CREST Syndrome
Joko Anggoro
Abstrak
Sindroma CREST (calcinosis, Raynaud phenomenon, esophageal dysmotility, sclerodactyly, dan
telangiectasia) syndrome adalah anggota kelompok heterogen skleroderma. Frekuensi di Amerika
Serikat, insidensi sklerosis sistemik berkisar antara 2,7-19,3 kasus baru per juta orang dewasa
per tahun. Peningkatan yang tampak dalam insidensi dan prevalensi selama 50 tahun terakhir
kemungkinan besar karena klasifikasi yang lebih baik, diagnosis yang lebih dini, dan survival yang
lebih baik. Beberapa penelitian antibodi serum menunjukkan bahwa sindrom CREST mungkin
mencakup sekitar 22-25% dari semua kasus sklerosis sistemik; tetapi, penelitian epidemiologis
yang mencari secara spesifik pada sindrom CREST masih belum ada. Naskah ini mengupas lebih
dalam tentang sindrom CREST mulai aspek klasifikasi penyakit ini dalam skleroderma, patogenesis,
gambaran klinis, prognosis, dan terapi yang terbaru.
Katakunci
Sindrom CREST, patogenesis, klinis, terapi
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
*e-mail: jokoanggoro@gmail.com
tifikasi penyakit dini dan bentuk skleroderma sistemik tidak ada antibodi antisentromer; tidak ada tela-
yang lebih ringan seperti sindrom CREST (scleroderma ngiektasia)
terbatas/limited scleroderma). Beberapa sistem klasifi-
kasi baru mungkin mengelompokkan lebih baik spek- • Tipe V – penyakit jaringan ikat tak terdiferensiasi
trum skleroderma sistemik yang luas. 8 dengan 2 atau 3 dari gambaran skleroderma beri-
Referat ini ingin mengupas lebih dalam tentang sin- kut: sklerodaktili, pitting scar, atau pola kapiler
drom CREST mulai aspek klasifikasi penyakit ini dalam skleroderma; atau salah satu dari gambaran ter-
skleroderma, patogenesis, gambaran klinis, prognosis, sebut bersama dengan salah satu dari berikut ini:
dan terapi yang terbaru, semoga bermanfaat. Raynaud phenomenon, fibrosis pulmoner, atau ke-
terlibatan visera (esofagus, jantung, ginjal); tetapi
tidak memenuhi kriteria untuk kelompok III dan
IV; tidak ada antibodi antisentromer; tidak ada
2. Tinjauan Pustaka telangiektasia
2.1 Klasifikasi sindrom CREST
• Tipe VI – CREST; tidak ada keterlibatan kulit,
Karena dirancang untuk aplikasi penelitian dan tidak
atau hanya sklerodaktili, telangiektasia diperlukan
untuk diagnosis klinis, sistem klasifikasi tahun 1980
dengan salah satu atau lebih akronim lain; atau
oleh American College of Rheumatology mendapatkan
antibodi antisentromer diperlukan dengan 2 atau
kritik karena sensitivitas yang rendah dalam mengiden-
lebih akronim
tifikasi penyakit dini dan bentuk skleroderma sistemik
yang lebih ringan seperti sindrom CREST. Keterbatas- • Tipe VII – bila dijumpai tipe II dan III serta gejala
an ini disebabkan oleh pengelompokkan pasien dengan CREST
sindrom skleroderma ke dalam 2 kelompok: mereka
dengan skleroderma kutaneus difus dan mereka yang • Tipe VIII - bila dijumpai tipe II dan III tanpa
memiliki bentuk skleroderma lebih terbatas sedangkan gejala CREST. 8
yang lainnya menunjukkan adanya keterlibatan visera,
prognosis yang lebih buruk, dan mortalitas yang lebih
tinggi semuanya lebih sering muncul pada pasien de-
ngan penyakit difus. 8
Pada tahun 2004, Nadashkevich dkk mengusulkan
kriteria klasifikasi (1) autoantibodi terhadap protein sen-
tromer, Scl-70 (topo I) dan fibrillarin; (2) fibrosis pul-
moner bibasilar; (3) kontraktur pada sendi jari atau pra-
yer sign (tanda pendoa); (4) penebalan dermis prok-
