Anda di halaman 1dari 18

Dari Perpustakaan Boyolali Menuju Skotlandia

University of Edinburgh. Foto oleh penulis.

Angga adalah orang pertama di garis keluarganya yang berhasil kuliah hingga sarjana, bahkan
akhirnya lulus S2 di Skotlandia! Simak perjuangan Angga dari sudut Boyolali, menggapai beasiswa di
ITB, hingga berangkat ke Edinburgh dengan beasiswa LPDP, dan bagaimana usaha, doa, dan mimpi
tidak pernah mengkhianati hasil.

Pertama kali aku terpikir akan dunia yang luas adalah ketika banyak berjibaku dengan buku di perpustakaan
sekolahku. Saat itu aku masih siswa SMP sekaligus pustakawan yang bertugas mencatat arus keluar masuk buku di
perpustakaan sekolah. Tetralogi Laskar Pelangi, Harry Potter serta karya kang Abik punya andil besar dalam memantik
semangatku untuk menjelajahi dunia yang luas. Aku benar-benar ingin bisa sekolah sampai ke luar negeri.
Sejak SMA, salah satu hobiku selain ikut organisasi dan kompetisi adalah main ke warnet untuk sekadar melihat
pemandangan negara-negara Eropa. Bahkan aku sudah mencetak syarat dan ketentuan masuk kampus Oxford dan
membacanya dalam perjalanan 30 kilo meter bolak balik untuk bersekolah. Meski alasanku memilihnya adalah
sesederhana ingin bisa berada di kampus yang sama dengan Potter, tapi sensasi dan imaji untuk bisa berada di sana benar-
benar menyihirku.
Aku seolah lupa bahwa untuk bisa bersekolah saja membutuhkan perjuangan yang berat. Bayangkan saja, ketika
baru mengambil ijazah di SMP, aku langsung diajak orang tuaku menyambangi tempat kursus komputer agar tak perlu
lanjut SMA karena keterbatasan dana. Ibuku sendiri berprofesi sebagai pedagang gorengan keliling dan Bapakku hanyalah
pengrajin kecil-kecilan. Belum lagi dengan nilai ujian nasional SMA-ku yang jeblok (3.75 untuk matematika) aku sempat
dibuat pesimis untuk bisa lanjut berkuliah. Kondisinya, aku tak mampu ikut bimbingan belajar seperti teman-temanku
dan ribuan siswa SMA lainnya yang tengah sama-sama berebut kursi masuk ke perguruan tinggi. Beberapa buku bekas
adalah satu-satunya senjata pamungkasku untuk belajar menghadapi ujian tulis masuk ITB kala itu. Belum lagi, aku
sempat gagal di jalur undangan sebelumnya.
Sejak awal berkuliah, aku mulai serius menyiapkan studi paska sarjanaku dengan belajar bahasa Inggris secara
mandiri. Berbagai buku mulai dari grammar, percakapan harian hingga tes TOEFL kubaca berulang kali. Mulai dari
wallpaper ponsel dan media sosialku pun banyak dihiasi oleh logo dan pemandangan kampus Oxford untuk menjaga
semangat. Sampai pada akhirnya, aku mengikuti mentoring Indonesia Mengglobal di tahun 2016 dan sadar bahwa banyak
hal lain yang perlu kupertimbangkan dalam memilih kampus dan jurusan. Semisal, linearitas bidang studi, fokus riset,
kondisi kampus dan lingkungan, serta berbagai faktor lainnya. Alhasil, dengan berbagai pencarian dan pendalaman yang
aku lakukan, Edinburgh university kutetapkan sebagai tujuanku.
Di sisi lain, demi lebih mematangkan kesiapanku meraih beasiswa, aku rajin mencari dan mengkomparasi berbagai
pilihan yang ada. Pada akhirnya, LPDP menjadi pilihan utamaku. Berbagai essay yang digunakan sebagai syarat
pendaftaran pun mulai kubuat sebaik mungkin dengan berbagai referensi yang kutemukan di Internet. Selanjutnya, aku
mengecek formulir isian CV yang kelak harus diisi oleh para pelamar beasiswa dari kemenkeu RI tersebut. Mulai dari
pengalaman organisasi, paper, seminar, bekerja dan sebagainya mulai kucoba untuk isi satu per satu. Hal-hal yang masih
kosong pun segera kulengkapi dengan mengikuti berbagai kesempatan. Contohnya, selama tingkat empat, aku membuat
empat paper yang diikutsertakan di berbagai seminar ilmiah nasional di Solo, Surabaya dan Jakarta. Tak hanya itu, aku
pun menambah pengalaman profesionalku dengan mengikuti magang hingga dua kali selama berkuliah di sebuah agensi
di Semarang serta Kemenristekdikti Jakarta.
Setelah lulus, aku bekerja di Bekraf RI dengan jam kerja yang super padat dari pagi hingga hampir tengah malam.
Tiap sebelum berangkat dan sepulang kerja, selalu kusempatkan diri untuk mempelajari ratusan soal TOEFL selama
berulang kali dan mengikuti tesnya setiap bulan. Total empat kali aku ikut tes tersebut namun hasil yang keluar tidaklah
cukup untukku mendaftar LPDP. Aku pun sempat nekat mendaftar LPDP gelombang keempat di akhir 2016 dengan jalur
prestasi tetapi gagal. Percobaan pertamaku untuk mendaftar ke Edinburgh university pun ditolak pada tahun yang sama..
Untuk menyiapkan diri lebih matang, aku pun memutuskan untuk mengambil kelas intensif IELTS selama sebulan
di kampung Inggris, Pare. Dalam satu hari, aku bisa berlatih speaking sekitar empat jam dengan kawan di sana serta
mengerjakan beberapa paket soal IELTS. Hasilnya ujicoba ku pun cukup memuaskan, khususnya untuk bagian Listening
dan Reading yang terus meningkat hingga mencapai angka 8. Seminggu setelah aku selesai belajar di sana, kuikuti tes
IELTS dan beruntung hasilnya memuaskan.
Dengan essay yang lebih matang berkat revisi yang tak terhitung jumlahnya dari berbagai kawan-kawanku,
sertifikat IELTS yang mumpuni serta kesiapan yang lebih oke, aku mulai mendaftar lagi ke Edinburgh University. Aku
juga sempat mencoba mendaftar ke beberapa kampus lain sebagai perbandingan atas kapabilitas diriku. Sekitar sebulan
lebih berselang, akhirnya aku diterima di kampus tujaunku tersebut serta tiga kampus lainnya. Dengan LoA yang sudah
ditangan, maka targetku tinggal satu lagi yakni mendapatkan LPDP.
Aku mengikuti seleksi LPDP pada pertengahan 2017 dengan dokumen yang lebih baik dari tahun sebelumnya.
Seleksi administrasi dan online assessment berhasil kulewati hingga tinggal tahap terakhir yakni tes substansi. Aku
memiliki tandem yang bersama membuat ratusan daftar pertanyaan dan jawabannya sebagai persiapan wawancara,
serta mindmap mengenai berbagai isu untuk tes LGD dan Essay. Selain itu, aku pernah mencatat dalam satu hari berlatih
wawancara dengan lima orang di tempat yang berbeda demi mematangkan persiapanku. Tes terakhir tersebut pun aku
lalui dan akhirnya lolos beasiswa LPDP dan berkesempatan untuk berangkat S2 pada September 2018. Sesuatu yang
benar-benar aku impikan sejak bertahun-tahun lamanya.
Lulus dari LPDP, aku dipercaya menjadi ketua angkatan dari PK-124 Arsa Candradimuka. Kemudian, aku pun berangkat
ke UK saat kakiku luka lecet dan bengkak selama sebulan awal sehingga membuatku sangat kesulitan untuk berjalan.
Beruntung, aku punya beberapa kawan baik dari Indonesia yang rajin menjenguk dan masak untukku di penginapan. Dari
situ aku belajar bahwa kekeluargaan antar putra bangsa menjadi penting bagi siapa saja yang hendak belajar ke luar negeri.
Selain itu, aku pun sempat mendaftar sebagai salah satu kandidat PPI hingga sudah diminta foto untuk poster
kandidatnya. Tapi, ketika para kandidat diumumkan, malah namaku tak ada. Jawaban dari panitia yang kudapatkan
hanyalah rupanya panitia mengadakan seleksi internal dan tertutup mengenai ketokohan dan personal resilience dari para
kandidat. Aku pun heran dari mana hal psikologi klinis tersebut dinilai jika yang kukumpulkan hanyalah video, cv dan
essay. Entahlah. Tapi setidaknya aku bersyukur masih bisa membantu PPI tersebut di salah satu proker terbesarnya yang
berupa konferensi internasional sebagai koordinator eksternal. Hasilnya, pendaftar untuk kegiatan tersebut meningkat dua
hingga tiga kali lipat dari 17 negara, mendapat coveragedari puluhan media, serta surplus keuangan yang cukup besar.
Selain itu, aku juga aktif di UN House Scotland sebagai volunteer graphic design dan membantu menyelenggarakan
beberapa event seperti festival dan MUN.

