Anda di halaman 1dari 13

Sistem Perekrutan Pekerja dan Hubungan Kerja Pada Usaha Perikanan Tuna ..........

(Rizki Aprilian Wijaya dan Maulana Firdaus)

SISTEM PEREKRUTAN PEKERJA DAN HUBUNGAN KERJA


PADA USAHA PERIKANAN TUNA
Worker Recruitment System and Working - Relationship on
Tuna Fisheries
*
Rizki Aprilian Wijaya dan Maulana Firdaus
Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Jl. KS. Tubun Petamburan VI Jakarta 10260
Telp. (021) 53650162, Fax. (021)53650159
*
email: rizkiaprilian@yahoo.co.id
Diterima 25 Januari 2014 - Disetujui 3 Juni 2014

ABSTRAK
Ketersediaan tenaga kerja perikanan yang semakin langka, dan timpangnya sistem bagi hasil
merupakan salah satu isu strategis dalam memetakan permasalahan tenaga kerja pada usaha perikanan
tuna. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis sistem perekrutan pekerja dan ketersediaan tenaga kerja
serta menganalisis hubungan kerja antara pemilik kapal dan tenaga kerjanya pada usaha perikanan tuna
di Kota Bitung. Penelitian dilakukan melalui pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui
wawancara mendalam (In-depth Interviews) kepada 30 orang informan dengan status sebagai pemilik
kapal, nahkoda dan anak buah kapal (ABK). Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif. Hasil
kajian menunjukan bahwa sistem perekrutan tenaga kerja terjadi melalui jalur informal. Ketersediaan
tenaga kerja ABK lebih mudah dicari dibandingkan dengan tenaga kerja nahkoda. Hubungan kerja
antara pemilik kapal dan pekerjanya merupakan sebuah hubungan kerjasama dalam mencapai tujuan
keberlanjutan usaha perikanan. Hambatan untuk peningkatan usaha terdapat pada proses penjualan
ikan. Peningkatan posisi tawar pelaku usaha dapat dijadikan sebagai jalan keluar pemecahan masalah.

Kata Kunci: perekrutan pekerja, hubungan kerja, perikanan tuna

ABSTRACT
The more scarce labor availability and disparity of sharing system was one of the strategies issues
problem in tuna fisheries business. This paper aimed to analyzing the system of recruitment and labor
supply, as well as analyzing the working relationship between the owners and workers at the business
of tuna fisheries in Bitung City. The study was conducted using a survey method through a qualitative
approach. Data collected through in-depth interviews to 30 informants with status as ship owners,
captains and crew (ABK). Data analyzed used descriptive qualitative. Result showed that the system of
labor recruitment occurs through informal channels. The crew labor availability relatively easy compared
to the captain labor. The working relationships between ship owners and workers is a relationship of
cooperation in achieving sustainable fisheries.Barriers to business improve are in the process of selling
fish. Increase the bargaining position of fisher could be used as a way out to solving problems.

Keywords: worker recruitment, work - relationship, tuna fisheries

1
J. Kebijakan Sosek KP Vol. 4 No. 1 Tahun 2014

PENDAHULUAN permodalan baik untuk kebutuhan investasi maupun


operasional usaha dan adanya kecenderungan
Pembangunan perikanan Indonesia dengan meningkatnya biaya operasional. Ketiga, pada
potensi sumberdaya yang besar diharapkan dapat kelembagaan pemasaran, kendala terbesar yang
memberikan kontribusi terhadap pembangunan dihadapi adalah harga jual ikan tuna yang fluktuatif
nasional terutama untuk pertumbuhan ekonomi, dan lemahnya posisi tawar (bargaining position)
sumber devisa negara, penyediaan lapangan kerja, nelayan tuna kepada pelaku pemasaran.
dan penurunan tingkat kemiskinan (Setiawan,
2008; Jatmiko et al., 2007). Kontribusi sektor Pada tataran pemangku kebijakan, ketiga
perikanan terhadap ekonomi nasional secara kelembagaan eksternal tersebut seringkali menjadi
keseluruhan semakin meningkat. Meskipun dari tolak ukur untuk memecahkan permasalahan
sisi Gross Domestic Product (GDP) masih relatif yang ada. Namun, pemangku kebijakan seringkali
kecil, sektor ini telah memberikan sumbangan melupakan bahwa pada kelembagaan internal
yang cukup berarti bagi ekonomi Indonesia melalui khususnya ketenagakerjaan juga memiliki
ekspor produk – produk perikanan (Fauzi, 2005). permasalahan yang dapat mempengaruhi
Komoditas tuna merupakan salah satu komoditas keberlanjutan usaha maupun kesejahteraan pelaku
perikanan primadona negara Indonesia dan juga usaha. Isu – isu strategis yang berkaitan dengan
sebagai penyumbang devisa terbesar kedua hal tersebut adalah pertama, semakin langka
setelah udang (Dahuri, 2008). atau sulitnya merekrut tenaga kerja (ketersediaan
pekerja) yang disebabkan pandangan masyarakat
Ikan Tuna yang berasal dari Indonesia terhadap pekerjaan nelayan. Bekerja sebagai
diekspor sebanyak 60% dalam bentuk ikan nelayan dianggap tidak dapat memenuhi
segar dan beku dengan tujuan negara utama kebutuhan hidup yang semakin meningkat. Kondisi
adalah Jepang, Amerika Serikat, Eropa, Australia, ini diperparah dengan generasi muda penerus
Singapura, dan Timur Tengah (Lestari et al., 2013). aktivitas usaha perikanan juga kalah bersaing untuk
Potensi perikanan tuna Indonesia diperkirakan bekerja di wilayah darat (Sugiharto, 2010; Husein,
sebesar 374 ribu ton yang sebagian besar terdapat 2010). Kedua, adanya perubahan orientasi kerja
di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Kota Bitung antara nelayan pemilik/pemodal dengan nelayan
merupakan lokasi penghasil tuna yang dicirikan pekerja yang cenderung merugikan nelayan
dengan skala usaha tradisional dan industri. pekerja, yang dapat terlihat dari timpangnya sistem
Perkembangan volume produksi tangkapan tuna pembagian hasil perikanan (Dwihendrosono dan
dalam lima tahun terakhir menunjukan peningkatan Utama, 2002; Muhartono et al, 2008; Therik, 2008).
sebesar 22% dari 37.500 ton menjadi 48.000 ton Kinseng (2011) menyatakan bahwa sistem bagi
(DKP Kota Bitung, 2012). hasil juga merupakan salah satu persoalan pokok
yang bahkan dapat menjadi salah satu penyebab
Persoalan yang dihadapi dalam
konflik diantara masyarakat nelayan. Ketiga,
pengembangan perikanan tuna skala kecil di Kota
dalam persepsi terhadap hubungan kerja
Bitung, umumnya sama dengan usaha perikanan
antara nelayan dan juragan, lebih dari 50%
lain yaitu jaminan keberlanjutan usaha dan
nelayan pekerja memiliki persepsi dan sikap
kesejahteraan pelaku usaha perikanan. Terjaminnya
negatif terhadap juragan kapal (Hutapea, 2009).
keberlanjutan usaha dan kesejahteraan pelaku
Perbedaan dengan penelitian tersebut, tulisan
usaha merupakan kata kunci pembangunan
makalah ini berupaya untuk memetakan
perikanan. Kedua hal tersebut, hakikatnya tidak
permasalahan kelembagaan tenaga kerja
hanya berkaitan dengan masalah ekologi, sifat
khususnya pada usaha perikanan tuna di Kota
sumberdaya ikan, teknologi, ekonomi dan sosial
Bitung.
tetapi juga terkait dengan masalah kelembagaan
(Pitcher and Preikshot, 2001). Ketiadaan jaminan Penulisan makalah ini penting karena tuna
usaha perikanan dalam konteks kelembagaan merupakan komoditas strategis tidak hanya bagi
diluar pelaku usaha (eksternal), dapat dilihat masyarakat di Kota Bitung tetapi juga bagi negara
pada tiga bentuk permasalahan kelembagaan. Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari kebijakan
Pertama, pada kelembagaan pengelolaan, masih pemerintah melalui peningkatan produksi ikan tuna
terdapat aturan dan kewenangan yang tumpang sejak tahun 2010 oleh Kementerian Kelautan dan
tindih antar satu instansi dengan instansi lain. Perikanan (KKP). Selain itu, aspek tenaga kerja juga
Kedua, pada kelembagaan sarana input produksi, merupakan aspek utama dalam aktivitas produksi
seringkali nelayan dihadapkan pada sulitnya akses ikan dan harus dipahami secara baik dalam rangka

