Anda di halaman 1dari 14

Jurnal Ketenagakerjaan

Vol. 14 No. 2, Edisi Juli – Desember 2019 ISSN : 1907 - 6096

SEA FORUM FOR FISHERS SEBAGAI SARANA PENINGKATAN


PERLINDUNGAN NELAYAN MIGRAN DI ASIA TENGGARA
Nugroho Bangun Witono
Direktorat Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri
Jalan Jenderal Gatot Subroto Kavling 51 Jakarta Selatan

bwito01@gmail.com

Firdausi Nuzula
Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketenagakerjaan, Kementerian Ketenagakerjaan
Jalan Jenderal Gatot Subroto Kavling 51 Jakarta Selatan

firdausinuzula.02225@gmail.com

ABSTRAK

Paper ini mencoba membahas terkait isu perlindungan pekerja migran (work in fishing) di kawasan
ASEAN terkait dengan karakteristik ASEAN yang inklusif. Salah satu permasalahan dalam pekerja
migran di ASEAN adalah isu perlindungan nelayan migran di sektor perikanan laut. Mekanisme
perlindungan terhadap nelayan migran di sektor perikanan laut telah diatur dalam beberapa konvensi
dan perjanjian internasional, terutama yang telah disediakan International Labour Organization (ILO)
melalui The Work in Fishing Convention tahun 2007 (No. 188). Namun demikian masih banyak
kendala yang dialami dalam implementasi regulasi tersebut. Salah satu alternatif dalam
mengimplementasikan regulasi yang ada dalam kawasan ASEAN adalah adanya SEA Forum for
Fishers. Berdasarkan literatur tentang masyarakat transnasional dan hukum internasional, maka paper
ini berupaya memberi gambaran dan analisis SEA Forum for Fishers sebagai bentuk kerjasama
ASEAN untuk lebih meningkatkan perlindungan terhadap nelayan migran sesuai dengan semangat
“ASEAN 2025 Forging Ahead Together”.

Kata Kunci: nelayan migran, The Work in Fishing Convention tahun 2007 (N0. 188), SEA Forum for
Fishers

ABSTRACT

This paper tries to discuss issues related to the protection of migrant workers (work in fishing) in the
ASEAN region related to the characteristics of an inclusive ASEAN. One of the problems in migrant
workers in ASEAN is the issue of protection of migrant fishermen in the marine fisheries sector. The
mechanism of protection for migrant fishermen in the marine fisheries sector has been regulated in
several international conventions and agreements, especially those provided by the International
Labor Organization (ILO) through The Work in Fishing Convention in 2007 (No. 188). However,
there are still many obstacles experienced in implementing the regulation. One alternative in
implementing existing regulations in the ASEAN region is the existence of the SEA Forum for Fishers.
Based on the literature on transnational society and international law, this paper seeks to illustrate
and analyze the SEA Forum for Fishers as a form of ASEAN cooperation to further enhance the
protection of migrant fishermen in accordance with the spirit of "ASEAN 2025 Forging Ahead
Together".

Keywords: migrant fishermen, The Work in Fishing Convention 2007 (No. 188), SEA Forum for
Fishers

112
Jurnal Ketenagakerjaan
Vol. 14 No. 2, Edisi Juli – Desember 2019 ISSN : 1907 - 6096

I. PENDAHULUAN perekrutannya, calon pekerja migran banyak


yang mengalami penipuan, misalnya dengan
A. Latar Belakang iming-iming gaji yang besar, sehingga banyak
dari mereka yang tidak menyadari telah
Sektor perikanan dan sumber daya laut menjadi korban perdagangan manusia. (IOM,
mempunyai potensi yang besar di kawasan 2016)
Asia Tenggara. Mayoritas negara anggota Salah satu contoh kasus eksploitasi
Association of South East Asian Nations pekerja migran sektor perikanan laut adalah
(ASEAN), terkecuali Laos, mempunyai kasus perbudakan ABK oleh pemilik dan
wilayah laut. Bahkan beberapa negara Kapten kapal di Benjina, Maluku. Di pulau
ASEAN, seperti Indonesia dan Filipina, adalah Benjina dan perairan sekitarnya, ratusan orang
negara kepulauan dengan potensi terperangkap dan dipekerjakan secara paksa
pengembangan industri sektor perikanan yang oleh Kapten kapal untuk bekerja lebih dari 20
menjanjikan. Salah satu faktor utama dalam jam per hari diatas kapal di tengah laut, dan
mengembangkan sebuah industri adalah hampir mustahil untuk meloloskan diri.
adanya tenaga kerja yang kompeten. Pelaku Walaupun berada di wilayah Indonesia, para
industri perikanan tentu menginginkan tenaga korban dan pelaku perdagangan manusia
kerja yang murah sehingga bisa mengurangi berasal dari negara ASEAN lainnya. Para
ongkos produksi. Dengan demikian maka korban sebagian besar berasal dari Kamboja,
perusahaan dapat menekan harga produk agar Myanmar, Laos dan juga Thailand yang
tetap bersaing, walaupun terkadang direkrut melalui tipu daya ke dalam industri
mengorbankan kesejahteraan para Anak Buah perikanan di Thailand. Kapal-kapal penangkap
Kapal (ABK), termasuk didalamnya adalah ikan Thailand tersebut menangkap ikan di
nelayan migran. Perusahaan-perusahaan perairan Indonesia dengan mengubah
cenderung menggunakan tenaga kerja yang benderanya menjadi bendera Indonesia ketika
murah tanpa asuransi kecelakaan kerja dan tiba di Benjina. Bahkan beberapa kapal
perlndungan keselamatan apa pun. Penelitian Thailand berusaha untuk mendaftar secara
Food and Agricultural Organization (FAO) tidak sah di Indonesia dengan cara menyuap
dan United States Institute for Occupational pihak yang berwenang. Praporn Ekoru,
Safety and Health (Instansi Keselamatan dan seorang mantan anggota parlemen Thailand,
Kesehatan Kerja Amerika Serikat) mengaku kepada Associated Press (AP) bahwa
menemukan bahwa para nelayan memiliki dia telah menyuap pejabat-pejabat pemerintah
risiko keselamatan kerja lebih besar dalam Indonesia untuk masuk ke perairan Indonesia,
perikanan kompetitf daripada dalam perikanan dan mengeluh bahwa tindakan tegas
berbasis kuota. Publikasi ILO tahun 2006 juga pemerintah Indonesia saat ini telah merugikan
menyatakan bahwa “Para tenaga kerja bisnisnya. (AP Investigation, 2015)
penangkapan ikan adalah di antara yang paling
dieksploitasi apabila dibandingka dengan B. Permasalahan
sektor-sektor migran lainnya. Kondisi kerja
pada kapal-kapal penangkapan ikan bahkan Berkaca pada maraknya kasus
lebih buruk dari kondisi pada pabrik-pabrik eksploitasi pekerja di sektor perikanan laut,
pengolahan ikan. Kerja paksa bukan hal yang maka negara-negara anggota ASEAN harus
aneh pada kapal penangkapan ikan.” membuat suatu mekanisme perlindungan
Temuan dari FAO, Instansi terhadap pekerja yang lebih komprehensif.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Amerika Mekanisme perlindungan bagi pekerja di
Serikat dan ILO memperkuat indikasi adanya sektor perikanan laut sudah tertuang dalam
eksploitasi yang berlebihan terhadap pekerja ILO Work in Fishing Convention atau WIF
migran dalam sektor industri perikanan laut. Convention 2007 (No.188). Namun demikian,
Bahkan ditengarai adanya tindak pidana masih banyak kendala dan permasalahan
Trafficking in Person (TIP) atau Tindak dalam implementasi WIF Convention tersebut
Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dalam di kawasan Asia Tenggara.
industri perikanan laut karena banyak proses
perekrutan pekerja migran tidak melalui
prosedur yang resmi. Dalam proses

