Anda di halaman 1dari 20

SKLERODERMA SISTEMIK

Definov Tacsa Meta1, Kiki Yuliana1, Nadia Putri1, Nur Islah Agusti1, Qodri Alfi1, Syadzwina
Syaufika1, T. Resty Yuladary1,
Endang Herliyanti Darmani2
1
Fakultas Kedokteran Universitas Riau/RSUD Arifin Achmad, Pekanbaru
2
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
ABSTRACT
Scleroderma is a complex disease , in which happen of the expansion of the fibrosis
process, vascularization changes and autoimmune

to various antigens. Scleroderma is

divided into two forms : localized and systemic scleroderma ( morphea ) . Systemic
scleroderma are excessive collagen deposition , the process causes the skin to become hard
and thickened . Management of scleroderma based on patogenenis and clinical
manifestations .

ABSTRACT
Skleroderma merupakan penyakit yang kompleks, dimana terjadinya perluasan proses
fibrosis, perubahan vaskularisasi dan autoimun terhadap berbagai antigen. Skleroderma
terbagi dalam dua bentuk: skleroderma sistemik dan skeleroderma lokalisata (morphea).
skleroderma sistemik terdapat pengendapan kolagen secara berlebihan, proses tersebut
menyebabkan kulit menjadi keras dan menebal. Penatalaksanaan skleroderma berdasarkan
patogenenis dan manifestasi klinis.
PENDAHULUAN
Skleroderma secara terminologi diartikan sebagai kulit yang mengeras. Tetapi,
skleroderma (yang juga disebut sebagai sistemik sklerosis) lebih dari sekedar gangguan pada
kulit. Skleroderma sistemik juga melibatkan organ dalam seperti paru-paru, jantung, dan
ginjal.1 Skleroderma sistemik adalah penyakit jaringan konektiv yang terjadi secara sistemik
yang ditandai dengan gangguan vasomotor, fibrosis, diikuti oleh atrofi kulit dan otot dan
gangguan imunologis.2

Skleroderma sistemik adalah

penyakit yang jarang dijumpai. Secara global

diperkirakan 2-10 orang dari satu juta populasi menderita skleroderma sistemik. Di AS, pada

100.000 populasi, 67 pria dan 265 wanita didiagnosis sistemik sklerosis. Angka kematian
yang terjadi di AS dan Eropa terjadi pada 3 orang dari satu juta populasi. Umumnya,
gangguan jantung dan paru-paru yang bertanggung jawab terhadap kematian pasien yang
menderita skleroderma sistemik. 12% pasien skleroderma sistemik menderita hipertensi
pulmonal dan 9% mengalami fibrosis jaringan paru yang menyebabkan kematian. Wanita
lebih banyak menderita dibandingkan pria dengan perbandingan 3-6:1 dan muncul pada usia
30-40 tahun.2

90 % penderita sklerodema

sitemik

mengalami fenomena Raynaud,

sedangkan 15-20% mengalami gagal ginjal. Gangguan pada kulit berupa penebalan secara
cepat dan sangat mengganggu. Penebalan pada kulit dapat terjadi di lengan dan paling
banyak pada kaki. Penebalan awalnya sedikit dan akan meluas secara progresiv ( minggubulan)2
DEFINISI
Skleroderma merupakan penyakit yang kompleks, dimana terjadinya perluasan proses
fibrosis, perubahan vaskularisasi dan autoimun terhadap berbagai antigen merupakan ciri-ciri
yang utama. Skleroderma terbagi dalam dua bentuk: skleroderma lokalisata (morphea) dan
skeleroderma sistemik.1,2 Skleroderma lokalisata adalah bentuk skleroderma yang menyerang
kulit secara lokal tanpa disertai kelainan sistemik dengan gejala khas bercak-bercak putih
kekuning-kuningan dan keras, seringkali mempunyai halo ungu di sekitarnya. Penyakit ini
dimulai dengan stadium inisial yang inflamatorik,

kemudian

memasuki fase

sklerodermatik.2 Sedangkan skleroderma sistemik mirip skleroderma lokalisata, penyakit


jaringan ikat yang tidak diketahui penyebabnya, ditandai oleh fibrosis kulit dengan
keterlibatan organ internal yang luas terutama paru-paru, traktus gastrointestinal, ginjal dan
jantung. 3,4
EPIDEMIOLOGI
Insiden penyakit skleroderma sistemik meningkat dari 0,6 hingga 16 pasien dari 1 juta
populasi, dengan angka prevalensi 2 hingga 233 pasien dalam 1 juta populasi pertahun.
Wanita lebih sering terkena dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 3:1 sampai 14:1.
Usia berkisar antara 30 dan 50 tahun yang banyak terkena penyakit ini, namun pasien lakilaki memiliki onset lebih awal. Penderita kulit hitam lebih banyak dari pada penderita kulit
putih. 5
ETIOLOGI
Penyebab skleroderma sistemik belum diketahui pasti namun penyakit ini berkaitan
dengan faktor genetik dan lingkungan. Tentang faktor genetic, berhubungan dengan HLA,