Penulis:

Angga Fauzan
Angga Fauzan adalah alumni Desain Komunikasi Visual ITB angkatan 2012 yang kini tengah menyelesaikan program
MSc Design and Digital Media di the University of Edinburgh, United Kingdom. Ia menamatkan kuliah S1-nya dengan beasiswa
Bidikmisi dan Rumah Kepemimpinan, kemudian mendapatkan beasiswa LPDP untuk jenjang paska sarjana. Angga sempat diberi
amanah sebagai ketua Angkatan PK-124 LPDP Arsa Candradimuka, serta tengah membangun Komunitas Boyolali Bergerak dan
menjadi Wakil Ketua Bidang Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat, Rumah Millenials. Selain itu, Angga juga pernah menjadi
Mentee dari Indonesia Mengglobal tahun 2016.
What led me to Engineering and MIT

Posing in front of MIT’s Great Dome

Studying engineering and building satellites may just be a dream for many kids, but not for Ajie. In this
article, he shares his story of how he got into engineering in the first place and how that led him to MIT, and to
SpaceX’s Hyperloop competition.

3… 2… 1… Lift off! My heart beat faster and faster as I watched the PSLV C-29 rocket lit up its engine and
slowly rose to the sky from the Satish Dhawan Space Centre in Sriharikota, India. The 40-meter tall, 200-ton rocket
carried six satellites built in Singapore, and one of them was Galassia, a shoebox-sized satellite that my teammates and I
at the National University of Singapore (NUS) had worked on for about a year prior to the launch. It took the rocket just
about 20 minutes to reach its destination orbit of 550 km altitude (as a comparison, typical commercial planes fly at 10
km altitude). Once it was confirmed that Galassia had been deployed by the rocket, my teammates and I quickly rushed
to our Mission Control room in NUS to prepare the ground station antenna and software, standing by until Galassia flew
over Singapore, supposedly about 1.5 hour after its deployment in orbit. At an altitude of 550 km, Galassia flies at
27,000 km/h (that’s 80x faster than bullet trains!), making it pass above Singapore’s horizon for only about 10 minutes,
15 times a day. The first 10-minute time window was probably the most important 10 minutes of the mission. It would
be the first time that we could confirm whether Galassia had successfully deployed its six antennas, charged enough
batteries through its solar panels, and booted up its on-board control software.

It was roughly 10:18 PM, our ground station antenna started pointing to the sky and started tracking the
curvature of the Earth. Based on our calculation and the information we received from the Indian space agency, that’s
the time when Galassia would fly over Singapore for the first time. I sat in front of the radio as I tuned it to Galassia’s
communication frequency. Everyone in the room stayed silent as we heard the radio starting to buzz, not receiving
anything yet but noise.

“Beep…!”, all of a sudden, we heard Galassia’s beacon, the same sound we had always heard in our lab, but this
time, from space. “Beep…!”, another beacon came from Galassia 30 seconds after the first. This time our ground
station managed to decode the beacon and successfully displayed the satellite’s health data on the big screen.
“Yeaaa!!!”, everyone cheered enthusiastically. That feeling for me was irreplaceable and unforgettable. Every single
screw we tightened, every single component we soldered, and every single line of code we wrote, everything just fell
into place in that single beeping sound coming from our baby satellite, hundreds of kilometers away.

This experience for me was a reminder that with engineering we can create something valuable out of nothing:
something we can hear, see, feel, and most importantly, make use of. Engineering is a powerful tool for us to achieve
new things that have never been done before and to move forward as a society. My first satellite, Galassia, wasn’t
anything of global importance like the GPS or weather satellites that the world uses every day. It was merely a student-
built satellite used for scientific demonstrations, with one being a spaceborne quantum entanglement experiment, which
the general public won’t be able to benefit from until probably several decades from now. However, it was a beginning
to bigger dreams. Since 2015, our research center in NUS, now called the Satellite Technology and Research Centre
(STAR), has been working on at least 5 more satellites to be launched in the next couple of years, with a range of
applications such as ground surveillance, precision agriculture, and maritime traffic and asset tracking.
Early Interest in Robotics

Just like most engineers out there, my love for engineering started early with LEGOs. Little did I know back then
that it would lead me to making robots out of LEGO components and participating in national and international
competitions. To me back then, making robots was a lot of fun and intellectually challenging. I knew I wanted to make
useful robots one day, but my focus was drawn to merely proving that my team’s robot was the best in the competitions.
In 2007 (I was 14), I participated in the World Robot Olympiad in Taipei. My team didn’t win any awards, nor did we
even complete the challenge. However, it was still a life-changing moment for me as it was the first time that I
competed not only for myself, but also with the Indonesian flag on my back. At that time I said to myself that Indonesia
one day will be among the top in the field of robotics. I can still feel it today. It almost feels like a burning revenge.
Representing Indonesia for the first time in an international competition, World Robot Olympiad 2007

My experience in high school robotics led me to study Electrical Engineering. It wasn’t a difficult decision; I
simply loved making something work, and I would love to make something useful one day. Throughout my 4 years of
undergraduate studies and internships, I made various engineering products: a network of Internet-of-Things (IoT)
devices to monitor the structural health of a building, a set of virtual reality (VR) headset and wearable for a whole new
exercise bike experience, a 2-in-1 3D printer/scanner developed at a local Singapore startup, and lastly the Galassia
satellite. I also did personal DIY projects in my free time, for example, I built a custom Segway from scrapped electric
wheelchair and a power bank for my own daily use. Again, I did all these mostly for fun, but they showed me that
engineering opens up so many possibilities. These experiences will be my building blocks for me to one day finally
pursue the one thing that I will proudly call as my career. At least that’s how I hope it would work out.

So far, I might sound like I have figured my life out and I know what I want to do. Well, you’re wrong :p. I was
again faced with the quarter-life crisis. If you are on the same boat as I am, high five! I know being lost and confused
sounds somewhat immature, but I’d like to think that this is all normal and a part of growing as a person (hashtag
growth mindset). Anyway, what do millennials do when they don’t know what to do with their life? Apply to grad
school! Yes, that’s what I did.

Pro-tip: do not say you don’t know what to do with your life in your application essay to grad schools.
I must be honest, applying to grad schools has been one of the most emotionally draining experiences in my life. It was
very intimidating, especially the application to the program I’m interested at MIT. I applied to MIT’s System Design
and Management (SDM) program, a master’s program that is jointly offered by the School of Engineering and the Sloan
School of Management. It is a prestigious program mainly designed for mid-career professionals who aspire to be
engineering/technical leaders. Quoting from the admissions page: “The typical SDM student is an engineering
professional in his/her mid-30s (range 25-50+) and has 10 or more years of work experience (range 3-20+).” I was 24
with 2.5 years of post-undergrad experience when I applied and I had very low, close to zero confidence of getting
admitted. I told myself it’s okay if I didn’t get in and that I could still try again sometime in the future. I even let myself
miss the first application round’s deadline because at the time I still thought that I had no chance at all. To my surprise,
I got in. So for those of you who like to doubt yourself, well, think again

I came to MIT SDM with one intention (aside from the perks of getting to experience four seasons and a bunch
of road trips in the US, of course!), I want to learn to be a good engineering leader. I know my own hands are not
enough. The only way for me to make an impact at a large scale, I believe, is to have a strong team and the ability to
lead that team toward the right goal.
Through MIT SDM, I was trained to be a systems thinker: someone who solves problems by delving into the
details without losing the holistic view or the big picture, a trait that is important to have for engineering leaders. A lot
of the examples discussed in the class were taken from space missions, where risks are high, a huge sum of money are
at stake, and the systems and projects became uncontrollably complex so as to deal with the harsh environment. As an
ex-satellite engineer, I was of course happy to see all these examples. However, the principles and methods we learn at
SDM is applicable to all kinds of industries, much more than space. Throughout Spring 2019, I worked with Mitsui
OSK Lines, a company sponsor which is also one of the biggest maritime shipping companies in Japan and in the
world, to explore the idea of digitizing the container ship market, which is a huge and very complex industry with many
different stakeholders and long chains of processes in place.