113
Jurnal Ketenagakerjaan
Vol. 14 No. 2, Edisi Juli – Desember 2019 ISSN : 1907 - 6096

C. Tujuan Penelitian hadir dan melakukan observasi secara


langsung dalam the Consultative Forum on
Paper ini berupaya memberikan Regional Cooperation against Human
gambaran dan analisis kerjasama regional Trafficking, Labour Exploitation and Slavery
untuk meningkatkan perlindungan pekerja, at Sea (the Bali Forum) dan Workshop on
terutama pekerja migran, di sektor perikanan Strengthened Regional Coordination to
laut. Combat trafficking and Labour Exploitation in
Fisheries dan Workshop to Promote Decent
II. Metodologi Work for Fisheries in Southeast Asia (SEA
Forum for Fishers) yang diselenggarakan di
Studi dalam paper ini menggunakan Bali pada tahun 2018.
pendekatan kualitatif dengan teknik Sedangkan pengolahan data sekunder
pengumpulan data melalui studi kepustakaan atau “desk study” dilakukan dengan
dan observasi mendalam untuk memperoleh menganalisis data sekunder yang telah ada
informasi yang dibutuhkan seputar isu sebelumnya. Data sekunder bisa diperoleh dari
perlindungan nelayan migran di sektor berbagai macam sumber tertulis yang berasal
perikanan laut. Dengan demikian, ada dua dari dokumen resmi, buku, internet dan
jenis data yang digunakan dalam dalam paper sumber data lainnya. Data utama diperoleh
ini, yaitu data sekunder dengan menganalisis dari publikasi yang dikeluarkan oleh ILO,
data ataupun dokumen yang diperoleh dari IOM dan FAO yang disebarkan dalam bentuk
studi kepustakaan, dan data primer yang buku dan dokumen di internet yang bisa
dirangkum dari observasi yang dilakukan diakses secara bebas dengan ditunjang dengan
dilapangan. literatur lain yang sesuai dengan tema
Data primer dari penelitian ini penelitian ini
didapatkan dengan menggunakan metode Rentang waktu pengumpulan data
participant observation atau observasi yang penelitian adalah dari tahun 2017 sampai
dilakukan dengan keterlibatan peneliti di dengan tahun 2019. Data yang terkumpul
dalam obyek yang tengah ditelitinya. Spradley kemudian diolah dan dianalisis dengan
sendiri membagi participants observations ke menggunakan metode analisis deskriptif guna
dalam lima tipe yaitu: memperoleh gambaran dan keterangan sesuai
1. Non Participatory: Peneliti tidak data yang diperoleh mengenai SEA Forum for
berhubungan dengan populasi yang Fisher sebagai salah satu alternatif mekanisme
diteliti perlindungan bagi pekerja migran yang
2. Passive Participation: Peneliti hanya bekerja di sektor perikanan laut pada kawasan
berperan menjadi pengamat Asia Tenggara.
3. Moderate Participation: Peneliti
mempertahankan keseimbangan peran III. TINJAUAN PUSTAKA
sebagai “orang dalam” dan “orang
luar” A. Kebijakan Perlindungan Pekerja di
4. Active Participation: Peneliti menjadi Sektor Perikanan Laut
bagian dari kelompok atau obyek yang
diteliti dengan mengembangkan ASEAN merupakan salah satu
kemampuan dan kebiasaan kelompok organisasi regional yang memberi perhatian
dimaksud agar bisa mendapatkan terhadap perlindungan pekerja migran. Pada
pemahaman yang ebih menyeluruh tahun 2007, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
5. Complete Participation: Peneliti telah ASEAN keduabelas di Cebu Filipina
terintegrasi secara menyeluruh dengan menghasilkan Declaration on Protection and
populasi (biasanya peneliti tersebut Promotion the rights of Migrant Workers.
telah menjadi bagian dari kelompok Deklarasi tersebut menjadi tonggak bagi
tersebut sebelum penelitian pengakuan kontribusi pekerja migran di dalam
berlangsung) (Spradley, 1980) dan luar negeri dan juga menggarisbawahi
Dari pendapat Spradley tersebut, pentingnya perlindungan terhadap hak,
penelitian ini dilakukan dengan metode peningkatan kesejahteraan dan martabat
passive participation karena peneliti turut pekerja migran. Deklarasi ini merupakan
sebuah pernyataan yang masih harus

114
Jurnal Ketenagakerjaan
Vol. 14 No. 2, Edisi Juli – Desember 2019 ISSN : 1907 - 6096

diwujudkan dalam sebuah tindakan yang selama periode mereka bekerja di luar
nyata. (Pasadilla, 2011) negeri.
Pekerja migran sendiri bisa dibedakan 6) Permanent migration: Generasi kedua
menjadi dua berdasarkan lokasi dia bekerja, atau ketiga dari kelompok masyarakat
yaitu land-based dan sea-based. Perlindungan nelayan yang terasimilasi dengan
terhadap pekerja migran sendiri juga berbeda populasi di negara lain dan pada
karena keduanya memiliki karakteristik yang akhirnya akan berganti
khas. Salah satu contoh karakteristik yang kewarganegaraan.
khas bagi para pekerja di sektor perikanan laut 7) Contractual migration: Migrasi yang
adalah jumlah waktu istirahat dan waktu termotivasi dengan Perjanjian Kerja
bekerja yang berbeda dengan mereka yang yang telah ditandatangani di negara
bekerja di darat. Waktu istirahat dan waktu asal. Durasi kontrak bisa selama satu
bekerja lebih fleksibel karena disesuaikan tahun atau lebih dan nelayan akan
dengan kondisi pada saat penangkapan ikan, kembali ke negara asal dalam periode
seperti cuaca atau pergerakan ikan. Perbedaan tersebut.
waktu istirahat dan bekerja ini bisa 8) “Stop-over” migration: Migran yang
menimbulkan eksploitasi seperti yang dialami berniat untuk melanjutkan migrasi
oleh ABK di Benjina. Dengan demikian, mereka tetapi berhenti dalam durasi
diperlukan mekanisme perlindungan yang yang panjang atau pendek di tempat
khusus bagi pekerja migran yang bekerja di tertentu untuk memulihkan dan
sektor perikanan laut. mengatur kembali perjalanannya
Jean-Calvin Njock dan Lena Westlund (Njock & Westlund, 2010).
sendiri membagi migrasi di sektor perikanan,
terutama perikanan rakyat dalam skala yang Dalam konteks hukum internasional
kecil, menjadi delapan yaitu sebagai berikut: sendiri sebenarnya telah diatur mekanisme
1) International migration: Migrasi yang perlindungan melalui konvensi dan perjanjian
melewati batas negara, biasanya internasional terhadap keselamatan dan
dilakukan dalam periode yang panjang kesejahteraan pekerja di sektor maritim.
dan juga pendek. Berikut adalah beberapa konvensi dan
2) Internal migration: Migrasi yang perjanjian internasional tersebut:
terjadi antar pemukiman nelayan yang 1) Maritime Labour Convention
berada dalam lingkup satu negara (Konvensi Pekerja Maritim) tahun
dengan tujuan untuk mendapatkan 2006. Konvensi ini dikenal juga
hasil tangkapan ikan yang lebih baik dengan nama “Seafarer’s Bill of
atau untuk mendapatkan fasilitas atau Rights” (Nota Hak-Hak Pelaut);
harga ikan yang lebih baik pada 2) International Convention on
periode tertentu dalam satu tahun atau Standards of Training, Certification
lebih. and Watchkeeping for Seafarers
3) Short-term migration: Migrasi yang (Konvensi atas Standar Pelatihan,
bertahan hanya beberapa minggu tapi Sertifikasi, dan Pengawasan terhadap
kurang dari satu musim penangkapan Pelaut) tahun 1978;
ikan. 3) Torremolines Protocol and Cape
4) Seasonal migration: Kelompok Town Agreement (Protokol
masyarakat nelayan, yang terkadang Torremolines and Perjanjian Cape
meliputi satu keluarga, yang menetap Town) tahun 1977, yang mengatur
dalam pemukiman penangkap ikan tentang persyaratan keamanan dan
asing selama satu atau dua musim dan keselamatan kapal ikan;
akan kembali ke rumah pada satu 4) ILO Forced Labour Convention
waktu tertentu. (Konvensi Kerja Paksa ILO) tahun
5) Long-term migration: Kelompok 1930 yang menekan pengunaan tenaga
masyarakat nelayan yang menetap di kerja paksa atau wajib kerja dalam
luar negeri selama beberapa tahun (20- bentuk apapun di waktu yang
40 tahun bahkan lebih) tetapi selalu sesingkat-singkatnya.
kembali ke negara asal, secara mandiri 5) Seafarers Identity Documents
Convention (Konvensi atas Dokumen