misalnya HLA-A1, B8-DR3 atau dengan DR3 dan DR-2, terjadi pula peningkatan
pemecahan kromosom. Faktor lingkugan yang diduga berhubungan ialah debu silika,
polivinyl klorida, hidrokarbon aromatik. Juga obat-obatan misalnya bleomisisn, pentazokin
dan L-triptofon. Adanya faktor pencetus akan menstimulasi sistem imun, baik selular maupun
humoral.3,4
KLASIFIKASI
Pada pasien dengan skleroderma sistemik terdapat pengendapan kolagen secara
berlebihan, proses tersebut menyebabkan kulit menjadi keras dan menebal. Pada beberapa
orang kelebihan deposito kolagen tersebut hanya melibatkan jari, wajah atau tangan dan juga
dapat ditemukan pada seluruh tubuh. Adapun klasifikasi skleroderma sistemik berdasarkan
tingkat keterlibatan kulit dapat dikelompokkan kedalam dua bagian yaitu:6
a. Limited Cutaneous Disease (Terbatas)
Pada kelompok ini penebalan atau pengerasan kulit biasanya hanya pada bagian
atas dari siku atau di atas lutut, sedangkan di area bawah siku dan lutut tidak ikut
terlibat dengan atau tanpa melibatkan wajah. Penebalan kulit berkembang secara
bertahap dan biasanya tidak mengganggu. Pengukuran kulit pada kelompok ini
skornya sedikit dan tidak mengalami perubahan dalam waktu yang bertahun-tahun.6
b. Diffuse Cutaneous Disease (Menyebar)
Pada kelompok ini ditandai dengan kulit tebal atau mengeras pada lengan di atas
dan di bawah siku, dan sering pada tungkai baik di atas atau di bawah lutut dengan
atau tanpa keterlibatan wajah dan perut. Penebalan kulit tersebut terjadi secara cepat
dan dapat menegnai beberapa daerah diseluruh tubuh dalam waktu yang singkat
(hitungan minggu atau bulan). Proses tersebut terus berlanjut terus satu sampai tiga
tahun dan menetap satu sampai dua tahun, setelah itu biasanya penebalan mulai surut
kulit mulai menipis dan lembut kembali.6

MANIFESTASI KLINIS
Skleroderma sistemik memberikan manifestasi klinik pada berbagai organ seperti:6
-

Raynaud Fenomena terjadi hamper 90 % pada pasien dengan scleroderma sistemik.

Scleroderma foundation
Disfagia
Luka-luka pada kulit terutama daerah jari-jari dan pada beberapa pasien ada juga
mengenai pergelangan tangan, siku dan pergelangan kaki.

Rasa tidak enak atau tidak nyaman diperut seperti perut terasa penuh walaupun

setelah makan dalam porsi yang sedikit, perut kembung, diare atau bahkan sembelit.
Sekitar 10-15 % pasien ada yang menunjukka gejala sesak napas karena terjadi

fibrosis paru.
10-20% dengan hipertensi pulmonal

Adapun cirri khas dari keterlibatan organ ialah:6


1. Kulit
Kulit merupakan jaringan terluas dari tubuh manusia dan tersebar diseluruh permukaan
tubuh, sehingga diperlukan metode khusus untuk mengukur ketebalan kulit, yang paling
sering digunakan ialah sistim scoring. Dilakukan dengan cara mencubit pada 17 area pada
tubuh dan diberikan skala 0-3 (dimana 0 adalah normal dan 3 merupakan kulit sangat
tebal), kemudian dijumlahkan total skor pada masing-masing area dengan rentang skor 051. Skor tersebut dicatat guna menilai perkembangan penyakit dari waktu kewaktu.
2. Paru
Sebagian besar orang dengan scleroderma sistemik dengan computed tomograpi pada
paru-paru akan terlihat jaringan parut, namun hanya sekitar 40% yang memiliki gejala
penurunan kapasitas fungsi paru.6
3. Ginjal
Gagal ginjal merupakan komplikasi terberat yang terjadi terutama pada scleroderma kulit
difus yang terjadi kurang dari 5 tahun. Diawali dengan penurunan aliran darah ke ginjal.6

PATOGENESIS
Patogenesis skleroderma terdiri dari proses vaskulopati, aktivasi respon imun seluler
dan humoral serta progresivitas fibrosis organ multipel. Autoimunitas, perubahan fungsi sel
endotel dan aktifitas vaskuler mungkin merupakan manifestasi dini dari skleroderma berupa
fenomena Raynaud yang terjadi bertahun-tahun sebelum gambaran klinis lain muncul. Terjadi
proses yang kompleks dari proses fibrosis mulai dari inisiasi, amplifikasi dan perbaikan
jaringan.7
Cedera vaskuler dini pada penderita yang secara genetik rentan terhadap scleroderma,
akan menyebabkan perubahan fungsi dan struktur vaskuler, inflamasi dan terjadinya
autoimunitas. Inflamasi dan respon imun akhirnya menyebabkan sel fibroblast teraktifasi dan

berdifernsiasi secara terus menerus, menghasilkan fibrogenesis yang patologis dan kerusakan
jaringan yang ireversibel.7,8

