Anda di halaman 1dari 37

SKLEROSIS SISTEMIK

Ikhtisar
- Skleroderma (sklerosis sistemik [SSc]) adalah penyakit autoimun multisistemik yang
ditandai oleh vaskulopati, peradangan, dan fibrosis kulit dan banyak organ lainnya.
- Diagnosis banding SSC diantaranya bentuk parah dari skleroderma lokal, serta banyak
kondisi mirip skleroderma lainnya.
- Fenomena Raynaud, autoantibodi dalam sirkulasi, dan sklerosis kulit hampir selalu ada
dan penting untuk diagnosis dini.
- Pasien dengan SSC diklasifikasikan menjadi 2 subtipe utama tergantung pada luasnya
sklerosis kulit (sklerosis sistemik kulit difus dan sklerosis sistemik kulit terbatas).
- Pasien dengan sindrom tumpang tindih, termasuk penyakit jaringan ikat campuran,
ditandai oleh fitur klinis tambahan penyakit rematik lainnya.
- Keterlibatan organ dalam (saluran pencernaan, paru-paru, ginjal, dan jantung) dapat
menyebabkan disfungsi parah dan menentukan prognosis.
- Heterogenitas dan perjalanan klinis SSC dan sindrom SSC tumpang tindih dan
memerlukan kolaborasi interdisipliner segera serta kunjungan tindak lanjut teratur.
- Meski penyakit ini masih belum dapat disembuhkan, terdapat kemajuan besar dalam
mengembangkan pendekatan terapeutik baru dan mengobati komplikasi berbasis organ
berdasarkan pemahaman patofisiologi yang lebih baik.
DEFINISI

Skleroderma (sklerosis sistemik [SSc]) adalah penyakit multisistemik,


ditandai oleh proses autoimunologis, cedera sel endotel vaskular, peradangan, dan
aktivasi fibroblas yang luas. Terdapat variabilitas individu yang besar dalam hal
keterlibatan kulit dan organ, serta dalam perkembangan penyakit dan
prognosis. Kulit, esofagus, paru-paru, jantung, dan ginjal adalah organ yang
paling sering terkena.

EPIDEMIOLOGI

Wanita lebih sering terkena SSC, dengan rasio wanita-pria antara 3: 1 dan 14:
1. Usia saat onset penyakit berkisar antara 30 dan 50 tahun. Namun, pasien pria
memiliki onset lebih awal daripada pasien wanita. Orang kulit hitam
dengan SSc seringkali lebih muda dari kulit putih.

SSc adalah penyakit yang langka; Namun, tingkat insiden meningkat 0,6-16


pasien per juta penduduk dan tingkat prevalensi meningkat 2-233 pasien per juta
penduduk per tahun, tergantung pada perbedaan metodologi dalam definisi kasus
dan titik waktu penentuan kasus. Dapat diasumsikan bahwa angka-angka ini
mewakili estimasi yang rendah karena pasien dengan penyakit ringan tetap sering
tidak terdiagnosis.
SSC memiliki angka kematian kasus spesifik tertinggi dari setiap penyakit
rematik autoimun, tetapi dapat bervariasi antar individu tergantung
pada perbedaan ras atau etnis, adanya keterlibatan organ beserta tingkat
keparahannya, subset SSC, usia saat diagnosis, dan perbedaan jenis kelamin.
Meski tidak dapat disembuhkan, telah ada kemajuan substansial dalam pilihan
pengobatan untuk berbasis komplikasi organ akibat SSC.

FITUR KLINIS SKLEROSIS SISTEMIK

SSc biasanya dimulai dengan fenomena Raynaud, yang dapat mendahului


penyakit selama bertahun-tahun. Manifestasi klinis sangat tergantung pada subset
dan stadium penyakit. Gambaran klinis SSC yang mapan cukup beragam dengan
fibrosis kulit yang parah dan berbagai manifestasi kulit tambahan, termasuk
pengerasan kulit, kontraktur, ulserasi digiti dan kalsifikasi. Mereka juga
mencerminkan beberapa pola keterlibatan organ internal dan konsekuensi dari
perkembangan dari proses patologis dari vaskulopati, inflamasi, dan fibrosis.
Diperlukan pertimbangan khusus terkait komplikasi utama dari krisis ginjal
skleroderma (scleroderma renal crisis – SRC) hipertensif, hipertensi arteri paru
(pulmonary arterial hypertension – PAH), fibrosis paru (pulmonal fibrosis), dan
dismotilitas GI.

KLASIFIKASI DAN DEFINISI BERBAGAI SUBSET SSc

Heterogenitas SSC berasal dari berbagai manifestasi penyakit yang


bervariasi serta keterlibatan organ beserta keparahannya. Namun, beberapa fitur
klinis yang hampir selalu hadir adalah fenomena Raynaud (Raynaud Phenomenon
– RP) dan sklerosis kulit. Luasnya sklerosis kulit menentukan setiap sub-penyakit
utama, yang masing-masing memiliki karakteristik klinis tertentu, meskipun
masing-masing penyakit juga memiliki kesamaan fitur.

Pada tahun 1980, American College of Rheumatology (ACR)


mempublikasikan kriteria klasifikasi awal untuk SSC untuk pasien dengan
penyakit yang mapan. Kriteria ini menunjukkan sensitivitas 97% dan spesifisitas
98% untuk SSC. Menurut kriteria, diagnosis ditegakkan jika ditemukan 1 kriteria
mayor atau minimal 2 kriteria minor. Kriteria mayor adalah skleroderma
proksimal pada sendi metakarpophalangeal atau metatarsophalangeal; kriteria
minor termasuk sklerodaktili, ulserasi digital dan / atau bekas luka pada jari
dengan pitting, dan fibrosis pulmonal bibasiler. Meski kriteria ini telah digunakan
selama bertahun-tahun, kriteria ini tidak dapat menentukan pasien dengan SSc
dini dan sklerosis sistemik kulit terbatas. Akibatnya, dikembangkan kriteria baru
oleh ACR / European League Against Rheumatism, yang didasarkan pada sistem
skoring dan mempertimbangkan beberapa kriteria tambahan, seperti kapiler
lipatan kuku yang abnormal. Lesi pada ujung jari, dan autoantibodi. Kriteria baru
ini sekarang memungkinkan diagnosis dini pasien dan mengikutsertakan pasien
tersebut dalam uji klinis sebelum fibrosis luas berkembang.

Pada tahun 1988, sebuah subklasifikasi deskriptif terbatas dibandingkan


dengan SSc difus diperkenalkan oleh LeRoy, yang terutama berkaitan dengan
sejauh mana terdapat keterlibatan kulit. Klasifikasi ini telah diterima secara luas
dan digunakan dalam praktik klinis. Pada tahun 2001, LeRoy dan Medsger
menerbitkan kriteria yang diperbarui, dengan adanya tambahan autoantibodi dan
perubahan kapillaroskopik lipatan kuku. Selain itu, kriteria ini mencakup
kelompok pasien yang terpisah dengan onset awal SSC, dengan penebalan kulit
minimal. Terdapat syarat yang wajib dipenuhi yaitu pasien dengan SSc awal
(terbatas) memiliki bukti RP ditambah autoantibodi spesifik skleroderma dan /
atau manifestasi kapiloroskopik pada lipat kuku. Meski terdapat beberapa
klasifikasi lain yang diterbitkan, misalnya, oleh Nadashkevich dkk dan oleh
Maricq dan Valter, klasifikasi awal oleh LeRoy masih banyak digunakan dalam
praktik klinis sehari-hari.

SSC kulit difus didefinisikan sebagai bentuk progresif SSC dengan onset


awal RP, biasanya dalam 1 tahun dari onset penebalan kulit. Subset ini ditandai
dengan keterlibatan yang cepat pada kulit batang tubuh, wajah, lengan atas, dan
paha, serta seringkali menunjukkan antibodi anti- RNA polimerase III atau anti-
skleroderma 70. Selain itu, terdapat kecenderungan yang lebih tinggi untuk
perkembangan fibrosis pulmonal, keterlibatan jantung, dan SRC (Gambar 63-1).
Gambar 63-1. Keterlibatan kulit yang luas pada pasien dengan sklerosis
sistemik kutaneus difus. A, Sklerodaktili dengan kontraktur dermatogen
(mobilitas terbatas sendi digital) dan hiperpigmentasi dan hipopigmentasi
salt-and-pepper. B, mikrostomia (pengerutan radial di sekitar mulut) dengan
sklerosis frenulum. C, penebalan kulit proksimal sendi metakarpofalangeal.
D, Tipikal fisiognomi wajah skleroderma dengan hipermimia, mikrostomia ,
telangiektasia, dan hidung paruh (beaked nose).
SSc kulit terbatas ditandai dengan riwayat lama fenomena Raynaud dan
perubahan kulit pada ekstremitas distal pada sendi lutut dan siku, termasuk kulit
wajah. Subset SSc varian ini seringkali (50% sampai 70% kasus) juga memiliki
antibodi antisentromer dan sering dikaitkan dengan PAH terisolasi. Terdapat
akronim CREST (calcinosis, RP, esophageal  dismotility, sclerodactyly, and
telangiectasis) yang digunakan untuk bentuk SSc terbatas (Gambar 63-2.).