In my opinion, the school is a safe place to fail and to try different things. This thinking brought me into joining
activities outside the class. Toward the end of my first semester, I joined the MIT Hyperloop team to participate in Elon
Musk’s annual SpaceX Hyperloop Pod Competition. I learned a lot on how to deal with great complexity in a short time
span. And most importantly, I learned a lot working with people from different background and culture. Through ups
and downs, our team managed to finish 1st among the US universities and 5th worldwide, in addition to earning an
Innovation Award from SpaceX. It was indeed a blessing.

We Need More Engineering Leaders in Indonesia

Engineering moves us forward. And if we want to thrive as a society, we need more engineers in Indonesia. We
might get by feeding our kids on all the natural resources and commodities we have, and we might survive the next
century selling our well-known hospitality to the world through the almost unlimited beautiful islands in our country.
However, we cannot merely rely on these. Put it in a harsh way, we can’t stay being victims of exploitation and we
can’t just keep being guinea pigs of other countries’ products. Commodities are exported from our country only as a
means for us to “consume” it back, but at a much higher price. There is a strong correlation between industrial output
and overall economic growth of a country. Just look at the economic superpowers in the world like China, USA, Japan
and Germany. A key component to that, I think, is engineering know-how.

I’m not writing this article to be down in the dumps though. We all know we are far from setting our foot in the
“elite club”, but we have also come quite a long way in building homegrown engineering products and talents. Take
Dirgantara Indonesia (Indonesian Aerospace) as an example. Since 1976, they have exported 48 aircrafts to various
countries including Malaysia, Thailand, Philippines, UAE, Senegal, Pakistan and South Korea. Or take a more recent
example, Octagon Studio. Since 2015, they’ve had over 2-million app-downloads and sold over 1-million products in
more than 50 countries worldwide.

What about the space industry? Not many people know, but we do have our own space agency! Since mid 2000s,
the Satellite Technology Center at Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) has been developing at
least 5 satellite programs in-house (three are already in orbit). They have also been developing rocket technologies, with
sounding rockets being launch-tested regularly in West Java as a groundwork for orbital launch vehicles. Isn’t that
cool?

This is all to say that we, Indonesians, have what it takes to become a technologically capable, developed
country. And in order for us to get there, we need more engineering leaders who can make dreams like Dirgantara
Indonesia, Octagon Studio, and LAPAN possible. As what our late father of technology, BJ Habibie, said: “Why should
we have our own, homegrown aircrafts? The most important reason is for the sake of growing our children’s
knowledge. So that it can be a building block for the advancement of technology in this country.”

Penulis :

Ajie Nikicio
Ajie Nayaka Nikicio is currently pursuing a master’s in System Design and Management at MIT. Previously he was a
Research Engineer at the National University of Singapore’s Satellite Technology and Research Centre and received his
bachelor’s degree in Electrical Engineering from the same university in 2015. Born and raised in Jakarta, he always
craves for nasi uduk, soto betawi and half-baked kue cubit. Find out more about his engineering portfolio on
www.ajienikicio.com.
How to grad app in USA: Part 2 // A Recollection
To start off, this is by no means a comprehensive guide to applying to your dream graduate schools in the
States, but rather some (hopefully useful) observation and insight, based on my own personal experiences, for
you, the future Indonesian applicants. As always, your best resource would be your desired program's
website. You can also find out more by visiting indonesiamengglobal.com or participating in its mentorship
program. Good luck!

I spent the bulk of senior year at MIT applying for PhD programs in the States. Kenapa hanya di Amerika?
Nah, ini tergantung banget sih apa jurusan yang ingin kamu kejar. Berdasarkan pengalamanku magang riset di
Imperial College London, aku merasa bahwa untuk ilmu biomedis khususnya, Inggris Raya — dan aku pikir
sama juga untuk negara lainnya — masih tertinggal jauh dengan Amerika (dari segi funding dan filosofi/pola
pikir). Tentu saja, ini mungkin berbeda untuk bidang yang lain.

Nah, jujur, pas aku mulai daftar, itu takut dan bingungnya setengah mati. Ya memang, kamu bisa dapatkan
semua persyaratan dan informasi melalui website sekolah tujuanmu, tapi pastinya ada beberapa hal yang hanya
bisa diketahui jika punya kenalan orang dalam atau orang yang pernah melewati proses tersebut. Untungnya
sih, di MIT, aku overlapped dengan beberapa kakak kelas asal Indonesia yang sekarang sudah kuliah S3 juga,
jadi agak terbantu. Sekarang, aku mau sharing beberapa hal yang aku pelajari dari mereka, atau yang aku
belajar sendiri selama masa pendaftaran, dan mudah-mudahan bisa membantu teman-teman.

For context, I applied only to biomedical sciences and biological engineering programs, on the east coast and
the west coast, so my experience may only be representative of these programs at these locations. However, I
will try to include any known exception (for other programs, at other schools, with an asterisk *) that I'm
aware of as much as I could.

 Pick a school or program with at least 3 lab affiliates that you can potentially work in

PhD di Amerika itu lumayan unik. Tidak seperti PhD di Eropa dimana kamu mendaftar PhD ke lab
impianmu secara langsung (dengan sebuah ide/proposal sudah di tangan), di Amerika kamu
mendaftar ke sekolah atau institusinya, tempat lab impianmu berada*. Nah, ini tentunya bisa menjadi
masalah jika kamu diterima ke sesuatu sekolah — sebergengsi apapun sekolah itu, jika kamu hanya
mengejar brand sekolah — tapi eh ternyata, topik riset yang kamu mau tidak ada, atau lab yang
kamu incar sedang tidak menerima murid PhD baru. Karena itu, sangatlah penting untuk memilih
sebuah sekolah dimana kamu tertarik dengan setidaknya 3 profesor/lab (sebagai backup). Jaman
sekarang, hampir semua lab pasti punya website tersendiri, beserta tema riset dan publikasi terbaru
mereka, yang bisa kamu akses dengan sangat mudah. Aku sarankan, untuk skim through semua lab
yang ada di sekolah tersebut, kira-kira ada gak yang kamu cocok.

I also suggest applying to at least 10 schools**, terutama jika kamu tidak punya pengalaman
studi/kerja di Amerika sebelumnya (see my part 1 for the reason). Daftar PhD di Amerika, terutama
di sekolah top, itu sangatlah susah, terutama karena status-mu sebagai murid internasional. Banyak
sekolah memiliki kuota yang sangat terbatas (mungkin hanya 1-2 orang) buat murid internasional
tiap tahunnya — karena bayangkan, jika mereka menerima kamu, mereka harus siap membayar
>$500k untuk membiayai studi PhDmu sampai tuntas*** — sehingga seleksi kita umumnya jauh
lebih kompetitif daripada pendaftar lokal (i.e US citizens or permanent residents). For instance,
some bio programs kemarin ada yang nerima hanya anak internasional yang sudah first-author NCS
(Nature, Cell, Science. The most reputable journals in the field of biomedicine). Bahkan, beberapa
program/sekolah kemarin ada yang sampai melarang anak internasional mendaftar karena pasti tidak
diterima. So, just to be on the safe side, coba daftar aja ke sebanyak-banyaknya sekolah
yang risetnya dan lokasinya (more will be discussed down below) menarik buat kamu (it does get
pretty costly to apply to many schools, jadi sewajarnya aja / sesuai budget).

Hal terakhir yang aku mau singgung adalah cara memilih antara program umbrella atau program
spesifik, jika pilihan itu tersedia****. Umbrella program, seperti program Biological and
Biomedical Sciences (BBS) di Harvard, adalah program besar yang menaung banyak cabang dari
ilmu biomedis, dari bioinformatika hingga imunologi. Tetapi, di Harvard, kamu juga bisa daftar
secara spesifik ke program PhD bioinformatika atau imunologi yang lebih kecil. Apa keuntungan
dan kekurangan dari masing-masing program? Nah, tentunya di program yang lebih besar, mereka
menerima murid yang jauh lebih banyak dibanding program yang spesifik. Selain itu, di program
BBS, kamu diberikan fleksibilitas untuk melakukan riset di cabang biomedis manapun, tidak dibatasi
seperti di program yang spesifik. Akan tetapi, jika kamu memang sudah yakin dengan cabang yang
kamu ingin tekuni, aku saranin untuk daftar ke program yang lebih kecil, karena biasanya
kurikulumnya lebih dikhususkan untuk cabang tersebut, dan kamu biasanya akan dapat perhatian dan
bantuan (termasuk uang gaji) yang lebih besar dari departemen kamu.