Gambar 1. Skema pathogenesis kompleks Sklerosis Sistemik 7,8


Vaskulopati
Pada Skleroderma keterlibatan vaskuler yang terjadi tersebar luas dan penting dalam
implikasi klinis. Fenomena Raynaud, sebagai manifestasi awal penyakit ditandai dengan
perubahan respon aliran darah pada suhu dingin. Perubahan ini awalnya reversibel, terjadi
akibat perubahan sistem saraf otonom dan perifer dengan kurangnya produksi neuropeptida
seperti calcitonin gen-related peptide dari aferen saraf sensoris dan peningkatan sensitifitas
reseptor alpha 2-adrenergik pada sel otot polos vaskuler. Pada fenomena Raynaud primer
gejala klinis relatif lebih ringan dan tidak progresif seperti halnya Skleroderma yang
mengakibatkan perubahan morfologi dan fungsi sirkulasi yang ireversibel dan mengakibatkan
cedera endotel.9
Di dalan sel endotel terdapat perubahan produksi dan responsifitas endotheliumderived factors yang memediasi vasodilatasi (nitric oxide, prostacyclin) dan vasokonstriksi
(endothelin-1). Terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah mikro sehingga diapedesis
leukosit transendotelial meningkat, aktifasi kaskade koagulasi dan fibrinolitik serta agregasi
trombosit. Proses ini menyebabkan terjadinya trombosis. Sel Endotel menunjukkan

peningkatan ekspresi molekul adhesi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) serta


molekul adhesi permukaan lainnya .7
Vaskulopati mempengaruhi pembuluh darah kapiler, arteriole dan bahkan pembuluh
darah besar pada berbagai organ. Sel miointimal yang menyerupai sel otot polos mengalami
proliferasi, membran basal menebal, reduplikasi serta terjadi perkembangan fibrosis
adventitia. Oklusi lumen vaskuler progresif akibat hipertrofi tunika intima dan media serta
fibrosis adventitia, ditambah dengan kerusakan persisten sel endotel dan apoptosis sehingga
menjadi suatu lingkaran setan. Angiogrom tangan dan ginjal pasien Skleroderma stadium
lanjut menunjukkan hilangnya gambaran vaskuler. 8,9
Kerusakan endotel menyebabkan agregasi trombosit dan pelepasan vasokonstriktor
(tromboksan) dan platelete derived growth factor (PDGF). Kerusakan vaskuler ini kemudian
diikuti dengan gangguan fibrinolisis. Stress oksidatif akibat iskemia berhubungan dengan
terbentuknya radikal bebas yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan endotel lebih
lanjut melalui peroksidasi lipid membran. Sebaliknya, proses revaskularisasi yang seharusnya
mempertahankan aliran darah pada jaringan yang iskemik tampaknya gagal pada
Skleroderma. Kegagalan vaskulogenesis terjadi dalam keadaan kadar faktor angiogenik yang
tinggi seperti vascular endothelial growth factor (VEGF). Pada pasien Skleroderma, jumlah
progenitor sel CD34+ dan CD133+ dari sumsum tulang yang beredar dalam sirkuklasi
jumlahnya menurun secara bermakna. Lebih jauh lagi, penelitian in vitro menunjukkan
diferensiasinya menjadi sel endotel matur terganggu. Oleh karena itu vaskulopati obliteratif
dan kegagalan perbaikan pembuluh darah adalah pertanda dari Skleroderma.7

Autoimunitas seluler dan humoral


Pada stadium dini penyakit, sel T dan monosit/makrofag yang teraktifasi akan
terakumulasi di dalam lesi di kulit, paru dan organ lain yang terkena. Sel T yang
menginfiltrasi, mengekspresikan penanda aktivasi seperti CD3, CD4, CD45 dan HLA-DR
serta menampakkan restriksi reseptor yang mengindikasikan ekspansi oligoclonal sebagai
respon terhadap antigen yang tidak diketahui. Sel T CD4+ yang bersirkulasi juga
meningkatkan reseptor kemokin dan mengekspresikan molekul adhesi alpha 1 integrin yang
berfungsi meningkatkan kemampuan untuk mengikat endotel dan fibroblast.7,8,9
Sel endotel mengekspresikan ICAM-1 dan molekul adhesi lain yang memfasilitasi
diapedesis leukosit. Makrofag dan sel T yang teraktivasi menunjukkan respon Th2

