Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak prasekolah yaitu anak yang berusia 3-5 tahun, di masa ini sebagian

besar anak telah dapat BAK dan BAB sendiri (Potter, 2009: 264). Namun, ada

beberapa hal perlu diperhatikan pada saat tumbuh kembang anak usia prasekolah,

salah satunya enuresis (mengompol). Enuresis adalah inkontinensia urine kontinu

setelah melewati usia toilet training (1-3 tahun). Enuresis nokturnal biasanya

berhenti setelah usia 6 tahun, jika tidak pemeriksaan lanjutan dan terapi harus

dilakukan (Kyle, 2016: 805).

Prevalensi enuresis berbagai negara berbeda, di Amerika Serikat

didapatkan 5-7 juta anak mengalami enuresis nokturnal dan sekitar 15%-25%

terjadi pada umur 5 tahun. Semakin bertambah umur prevalensi enuresis semakin

menurun (Thiedke, 2003: 1499). Menurut The National Institutes of Health yang

dikutip oleh Setiowati (2018: 95) nocturnal enuresis biasa terjadi pada anak usia 2-

5 tahun dengan angka kejadian 5 juta anak diseluruh dunia.

Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) nasional yang dikutip oleh

Elvira (2015) diperkirakan jumlah balita yang sudah mengontrol buang air besar

dan buang air kecil di usia prasekolah mencapai 75 juta anak atau sekitar 30 %

dari 250 juta jiwa penduduk di Indonesia. Namun demikian, masih ada sekitar

30% anak umur 3 tahun dan 10% anak umur 6 tahun yang masih takut kekamar

mandi pada waktu malam hari. Menurut Child Development Institute Toilet
Training yang dikutip oleh Elvira (2015) dilaporkan bahwa 10-25% anak usia 5

tahun, 10% anak usia 10 tahun, hampir 2% anak usia 12-14 tahun dan 1% anak

usia 18 tahun masih mengompol, sedangkan m e n u r u t I D A I ( 2 0 0 9 )

umumnya anak berhenti mengompol sejak usia 2,5 tahun. Pada anak usia 3 tahun,

75% anak telah bebas mengompol siang dan malam hari, usia 5 tahun, sekitar 10-

15% anak masih mengompol paling tidak satu kali dalam seminggu, usia 10 tahun

masih ada sekitar 7%, sedang pada usia 15 tahun hanya sekitar 1% anak yang

masih mengompol.

Hasil penelitian di Kabupaten Pringsewu pada Tahun 2014, dapat

diketahui sebesar 37 responden (64,9%) memiliki pengetahuan yang kurang

tentang toilet training, sehingga masih banyak anak usia prasekolah yang

mengalami enuresis (Erviana, 2014: 4). Hasil penelitian di wilayah kerja

Poskeskel Margorejo Kota Metro didapatkan 60% dari 54 anak usia 3-5 tahun

mengalami enuresis (Permana, 2018).

Ada beberapa penyebab yang dapat menimbulkan enuresis diantaranya

faktor bawaan lambat atau sistem ginjal devisiensi, gangguan emosi yaitu perasaan

takut ketika anak harus pergi keluar kamar pada malam hari, diet atau pola

kebiasaan memberi air sebelum tidur, dan berkaitan erat dengan paru-paru, limpa,

ginjal yang mengakibatkan kandung kemih disfungsi kontrol (Ang, 2017: 15). Ahli

lain pun menyatakan bahwa volume air kemih, gangguan kekurangan produksi

hormon anti diuretik (hormon anti kencing) dan gangguan psikologis bisa juga

menjadi penyebab enuresis (Fatmawati, 2013).

Dampak secara sosial dan kejiwaan yang ditimbulkan akibat enuresis

sungguh mengganggu kehidupan seorang anak. Pengaruh buruk secara psikologis


dan sosial yang menetap akibat ngompol, akan mempengaruhi kualitas hidup anak

saat dewasa. Bila diabaikan, hal ini akan berpengaruh bagi anak. Biasanya anak

menjadi tidak percaya diri, malu dan hubungan sosial dengan teman terganggu.