Gambar 63-2. Gambaran klinis pasien dengan penyakit awal. A, fenomena Raynaud dengan
perubahan warna khas (pucat biru-putih), terlokalisasi sebagian besar pada jari tangan dan / atau
jari kaki sebagai akibat vasospasme. Dingin dan stres emosional adalah pemicu paling sering
untuk serangan ini. B, Penyakit terbatas dengan jari bengkak.
Pasien dengan SSC dini, juga dikenal sebagai SSC tidak berdiferensiasi,
ditentukan oleh RP positif dan setidaknya 1 fitur tambahan SSc (perubahan
kapiler kuku positif, jari bengkak, hipertensi pulmonal) dan / atau autoantibodi
terkait skleroderma yang terdeteksi tanpa memenuhi Kriteria ACR.

Terdapat sebuah proporsi yang sangat kecil dari kasus (1,5%)


mengembangkan fitur SSc vaskuler (RP dan / atau PAH), imunologis (paling
umum adalah antibodi antisentromer) dan fitur fibrotik berbasis organ, tetapi tidak
menunjukkan sklerosis kulit. Pasien yang menderita subset ini diklasifikasikan
sebagai SSc sine skleroderma.

Pasien dengan gambaran skleroderma bersama dengan penyakit rematik


autoimun lain disebut SSC overlap syndrome atau sindrom tumpang
tindih SSC (Gambar 63-3 dan Tabel 63-1). 

Sindrom SSC tumpang tindih didefinisikan sebagai penyakit dengan aspek


klinis SSC (sesuai dengan kriteria ACR) atau gejala utama SSC, bersamaan
dengan penyakit jaringan ikat atau penyakit autoimun lainnya, seperti
dermatomiositis, sindroma Sjögren, lupus eritematosus sistemik, vaskulitis, dan
poliartritis. Pasien-pasien ini menunjukkan titer anti-U1RNP, anti-
nRNP, antifibrillarin, atau anti-PmScl yang tinggi.

Gambar 63-3. Spektrum klinis sindrom sklerosis sistemik tumpang tindih (SSc). Pasien dengan


fitur klinis skleroderma bersama-sama dengan fitur setidaknya 1 penyakit rematik autoimun
tambahan disebut sindrom SSc tumpang tindih. SLE = lupus eritematosus sistemik.

Kelompok pasien ini mencakup pasien dengan penyakit jaringan ikat


campuran (mixed connective tissue disease – MCTD), ditandai dengan
tingginya titer antibodi anti-U1RNP dalam sirkulasi (Tabel 63-2). 
Masih terdapat diskusi yang sedang berlangsung mengenai apakah MCTD
mewakili entitas penyakit yang berbeda atau mungkin merupakan bentuk awal
dari penyakit jaringan ikat lainnya. Pasien MCTD ini memiliki berbagai fitur
klinis dengan gejala lupus eritematosus sistemik atau arthritis rheumatoid dengan
sindrom Raynaud, dan kemudian mengembangkan lesi sklerodermatosus. Mereka
juga mengalami pembengkakan pada jari dan tangan. Gejala non-Raynaud adalah
sklerosis kulit pada daerah akral internal dan manifestasi yang terjadi
kemudian. Seringkali terdapat gejala inflamasi yang intens dengan arthralgia
berat. Pasien MCTD dapat mengembangkan perikarditis, pleuritis, dan hipertensi
pulmonal. Namun, terdapat respons yang baik terhadap terapi antiinflamasi / anti
imun dan prognosisnya jelas lebih baik daripada pasien dengan skleroderma
klasik.

Subset lain dalam sindroma ini adalah pasien dengan lesi


sklerodermatosus, yang juga mengeluhkan myositis intens. Pasien-pasien ini
biasanya memiliki autoantibodi Pm-Scl tertentu, memiliki tangan mekanik yang
khas, dan mengembangkan kalsifikasi subkutan awal yang intens. Mirip dengan
pasien MCTD, mereka merespon dengan baik
terhadap pengobatan antiinflamasi dini (misalnya,
metotreksat / glukokortikosteroid).
Sindrom tumpang tindih lainnya termasuk pasien dengan Raynaud dan
lupus eritematosus atau gejala arthritis rheumatoid, yang kemudian
mengembangkan lesi sklerodermatosus. Banyak dari pasien ini memiliki
autoantibodi spesifik dalam sirkulasi, yang mungkin mewakili entitas penyakit
yang berbeda. Meski demikian, dibutuhkan lebih lanjut dengan penanda
molekuler untuk memperjelas identitas penyakit mereka dalam spektrum penyakit
terkait skleroderma.

Selain itu, frekuensi dan waktu manifestasi viseral SSc berbeda-beda


antara subset mayor. Namun, terdapat beberapa temuan tumpang tindih antar
subset dalam hal penyakit berbasis organ dan tingkat dan keparahan sklerosis
kulit.

Pada semua pasien, tingkat dan keparahan sklerosis kulit dapat dinilai


dengan modified Rodnan skin score atau skor kulit Rodnan yang dimodifikasi.
Skor kulit awal berkorelasi dengan keparahan penyakit dan keluaran
pada SSC kulit difus. Penebalan dan fibrosis kulit merupakan salah satu fenomena
awal yang diakui pada SSc dan masih menjadi dasar kriteria klasifikasi dan subset
spektrum penyakit ini.

Perlu disebutkan pula bahwa terdapat klasifikasi lain dari penyakit terkait
SSc, yang sepenuhnya didasarkan pada autoantibodi. Terdapat bukti bahwa
klasifikasi ini memiliki makna klinis, seperti ditunjukkan dalam Tabel 63-3. 
Selain itu, analisis asosiasi genetik menggunakan pendekatan kandidat gen
telah menunjukkan hubungan antara subset SSC berbasis serologis memiliki
hubungan yang lebih kuat daripada dengan SSc secara keseluruhan. Signifikasi
temuan ini masih belum jelas, dan penting untuk dicatat bahwa dasar genetik
untuk reaktivitas autoantibodi telah dijelaskan dengan baik, menunjukkan bahwa
subset serologis mungkin lebih homogen secara genetik dibandingkan kasus SSc
yang tidak terpilih, atau subset SSc yang telah didefinisikan secara klinis.
Diperlukan studi skala besar dalam kohort pasien multinasional yang
menggunakan penanda molekuler dan klinis untuk merevisi sistem klasifikasi
terkini dari spektrum penyakit yang heterogen ini.

MANIFESTASI ORGAN

FENOMENA RAYNAUD (RAYNAUD’S PHENOMENON – RP)

Temuan khas untuk penyakit ini adalah RP onset awal, yang muncul pada
lebih dari 90% pasien SSC (lihat Gambar 63-2). Temuan ini didefinisikan oleh
serangan vasospasme berulang dari arteriol/arteri kecil pada jari tangan dan kaki,
biasanya disebabkan oleh suhu dingin dan / atau rangsangan lainnya, misalnya,
stres emosional. RP secara klinis muncul tiba-tiba dan berbatas tegas, disertai oleh
pucat / iskemia yang menyakitkan pada satu atau beberapa jari tangan / kaki
diikuti oleh hiperemia reaktif setelah dipanaskan pada akhir serangan RP, dan
dalam beberapa kasus dapat terjadi sianosis kemudian (RP trifasik) (lihat Gambar
63-2).

KETERLIBATAN KULIT

Keterlibatan kulit adalah ciri utama SSC dan biasanya muncul pertama


kali pada jari dan tangan. Seiring waktu, pasien mengembangkan edema
nonpitting pada jari-jari (jari bengkak), tangan, dan kaki, diikuti oleh peningkatan
indurasi dan penebalan kulit (sklerodaktili) (lihat Gambar 63-1 dan 63-
2). Bergantung pada lokalisasi penebalan kulit, mobilitas sendi yang terbatas
(kontraktur dermatogen), dan/atau kesulitan bernafas mungkin ditemukan. Fitur
tipikal pada wajah diantaranya telangiektasias, hidung bentuk paruh (beak-shaped
nose), dan bukaan mulut yang berkurang (mikrostomia). Tampilan wajah
khas pasien SSC ditandai oleh kerutan radial di sekitar mulut, tidak ada ekspresi,
penampilan wajah yang kaku dan seperti topeng, dan sklerosis frenulum. Selain
masalah kosmetik / estetika, hal ini menyebabkan banyak kesulitan terkait makan
dan kebersihan mulut (lihat Gambar 63-1).