terpolarisasi dan mensekresi Interlukin (IL) 4 dan IL 13. Kedua sitokin Th2 ini dapat
menginduksi TGF-beta yang merupakan modulator regulasi imun dan akumulasi matriks.
TGF-beta dapat menginduksi produksi dirinya sendiri serta sitokin lain karena mempunyai
aktifitas autokrin/parakrin untuk mengaktifasi fibroblast dan sel efektor lain. 7
Penelitian DNA mengenai ekspresi sel T CD8+ pada lavase cairan bronchial
menunjukkan pola ekspresi gen Th2 terktivasi yang dicirikan dengan peningkatan kadar IL-4
dan IL-13 serta penurunan produksi interferon gamma (IFN-gamma). Sitokin Th2
merangsang sintesis kolagen dan respon profibrosis lain. IFN-gamma menghambat sintesis
kolagen dan memblok aktivasi fibroblast yang dimediasi sitokin. 7,8,9
Autoantibodi yang bersirkulasi terdeteksi pada pasien skleroderma. Autoantibodi ini
spesifisitasnya tinggi terhadap skleroderma dan menunjukkan hubungan yang kuat dengan
fenotif penyakit individual dan haplotipe HLA yang dibedakan secara genetik. Kadar
autoantibodi berhubungan dengan keparahan penyakit dan titernya berfluktuasi sesuai
aktifitas penyakit. Autoantibodi spesifik Skleroderma adalah antinuklear dan menyerang
langsung protein mitosis seperti topoisomerase I dan RNA polymerase. Autoantibodi lain
langsung menyerang antigen permukaan atau protein yang disekresi. Autoantibodi
Topoisomerase I pada Skleroderma dapat secara langsung mengikat fibroblast demikian juga
autoantibodi

terhadap

fibroblast,

sel

endotel,

fibrillin-1

serta

enzim

matriks

metalloproteinase. Beberapa autoantibodi ini mungkin mempunyai peran patogenik langsung


sebagai mediator kerusakan jaringan.7
Berbagai mekanisme potensial telah diajukan dengan memperhitungkan peran
pembentukan autoantibodi pada Skleroderma. Menurut salah satu teori, pada pasien
sklerodema self-antigen spesifik dapat membuat perubahan struktural melalui celah
proteolitik, peningkatan level ekspresi atau perubahan lokalisasi subseluler sehingga sel
tersebut dapat dikenali oleh sistem imun. Sebagai contoh, sel Tc melepaskan protease
granzim B yang merusak autoantigen, menghasilkan fragmen baru dengan neo-epitop
potensial yang merusak toleransi imun.9
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sel B berperan baik dalam autoimunitas dan
fibrosis pada scleroderma. Selain menghasilkan antibodi, Sel B dpat berperan sebagai antigen
presenting cell (APC), menghasilkan sitokin seperti IL-6 dan TGF-beta, serta memodulasi
fungsi sel T dan sel dendritik. Sel B pada pasien skleroderma menunjukkan abormalitas
intrinsik dengan peningkatan ekspresi reseptor sel B CD19, ekspansi sel B naif dan
menurunkan jumlah sel B memori serta sel plasma .8
Komponen seluler dan molekuler fibrosis

Fibrosis yang terjadi pada berbagai organ adalah penanda utama Skleroderma yang
membedakan Skleroderma dengan penyakit jaringan ikat lain. Fibrosis merupakan
konsekuensi dari autoimunitas dan kerusakan vaskuler. Proses ini ditandai dengan
penggantian arsitektur jaringan normal dengan jarunga ikat aseluler yang progresif yang
menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas scleroderma.7.8
Fibroblast dan sel mesenkim normalnya bertanggungjawab terhadap integritas
fungsional dan struktural jaringan ikat parenkim organ. Ketika Fibroblast diaktivasi oleh
TGF-beta dan sitokin lain, fibroblast mengalami proliferasi, migrasi, relaborasi dengan
kolagen dan matriks makromolekul lain, mensekresi growth factor dan sitokin, mengekspresi
reseptor permukaan untuk sitokin-sitokin tersebut dan berdiferensiasi menjadi miofibroblast.
Respon fibroblast ini memfasilitasi perbaikan cedera jaringan yang efektif. Pada kondisi
fisiologis, program perbaikan fibroblast akan berhenti dengan sendirinya setelah
penyembuhan terjadi.8
Pada respon fibrosis yang patologis, aktivasi fibroblast terjadi terus-menerus dan
makin besar yang menghasilkan perubahan matriks dan pembentukan jaringan parut.
Aktivasi fibroblast yang salah ini serta akumulasi matriks adalah perubahan patologis utama
yang mendasari terjadinya fibrosis pada scleroderm.
Selain aktivasi fibroblast jaringan ikat lokal, sel progenitor mesenkimal dari sumsum
tulang yang beredar

juga berperan dalam fibrogenesis. Sel mononuklear yang

mengekspresikan CD14 dan CD34 berdiferensiasi memproduksi kolagen alpha-smooth


muscle actin-positive fibrocytes pada penelitian in vitro. Proses ini diperkuat oleh TGF-beta.

Gambar 2. Aktivasi Fibroblast pada scleroderma.