115
Jurnal Ketenagakerjaan
Vol. 14 No. 2, Edisi Juli – Desember 2019 ISSN : 1907 - 6096

Identitas Pelaut) tahun 2003 yang upah nelayan, akomodasi termasuk ruang
mewajibkan negara anggotanya untuk tidur, area sanitary, dan makanan; pelayanan
menerbitkan dokumen identitas pelaut. medis, perlindungan kesehatan dan jaminan
(IOM, 2016) sosial; dan isu lainnya seperti mematuhi
ketentuan bagi kapal asing yang beroperasi di
Konvensi dan perjanjian internasional zona ekonomi eksklusif dari negara-negara
diatas mayoritas ditujukan terhadap pelaut atau anggota yang telah meratifikasi WIF
awak kapal (seafarer) yang bekerja di sektor Convention 2007 (No.188). (ILO,2014).
perdagangan atau jasa, bukan sektor perikanan
laut (terkecuali Protokol Torremolines and B. Tindakan dalam Melindungi Pekerja
Perjanjian Cape Town tahun 1977). Migran di Sektor Perikanan Laut
Sedangkan untuk perlindungan yang lebih
khusus kepada nelayan (fisher) yang bekerja di Ratner dkk. berargumen bahwa
sektor perikanan diatur dalam WIF Convention terdapat beberapa prioritas untuk segera
2007 (No. 188) dan juga The Work in Fishing diambil tindakan dalam menanggulangi
Recommendation tahun 2007 (no. 199) yang permasalahan yang dialami oleh pekerja di
bersifat tidak mengikat. sektor perikanan. Dengan berlandaskan pada
Tujuan dari WIF Convention 2007 pendekatan yang mengedepankan hak asasi
(No. 188) adalah untuk memastikan bahwa manusia, Ratner dkk. menawarkan tiga
nelayan mendapatkan kondisi pekerjaan yang prioritas tindakan yang bisa diambil:
layak diatas kapal penangkap ikan berdasarkan (a) memperkuat dokumen yang ada,
persyaratan minimal dalam bekerja di atas meningkatkan kewaspadaan dan respon
kapal; kondisi pelayanan, akomodasi dan terhadap pelanggaran hak pekerja;
makanan, keselamatan kerja dan perlindungan (b) mengaplikasikan pendekatan berbasis hak
kesehatan dan perawata medis dan jaminan asasi manusia untuk mengatasi akar dari
sosial. Ketentuan yang diatur dalam WIF kerentanan dan pengucilan komunitas
Convention 2007 (No. 188) mencakup yang bergantung dari penangkapan ikan;
beberapa isu utama: usia minimal untuk (c) mendukung advokasi hak asasi manusia
bekerja, pemeriksaan kesehatan, waktu sebagai pendorong dalam reformasi di
istirahat, daftar awak kapal, perjanjian kerja, sektor perikanan.
pemulangan atau repatriasi, rekrutmen dan Memperkuat mekanisme dalam
penempatan, pembayaran upah nelayan, perluasan akses perlindungan hukum dapat
akomodasi dan makanan, perawatan membantu pengambilan respon yang cepat
kesehatan, keselamatan kerja dan kesehatan dalam menyelesaikan kasus pekerja yang
serta pencegahan kecelakaan kerja, jaminan dilanggar hak-haknya. Tindakan ini termasuk
sosial, sakit terkait pekerjaan, kematian dan memperkuat mekanisme formal seperti
luka akibat bekerja, serta kepatuhan dan pengadilan dan saluran resolusi perselisihan
penerapannya. WIF Convention 2007 (No. yang disponsori negara, termasuk misalnya
188) berlaku bagi semua kapal ikan komersial pemberdayaan otoritas tradisional untuk
dan akan berketetapan hukum 12 bulan setelah pengelolaan tanah dan air serta pembentukan
sepuluh ratifikasi oleh negara anggota ILO, program bagi dialog antar stakeholder. Dialog
yang delapan diantarannya adalah coastal yang dilakukan oleh para stakeholder dapat
countries atau negara dengan pesisir pantai. menjadi penyeimbang ketika kekuatan
WIF Convention 2007 (No.188) perundangan sangat lemah atau bahkan
mempunyai keunikan karena menghasilkan mempersulit dalam mengakses keadilan bagi
rekomendasi tersendiri yaitu The Work in para pekerja yang dilanggar hak-hak dasarnya.
Fishing Recommendation, 2007 (No. 199) Ratner dkk. mencontohkan asosiasi pengacara
yang berfungsi sebagai panduan yang lingkungan di Bangladesh yang telah
melengkapi konvensi itu sendiri. Rekomendasi membantu perempuan dan juga nelayan yang
tersebut mempunyai beberapa ketentuan yang terpinggirkan pada komunitas penangkap ikan
mencakup beberapa isu utama: kondisi untuk mendapatkan pengakuan secara hukum
minimal yang diperlukan untuk bekerja di atas Marjinalisasi dan kerentanan dalam
kapal ikan, kondisi pelayanan, termasuk komunitas pekerja perikanan menjadi
kondisi rekam pelayanan dan pembayaran perhatian Ratner dkk., terutama yang dialami