simal terhadap lengan; (5) calcinosis kutis; (6) feno-
mena Raynaud (setidaknya perubahan warna 2 fase);
(7) hipomotilitas distal esofagus atau esofagitis refluks;
(8) sklerodaktili atau edema jari tangan nonpitting; dan
(9) telangiektasia, yang dapat diingat dengan singkatan
ABCDCREST. Memenuhi 3 atau lebih kriteria mengin-
dikasikan skleroderma sistemik definitif dengan sensiti-
vitas dan spesifisitas mencapai masing-masing 99% dan
100%. Gambar 1. Tanda kardinal sindrom CREST
Juga pada tahun 2004, Maricq dan Valter memiliki
usulan yang meski kompleks tetapi kemungkinan sangat
berguna untuk mengklasifikasikan kelainan spektrum 2.2 Patogenesis
skleroderma. Klasifikasi untuk penyakit spektrum skle- Patogenesis penyakit skleroderma kompleks melibatkan
roderma adalah sebagai berikut: interaksi sistem imun, genetik, vaskulopati, dan fibrosis
jaringan. Tiga gambaran patologis primer ditemukan
• Tipe I – keterlibatan kulit secara difus proksimal dalam skleroderma dan mencakup peningkatan depo-
terhadap siku atau lutut; termasuk batang tubuh sit kolagen, infiltrasi sel mononuklear perivaskuler, dan
abnormalitas vaskuler. Ciri khas patologis dari sklero-
• Tipe II – keterlibatan kulit secara intermediate
derma adalah fibrosis jaringan yang progresif. Kolagen
proksimal terhadap metacarpal phalangeal/metatarsal
(tipe I, III, IV, dan VII), fibronektin, glikosaminoglikan,
• Tipe III – hanya digital sclerodactyly (memenuhi dan proteoglikan menumpuk di dalam interstitium dan
kriteria minor American College of Rheumatology dalam intima arteri kecil. Fibroblast kulit pada pasien
tetapi mengeksklusi mereka tanpa keterlibatan skleroderma teraktifkan secara persisten. 9
kulit) Infiltrasi mononuklear kemungkinan mendahului fi-
brosis jaringan. Meski infiltrat inflamatorik ini mung-
• Tipe IV – scleroderma sine scleroderma (pola kin menyertai fibrosis dalam jaringan, ia mungkin juga
kapiler atau pitting scar dan keterlibatan visera; muncul tanpa fibrosis, menunjukkan bahwa infiltrasi ini
pasien dengan sindrom CREST. Semua pasien me- syndrome) penyakit autoimun juga dapat ditemu-
miliki motilitas normal pada esofagus proksimal, kan bersama skleroderma. Sindrom Sjogern’s,
yang terutama terdiri dari otot striatum. Prevalen- arthritis rematoid, hepatitis autoimun, bahkan si-
si esofagitis dan striktura (41%) dalam populasi rosis bilier primer mungkin berhubungan dengan
pasien ini lebih tinggi daripada pasien yang sehat sindrom CREST maupun skleroderma. 21–24 Kri-
dengan penyakit refluks gastroesofageal. Gejala sis ginjal jarang terjadi pada mereka dengan skle-
heartburn dan disfagia bisa terjadi pada pasien de- roderma terbatas (1%); mereka memanifestasikan
ngan esofagitis erosif. 16 Komplikasi dari refluks percepatan hipertensi, gagal ginjal, dan anemia
gastroesofageal yaitu esofagitis Barret, transfor- hemolitik mikroangiopatik (Korn, 2003). Skle-
masi malignan adenokarsinoma esofageal akibat roderma berhubungan dengan risiko yang lebih
esofagitis Barrett, juga telah terdokumentasikan tinggi untuk kanker, secara khusus kanker paru. 25
pada pasien skleroderma. Kemungkinan kompli-
kasi lain dari dismotilitas esofagus dan refluks 2.4.2 Pemeriksaan Fisik
gastroesofageal adalah occult aspiration (aspirasi 1. Kalsinosis. Dalam skleroderma, deposit kalsifi-
tersembunyi) dan penyakit pulmoner. 17 kasi ditemukan terutama dalam ekstremitas, sen-
di sekitarnya, dan penonjolan tulang sekitarnya.