2
Sistem Perekrutan Pekerja dan Hubungan Kerja Pada Usaha Perikanan Tuna .......... (Rizki Aprilian Wijaya dan Maulana Firdaus)

merumuskan kebijakan yang tepat. Dengan kata 9 orang nahkoda dan 10 orang Anak Buah Kapal
lain, kebijakan peningkatan produksi ikan tuna dapat (ABK). Data primer yang dikumpulkan adalah
saja terhambat dan tidak tercapai karena adanya berupa pandangan pemilik kapal terhadap kriteria
permasalahan dari sisi kelembagaan tenaga kerja. tenaga kerja yang dibutuhkan, ketersediaan tenaga
kerja, dan pola hubungan kerja antara pemilik kapal
Berdasarkan pemaparan tersebut maka dengan tenaga kerjanya. Data primer juga berupa
penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sistem catatan lapangan atau tulisan hasil wawancara
perekrutan pekerja dan ketersediaan tenaga kerja kepada nahkoda dan ABK yang bersifat untuk
serta menganalisis hubungan kerja antara pemilik menjelaskan jawaban yang diberikan oleh pemilik
kapal dan pekerjanya pada usaha perikanan tuna kapal. Data sekunder yang dikumpulkan merupakan
di Kota Bitung. laporan hasil penelitian maupun dokumen –
dokumen yang terkait dengan topik penelitian.
METODOLOGI
Khusus untuk pemilihan tenaga kerja yang
Pendekatan Penelitian dilakukan pemilik kapal digunakan beberapa
kriteria terkait dengan perikanan tuna di Kota
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Bitung (Tabel 1). Begitu pula untuk asal tenaga
pendekatan penelitian kualitatif. Pendekatan kerja yang diperoleh pemilik kapal dipandu dengan
kualitatitif berusaha mengungkap berbagai kriteria seperti pada Tabel 2.
keunikan yang terdapat dalam individu, kelompok,
masyarakat atau organisasi dalam kehidupan
sehari – hari secara menyeluruh, rinci, dalam dan Tabel 1. Kriteria Pekerja yang Dibutuhkan pada
dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah (Miles Usaha Perikanan Tuna di Kota Bitung,
and Huberman, 1994). Pendekatan kualitatif lebih 2013.
menekankan analisisnya pada proses penyimpulan Table.1.Worker Criteria at Tuna Fisheries
deduktif dan induktif serta pada analisis terhadap Business in Bitung City, 2013.
dinamika hubungan antar fenomena yang diamati
(Wirartha, 2006). Dalam konteks penelitian ini, Kriteria / Criteria
penggunaan pendekatan ini dimaksudkan untuk Kejujuran / Honestly
memberikan gambaran tentang sistem perekrutan Usia / Age
dan ketersediaan tenaga kerja serta hubungan Jenis Kelamin / Gender
kerja antara pemilik kapal dan pekerjanya secara
Pengalaman Bekerja / Working Experience
terperinci dan menyuluruh pada usaha perikanan
Asal Tenaga Kerja / Origin of Worker
tuna.
Ikatan keluarga / Family Relationship
Lokasi dan Waktu Penelitian Tingkat pendidikan / Education Level
Lokasi penelitian berada di Kelurahan Batu Orang kepercayaan / Confidant
Lubang, Kota Bitung, Propinsi Sulawesi Utara. Menguasai Teknologi / Master of Technology
Penentuan lokasi dilakukan secara sengaja Tingkat Upah / Level of Wage
(purposive) dengan pertimbangan bahwa lokasi
tersebut merupakan salah satu pusat produksi Tabel 2. Asal dan Jenis Pekerja pada Usaha
ikan tuna skala kecil (< 10 GT) di Kota Bitung dan Perikanan Tuna di Kota Bitung, 2013.
karakteristik perumahan nelayan yang cenderung Table 2. Origin and Type of Worker at Tuna
terpusat sehingga memudahkan dalam melakukan Fisheries Business in Bitung City,
penelitian. Penelitian ini dilakukan pada pada Bulan 2013.
Mei dan Bulan Agustus Tahun 2013. Asal & Jenis Pekerja /
Origin & Type of Worker
Metode Pengumpulan Data
A. Dalam Desa / In The Village
Jenis data yang dikumpulkan dalam 1. Nahkoda / Captain
penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. 2. Anak Buah Kapal / Vessel Crew
Data primer dikumpulkan berdasarkan wawancara
B. Luar Desa / Out The Village
mendalam (indepth interview) kepada 30 orang
1. Nahkoda / Captain
informan berdasarkan status pekerjaannya pada
usaha perikanan yaitu 11 orang sebagai pemilik, 2. Anak Buah Kapal / Vessel Crew

3
J. Kebijakan Sosek KP Vol. 4 No. 1 Tahun 2014

Metode Analisis Data Sebagian besar rumpon hanya dapat


dikuasai oleh pemilik kapal yang memiliki
Metode analisis data dalam penelitian ini modal finansial yang cukup besar. Hal tersebut
menggunakan analisis deskriptif. Metode analisis dikarenakan proses perakitan rumpon
deskriptif merupakan suatu prosedur pemecahan membutuhkan biaya berkisar antara Rp. 50 –
masalah yang diteliti dengan menggambarkan 100 juta atau dengan kata lain sama dengan
atau melukiskan keadaan subyek atau obyek biaya membuat satu kapal ikan tuna berukuran
penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta < 5 GT. Di dalam usaha penangkapan tuna,
– fakta yang tampak atau sebagaimana adanya rumpon memegang peranan penting dalam
(Nawawi, 2005). Unit analisis yang diteliti adalah keberlanjutan usaha. Pemilik kapal yang memiliki
pemilik kapal, nahkoda dan ABK pada usaha rumpon, relatif lebih baik usahanya dibandingkan
perikanan tuna. Jenis usaha perikanan yang dengan pemilik kapal yang tidak memiliki
diteliti adalah usaha perikanan skala kecil yaitu rumpon. Hal tersebut berkaitan dengan dapat
ukuran kapal tidak lebih dari 10 GT. Pertimbangan diminimalisasinya faktor kerugian usaha melalui
pemilihan usaha perikanan tersebut adalah jumlah informasi yang diberikan oleh penunggu/pekerja
pekerja yang dibutuhkan dalam satu kapal berkisar diatas rumpon. Dengan mengandalkan radio jarak
antara 4 – 6 orang yang akan memudahkan jauh, pekerja tersebut dapat memberikan info
analisis data. terkait dengan adanya ikan tuna maupun informasi
cuaca di tengah laut. Satu rumpon memiliki
Data berupa frekuensi jawaban diolah
kemampuan untuk menambatkan kapal maksimal
secara sederhana. Pengolahan data penelitian,
4 kapal apabila cuaca sedang baik. Namun untuk
pada prinsipnya adalah mengubah data kualitatif
faktor keselamatan, apabila cuaca memburuk,
menjadi suatu ukuran kuantitatif dengan maksud
maka penunggu rumpon membatasi tambat kapal
untuk memberikan gambaran secara terstruktur
sebanyak 2 armada.
dan rinci tentang topik bahasan dan juga untuk
menjawab tujuan penelitian. Sistem Perekrutan dan Ketersediaan Tenaga
Kerja