*may not be true for some programs. For instance, my Immunology program at Stanford does this,
while the ecology program, also at Stanford, does application directly to the lab. Please double
check with your intended program.
** usually, you can only apply to one PhD program within each school, though some schools like
Harvard does make an exception (you can apply to multiple programs to up your chances.
***Juga, tidak seperti murid lokal, duit buat murid internasional ga bisa didanai lewat duit
pemerintah (dilarang oleh pemerintah Amerika), sehingga sekolah harus bayar dari 'kocek'nya
sendiri, baik itu dari uang sumbangan filantropis atau alumni sekolah, uang hasil paten, dst.
****beberapa sekolah melakukan admission gabungan dari kedua cara tersebut. Mungkin awalnya
kamu daftar ke departemen itu secara umum, tapi oleh admission committee kamu akan
ditempatkan ke sebuah home program yang spesifik, sesuai dengan esai, buat interview kamu.
 Organize your thoughts with a master spreadsheet

I found it really nice to have an Excel spreadsheet listing all the requirements (Statement of Purpose
(SoP) prompt, GRE and TOEFL requirement, application fee, deadline, application ID and password,
etc.) to keep your thoughts organized. It's also really handful later on, when you're deciding between
schools, what the pros and cons of each school 'really' is, after you visit them (kamu bisa terkejut
betapa banyak hal menarik atau buruk mengenai sekolah tersebut yang tidak ditampilkan di website
ketika kamu mengunjungi sekolah itu. Contohnya, aku tidak tahu seberapa buruk tingkat kriminalitas
di Baltimore, dimana Johns Hopkins berada, hingga ada yang cerita bahwa 'lumayan sering' terjadi
penembakan di area kampus. Nah, rumor/stigma seperti ini, bisa benaran nyata, atau sebenarnya hanya
dilebih-lebihkan (exaggerated) atau malah hoax. Untuk itu, kamu harus berada di sana dulu dan
ngomong dengan orang sekitar baru tahu kebenarannya).
 Prioritize on your Statement of Purpose (SoP) and Letter of Recommendations (LoR) above all
else

Grad school application has a few components — dan umumnya semua butuh GRE (walau
GRE* requirement mulai ditiadakan buat beberapa program PhD), TOEFL (jika tidak lulus dari S1
yang bahasa pengantarnya semua dalam bahasa Inggris), CV/resume, dan transkrip** — but the most
crucial of them all are your SoP and LoR.
Untuk SoP, walau prompt esainya mungkin agak berbeda di setiap sekolah, secara umum
akan meminta kamu untuk menulis apa saja riset yang pernah kamu lakukan — mulai dari hipotesa,
eksperimen yang kamu kerjakan, hasil dan kesimpulan. Jika berhasil ataupun gagal, apa saja yang
bisa ditarik atau dipelajari dari pengalaman tersebut. Ini harus mengisi kurang lebih 80% dari SoP
kamu. Nah sisa 20% nya, bisa kamu gunakan untuk menulis latar belakangmu — baik itu cerita
keluarga, sekolah, atau komunitas dimana kamu dibesarkan. Apasih yang mendorong kamu untuk
akhirnya mengejar PhD di bidang ini — dan juga 2-3 riset/lab yang kamu tertarik di sekolah itu.
Memang, apapun lab yang kamu tulis di SoP tidak akan menjamin atau mengikatmu ke lab tersebut,
tapi setidaknya itu menjadi indikasi bagi sekolah tersebut bahwa kamu memang tertarik dengan
mereka, because you've done your own research about them.

What works for me adalah untuk meluangkan waktu yang lumayan banyak untuk brainstorming ide.
Ini caranya bebas. Boleh kamu coba dulu tulis ide sebanyak-banyaknya di kertas, boleh sambil
sambil nanya masukan dari teman atau kenalan kamu. Kemarin sih, aku kebetulan emang sudah
lama merenung dengan 'matang' mau nulis apa sejak liburan summer, jadi pas semester dimulai,
langsung mulai menuangkan ide di komputer. Kamu mungkin saja berbeda. Mungkin kamu punya
banyak ide bagus. Aku saranin sih untuk coba semuanya dikembangin menjadi esai secara kasar
terlebih dahulu, dan coba suruh teman atau gurumu baca, kira-kira ide apa yang lebih bagus untuk
dikembangin lebih jauh. Proses ini biasanya iteratif, ga linear, dan mungkin saja kamu bisa
kedapetan ide yang lebih bagus pas lagi ngembangin esai yang lama. So start early, and make sure to
give yourself enough time for revisions (plural!).

Selain SoP, yang harus kamu perhatikan dengan baik adalah LoR kamu. Biasanya, sekolah-sekolah
akan meminta 3 LoR (dan hanya 3, ga boleh lebih, ga boleh kurang. Hanya untuk keadaan khusus
saja, kamu boleh kirim lebih dari 3), dan aku saranin minimal 2 dari 3 LoR kamu itu diminta dari
profesor atau atasan-mu dimana kamu melakukan riset atau bekerja. LoR yang ketiga bebas,
mungkin dari profesor yang kamu pernah ambil kelas sebelumnya atau academic advisor kamu.
Kalau bisa, minta dari orang yang bisa memberikan perspektif unik dan segar tentang kamu, yang
bisa dikaitkan atau diaplikasikan ke dunia riset (misal leadership and communication skill).

Apasih yang penting di dalam sebuah LoR?

Di LoR, penulis surat kamu harus bisa medeskripsikan secara eksplisit apa saja sih kontribusi kamu
selama kamu bekerja dengan mereka. Apakah itu lewat publikasi, atau presentasi lah, bahkan
aplikasi digital misalnya. Asal mereka bisa menulis kerja nyatamu, beserta work ethic kamu di
tempat kerja.

Nah, apakah riset atau pekerjaan yang kamu kerjakan dengan profesor atau bos di LoR mu harus
sesuai dengan bidang PhD yang ingin kamu tekuni?

Jawabanya TIDAK. Sebagai contoh, riset yang aku tekuni itu sebenarnya sifatnya lebih translasional,
sedangkan PhD yang aku ingin tekuni di bidang imunologi sifatnya lebih 'basic' science. Tapi, itu
bukan masalah, karena sebenarnya banyak juga yang daftar yang berganti bidang seperti aku, dan itu
diperbolehkan. Sekali lagi, yang paling penting adalah bagaimana kamu, sebagai periset atau
pekerja, dapat berpikir secara kritis dan menyelesaikan sebuah tugas, apapun tugas itu.

*GRE itu, kalaupun di-consider nilainya, biasanya hanya sebagai pre-screen, untuk mengurangi
jumlah aplikasi yang perlu dibaca oleh pihak sekolah. Karena itu, nilai GREny sebetulnya tidak
perlu sempurna. Asal kamu bisa melewati cut-off untuk program tujuan kamu, yang bisa kamu
google online, ga perlu retake ujiannya lagi. Contoh, buat program teknik (engineering), asal verbal
dan math kamu diatas 80th and 90th percentile, respectively, you're good to go!

** IP (or GPA) kamu juga sama kayak GRE, buat screen awal. An MIT professor even complained
to me, once, on what GPA actually represents. Karena sebenarnya, setiap sekolah grading sistemnya
berbeda. Karena mungkin dapat B di MIT itu bisa aja setara dengan dapat A di state
universities. Maka dari itu, IP juga sebenarnya tidak terlalu dilihat, asal kamu di atas 3.5-3.6 dari
skala 4.0.
 External fellowships/scholarships are (highly) desirable, but not a prerequisite

Tentunya, sebagai seorang murid PhD, kamu tidak ingin terbebani dengan uang sekolah dan
biaya kebutuhan sehari-hari. Nah di Amerika (seperti yang sudah diceritakan di part 1), PhD itu
hampir selalu gratis di sekolah-sekolah ternama. Jadi, kamu tidak perlu mencari beasiswa luar
(misalnya LPDP dari pemerintah Indonesia atau bantuan dari perusahaan kamu) untuk dapat
membiayai studi kamu. Namun, alangkah lebih baiknya jika kamu mempunyai beasiswa dari luar.
Kenapa? Logikanya seperti ini. Bayangkan jika ada dua aplikan yang secara prestasinya mirip, tetapi
yang satu punya beasiswa sendiri sedangkan yang satunya lagi harus dibiayai oleh sekolah.
Tentunya, jika slot terbatas, akan diambil yang punya beasiswa. External fellowships/scholarships
can give you a competitive edge against someone of similar resume, especially as an international
applicant. Walaupun begitu, bukan berarti jika kamu tidak punya beasiswa, kamu gak mungkin
keterima. I didn't have any prestigious fellowship when I applied, but I got in anyway haha. Yang
terpenting, SoP dan LoR kamu bagus, masalah beasiswa ya dipikirin aja ntar. Toh, ketika kamu udah
mulai belajar, bakal banyak peluang beasiswa yang bisa kamu dapatkan di Amerika*.