Deposit abnormal kalsium pada kulit dan subkutan (kalsinosis kutis),


biasanya terjadi pada titik-titik tekanan (akral, sendi) (Gambar 63-4). Kalsinosis
kutis di sebelah sendi disebut sindroma Thibierge-Weissenbach. Manifestasi kulit
lebih lanjut meliputi hipopigmentasi dan hiperpigmentasi (salt and pepper skin)
(lihat Gambar 63-1), serta hilangnya folikel rambut dan kelenjar keringat
(hipohidrosis / anhidrosis).
Gambar 63-4. Perubahan jari dengan komplikasi. A, Ulserasi di ujung jari. B, Ulserasi dan
nekrosis ujung jari. C, kalsifikasi parah dengan deposisi massa subkutan. D, Ulserasi multipel
pada tulang protuberan dengan peradangan pada kulit sklerotik di sekitarnya.
Sekitar 50% dari pasien dengan SSC mengalami ulserasi digital yang
terkait dengan vaskulopati di beberapa titik penyakit mereka. Fitur tersebut adalah
fitur eksternal utama pada struktur pembuluh, dan mungkin disebabkan oleh
penebalan intima dan oklusi lumen pembuluh darah. Nyeri dan skar pitting
sangat sering ditemukan, dan kadang berkembang menjadi ulkus. Temuan ini
didapatkan pada jari-jari kaki atau tangan, pada permukaan ekstensor sendi akibat
mikrotrauma atau berhubungan dengan kalsinosis kutis. Ulkus digitalis
berhubungan dengan nyeri lokal berat, dan berdampak besar pada kualitas hidup
terkait fungsi kehidupan sehari-hari (misalnya berpakaian, makan). Komplikasi
lain termasuk iskemia kritis digital, paronikia, infeksi, gangren, osteomyelitis, dan
amputasi jari.

MANIFESTASI KARDIOPULMONAL

Keterlibatan sistem kardiopulmonal, paling sering tampak sebagai fibrosis


dan PAH. Perbedaan antara manifestasi ini seringkali sulit secara klinis
karena tumpang tindih dengan gambaran klinis yang serupa, seperti dispnea,
batuk tidak produktif, kapasitas difusi yang terganggu, dan sianosis. PAH saat ini
merupakan penyebab paling umum kematian terkait penyakit SSC. Hal ini terjadi
di kedua terbatas dan menyebar himpunan bagian kulit, meskipun kebanyakan
kasus tipikal adalah penyakit yang berkaitan SSc terbatas dengan PAH. Kondisi
ini memiliki persamaan substansial dengan PAH idiopatik. Dengan demikian,
terdapat 2 pola penyakit pada SSC. Sebagian besar kasus memiliki PAH, tetapi
ada beberapa pasien dengan fibrosis paru interstisial ekstensif stadium akhir
dalam SSc yang mengalami hipertensi pulmonal sekunder yang nyata. Selain
perburukan jantung kanan akibat PAH, jantung juga bisa mengalami fibrosis difus
atau fokal, atau yang berasal dari miokarditis inflamatorik. Hal ini dapat
menyebabkan disfungsi diastolik atau sistolik, serta keterbatasan kontraktilitas
miokardium. Pasien-pasien ini secara klinis menunjukkan aritmia jantung,
takikardia paroksismal, blok jantung kanan komplit maupun inkomplit, serta
insufisiensi jantung.

KETERLIBATAN GASTROINTESTINAL

Keterlibatan GI adalah keterlibatan organ internal yang paling umum pada


pasien dengan SSc terbatas dan difus (>60%). Banyak bagian dari saluran
pencernaan mungkin terganggu, sehingga mempengaruhi motilitas,
pencernaan, absorpsi, dan ekskresi.

Keterlibatan esofageal meliputi gejala-gejala seperti disfagia, heartburn


akibat refluks, mual, dan / atau muntah. Kelemahan sfingter esofagus bawah dan
gangguan peristaltik meningkatkan risiko esofagitis. Jika tidak diobati, kondisi ini
dapat menyebabkan esofagitis peptikum, ulserasi lambung / gaster, striktur
peptikum, dan fistula. Refluks gastroesofageal kronis dapat menjadi rumit setelah
beberapa waktu dengan peningkatan risiko Barrett esophagus, yang dapat
berkembang menjadi adenokarsinoma.

Manifestasi lambung yang mungkin terjadi termasuk atrofi terkait ulserasi


membran mukosa dan pengosongan lambung yang tertunda. Ektasia vaskular
antrum gaster juga merupakan komplikasi penting pada beberapa pasien SSC dan
perlu dideteksi dengan endoskopi karena dapat menyebabkan perdarahan yang
parah dan seringkali tidak dikenali.

SSc juga dapat mempengaruhi usus, dan termasuk dilatasi atonik,


konstriksi, malabsorpsi, pseudoobstruksi, diare, konstipasi, inkontinensia fekal,
dan gizi buruk.

KETERLIBATAN GINJAL

SRC terjadi dalam 5% sampai 10% dari pasien SSc dan dapat
menyebabkan serangan hipertensi sistemik signifikan secara tiba-tiba (>140/90
mm Hg, atau peningkatan tekanan darah sistolik/diastolik ≥30/≥20 mmHg),
bersamaan dengan peningkatan kreatinin serum, proteinuria, hematuria,
trombositopenia, atau hemolisis diikuti oleh gagal ginjal akut. Studi menunjukkan
bahwa vaskulopati kronis dengan penurunan laju filtrasi glomerulus sering
terjadi. Selain itu, terdapat bukti peningkatan deposisi kolagen fibrilar di
dalam interstitium ginjal di pada SSc. Banyak kasus terjadi dalam 12 bulan
pertama penyakit. Pada hingga 25% pasien dengan SRC,
diagnosis SSC ditegakkan pada saat muncul permasalahan pada ginjal. Kerusakan
akhir organ dapat mengakibatkan ensefalopati dengan kejang umum atau edem
paru. Anemia mikroangiopati umum terjadi, dan terkadang terjadi koaguasli
intravaskuler diseminata. Obat nefrotoksik dan prednisolon dosis tinggi (>7,5 mg /
hari) harus dihindari pada pasien dengan SSC.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Patogenesis penyakit autoimun kompleks ini melibatkan beberapa jenis sel


(sel endotel, sel epitel, fibroblas, dan sel limfositik) yang berinteraksi melalui
berbagai mekanisme yang tergantung pada lingkungan mikro mereka serta
beberapa mediator utama.

Aspek utama penyakit ini termasuk peradangan, pembuluh darah, dan


aktivasi sel penghasil jaringan ikat (Gambar 63-5). 
Gambar 63-5. Patogenesis sklerosis sistemik. Skema menunjukkan bagaimana perkembangan
keluaran sklerosis sistemik dari interaksi yang kompleks antara sel-sel dalam sistem kekebalan
tubuh, termasuk kompartemen adaptif dan bawaan, pembuluh darah, dan jaringan ikat. Interaksi
sel-matriks adalah pengatur penting fungsi seluler. Peristiwa vaskuler awal menyebabkan
perkembangan kemudian populasi otonom dari fibroblast teraktivasi dan myofibroblas yang
menyebabkan kontraksi jaringan lunak dan deposit protein matriks ekstraseluler yang
berlebihan. Sel-sel ini dapat berkembang dari fibroblas jaringan ikat residen; transdifferensiasi dari
jenis sel lain, termasuk perisit mikrovaskular yang diaktifkan; dan perekrutan sel progenitor
(fibrosit) yang bersirkulasi. Kontribusi setiap garis keturunan terhadap lesi fibrotik masih belum
jelas. Banyak faktor pertumbuhan dan sitokin terlibat sebagai mediator dari proses ini, dan
jaringan timbal balik yang kompleks dapat menyebabkan lingkungan mikro yang
profibrotik. Terapi modifikasi penyakit yang potensial dapat menargetkan mediator individu
secara tunggal atau dalam kombinasi (misalnya, tumor growth factor-β [TGF-β], endothelin [ET-
1], connective tissue growth factor [CTGF], platelet-derived growth factor [PDGF]) atau
memodulasi sel imun (misalnya , siklofosfamid) atau sel endotel
(misal, analog prostasiklin). Matriks ekstraseluler adalah repositori penting untuk mediator yang
kemudian dilepaskan dan berperan penting dalam patogenesis. 
CCL, ligan kemokin CC; COMP, protein matriks oligomer tulang rawan; EC, ekstraseluler; ET-R,
reseptor endotelin; FN, fibronektin; Ig, imunoglobulin; IL, = interleukin; RELM-β = molekul β
seperti resistin
Heterogenitas klinis SSC memungkinkan adanya perbedaan mekanisme
patogenetik pada masing-masing pasien atau beberapa subset penyakit tertentu.
Selain itu, jalur utama tidak harus sama pada berbagai tahapan SSC. Meskipun
mungkin terdapat komponen genetik untuk etiopatogenesis dan terdapat bukti
yang mendukung faktor genetik dalam menentukan keparahan
dan kerentanan terhadap penyakit, terdapat pula argumen kuat yang mendukung
faktor lingkungan dan kimia sebagai pemicu penyakit ini.

