi
Komplikasi kehamilan ektopik dapat terjadi sekunder akibat kesalahan
diagnosis, diagnosis yang terlambat, atau pendekatan tatalaksana. Kegagalan
penegakan diagnosis secara cepat dan tepat dapat mengakibatkan terjadinya ruptur
tuba atau uterus, tergantung lokasi kehamilan, dan hal ini dapat menyebabkan
perdarahan masif, syok, DIC, dan kematian.
Komplikasi yang timbul akibat pembedahan antara lain adalah perdarahan,
infeksi, kerusakan organ sekitar (usus, kandung kemih, ureter, dan pembuluh
darah besar). Selain itu ada juga komplikasi terkait tindakan anestesi.
K. Pencegahan
Berhenti merokok akan menurunkan risiko kehamilan ektopik. Wanita yang
merokok memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami kehamilan
ektopik. Berhubungan seksual secara aman seperti menggunakan kondom akan
mengurangi risiko kehamilan ektopik dalam arti berhubungan seks secara aman
akan melindungi seseorang dari penyakit menular seksual yang pada akhirnya
dapat menjadi penyakit radang panggul. Penyakit radang panggul dapat
menyebabkan jaringan parut pada saluran tuba yang akan meningkatkan risiko
terjadinya kehamilan ektopik.
L. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Data Subjektif
a. Biodata : Nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, penghasilan,
alamat istri dan suami.
b. Keluhan utama : Amenorhea dapat disertai dengan tanda – tanda hamil
muda (morning sickness, mual muntah, dan ngidam), adanya nyeri
abdomen (nyeri dapat menjalar ke seluruh abdomen, diafragma, dan
nyeri pada saat buang air besar), dan perdarahan pervagina khas
berwana kecoklatan.
c. Riwayat haid : Umur menarche, frekuensi atau siklus menstruasi,
lamanya menstruasi, dismenorrhea atau keluhan saat menstruasi, dan
Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) untuk menghitung usia kehamilan
d. Riwayat pernikahan : Ibu menikah berapa kali, lamanya, umur pertama
kali menikah.
e. Riwayat kehamilan dan persalinan sebelumnya : Sering ditemukan
riwayat operasi caesar, riwayat operasi tuba oleh karena riwayat
kehamilan ektopik sebelumnya, riwayat abortus.
f. Riwayat kehamilan sekarang : Berapa kali periksa dan dimana, keluhan
– keluhan dan tanda – tanda bahaya yang dirasakan.
g. Riwayat penyakit : Sering ditemukan riwayat keputihan lama, infeksi
menular seksual seperti clamidya, gonorhoe, dan bakteri atau virus
lainnya, riwayat penyakit radang panggul.
h. Riwayat kontrasepsi : Jenis kontrasepsi yang dipakai oleh ibu sebelum
hamil, sudah berapa lama ibu menggunakan alat kontrasepsi tersebut,
apa yang ibu keluhkan selama menggunakan alat kontrasepsi tersebut.
Hal tersebut untuk menilai risiko alat kontrasepsi yang dipakai.
i. Kebiasaan berbahaya bagi kehamilan seperti merokok baik perokok
aktif maupun pasif, minum jamu dan obat-obatan terlarang.
2. Pengkajian Data Objektif
a. Pemeriksaan umum : Keadaan umum, kesadaran, tanda-tanda vital
bervariasi tergantung tingkatan syok, lama dan jumlah perdarahan.
b. Pemeriksaan fisik :
1) Pada konjungtiva ditemukan pucat tergantung lama dan jumlah
perdarahan.
2) Pada abdomen :
a) Inspeksi : Apakah ada luka bekas operasi, apakah abdomen
tampak distensi atau perut tegang.
b) Palpasi : Nyeri tekan pada abdomen, posisi nyeri tekan bisa lebih
keras disatu sisi tergantung lokasi kehamilan ektopik terganggu.
c. Pemeriksaan kebidanan :
1) Pemeriksaan inspekulo : Tampak perdarahan sedikit sampai sedang
berwarna kecoklatan.
2) Pemeriksaan dalam : Tidak ada pembukaan portio, adanya nyeri
goyang portio, dan kavum douglas menonjol.
d. Pemeriksaan penunjang
1) Laboratorium : Hemoglobin, hematokrit, sel darah putih, dan tes
kehamilan.
2) Pemeriksaan ultrasonografi (USG) : Tidak adanya kantong
kehamilan dalam kavum uteri, adanya kantung kehamilan diluar
kavum uteri, adanya massa komplek di rongga panggul.
3) Laparoskopi.
4) Laparotomi : harus dilakukan pada kasus kehamilan ektopik
terganggu dengan gangguan hemostasis ( tindakan diagnosis dan
definitif), diagnosa pasti hanya ditegakkan dengan laparotomi.
e) Kuldosintesis.
3. Diagnosa Keperawatan
Menurut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017) :
a. Nyeri Akut b.d. Agen pencedera fisik (prosedur operasi) d.d. Tampak
meringis, mengeluh nyeri, bersikap protektif (posisi menghindari nyeri)
b. Risiko Infeksi d.d. Prosedur invasif
c. Gangguan Mobilitas Fisik b.d. Nyeri d.d. Kekuatan otot menurun,
Nyeri saat bergerak, Merasa cemas saat bergerak, Fisik lemah
d. Risiko Defisit Nutrisi d.d. Ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien
e. Risiko Konstipasi d.d. Kelemahan otot abdomen
f. Defisit Pengetahuan b.d. Kurang terpapar informasi d.d. Menanyakan
masalah yang dihadapi
4. Luaran dan Intervensi Keperawatan
Menurut (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2019) dan (Tim Pokja SIKI DPP
PPNI, 2018).
No. Luaran Intervensi
1. Setelah dilakukan intervensi Manajemen Nyeri
keperawatan selama 2 x 24 Observasi
jam maka Tingkat Nyeri - Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
Menurun dengan kriteria frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
hasil : - Identifikasi skala nyeri
- Keluhan nyeri menurun - Identifikasi respons nyeri non verbal
- Meringis menurun - Identifikasi faktor yang memperberat dan
- Sikap protektif menurun memperingan nyeri
Terapeutik
- Fasilitasi istirahat dan tidur
- Berikan tehnik nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri
Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan analgesik secara
tepat
- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik

2. Setelah dilakukan intervensi Manajemen Infeksi


keperawatan selama 1 x 24 Observasi
jam maka Tingkat Infeksi - Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan
Menurun dengan kriteria sistemik
hasil : Terapeutik
- Kemerahan menurun - Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
- Nyeri menurun dengan pasien dan lingkungan pasien
Edukasi
- Jelaskan tanda dan gejala infeksi
- Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
- Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau
luka operasi
- Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
- Anjurkan meningkatkan asupan cairan

3. Setelah dilakukan intervensi Dukungan Mobilisasi


keperawatan selama 1 x 24 Observasi
jam maka Mobilitas Fisik - Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
Meningkat dengan kriteria lainnya
hasil : - Identifikasi toleransi fisik melakukan
- Kekuatan otot meningkat pergerakan
- Nyeri menurun - Monitor kondisi umum selama melakukan
- Kecemasan menurun mobilisasi
- Kelemahan fisik Terapeutik
- Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat
bantu (mis. Pagar tempat tidur)
- Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
- Libatkan keluarga untuk membantu pasien
dalam meningkatkan pergerakan
Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
- Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus
dilakukan (mis. Duduk ditempat tidur, duduk
di sisi tempat tidur, pindah dari tempat tidur
ke kursi)
4. Setelah dilakukan intervensi Manajemen Nutrisi
keperawatan selama 1 x 24 Observasi
jam maka Status Nutrisi - Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis
Membaik dengan kriteria nutrien
hasil : - Monitor asupan makanan
- Nyeri abdomen menurun - Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
- Frekuensi makan Terapeutik
membaik - Berikan makanan tinggi serat untuk
- Nafsu makan membaik mencegah konstipasi
- Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi
protein
Edukasi
- Anjurkan posisi duduk
- Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian medikasi sebelum
makan (pereda nyeri, antiemetik)
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien
yang dibutuhkan

5. Setelah dilakukan intervensi Manajemen Nyeri


keperawatan selama 2 x 24 Observasi
jam maka Eliminasi Fekal - Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
Membaik dengan kriteria frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
hasil : - Identifikasi skala nyeri
- Kontrol pengeluaran feses - Identifikasi respons nyeri non verbal
meningkat - Identifikasi faktor yang memperberat dan
- Nyeri abdomen menurun memperingan nyeri
- Frekuensi defekasi Terapeutik
membaik - Fasilitasi istirahat dan tidur
- Berikan tehnik nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri
Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan analgesik secara
tepat
- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik

6. Setelah dilakukan intervensi Edukasi Manajemen Nyeri


keperawatan selama 1 x 24 Observasi
jam maka Tingkat - Identifikasi kesiapan dan kemampuan
Pengetahuan Meningkat menerima informasi
dengan kriteria hasil : Terapeutik
- Pertanyaan tentang - Berikan kesempatan untuk bertanya
masalah yang dihadapi Edukasi
menurun - Jelaskan penyebab, periode, dan strategi
- Perilaku membaik meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat
- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri

5. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan tindakan yang sesuai dengan yang telah
direncanakan, mencangkup tindakan mandiri dan kolaborasi. Tindakan
mandiri adalah tindakan keperawatan berdasarkan analisis dan kesimpulan
perawat, dan bukan atas petunjuk data petugas kesehatan lain. Tindakan
kolaborasi adalah tindakan keperawatan yang didasarkan oleh hasil
keputusan bersama seperti dokter atau petugas kesehatan lain.

6. Evaluasi Keperawatan
Merupakan hasil perkembangan ibu dengan berpedoman kepada hasil
dan tujuan yang hendak dicapai.
LAPORAN PENDAHULUAN

LAPARATOMI

A. Definisi
Laparatomi adalah pembedahan perut, membuka selaput perut dengan
operasi Lakaman, (2011) dalam Valenthino Tefna, (2019).
Laparatomi merupakan operasi yang dilakukan untuk membuka bagian
abdomen. Laparatomi merupakan suatu bentuk pembedahan mayor dengan,
dengan melakukan pengayatan pada lapisan – lapisan dinding abdomen untuk
mendapatkan bagian organ yang mengalami masalah (hemoragi, perforasi, kanker
dan obstruksi).

B. Klasifikasi
1. Mid-line incision
Metode insisi yang paling sering digunakan, karena sedikit perdarahan,
eksplorasi dapat sedikit lebih luas, cepat dibuka dan ditutup, serta tidak
memotong ligamen dan saraf. Namun demikian, kerugian jenis insisi ini adalah
terjadi hernia cikatrialis, indikasinya pada eksplorasi gaster, pankreas, hepar,
dan klien serta di bawah umbilikus untuk eksplorasi ginekologis, restosigmoid
dan organ dalam pelvis.
2. Paramedian
Sedikit ke tepi dari garis tengah (2,5cm), panjang (12,5cm), terbagi menjadi
dua yaitu paramedian kanan dan kiri, dengan indikasi jenis operasi lambung,
eksplorasi pankreas, organ pelvis, usus bagian bawah serta plenoktomi.
3. Transverse upper abdomen incision
Insisi bagian atas misalnya pembedahan colesistotomy dam splenektomy.
4. Transverse lower abdomen incision
Insisi melintang dibagian bawah 4 cm diatas anterior spinailiaka, misalnya
pada operasi apendictomy. Latihan – latihan fisik seperti latihan napas dalam,
batuk efektif, menggerakan otot kaki, menggerakan otot bokong, latihan alih
baring dan turun dari tempat tidur. semuanya dilakukan hari ke – 2 post
operasi.
C. Etiologi
Etiologi menurut Smeltzer, (2012) dalam Valenthino Tefna, (2019)
sehingga dilakukan laparatomi adalah karena disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1. Trauma abdomen (tumpul atau tajam).
2. Peritonitis.
3. Perdarahan saluran cerna.
4. Sumbatan pada usus halus dan usus besar.
5. Massa pada abdomen.