HASIL DAN PEMBAHASAN Masyarakat nelayan ditinjau dari sudut


kepemilikan modal terbagi menjadi tiga yaitu
Karakteristik Umum Usaha Perikanan Tuna nelayan juragan, nelayan pekerja dan nelayan
pemilik. Nelayan juragan merupakan nelayan
Nelayan tuna skala kecil di Kota Bitung
pemilik perahu dan alat tangkap yang dibantu oleh
dalam memanfaatkan sumberdaya menggunakan
nelayan pekerja dalam usahanya menangkap ikan
armada penangkapan berukuran < 10 GT bermesin
dilaut. Dilihat dari sisi keterlibatannya dalam usaha
dalam (inboard) sekitar 25 – 125 PK. Jenis kapal
penangkapan nelayan juragan terbagi menjadi tiga,
yang digunakan oleh nelayan untuk melakukan
pertama, nelayan juragan darat yang mengendalikan
penangkapan dapat secara umum terbagi menjadi
usahanya dari daratan. Kedua, nelayan juragan
dua yaitu jenis kapal “pamo” dan kapal “pamboat”.
rangkap yang memiliki permodalan dan sekaligus
Kapal “pamboat” memiliki sayap (semacam sirip)
mengikuti aktivitas penangkapan ikan. Ketiga,
di kedua sisinya yang berukuran lebih kecil serta
nelayan juragan tauke yaitu orang yang memiliki
memiliki stabilitas yang lebih tinggi dibandingkan
permodalan berupa kapal, mesin, alat tangkap dan
dengan kapal “pamo” (Wijaya et al., 2012). Jenis
biaya operasional namun dia bukan merupakan
teknologi penangkapan ikan tuna umumnya
nelayan asli (pendatang). Nelayan pekerja
dilakukan menggunakan alat tangkap pancing
(disebut juga awak kapal) merupakan nelayan
ulur (handline). Penggunaan jenis alat tangkap
yang tidak memiliki alat produksi dan modal tetapi
ini sangat cocok bagi nelayan karena sifat
hanya memiliki keterampilan, pengetahuan dan
sumberdaya ikan tuna yang berada pada laut
tenaga dalam melakukan aktifitas penangkapan
dalam. Selain itu, harga satu set alat pancing
ikan tuna. Nelayan pekerja dilihat dari tanggung
relatif lebih murah dibandingkan dengan alat
jawab pekerjaan secara umum terbagi menjadi
tangkap pancing lainnya (Wijaya dan Saptanto,
dua yaitu nahkoda dan anak buah kapal (ABK).
2012). Aktivitas penangkapan ikan tuna dilakukan
Peran nahkoda adalah sebagai pimpinan dalam
sesaat setelah kapal merapat ke rumpon laut
usaha penangkapan ikan dan ABK berperan
dalam (ponton) yang banyak tersebar di laut lepas
sebagai pekerja yang melaksanakan pekerjaan-
perairan Sulawesi Utara.
pekerjaan tertentu. Nelayan pemilik disebut

4
Sistem Perekrutan Pekerja dan Hubungan Kerja Pada Usaha Perikanan Tuna .......... (Rizki Aprilian Wijaya dan Maulana Firdaus)

juga sebagai nelayan perseorangan. Nelayan Pada Tabel 1 terdapat 10 jenis kriteria
ini umumnya merupakan nelayan miskin/kurang yang ditanyakan kepada pemilik kapal sebagai
mampu disebabkan karena hanya memiliki kapal bahan pertimbangan. Hasil jawaban pemilik kapal
berukuran kecil dan alat tangkap sederhaha untuk menunjukan informasi bahwa kriteria pengalaman
memenuhi kebutuhan keluarga sendiri (subsisten) bekerja, ikatan keluarga dan asal tenaga kerja
(Wahyuningsih et al., 1997). merupakan 3 kriteria prioritas yang menjadi
pertimbangan utama pemilik kapal. Salah seorang
- Sistem Perekrutan pemilik kapal bahkan mendatangkan pekerja yang
berasal dari kampung halaman. “Pada seluruh
Merujuk kepada pembagian stratifikasi
kapal yang kami miliki, seluruh awak kapal
yang telah dijelaskan, komunitas nelayan perikanan
berasal dari Gorontalo yang masih ada hubungan
tuna di Kota Bitung hanya terbagi menjadi
keluarga dengan kami”, kata pemilik kapal
nelayan juragan dan pekerja (tidak ada nelayan
yang cukup sukses di Kelurahan Batu Lubang.
perseorangan). Hal tersebut dikarenakan aktivitas
Ketiga kriteria tersebut menjadi pertimbangan
penangkapan tuna tidak dapat dilakukan secara
utama karena berkaitan dengan keberlanjutan
sendirian, melainkan harus secara berkelompok.
usaha penangkapan ikan yang memiliki resiko
Stratifikasi nelayan pekerja pada usaha perikanan
usaha yang besar. Resiko tersebut terkait dengan
tuna di Kota Bitung cukup sederhana yaitu terdiri
besarnya biaya operasional penangkapan,
dari nahkoda, Kepala Kamar Mesin (KKM)/juru
ketidakpastian hasil tangkapan maupun kondisi
mesin dan anak buah kapal (ABK). Pada komunitas
alam yang cepat berubah semakin memperbesar
nelayan perikanan tuna di Kota Bitung tidak ada
peluang kecelakaan kerja pada saat di laut.
lembaga formal dalam arti organisasi kelompok
nelayan yang secara resmi menyediakan tenaga - Ketersediaan Tenaga Kerja
kerja. Proses pemilihan tenaga kerja (sistem
perekrutan) dilakukan melalui jalur informal. Berkaitan dengan ketersediaan tenaga
Setidaknya terdapat tiga bentuk sistem perekrutan kerja yang dibutuhkan, dapat dilihat dari mudah
yaitu pertama, tenaga kerja melamar langsung atau sulitnya pemilik kapal mendapatkan tenaga
kepada pemilik kapal untuk bekerja, kedua, kerja. Tabel 2 memberikan informasi bahwa tenaga
tenaga kerja ABK direkomendasikan melalui kerja ABK yang dibutuhkan pemilik kapal baik dari
perorangan (biasanya nahkoda) dan ketiga, pemilik dalam desa maupun dari luar desa cukup mudah
kapal memilih sendiri seluruh tenaga kerjanya tersedia. Namun kondisi berbeda ditunjukan pada
dengan kriteria – kriteria tertentu sebagai bahan tenaga kerja nahkoda yaitu lebih mudah mencari
pertimbangan. nahkoda yang berasal dari luar desa dibandingkan

Tabel 3. Kriteria dan Prioritas Nelayan Pemilik dalam Memilh pada Usaha Perikanan Tuna di Kota
Bitung, 2013.
Table 3. Criteria and Priority of Ship Owner in Choosing Appropriate Worker Criteria at Tuna Big
Pelagic Capture Fisheries Business in Bitung City, 2013.
Ya (%) / Tidak (%) / Prioritas /
Kriteria / Criteria
Yes (%) No (%) Priority
Kejujuran / Honestly 17 83 5
Usia / Age 17 83 6
Jenis Kelamin / Gender 17 83 7
Pengalaman Bekerja / Working Experience 83 17 1
Asal Tenaga Kerja / Origin of Worker 50 50 3
Ikatan keluarga / Family Relationship 50 50 2
Tingkat pendidikan / Education Level 0 100 8
Orang kepercayaan / Confidant 0 100 9
Menguasai Teknologi / Master of Technology 33 67 4
Tingkat Upah / Level of Wage 0 0 10
Sumber: Data Primer Diolah (2013) / Primary Data Processed (2013)