Nah, untuk jenis funding kamu, tiap program agak berbeda. Beberapa program di Amerika bakal
mengharuskan kamu untuk mengajar (tanpa dibayar) sebagai teaching assistant selama minimal 1-2
semester. Beberapa program, ketika kamu diterima, itu dengan syarat bahwa kamu harus bekerja
dengan profesor tertentu (karena lab itulah yang akan membiayai studi kamu). Umumnya, buat
program top di bidang biomedis atau bioengineering, kamu bakal diterima tanpa ikatan dengan lab
tertentu, dan pada tahun pertama, kamu melakukan lab rotations, dimana kamu bisa 'mencicipi'
beberapa lab/riset (biasanya 3) yang berbeda, masing-masing selama beberapa minggu atau bulan,
sebelum akhirnya memilih lab tetapmu untuk 4-5 tahun ke depan. If you're doing lab rotations, a few
helpful tips to keep in mind: First, talk your PI (principal investigator) and discuss the potential
projects and timeline, mentorship style (i.e hands-off or hands-on) and your goals for
PhD (academia or industry). Make sure you're both on the same page, so no conflicts would arise
midway through your study. Then, talk to lab members. Make sure the lab has the right, welcoming
environment for you to thrive for the next 4-5 years. Research without the external distraction is
already hard enough. You don't need that extra drama in your life.

* Perlu disebut, jika kamu punya beasiswa dari luar, biasanya kamu akan diberi gaji lebih dari
sekolah buat PhD kamu, biasanya 10% dari jumlah beasiswa yang kamu dapatkan. More incentives
from the school for you to apply for these external scholarships/fellowships, I guess.
 Just be yourself at the interviews

After days, or even months of procrastination, you finally managed to pull your act together and click
the 'submit' button.

So what's next?

You wait. And honestly, it's a break (and momentary relief) well deserved.

The admission committees typically work fast. They (faculties and sometimes current PhD students)
can process hundreds to thousands of applications fairly efficiently, and you can expect receiving your
results in the matter of days or weeks (as a matter of fact, I heard back from Yale, like 4 days after the
submission deadline lol).
For those of you applying for non-biomedical/engineering field, if you made it this far in the process,
well first, congrats! You will next hear back about visit weekend, where you will meet your potential
advisor and classmates, and face a very tough decision.
For those of you applying for biomedical/engineering field, however, your wait's not over yet. Instead
of visit weekends, you will have interview weekends, where you will be tested, again, but now face-to-
face* with the professors (and current students, occasionally) and admitted based on your
performance**.

Hold up a minute. Kok kayak gak adil ya?! Kenapa kita yang biologi harus diseleksi lagi?

Jujur, aku sendiri ga ngerti haha. Kata orang sih, ada yang bilang biar benar-benar pastiin bahwa orang
yang keterima itu sesuai dengan yang tertulis di SoP dan LoR mereka. Ada yang juga bilang, ini dites
biar tahu kalau muridnya bukan sosiopat (?) Regardless, mereka hanya akan menerima sebagian (30-
100%) dari murid yang diundang, and that final decision may very much come down the little details
or careless blunders.

I later found out that that wasn't much the case.

Aku awalnya lumayan freaked out sih haha. Sampai benar-benar gila persiapannya. Karena takut diuji
dan ga bisa jawab, aku sampai hafalin materi yang bahkan ga ada hubungannya sama sekali dengan
riset yang aku geluti. I just want to be fully prepared. Tetapi setelah melewati beberapa interview, aku
baru sadar. Kok kadang pertanyaanya seperti ini ya? Memang sih ada beberapa profesor yang serius
menguji ilmu kamu. Tetapi kebanyakan hanya basa-basi. Malah, aku pernah sekali ketemu yang
seperti ini, "Looking at your files, at this point, you're almost guaranteed a spot in our school. So
instead of wasting your time, what can I say to convince you to join us here?"

Ternyata, setelah bertanya-tanya sedikit, rupanya sekolah-sekolah itu memang sudah punya sebuah
preferensi untuk siswa-siswi yang diundang. Nah, sebenarnya interview kamu itu tidak akan
berpengaruh banyak bagi yang di rank di atas dan di bawah***. Yang celakanya nih, bagi
yang rank nya di tengah-tengah. In that case, interview ini memang menjadi alat penguji, and you
better be prepared for it.

Jadi, apa sebenarnya harus disiapin? Yang paling penting sih adalah riset kamu. Kamu ga perlu tahu
hal yang lain, misalnya riset pewawancara kamu atau materi irelevan lainnya, asal kamu bisa
menjelaskan segala aspek dan detail dari riset kamu dengan percaya diri, pasti aman.

"Kalau kita yang sisanya gimana dong kak? Percuma dong capek-capek wawancara kalau sudah di
atas atau di bawah?"

Lah emangnya kamu tahu, kamu ranking-nya berapa? Lakukan saja semua interview dengan sebaik-
baiknya. Usahakan juga untuk mengenal profesor atau kandidat PhD lainnya. Mereka mungkin saja
akan menjadi teman satu sekolah-mu atau kolaborator di masa depan.

Biasanya sih, kamu bakal langsung tahu hasil interview dalam 2-3 hari (lewat telpon atau
email). And if you received those, then finally congrats to you as well for a job well done.

*the interviews are almost always on-site, but accommodation and transportation, even for
international flights, will be reimbursed (to a certain value). So consider it a free trip around the US
**sometimes, you may also be asked to give a powerpoint or poster presentation to a bigger audience
about your research, in addition to the 1-on-1 interviews.
***as an important note, ingat bahwa ga semua yang diundang mungkin menerima kesempatan yang
diberikan. Jadi penting bahwa kalau kamu memang mau bersekolah di situ, untuk sebisanya hadir ke
wawancara sekolah tersebut.
 Consider all three: Network, Location and Research

Setelah visit/interview weekend, biasanya kamu akan mulai mendapatkan feel sesungguhnya dari
masing-masing sekolah. Kamu tentunya bisa mulai meng-update spreadsheet kamu dengan info-info
tersebut. Tetapi, secara umum ada 3 hal penting yang harus kamu perhatikan untuk meraih karir PhD
yang ideal: research (school curriculum, research topic, quality of research—which can be defined
by the quantity and quality of scientific publications, to name a few—school facility and equipment,
quality of mentorship, etc.), location (east coast vs west coast vs midwest, proximity to family and
friends, proximity to startups and companies, presence of strong Indonesian community, living cost
vs stipend, etc.) and network (school brand, alumni network, professors, and members of your
cohort). Aku saranin untuk benar-benar mencari titik temu (fine balance) dari ketiga hal tersebut.
Mungkin, untuk beberapa orang, keluarga atau kekasih adalah hal yang sangat penting, jadi lokasi
yang lebih diutamakan. Atau mungkin, ada sebuah kesempatan riset yang tak bisa kamu lewatkan di
sebuah sekolah. Apapun pilihanmu (which often comes down to gut decision), pilihlah tempat yang
bisa membuatmu bahagia (content) buat 5-6 tahun ke depan. Percuma aja sekolah di Harvard,
misalnya, jika hidupmu di sana sengsara.

Sebagai contoh, aku sendiri memilih Stanford karena selain memiliki departemen imunologi yang
sangat bagus, terutama karena di bawah naungan fakultas kedokteran di kampus tersebut, Stanford
juga memiliki program engineering yang mungkin terbaik kedua setelah MIT (aku masih segan
untuk mengakui ada sekolah teknik yang setara dengan almamater S1 aku haha). Untuk melakukan
riset biologi molekuler yang terdepan, tentunya dibutuhkan teknologi khusus dan alat
tercanggih yang hanya dapat ditemui di sekolah jago teknik. Komunitas di Stanford juga umumnya
memiliki jiwa entrepreneurship yang kuat (being at the heart of Silicon Valley), dan aku bisa melihat
diriku di masa yang akan datang mematenkan hasil temuanku di lab dan membawanya ke
masyarakat umum lewat startup dan partnership dengan alumni dan pengajar di Stanford. Alasan
terakhirku mungkin agak lucu, tetapi aku bermimpi untuk suatu saat kembali ke Boston dan memulai
karir akademik sebagai seorang profesor di MIT ataupun Harvard (walaupun sekarang terdengar
mustahil, all my life I had been up against all odds and expectations, so maybe I can continue to defy
them? *crossing my fingers*). Mungkin akan lebih baik jika aku pindah ke California supaya dapat
membuka wawasan, membangun koneksi baru dan mencari pengalaman hidup yang berbeda di West
Coast sebelum kembali menetap di East Coast.