Faktor-faktor yang meregulasi produksi progenitor sel mesenkim di sumsum tulang,
perjalananannya dari dalam sirkulasi ke tempat lesi, dan meningkatnya diferensiasinya
menjadi matriks adesif dan fibrosit yang kontraktil belum sepenuhnya diketahui. Transisi sel
epitel menjadi sel mesenkim adalah proses yang terjadi dalam berkembangnya fibrosis di
paru dan ginjal serta organ lain.9
Fibroblast dapat berdiferensiasi menjadi miofibroblast yang mirip otot polos. Baik
proses transisi epitel dan diferensiasi miofibroblast dimediasi oleh TGF-beta. Miofibroblast
bertahan di dalam jaringan terjadi karena adanya resistensi terhadap apoptosis. Miofibroblast
berkontribusi terhadap pembentukan skar melalui kemampuannya dalam memproduksi
kolagen dan TGF-beta, memperbesar kekuatan kontraktil pada matriks di sekitar dan
mengubahnya menjadi skar yang rapat. 9
Ditemukan peningkatan kecepatan transkripsi gen kolagen tipe I dari fibroblast pasien
skleroderma. Didapatkan juga peningkatan sintesis berbagai molekul matriks ekstraseluler,
ekspresi reseptor kemokin dan molekul adhesi permukaan, sekresi PDGF, resitensi tehadap
apoptosis dan sinyal autokrin TGF-beta. Aktivasi sinyal transduksi TGf-beta intraseluler
yang tidak benar melalui Smad3 phosphorylation dan kegagalan loop umpan balik negative
Smad-7 tampak pada Skleroderma. Protein koaktivator inti p300 memfasilitasi transkripsi
yang dimediasi Smad dan merupakan lokus yang penting dalam integrasi sinyal ekstraseluler
yang memodulasi fungsi fibroblast. Abnormalitas ekspresi, fungsi dan interaksi antara Smad,
p300 dan protein seluler lain mempengaruhi progresifitas proses fibrogenik scleroderma
dengan cara memodulasi transkripsi gen. 9

Gambar 3. Perubahan lesi pada berbagai stadium Skleroderma.

DIAGNOSIS SKLERODERMA

Diagnosis skleroderma sistemik biasanya dibuat atas dasar ditemukanya penebalan


kulit, fenomena Raynaud dan berbagai keterlibatan organ internal. Pada awal penyakit,
fenomena Raynaud mungkin satu-satunya manifestasi. Nail-fold capillaroscopy dapat
membantu dalam menentukan apakah termasuk dalam fenomena Raynaud primer (penyakit
Raynaud) atau sekunder. Gangguan lain yang terkait adalah perubahan kulit, seperti
eosinophilic fasciitis dan fibrosis sistemik nefrogenik, tidak terkait dengan fenomena
Raynaud atau perubahan vaskular lipatan-kuku.10
Setelah diagnosis telah ditetapkan, klinisi harus menentukan apakah penyakit ini
menyebar atau terbatas, berdasarkan tingkat mengencangkan kulit. Evaluasi awal dari
pemeriksaan fisik harus mencakup skor kulit. The Modified Rodnan Skin Score (MRSS)
adalah yang paling banyak digunakan. Luas permukaan kulit total sewenang-wenang dibagi
menjadi 17 daerah yang berbeda: jari, tangan, lengan, lengan, kaki, kaki, paha, wajah, dada,
dan perut. Di masing-masing daerah, skor kulit dievaluasi dengan palpasi manual. Skor kulit
0 untuk kulit tidak terlibat, 1 untuk penebalan ringan, 2 untuk penebalan moderat, dan 3
untuk penebalan parah (kulit picik). Skor kulit adalah jumlah dari nilai kulit daerah masingmasing, mungkin skor maksimum menjadi 51. Skor kulit cenderung berkorelasi dengan
tingkat dermal fibrosis, yang berkorelasi dengan tingkat fibrosis dan disfungsi dari internal
organ, seperti fibrosis paru, penyakit jantung skleroderma, penyakit ginjal, dan keterlibatan
gastrointestinal. Dengan terjadinya scleroderma difus, skor kulit cenderung naik dengan
cepat, tapi biasanya dan biasanya meningkat saat 3 sampai 5 tahun dan kemudian dapat
mulai kemunduran perlahan-lahan selama bertahun-tahun.10

Gambar 1 Pembagian lokasi penebalan kulit berdasarkan MRSS (The Modified Rodnan Skin
Score)10

Rekomendasi Prosedur Diagnostik Skleroderma Sistemik11


Organ yang terlibat
Sistem vaskular

Gambaran klinis
Raynaud phenomenon

Prosedur diagnosis
Coldness provocation

Nail fold capillorscopy

Tingkat antinuclear
antibodi

Kulit

Skleroderma calcinosis cutis

Penilaian klinis mengenai


puffy finger, telengiektasis,
mechanic hands,
hipo/hiperpigmentasi,
digital ulserasi, kontraktur
dermatogenous

Modifeid Rodnan Skin


Score

Sistem muskuloskleletal

Arthralgia/synovitis

Ultrasound 20-Mhz

Radiography (X-Ray, MRI

CT),
Penilaian klinis mengenai

Kelemahan otot

kontraktur sendi, tendon


friction rub, kelemahan
otot

Laboratorium : eritrosit,
reumatoid faktor,
antinuklear antibodi

Traktus gastrointestinal

Reflux

Creatinin kinase

MRI, elektomyografi

Biopsis otot
Gastro/esophageal-

Disfagia
Diare, obstipasi

Sistem respirasi

Dipsnue

endoscopy

Oesophageal-szintigraphy

Oesophagus-manometry

Coloscopy
Tes fungsi paru (TLCOc
SB, TLC, FVC)