5
J. Kebijakan Sosek KP Vol. 4 No. 1 Tahun 2014

dengan tenaga kerja di dalam desa. Hal tersebut “spesial”, sangat berbeda dengan hubungannya
disebabkan karena minimnya tenaga kerja antara pemilik dan pekerja di perusahaan (industri)
yang berstatus sebagai nahkoda di dalam desa. umumnya (Kinseng, 2011). Hubungan kerja nelayan
Minimnya tenaga kerja nahkoda dikarenakan sistem perikanan tuna di Kota Bitung dimaknai sebagai
perekrutan seorang nelayan menjadi nahkoda interaksi sosial antara pemilik kapal dan pekerjanya
kapal perikanan tuna merupakan suatu proses (Nahkoda dan Anak Buah Kapal). Kata kunci
yang cukup panjang dan tidak semua nelayan dalam konsep interaksi sosial menurut Abdulsyani
ABK dapat dipercaya menjadi nahkoda. Nahkoda (1994) yaitu adanya hubungan timbal balik antara
perikanan tuna harus memiliki kepribadian individu/kelompok untuk mencapai tujuan tertentu.
yang baik, setia, sifat jujur, kepemimpinan dan Tujuan yang hendak dicapai oleh pemilik kapal dan
kecakapan atau keahlian dalam mengoperasikan pekerjanya adalah memenuhi kebutuhan hidup
kapal maupun alat tangkap. Beberapa pemilik masing – masing keluarganya. Dalam konteks
kapal bahkan lebih menekankan sifat jujur yang ini, maka usaha penangkapan sedapat mungkin
harus dimiliki pada seorang nahkoda. Hal tersebut harus memenuhi kriteria ekonomi (memaksimalkan
dikarenakan adanya beberapa kasus yang telah keuntungan) untuk keberlanjutan usahanya.
terjadi yakni penjualan ikan tuna di tengah laut, Pembahasan mengenai hubungan kerja dapat
pelaporan hasil tangkapan ikan tuna yang tidak ditinjau menurut proses akvititas penangkapannya.
sesuai dengan realitanya dan bahkan terjadi juga Aktivitas penangkapan ikan merupakan suatu
menjual sisa BBM kapal. proses yang diawali dengan proses persiapan di
darat, penangkapan ikan di laut, dan pemasaran
Seorang nelayan yang telah menjadi ikan hasil tangkapan.
nahkoda biasanya juga telah memiliki pengalaman
penangkapan ikan yang lama dalam arti - Hubungan Kerja Pada Proses Persiapan di
menjadi anak buah kapal (ABK). Secara formal, Darat
kemampuan nahkoda juga harus diuji melalui
pelatihan dan sertifikasi untuk mendapatkan surat Proses persiapan di darat meliputi proses
ijin mengemudikan kapal yang dikeluarkan secara memperoleh ijin untuk menangkap ikan, pembelian
resmi dari lembaga yang berwenang di Kota Bitung. barang operasional (Bahan Bakar Minyak (BBM)
Surat ijin tersebut penting bagi seorang nahkoda dan ransum) serta proses perekrutan tenaga kerja
yakni tidak hanya untuk menggugurkan kewajiban yang telah dibahas pada sub bab sebelumnya.
pada saat ada pemeriksaan di laut oleh petugas Pada tahap ini, kontribusi terbesar adalah pemilik
namun juga untuk menciptakan suatu standar yang kapal. Bagi pemilik kapal yang memiliki kesediaan
baik dalam rangka keselamatan kerja pada proses waktu luang dan tidak memiliki cukup dana, maka
penangkapan ikan di laut. untuk proses persiapan di darat umumnya dilakukan
sendiri oleh pemilik kapal. Sedangkan pekerjanya
- Hubungan Kerja Nelayan Perikanan Tuna berkontribusi hanya mengangkut barang operasional
apabila telah siap dipesan. Salah seorang pemilik
Seperti yang umum dijumpai pada kapal menuturkan, ”pembelian barang operasi
masyarakat nelayan di Indonesia, pemilik kapal penangkapan kita lakukan sendiri, apalagi untuk
dan pekerjanya mempunyai hubungan yang perijinan usaha, biaya menyuruh orang untuk

Tabel 4. Tingkat Kemudahan Nelayan Pemilik Kapal Dalam Memperoleh Tenaga Kerja pada Usaha
Perikanan Tuna di Kota Bitung, 2013.
Table 4. The Level of Ease Ship Owner in Acquiring Worker at Tuna Big Pelagic Capture Fisheries
Business in Bitung City, 2013.

Jenis Tenaga Kerja / Type of Worker Mudah (%) / Easy (%) Sulit (%) / Difficult (%)
A. Dalam Desa / In The Village
1. Nahkoda / Captain 33 67
2. Anak Buah Kapal / Vessel Crew 67 33
B. Luar Desa / Out The Village
1. Nahkoda / Captain 67 33
2. Anak Buah Kapal / Vessel Crew 67 33
Sumber: Data Primer Diolah (2013) / Primary Data Processed (2013)

6
Sistem Perekrutan Pekerja dan Hubungan Kerja Pada Usaha Perikanan Tuna .......... (Rizki Aprilian Wijaya dan Maulana Firdaus)