116
Jurnal Ketenagakerjaan
Vol. 14 No. 2, Edisi Juli – Desember 2019 ISSN : 1907 - 6096

oleh perempuan, anak-anak dan buruh miskin secara terpusat menjadi lebih terdesentralisasi.
yang tertarik untuk bekerja di kapal ikan Advokasi hak asasi manusia juga memepunyai
walaupun mengetahui resiko yang akan peranan yang besar pada reformasi bidang
dihadapi. FAO merupakan salah satu lembaga perikanan di Afrika Selatan. Peran nelayan
internasional yang mengadopsi pendekatan pada sektor perikanan skala kecil yang semula
yang berbasis hak asasi manusia dalam termarjinalkan, dapat berkembang dengan
program normatif dan bantuan teknis yang adanya keputusan peradilan di Afrika Selatan
diselenggarakannya. Selain itu terdapat sebagai hasil dari advokasi yang dilakukan
organisasi lainnya seperti International oleh kelompok masyarakat. Peradilan Afrika
Collective Support of Fishworkers (ICSF) Selatan memberikan mandat bahwa peraturan
yang terdiri dari perwakilan komunitas dan kerangka kebijakan baru dikembangkan
perikanan skala kecil di Asia yang berkumpul dengan mengakomodasi kepentingan nelayan
untuk menyatakan bahwa ‘‘perikanan yang tradisional secara lebih efektif. Pengalaman
dilakukan secara bertanggungjawab dapat yang bisa diambil dari Afrika Selatan
dijamin hanya jika hak asasi manusia dari mengilustrasikan bahwa untukk mendapatkan
komunitas nelayan, termasuk hak atas keadilan sosial bagi kelompok yang marjinal
pekerjaan yang layak dan standar tenaga kerja, membutuhkan lebih dari sekedar pengenalan
dan perkembangan manusia dapat dipenuhi”. adanya mekanisme penaturan perikanan yang
Sementara itu, Siem Reap Statement bersifat spesifik. Kelompok nelayan yang
memperinci hak-hak pekerja yang marjinal membutuhkan perlindungan melalui
membutuhkan perhatian yang meliputi “hak konstitusi pasca Apartheid (khusus Afrika
komunitas perikanan untuk mendapatkan Selatan) dan yang lebih penting adalah adanya
pelayanan dan jaminan sosial termasuk advokasi berlandaskan paradigma hak asasi
pendidikan dan kesehatan, dengan fokus manusia serta dukungan yang memungkinkan
khusus kepada pencegahan dan perawatan masyarakat rentan yang hidup dalam
penyakit seperti HIV/AIDS, akses bagi kemiskinan untuk mempengaruhi dan
perempuan terhadap sumber perikanan dan mendapatkan keuntungan dari reformasi hak-
juga dalam pengambilan keputusan yang hak pekerja perikanan (Ratner, Asgard, &
berpengaruh terhada kelangsungan hidupnya”. Allison, 2014)
Perempuan sering berada di posisi yang rentan Beberapa tindakan lain telah diambil
tetapi juga mempunyai peran yang krusial oleh beberapa pihak untuk menanggulangi
dalam menopang keuntungan sosial dan eksploitasi pekerja di sektor perikanan laut.
ekonomi yang dihasilkan oleh sektor Melissa Marschke dan Peter Vandergeest
perikanan. Ratner dkk. memberi contoh mengklasifikasikan tindakan tersebut menjadi
pembentukan manajemen bersama di Uganda empat jenis yaitu anti-trafficking,
yang mendasarkan pada kebijakan kesetaraan Penanggulangan IUU (Illegal, Unreported and
gender untuk memastikan keterwakilan Unregulated) Fishing, tekanan dari pembeli
perempuan pada komite manajemen dalam supply-chain dan kebijakan nasional
pengelolaan pantai baru yang menghubungkan negara. Pendekatan anti-trafficking sering
antara otoritas perikanan tradisional dengan diterapkan dalam kasus pelanggaran hak asasi
pemerintah daerah. pekerja migran yang diindikasikan menjadi
Prioritas tindakan terakhir menurut korban dalam Tindak Pidana Perdagangan
Ratner dkk. adalah mendorong advokasi hak Orang (TPPO). Namun demikian, framing
asasi manusia sebagai pendorong dalam anti-trafficking kurang dapat melindungi dari
reformasi bidang perikanan. Ratner dkk. segi permasalahan migrasi tenaga kerja yang
memberi contoh advokasi hak asasi yang oleh ruang lingkupnya lebih luas. Dalam
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang pelaksanaannya, aparat penegak hukum yang
dilakukan di Filipina telah memainkan peranan menggunakan pendekatan anti-trafficking
yang besar terhadap reformasi yang telah cenderung menyederhanakan permasalahan
dilakukan pemerintah pada bidang perikanan. yang kompleks. Sebagai contoh, aparat
Pola manajemen bersama yang diterapkan memposisikan calo pekerja migran sebagai
LSM di Filipina menjadi sarana untuk tersangka tidak menyelesaikan akar
mengubah paradigma pengelolaan sumber permasalahan kerentanan calon pekerja migran
daya kelautan yang sebelumnya dilakukan

117
Jurnal Ketenagakerjaan
Vol. 14 No. 2, Edisi Juli – Desember 2019 ISSN : 1907 - 6096

terhadap keberadaan calo itu sendiri yang mendapatkan keuntungan dalam perekrutan
terkadang adalah kerabat dekatnya. pekerja migran secara non prosedural.
Penanggulangan IUU Fishing telah Langkah yang terakhir adalah
diterapkan di Uni Eropa dengan menerapkan kebijakan domestik yang diambil oleh
regulasi untuk memperketat impor hasil laut pemerintah. Marschke dan Vandergeest
yang ditengarai berasal dari praktik IUU berargumen bahwa kebijakan domestik suatu
Fishing. Tindakan yang telah diambil oleh Uni negara mempunyai keunggulan dapat
Eropa merupakan salah satu langkah yang mencakup isu migrasi dan ketenagakerjaan
efektif untuk mengurangi IUU Fishing yang yang lebih luas dan dapat menjangkau akar
dilakukan oleh okunum yang tidak permasalahan yang berada pada lingkup
bertangungjawab di negara pengekspor hasil wilayah negara dimaksud. Kelebihan lainnya
laut. Namun demikian, masih terdapat adalah pemerintah mempunyai regulasi yang
beberapa kelemahan yang membuat kebijakan mencakup seluruh warga negara sehingga
Uni Eropa ini tidak terlalu maksimal. Pertama, secara legalitas lebih mengikat dibandingkan
kebijakan Uni Eropa tidak terlalu menekankan tindakan yang diambil oleh pembeli dalam
pada pelanggaran bidang ketenagakerjaan, supply-chain. Kekurangan yang ada dalam
sehingga beberapa negara yang terindikasi kebijakan domestik adalah pada tataran
masih banyak permasalahan ketenagakerjaan implementasi. Kesulitan yang terjadi adalah
masih bisa mengekspor hasil laut ke Uni kurangnya koordinasi diantara lembaga
Eropa. Kedua, penanggulangan terhadap IUU pemerintahan, adanya ego sektoral dan juga
Fishing hanya dilakukan oleh Uni Eropa, respon yang sering kali lebih lambat
sehingga negara yang kurang bergantung dibandingkan dengan pihak swasta (Marscke
kepada ekspor perikanan ke Uni Eropa dan & Vandergeest, 2016).
memiliki rekam jejak yang buruk terkait IUU
Fishing tidak terpengaruh dengan kebijakan
ini. IV. HASIL PENELITIAN
Salah satu tindakan yang mempunyai
peluang besar untuk bisa mengurangi A. Kendala Implementasi Mekanisme
eksploitasi pekerja migran adalah respon Perlindungan Pekerja di Sektor
internasional yang signifikan dari pembeli Perikanan Laut
hasil laut yang mayoritas berasal dari negara-
negara maju di belahan utara. Marchske dan Statistik global yang dipublikasikan
Vandergeest mengidentifikasi dua pendekatan oleh FAO menunjukan bahwa pada tahun
yang diambil oleh para pembeli dalam 2012 sekitar 16,4 juta orang bekerja atau
melakukan seleksi produk hasil perikanan laut terlibat dalam sektor perikanan laut dengan
yang akan mereka beli. Pertama adalah hasil tangkapan sekitar 81 juta ton. Sementara
melalui sertifikasi yang dilakukan oleh pihak sektor penangkapan menyerap tenaga kerja
ketiga yang ditunjuk oleh pembeli. Kedua perikanan yang besar, sektor lainnya seperti
adalah melalui regulasi berupa persyaratan pemrosesan dan pemasaran hasil produksi laut
tertentu yang diterapkan kepada supplier, juga menyerap tenaga kerja yang cukup
bekerja sama dengan agensi atau organisasi signifikan. Dari setiap pekerja yang
yang bersifat nirlaba dan mempunyai dipekerjakan di sektor penangkapan ikan,
spesialisasi di bidang perlindungan tenaga terdapat sekitar tiga atau empat pekerjaan yang
kerja. Para pengamat cukup optimis dengan bergerak pada kegiatan sekunder seperti
dampak posistif yang dihasilkan walaupun pemrosesan, perdagangan dan juga pemasaran.
program yang diterapkan oleh calon pembeli Dengan demikian, jika diambil rata-rata setiap
potensial ini masih cukup baru sehingga belum pekerja menghidupi tiga orang anggota
dapat diperoleh data informasi hasil yang telah keluarga, maka dapat diperkirakan secara
dicapai. Namun demikian, terdapat keseluruhan sektor perikanan tangkap dan
keterbatasan dalam penerapan program ini. budidaya perikanan berkontribusi terhadap
Hampir serupa dengan tindakan lainnya, hajat hidup 10-12 persen populasi dunia.
boikot yang dilakukan oleh pembeli dari Distribusi atau penyebaran nelayan atau
negara-negara maju kurang memperhatikan pekerja migran di sektor perikanan laut dan
kemungkinan peran dari calo yang budidaya perikanan mayoritas terdapat di Asia