FAKTOR GENETIK

Bukti terbaik untuk kontribusi genetik untuk SSC dan penyakit terkait


berasal dari penelitian yang melaporkan adanya klaster familial dan studi pada
subjek kembar. Meskipun risiko absolut untuk keluarga SSC yang terjadi relatif
rendah, risiko relatif untuk kerabat tingkat pertama adalah 13 kali lipat lebih
tinggi dibandingkan dengan populasi normal. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa riwayat keluarga SSC positif adalah faktor risiko terkuat, juga disertai
kontribusi faktor etnis. Dalam penelitiannya, Assassi dkk mengusulkan bahwa
anggota keluarga dengan SSc cenderung menunjukkan autantibodi spesifik
sklerodermata yang sesuai. Bukti pendukung lebih lanjut ditemukan oleh studi
asosiasi genetik dengan pendekatan gen kandidat. Sebagian besar keberhasilan
telah diamati dalam analisis genetik masing-masing komponen penyakit, seperti
profil autoantibodi, yang tampaknya memiliki penentu genetik yang kuat. Temuan
ini mungkin mendasari eksklusivitas mutual dari penanda reaktivitas SSc. Telah
dibuktikan bahwa kemampuan untuk respons imun terhadap gen terkait-
SSC tertentu dibatasi oleh haplotipe kompleks histokompatibilitas utama (major
histocompatibility complex – MHC). 

Beberapa studi menunjukkan adanya hubungan haplotipe HLA-

DRB1* 1302 dan HLA-DQB1 * 0604/0605 dengan pasien antifibrilarin positif,

sedangkan HLA-SRB1 * 0301 terjadi pada pasien dengan antibodi anti-Pm-Scl.


Pengamatan dari sejumlah besar studi yang meneliti penanda genetik telah
mengidentifikasi sejumlah gen kandidat (misalnya, anemia-inducing factor
[AIF]-1, cluster of differentiation [CD] 19, CD22, CD86, cytotoxic T-lymphocyte
antigen [CTLA]-4, CCL-2, CCL-5, chemokine ligand [CXCL]-8, chemokine-
related receptor [CXCR]-2, interleukin [IL]-1α, IL-1β, IL-2, IL-10, IL-13,
macrophage migration inhibitory factor (MIF), protein tyrosine phosphatase non-
receptor 22 (PTPN22) tumor necrosis factor [TNF]-α). Sebagian besar studi
asosiasi genom terbaru telah mengidentifikasi lokus yang relevan untuk sistem
kekebalan tubuh bawaan. Beberapa asosiasi ini sudah cukup kuat dan mungkin
mengarah pada pendekatan terapeutik baru, sementara asosiiasi lainnya
mencerminkan perubahan respons jaringan ikat. Namun, seperti halnya penyakit
kompleks lainnya, dalam banyak kasus, tidak selalu mungkin untuk mereplikasi
data, meski pada data yang menjanjikan pada awal penelitian. Studi genetik pada
populasi yang homogen telah sangat informatif, yang dilakukan pada populasi
Choctaw Nation, penduduk asli Amerika. Namun, terdapat temuan menarik
bahwa beberapa asosiasi sangat masuk akal dalam hal patogenesis
molekuler. Sangat mungkin bahwa epistasis dan efek dari beberapa gen pengubah
mengacaukan studi asosiasi genetik sederhana pada SSC , seperti halnya pada
penyakit kompleks lainnya. Selain itu, terdapat bukti yang meningkat bahwa
mekanisme epigenetik dengan modulasi struktur kromatin dan ekspresi gen
sitokin / faktor pertumbuhan penting untuk aktivasi respon imun dan / atau reaksi
fibrotik adalah faktor tambahan penting yang berkontribusi pada pengembangan
skleroderma.

FAKTOR LINGKUNGAN

Sindrom mirip skleroderma telah dilaporkan berhubungan dengan banyak


racun dan obat-obatan lingkungan. Agen-agen ini termasuk pelarut (vinil klorida,
benzena, toluena, resin epoksi), obat-obatan (bleomycin, karbidopa, pentazosin,
kokain, docetaxel, metafenilendiamin), dan zat lainnya.

SSc dilaporkan terjadi pada penambang batubara dan emas bawah


tanah. Pada pasien pria dengan silikosis yang berusia lebih dari 40 tahun,
kemungkinan mengembangkan SSC adalah sekitar 190 kali lebih besar daripada
pada pria yang tidak terpapar silika, dan 50 kali lebih besar dibandingkan pada
pria tanpa silikosis tetapi terpapar debu silika. Peran implan gel silikon dan
produk silikon lainnya dalam pengembangan skleroderma telah dipertanyakan.
Namun, sebagian besar studi epidemiologi telah gagal menunjukkan hubungan
yang signifikan. Bentuk skleroderma atipikal ditandai dengan RP, perubahan kulit
seperti morphea, kelainan kapiler lipatan-kuku (serupa dengan yang terjadi pada
SSc), osteolisis falang distal, serta fibrosis paru dan hepatik dapat terjadi pada
pekerja yang terpapar polivinil klorida. Bleomisin juga mengakibatkan fibrosis
paru, fenomena Raynaud, dan perubahan kulit yang tidak dapat dibedakan
dengan SSc. Perkembangan perubahan ini tampaknya tergantung pada dosis dan
bersifat reversibel pada penghentian obat. Secara kolektif, paparan kimia
menyebabkan sebagian kecil penyakit yang menyerupai skleroderma. Studi
epidemiologi skala besar belum dapat mengungkapkan signifikansi peran toksin
dan obat-obatan terhadap skleroderma.

HISTOPATOLOGI

Histopatologi SSc menunjukkan fibrosis pada dua pertiga bagian bawah


dermis dan trabekula fibrosa subkutan, karena deposit berlebihan protein matriks
ekstra-seluler (ECM), terutama kolagen Tipe I dan III (Gambar. 63-6).

Gambar 63-6. Penampilan histologis kulit pada sklerosis sistemik kulit tahap awal dan akhir difus
(SSC). Pada SSc, terdapat infiltrat sel mononuklear perivaskular pada tahap awal penyakit, yang
mendahului perkembangan sklerosis kulit. Perubahan perivaskular ditunjukkan pada daya tinggi
di panel kiri . Penyakit tahap selanjutnya adalah sklerosis kulit, pembuluh darah dengan kepadatan
rendah, dan tidak adanya sel inflamasi. Pada tahap ini, mungkin terdapat perubahan epidermis
terkait dengan penebalan dan hilangnya struktur kulit sekunder, termasuk folikel rambut dan
kelenjar keringat. Tidak adanya rete ridges juga merupakan ciri  tahap akhir dari SSc kulit difus.
Perubahan serupa diprediksi pada SSC kulit yang terlokalisasi, tetapi jarang dilakukan biiopsi
karena sklerosis kulit yang terbatas dan kekhawatiran terkait penyembuhannya.
Panniculitis dan edema mukoid mungkin juga merupakan fitur menonjol
pada tahap awal, dimana lemak subkutan digantikan oleh jaringan ikat
fibrosa. Mungkin pula ditemukan perbedaan histologis tahap seluler awal di satu
sisi dan tahap fibrotik kemudian di sisi lainnya. Pada tahap awal, dermis
menunjukkan bundel kolagen patologis dalam dermis retikuler, dan tampak pucat,
homogen, paralel terhadap permukaan kulit, bengkak, dan disertai infiltrasi
limfositik perivaskular. Infiltrat sel inflamatorik ini terlokalisasi di antara bundel
kolagen, tetapi terutama di sekitar pembuluh darah, dan juga dapat menyebar ke
jaringan lemak subkutan. Infiltrat juga bisa mengisi kelenjar keringat. Epidermis
di bagian atasnya sering menjadi atrofi. SSc dapat melibatkan pembuluh darah
dalam berbagai ukuran. Pada tahap awal, mungkin hanya terdapat pelebaran
kapiler, kemudian terjadi proliferasi endotel dan oklusi komplit pada pembuluh
darah. Dengan berkembangnya skleroderma, kulit yang terlibat menjadi lebih
avaskular dan peradangan berkurang. Pada tahap selanjutnya, unit pilosebaseadan
kelenjar ekrin menghilang, bundel kolagen tampak rapat, dan mungkin didapatkan
rete ridges yang menipis.