mengurus ijin cukup besar, oleh karena itu kita potensial penangkapan ikan. Namun, perlu dicatat
lakukan sendiri” katanya. Namun, bagi pemilik kapal bahwa tidak semua pemilik kapal memiliki radio
yang tidak memiliki kesediaan waktu, memiliki dana komunikasi. Salah seorang pemilik kapal yang
dan tidak ingin repot, biasanya proses persiapan memiliki radio menyatakan, “setiap hari (biasanya
di darat akan dibantu oleh pengurus darat yaitu pagi dan sore) saya memantau perkembangan
nahkoda kapal maupun orang yang secara khusus kapal di laut dengan komunikasi melalui radio
ditunjuk dan dipercaya oleh pemilik kapal. jarak jauh yang ada dirumah. Saya menanyakan
keadaan awak kapal, apakah semuanya sehat,
Perijinan yang harus dipenuhi oleh pelaku keadaan cuaca maupun hasil tangkapan yang telah
usaha perikanan tuna skala kecil diantaranya didapatkan” katanya.
adalah Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP) (untuk
30 tahun), Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) Pada aktivitas menangkap ikan, metode
(untuk tiga tahun), Surat Ijin Pengangkutan Ikan penangkapan yang berkembang dalam
(SIKPI) (untuk dua tahun) dan kartu pas kecil memanfaatkan sumberdaya tuna di Kota
untuk setiap melaut. Sebelum tahun 2013, proses Bitung dapat dibagi menjadi dua, yaitu metode
penerbitan surat ijin tersebut masih terpisah pada penangkapan yang berasal dari nelayan yang
masing – masing dinas. Namun sejak tahun 2013 berada di Kabupaten Gorontalo dan nelayan
atas kebijakan kepala daerah untuk mempermudah imigran yang berasal dari Negara Filippina. Kota
dan memotong jalur birokrasi dibentuklah suatu Bitung memang seringkali menjadi kota tujuan
perijinan perikanan satu atap. Lembaga yang terlibat bekerja nelayan yang berasal dari kedua wilayah
didalamnya adalah Dinas Perikanan dan Kelautan tersebut. Kondisi geografis yang berdekatan, sifat
Kota Bitung, Pelabuhan Perikanan Samudera Kota kota pelabuhan yang terbuka bagi orang luar,
Bitung, Dinas Perhubungan dan Polisi Perairan. potensi sumberdaya tuna yang masih berlimpah
dan banyaknya industri perikanan merupakan
- Hubungan Kerja Pada Aktivitas Penangkapan faktor penarik bagi nelayan diluar Kota Bitung untuk
bekerja mencari nafkah bagi keluarganya. Bahkan
Pada proses penangkapan, dibutuhkan
salah seorang nahkoda yang berasal dari Filippina
tenaga kerja antara 4 – 6 orang per kapal dengan
mengilustrasikan “disini (Indonesia) dengan
jangka waktu penangkapan antara 5 – 14 hari.
uang sebesar Rp. 10.000 hanya dapat membeli
Proses ini dimulai dengan aktivitas perjalanan
sepotong bagian ayam untuk dimakan, tetapi di
menuju lokasi tangkapan (fishing ground), aktivitas
Filipphina uang sebesar itu dapat membeli satu
penangkapan itu sendiri dan proses kepulangan
buah ayam utuh untuk dimakan” katanya. Lebih
menuju daratan. Nahkoda kapal memberikan
lanjut dia berkata, “cukup gampang mencari uang
kontribusi peran yang terbesar dibandingkan dengan
Rp. 10.000 disini (Indonesia)”. Ilustrasi tersebut
pemilik kapal dan ABK. Nahkoda kapal berperan
memberikan makna kondisi ekonomi di Negara
dalam menentukan kapan waktu yang tepat untuk
Indonesia sebagai lokasi tujuan bekerja masih lebih
berangkat melaut, mengemudikan kapal dengan
baik dibandingkan dengan kondisi negara asalnya.
memastikan keselamatan bagi seluruh anak buah
kapal dan mengkoordinasikan segala aktifitas Kedua jenis metode yang berasal dari
yang berkaitan dengan teknis penangkapan ikan nelayan Gorontalo dan Filippina pada hakikatnya
maupun kegiatan non teknis penangkapan seperti memiliki keunggulan dan kelemahan. Seorang
memasak. Salah seorang nahkoda menuturkan, pemilik kapal akan menentukan metode mana yang
“pada saat kapal menuju lokasi penangkapan, hanya akan digunakan karena penggunaan metode akan
saya saja yang mengemudikan kapal, sementara menentukan jenis tenaga kerja yang dibutuhkan
yang lain istirahat. Kalau sudah sampai lokasi, baru dalam aktivitas usaha penangkapan. Dilihat dari
semuanya bekerja untuk melakukan penangkapan”. penguasaan metode tersebut oleh nelayan tuna
Namun, dengan teknologi komunikasi yang di Kota Bitung, fakta di lapangan menunjukan
semakin canggih, pada proses ini pemilik kapal bahwa sebagian besar nelayan menguasai teknik
juga dapat memantau aktivitas penangkapan penangkapan yang berasal dari nelayan Filippina
melalui sambungan radio jarak jauh. Radio tersebut dibandingkan dengan metode nelayan Gorontalo.
berfungsi sebagai alat komunikasi antara pemilik Teknik penangkapan nelayan Filippina memang
kapal yang berada di darat, nahkoda di atas kapal sudah sejak lama diadopsi oleh nelayan perikanan
dan penunggu rumpon di tengah laut. Pemilik kapal tuna di Kota Bitung. Nelayan beralasan bahwa
biasanya memberikan informasi – informasi yang metode nelayan Filippina memiliki keunggulan
berkaitan dengan kondisi cuaca maupun lokasi dalam jumlah produksi ikan tuna yang dapat

7
J. Kebijakan Sosek KP Vol. 4 No. 1 Tahun 2014

ditangkap dibandingkan dengan metode nelayan akan dijual. Proses pembayaran ikan oleh
gorontalo. Selain teknik menangkap, nelayan perusahaan juga menjadi pertimbangan, yakni
Filippina juga memperkenalkan kapal kecil berbahan perusahaan yang langsung membayar cash dalam
kayu triplek dengan ukuran panjang 2,5 meter dan jual beli lebih disukai oleh pemilik kapal daripada
lebar 1 m yang dikenal dengan kapal “Pakura”. perusahaan yang menunda pembayaran.
Kapal “Pakura” pada saat perjalanan menuju lokasi
tangkapan, diangkut diatas kapal utama. Kapal ini Setelah ikan terjual, selanjutnya dilakukan
hanya dapat dikemudikan oleh satu orang ABK. bagi hasil penjualan ikan antara pemilik kapal
Kapal ini dapat bergerak dengan cepat sehingga dan pekerjanya. Berdasarkan tenaga kerja yang
efektif untuk mengejar ikan tuna yang berada di digunakan sistem bagi hasil usaha penangkapan
sekitar rumpon. Salah seorang ABK menuturkan, tuna di lokasi penelitian dapat dibagi dua yaitu
“kalau menggunakan pakura, bisa menangkap ikan sistem bagi hasil lokal dan sistem bagi hasil adopsi
dengan cepat, karena pakura dapat mengejar ikan dari nelayan Filippina. Pada sistem lokal, terdapat
tuna secara cepat” katanya. 3 pola bagi hasil yang umum digunakan oleh
nelayan di Kota Bitung (Gambar 1). Pola pertama,
- Hubungan Kerja Pada Proses Pemasaran dan hasil bersih (setelah dikurangi biaya operasional)
Sistem Bagi Hasil langsung dibagi dua kepada pemilik dan pekerja.
Pada pola ini, bonus nahkoda/KKM berasal dari
Pada proses pemasaran, ikan tuna hasil
hasil yang diterima oleh pemilik kapal. Pola kedua,
tangkapan dijual langsung kepada perusahaan
hasil bersih dipotong terlebih dahulu untuk bonus
perikanan dalam bentuk utuh (gelondongan).
nahkoda/KKM dan selanjutnya dibagi dua langsung
Pada proses ini, peran pemilik kapal dapat terbagi
kepada pemilik dan pekerja. Pada pola pertama
menjadi dua yaitu pada pemilik kapal yang memiliki
dan kedua, segala kerusakan pada mesin maupun
dan tidak memiliki tenaga kerja pengurus darat.
kapal sepenuhnya ditanggung oleh pemilik kapal.
Pemilik kapal yang memiliki pengurus darat tidak
Hal ini berbeda pada pola ketiga dimana kerusakan
perlu bersusah payah mencari informasi harga ikan
kapal maupun mesin ditanggung bersama antara
dan hanya menerima bersih hasil penjualan ikan.
pemilik kapal dan pekerjanya. Besaran nilai
Dengan kata lain, pemilik kapal memberikan alih
persentase yang diterima oleh pemilik kapal dan
peran kepada pengurus darat. Lain halnya dengan
tenaga kerja pada kenyataannya cukup bervariasi.
pemilik kapal yang tidak memiliki pengurus darat,
Hal tersebut disebabkan karena sistem bagi
pada proses penjualan ikan pemilik kapal akan
hasil lokal masih berdasarkan kepada
mencari informasi harga dan juga melakukan
musyawarah kesepakatan antara pemilik kapal dan
diskusi kepada tenaga kerjanya untuk menentukan
pekerjanya.
kepada perusahaan mana ikan hasil tangkapan

Bagian Pemilik (50%) /


Hasil Bersih / Owner Sharing (50%) Bonus Nahkoda (3-5%) &
1 Net Value KKM (3%) / Captain (3-5%) &
Enggine Staf (3%) Bonus
Bagian Pekerja (50%) /
Worker Sharing (50%)

Bagian Pemilik (50%) /


Hasil Bersih / Owner Sharing (50%)
Bonus Nahkoda (3-5%) &
2 Net Value KKM (3%) / Captain (3-5%) &
Enggine Staf (3%) Bonus Bagian Pekerja (50%) /
Worker Sharing (50%)

Bonus Nahkoda (3-5%) &


KKM (3%) / Captain (3-5%) & Bagian Pemilik (50%) /
Hasil Bersih / Enggine Staf (3%) Bonus Owner Sharing (50%)
3 Net Value
Kapal & Mesin Nahkoda (5%) Bagian Pekerja (50%) /
/ Vessel & Machine (5%) Worker Sharing (50%)

Gambar 1. Sistem Bagi Hasil Lokal Nelayan Tuna di Kota Bitung.