118
Jurnal Ketenagakerjaan
Vol. 14 No. 2, Edisi Juli – Desember 2019 ISSN : 1907 - 6096

sebanyak 84 persen dan diikuti oleh Afrika sangat besar. Data statistik di Indonesia saja,
dan Amerika Latin Karibia masing-masing diperkirakan 3,8 juta penduduk Indonesia
dengan persentase sebesar 10 persen dan 4 bekerja dalam industri perikanan hilir ke hulu.
persen. Eropa dan Afrika Utara yang memiliki Dari 3,8 juta tenaga kerja, sebanyak 2.641.967
populasi lebih kecil dan secara ekonomis orang bekerja sebagai nelayan (awak
mengalami penurunan jumlah orang yang kapal/kapten kapal/pawang laut) di laut dalam
bekerja secara aktif di bidang pertanian, 550.000 kapal penangkap ikan, dan sisanya
mengalami penurunan yang sangat besar 913.788 orang bekerja dalam industri
dalam jumlah populasi yang bekerja di perikanan lainnya seperti Unit Pengolahan
dibidang penangkapan ikan dan juga budidaya Ikan (UPI) (IOM, 2016).
perikanan. Tren ini berkaitan juga dengan Dengan potensi yang sangat besar
penurunan jumlah produksi penangkapan dan tersebut, maka pelaku industri perikanan laut
budidaya perikanan. Afrika dan Asia dengan di negara ASEAN tidak hanya merekrut
populasi dan pertumbuhan ekonomi di bidang pekerja domestik tetapi juga tenaga kerja dari
pertanian yang cukup besar, menunjukkan luar negaranya. Perekrutan tenaga kerja ini
perkembangan jumlah populasi yang bekerja bisa dari sesama negara anggota ASEAN atau
di bidang penangkapan ikan dan jumlah juga dari negara di luar kawasan Asia
tersebut lebih besar lagi di bidang budidaya Tenggara. Negara yang melakukan perekrutan
perikanan. Tren ini berbanding lurus dengan ini adalah negara tujuan nelayan migran
meningkatnya produksi hasil penangkapan dan seperti Thailand. Sebaliknya, ada negara
budidaya perikanan (FAO, 2016) ASEAN yang mengirim tenaga kerjanya untuk
Secara khusus, data dari FAO dalam bekerja ke sektor perikanan laut di luar negeri,
The State of World Fisheries and Aquaculture baik ke sesama negara ASEAN maupun ke
(Kondisi Perikanan dan Budidaya Perairan luar kawasan ASEAN. Indonesia merupakan
Dunia) menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara pengirim nelayan migran, walaupun
penghasil penangkapan ikan terbesar kedua di sebagian besar bekerja di negara di luar
dunia setelah Tiongkok dengan jumlah kawasan Asia Tenggara seperti di Taiwan,
produksi ikan mencapai 5.420.247 ton pada Jepang ataupun Korea Selatan. Dengan
tahun 2012 (7,3% dari produksi ikan dunia). demikian, di kawasan ASEAN sendiri terdapat
Vietnam menduduki peringkat kesembilan negara pengirim dan negara tujuan nelayan
dengan jumlah produksi 2.418.700 ton dan migran. Berikut adalah tabel jumlah nelayan
Filipina di posisi kedua belas dengan jumlah migran yang berasal dan berada di kawasan
produksi 2.127.046 ton. Asia Timur dan Tenggara:
Di sektor tenaga kerja, Industri
perikanan laut menyerap tenaga kerja yang

Tabel 1. Jumlah Nelayan Migran Sektor Perikanan Laut Yang Berasal Dan Berada
di Kawasan Asia Timur dan Tenggara

Negara Negara Tujuan


Pengirim Jepang Malaysia Korea Selatan Taiwan Thailand
Kamboja 66 Bagian dari 41.128
Tiongkok 157 721
Indonesia ± 4.000 1.666 2.043 7.718
Laos Bagian dari 41.128
Myanmar Bagian dari 41.128
Filipina 354 3.988
Thailand 25.268
Vietnam 1.771 961 1.900
Negara lainnya 6.743 281 1.762
Total 4.000 35.975 4.006 24.867 41.128
Sumber: Dokumen ASEAN on Work in Fishing 2014

119
Jurnal Ketenagakerjaan
Vol. 14 No. 2, Edisi Juli – Desember 2019 ISSN : 1907 - 6096

Banyak faktor yang menyebabkan yang menangkap ikan di lautan lepas.


banyaknya nelayan untuk bekerja di luar Penurunan stok ikan di beberapa wilayah
negeri. Dari sisi nelayan migran sendiri, alasan penangkapan ikan disebabkan oleh kesalahan
untuk melakukan migrasi dan mencari pengelolaan industri perikanan yang
pekerjaan di negara lain hampir sama dengan mengizinkan penggunaan peralatan
para pekerja migran lainnya. Alasan seperti penangkapan ikan yang tidak ramah
permasalahan ekonomi atau konflik sosial dan lingkungan, kesalahan pengelolaan penerbitan
politik di negara asal masih menjadi beberapa izin penangkapan ikan yang tidak sesuai
penyebab utama terjadinya migrasi para dengan kapasitas sumber daya, dan jumlah
pekerja di sektor perikanan. Njock dan kapal penangkap ikan yang melampaui kuota,
Westlund dalam penelitiannya di Afrika dan kegiatan-kegiatan penangkapan ikan
mengidentifikasi beberapa faktor yang ilegal. Faktor-faktor ini menimbulkan
menyebabkan nelayan untuk bermigrasi yaitu eksploitasi dalam jumlah yang sangat besar
sebagai berikut: yang menyebabkan penangkapan ikan berlebih
1) Penurunan jumlah hasil tangkapan di sehingga mendorong nelayan tradisional untuk
dalam negeri yang membuat kondisi bermigrasi dan mencari penghidupan yang
menjadi semakin berat bagi nelayan. lebih baik.
Permasalahan ini diperburuk dengan FAO menggambarkan bahwa berbeda
tidak tersedianya alternatif untuk bekerja dengan permasalahan TPPO pekerja migran
di bidang pertanian di kawasan Afrika yang bekerja pada land-based yang sering
karena kondisi negaranya yang tidak dikaitkan dengan terminologi negara “asal”,
mendukung. “transit” dan “tujuan”, maka dikotomi tersebut
2) Dengan bekerja di luar negeri, maka tidak dapat diterapkan sepenuhnya dalam
nelayan dapat menabung karena permasalahan TPPO yang terjadi pada pekerja
kebutuhan sehari-hari tidak terlalu besar migran yang bekerja di sektor perikanan laut.
ketika berada di kapal penangkap ikan. Pembahasan lebih lanjut terkait terminologi ini
Uang yang dihasilkan nelayan migran juga akhirnya memunculkan perbedaan terkait
sering dinvestasikan dalam aset yang dengan apakah pemahaman negara “asal”,
produktif atau dibelikan rumah di negara “transit” dan “tujuan” dapat diaplikasikan
asalnya. kepada lokasi dari kapal atau bendera yang
3) Adanya kebiasaan turun temurun yang dipakai oleh kapal ikan tersebut.
menganggap perairan teritorial negara Dalam kajian yang telah dilakukan
tetangga adalah wilayah perairan oleh FAO, walaupun nelayan migran dapat
tradisional nelayan sebelum berdirinya memperoleh keuntungan dari kesempatan
negara modern sehingga nelayan kerap bekerja yang telah didapatkan dan penghasilan
melakukan penangkapan ikan di wilayah yang lebih besar, namun demikian status
negara tetangga. Kebiasaan ini sering sebagai pekerja migran membuat mereka
didukung dengan persamaan budaya mengalami berbagai kesulitan untuk sekadar
dengan etnis di wilayah negara lain dapat bekerja secara layak dalam
sehingga tidak terdapat perasaan kesehariannnya dan juga mendapatkan hak-
canggung ketika menangkap ikan di hak dasarnya. Nelayan migran rawan akan
wilayah perairan negara tetangga. eksploitasi karena mereka tidak mengetahui
4) Nelayan kerap mencari jenis ikan baru apa yang menjadi hak dasar mereka ketika
yang tidak terdapat di wilayah perairan bekerja di kapal asing atau juga mereka sering
negaranya dan juga untuk membuka berada di posisi yang lemah untuk menuntut
akses pasar yang lebih besar di negara perjanjian kerja yang lebih layak atau untuk
tetangganya (Njock & Westlund, 2010). mengakses bantuan dibidang hukum jika
terjadi pelanggaran terhadap hak-haknya
Dari beberapa faktor tersebut, ada sebagai pekerja. Banyak kasus yang
salah satu penyebab terjadinya migrasi nelayan menunjukkan bahwa neleyan migran tidak
ke luar negeri yang berbeda dengan pekerja mendapatkan perjanjian kerja secara tertulis,
migran lainnya. Faktor tersebut adalah adanya tidak dibayar secara tepat waktu, dan tidak
penangkapan ikan yang berlebih di wilayah mempunyai akses pada layanan kesehatan.
laut teritorial sehingga mendorong nelayan Nelayan migran mempunyai resiko yang tinggi
tradisional untuk bekerja di kapal-kapal asing