D. Patofisiologi
Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosiaonal
Dorland, (2011) dalam Valenthino Tefna, (2019). Trauma adalah luka atau cedera
fisik lainya atau cedera fisiologis akibat gangguan emosional yang hebat. Trauma
adalaha penyebab kematian paling utama pada anak dan orang dewasa kurang dari
44 tahun. Penyalahgunaan alkohol adalah obat yang telah menjadi faktor
komplikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak
disengaja. trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma
tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja.
Trauma abdomen merupakan luka pada isi rongga perut bisa terjadi dengan
atau tanpa tembusnya dinding perut dimana pada penanganan/penatalaksanaan
dapat bersifat kedaruratan dapat pula dilakukan tindakan laparatomi.
Tusukan/tembakan, pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk
pengaman dapat mengakibatkan terjadinya trauma abdomen sehingga harus
dilakukan laparatomi. Trauma tumpul abdomen dapat mengakibatkan individu
kehilangan darah, memar/jejas pada dinding perut, kerusakan organ – organ,
nyeri, iritasi cairan usus. Sedangkan trauma tembus abdomen dapat
mengakibatkan hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres
simpatis, perdarahan atau pembekuan darah, kontaminasi bakteri, kematian sel.
Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ dan respon stres dari saraf simpatis
akan menyebabkan terjadinya kerusakan integritas kulit, syok dan perdarahan,
kerusakan pertukaran gas, resiko tinggi terhadap infeksi, nyeri akut.
E. Manifestasi Klinik
1. Nyeri tekan pada area insisi pembedahan.
2. Perubahan tekanan darah, nadi dan pernafasan.
3. Kelemahan.
4. Gangguan integumen dan jaringan subkutan.
5. Konstipasi.
6. Mual dan muntah, anoreksia.

F. Pathway

Etiologi
(Trauma abdomen, peritonitis, perdarahan saluran cerna,
sumbatan pada usus halus dan usus besar, massa pada abdomen)

Mual, muntah anoreksia Laparatomi

Nausea Insisi jaringan

Terputusnya inkontinuitas jaringan

Peradangan Nyeri Akut

Luka infasif post pembedahan

Pembatasan aktivitas
Risiko Infeksi

Kelemahan

Gangguan Mobilitas Fisik


G. Komplikasi
1. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis
Tromboplebitis post operasi biasanya timbul 7 – 14 hari setelah operasi.
Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding
pembuluh darah sebagai emboli ke paru – paru, hati, dan otak. Pencegahan
tromboplebitis yaitu latihan kaki, ambulasi dini post operasi.
2. Infeksi
Infeksi luka sering muncul pada 36 – 46 jam pasca operasi, organisme yang
paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilococus aurens, organisme gram
positif. Stapilococus mengakibatkan pernanahan untuk menghindari infeksi
luka yang paling penting adalah perawatan luka dengan memperhatikan aseptik
dan antiseptik.
3. Kerusakan integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau epiverasi.
4. Ventilasi paru tidak adekuat.
5. Gangguan kardiovaskuler, hipertensi, aritmia jantung.
6. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
7. Gangguan rasa nyaman dan kecelakaan.

H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemerikasaan rektum : Adanya darah menunjukan kelaina pada usus besar;
kuldosentesi, kemungkinan adanya darah dalam lambung; dan katerisasi,
adanya darah menunjukan adanya lesi pada saluran kencing.
a. Laboratorium : Hemoglobin, hematokrit, leukosit, analisis urine.
b. Radiologik : Bila diindikasikan untuk dilakukan laparatomi
c. IVP/sistogram : Hanya dilakukan bila ada kecurigaan pada trauma saluran
kencing.
2. Parasentesis perut : Tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul perut yang
diragukan adanya kelainan pada rongga perut yang disertai denga trauma
kepala yang berat, dilakukan dengan menggunakan jarum pungsi no 18 atau 20
yang ditusukan melalui dinding perut di daerah kuadran bawah atau digaris
tengah dibawah pusat dengan menggosokan buli – buli terlebih dahulu.
3. Lavase peritoneal : Fungsi dan aspirasi atau bilasan rongga perut dengan
memasukan cairan garam fisiologis melului kanula yang dimasukan kedalam
rongga peritoneum.
Perlengkapan yang dilakukan pada pasien post laparatomi adalah :
1. Respiratory : Bagaimana saluran pernapasan, jenis pernapasan, bunyi
pernapasan.
2. Sirkulasi : Tensi, nadi, respirasi, dan suhu waran kulit, refil kapiler.
3. Persyarafan : Tingkat kesadaran.
4. Balutan : Apakan ada drainase? apakah ada tanda – tanda infeksi, bagaimana
proses penyembuhanya?
5. Peralatan : Monitor yang terpasang, cairan infus dan transfusi.
6. Rasa nyaman : Rasa sakit, mual, muntah, posisi pasien dan status ventilasi.
7. Psikologis : Kecemasan, suasana hati setelah operasi

I. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal masuk rumah
sakit, nomor register dan diagnosa medis.
b. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah
nyeri abdomen.
c. Riwayat kesehatan
1) Riwayat penyakit sekarang
Kapan nyeri pertama kali dirasakan dan apa tindakan yang telah diambil
sebelum akhirnya klien dibawah ke rumah sakit untuk mendapatkan
penanganan secara medis.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Ada riwayat penyakit terdahulu sehingga klien dirawat di rumah sakit.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes
melitus, atau riwayat stroke dari generasi terdahulu.
4) Riwayat psikososial dan spiritual
Peran pasien dalam keluarga, status emosional meningkat, interaksi
sosial terganggu, adanya rasa cemas yang berlebihan, hubungan dengan
tetangga tidak harmonis, status dalam pekerjaan. Dan apakah klien rajin
melakukan ibadah sehari – hari.
d. Aktifitas sehari – hari
1) Pola nutrisi.
2) Pola eliminasi.
3) Pola personal hygiene.
4) Pola istirahat dan tidur.
5) Pola aktivitas dan latihan.
6) Seksualitas/reproduksi.
7) Peran.
8) Persepsi diri/konsep diri.
9) Kognitif diri/konsep diri.
10) Kognitif perseptual.
e. Pemeriksaan fisik
1) Kepala
Pasien pernah mengalami trauma kepala, adanya hemotoma atau riwayat
operasi.
2) Mata
Penglihatan adanya kekaburan, akibat adanya gangguan nervus optikus
(nervus II), gangguan dalam menganggkat bola mata (nervus III),
gangguan dalam memutar bola mata (Nervus IV) dan gangguan dalam
menggerakan bola mata kelateral (nervus VI).
3) Hidung
Adanya gangguan pada penciuman karena terganggu pada nervus
olfactorius (nervus I).
4) Mulut Adanya gangguan pengecapan atau lidah akibat kerusakan nervus
vagus, adanya kesulitan dalam menelan.
5) Dada
- Inspeksi : Kesimetrisan bentuk, kembang dan kempih dada.
- Palpasi : Ada tidaknya nyeri tekan dan masa.
- Perkusi : Mendengar bunyi hasil perkusi, untuk mengetahui suara
napas.
6) Abdomen
- Inspeksi : Bentuk, ada tidaknya pembesaran.
- Auskultasi : Mendengar bising usus.
- Perkusi : Mendengar bunyi hasil perkusi.
- Palpasi : Ada tidanya nyeri tekan pasca operasi.
7) Ekstremitas
Pengukuran kekuatan otot :
- Nilai 0 : Bila tidak terlihat kontraksi sama sekali.
- Nilai 1 : Bila terlihat kontraksi tetapi tidak ada gerakan sendi.
- Nilai 2 : Bila ada gerakan pada sendi tetatpi tidak bias melawan
gravitasi.
- Nilai 3 : Bila dapat melawan gravitasi tetapi tidak dapat melawan
tekenan pemeriksaan.
- Nilai 4 : Bila dapat melawan tahanan pemeriksaan tapi kekuatanya
berkurang.
- Nilai 5 : Bila dapat melawan tahanan pemeriksaan dengan kekuatan
penuh.
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2017) :
a. Nyeri Akut b.d. Agen pencedera fisik (prosedur operasi) d.d. Mengeluh
nyeri, Tampak meringis, Bersikap protektif (waspada, menghindari
nyeri)
b. Risiko Infeksi d.d. Efek prosedur invasif
c. Nausea b.d. Efek agen farmakologis d.d. Mengeluh mual, Merasa ingin
muntah
d. Gangguan Mobilitas Fisik b.d. Efek agen farmakologis, Nyeri d.d.
Kekuatan otot menurun
3. Luaran dan Intervensi Keperawatan
Menurut Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2019) dan Tim Pokja SIKI DPP
PPNI, (2018).
No. Luaran Intervensi
1. Setelah dilakukan intervensi Manajemen Nyeri
keperawatan selama 3 x 24 Observasi
jam, maka Tingkat Nyeri - Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
Menurun dengan kriteria frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
hasil : - Identifikasi skala nyeri
- Keluhan nyeri - Identifikasi respons nyeri non verbal
- Meringis - Identifikasi faktor yang memperberat dan
- Sikap protektif memperingan nyeri
Terapeutik
- Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
- Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan analgesik secara
tepat
- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik
2. Setelah dilakukan intervensi Pencegahan Infeksi
keperawatan selama 3 x 24 Observasi
jam, maka Integritas Kulit - Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan
dan Jaringan Meningkat sistemik
dengan kriteria hasil : Terapeutik
- Kerusakan jaringan - Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
menurun dengan pasien dan lingkungan pasien
- Kerusakan lapisan kulit - Pertahankan teknik aseptik pada pasien
menurun berisiko tinggi
- Nyeri menurun Edukasi
- Jelaskan tanda gejala infeksi
- Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
- Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau
luka operasi
- Anjurkan meningkatkan asupan cairan
3. Setelah dilakukan intervensi Manajemen Mual
keperawatan selama 2 x 24 Observasi
jam, maka Tingkat Nausea - Identifikasi dampak mual terhadap kualitas
Menurun dengan kriteria hidup (nafsu makan, aktivitas, dan tidur)
hasil : - Identifikasi faktor penyebab mual
- Keluhan mual menurun (pengobatan dan prosedur)
- Perasaan ingin muntah - Identifikasi antiemetik untuk mencegah
menurun mual
- Monitor mual (frekuensi, durasi, dan tingkat
keparahan)
- Monitor asupan nutrisi dan kalori
Terapeutik
- Berikan makanan dalam jumlah kecil
Edukasi
- Anjurkan istirahat dan tidur yang cukup
- Anjurkan makanan tinggi karbohidrat dan
rendah lemak
- Anjurkan teknik nonfarmakologis untuk
mengatasi mual
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian antiemetik
4. Setelah dilakukan intervensi Dukungan Mobilisasi
keperawatan selama 2 x 24 Observasi
jam, maka Mobilitas Fisik - Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
Meningkat dengan kriteria lainnya
hasil : - Identifikasi toleransi fisik melakukan
- Pergerakan ekstremitas pergerakan
- Rentang gerak (ROM) - Monitor kondisi umum selama melakukan
- Nyeri menurun mobilisasi
- Kecemasan menurun Terapeutik
- Gerakan terbatas menurun - Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat
- Kelemahan fisik menurun bantu (mis. Pagar tempat tidur)
- Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
- Libatkan keluarga untuk membantu pasien
dalam meningkatkan pergerakan
Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
- Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus
dilakukan (mis. Duduk ditempat tidur,
duduk di sisi tempat tidur, pindah dari
tempat tidur ke kursi)
7. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan tindakan yang sesuai dengan yang telah
direncanakan, mencangkup tindakan mandiri dan kolaborasi. Tindakan
mandiri adalah tindakan keperawatan berdasarkan analisis dan kesimpulan
perawat, dan bukan atas petunjuk data petugas kesehatan lain. Tindakan
kolaborasi adalah tindakan keperawatan yang didasarkan oleh hasil
keputusan bersama seperti dokter atau petugas kesehatan lain.