Figure 1. Local Tuna Fisheries Profit Sharing System In Bitung City.
Sumber: Diadopsi dari Wijaya et al ( 2010) / Adopted from Wijaya et al (2010)

8
Sistem Perekrutan Pekerja dan Hubungan Kerja Pada Usaha Perikanan Tuna .......... (Rizki Aprilian Wijaya dan Maulana Firdaus)

Hal yang berbeda terjadi pada sistem bagi oleh masyarakat disana. Salah seorang nahkoda
hasil nelayan Filippina yakni bagian yang dipecah menuturkan, “tidak enak menggunakan sistem
bukan berasal dari keuntungan bersih, namun Filippina, akan timbul iri diantara awak kapal
dari penerimaan kotor (Gambar 2). Hal tersebut nantinya. Lebih baik sistem biasa saja, kalau dapat
disebabkan pemilik kapal menanggung sepenuhnya ikan semuanya harus merasakan hasilnya (dapat
biaya operasional baik pada saat untung maupun uang), kalau tidak dapat ikan, semuanya juga
rugi. Sistem bagi hasil ini lebih didasari kepada merasakannya (hutang)”, katanya.
hasil dari masing – masing individu (tidak dibagi
rata) pekerja kapal nahkoda, Fishing master - Hubungan Kerjasama Nelayan Tuna
(bertanggung jawab terhadap aktivitas nelayan
Terkait dengan pola hubungan kerja pada
ABK dari Filipphina), KKM dan ABK. Dilihat dari sisi
masyarakat perikanan secara umum, terdapat
kewarnegaraannya, biasanya nahkoda dan KKM
ketimpangan antara pemilik dan pekerjanya.
merupakan warga asli Indonesia, namun Fishing
Sebagai contoh, pada masyarakat perikanan di
Master dan ABK berasal dari negara Filiphina.
daerah Sulawesi Selatan, dikenal pola hubungan
Fishing master memiliki peran untuk menentukan
kerja Punggawa (memiliki sarana produksi) dan
lokasi penangkapan dan juga sebagai pimpinan
Sawi (tidak memiliki sarana produksi, hanya
dari pada ABK Filiphina.
menyediakan tenaga untuk bekerja) yang dicirikan
Secara sederhana, setiap hasil tangkapan dengan adanya dominansi / berkuasanya seorang
tuna dari pekerja, akan dibagi sebanyak 3 bagian Punggawa terhadap Sawi-nya. Pola tersebut
kepada pemilik kapal dan 1 bagian kepada pekerja. merupakan hubungan kepentingan ekonomi yang
Kemudian, pada 3 bagian pemilik kapal terdapat diperkuat oleh hubungan kekerabatan (Sallatang,
bonus tambahan bagi fishing master dan KKM. 1982; Salman, 2006). Kondisi tersebut mirip
Adapun untuk nahkoda kapal, tidak mendapatkan dengan pola hubungan Patron ­– Klien yang
bonus namun mendapatkan gaji bulanan sebesar berada di Pulau Jawa dimana adanya penguasaan
Rp. 1,5 juta. Konsekuensi logis dari sistem bagi Patron terhadap Klien-nya dalam penguasaan
hasil ini adalah masing – masing individu akan peran, fasilitas teknologi, modal operasional, dan
bekerja lebih keras (tingginya etos dan semangat penguasaan pemasaran. Lebih lanjut, Kusnadi
kerja) untuk mendapatkan ikan tuna. Terkait dengan (2000) menjelaskan bahwa unsur – unsur sosial
untung dan ruginya sistem bagi hasil Filiphina ini, yang berpotensi sebagai patron adalah pedagang
pemilik kapal menuturkan, “Sistem Filiphina (bagi ikan skala besar dan kaya, nelayan pemilik (perahu),
hasil) kalau mendapatkan ikan banyak, pemilik juru mudi (juragan laut atau pemimpin awak kapal)
kapal sangat untung besar, tetapi kalau ikan sedikit, dan orang kaya lainnya. Mereka yang berpotensi
pemilik kapal rugi besar”, katanya. menjadi klien adalah nelayan buruh, dan warga
pesisir yang kurang mampu sumberdayanya. Lain
Sistem bagi hasil yang diterapkan oleh halnya lagi dengan pola hubungan kerja antara
masyarakat perikanan tuna di Batu Lubang, nelayan, toke motor dan toke ikan pada nelayan
sebagian besar masih menggunakan pola bagi di Kota Pontianak. Hubungan kerja yang selalu
hasil lokal dibandingkan dengan pola adopsi terjamin diantara ketiga pelaku ini secara struktural
dari nelayan Filippina. Hal ini disebabkan karena menempatkan toke ikan (agen) pada posisi yang
sifat tenggang rasa yang masih sangat dipegang lebih tinggi dan lebih memegang peranan yang

Gaji Nahkoda Rp. 1.5


Ikan Tuna Hasil (juta/bulan) / Captain Salary
3 Bagian Pemilik /
Tangkapan Awak Kapal IDR. 1.5 (Million/month)
3 Vessel Sharing
(kepemilikan Pribadi) /
Tuna capture from Worker
(Private Ownership) Bonus Fishing master (15%)
1 Bagian Pekerja / & KKM (5%) / Captain (3-5%)
1 Worker Sharing & Enggine Staf (3%) Bonus

Gambar 2. Sistem Bagi Hasil Adopsi dari Nelayan Filippina di Kota Bitung.
Figure 2. Profit Sharing System Adopted by Filippina Fisher In Bitung City.
Sumber: Data Primer Diolah (2013) / Primary Data Processed (2013)