4. Sklerodaktili. Sklerodaktili berarti penebalan ku- Deposit biasanya ditemukan dalam permukaan
lit jari tangan dan kaki. Tiga fase perubahan kulit fleksor tangan dan permukaan ekstensor lengan
muncul dalam skleroderma: fase edematosa, fase bawah dan lutut. Deposit berada dalam dermis te-
induratif, dan fase atrofi. Pasien dengan skleroder- tapi dapat ditemukan dalam jaringan periartikuler
ma yang masih dini muncul dengan puffy edema yang lebih dalam. 13
pada jari tangan dan mungkin melaporkan ada-
nya kaku pagi hari atau atralgia. Fase edematosa 2. Fenomena Raynaud. Perubahan warna trifasik
biasanya pendek (dalam hitungan bulan, tetapi ka- yang terdiri dari pucat, sianosis, dan eritema me-
dang hingga tahunan). Dalam fase induratif, kulit wakili masing-masing fase vasokonstriksi, aliran
menjadi lebih tebal, tampak mengkilat, lipatan darah yang lambat, dan reperfusi. Perubahan war-
kulit menghilang dan kencang, eritema mungkin na meluas secara proksimal dari ujung jari menuju
muncul, pasien mungkin mengeluh gatal. Dalam berbagai tingkatan, dengan batas demarkasi yang
skleroderma terbatas, proses ini berlangsung per- jelas. 15
lahan selama bertahun-tahun. Pada akhir perjalan- 3. Dismotilitas esofagus. Perubahan paling awal di
an skleroderma, kulit menjadi rapuh dan kendor dalam esofagus distal (terutama terdiri dari otot
seiring memasuki fase atrofi. Pada pasien sklero- polos) adalah pola kontraksi yang tidak terorga-
derma terbatas, perubahan penyakit kulit terjadi nisir dan tidak terkoordinasi yang menyebabkan
secara perlahan, selama bertahun-tahun, biasanya peristaltik yang lambat atau tidak ada. Tekan-
keterlibatan kulit terjadi pada distal siku dan lutut, an lower esophageal sphincter (LES) biasanya
meski dapat melibatkan wajah dan leher. 18 lebih rendah setelah diperiksa dengan manome-
5. Telangiektasia. Telangiektasia adalah lesi yang tri esofagus dan relaksasi inkomplit LES terjadi.
dibentuk oleh sekumpulan pembuluh darah yang Pemeriksaan HRCT (high resolution CT) radio-
mengalami dilatasi. Pada pasien skleroderma, nuklir atau skintigrafi esophagus bisa membantu
telangiektasia terjadi pada wajah, badan tubuh menilai apakah terdapat kelainan waktu transit di
atas, dan tangan. Lesi mungkin juga terjadi pada esophagus. 17,16
permukaan mukosa (seperti bibir) dan sepanjang 4. Sklerodaktili. Proses ini biasanya dimulai dalam
traktus gastrointestinal (perdarahan saluran cerna jari distal dan berlanjut secara proksimal, mung-
rekuren) dan mungkin asimtomatis. 1 kin juga terjadi pada wajah, pada dahi, dan sekitar
6. Manifestasi lainnya. Arthralgia sering terjadi mulut. Keterlibatan wajah dapat berakibat pada
(90% pasien), tetapi arthritis erosif jarang terjadi. gambaran mauskopf (kepala tikus). Bibir menja-
Kelemahan otot proksimal dapat terjadi (Tager di lebih tebal, dan alur radial muncul di sekitar
and Tikly, 1999). Hipertensi pulmoner paling se- mulut. Apertura oralis berkurang ukurannya (mik-
ring muncul tanpa adanya fibrosis interstisial pada rostomia), kerutan pada dahi menghilang. 18
sekitar 3-14% pasien sindrom CREST. Hipertensi 5. Telangiektasia. Lesinya datar dan nonpulsatil
pulmoner adalah kejadian yang sangat akhir dan dan biasanya memiliki bentuk persegi atau me-
prognosis buruk, dengan tingkat mortalitas sebe- manjang. Pembuluh darah sangat berdekatan se-
sar 50% setelah 2 tahun. Gejala yang menandai hingga tampak sebagai lembaran tikar. 1
fenomena ini termasuk dispnea saat aktivitas dan
batuk. 19 Keterlibatan miokardium jarang terjadi 2.4.3 Pemeriksaan laboratorium
pada pasien dengan skleroderma terbatas; berma- Tes ANA (Antinuclear antibody): skleroderma terbatas
nifestasi sebagai dispnea saat aktivitas, fatigue, berhubungan dengan kenaikan awal kadar ANA, dimana
dan palpitasi. Aritmia dan abnormalitas konduksi sensitifitas ANA pada sklerosis sistemik 85%, spesifi-
dapat terjadi. 20 Sindrom tumpang tindih (overlap tas sekitar 54%. Lupus eritematosus sitemik, artritis
rematoid, dan penyakit jaringan ikat lain juga sering antiinflamasi-imunosupresan ini mencegah perburukan
memberikan hasil ANA yang posistif. 26 lesi vaskular, atrofi kulit, dan fibrosis jaringan dengan
Antibodi antisentromer (ACA): ditemukan pada se- mengurangi lebih awal inflamasi dan gejala vaskular.