Selain itu, meskipun gejala klinis yang ditimbulkan ringan, enuresis dapat

menimbulkan kekhawatiran pada orang tua, karena gangguan ini memengaruhi

kepercayaan diri anak, hubungan interpersonal, dan prestasi sekolah

(Soetjiningsih, 2017: 372).

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi enuresis yaitu terapi

farmakologi dan non-farmakologi, terapi farmakologi antara lain, pemberian obat-

obatan untuk enuresis yaitu dengan menggunakan obat oksibutinin, imipramin,

dan desmopressin. Sedangkan terapi non-farmakologi pada enuresis dapat

dilakukan dengan berbagai cara yaitu memberi dukungan dan motivasi,

menggunakan sistem alarm dan terapi akupresur dan moksibasi (Kyle, 2016: 806-

807).

Secara non-farmakologi enuresis dapat diatasi dengan terapi akupresur

atau pemijatan pada titik-titik tertentu. Terapi akupresur merupakan

pengembangan dari ilmu akupunktur, sehingga pada prinsipnya metode terapi

akupresur sama dengan akupunktur yang membedakannya terapi akupresur tidak

menggunakan jarum dalam proses pengobatannya. Teknik pengobatan akupresur

bertujuan untuk membangun kembali sel-sel dalam tubuh yang melemah serta

mampu membuat sistem pertahanan dan meregenerasikan sel tubuh. Akupresur

bermanfaat untuk meningkatkan daya tahan dan kekuatan tubuh / promotif,

pencegahan penyakit / preventif, mengatasi keluhan dan pengobatan penyakit /

kuratif, pemulihan kondisi kesehatan / rehabilitatif (Hendro, 2008: 4).


Moksibasi adalah cara merangsang titik akupunktur dengan menggunakan

moksa yaitu cerutu yang terbuat dari daun Ngai (Arthemisia vulgaris) dengan cara

dibakar. Daya panas dari moksa tersebut melalui titik akupresur akan dialirkan

menembus permukaan kulit, otot dan kemudian sampai pada titik dan meridian

sehingga akan menimbulkan reaksi pengobatan, pencegahan dan perbaikan serta

perawatan (Ikhsan, 2017: 173). Berdasarkan penelitian Dokter Zhang Guiyan,

Zhu Guoxin menggunakan moksa di titik RN 4 dan DU 20 untuk mengobati 89

anak enuresis, hasilnya 85,4% sembuh, 12,4% membaik, dan 2,2% tidak ada hasil.

Tingkat total efektif 97,8% (Ang, 2017: 10).

Berdasarkan hasil penelitian Elvira Tahun 2015 di Kota Pontianak

menyimpulkan bahwa terapi akupresur efektif terhadap frekuensi enuresis pada

anak usia prasekolah. Diperkuat oleh hasil penelitian Setiowati di Kabupaten

Tanah Bumbu Tahun 2018 menyimpulkan bahwa ada efektivitas terapi akupresur

terhadap frekuensi enuresis.

Berdasarkan prasurvei di Puskesmas Tejo Agung Kota Metro dan

Puskesmas Iring Mulyo Kota Metro. Jumlah balita yang mengalami enuresis di

Puskesmas Tejo Agung lebih tinggi dibandingkan Puskesmas Iring Mulyo, yaitu

32 anak (32%) dari 100 anak usia 3-6 tahun sedangkan di Puskesmas Iring Mulyo

28 anak (13%) dari 216 anak usia 3-6 tahun.


Berdasarkan latar belakang, peneliti akan melakukan penelitian mengenai

“Pengaruh Terapi Akupresur dan Moksibasi terhadap Penurunan Frekuensi

Enuresis pada Anak Usia Prasekolah di Puskesmas Tejo Agung Kota Metro”.