My final piece of advice, is to enjoy the ride. Memang, keseluruhan proses ini bakal ribet dan bikin
stres dan capek (pake banget), tapi aku merasa aku belajar banyak dari pengalaman ini, dan tentunya juga
masih bersenang-senang dan dapat banyak teman baru (depressingly enough, my birthday this year fell on the
first day of Yale interview. Luckily, I had made some friends who were more than willing to 'risk' their chances
to celebrate my birthday with me haha). Aku juga bertemu dan berbincang-bincang (pas wawancara dan makan
malam) dengan beberapa idola atau bigshot di dunia imunologi (I'm lowkey fangirling hehe). Anyway, feel free
to comment down below for questions and I wish you, again, all the best of luck, and hope to see you on the
other side some day.
Many people have the perception that in order to attend a prestigious university,
you have to grow up in Jakarta and go to fancy international schools. For
Valen, neither did he live in Jakarta, nor did he attend fancy international
schools. How did he do it?

Hi everyone, my name is Valentino Sudaryo, but I usually go by ‘Valen’, ‘Akiet’ (my Chinese
nickname) or recently in college, ‘Avocado’. I was born and raised in the Khatulistiwa city, Pontianak, the
capital city of Kalimantan Barat. I find Pontianak to be one of the best culinary cities in the world, and trust
me I’ve been to places, with must-try dishes such as ‘bakmi kepiting’ and ‘chai kue’. Looking back, it’s no
wonder that growing up, I was actually obese lol.
In more relevant news, I just recently graduated top of my class with a Bachelor of Science degree in
Biological Engineering from the Massachusetts Institute of Technology (MIT), the world’s #1 university
according to the QS world ranking for the past 7 consecutive years, and will be embarking on my PhD study
in immunology at Stanford University this September.
Wait a minute.
I must be joking, right?

From humble beginnings to living a fairy tale

Don’t worry, it’s fine. I get that shocked and disbelieved look a lot. It’s natural to be skeptical,
considering my background as “anak daerah” from out of Java and Bali (tapi ibukota bakal pindah ke
Kalimantan ya hehe), cause why not? Kids like me were never supposed to be here anyway; we’re not born
privileged enough. I didn’t come from a rich family, nor an academic one. I didn’t go to any of those fancy
international schools that you often find in Jakarta—I spent all 12 years of primary and secondary education
at a young school in Kubu Raya recency, just outside of Pontianak—and I certainly did not take (or to be
exact, could not afford) any of those SAT or extra classes to prepare for college applications. So really, what
is my secret to making into MIT, which often only accepts one (and very rarely two) out of hundreds of
Indonesian applicants each year?
Frankly speaking, I don’t have a straight answer to that either, but if I were to trace everything—my
relentless drive and bottomless hunger for success—back to one source, tragically, it would be… death. I
first knew death when I lost my grandpa to a recurring cancer. His lifeless body looked so frail as rounds of
chemotherapy, his supposed life-saver, ravaged him as much as the disease. I was devastated, as he was one
of the most influential role models in my early childhood. He was a kind, loving, playful and wise teacher
and friend. I remember crying so hard that day, all my tears were dry; I was only 7 then.
Things did feel normal again after a while, but death revisited: this time, taking my grandma away.
She was diagnosed with aplastic anemia, a rare autoimmune disease that destroys her blood cell progenitors.
Her only hope for recovery was a bone marrow transplant, which at her age was essentially impossible. She
opted for the alternative: to forgo treatment and die, less than a month after her first symptoms appeared. Her
passing hit me even harder as I never had the chance to say goodbye, and I could not bear the thought of
having to wait helplessly once more, powerless, as I watch death unfolds around me. For what good is a life
if you could not even protect your loved ones.
In retrospect, while losing your loved ones is never easy, my grandparents’ passing was perhaps a cruel, but
a blessing regardless, in disguise.
“Death is what gives life meaning. To know your days are numbered. Your time is short,” as Doctor Strange
put it in his debut Marvel movie. Out of this trauma, I came to fear for life. Not my own, but my family’s. I
knew I could not stop death (or at least not yet), but at least I could try to make the rest of our time together
worthwhile. Hence, at the age of 10, I decided to put my brain to good use and begin partaking in Science
Olympiad (‘Olimpiade Sains’), a prestigious and highly challenging individual competition in science
comprised of both theoretical and practical examinations. Fast forward to 7 years later, through ups and
certainly more downs, I managed to top nationals and represent Indonesia in international competitions at all
elementary, middle, and high school levels—a feat never accomplished by a student from Kalimantan—
capped with a gold in the International Biology Olympiad (IBO) in 2014.
While the medals were surely rewarding, this journey was itself veritably transformative: my
encounters with scientifically like-minded competitors-turned-peers from all over Indonesia and the world,
convinced me to chase my dream at the Mecca of this field. Thus, I applied to a school in the States that I
have never even heard of until the end of my junior year (i.e., 11th grade), and as fate (with a copious
amount of luck) would have it, on the Fall of 2015, I arrived at MIT.

Coming full circle: MIT to Stanford to targeting Autoimmune Diseases

MIT was undoubtedly the best thing that had ever happened to my 18 year old self. Here, (and
perhaps the only school in America to allow so with such ease) undergrads are very much welcomed and
encouraged to conduct fully-funded, world-class research during the semester at any MIT lab, through a
unique program called Undergraduate Research Opportunity Program (UROP). As long as one professor and
his/her lab member (a graduate student or postdoc that would directly supervise the student on a day-to-day
basis) are willing to host the student, which often is an upperclassman who has taken the prerequisite
courses, they can start working immediately. It’s really that simple (plus the paperworks, of course)! Because
of it, I am 100% absolutely, positively certain that every undergrad of every major at MIT has done at least a
semester worth of research during their time here, and I was not an exception.
As an eager, green freshman who could no longer wait to work on “real and meaningful” research,
my first semester I approached Nova Pishesha, a PhD candidate in biological engineering at MIT originally
from Malang, to take me as her UROP, even though I was completely clueless to what her current work was
about. “Yang penting bangun pengalaman riset dulu. Ntar jika tidak betah, setidaknya bisa lebih mudah
pindah ke Zhang lab atau Langer lab (some of the most popular biology labs among MIT undergrads),” I
originally thought. It was then that Nova made the huge reveal:
“Have you heard of autoimmune diseases before?”
Just like that, my life went full circle.
I spent the next 3.5 years at MIT doing research under Nova, mainly working on ways to engineer
red blood cells for therapeutic purposes, including the treatment of autoimmunity, a disease all familiar to
me. In the classroom, I also took the opportunity to further my knowledge in the field, which includes a
cross-registration into the graduate level Immunology course at Harvard Medical School and a teaching
assistant role in an advance, undergraduate level biotherapeutic class at MIT. Altogether, these experiences
have reaffirmed my commitment to study biomedicine, specifically in immunology, at its highest (and
perhaps start my own lab in the future) by pursuing a doctorate degree right out of undergrad.
I ended up applying to 8 graduate schools. Honestly, I wasn’t hoping much, cause the admission
process is extremely competitive, especially for international applicants like me (historically, for
international students, the admission rate is about 1-5%, depending on the program). To my pleasant
surprise, I was accepted to all of them, except to my supposed ‘safety’ school—the only place that I thought
would be a surefire admission *slight tears*. I was offered a spot at Harvard, Stanford, UC San Francisco,
Yale, Johns Hopkins, MIT and UC Berkeley, where the first 5 are arguably the world’s current front-runners
in immunology. As suspected though, my parents (being the stereotypical Asian parents they are) half-
jokingly (so half-seriously) told me to decline every offer and consider Harvard and Stanford only, even
though I was intrigued by Yale and MIT as well. “Biar bisa ikutan menggalau ala kak Maudy Ayunda,” they
said haha.
However, when it was finally time to make a decision, I, most definitely, have my own 3 equally
important set of criteria to achieve an ideal PhD career: research (school curriculum, research topic, quality
of research—which can be defined by the quantity and quality of scientific publications, to name a few—
school facility and equipment, presence of a medical school and hospital on campus (for my personal case),
quality of mentorship, etc.), location (east coast vs west coast, startup community, presence of strong
Indonesian community, etc.) and network (school brand, alumni network, professors, and my own cohort).
After some methodical deliberation followed by spontaneous gut decision, I ultimately chose
Stanford as the next stepping stone to my hopefully long and fulfilling academic career in immunology.
While my effort now would certainly not change my tragic past, I hope to make impactful contribution to the
field of medicine in the future, so that no child has to suffer the same pain I once did all those years ago. At
least then, even without the proper goodbye, I know I will have made both my grandparents proud.