VASKULOPATI

Vaskulopati pada SSc adalah peristiwa awal dan didasarkan pada proses


remodelling dan perbaikan vaskular yang tidak tepat. Kondisi ini melibatkan
mikrosirkulasi dan arteriol dan sangat mungkin merupakan peristiwa utama dalam
proses patogenetik penyakit. Abnormalitas pembuluh darah ditandai oleh
vasokonstriksi, proliferasi adventitia dan intima, inflamasi, dan trombosis. Tanda
awal disfungsi vaskular diwakili oleh peningkatan permeabilitas pembuluh darah
dengan ketidakseimbangan antara mediator vasodilatasi (oksida nitrat,
prostasiklin, kalsitonin terkait gen-peptida) dan vasokonstriksi (endotelin-1,
angiotensin II, α2-adrenoreseptor). Akibatnya, aliran darah yang terganggu
menyebabkan hipoksia jaringan, yang menginduksi ekspresi kuat dari faktor
pertumbuhan endotel pembuluh darah dan reseptornya, terkait dengan defek
vaskulogenesis. Namun, sitokin inflamasi seperti TNF- α dapat merangsang atau
menghambat angiogenesis tergantung pada durasi stimulus.

Selain kelainan fungsional ini, perubahan intra-vaskular dan struktural


berkontribusi terhadap RP yang nyata, dan seiring waktu akan berkembang
menjadi reduksi pembuluh darah dan aliran darah secara progresif. Pola
vaskulopati obliteratif ini dapat bermanifestasi secara klinis di semua pembuluh
hampir semua organ. Lesi awal pada mikrosirkulasi karena kerusakan struktural
pada awalnya terlihat di kapiler lipatan-kuku dan sebagai respon vasospastik pada
RP. Selain itu, perubahan vaskular, yaitu pertumbuhan berlebih endotel dan
deposisi jaringan parut, akan menghasilkan beberapa komplikasi utama SSC,
termasuk PAH, SRC, dan vaskulopati digital.

KETERLIBATAN IMUN

Terdapat perubahan inflamasi awal pada kulit dan paru-paru pasien


dengan SSC. Infiltrat infalamasi pertama pada lesi kulit sebagian besar adalah sel-
sel dari garis keturunan monosit (sel T, makrofag, sel B, dan sel mast). Terdapat
beberapa bukti mengenai pentingnya peran sistem kekebalan tubuh bawaan pada
SSc. Temuan ini didasarkan pada hubungan antara varian faktor regulator
interferon 5 dengan skleroderma. Beberapa penelitian juga menunjukkan peran
makrofag sebagai kontributor penting sitokin, yang mempengaruhi respons
fibrotik.

Kemudian, limfosit T mendominasi dan terdeteksi pada sirkulasi dan


organ yang terlibat. Sel T ini sebagian besar adalah CD4+, penanda aktivasi,
menunjukkan ekspansi oligoklonal yang menandakan adanya proliferasi dengan
dorongan antigen, dan menunjukkan dominasi fenotip T-helper 2. Akibatnya,
peningkatan kadar serum sitokin derivat sel T-helper 2 (IL-2, IL-4, IL-10, IL-13,
dan IL-17) telah diamati pada pasien skleroderma.

Selain sel T, sel B juga ditemukan di kulit yang terlibat. Beberapa


penelitian menunjukkan sel B mampu menginduksi produksi ECM dengan sekresi
IL-6 dan transforming growth factor-β (TGF- β) dan terlibat dalam produksi
autoantibodi.
Beberapa autoantibodi ini berhubungan dengan subset penyakit dan
merupakan penanda diagnostik yang penting (lihat Tabel 63-3). Peran potensial
autoantibodi dalam patogenesis adalah bidang yang menarik untuk
diteliti. Mayoritas kasus SSc ditemukan memiliki antibodi yang bersirkulasi,
menimbulkan berbagai penanda reaktivitas yang jelas, termasuk autoantibodi,
yang juga ditemukan dalam penyakit reumatik autoimun lainnya
(misalnya, peptida antisiklik sitrulin, faktor rheumatoid) tetapi juga antibodi yang
mungkin memiliki signifikansi fungsional, karena mereka diarahkan terhadap
antigen permukaan sel (misal antibodi sel antiendotel, antibodi antifibrillin, anti-
platelet-derived growth factor [PDGF] antibodi reseptor) (Tabel 63-4).

Namun, dampak fungsional antibodi ini masih diteliti lebih


lanjut. Terdapat perkembangan bukti mengenai signifikansi
fungsional autoantibodi sel antiendothelial dan untuk antibodi yang bereaksi
terhadap antifibroblas. Laporan juga menunjukkan adanya autoantibodi
antifibrilin dan autoantibodi stimulasi yang bereaksi dengan reseptor PDGF.
Mikrochimerisme dan mekanisme penyakit graft-versus-host telah diusulkan
dalam beberapa kasus, meskipun frekuensi mikrochimerisme yang relatif tinggi
pada individu yang sehat atau keadaan penyakit lainnya menunjukkan bahwa ini
mungkin merupakan peran sebagai kontributor penyakit, dan bukan sebagai peran
kausal dalam SSc.

Studi klinis yang cermat telah mengidentifikasi


subset pasien SSC (ditandai dengan antibodi RNA polimerase) yang
mengembangkan penyakit yang berhubungan dengan keganasan. Hal ini
memunculkan hipotesis bahwa fibrosis dapat mewakili respon imun
terhadap antigen tumor, dan menjadi pertanyaan apakah terdapat hubungan antara
autoimunitas dan keganasan secara umum. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut
untuk mengklarifikasi masalah ini.

FIBROSIS
SSc adalah penyakit fibrotik multisistemik. Peradangan awal dan hipoksia
menginduksi fibroblast serta produksi beberapa protein yang terlibat dalam
remodeling ECM,  misalnya trombospondin-1, fibronektin-1, lisilhidroksilase-2,
dan protein yang diinduksi TGF- β. Pada saat yang sama, terdapat
ketidakseimbangan mekanisme sintesis dan degradasi yang lebih mengarah ke
ECM pada organ-organ khusus, yang kemudian berperan dalam banyak
morbiditas dan mortalitas penyakit. Peristiwa penting dalam pengembangan
fibrosis adalah induksi fibroblas menjadi miofibroblas yang teraktivasi. Selain itu,
jenis sel lain (misalnya sel prekursor yang bersirkulasi, sel endotel, dan sel epitel)
dapat dikonversi menjadi miobroblas. Inisiasi proses ini melibatkan sejumlah
sitokin dan faktor pertumbuhan penting yang mungkin dapat menjadi target terapi
yang logis, termasuk sitokin fibrogenik seperti TGF-β , faktor pertumbuhan
jaringan ikat, PDGF, dan endotelin-1. TGF- β telah terbukti memiliki peran
penting, dengan studi profil ekspresi luas menggunakan biopsi kulit dari pasien
skleroderma dalam berbagai tahap penyakit. Temuan ini mengarah pada
pendekatan terapeutik menggunakan antibodi terhadap TGF- β dalam studi klinis
awal.
Miofibroblas memiliki kontraktilitas yang tinggi, begitu pula dalam
produksi ECM dan pelepasan sitokin. Fungsi ini, bersama-sama dengan
perubahan sifat biofisika dari jaringan ikat yang dihasilkan menyebabkan aktivasi
fibroblast dengan deposisi komponen ECM yang berlebihan. Namun, penting
untuk memahami bahwa mekanisme penyakit ini adalah hubungan erat antara
autoimunitas, vaskulopati, dan fibrosis. Dalam literatur baru-baru dengan model
tikus ditunjukkan adanya penurunan regulasi faktor transkripsi Friend leukemia
integration 1 (Fli1) dan faktor Kruppel-like 5 (KLF5), yang mengembangkan
penyakit mirip skleroderma dengan produksi autoantibodi. Gambar 63-
5 merupakan skema mekanisme patogenetik.
DIAGNOSIS
FENOMENA RAYNAUD (RP)
Pasien yang hanya mengalami RP harus diteliti lebih lanjut untuk menilai
adanya perubahan kapiler serta status autoantibodi. Semua ini adalah prediktor
perkembangan SSc, yang membantu dalam menegakkan diagnosis SSc.
Untuk mengidentifikasi dan memvisualisasikan gangguan pada pembuluh
darah kulit akibat  SSC, kapilaroskopi pada lipatan kuku merupakan sebuah
metode non invasif, sederhana, dan merupakan alat diagnostik dan prognostik
yang paling berguna (Tabel 63-5). 
Selain itu, alat ini juga bermanfaat dalam mengelompokkan perubahan
kapiler ke dalam pola awal, aktif, dan tertunda. Pemeriksaan perfusi Laser
Doppler juga merupakan teknik pencitraan mikrovaskuler non-invasif yang
mampu memberikan gambaran pemetaan aliran darah kulit.
SKLEROSIS KULIT
Keterlibatan kulit harus dievaluasi dengan menggunakan skor kulit
Rodnan yang dimodifikasi (modified Rodnan Skin Score – mRSS). Biasanya,
penilaian dilakukan pada 17 situs, dan ketebalan kulit dikategorikan ke kelas 1, 2,
atau 3, dengan kategori ringan, sedang, dan berat, sesuai dengan palpasi kulit oleh
pemeriksa terlatih (Gambar 63-7). 
Gambar 63-7. Skor kulit Rodnan yang dimodifikasi (Modified Rodnan skin score – mRSS).
Evaluasi pengerasan kulit menggunakan mRSS yang dimodifikasi biasanya dilakukan dengan
menilai ketebalan kulit di 17 area yang berbeda. Sklerosis kulit dikategorikan berdasarkan palpasi
ke derajat 1, yaitu ringan, derajat 2 yaitu sedang, dan derajat 3 yaitu berat. Le = lefft = Kiri; ri =
right = kanan