Radiography (X-Ray atau


HR-CT)

Sistem kardiak

Dipsnue, aritmia

Bronchialveolar lavage

(BAL)
Electrocardiography

Echocardiography (Mpap,
disfungsi diastolic,
ventrikuler ejection
fraction)

(Spiro-)Ergometry

24 jam kontrol tekanan


darah

Ginjal

Gagal ginjal

Right-heart Catheterization
Kontrol tekanan darah
regular (>140/90 mmHg)

Ultrasound

Tingkat creatinin, analisi


urin (preteinuria,
albuminuria,
mikroelektrophoresis)

DIAGNOSIS BANDING11
Diagnosis Banding Skleroderma Sistemik
Diagnosis banding

Penyakit lain dengan spektrum skleroderma

Sirkumskrip (lokalisasi) skleroderma (morphea)

Fasciitis eosinofilik

Liken sklerosus dan atropikan

Vasispasme akral
o Raynaud phenomenon (primar atau secondary)

o Penyakit reumatik autoimun lainnya

Sistemik lupus erytomatosus

Penyakit reumatik

Dermato-/polymyositis

o Penyakit vaskular lainnya

Hematologi

Cryoglobulinemia

Cold aglutinin disease

Sindrom hiperviskositas

Vaskulitis sistemik

Bueger disease (tromboangitis obliterans)

Penyakit makrovaskular

Penyakit lainnya yang disebabkan oleh sklerosi kulit


o Sclerodermiform genodermatoses (misalnya progeria, acrogeria)
o Sclerodermiform acrodermatitis kronik atropican
o Scleroderma adultorum buschke
o Scleroderma diabeticorum
o Scleroderma amylidosum
o Sclerodermyxedema
o Nephrogenic fibrosing dermopathy
o Porphyria cutanea tarda
o Penyakit Sclerodermiform graft atau host kronik
o Eosinophilia-Myalgia sindrom

PENATALAKSANAAN
a

Berdasarkan patogenesis
1

Cedera vaskular
Cedera vaskular merupakan masalah yang paling awal terjadi pada skleroderma. Hal
ini disebabkan oleh aktivasi sel endotel dan pelepasan endotelin-1, yang merupakan
vasokonstriksi kuat, proliferasi intima, proliferasi dan fibrosis otot polos pembuluh
darah. Hal ini menyebabkan hipoksia jaringan.12

Calcium Channel Blockers

Calcium Channel Blockers menyebabkan vasodilatasi arteriol dan meningkatkan


aliran darah perifer. Golongan obat ini bermanfaat pada pasien dengan fenomena
Raynaud. Golongan obat ini juga dapat meningkatkan perfusi miokard. Dosis yang
relatif tinggi juga dapat digunakan pada pasien hipertensi pulmonal dengan
vasospasme reversibel. Efek samping penggunaan obat ini adalah hipotensi,
vasodilatasi, edeme perifer dan sakit kepala, terutama pada dosis tinggi. 12
-

a1-adrenergic antagonis reseptor

Prazosin dengan dosis 1-3 mg/hari telah terbukti memiliki efek dalam fenomena
Raynaud. Namun, efek samping sering ditemukan.
-

Analaog prostasiklin
Ketidakseimbangan antara prostasiklin (PGI2) dan tromboksan A2 telah

diamati pada pasien dengan sklerosis sistemik. Sebagai tambahannya, mengurangi


vasospasme fungsional, PGI2 menghambat agregasi platelet dan aktivasi leukosit.
PGI2 dan analognya banyak digunakan dalam pengobatan fenomena Reynaud dan
hipertensi pulmonal. Obat ini juga bermanfaat pada ulkus digiti. Intermiten
intravena iloprost (analog prostasiklin stabil) memperbaiki fenomena Raynaud pada
pasien dengan sklerosis sistemik dan mengurangi keparahan dan frekuensi
serangannya. Obat tersebut juga berguna untuk ulkus digiti. Iloprost intravena
memperbaiki vasospasme ginjal. 12
Hal ini juga mungkin memiliki efek pencegahan pada perkembangan
hipertensi pulmonal. Pemberian oral belum terbukti lebih efektif dibandingkan
pemberian intravena. PGI2 (epoprostenol) efektif pada pasien hipertensi pulmonal.
pemberian intravena epoprostenol yang berkelanjutan dapat meningkatkan kapasitas
latihan dan hemodinamik kardiopulmonal, dan kelangsungan hidup pada pasien
hipertensi pulmonal sekunder pada skleroderma. Hal ini dianggap sebagai terapi lini
pertama pada pasien dengan hipertensi pulmonal yang berat. Selain itu, perbaikan
fenomena Raynaud dan ulkus digiti juga telah terlihat dengan pemberian obat
tersebut. 12
Treprostinil, salah satu analog prostasiklin dengan pemberian subkutan yang
berkelanjutan telah terbukti memiliki efek sederhana terhadap hemodinamik dan
gejala hipertensi ulmonal. Namun, poprostenol dan treprostinil memiliki berbagai
efek samping dan membutuhkan pemberian parenteral secara terus menerus.
Beraprost adalah analog prostasiklin pertama yang dapat diberikan secara oral.