B. Rumusan Masalah

Menurut The National Institutes of Health nocturnal enuresis biasa terjadi

pada anak usia 2-5 tahun dengan angka kejadian 5 juta anak diseluruh dunia.

Menurut data ASEAN terdapat sekitar 2 juta anak mengalami enuresis yang

terjadi pada usia sekitar 2-4 tahun. Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga

(SKRT) nasional diperkirakan jumlah balita yang sudah mengontrol buang air

besar dan buang air kecil di usia prasekolah mencapai 75 juta anak atau sekitar 30

% dari 250 juta jiwa penduduk di Indonesia. Namun demikian, masih ada sekitar

30% anak umur 3 tahun dan 10% anak umur 6 tahun yang masih takut kekamar

mandi pada waktu malam hari. Berdasarkan prasurvei di Puskesmas Tejo Agung

Kota Metro dan Puskesmas Iring Mulyo Kota Metro. Jumlah balita yang

mengalami enuresis di Puskesmas Tejo Agung lebih tinggi dibandingkan

Puskesmas Iring Mulyo, yaitu 32 anak (32%) dari 100 anak usia 3-6 tahun

sedangkan di Puskesmas Iring Mulyo 28 anak (13%) dari 216 anak usia 3-6 tahun.

Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah “Apakah ada pengaruh terapi akupresur dan moksibasi terhadap

penurunan frekuensi Enuresis pada anak usia prasekolah di Puskesmas Tejo

Agung Kota Metro?”


C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh terapi

akupresur dan moksibasi terhadap penurunan frekuensi enuresis pada anak usia

prasekolah di Puskesmas Tejo Agung Kota Metro Tahun 2019.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui rata-rata frekuensi enuresis sebelum dilakukan terapi

akupresur dan moksibasi pada anak usia prasekolah di Puskesmas

Tejo Agung Kota Metro Tahun 2019.

b. Mengetahui rata-rata frekuensi enuresis sesudah dilakukan terapi

akupresur dan moksibasi pada anak usia prasekolah di Puskesmas

Tejo Agung Kota Metro Tahun 2019.

c. Mengetahui pengaruh terapi akupresur dan moksibasi terhadap

penurunan frekuensi enuresis pada anak usia prasekolah di Puskesmas

Tejo Agung Kota Metro Tahun 2019.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :

1. Manfaat Secara Teoritis

Secara teori manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh

terapi akupresur dan moksibasi terhadap penurunan frekuensi enuresis pada anak

usia prasekolah di Puskesmas Tejo Agung Kota Metro Tahun 2019, serta dapat

menjadi pembanding dalam penelitian lain dengan variabel yang lebih luas dan
lebih mendalam tentang metode penurunan frekuensi enuresis pada anak usia

prasekolah.

2. Manfaat Secara Praktik

Menerapkan terapi Non-farmakologi dalam menurunkan frekuensi

enuresis pada anak usia prasekolah di Puskesmas Tejo Agung Kota Metro Tahun

2019, juga sebagai masukan pada pelayanan kesehatan seperti posyandu,

poskeskel dan puskesmas untuk menginformasikan manfaat terapi akupresur dan

moksibasi terhadap penurunan frekuensi enuresis pada anak usia prasekolah.

E. Ruang Lingkup

Metode penelitian yang digunakan adalah Pra Eksperimen. Penelitian ini

menggunakan rancangan One Group pretest and posttest, dengan menilai

enuresis sebelum dan sesudah diberi perlakuan, berupa pemijatan akupresur dan

moksibasi. Variabel penelitian terdiri dari variabel independen yaitu akupresur

dan moksibasi, serta variabel dependen yaitu enuresis. Populasi dalam

penelitian ini yaitu anak usia prasekolah di Puskesmas Tejo Agung Kota Metro

yang mengalami enuresis. Lokasi penelitian akan dilakukan di Puskesmas Tejo

Agung Kota Metro, waktu penelitian yaitu pada bulan Februari – Maret 2019.

Anda mungkin juga menyukai