120
Jurnal Ketenagakerjaan
Vol. 14 No. 2, Edisi Juli – Desember 2019 ISSN : 1907 - 6096

terhadap terjadinya kerja paksa dan TPPO, dan menambah rumitnya permasalahan (FAO,
anak nelayan migran sering terpaksa bekerja 2016).
untuk membantu orang tuanya. Kemiskinan Dalam pertemuan regional ILO
adalah salah satu faktor, tetapi juga tanggal 12-13 September 2013 di hotel Aston,
keterbatasan akses pendidikan di tempat tujuan Makassar yang berjudul tentang Work in
bekerja. Kendala bahasa atau tingkat Fishing: Increased Knowledge Base and
pendidikan yang rendah menyebabkan nelayan Sharing Good Practices for Protection of
migran tidak terlatih atau kurang menyadari Migrant Workers, dan dihadiri oleh
tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja perwakilan dari pemerintah, pengusaha dan
(K3). Mereka juga lebih terekspos dengan organisasi pekerja, telah diidentifikasi
penyakit seperti HIV dan AIDS dan penyakit berbagai macam permasalahan dalam
seksual menular lainnya karena gaya hidup implementasi perlindungan pekerja di sektor
dan kondisi bekerja karena keadaan yang perikanan.
mengharuskan mereka jauh dari rumah dalam Salah satu temuan dari pertemuan
jangka waktu yang panjang. regional ILO tersebut adalah adanya
Permasalahan lainnya yang dihadapi perbedaan kebijakan nasional negara-negara
oleh nelayan migran adalah mereka sebagian ASEAN terhadap prosedur rekrutmen dan
besar bekerja secara non prosedural atau tidak penempatan tenaga kerja di sektor perikanan.
mempunyai dokumen yang lengkap atau Dengan demikian terjadi celah antara
nelayan yang tidak mempunyai ijin sama kebijakan dan peraturan diantara negara
sekali sehingga mengalami kesulitan untuk penerima dan negara tujuan pekerja migran.
bisa meninggalkan tempat kerjanya ketika Gap atau celah yang ada ini kemudian menjadi
berlabuh dipelabuhan. Mereka dihambat untuk tantangan bagi implementasi mekanisme
direpatriasi, surat-surat disita, dipaksa untuk perlindungan pekerja migran yang bekerja di
bekerja dalam waktu yang panjang dalam sektor perikanan laut (ILO, 2014).
kondisi yang tidak aman dan tidak sehat, dan Bagi negara pengirim pekerja migran
terkadang tidak mendapatkan pembayaran seperti Kamboja, Indonesia, Filipina dan
gaji, ditinggalkan di pelabuhan, diperas dan Vietnam, kendala utama adalah kurangnya
dikriminalisasi, ditempatkan dalam tempat kebijakan dan peraturan perundang-undangan
yang terisolasi serta dihambat dalam dalam melindungi nelayan migran yang
mendapatkan akses hukum. Perbedaan gender bekerja secara tidak sah di dalam negaranya.
juga berpengaruh dalam migrasi pekerja Kelemahan ini bisa menimbulkan
migran di sektor perikanan, karena laki-laki permasalahan seperti misalnya kasus
lebih mudah untuk bermigrasi secara perbudakan awak kapal di Benjina.
independen, sedangkan perempuan berimigrasi Permasalahan lainnya bagi negara
sebagai bagian dari keluarganya. pengirim nelayan migran adalah banyaknya
Permintaan akan tenaga kerja yang perekrutan yang tidak prosedural sehingga
muurah semakin meningkat dalam industri menimbulkan banyaknya nelayan migran yang
makanan hasil olahan laut netransional tidak sah (irregular migrant fishers) di negara
berkaitan dengan adanya kegiatan tujuan. Khusus untuk Indonesia, proses
penangkapan ikan yang berlebihan dan perekrutan dan penempatan bisa sangat
kompetisi yang semakin ketat. Dalam kompleks, membutuhkan waktu yang panjang
beberapa contoh kasus, negara terlihat enggan dan memakan biaya yang sangat besar.
untuk menerapkan peraturan ketenagakerjaan Bagi negara tujuan pekerja migran
yang akan berpengaruh terhadap penurunan seperti Jepang, Malaysia, Korea Selatan,
daya saing dalam menghasilkan produksi Taiwan dan Thailand, salah satu kendala
dalam pasar ekspor internasional. Isu adalah kebijakan dan peraturan yang kurang
lemahnya koordinasi antara negara pelabuhan melindungi nelayan migran dibandingkan
dengan negara bendera serta terbatasnya nelayan yang berasal dari negaranya sendiri.
kesadaran awak perusahaan, bersama dengan Dengan demikian, pekerja migran di sektor
lemahnya kapasitas penegakan hukum lepas perikanan laut di negara tujuan bisa
pantai di negara berkembang dimana TPPO mendapatkan perlakuan yang lebih buruk
dan kerja paksa seing terjadi semakin dibandingkan pekerja domestik karena
ketimpangan peraturan tersebut.