kitar 50-90% pasien scleroderma, dan 82-96% pasien Daftar DMARD yang terbukti bermanfaat, kami rang-
sindrom CREST, spesifitasnya 95%. Antibodi Scl-70 kum dalam tabel 1.
(anti-topoisomerase I) ini berhubungan dengan sklero-
2.6.3 Terapi berdasarkan gejala
derma difus, awal keterlibatan organ dalam, dan penan-
da prognosis buruk. 27 Indikator non spesifik inflamasi 1. Kalsinosis. Tidak ada penelitian prospektif bers-
(lekosistosis ringan, anemia normositik-normokromik, kala besar terkontrol plasebo yang telah dilakukan
trombositosis, peningkatan laju enap darah, dan pening- untuk meneliti terapi kalsinosis. Literatur yang
katan protein reaktif) jarang tapi mungkin ditemukan ada terutama hanya dari laporan kasus dan serial
pada skleroderma terbatas. kasus. Dengan demikian, harus diperhatikan bah-
wa kalsinosis sembuh secara spontan pada hingga
2.5 Mortalitas dan morbiditas 55% pasien dalam beberapa laporan. 1 Warfarin
Di dalam sebuah penelitian tahun 2007 di AS oleh Ste- dosis rendah mungkin bermanfaat pada pasien
en dan Medsger, tingkat survival dari waktu diagnosis tertentu dengan penyakit yang masih dini atau
diestimasikan sekitar 77.9% pada 5 tahun, 66% pada ringan. 29 Terapi kortikosteroid intralesi, probene-
10 tahun, 37.4% pada 15 tahun, dan 26.8% pada 20 cid, diltiazem, bifosfonat, minosiklin, aluminium
tahun. Luas keterlibatan kulit adalah prediktor baik un- hidroksida, kolkisin dosis rendah mungkin dapat
tuk survival pada pasien dengan skleroderma. Penyakit dicoba, tetapi penelitian acak yang lebih besar
kutaneus yang terbatas berhubungan dengan tingkat su- diperlukan untuk membuktikan efikasinya. 1
rvival yang lebih baik daripada penyakit difus. Begitu 2. Fenomena Raynaud. Anjurkan semua pasien
juga pasien yang hanya menderita sklerodaktili memiliki dengan fenomena Raynaud untuk menggunakan
tingkat survival yang lebih baik daripada pasien dengan teknik penghangatan tangan dan tubuh yang ba-
keterlibatan kulit batang tubuh. ik, penggunaan sarung tangan, topi, dan jaket ke
Keterlibatan renal bertanggung jawab atas setengah luar rumah dan, jika diperlukan, di dalam rumah.