Teknik-teknik baru untuk menghitung penebalan kulit juga telah


dievaluasi. Selain MRSS, metode lain seperti ultrasonografi 20-MHz, MRI, dan
plikometer berguna untuk menilai penebalan kulit (prosedur diagnostik yang
disarankan tercantum pada Tabel 63-5). Prosedur fisik lebih lanjut untuk
memantau fibrosis kulit adalah durometer, kutometer, dan elastometer. Selain
metode non-invasif ini, biopsi kulit dengan evaluasi histologis ketebalan kulit
dermis adalah juga merupakan metode yang tepat, namun invasif. Metode ini
memungkinkan untuk menilai infiltrat inflamasi.
KETERLIBATAN KARDIOPULMONER
Seseorang dengan gejala SSC dan kardiopulmoner harus ditindaklanjuti
setidaknya setiap tahun menggunakan tes fungsi paru, ekokardiografi, tes jalan
kaki 6 menit, dan CT resolusi tinggi (high-resolution CT – HRCT). Tes fungsi
paru adalah teknik yang paling penting untuk menentukan kemungkinan
keterlibatan kardiopulmoner, karena gangguan kapasitas difusi paru untuk karbon
monoksida (DLCO ≤75%) menjadi penanda awal fibrosis paru dan PAH.
Untuk menentukan adanya keterlibatan interstitial paru-paru, digunakan
penilaian terhadap opasitas lokal subpleural, ground glass opacity, dan kista
subpleural dengan formasi honeycomb atau sarang lebah pada HRCT dan / atau
radiografi toraks.
Tindak lanjut juga harus mencakup ekokardiografi Doppler
transthorakal, suatu prosedur non-invasif yang dapat menunjukkan hipertrofi
dengan atau tanpa pembesaran ventrikel kanan, gerakan
paradoksal septum interventrikular, insufisiensi katup trikuspid, dan efusi
perikardial. Kateterisasi jantung kanan memang merupakan standar emas, tetapi
merupakan prosedur diagnostik invasif untuk menentukan PAH. PAH
didefinisikan sebagai tekanan arteri pulmonalis ≥25 mm Hg saat istirahat disertai
tekanan kapiler pulmonal ≤15 mm Hg pada pemeriksaan dengan kateterisasi
jantung kanan.
MRI jantung juga merupakan strategi potensial untuk menilai keterlibatan
miokard dalam SSc. Selain prosedur pencitraan, terdapat pula beberapa
pemeriksaan yang menjanjikan, seperti penggunaan N-terminal natriuretik
peptida otak untuk mendeteksi gangguan ventrikel kanan (lihat Tabel 63-
5). Deteksi dini keterlibatan jantung sangat penting untuk mencegah dan
memungkinkan pengobatan dini terhadap kardiomiopati dan aritmia jantung yang
parah.
KETERLIBATAN GASTROINTESTINAL
Adanya esofagitis dapat ditentukan dengan endoskopi GI bagian atas
dengan evaluasi histologis. Gangguan motilitas esofagus biasanya dapat
didiagnosis dengan tindakan evalusi scintigrafi setelah radiolabel meal pH
manometri 24 jam (lihat Tabel 63-5).
KETERLIBATAN GINJAL
Diagnosis dini adalah peran kunci dalam meningkatkan keluaran SRC
dengan pemantauan reguler terhadap tekanan darah, analisis urin
mikroelektroforesis, dan kadar kreatinin (lihat Tabel 63-5).
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis SSC bersifat klinis. Meskipun ada kriteria yang dikembangkan
untuk membedakan SSC dari penyakit jaringan ikat lainnya, tidak ada kriteria
diagnostik resmi yang telah dikembangkan hingga saat ini. Namun, penentuan
subset penyakit yang benar, termasuk sindrom SSC yang tumpang tindih,
diperlukan untuk menilai prognosis dan keterlibatan organ-organ tertentu, serta
untuk menentukan pendekatan terapeutik. Terdapat beberapa diagnosis banding
yang menyerupai skleroderma: skleroderma sirkumskripta (terlokalisasi); fasciitis
eosinofilik, genodermatosis, akrodermatitis kronika atrofikans; sindrom mirip
skleroderma akibat faktor lingkungan; skleroderma adultorum Buschke;
skleroderma diabetikorum; skleromyxedema; dermopati fibrosis nefrogenik;
porfiria kutanea tarda; penyakit graft-versus-host; dan lesi mirip skleroderma pada
keganasan. Penting untuk dapat membedakan dengan penyakit-penyakit
tersebut. Tabel 63-6 menguraikan diagnosis banding SSC.

PERJALANAN KLINIS DAN PROGNOSIS


Perkembangan penyakit sangat tergantung pada subset spesifik. Pasien
dengan bentuk terbatas sudah mengalami RP bertahun-tahun sebelum timbulnya
manifestasi organ lainnya. Kulit fibrosis tetap terlokalisasi ke daerah akral dan
komplikasi utama adalah perkembangan ulserasi digital dan hipertensi
pulmonal. Namun, dalam bentuk difus, fibrosis terjadi dini dan bersamaan dengan
peradangan, nyeri sendi, dan menyebar dengan cepat ke hampir semua bagian
integumen. Pada pasien ini, manifestasi paru-paru (fibrosis paru), jantung, dan
ginjal terjadi pada awal perjalanan penyakit dan sering menentukan prognosis.
Penyakit ini dikaitkan dengan angka kematian yang tinggi. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pasien SSC kulit yang difus menunjukkan pemburukan
penyakit yang cepat pada tahun-tahun awal. Pada tahun-tahun berikutnya,
aktivitas penyakit berkurang dan gejala-gejalanya dapat membaik. Anehnya, kulit
sklerotik juga bisa menjadi lebih lunak dan kontraktur dapat berkurang.
Meskipun SSC masih merupakan penyakit yang mengancam jiwa,
manajemen multidisiplin pasien dengan deteksi dini dan pengobatan komplikasi
dapat menyebabkan prognosis yang jauh lebih baik selama hidup pasien.

