Anda di halaman 1dari 22

BAB 1 MULTIPLE TRAY AERATOR

A. PENGERTIAN MTA

Multiple Tray Aerator terdiri dari suatu rangkaian baki yang disusun seperti rak (tray) dan
dilubangi pada bagian dasarnya. Air dialirkan dari puncak berupa air terjun kecil yang kemudian
didistribusikan secara merata pada masing-masing rak (tray) dan kemudian dikumpulkan pada suatu bak
di bagian dasarnya (collecting pons). Pemerataan distribusi air di atas tray sangat penting untuk
memperoleh efisiensi perpindahan gas secara maksimum. Media kasar seperti arang, batu, atau bola
keramik yang ukurannya berkisar antara 2-6 inch (5-15 cm) adalah sangat penting untuk digunakan,
karena dapat meningkatkan efisiensi pertukaran gas, sebagai efek katalisa dari mangan oksida. Multiple
Tray Aerator harus dilengkapi dengan sistem ventilasi yang cukup. Jika unit ini ditempatkan dalam suatu
bangunan dimana terdapat pencemaran udara, maka efektifitas dan efisiensi dari unit akan berkurang,
karena terjadi kontaminasi dari udara yang masuk dengan kandungan atau unsur-unsur tertentu yang
ingin dihilangkan.

Secara umum untuk menurunkan kadar besi dalam air dapat dilakukan dengan berbagai cara
antara lain aerasi, filtrasi, pemberian koagulan, peningkatan pH, serta kombinasi di antara cara-cara
tersebut. Aerasi merupakan cara yang cukup efektif dan efisien, selain biaya relatif murah serta mudah
di dalam mengaplikasikannya. Aerasi merupakan proses penambahan kandungan oksigen ke dalam air.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan dalam proses aerasi antara lain suhu,
kejenuhan air, karakteristik air dan turbulensi air. Secara umum untuk menurunkan kadar besi dalam air
dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain aerasi, filtrasi, pemberian koagulan, peningkatan pH,
serta kombinasi di antara cara-cara tersebut. Aerasi merupakan cara yang cukup efektif dan efisien,
selain biaya relatif murah serta mudah di dalam mengaplikasikannya. Aerasi merupakan proses
penambahan kandungan oksigen ke dalam air. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
keberhasilan dalam proses aerasi antara lain suhu, kejenuhan air, karakteristik air dan turbulensi air.Ada
beberapa jenis aerasi yang sering di gunakan yakni aerator gravitasi, spray aerator, aerator dengan
diffuser, dan aerator secara mekanik.

Untuk aerator gravitasi, beberapa yang sering di gunakan misalnya tray aerator, aerator
cascade, aerator dengan tower vertikal misalnya bubble cap tray dan lainya.Untuk tray aerator cara yang
sering di gunakan adalah aerator dengan menggunakan nozzle atau orifice, baik yang stationer maupun
bergerak.

Untuk dengan aerator difuser dilakukan dengan cara menyemburkan tekanan udara kedalam air
melalui difuser yang berbentuk nozzle, pipa berlubang atau difuser gelembung halus dengan cara
demikian akan terjadi kontak yang efektif antara oksigen atau udara dengan zat besi atau mangan .yang
ada didalam air sehingga terjadi reaksi oksidasi zat besi atau mangan membentuk oksida yang tak larut
dalam air

Untuk aerator mekanik,beberapa cara yang sering digunakan adalah submerged paddle,propeler
blade atau turbine blade .
B. DIAGRAM SISTEM AERATOR

A. Aerator baki (tray aerator)

Susunannya sangat sederhana dan tidak mahal serta memerlukan ruangan yang relative
kecil . Jenis aerator ini terdiri atas 4 sampai 8 tray dengan susunan vertical maupun piramida . Dasar tray
berlubang lubang dengan jarak 30-50 cm . Melalui pipa berlubang air dibagi merata melalui tray,dari
bagian ini percikan air turun dengan kecepatan 0,02 m3/detik per m2 permukaan tray .Tetesan air yang
menyebar dikumpulkan kembali pada setiap permukaan tray berikutnya . Tray dapat terbuat dari semen
sabes (asbestos cement), PVC, Logam maupun kayu . Untuk mendapatkan penyebaran air yang lebih
halus ,tray dapat diisi dengan kerikil kasar dengan ketebalan 10 cm ,kadang kadang digunakan lapisan
batu apung atau arang sebagai katalisator dan mempercepat proses penggumpalan besi dalam air .

B. Cascade aerator

Pada dasarnya aerator ini terdiri atas 4 sampai 6 step ,dengan ketinggian tiap step 30 cm
degan kecepatan 0,01m3/detik per m2. Dibandingkan dengan jenis tray ,aerator jenis cascade ini tenpat
yang dibutuhkan lebih besar namun total kehilangan tekanan lebih rendah dan keuntungan lain tidak
memerlukan pemeliharaan.
C. Submerged Cascade Aerator

Submerged Cascade Aerator atau aerasi tangga meluncur penangkapan udara terjadi pada saat
air terjun dari lempengan lempengan trap yang membawa nya masuk ke dalam air yang dikumpullam le
lempengan bawah nya .Total ketinggian jatuh kurang lebih 1,5 m yang dibagi dalam 3-5 step .kapasitas
peralatan ini antara 0,005 sampai 0,5 m3/ per m2.