dari kematian yang terkait skleroderma pada pasien de- Pentingnya mempertahankan temperatur tubuh
ngan perubahan kulit luas, sedangkan pasien yang hanya dan tangan tetap lebih tinggi tidak dapat diang-
memiliki sklerodaktili tidak memiliki kecenderungan un- gap sebagai berlebihan. 1 Calcium channel bloc-
tuk mengalami penyakit ginjal apapun. Mortalitas pada ker (CCB) adalah pilihan utama terapi medis un-
pasien dengan keterlibatan kulit yang terbatas memiliki tuk fenomena Raynaud. CCB yang kerja pendek
penyebab jantung, pulmoner, dan saluran cerna. 2 efektif, tetapi mereka sering berhubungan dengan
efek samping (seperti nyeri kepala, flushing, dizzi-
2.6 Terapi Medis ness, edema). Di dalam sebuah penelitian terbaru
2.6.1 Secara global (edukasi) oleh Raynaud’s Treatment Study Investigators, ni-
Diagnosis sindrom CREST membawa konsekuensi fi- fedipine sustained release mengurangi frekuensi
sik dan psikologis, sehingga sebuah pendekatan secara serangan hingga sekitar 60% dan ditolerir dengan
holistik untuk penanganan pasien harus dilakukan. Eva- baik. CCB kurang efektif dalam fenomena Ray-
luasi keterlibatan organ, edukasi pasien tentang perjalan- naud terkait skleroderma daripada dalam penyakit
an klinis penyakit, dukungan keluarga, dan pengobatan Raynaud primer, nifedipin mulai 10 mg tiga kali
yang didasarkan atas tingkat keparahan penyakit dan ke- sehari (maksimal 90mg/hari) atau diltiazem maks
terlibatan organ diperlukan. Pasien skleroderma mung- 360 mg/hari menunjukkan efektifitas dalam ke-
kin mendapatkan manfaat dari bertemu dengan orang lompok ini dalam penelitian yang berdurasi lebih
lain yang memiliki penyakit yang sama. Depresi mem- lama. Sebuah meta-analisis tahun 2005 tentang
pengaruhi sekitar 45% pasien dengan sklerosis sistemik terapi CCB untuk fenomena Raynaud oleh Thom-
dan 64% juga mengalami kecemasan, dengan demikian pson and Pope menunjukkan manfaat kecil dalam
penilaian dan terapi sejak dini terhadap masalah psikolo- mengurangi tingkat keparahan dan frekuensi se-
gis ini direkomendasikan. 1 Para peneliti di Eropa telah rangan iskemik (rata-rata 2,8 - 5 serangan lebih
melakukan penelitian fase I dan II mengenai pengguna- sedikit/minggu dan reduksi 33% tingkat keparah-
an transplantasi sel punca hematopoietik untuk sklerosis an). Selain obat CCB terdapat beberapa macam
sistemik berat, dan uji klinis secara acak kini sedang di- obat golongan vasoaktif yang memperbaiki ku-
lakukan. Hanya penelitian lebih lanjut dan waktu yang alitas hidup dan prognosis penderita fenomena
akan memberi tahu apakah terapi ini bermanfaat untuk Raynaud dengan skleroderma. Obat vasoaktif ini
skleroderma berat di masa mendatang. 28 kami rangkum dalam tabel 2. Langkah terapetik
berikut ini diusulkan untuk terapi pasien dengan
2.6.2 Terapi DMARD
fenomena Raynaud:
Obat-obatan anti rematik modifikasi penyakit (disease
modifying anti-rheumatic drugs/ DMARD) juga digu- • Kurangi dan singkirkan faktor risiko dan
nakan untuk mengobati penyakit CREST dan skleroder- pemicu. Hentikan merokok, hindari beta-
ma secara umum. Tujuan utama terapi obat golongan blocker, dan hindari semua penyebab yang
Tabel 1. Terapi DMARD untuk sklerosis sistemik (Blank and Lorenz, 2006)
dapat dihindari (seperti penggunaan alat yang dengan keberhasilan menangani telangiektasia sa-
bergetar) luran cerna (seperti terapi medis dengan estrogen-
• Ajari aktivitas penghangatan tubuh dan ta- progesteron atau desmopressin, ablasi laser, skle-
ngan roterapi) (Korn, 2003).
Tabel 2. Obat vasoaktif lain selain CCB yang bermanfaat untuk penderita fenomena Raynaud 30
2.7.4 Sklerodaktili katan dari gambaran klinis kardinal dari sindrom. Pa-
Jika sklerodaktili menyebabkan kontraktur yang eksten- togenesis penyakit ini kompleks melibatkan interaksi
sif, sebuah terapi operatif yang direncanakan dengan sistem imun, genetik, vaskulopati, dan fibrosis jaringan.
hati-hati dan dilakukan secara teliti telah menunjukkan Tiga gambaran patologis primer ditemukan dalam skle-
memiliki keberhasilan yang baik dengan tingkat kepu- roderma dan mencakup peningkatan deposit kolagen,
asan pasien yang tinggi. Telangiektasia: reseksi usus infiltrasi sel mononuklear perivaskuler, dan abnormali-
untuk perdarahan GI yang tidak terkendali karena tela- tas vaskuler.
