Anda di halaman 1dari 2

KASUS KEKERASAN PADA PEREMPUAN VIA INTERNET NAIK 3

KALI LIPAT SELAMA PANDEMI.

KOMPAS.com - Kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) terhadap perempuan meningkat


tiga kali lipat selama masapandemi Covid-19.

Hal itu disampaikan langsung oleh Divisi Keamanan Online Southeast Asia Freedom of
Expression Network ( SAFEnet), Ellen Kusuma dalam sebuah pemaparan, Kamis
(27/8/2020).

Ellen mengatakan, hal ini disebabkan kurangnya pemahaman tentang karakteristik di dunia
digital ini yang membuat orang kemudian lengah sehingga bisa memunculkan tindak
kekerasan.

Ellen memaparkan ada empat bentuk kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO)


terhadap perempuan yang meningkat di kala pandemi Covid-19.

"KBGO bisa terjadi pada siapapun, tetapi karena kita tinggal di masyarakat yang mungkin
memegang mindset patriarki, maka ada kerentanan yang khusus pada perempuan, kekerasan
itu lebih rentan terjadi pada perempuan," ujar Ellen.

Kendati demikaian, Ellen tidak menjabarkan secara rinci berapa angka kasus kekerasan pada
perempuan yang terjadi di internet selama pandemi Covid-19 ini. Adapun keempat bentuk
kekerasan terhadap perempuan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Revenge Porn

Dalam kasus ini, pelaku menyebarkan konten intim yang menampilkan keseluruhan fisik
korban. Konten tersebut dibagikan melalui berbagai platform.

Menurut Ellen, hal ini biasanya dilakukan dengan motif balas dendam karena pelaku tidak
terima dengan perlakuan korban.

Sextortion

Sextortion merupakan penyebaran konten intim dengan motif tujuan pelaku ingin memeras
korban seperti memeras uang dan meminta korban untuk mengirimkan konten intim lainnya.

"Biasanya pelaku memaksa lalu mengancam korban jika mereka menolak permintaan dari si
pelaku itu sendiri," kata Ellen.

Doxing

Doxing merupakan kasus penyebaran infomasi dan identitas pribadi seseorang yang


dibagikan di ranah media sosial

Ellen menjelaskan bahwa doxing seringkali digunakan pelaku untuk memperjualbelikan data pribadi


korban yang disebarkan melalui media sosial tersebut.
Ketika informasi yang dapat menunjukkan identitas korban itu disebarkan di media sosial,
banyak orang yang kemudian bisa mengincar dan menargetkan si korban ini," kata Ellen.

"Dalam kasus KBGO, ketika kontennya itu dinaikkan misalnya di akun Twitter, bisa saja
dijual atau dibarter dengan orang yang mempunyai semacam "bank" yang berisi konten intim
untuk bisa dikonsumsi ramai-ramai," lanjut Ellen.

Impersonating

Impersonating adalah pemalsuan akun yang tujuannya untuk mencemarkan nama baik


korban. Dalam hal ini, pelaku membuat akun media sosial palsu yang menampilkan identitas
korban lalu berupaya merusak reputasinya.

"Banyak pelaku yang membuat akun-akun palsu yang meniru korban lalu mereka merusak
reputasi korban dari situ. Misalnya, dengan berpura-pura bikin akun korban terus follow
semua temennya dan kemudian mengirimkan konten intim korban ke temennya melalui akun
palsu tersebut," ujar Ellen.

Kurangnya literasi soal keamanan digital, menurut Ellen menjadi salah satu faktor yang
melatarbelakangi seseorang bisa menjadi korban atau pelaku kekerasan berbasis gender
online.

"Apalagi ketika kita mengunduh aplikasi menggunakan platform digital itu, kita memberikan


izin untuk aplikasi-aplikasi tersebut mengakses data-data pribadi kita yang sebetulnya krusial
dalam situasi kekerasan berbasis gender online ini," pungkas Ellen.

Anda mungkin juga menyukai