MANAGEMEN
TERAPI MODIFIKASI PENYAKIT
Tiga aspek SSC berpotensi untuk modulasi terapeutik, yang meningkatkan
kemungkinan pengobatan modifikasi penyakit. Saat ini, terapi pembuluh
darah dan imunomodulasi merupakan calon terapi dengan jangkauan terluas.
Tabel 63-7 dan 63-8 meringkas pendekatan terapi ini. 
Imunosupresi umum dapat bermanfaat dengan meningkatkan keterlibatan
kulit dan penyakit paru interstitial. Bukti terbaik yang tersedia untuk
siklofosfamid tetapi baru-baru ini mikofenolat mofetil telah terbukti sama
efektifnya dengan  siklofosfamid oral dan telah banyak digunakan oleh
banyak pusat penelitian. Terdapat pula bukti bahwa rituximab dapat menyebabkan
perbaikan perjalanan penyakit pada kelompok pasien tertentu, jika imunosupresi
standar gagal. Efisiensi imunosupresi secara umum ditunjukkan oleh uji coba dari
Amerika Serikat dan Eropa menggunakan imunosupresi intensitas tinggi dengan
transplantasi sel induk hemopoietik otolog pada beberapa pasien yang terpilih.
Namun, efek samping pemberiannya selalu harus dipertimbangkan (Tabel 63-9).
Pengobatan antifibrotik tetap masih merupakan sebuah tantangan,
meskipun selama beberapa tahun terakhir telah terdapat sejumlah pendekatan baru
yang terutama didasarkan pada pemahaman yang lebih baik terhadap mekanisme
yang mendasarinya. Sebuah studi terbaru menggunakan antibodi baru terhadap
TGF-β menunjukkan bahwa pemberiannya menyebabkan peningkatan keparahan
keterlibatan kulit dan pengurangan ekspresi beberapa gen yang berhubungan
dengan TGF-β. Beberapa bukti pendukung juga diperoleh melalui uji klinis PF
idiopatik. Namun, saat ini tidak ada agen antifibrotik yang terbukti bermanfaat.
Gambar 63-8 adalah skema yang disederhanakan untuk mengintegrasikan terapi
modifikasi penyakit dengan program skrining dan pengawasan yang
memungkinkan intervensi tepat waktu di SSC dengan berbasis strategi organ yang
saat ini membentuk dasar dari mayoritas terapi SSC. Kemungkinan untuk terapi
modifikasi penyakit yang ditargetkan tergantung pada ketersediaan agen
terapeutik dan pemahaman yang jelas tentang peran mereka dalam patogenesis
penyakit tersebut.
Terdapat banyak data dalam literatur yang menunjukkan keberhasilan di
bidang terapi berbasis organ pada SSc, yang berdampak besar terutama pada
kualitas hidup banyak pasien. Deteksi dini komplikasi organ spesifik ini
diperlukan untuk memungkinkan intervensi dini.
Gambar 63-8. Algoritma yang merangkum pendekatan saat ini untuk manajemen sklerosis
sistemik (SSC). Prinsip-prinsip terapi untuk SSC meliputi diagnosis yang akurat dan
penatalaksanaan menurut subset penyakit, kehadiran fitur yang tumpang tindih, dan proses
patologis dominan yang cenderung sesuai dengan tahap penyakit. Dalam semua kasus, skrining
dan pengobatan komplikasi berbasis organ sangat berperan dalam manajemen penyakit yang
berhasil. Edukasi pasien dan tim multidisiplin, termasuk perawat khusus, ahli fisioterapi, okupasi
terapis dan banyak dokter subspesialis, serta ahli bedah, adalah usaha yang penting dalam
memberikan perawatan yang tepat untuk kasus SSc yang parah. dSSc = Sklerosis sistemik kulit
difus; lSSc = sklerosis sistemik kulit terbatas
VASKULOPATI JARI DAN KOMPLIKASINYA
Terdapat rekomendasi yang sederhana namun penting, yaitu menurunkan
frekuensi serangan Raynaud termasuk menurunkan vasokonstriksi dengan
menghindari faktor pencetus seperti nikotin, simpatomimetik, stres emosional dan
dingin. Selain itu, dianjurkan pula untuk menggunakan pemanas ruangan yang
baik, pakaian tebal dan kedap udara, penghangat tangan termokimiawi atau
microwaveable, sarung tangan yang dipanaskan dengan listrik, sol,
atau hipertermi inframerah, perawatan mandi lilin parafin, dan meminimalkan
trauma jari.
Terapi membutuhkan interaksi yang erat antara beberapa disiplin medis
yang menerapkan terapi topikal dan sistemik. Manajemen lokal ulkus digital
termasuk kombinasi perawatan non-farmakologis, antibiotik (dalam kasus
infeksi), analgesia, dan penerapan ganti balut luka secara individual, jika perlu.
Pengobatan farmakologis potensi membutuhkan terapi yang optimal untuk
RP, termasuk agen dengan potensi renovasi vaskular  dan / atau dilatasi vaskuler,
seperti calcium channel blocker dan antagonis reseptor angiotensin II, yang harus
dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama. Hasilnya sangat bertentangan dengan
pilihan pengobatan farmakologis lainnya, seperti diltiazem dan penghambat
konversi enzim angiotensin. Derivat prostasiklin parenteral, khususnya iloprost,
banyak digunakan dan membantu menyembuhkan ulkus digitalis dan dapat
mencegah lesi berulang. Derivat Prostasiklin dengan infus IV adalah terapi utama
untuk iskemia digital kritis. Agen antiplatelet, seperti aspirin dan clopidogrel, juga
digunakan, terutama pada iskemia digital kritis.
Terdapat antusiasme tentang terapi yang efektif untuk PAH dalam
vaskulopati digital. Dengan demikian, dalam 2 penelitian skala besar yang
terkontrol, bosentan, sebuah antagonis reseptor endotelin dual-spesisitas oral ,
terbukti secara signifikan mengurangi jumlah ulkus digital baru, dibandingkan
dengan plasebo. Namun, tidak ditemukan ada pengaruh positif pada penyembuhan
ulkus. Gen lain, seperti penghambat fosfodiesterase Tipe 5 sildenafil dan tadalafil,
juga telah digunakan untuk pengobatan RP dan ulkus digital, tetapi data uji klinis
prospektif tidak tersedia. Perawatan bedah termasuk mikroarteriolisis digitalis,
dapat menguntungkan jari tunggal dengan ulkus refrakter. Bila memungkinkan,
hindari amputasi bedah jari, dan berikan perawatan berkepanjangan dengan
prostasiklin parenteral dalam kombinasi dengan inhibitor fosfodiesterase Tipe 5
dan analgesia poten dapat membantu mengatasi hal ini. Lumbar simpatektomi
mungkin bermanfaat untuk RP atau ulserasi pada bagian tubuh
bawah. Umumnya, prosedur sementara dilakukan awalnya untuk menentukan
manfaat kemungkinan dari simpatektomi definitif. Dalam kasus iskemia digital
kritis, terapi sering diberikan, dengan laporan anekdotal manfaat clopidogrel
dalam mencegah infark digital (lihat Tabel 63-7).
KETERLIBATAN KULIT
Elemen kunci dalam manajemen manifestasi kulit SSC adalah terapi fisik
dan olahraga teratur untuk mempertahankan sirkulasi, mobilitas sendi, dan
kekuatan otot, semuanya bertujuan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien SSC. Kulit yang terkena skleroderma cenderung sangat kering,
kencang, dan rentan terhadap trauma.
Pengerasan kulit dapat diperbaiki dengan terapi fisik dan olahraga, drainase
limfatik, pengobatan topikal dengan steroid, inhibitor kalsineurin,
dan krim pelembab. Terapi sistemik termasuk obat imunosupresif, steroid
sistemik (untuk hanya dalam waktu singkat), dan fototerapi (ultraviolet A1 atau
psoralen dan ultraviolet A). Fototerapi Ultraviolet A1 tampaknya menghambat
proses fibrotik dan inflamasi serta mengurangi jumlah kulit sklerotik.
Kulit yang mengering dan gatal memerlukan terapi topikal kortikosteroid,
agonis cannabinoid, capsaicin, emolien, dan fototerapi. Suntikan steroid lokal dan
terapi laser atau bedah juga dapat dicoba untuk pengobatan kalsinosis kutis.
Terapi laser atau metode non invasif seperti pelindung telah digunakan
dalam telangiektasis. Zat pemutih, asam salisilat, dan kulit kimia, serta retinoid,
dan kortikosteroid, berpotensi memperbaiki hiperpigmentasi atau hipopigmentasi.
(lihat Tabel 63-8).
Dua acak uji klinis telah menunjukkan bahwa methotrexat meningkatkan
skor kulit di difus awal SSC, sementara efek positif pada organ dengan
manifestasi berbeda masih belum ditetapkan. Di sisi lain, dalam dua uji klinis