ngiektasia jarang diperlukan. 32 Kriteria diagnosis skleroderma: (1) autoantibodi ter-
hadap protein sentromer, Scl-70 (topo I); (2) fibrosis
2.8 Konsultasi pulmoner bibasilar; (3) kontraktur pada sendi jari atau
Merawat penderita sindrom CREST memerlukan kerja- prayer sign (tanda pendoa); (4) penebalan dermis prok-
sama antar disiplin ilmu kedokteran. Konsultan remato- simal terhadap lengan; (5) calcinosis kutis; (6) feno-
logi lebih kompeten mengikuti pasien sindrom CREST, mena Raynaud (setidaknya perubahan warna 2 fase);
merujuk padanya sangat dianjurkan. Spesialis kulit dan (7) hipomotilitas distal esofagus atau esofagitis refluks;
kelamin sering dapat mendiagnosis dan mengobati le- (8) sklerodaktili dan (9) telangiektasia, yang dapat di-
bih awal sindrom CREST. Konsultan gastroenterologi singkat ABCDCREST. Memenuhi 3 atau lebih kriteria
mungkin diperlukan untuk pemeriksaan endoskopi seba- mengindikasikan skleroderma sistemik definitif dengan
gai monitor penyakit esofagal dan evaluasi serta terapi sensitivitas dan spesifisitas mencapai masing-masing
perdarahan gastrointestinal akibat telangiektasia. Psiki- 99% dan 100%. Terapi sindrom CREST sampai saat ini
ater mungkin diperlukan untuk mengobati depresi dan belum memuaskan pasien karena penyebab dan patoge-
ansietas. Ahli rehabiltasi medik dan fisioterapi juga ber- nesis yang multifaktorial, mencakup penanganan secara
manfaat bagi pasien yang menderita kekakuan jari-jari global, edukasi, terapi imunosupresan (DMARD), terapi
dan tangan akibat sklerodaktili. Tidak diperlukan reko- berdasarkan gejala, obat vasoaktif, terapi pembedahan,
mendasi diet dan aktifitas khusus. Tujuan akhir farma- dan kerjasama antar disiplin ilmu kedokteran.
koterapi adalah mengurangi morbiditas dan mencegah
komplikasi. 1
Daftar Pustaka
3. Kesimpulan 1. Horner KL, Raugi GJ, Wemple MA. CREST syn-
drome. eMedicine Dermatology. 2008;Available
CREST (calcinosis, Raynaud phenomenon, esophage- from: http://www.emedicine.medscape.
al dysmotility, sclerodactyly, dan telangiectasia) syn- com.
drome adalah anggota kelompok heterogen skleroder-
ma/sklerosis sistemik, dan namanya merupakan sing- 2. Steen VD, Medsger TA. Changes in Causes of
Death in Systemic Sclerosis, 1972–2002. Annals 16. Sheehan NJ. Dysphagia and other manifestations
of the Rheumatic Diseases. 2007;66(7):940–944. of oesophageal involvement in the musculoskeletal
diseases. Rheumatology. 2008;47(6):746–752.
3. Simeon CP, Armadans L, Fonollosa V, Solans R,
Selva A, Villar M, et al. Mortality and prognostic 17. Pitrez EH, Bredemeier M, Xavier RM, Capobianco
factors in Spanish patients with systemic sclerosis. KG, Restelli VG, Vieira MV, et al. Oesophageal
Rheumatology. 2003;42(1):71–75. dysmotility in systemic sclerosis: comparison of
HRCT and scintigraphy. The British Journal of
4. Guern VL, Mahr A, Mouthon L, Jeaneret D, Ca-
Radiology. 2006;79:719–724.
rzon M. Prevalence of systemic sclerosis in
a French multi-ethnic county. Rheumatology. 18. Jones J, Brenner C, Chinn R, Bunjer CB. Pictorial
2004;43(9):1129–1137. review: Radiological associations with dermatolo-
gical disease. The British Journal of Radiology.