Penelitian telah menunjukkan bahwa obat ini dapat mencegah kambuhnya ulkus
digiti pada pasien dengan skleroderma. 12
-

Angiotensin-converting enzyme inhibitors


Vaskulopati pada skleroderma menyebabkan penebalan intima interlobular

ginjal dan arteri arkuata yang menyebabkan penurunan perfusi ginjal setelah
terjadinya cedera endotel atau vasospasme episodic dari arteriol ginjal. Penurunan
perfusi ginjal menyebabkan hyperplasia apparatus jukstaglomerulus dan produksi
renin. Renin kemudian mengubah angiotensinogen untuk membentuk angiotensin I.
Kemudian angiotensin-converting enzyme (ACE) mengubah angiotensin I menjadi
angiotensin II. Hal ini merupakan vasokonstriktor kuat dabn bekerja langsung pada
otot polos pembuluh darah. Penghambat ACE menghambat konversi ini dan dengan
demikian dapat meningkatkan perfusi ginjal. 12
Golongan obat penghambat ACE sekarang dapat digunakan sebagai
pengobatan skleroderma dengan krisi ginjal. Golongan obat ini efektif dalam
mengontrol tekanan darah dan meningkatkan prognosis secara keseluruhan. Namun,
angka kelangsungan hidup 5 tahun pada pasien skleroderma dengan krisis
ginjalmasih rendah (65%). Saat ini tidak ada bukti yang mendukung penggunaan
penghambat ACE sebagai profilaksis. Selain efektif pada skleroderma dengan krisis
ginjal, golongan obat ini juga efektif dalam mengobati pasien dengan miokard dan
telah terbukti dapat menurunkan resistensi pembuluh darah paru pada pasien
hipertensi pulmonal. 12
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa golongan obat ini dapat
memperbaiki aliran darah pada ulkus digital pada fenomena Raynaud. Baru-baru
ini, angiotensin II tipe antagois reseptor angiotensin I, losartan bermanfaat untuk
mengurangi keprahan dan frekuensi serangan pada fenomena Raynaud.
-

Penghambat fosfodiesterase
Penghambat fosfodiesterase bekerja pada jalur jalur oksida nitrat. Oksida nitrat

diproduksi oleh oksida nitrat sintase yang terletak pada endotel pembuluh darah dan
sel-sel epitel alveolar. Oksida nitrat merangsang konversi GTP menjadi cGMP, yang
menyebabkan vasodilatasi otot polos pembuluh darah baik arteri dan vena dan juga
efek antiproliferatif. Pengurangan cGMP oleh fosfodiesterase menyebabkan
vasokonstriksi dan proliferasi otot polos. Pada hipertensi pulmonal, ekspresi
fosfodiesterase diregulasi oleh peningkatan katabolisme oksida nitrat. Dengan
demikian, penghambatan fosfodiesterase berfungsi untuk meningkatkan oksida

nitrat yang memmediasi vasodilatasi. Sildenafil adalah salah satu obat golongan
penghambat fosfodiesterase yang dapat diberikan secara oral. 12
Obat ini dapat digunakan pada pasien dengan hipertensi pulmonal ringan sampai
sedang. Obat ini seharusnya tidak digunakan sebagai agen lini pertama pada pasien
hipertensi pulmonal yang berat. Obat ini juga telah terbukti efektif pada pasien
dengan ulkus digiti. tadalafil adalah obat lain yang tergolong dalam penghambat
fosfodiesterase yang dapat diberikan secara oral dan digunakan pada pasien
hipertensi pulmonal. studi lain menunjukkan tadalafl jua efektif dalam
penyembuhan dan pencegahan ulkus digiti dan perbaikan fenomena Raynaud. 12
-

Antagonis reseptor endotelin


Endotelin-1 adalah vosokontriktor kuat dan merupakan penghambat reseptor

ganda tipe reseptor endotelin A (ETA) dan reseptor endotelin B (ETB). Hal ini telah
terlibat dalam pathogenesis hipertensi pulmonal pada sklerosis sistemik dan
memiliki korelasi yang kuat dengan beratnya penyakit dan prognosis. Bosentan
adalah antagonis reseptor endotelin pertama yang disetujui di Amerika Serikat dan
Eropa untuk pengobatan hipertensi pulmonal primer dan hipertensi pulmonal yang
terkait dengan penyakit kolagen pembuluh darah. Obat ini juga bermanfaat dalam
pengobatan ulkus digiti. namun, obat ini memiliki efek samping hepatotoksik dan
potensi teratogenik. Bosentan tidak efektif terhadap skleroderma terkait fenomena
Raynaud tanpa ulkus digiti. 12
2