9
J. Kebijakan Sosek KP Vol. 4 No. 1 Tahun 2014

dominan dalam mengendalikan hubungan kerja dan penerimaan ikan kualitas C adalah sebanyak
baik dalam kegiatan produksi maupun pemasaran Rp. 1.500.000. Ilustrasi tersebut memperlihatkan
(Noh, 1995). nilai kerugian yang diderita nelayan sebanyak Rp.
420.000 hanya untuk dua ikan tuna yang didapat.
Pola hubungan kerja pada usaha perikanan Dalam satu trip penangkapan, terkadang nelayan
tuna skala kecil di Kota Bitung lebih dimaknai bisa menangkap antara 2 – 30 ikan. Berdasarkan
sebagai hubungan kerjasama antara pemilik kapal hal tersebut, maka dapat dibayangkan berapa
dan tenaga kerjanya atau dapat juga disebut sebagai besar bentuk kerugian yang diderita nelayan akibat
teman sekerja (co-worker). Hal ini disebabkan dari permainan kualitas ikan yang dilakukan oleh
karena nelayan pemilik hanya menggunakan karyawan ceker.
sedikit pekerja saja (4-6 orang) dan umumnya para
pekerja merupakan keluarga sendiri atau teman Cara menghindari bentuk kerugian yang
dekat. Selain itu, argumentasi hubungan kerjasama lebih besar dari aktifitas tersebut, dapat dilakukan
tersebut juga cukup jelas terlihat pada saat aktivitas melalui beberapa cara. Pertama, meningkatkan
pemasaran ikan. Hal tersebut berkaitan komoditas kemampuan nelayan dalam menentukan kualitas
ikan tuna merupakan komoditas ekspor sehingga ikan agar nelayan memiliki posisi yang kuat apabila
struktur pemasaran ikan tidak dapat dikuasai oleh ceker memberikan penilaian kualitas ikan yang tidak
pemilik kapal, namun dikuasai oleh perusahaan sesuai dengan standar. Peningkatan kemampuan
perikanan. Ikan tuna hasil tangkapan nelayan yang tersebut salah satunya dapat dilakukan dengan
dijual ke perusahaan penampung ikan dibedakan penyebaran informasi tentang bagaimana cara
menjadi 5 macam kualitas (Grade), yaitu kualitas membedakan kualitas ikan melalui media – media
A, B, C, Lokal dan Reject. Kualitas tersebut akan salah satunya pamflet yang diberikan oleh nelayan.
menentukan harga yang diterima oleh nelayan Kedua, Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bitung
(dalam arti pemilik kapal dan pekerjanya). Kualitas dalam hal ini sebagai lembaga yang berwenang
hasil tangkapan nelayan ditentukan secara sepihak dalam mengelola sumberdaya ikan tuna berusaha
oleh karyawan pematok harga yang disebut menjembatani antara kepentingan pengusaha dan
sebagai ceker. Seringkali nelayan yang menjual nelayan melalui pertemuan – pertemuan. Pertemuan
ikan ke perusahaan penampung merasa dirugikan tersebut dimaksudkan untuk memberikan kejelasan
karena ikan tuna yang seharusnya masuk ke dalam bagaimana cara perusahaan membedakan
kualitas yang baik, dihargai oleh ceker dengan kualitas ikan kepada nelayan. Ketiga, melakukan
kualitas ikan yang rendah. Kerugian tersebut terjadi peningkatan penanganan ikan tuna yang baik oleh
karena adanya perbedaan harga yang cukup nelayan di dalam seluruh proses penangkapan ikan
besar antar kualitas ikan. Adanya kesenjangan yaitu dimulai dengan mempersiapkan palka ikan
(gap) antara penilaian yang dilakukan oleh ceker yang baik, penanganan pada saat menangkap ikan,
dengan yang dipahami oleh nelayan juga dapat mengangkat ikan ke atas kapal dan kedalam palka,
menimbulkan masalah. Salah seorang nahkoda serta pada saat membongkar ikan di pelabuhan.
mengatakan, “sebenarnya bagaimana menentukan
kualitas ikan?, saya aneh, masa ikan yang lebih Berdasarkan ilustrasi tersebut, pemilik kapal
lama ditangkap harganya lebih tinggi dibandingkan dan tenaga kerjanya harus berada pada posisi yang
harga ikan yang baru ditangkap”, katanya. sejajar yaitu saling bekerja sama dalam rangka
mendapatkan harga terbaik yang ditawarkan
Bentuk kerugian tersebut dapat dijabarkan sehingga tujuan bersama untuk memaksimalkan
sebagai berikut, satu armada kapal ikan tuna keuntungan dapat tercapai. Taneko (1993)
diasumsikan mendapatkan dua ikan tuna yang menyebutkan bahwa suatu bentuk interaksi sosial
ditangkap dalam jangka waktu yang berdekatan. dikatakan kerjasama, apabila antar perorangan
Rata – rata berat ikan hasil tangkapan adalah 30 menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan
Kg. Setelah dijual ke perusahaan, ternyata ikan yang sama dan pada saat yang bersamaan
hasil tangkapan tersebut dihargai berbeda yaitu mempunyai pengetahuan dan pengendalian
satu ikan masuk ke dalam kategori kualitas A (Rp. terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan
64.000) dan ikan lainnya kualitas C (Rp. 50.000), tersebut melalui kerjasama. Lebih lanjut, Blau
padahal menurut nelayan ikan tersebut seharusnya (2004) mengemukakan bahwa setiap aktor akan
masuk ke dalam kualitas A mengingat jangka waktu bersama – sama berjuang mengurangi ongkos
penangkapan yang tidak berbeda. Penerimaan produksi untuk memaksimalkan keuntungan yang
ikan kualitas A adalah sebanyak Rp. 1.920.000 bertumpu pada nilai – nilai serta norma – norma

10
Sistem Perekrutan Pekerja dan Hubungan Kerja Pada Usaha Perikanan Tuna .......... (Rizki Aprilian Wijaya dan Maulana Firdaus)

yang disepakati bersama. Pada dasarnya, menjalin tenaga kerja yang bersifat informal hendaknya
hubungan antar manusia merupakan kebutuhan dimaknai sebagai suatu peluang (bukan sebagai
yang sifatnya alami. Kerjasama yang dilakukan oleh hambatan) bagi kebijakan peningkatan produksi
para nelayan mengarah kepada aktivitas sehari – ikan tuna yang telah dijalankan selama empat
hari yang bersifat sosial maupun ekonomi. Masing – tahun terakhir. Bagi pelaku usaha, salah satu
masing memiliki ruang yang saling menopang antar hambatan untuk peningkatan usaha adalah dalam
kebutuhan nelayan. Mempertahankan hubungan proses penjualan ikan. Upaya strategis pemecahan
kerjasama juga berarti menjaga solidaritas, dan masalah yang terakhir disebutkan tersebut dapat
memperkuat hubungan kekeluargaan baik pada diinisiasi dengan melakukan upaya meningkatkan
saat di darat maupun pada saat dilaut. Suatu posisi tawar nelayan tuna terhadap perusahaan
bentuk kerjasama juga memerlukan tendensi perikanan. Bentuk peningkatan posisi tawar dapat
rasa saling percaya yang sangat kuat (Wijayanti, dilakukan melalui peningkatan pengetahuan nelayan
2008). Kondisi ini secara perlahan berkembang dalam menentukan kualitas ikan, meningkatkan
dalam masyarakat suatu norma – norma sebagai kemampuan nelayan dalam penanganan ikan
aturan dalam bersikap di masyarakat sehingga dalam seluruh proses penangkapan dan Dinas
keberlanjutan usaha perikanan dapat terwujud. Kelautan dan Perikanan mulai menginisiasi dan
menjembatani kepentingan perusahaan dan
PENUTUP nelayan.

Proses pemilihan / sistem perekrutan tenaga


kerja di usaha perikanan tuna dapat terjadi melalui DAFTAR PUSTAKA
tiga jalur informal yaitu dengan cara tenaga kerja
melamar langsung kepada pemilik kapal untuk Abdulsyani. 1994. Sosiologi Sistematika, Teori dan
bekerja, tenaga kerja ABK direkomendasikan melalui Terapan. Jakarta: Bumi Aksara.
perorangan (biasanya nahkoda) dan pemilik kapal Blau, P. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta:
memilih sendiri seluruh tenaga kerjanya kriteria Prenada Media
– kriteria tertentu sebagai bahan pertimbangan.
Terkait dengan ketersediaan tenaga kerja, tenaga Dahuri, R. 2008. Restrukturisasi Manajamen
kerja ABK relatif lebih banyak tersedia di dalam Perikanan Tuna. Majalah Samudera –
desa maupun diluar desa. Kondisi yang berbeda Online. Volume 68. http://www.majalah-
samudra.at.ua/news/2008-12-10-1. Diakses
terjadi pada ketersediaan tenaga kerja nahkoda
tanggal 4 Maret 2014
yaitu nahkoda yang berasal dari dalam desa lebih
sedikit tersedia jika dibandingkan dengan nahkoda Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bitung. 2012.
yang berasal dari luar desa. Data Perikanan Tuna Kota Bitung 2011.
Tidak dipublikasikan. Dinas Kelautan dan
Pada proses hubungan kerja antara pemilik Perikanan Kota Bitung.
kapal dan pekerjanya, pola hubungan kerja
dimaknai sebagai hubungan kerjasama dalam Dwihendrosono, A., dan M. P. Utama. 2002. Dampak
mencapai tujuan pencapaian keberlanjutan usaha Motorisasi Kapal Terhadap hubungan Kerja,
penangkapan. Pada saat aktivitas pemasaran Sistem Bagi Hasil dan Orientasi Kerja: Studi
Terhadap Nelayan di Kendal, Tahun 1970 –
ikan, pemilik dan pekerja berada pada posisi yang
2000. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian
sejajar yaitu saling bekerja sama dalam rangka
Sosial Budaya, Lembaga Penelitian
mendapatkan harga terbaik yang ditawarkan oleh Universitas Diponegoro.
perusahaan ikan tuna.
Fajar, A. 2011. Analisis Interaksi Simbolik Yang
Sistem perekrutan dan ketersediaan Membentuk Pola Komunikasi Dinamis
tenaga kerja serta hubungan kerja dalam aktivitas Pada Komunitas Pesisir Kabupaten Jember.
usaha perikanan tangkap di Kota Bitung secara Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian.Vol 5 (2):
langsung memiliki keterikatan yang kuat dalam 59 – 71
arti menjamin keberlangsungan usaha perikanan.
Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan
Adanya permasalahan pada masing – masing
Kelautan, Issue, Sintesis dan Gagasan.
sistem tersebut yang sifatnya informal dan Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
abstrak seringkali terlupakan sebagai bagian dari 191 hal.
perumusan kebijakan perikanan. Sistem perekrutan