5. Allcock RJ, Forrest I, Corris PA, Crook PR, Gri-
2005;78:662–671.
ffiths ID. A study of the prevalence of systemic
sclerosis in northeast England. Rheumatology. 19. Hoeper MM. Pulmonary hypertension in collagen
2004;43:596–602. vascular disease. European Respiratory Journal.
6. Hunzelmann N, Genth E, Krieg T, Lehmacher W, 2002;19(3):571–576.
Melchers I, Meurer M, et al. The registry of the
20. Roman MJ, Salmon JE. Cardiovascular Manifes-
German Network for Systemic Scleroderma: frequ-
tations of Rheumatologic Diseases. Circulation.
ency of disease subsets and patterns of organ invo-
2007;116(20):2346–2355.
lvement. Rheumatology. 2008;47(8):1185–1192.
7. Tager RE, Tikly M. Clinical and laboratory manifes- 21. Marie I, Levesque H, Tranvouez JL, Francois A,
tation of systemic sclerosis (scleroderma) in Black Riachi G, Cailleux Nea. Autoimmune hepatitis
South Africans. Rheumatology. 1999;38:397–400. and systemic sclerosis: a new overlap syndrome.
Rheumatology. 2001;40:102–106.
8. Wollheim FA. Clasification of systemic sclerosis.
Vision and reality. Rheumatology. 2005;44:1212– 22. Avouac J, Sordet C, Depinay C, Ardizonne M,
1216. Vacher-Lavenu MC, Sibilia J, et al. Systemic sclero-
sis associated Sjogren’s syndrome and relationship
9. Khan AI, Susa J, Ansari MQ. Systemic Sclero- to the limited cutaneous subtype: Results of a pros-
sis (Scleroderma). Labmedicine. 2005;36(11):723– pective study of sicca syndrome in 133 consecutive
726. patients. Arthritis & Rheumatism. 2006;54(7):2243–
2249.
10. Denton CP, Black CM. Scleroderma (Systemic
Sclerosis): Fitzpatrick’s Dermatology in General 23. Nakamura T, Higashi S, Tomoda K, Tsukano M,
Medicine. McGraw-Hill. 2008;7:1553–1562. Sugi K. Primary biliary cirrhosis (PBC)–CREST
overlap syndrome with coexistence of Sjögren’s
11. Loubiere LS, Lambert NC, Madeleine MM, Porter
syndrome and thyroid dysfunction. Clinical Rheu-
AJ, Mullarkey ME, Pang JM. HLA allelic vari-
matology. 2007;26(4):596–600.
ants encoding DR11 in diffuse and limited syste-
mic sclerosis in Caucasian women. Rheumatology. 24. Szucs G, Szekanecz Z, Zilahi E, Kapitany A, Barath
2005;44:318–322. S, Szamosi S. Systemic sclerosis–rheumatoid ar-
12. Bovenzi M, Barbone F, Pisa FE, Betta A, Romeo L, thritis overlap syndrome: a unique combination of
Tonello A, et al. A case-control study of occupatio- features suggests a distinct genetic, serological and
nal exposures and systemic sclerosis. International clinical entity. Rheumatology. 2007;46:989–993.
Archives of Occupational and Environmental Heal-
25. Hill CL, Nguyen AM, Roder D, Roberts-Thomson
th. 2004;77(1):10–16.
P. Risk of cancer in patients with scleroderma:
13. Tangri N, Young BM. Soft-tissue infection and a population based cohort study. Annals of the
underlying calcinosis of CREST syndrome. Canadi- Rheumatic Diseases. 2003;62(8):728–731.
an Medical Association Journal. 2006;175(9):1060–
26. Hesselstrand R, Scheja A, Shen GQ, Wiik A, Akes-
1061.
son A. The association of antinuclear antibodies
14. Herrick AL. Review: Pathogenesis of Raynaud’s with organ involvement and survival in systemic
phenomenon. Rheumatology. 2005;44:587–596. sclerosis. Rheumatology. 2003;42(4):534–540.
15. Sunderkotter C, Riemekasten G. Pathophysiology 27. Hu PQ, Fertig N, Medsger TA, Wright TM. Mole-
and clinical consequences of Raynaud’s phenome- cular Recognition Patterns of Serum Anti-DNA To-
non related to systemic sclerosis. Rheumatology. poisomerase I Antibody in Systemic Sclerosis. The
2006;45:iii33–iii35. Journal of Immunology. 2004;173(4):2834–2841.