121
Jurnal Ketenagakerjaan
Vol. 14 No. 2, Edisi Juli – Desember 2019 ISSN : 1907 - 6096

Tantangan lainnya bagi negara tujuan dengan ukuran panjang di bawah dua puluh
nelayan migran adalah proses ijin untuk empat meter atau kapal yang berlayar kurang
bekerja bisa berlangsung sangat lama dan dari tiga hari. ILO memberi kebebasan kepada
kompleks, sehingga sering merugikan pekerja pemerintah negara-negara anggota untuk
migran. Selain itu kurangnya kapasitas dan membuat peraturan sendiri terhadap
sumber daya untuk mengimplemetasikan penempatan dan perlindungan pekerja di
kebijakan perlindungan kepada pekerja migran kapal-kapal yang lebih kecil dengan waktu
seperti yang dialami oleh Thailand. Dan pelayaran yang lebih pendek. Namun
tantangan terakhir adalah adanya perbedaan demikian, penulis berpendapat bahwa
bahasa dan budaya yang menghambat nelayan kebebasan yang diberikan oleh ILO tersebut
migran untuk mendapatkan keadilan jika bisa menjadi celah bagi para pelaku
mengalami permasalahan. perdagangan manusia atau pemilik kapal untuk
Kebebasan untuk berorganisasi dan bertindak sewenang-wenang terhadap anak
menyalurkan aspirasi dalam bentuk trade buah kapalnya.
union atau serikat pekerja juga menjadi salah
satu tantangan yang dihadapi oleh nelayan B. Kerjasama ASEAN dalam melindungi
migran di negara penempatan. Sejauh ini Nelayan Migran di Sektor Perikanan
hanya di Taiwan para nelayan migran Laut
mempunyai serikat pekerja yang mewakili
kepentingannya. Salah satu contoh serikat Negara-negara anggota ASEAN
pekerja ini adalah serikat pekerja migran di sendiri menyadari pentingnya perlindungan
sektor perikanan Taiwan yang berasal dari terhadap pekerja migran di sektor perikanan
Filipina. Namanya adalah Yilan County laut. The Southeast Asian Fisheries
Fishermen’s Trade Union yang beranggotakan Development Center (SEAFDEC) sebagai
89 orang pekerja perikanan darat dari Filipina badan pusat pengembangan perikanan ASEAN
dan dibentuk 25 Mei 2013. Tujuannya adalah telah merekomendasikan isu ketenagakerjaan
memperkuat suara buruh migran di Taiwan di bidang perikanan harus didiskusikan pada
dan secara kolektif bernegosiasi dengan level regional pada pertemuan dewan
pengusaha untuk memperjuangkan isu seperti SEAFDEC ke 47 pada tahun 2015. Dengan
jumlah jam kerja dan upah lembur yang tidak bantuan proyek SEAFDEC-Swedia, maka
dibayar. Organisasi ini kedepannya berniat SEAFDEC telah berhasil menyelenggarakan
untuk mengundang nelayan migran dari Regional Technical Consultation (RTC) yang
nnegara lain untuk bergabung didalamnya. pertama tentang aspek ketenagakerjaan dalam
ILO juga menggarisbawahi bahwa industri perikanan di ASEAN pada tanggal 25-
semua negara ASEAN ternyata belum 27 Februari 2016 di Bangkok, Thailand
meratifikasi WIF Convention 2007 (No. 188) sebagai forum regional bagi negara-negara
terkecuali Thailand yang telah meratifikasi dan Asia Tenggara untuk mendiskusikan isu
akan mulai berlaku pada tahun 2020. Patut ketenagakerjaan di sektor perikanan dan
dicatat bahwa hingga saat ini baru empat belas mengembangkan strategi untuk menyelesaikan
negara yang meratifikasi WIF Convention isu permasalahan tersebut. Forum RTC telah
2007 (No. 188) (ILO, 2019). Dengan mengidentifikasi beberapa isu ketenagakerjaan
demikian, partisipasi dari negara ASEAN di sektor perikanan seperti upah yang rendah
untuk segera meratifikasi WIF Convention dan jaminan sosial yang tidak layak.
2007 (No. 188) sangat dibutuhkan untuk RTC juga menyadari adanya
membuktikan keseriusan dalam peningkatan hubungan yang relevan antara sektor
perlindungan pekerja migran di sektor perikanan dan komitmen yang telah dibuat
perikanan laut. oleh negara-negara anggota ASEAN untuk
Tantangan terakhir adalah adanya mendukung kesejahteraan masyarakat di Asia
celah dalam ketentuan yang diatur dalam WIF Tenggara seperti yang telah diekspresikan
Convention 2007 (No. 188). Salah satu poin dalam “ASEAN Socio-Cultural Community
yang disorot dalam WIF Convention 2007 (No. Blueprint”, ASEAN Human Rights Declaration
188) adalah tidak mengatur rekrutmen, dan ASEAN Declaration on Protection and
penempatan dan perlindungan terhadap Promotion of the Rights of Migrant Workers
nelayan atau awak kapal yang bekerja di kapal (2007). Rekomendasi terakhir dari RTC adalah

122
Jurnal Ketenagakerjaan
Vol. 14 No. 2, Edisi Juli – Desember 2019 ISSN : 1907 - 6096

adanya ASEAN Guidelines on Implementation Fisheries (SEA Forum for Fishers). Forum ini
of Labor Standards for Fisheries Sector akan didesain sebagai inisiatif multi-
(Panduan ASEAN bagi implementasi standar stakeholder yang bersifat tidak mengikat untuk
ketenagakerjaan bagi sektor perikanan) yang memperkuat koordinasi diantara negara
sesuai dengan standar internasional dengan anggota untuk memerangi TPPO, kerja paksa,
keterlibatan stakeholders yang relevan dan modern-slavery dan juga eksploitasi pekerja di
organisasi internasional dan regional (ASEAN, sektor perikanan laut melalui pendekatan yang
2016). terintegrasi, holistik, sesuai dengan hak asasi
Kerjasama regional ASEAN dalam manusia (ILO, 2018).
melindungi nelayan migran terwujud dengan Konferensi ini juga menyepakati
adanya bantuan fasilitasi ILO dengan tema adanya sebuah Term of Reference (TOR) yang
ILO’s SEA Fisheries Project: Strengthened menjadi landasan bagi pembentukan SEA
Coordination to Combat Labour Exploitation Forum for Fisher. Salah satu bagian TOR
and Trafficking in Fisheries in Southeast Asia yang telah disepakati oleh peserta konferensi
in April 2017. Kegiatan ini bertujuan untuk adalah penegasan bahwa fase I atau durasi dari
mengurangi TPPO dan eksploitasi pekerja di SEA Forum for Fisher adalah sampai 31 Maret
bidang perikanan dengan memperkuat 2020 yang bisa diperpanjang kembali. Struktur
koordinasi pada level regional dan nasional kelembagaan SEA Forum for Fisher yang
dan bertindak sebagai inkubator bagi sebuah terdapat dalam TOR adalah adanya
Regional Coordination Body (RCB). Proyek keanggotaan, Technical Advisor, Steering
ini berbasis di Jakarta tapi meliputi seluruh Committee, Sekretariat dan Working Group.
kawasan Asia Tenggara. Anggota dari SEA Forum for Fisher terdiri
Inisiasi dari ILO ini kemudian dari otoritas pemerintah, serikat pekerja
diteruskan dalam sebuah forum yaitu the sebagai perwakilan pekerja dan Civil Society
Consultative Forum on Regional Cooperation Organizations (CSO) yang berada di Asia
against Human Trafficking, Labour Tenggara. Technical Advisors bisa terdiri dari
Exploitation and Slavery at Sea (the Bali lembaga riset atau akademis dan pakar di
Forum) di Bali pada tanggal 27 dan 28 Maret bidang teknis yang memberikan saran secara
2018 dengan bekerja sama dengan langsung atau tidak langsung kepada
Kementerian Koordinator Bidang Sekretariat. Steering Committee bertugas
Kemaritiman Indonesia. The Bali Forum memberikan arahan terhadap kegiatan yang
mengumpulkan berbagi stakeholders di dilaksanakan oleh SEA Forum for Fisher yang
ASEAN untuk mendiskusikan permasalahan keanggotaannya terdiri secara tripartit
TPPO, eksploitasi pekerja dan pelangaran hak mewakili pemerintah, pekerja dan pemberi
asasi manusia pada sektor perikanan laut. kerja di ASEAN dan masing-masing terdiri
Kesimpulan yang dihasilkan di the Bali Forum dari tiga orang. Sekretariat yang akan
antara lain adalah rekomendasi untuk menyediakan dukungan teknis dan
membentuk badan koordinasi regional yang adminsitratif kepada SEA Forum for Fisher
terfokus kepada permasalahan TPPO dan dan akan mendukung implementasi setiap
eksploitasi pekerja sektor perikanan laut yang keputusan yang diambilnya. Struktur
terjadi di kawasan Asia Tenggara. kelembagaan terakhir adalah Working Group
Pada bulan November 2018, ILO dibentuk oleh anggota dari SEA Forum for
menyelenggarakan the Southeast Asia Fishers untuk membahas isu yang menyangkut
Conference on Regional Coordination and kepentingan bersama, mengambil tindakan
Action to Combat Trafficking and Labour yang praktis pada level teknis, dan membantu
Exploitation in Fisheries yang terdiri dari dua meningkatkan kerjasama diantara para
workshops yaitu Workshop on Strengthened anggota. Para anggota sendiri bisa mengajukan
Regional Coordination to Combat trafficking usul untuk pembentukan Working Group pada
and Labour Exploitation in Fisheries dan tema atau subyek tertentu (ASEAN, 2018).
Workshop to Promote Decent Work for SEA Forum for Fishers sendiri
Fisheries in Southeast Asia (SEA Forum for mengeluarkan beberapa rekomendasi pada
Fishers). Konferensi ini menyepakati pelaksanaan Pertemuan Pleno yang Pertama
pembentukan the Southeast Asia Forum to pada tanggal 26-27 September 2019 di Jakarta.
End Human Trafficking and Forced Labour in Dengan Indonesia sebagai Chair dari Steering