11
J. Kebijakan Sosek KP Vol. 4 No. 1 Tahun 2014

Husein, F. 2010. Organisasi Dan Hubungan Kerja Sallatang, M.A. 1982. Punggawa Sawi, Suatu Studi
Nelayan Lungkak Tanjung Luar Di Lombok Sosiologi Kelompok Kecil [disertasi]. Program
Timur NTB. Forum Ilmu Sosial. 37 (2): 137 Pascasarjana, Universitas Hasanuddin.
– 145
Salman, D. 2006. Jagat Maritim: Dialektika
Hutapea, H. 2009. Beberapa Faktor Sosial Ekonomi Modernitas dan Artikulasi Kapitalisme
Yang Mempengaruhi Sikap Nelayan Buruh pada Komunitas Konjo Pesisir di Sulawesi
Terhadap Juragan Toke (Studi Kasus: Desa Selatan. Makassar: Ininnawa.
Bagan Dalam, Kecamatan Tanjung Tiram,
Kabupaten Asahan) [skripsi]. Departemen Setiawan, I. 2008. Keragaan Pembangunan
Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Perikanan Tangkap: Suatu Analisis Program
Sumatera Utara. Pemberdayaan Nelayan Kecil [tesis].
Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Jatmiko, B., J. Haluan, M. Wahyuni, dan H. Bogor.
Hardjomidjoyo. 2007. Model Pengembangan
Agroindustri Perikanan Berbasis Partisipasi Sugiyarto. 2010. Perubahan Pandangan Bekerja
Masyarakat, Studi Kasus Daerah Cilacap, Masyarakat Nelayan Desa Ujungwatu,
Jawa Tengah. Buletin PSP. Vol XVI (2). Jepara. Citra Leka Sabda.

Kinseng, R.A. 2011. Konflik Kelas Nelayan di Taneko, S.B. 1993. Struktur dan Proses Sosial
Indonesia Tinjauan Kasus Balikpapan. (Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan).
Bogor: IPB Press. 180 Hal. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Kusnadi. 2000. Nelayan: Strategi Adaptasi dan Therik, W. M. A. 2008. Nelayan dalam Bayang
Jaringan Sosial. Bandung: Humaniora Juragan: Potret Kehidupan Nelayan
Utama Press. Tradisional Bajo di Tanjung Pasir, Pulau
Rote, Nusa Tenggara Timur. Working Paper
Lestari, W., R. Syarief, dan K. Sumantadinata. # 6. East Nusa Tenggara Studies. IITS
2013. Strategi Peningkatan Daya Saing Tuna Publications (Open Sources).
Olahan Indonesia Di Pasar Internasional.
Manajemen IKM. Vol 8 (1): 36 – 44 Wahyuningsih, E. T. Gurning., dan E. Wuryanto.
1997. Budaya Kerja Nelayan Indonesia di
Miles, M.B., and A.M. Huberman. 1994. An Jawa Tengah (Kasus Masyarakat Nelayan
Expanded Source Book: Qualitative Data Desa Wonokerto Kulon Kecamatan
Analysis. London: Sage Publications. Wiradesa, Kabupaten Pekalongan).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Muhartono, R., A. Zamroni, dan Z. Nasution. 2009. Direktorat Jenderal Kebudayaan. Direktorat
Evaluasi Kebijakan Pengaturan Sistem Bagi Sejarah dan Nilai Tradisional. Bagian Proyek
Hasil (Kasus Implementasi Undang-undang Pengkajian dan Pembinaan Kebudayaan
Bagi Hasil (UUBH) No. 16/1964 pada Masa Kini. Jakarta: Penerbit Djambatan
Perikanan Rumpon di Kabupaten Badung,
Bali). Jurnal Sosial Ekonomi Perikanan. 4 Wijaya, R.A., B. Wardono and R. Muhartono.
(1) 2010. Tuna Handline Fishermen Profit
Sharing System in Batu Lubang, Bitung
Nawawi, H. 2005. Metode Penelitian ilmu – ilmu City. Proceeding of International Seminar
Sosial. Cet.Ke-11. Yogyakarta: Gadjah Mada on Indonesian Fisheries Development 2010.
University Press. 249 Hal. Joint Publication by: Research Center For
Marine and Socio Economic, Indonesian
Noh, M. M. 1995. “Nelayan, toke motor dan toke
Marine and Fisheries Socio Economic
ikan: studi antropologi ekonomi tentang
Research Network (IMFISERIN) and Faculty
hubungan kerja pada nelayan Desa Kuala
of Fisheries and Marine Science Hasanudin
Secapah, Kecamatan Mempawah Hilir
University (UNHAS). Makasar.
Kabupaten Pontianak Kalimantan Barat
[thesis]. Program Pascasarjana, Universitas Wijaya, R.A., dan S. Saptanto. 2012. Struktur
Indonesia. dan Distribusi Pendapatan Rumah Tangga
Nelayan Pelagis Besar dan Pelagis Kecil
Pitcher, T. J., and D.B. Preikshot. 2001. RAPFISH:
– Demersal. In Siri et al., (Eds), Prosiding
a rapid appraisal technique to evaluate the
Seminar Nasional Riset dan Kebijakan
sustainability status of fisheries. Fisheries
Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Research. 49(3): 255-270
Tahun 2012, hal 18 – 27. Kerjasama Balai
Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan

12
Sistem Perekrutan Pekerja dan Hubungan Kerja Pada Usaha Perikanan Tuna .......... (Rizki Aprilian Wijaya dan Maulana Firdaus)

Perikanan, Imfiserin dan Pusat Penelitian Wijayanti, N. 2004. Pola Hubungan Kerja Antara
Masyarakat dan Budaya, Lembaga Ilmu Nelayan Pemilik Kapal Purse Seine dengan
Pengetahuan Indonesia (PMB – LIPI). Buruh di Pangkalan Pendaratan Ikan
(PPI) Unit 2 Pantai Utara Desa Bajomulyo
Wijaya, R.A., H.M. Huda dan Manadiyanto. 2012. Kecamatan Juwana Kabupaten Pati [skripsi].
Struktur Pembiayaan Usaha Penangkapan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Ikan Tuna Berdasarkan Perbedaan Musim Universitas Sebelas Maret.
Dan Penguasaan Aset. Jurnal Sosial
Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Jurnal Wirartha, I.M. 2006. Metodologi Penelitian Sosial
Sosial Ekonomi Perikanan. 6 (1): 127 – 144 Ekonomi. In Hardjono (Eds.). Yogyakarta:
Andi Offset. 390 hal.

13

Anda mungkin juga menyukai