Target fibrogenesis
Cedera epitel dan sel endotel pada organ cenderung menyebabkan fibrogenesis.
Dengan demikian, terapi mungkin dapat ditargetkan untuk regenerasi endotel/epitel
atau jalur fibrosis. Pada skleroderma terjadi peningkatan proliferasi fibrobas dan
selanjutnya meningkatkan sintesis kolagen dan matriks protein ekstraseluler. Dua
sitokin utama yang memediasi efek tersebut adalah TGF-b dan PDGF. Terdapat
peningkatan ekspresi mereka pada reseptor TGF-BR1, TGF-BR2 dan PDGFR.
Imatinib mesylate adalah molekul kecil penghambat tirosin kinase yang mampu
menghambat jalur TGF-b dan jalur PDGF. Laporan kasus menunjukkan potensi
imatinib terhadap sklerosis sistemik, meskipun dapat menimbulkan efek samping
berupa edema, keram otot, diare toksisitas sumsum tulang, dan gagal jantung
kongestif). 12

Target sistem imun


-

D-penicillamine

D-penicillamine bekerja dengan cara mengganggu persilangan antarmolekul


kolagen dan mungkin efektif dalam memperlambat penebalan kulit. Sebuah
penelitian yang dilakukan terhadap pasien skleroderma kulit menunjukkan bahwa
dosis rendah 125 mg setiap hari sama efektifnya dengan dosis yang lebih tinggi 7501000mg/hari. Dalam penelitian terbaru, dosis 750 mg/hari pada pasien dengan
penyebaran sklerosi sistemik yang progresif dapat menyebabkan penurunan yang
signifikan dalam penebalan kulit dan keterlibatan ginjal, jantung dan paru.
Pemantauan efek samping diperlukan, seperti fenomena autoimun (pemfigus dan
miastenia gravis), kelainan hematologi dan proteinuria. 12
-

Steroid

Penggunaan steroid terbatas hanya pada pasien dengan fase edema yang dini.
Indikasi lainnya adalah artritis dan serositis, dimana efektif dengan pemberian dosis
rendah, miositis dan miokarditis yang membutuhkan dosis yang relatif tinggi. 12
-

Metotreksat

Beberapa uji klinis acak telah menunjukkan signifikansi terhadap perbaikan


penebalan

kulit.

Hal

ini

juga

ditoleransi

oleh

mayoritas

pasien

dan

direkomendasikan oleh EULAR scleroderma trial dan kelompok penelitian sebagai


pengobatan awal skleroderma difus. 12
-

Siklosforin

Penelitian telah menunjukkan bahwa dosis 2,5-4mg/kg siklosforin bermanfaat


terhadap penebalan kulit, dan keterlibatan paru-paru dan esofagus. Namun efek
samping yang sedang membatasi penggunaannya yaitu hipertensi. 12
-

Siklosfosfamid

Siklosfosfamid intravena dianggap merupakan terapi terhadap pasien dengan


interstitial lung disease (ILD) dan alveolitis skleroderma. Hal ini juga bermanfafat
untuk mengurani ketebalan kulit pada pasien skleroderma difus fase awal dengan
progresif penyakit yang cepat. 12
b

Berdasarkan manifestasi klinis


Berikut adalah tabel yang menunjukkan terapi skleroderma sistemik berdasarkan
manifestasi klinis. 12
Tabel 1. Terapi skleroderma sistemik berdasarkan manifestasi klinis
Manifestasi klinis
Fenomena Raynaud

Terapi
Calcium channel blockers

Angiotensin type II receptor blocker


(losartan)
Analog prostasiklin (iloprost intravena)
Penghambat fosfodiesterase
Ulkus digiti

Surgical sympathectomy
Sama dengan obat di atas

Fibrosis kulit

Antagonis reseptor endotelin (bosentan)


imunosupresif (d-penicillamine, metotreksat,

Artritis

siklosporin, tacrolimus, relaxin, IVIG)


NSAIDs
Steroid dosis rendah

Miositis

DMARDs (metotreksat)
imunosupresif (steroid, metotreksat dan

Gastrointestinal involvement

azathioprine)
Proton pump inhibitors
Agen prokinetik

Scleroderma renal crisis

Calcium channel blockers


ACE inhibitors
Antihipertensi
Dialisis

Hipertensi pulmonal

Transplantasi ginjal
Calcium channel blockers
Analog prostasiklin
Penghambat reseptor endotelin
Penghambat fosfodiesterase
Terapi kombinasi
Imatinib

Interstitial lung disease

Transplantasi paru
Imunosupresif (steroid, siklosfosfamid)
Imatinib

Penyakit multisystem

Transplantasi paru
Imunosupresif (ATG, ALG and MMF)

stadium lanjut
Autologous stem cell transplant
ACE: Angiotensin-converting enzyme; ALG: Antilymphocyte globulin;
ATG: Antithymocyte globulin; DMARD: Disease-modifying antirheumatic
drug; IVIG: Intravenous immunoglobulin; MMF: Mycophenolate mofetil.

Anda mungkin juga menyukai