My Two Cents for Aspiring Diasporas: Live a proudful life you won’t regret

My dad used to remind me before dropping me off at the airport for every Olympiad: “Kamu petik apa yang
kamu tuai, nak. Mata Tuhan tidak buta.” Always know that, as long as you put in the effort, good things will
come. It might not be what you initially wished for (my dream growing up had always been studying at FK
UGM. Look how it all turned out for me.), nor might it come immediately (I lost my first National Science
Olympiad embarrassingly only to win a gold in the following year, and boy, it was so sweet), but your
perfect little blessing will eventually arrive, even if it’s not obvious at first sight. So don’t ever be afraid to
dream big, while keeping it in your prayer, and chase after it with full conviction. Life is hard enough
without regrets, so just be grateful and move on.
Lastly, as it cliche as it sounds, never lose hope. Everybody loses. It is just a part of life. You cannot
avoid it, nor deny it, but you can certainly come back from it, each time stronger. Yes, it can be very tough to
remain self-motivated and disciplined sometimes, but when it happens, just remember why, or
rather who you are doing it for. Make them the reason you wake up every single day: there is simply no
greater joy than watching your loved ones smile. And if all else fails, just remember me: Jika anak daerah
saja bisa, kamu pastinya bisa juga.

Penulis :

Valentino Sudaryo
Valentino is a PhD student in Biosciences (Immunology Home Program) at Stanford University School of Medicine. He
earned his bachelor's degree in Biological Engineering, with a focus in immunoengineering, from MIT. Valentino
dabbles in photography, pencil art, hip-hop dance, basketball, and weightlifting in his free time, and loves fluffy dogs,
live music concerts, casual hikes, sunsets and embarassing karaoke. Feel free to shoot him a question (or even a simple
hi) at vsudaryo@alum.mit.edu!
Pelajaran dari 15 Kegagalan Beruntun Meraih Beasiswa

Cerita keberhasilan selalu menarik. Namun, keberhasilan hanyalah sisi gunung es yang nampak
di permukaan. Bongkahan es yang jauh lebih besar justru tak terlihat di bawahnya. Seringkali, di
sanalah pelajaran pentingnya -dari kegagalan demi kegagalan, usaha demi usaha-. Kontributor Wahyu
Setioko membagikan 15 kegagalan beruntun yang dialami dalam meraih beasiswa beserta pelajarannya.
Berikut kisahnya.
***
Akhir dari sesuatu adalah permulaan bagi sesuatu yang lain. Pertengahan tahun 2011, perjalanan
akademik saya di Universitas Negeri J**** resmi berakhir dengan selembar kertas bertuliskan “Sarjana
Sains”. Sejak saat itu juga, saya memulai perjalanan baru yang terdengar ambisius kala itu: mencari beasiswa
penuh untuk kuliah di luar negeri.
Saya memulai perjalanan ini tanpa bekal apapun kecuali tekad dan optimisme.
Berhasil?
Ya, pada akhirnya.
Setelah lima belas kali terjatuh dan kembali bangun, perjalanan itu menemui ujungnya pada tahun
keempat. Pada percobaan keenam belas. Segala jerih payah terbayar saat saya menginjakkan kaki di Amerika
Serikat pada tahun 2015 untuk kuliah pascasarjana dengan beasiswa penuh.
Saya merangkum keenam belas beasiswa yang pernah saya usahakan selama empat tahun itu pada tabel
berikut:

Enam belas beasiswa yang pernah saya daftar. Lima belas gagal, satu berhasil
Alih-alih menceritakannya secara kronologis -yang tentunya akan sangat panjang-, dalam tulisan ini
saya ingin berbagi pelajaran-pelajaran yang saya peroleh dari lima belas kali kegagalan beruntun dalam
empat tahun itu. Mengambil analogi gunung es, saya terkadang mudah saja menampakkan 10% gunung es
yang berada di permukaan laut pada media sosial saya, tapi berat rasanya untuk mengungkap 90% bagian
lainnya yang tak terlihat di bawah permukaan. Kali ini saya coba membagi sebagian kecilnya di sini.

Pelajaran dari lima belas kegagalan beruntun:

Persiapan yang Matang atau Disiapkan hingga Matang.


Mungkin benar bahwa persiapan adalah kunci keberhasilan. Saya mengaku salah telah memaksakan
diri mengejar ambisi tanpa persiapan. Tapi kalau boleh membela diri, kala itu saya tidak memiliki dukungan
dari lingkungan atau pihak manapun. Impian seperti itu masih relatif langka pada masa itu, belum menjamur
seperti hari ini. Saat itu, tak ada yang mengenalkan saya tentang persiapan melamar beasiswa dan kuliah ke
luar negeri. Sama sekali tidak ada. Hingga akhirnya Tuhan yang mengambil alih perihal persiapan ini dengan
cara yang tidak saya mengerti.
Selain berusaha, saya -tentu saja- berdoa dengan tekun untuk bisa kuliah ke luar negeri, dan berdoa semakin
tekun setiap kali menemui kegagalan. Tapi apa yang Tuhan lakukan? Bukannya ke luar negeri, takdir justru
mengantarkan saya ke sebuah pulau kecil di tengah laut. Takdir yang membuat orangtua saya heran bukan
main. Katanya mau belajar ke luar negeri, tapi tiba-tiba minta ijin mengajar di daerah terpencil, satu tahun
pula. Iya, mereka selalu mempertanyakan impian itu selama empat tahun penuh. Empat tahun penuh.
Termasuk ketika saya memutuskan untuk bekerja sepulang dari mengajar di pulau itu. Juga ketika saya
meminta restu untuk meminang seorang gadis. Katanya mau kuliah ke luar negeri?
Empat tahun, lima belas kegagalan, runtunan depresi berganti optimisme, berulang-ulang. Saya sama sekali
tidak mengerti rencana Tuhan saat itu.
Hari ini, jika melihat ke belakang, saya baru menyadarinya. Selama empat tahun itu sesungguhnya
Tuhan sedang mempersiapkan saya hingga matang melalui kegagalan demi kegagalan. Di setiap kegagalan,
saya belajar hal baru tentang aplikasi beasiswa, menulis esai, dan lain sebagainya hingga aplikasi saya
menjadi semakin baik pada percobaan berikutnya -yang masih gagal juga sehingga saya harus belajar lagi-.
Saya juga baru menyadari maksud Tuhan memberikan saya kesempatan menjadi guru di pulau kecil,
berjejaring dengan relawan, bekerja di perusahaan multinasional, dan berkutat di sekolah internasional dalam
periode empat tahun itu. Tuhan tengah menyiapkan kemampuan bahasa Inggris saya melalui pekerjaan
sehari-hari di perusahaan multinasional dan sekolah internasional; menanamkan nilai-nilai penting dari
aktivitas dan jejaring relawan yang inspiratif; beradaptasi dengan lingkungan yang benar-benar baru, bahkan
harus belajar bahasa daerah yang sama sekali baru; dan mendalami bidang studi yang akan saya tempuh dari
beragam peran pekerjaan yang saya jalani dalam empat tahun. Belum selesai di situ kebaikan-Nya, saya juga
diberikan dukungan seumur hidup: seorang istri. Anugerah yang tak terbayangkan.
Ketika menjalani hari-hari perkuliahan di Amerika, saya merasakan manfaat nyata dari semua
pengalaman yang saya peroleh pada masa empat tahun itu. Komunikasi bahasa Inggris minim kendala,
pengetahuan terhadap bidang studi tak kalah dari kolega internasional lainnya, adaptasi lingkungan baru
berjalan lancar, nilai-nilai kebaikan dan nasionalisme tak luntur oleh pengaruh kultur, dan kebahagiaan saya
jauh lebih lengkap karena didampingi oleh istri -dan kemudian anak saya-.
Mungkin sudah banyak yang tahu, Tuhan menjawab doa-doa dengan tiga cara berbeda.
1. Iya, dikabulkan.
2. Iya, tapi nanti, tidak sekarang.
3. Iya, tapi yang lain, yang lebih baik.
Jawabannya selalu “iya”.
Saya baru mengerti setelah lima belas kegagalan. Doa saya dijawab dengan cara kedua dan ketiga.
Impian saya untuk segera kuliah ke luar negeri pada tahun 2011 dijawab empat tahun kemudian dengan yang
lebih baik: kuliah di luar negeri dengan modal personal dan akademik yang matang serta dukungan keluarga.
Hingga hari ini, saya selalu bersyukur mengingatnya dan tak pernah menyesalinya. Alhamdulillah.
Jadi, silakan pilih sendiri: punya persiapan yang matang, atau disiapkan hingga matang?
Yang manapun pilihanmu, insya Allah berakhir pada keberhasilan.
Menemukan Renjana (passion)
Takdir teraneh bagi saya: hidup di pulau terpencil sebagai guru bantu, rupanya adalah rencana
terbaik yang Tuhan pernah berikan. Sebagaimana tulisan ini bermula, saya mengantongi ijazah sebagai
Sarjana Sains, khususnya bidang Kimia. Pada masanya, saya sangat antusias melakukan penelitian di
laboratorium. Molekul kristal cair dan senyawa organik pernah begitu dekat dengan keseharian saya. Bidang
inilah yang ingin saya tekuni dengan kuliah di Eropa atau di Jepang kala itu. Tapi Tuhan menunjukkan jalan
lain.
Menjalani satu tahun sebagai guru di daerah terpencil adalah titik balik dalam kehidupan saya. Pikiran saya
berubah. Saya menemukan renjana -perasaan yang kuat- ketika menjadi guru. Perasaan yang tidak saya
dapatkan dalam penelitian ilmiah di laboratorium, dengan para senyawa itu. Saya sumringah sekali ketika
melihat murid-murid saya berubah perilakunya, bertambah pengetahuan dan kemampuannya, serta
berkembang pola pikirnya. Kebahagian yang tidak saya temukan di laboratorium. Sejak saat itu, saya
memutuskan untuk beralih ke dunia pendidikan. Saya memilih berkontribusi di bidang Sains dan Teknologi
pada masa yang akan datang. Caranya dengan mempersiapkan generasi-generasi yang mencintai bidang ini
sejak dini di Sekolah Dasar dan Menengah.
Kembali dari pulau itu, saya melanjutkan karir saya di bidang pendidikan, juga mulai fokus untuk melamar
beasiswa dengan bidang studi pendidikan alih-alih kimia.
Kegagalan-kegagalan yang terasa aneh dan menyakitkan itu justru mengantarkan saya menemukan renjana
yang saya hidupi hingga hari ini.
Jadi, tak perlu takut untuk berbeda rencana dengan Tuhan. Percayalah, rencana-Nya selalu yang terbaik.