8. Evaluasi Keperawatan
Menurut Craven & Hirlne, (2011) evaluasi didefinisikan sebagai
keputusan dari efektifitas asuhan keperawatan antara dasar tujuan
keperawatan klien yang telah ditetapkan dengan respon perilaku klien
yang tampil.
Tujuan dari evaluasi antara lain :
a. Untuk menentukan perkembangan kesehatan klien.
b. Untuk menilai efektifitas, efisiensi, dan produktifitas dari tindakan
keperawatan yang telah diberikan.
c. Untuk menilai pelaksanaan asuhan keperawatan.
d. Mendapatkan umpan balik.
e. Sebagai tanggung jawab dan tanggunggugat dalam pelaksanaan
pelayanan keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Barliatin. (2019). Konsep Kehamilan Ektopik Terganggu. Skrip, 9–38.


Dr. Vladimir, V. F. (2019). Kehamilan Ektopik Terganggu. Gastronomía
Ecuatoriana Y Turismo Local., 1(69), 5–24.
Tim Pokja Sdki Dpp Ppni. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Dewan Pengurus Pusat Ppni.
Tim Pokja Siki Dpp Ppni. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Dewan Pengurus Pusat Ppni.
Tim Pokja Slki Dpp Ppni. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Dewan Pengurus Pusat Ppni.
Valenthino Tefna, S. (2019). Asuhan Keperawatan Komprehensif Pada Tn.A.N
Dengan Post Operasi Laparatomi Di Ruang Kelimutu Rsud Prof.Dr.W.Z
Johanes Kupang. 2, 1–13.

Anda mungkin juga menyukai