123
Jurnal Ketenagakerjaan
Vol. 14 No. 2, Edisi Juli – Desember 2019 ISSN : 1907 - 6096

Committee, SEA Forum for Fishers celah yang ada dalam ILO WIF 2007 (No.
menghimbau kepada Negara Bendera untuk 188) dan juga mencakup sektor perikanan
melindungi nelayan dan pekerja migran yang yang lebih kecil.
bekerja diatas kapal yang memasang bendera 2) Pemerintah negara ASEAN, khususnya
mereka, terutama bagi kapal yang menangkap negara pengirim pekerja migran,
ikan di laut lepas. Rekomendasi lainnya adalah hendaknya mendukung pembentukan
mendorong pemerintah negara ASEAN dan trade union atau serikat pekerja migran di
Negara Bendera lainnya untuk mempercepat negara penempatan. Dukungan pemerintah
upaya untuk meratfikasi dan secara efektif bisa diwujudkan dalam pemberian bantuan
mengimplementasikan WIF Convention 2007 finansial atau penyuluhan. Jejaring atau
(No. 188) melalui konsultasi tripartit yang network serikat pekerja migran di sektor
melibatkan pemerintah, pengusaha dan juga perikanan ini diharapkan bisa membantu
pekerja. Selain itu, rekomendasi lainnya nelayan migran yang mengalami
adalah menghimbau negara pengimpor hasil permasalahan di negara penempatan.
laut untuk menerapkan regulasi yang lebih Serikat pekerja ini bisa dikategorikan
ketat untuk menghentikan penangkapan hasil sebagai bentuk transnational activism.
laut seperti yang telah dilakukan oleh Uni Menurut Sidney Tarrow, para aktivis ini
Eropa (ILO, 2019). mengandalkan sumber daya, network dan
kesempatan yang ada di masyarakat di
V. KESIMPULAN DAN tempat mereka berada. Salah satu karakter
REKOMENDASI yang menarik adalah adanya transformasi
yang dihasilkan dari aktifitas transnasional
A. Kesimpulan ini. Contohnya adalah transformasi dari
pekerja migran menjadi aktivis hak-hak
Kerjasama ASEAN dalam SEA Forum
pekerja migran (Tarrow, 2005). Jika
for Fishers merupakan salah satu alternatif
pemerintah negara ASEAN berperan
dalam mensosialisasikan dan
dalam pembentukan jejaring serikat
mengimplementasikan ILO WIF 2007
pekerja yang kuat di negara penempatan,
(No.188) sebagai mekanisme perlindungan
maka pemerintah negara ASEAN telah
bagi nelayan migran di kawasan Asia
membantu mewujudkan misi Pilar Sosial
Tenggara. SEA Forum for Fishers adalah salah
Budaya Masyarakat ASEAN untuk
satu inisiatif awal negara ASEAN yang
menuju ASEAN yang inklusif.
difasilitasi ILO yang bisa menawarkan
perspektif baru dan langkah kongkret yang Pembentukan SEA Forum for Fishers
bisa diambil dalam menanggulangi eksploitasi masih pada tahap awal sehingga masih terlalu
pekerja migran yang bekerja di sektor dini untuk bisa melakukan penilaian terhadap
perikanan laut. efektifitas kinerja yang dihasilkan dalam
mengurangi eksploitasi nelayan migran.
B. Rekomendasi Diharapkan negara di kawasan ASEAN bisa
memanfaatkan forum yang difasilitasi oleh
Terdapat beberapa hal yang bisa ILO ini sebagai sebuah agenda tetap di
diangkat untuk menjadi rekomendasi pada ASEAN mengingat Fase I dari SEA Forum for
pertemuan SEA Forum for Fishers berikutnya Fishers akan berakhir pada tahun 2020.
yaitu sebagai berikut: Dengan demikian, Forum ini akan tetap
1) Menghimbau kepada pemerintah negara berlanjut dan tidak layu sebelum berkembang.
ASEAN untuk memperhatikan celah yang
terdapat dalam ILO WIF 2007 (No. 188)
misalnya saja, tidak mencakup perekrutan, DAFTAR PUSTAKA
penempatan dan perlindungan pekerja atau
awak kapal yang bekerja di kapal dengan AP Investigation. (2015). AP Investigation : Slaves
ukuran panjang di bawah 24 meter atau may have caught the fish you bought.
kapal yang berlayar kurang dari tiga hari. Retrieved May 27, 2017, from
Pengembangan ASEAN Guidelines on http://www.ap.org/explore/seafood-from-
Implementation of Labor Standards for the slaves/.
Fisheries Sector diharapkan bisa menutup

124
Jurnal Ketenagakerjaan
Vol. 14 No. 2, Edisi Juli – Desember 2019 ISSN : 1907 - 6096
ASEAN. (2016). ASEAN Guidlines on human trafficking and forced labour in
Implementation of Labor Standards for fisheries. Retrieved from ilo.org:
The Fisheries Sector. Retrieved May 26, https://www.ilo.org/jakarta/info/public/pr/
2017, from WCMS_721951/lang--en/index.htm
http://www.sefdec.org/documents/.
IOM, T. P. (2016). Laporan Mengenai
ASEAN. (2018, November). Terms of Reference Perdagangan Orang, Pekerja Paksa, dan
Southeast Asian Forum To End Kejahatan Perikanan Dalam Industri
Trafficking in Persons and Forced Labour Perikanan di Indonesia. Jakarta: IOM.
of Fishers. ILO.
Marscke, M., & Vandergeest, P. (2016). Slavery
FAO. (2016). Scoping study on decent work and scandals: Unpacking labour challenges
employment in fisheries and aquaculture: and policy responses within the off-shore
Issues and actions for discussion and fisheries sector. Marine Policy, 39-46.
programming. Retrieved from fao.org:
http://www.fao.org/3/a-i5980e.pdf Njock, J.-C., & Westlund, L. (2010). Migration,
resource management and global change:
ILO. (2014). Document ASEAN Work in Fishing in Experience form fishing communities in
the ASEAN Region; Protecting the rights West Africa and Central Africa. Marine
of Migrant Fishers. Retrieved May 26, Policy 34 , 752-760.
2017, from http://www.ILO.org/publns .
Pasadilla, G. O. (2011, November). Social Security
ILO. (2018). Inaugural Plenary Meeting of the SEA and Labor Migration in ASEAN.
Forum for Fishers. Retrieved from ilo.org: Retrieved May 26, 2017, from
https://www.ilo.org/jakarta/whatwedo/eve http://www.adbi.org/publications.
ntsandmeetings/WCMS_718351/lang--
en/index.htm Ratner, B. D., Asgard, B., & Allison, E. H. (2014).
Fishing for justice : Human rights,
ILO. (2019). Ratifications of C188-Work in Fishing development, and fisheries sector reform.
Convention, 2007 (No. 188). Retrieved Global Environmental Change 27, 120-
from ilo.org: 130.
https://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=1
000:11300:0::NO:11300:P11300_INSTR Spradley, J. P. (1980). Participant Observation.
UMENT_ID:312333 Orlando, Florida: Harcourt College
Publishers.
ILO. (2019, September). Southeast Asian Forum
for Fishers to enhance efforts to end Tarrow, S. (2005). Transnational Activism. New
York: Cambridge University Press.

125

Anda mungkin juga menyukai