acak, siklofosfamid meningkatkan sklerosis kulit. Untuk menyeimbangkan
kemanjuran dan efek samping, MMF mungkin menjadi pilihan yang menarik
untuk menangani fibrosis kulit.  Inhibitor protein kinase (misalnya imatinib) telah
digunakan, tetapi pada tulisan ini, uji klinis terkontrol telah dicampur dan
menunjukkan tolerabilitas yang rendah.
MANIFESTASI KARDIOPULMONAL
Saat ini telah semakin dipahami bahwa sekelompok pasien dengan fibrosis
paru sebagian besar juga mengalami PAH dan bahwa kelompok ini dapat
merespon terhadap terapi PAH standar. Terdapat kemajuan besar dalam
pengobatan PAH selama dekade terakhir. Kebanyakan kasus dapat ditangani
dengan obat oral, baik antagonis reseptor endotelin (bosentan, ambrisentan) atau
penghambat fosfodiesterase 5 (sildenafil, tadalafil), setelah PAH menimbulkan
keterbatasan fungsional yang signifikan (New York Heart Association kelas
III). Kemudian, jika terjadi perkembangan penyakit, dapat diberikan kombinasi
perawatan oral atau prostenteriklin parenteral, baik melalui rute IV atau subkutan.
Pemberian iloprost juga tersedia dalam sistem inhalasi.
Meskipun PAH mungkin mengakibatkan lebih banyak kematian daripada
fibrosis paru pada SSC, fibrosis paru tetap merupakan komplikasi yang
penting. Pengobatan SSc-PF sulit dan menantang. Selain bukti data retrospektif
dan tidak terkontrol yang menunjukkan manfaat siklofosfamid untuk SSc-PF,
hasil 2 uji coba terkontrol plasebo telah dilaporkan dalam literatur. Keduanya
menunjukkan bahwa siklofosfamid lebih bermanfaat dibandingkan
plasebo. Terkait dengan perubahan kapasitas vital paru (FEV) (persentase
prediksi), terdapat perubahan yang bermakna secara statistik dalam Scleroderma
Lung Study yang membandingkan siklofosfamid oral dibandingkan dengan
plasebo, menunjukkan tren yang kuat (p = 0,06) dalam uji siklofosfamid IV
azatioprin oral. Saat ini, sebagian besar pusat penelitian menggunakan
siklofosfamid sebagai pengobatan untuk SSC-PF yang parah atau progresif, serta
menentukan tingkat dan keparahan dengan tes fungsi paru dan HRCT. Luasnya
penyakit dengan pemeriksaan HRCT dan riwayat kelainan restriktif progresif pada
tes fungsi paru adalah prediktor terbaik penurunan fungsi paru di masa depan dan
umumnya digunakan untuk membuat keputusan terapi. Uji klinis yang lebih baru
telah menunjukkan efikasi yang sama dalam pengobatan MMF dan siklofosfamid
untuk menstabilkan fungsi paru-paru pasien dengan skleroderma dan ILD. Terapi
MMF dikaitkan dengan stabilitas fungsi paru-paru hingga 36 bulan, dengan profil
efek samping yang lebih baik daripada pada pasien yang diobati dengan
azatioprin. Terapi lain yang sedang digunakan termasuk karbosistein dan
kortikosteroid dosis rendah. Penggunaan strategi imunosupresif lainnya masih
belum jelas dan membutuhkan evaluasi dengan uji klinis multisentral. Perlu
dicatat bahwa meskipun terdapat dasar pemikiran teori yang kuat untuk
menggunakan antagonis reseptor endotelin bosentan sebagai terapi untuk fibrosis
paru, bosentan tidak lebih unggul dibandingkan plasebo dalam studi kasus skala
besar terhadap kasus SSC-PF dalam uji multisentral.
Keterlibatan jantung pada SSc juga merupakan kontributor penting untuk
kematian tetapi tetap menjadi salah satu kondisi yang paling kurang dipahami dan
kurang diakui sebagai komplikasi organ internal pada SSC. Sejumlah besar studi
mengkonfirmasi bahwa pencitraan radionuklida, elektrofisiologis, dan kelainan
fungsional sering terjadi pada SSC, tapi signifikansi temuan ini masih belum
pasti. Keterlibatan jantung dengan hemodinamik yang signifikan terjadi pada 10%
kasus SSC kulit difus. Sebuah komponen inflamasi miokarditis mungkin dapat
merespon terhadap pengobatan imunosupresif, dan pendekatan operasional untuk
pengelolaan skleroderma jantung. Walaupun belum didasarkan pada data yang
cukup andal, temuan ini dapat menjadi dasar untuk evaluasi prospektif dari
signifikansi fraksi ejeksi ventrikel yang terganggu dan peningkatan kadar
tropononin dalam sirkulasi pada kasus SSc.
Terdapat banyak kemajuan dalam SSC, termasuk apresiasi yang lebih baik
terhadap keragaman kondisi, peningkatan pemahaman tentang mekanisme
patologis yang mendasarinya, dan kemajuan besar dalam mengobati komplikasi
berbasis organ. Hal ini termasuk akumulasi data uji klinis yang kuat yang
menunjukkan efektivitas atau kurangnya manfaat terapi individu dan dalam
validasi langkah-langkah penilaian penyakit.
KETERLIBATAN GASTROINTESTINAL
Keterlibatan saluran GI sering terjadi pada SSc. Gejala esofageal dapat
merespon dengan sangat baik terhadap penghambat pompa dan agen yang
meningkatkan tonus sfingter esofagus bawah, seperti domperidon, walaupun
pengobatan dosis tinggi dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko aritmia
jantung. Keterlibatan Midgut memiliki banyak bentuk. Pseudoobstruksi pada
awalnya membutuhkan manajemen konservatif, tetapi selanjutnya mungkin
diperlukan suplementasi gizi parenteral. Pertumbuhan bakteri usus kecil dapat
diobati dengan antibiotik spektrum luas, dan insufisiensi pankreas mungkin
memerlukan suplementasi enzim. Keterlibatan usus besar merupakan suatu
tantangan tersendiri. Inkontinensia anorektal terkadang merespon dengan baik
terhadap stimulator saraf sakral implan atau pendekatan yang tidak terlalu rumit,
seperti injeksi bioplastik untuk meningkatkan massa sfingter anal internal. Prolaps
rektum mungkin memerlukan intervensi bedah tambahan. Konstipasi kronis,
kadang-kadang dengan diare overflow juga merupakan masalah yang umum
ditemukan. Dianjurkan untuk melakukan penyesuaian diet dan penggunaan
perangsang, pelunak, atau bulking, tetapi pendekatan individual dengan
keterlibatan pasien substansial umumnya pendekatan yang paling
sukses. Terkadang diperlukan kolostomi, tetapi penggunaannya hanya sesuai pada
sejumlah kasus yang sangat terbatas.
KRISIS RENAL SKLERODERMA (Scleroderma Renal Crisis)
Secara keseluruhan, sekitar dua-pertiga dari kasus SRC memerlukan terapi
ginjal pengganti. Dari jumlah tersebut, sekitar setengah dari kasus yang pulih
cukup untuk menghentikan kebutuhan dialisis. Pemulihan ini dapat terjadi selama
24 bulan setelah krisis ginjal, sehingga keputusan tentang transplantasi ginjal
harus ditunda tergantung pada hasilnya. Kemungkinan pemulihan yang terlambat
membedakan SRC dari penyebab lain gagal ginjal stadium akhir. Hasil ini
dimungkinkan melalui penggunaan penghambat enzim pengonversi angiotensin
sebagai terapi rutin untuk SRC. Sebelum ketersediaan terapi, mortalitas SRC lebih
besar dari 90% pada 12 bulan. Aspek paling penting dari manajemen SRC adalah
identifikasi dan pengobatan hipertensi yang signifikan dalam konteks
scleroderma, dengan inisiasi penghambat enzim pengonversi angiotensin. Kondisi
ini adalah keadaan darurat medis dan segala bentuk gangguan ginjal atau
kerusakan organ akhir harus segera dirawat di rumah sakit.
Tabel 63-10 menggambarkan frekuensi keterlibatan organ dalam 2
jaringan SSC pada populasi Jerman dan Inggris.
TERAPI SUPORTIF LAINNYA
Semua pendekatan terapi spesifik organ ini memerlukan beberapa langkah
suportif umum untuk membantu pasien. Langkah-langkah umum
termasuk rekomendasi untuk menjaga kebersihan rumah dan kehangatan tubuh
serta mengoptimalkan status gizi. Penting pula untuk menyediakan lilin parafin
dan memfasilitasi terapi fisik. Pasien perlu diajari untuk menangani komplikasi
kehidupan sehari-hari dan mengenali gejala-gejala awal yang mengindikasikan
perkembangan penyakit dan keterlibatan organ baru.

Anda mungkin juga menyukai