Man Jadda Wajada


Man Jadda Wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh, dia akan berhasil.
Saya tak pernah membayangkan sebelumnya bagaimana rasanya mati rasa karena berkali-kali gagal.
Salah satu modal saya pun, optimisme, perlahan mulai memudar. Tinggal tekad yang tersisa. Hanya dengan
itu saya bertahan selama empat tahun. Belajar bahasa Inggris dari nol secara otodidak. Lima kali saya
menguji kemampuan saya dengan TOEFL ITP hingga mendapat skor yang cukup. Dua kali mengambil tes
IELTS, dan dua kali menjalani tes TOEFL IBT. Belum lagi dengan tes tambahan seperti GRE yang menjadi
syarat khusus universitas di Amerika. Mungkin sudah belasan hingga puluhan juta rupiah saya habiskan
untuk membeli buku, belajar mandiri, dan mendaftar tes-tes itu. Tak satupun tes yang berhasil tanpa
mengulang. Lagi-lagi kegagalan menghinggapi saya.
Di tengah kegagalan -yang entah keberapa-, saya dipertemukan dengan Ahmad Fuadi, novelis trilogi
Negeri 5 Menara (N5M). Saya mengikuti seleksi terbuka untuk berguru padanya soal menulis -sebagai
pelampiasan atas kebosanan berkawan dengan kegagalan- dan akhirnya terpilih untuk menjadi anggota
Akademi Menulis 5 Menara. Selain mendapat ilmu teknis tentang menulis, saya merasa kembali tercerahkan
dengan semangat Man Jadda Wajada. Banyak pembaca N5M yang telah membuktikan dengan kisah-kisah
uniknya masing-masing. Menyaksikan itu semua, optimisme saya kembali menguat, tekad saya semakin
bulat. Saya harus bisa kuliah ke luar negeri.
Rutinitas melengkapi aplikasi beasiswa, menulis esai, meminta rekomendasi, dan menjalani tes
kembali saya lakukan dengan sungguh-sungguh. Dalam pikiran saya kala itu: berapa kali pun saya gagal,
saya akan perbaiki, dan coba lagi. Sampai berhasil. Entah kapan. Sampai berhasil.
Satu tahun setelahnya, saya akhirnya berhasil mendapat beasiswa penuh ke Amerika.
Man Jadda Wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh, dia akan berhasil.

Pay It Forward
Suatu ketika, saya berbicang dengan salah satu pemberi rekomendasi untuk aplikasi beasiswa saya,
Bu EH, sembari menyantap siomay di pinggiran jalan komplek perumahan. Beliau tahu ini bukan permintaan
saya yang pertama, kedua, atau ketiga untuk memberikan rekomendasi. Yang berbeda saat itu, saya
mengutarakan rencana untuk menikah dalam waktu dekat. Tentu bersambut raut berseri dan lontaran
“selamat” dari beliau. Setelah berterima kasih, nada bicara saya jadi serius.
“Kayanya ini aplikasi beasiswa yang terakhir deh Bu. Kalau gagal, sudah lah. Saya juga kan harus
menafkahi keluarga setelah menikah. Bakalan fokus kerja aja mungkin, sambil ngurus beasiswa kalau
udah settled.”
Balasan Bu EH saat itu masih saya ingat.
“Emang menantang sih ya setelah menikah. Tapi Ko, tantangan itu akan selalu ada. Abis nikah,
punya anak, udah tua, dst. Kalau lu tunda nanti nanti, bisa-bisa lu ga jadi berangkat karena udah males.
Menurut gw sih hajar aja. Lu kan juga udah sejauh ini. Kalau lu butuh rekomendasi lagi, gw siap ngasih
sampe lu berhasil. Udah deket nih menurut gw.”
Entah makhluk seperti apa para pemberi rekomendasi untuk aplikasi beasiswa saya ini. Sampai hari
ini, saya masih menduga mereka setengah malaikat. Selain Bu EH, ada juga Pak AR -seorang PNS kepala
instansi penelitian-, Bu M, Pak H, dan Ms IN dari organisasi yang berbeda-beda. Bukan satu dua kali
masing-masing mereka memberikan surat rekomendasi untuk aplikasi beasiswa saya. Saya selalu merasa
merepotkan karena mereka harus merangkai kata, mencetak dengan kop surat atau amplop instansi, dan
kadang harus mengirimkannya melalui pos atau surel. Tapi tetap mereka lakukan tiap kali saya meminta
rekomendasi yang baru sambil memberitahukan bahwa yang kemarin gagal lagi.
Saya tidak tahu apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Entah, apakah mereka pun ikut lelah dan pesimis?
Ketika saya memberitahukan bahwa saya akhirnya berhasil, sebuah balasan surel dari Pak AR menjawab
pertanyaan saya.
Sebuah Catatan Terima Kasih yang ditulis dengan sungguh-sungguh dan dirangkai dengan baik
rasanya masih belum cukup untuk membalas kebaikan orang-orang yang telah sangat membantu saya.
Begitu pun dengan cendera mata. Selain pemberi rekomendasi, ada banyak lagi orang-orang lain yang
membantu saya menyusun resume, memeriksa esai, menganalisis aplikasi dan masih banyak lagi bentuk
bantuan lainnya. Kebaikan mereka terlalu besar untuk dibalas dan terlalu banyak untuk diingat satu per satu.
Memang, tak satupun dari mereka menginginkan saya membalas budi baik mereka.
Just pay it forward. Balaslah kebaikan yang kamu terima dengan kebaikan lain kepada orang lain. Begitu
caramu membalas budi mereka.
Impian itu memang tercapai, pada akhirnya. Tapi sekali lagi, akhir dari sesuatu adalah permulaan
bagi sesuatu yang lain. Menempuh studi di luar negeri hanyalah permulaan bagi impian yang lebih besar.

Penulis :

Wahyu Setioko
Wahyu Setioko, goes by Koko, is a doctoral student in the Dept. of Teaching & Learning, The Ohio State University,
USA, with a specialization in Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM) Education. Koko works in
the field of education and development for Indonesia over the last decade in diverse contexts and settings: science
museums, rural elementary and middle schools, urban K-12 international schools, government and non-profit initiatives
in rural areas, and online courses. He supports Open Education and Education-For-All! Contact:
wahyusetioko@gmail.com.

Anda mungkin juga menyukai