D. Spray aerator

Terdiri atas nozel penyemprotan statis (stationary nozzles), dihubungkan dengan kisi lempengan
yg mana air disemprotkan ke udara sekeliling pada kecepatan 5-7m/detik . Aliran pada spray aerator
dari bawah melaui pipa yg panjangnya 25 cm dan diameter 15- 30 mm. piringan melingkar ditempatkan
beberapa cm di setiap ujung pipa , sehingga dapat terbentuk selaput air tipis melingkar yang selanjutnya
menyebar menjadi percikan air yang halus .
e. Aerator Dengan Difuser Gelembung (Bubble Aerator)

Jumlah yang dibutuhkan untuk bubble aerator tidak banyak, yaitu sekitar 0,3-0,5 m 3 Udara per m3 air
dengan volume ini dengan sangat mudah untuk ditinggikan. Udara di alirkan melalui perpipaan yang di
letakkan pada dasar bak.

C. Studi Kasus

1. Pilot Plan Proses Khlorinasi-Filtrasi


Salah satu plant untuk menghasilkan besi dan mangan di dalam air tanah deng
an proses khlorinasi-filtrasi, secara garis besar proses pengolahannya.

Air disumur di pompa dengan menggunakan pompa sambil diinjeksi larutan sodium hipoklorit
untuk mengoksidasi zat besi atau mangan yang ada dalam air, selanjutnya dialirkan ke static
mixer agar larutan sodium hipoklorit
BAB 2 INFEKSIUS

A. PENGERTIAN INFEKSIUS

B3 adalah Bahan-bahan yang selama pembuatan, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan,


penggunaan dan pembuangan limbah dapat melepaskan debu, partikel, gas, serat, radiasi yang bisa
menimbulkan iritasi, korosif, keracunan, kebakaran, ledakan dan bahaya lain yang bisa menimbulkan
gangguan kesehatan, cacat, kematian dan kerusakan harta benda dan lingkungan hidup. Limbah
infeksius adalah limbah yang dicurigai mengandung bahan patogen contoh kultur laboratorium, limbah
dari ruang isolasi, kapas, materi atau peralatan yang tersentuh pasien yang terinfeksi. Contoh bahan
infeksius :limbah medis, cairan tubuh pasien infeksius, dll.

Limbah medis adalah hasil buangan dari suatu aktivitas medis. Limbah medis harus sesegera
mungkin diolah setelah dihasilkan dan penyimpanan menjadi pilihan terakhir jika limbah tidak dapat
langsung diolah.Faktor penting dalam penyimpanan limbah medis adalah melengkapi tempat
penyimpanan dengan penutup, menjaga areal penyimpanan limbah medis tidak tercampur dengan
limbah non-medis, membatasi akses lokasi, dan pemilihan tempat yang tepat. Menurut peraturan
Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002, limbah medis dikategorikan berdasarkan potensi bahaya
yang terkandung di dalamnya serta volume dan sifat persistensinya yang dapat menimbulkan berbagai
masalah.

a) Tempat Penyimpanan B3 Infeksius


Tempat penyimpanan tidak untuk aktifitas
 Dekat dengan hidrant / safety shower
 Ruang cukup luas dapat melindungi mutu produk
 Menjamin keamanan produk
 Menjamin keamanan petugas
 Ada rambu / tanda, denah lokasi , jalur evakuasi
 Bahan tidak diletakkan di lantai (palet, rak, lemari)
 Ada APD
b) Tindakan Pencegahan Infeksi
 Aseptik, yaitu tindakan yang dilakukan dalam pelayanan kesehatan. Istilah ini dipakai
untuk menggambarkan semua usaha yang dilakukan untuk mencegah masuknya
mikroorganisme ke dalam tubuh yang kemungkinan besar akan mengakibatkan infeksi.
Contoh : Pencucian alat dengan menggunakan sabun.
 Antiseptik,yaitu upaya pencegahan infeksi dengan cara membunuh atau menghambat
pertumbuhan mikroorganisme pada kulit dan jaringan tubuh lainnya. Contoh :
o Mencuci alat dengan cara biasa, lalu setelah kering dilanjutkan dengan mencuci
menggunakan alcohol
o Menuangkan alat dengan alkohol, lalu dibakar
 Dekontaminasi,tindakan yang dilakukan agar benda mati dapat ditangani oleh petugas
kesehatan secara aman,terutama petugas pembersihan medis sebelum pencucian
dilakukan.
c) Pengelolaan Limbah Infeksius
Pengelolaan limbah meliputi :
a. Pemisahan limbah
b. Penyimpanan limbah
c. Penanganan limbah
d. Pengangkutan limbah
e. Pembuangan limbah
d) Pemisahan Limbah Infeksius
Pemisahan Limbah harus dipisahkan dari sumbernya, Semua limbah beresiko infeksi
hendaknya diberi label jelas, Perlu digunakan kantung plastik dengan warna-warna yang
berbeda dan anti sobek yang menunjukkan kemana kantong plastik harus diangkut untuk
insinerasi atau dibuang.
e) Penyimpanan Limbah Infeksius

Dibeberapa Negara kanting pelastik cukup mahal sehingga sebagai gantinya di gunakan
kantung kertas yang tahan bocor.Kantung kertas ini dapat di tempeli dengan strip bewarna,
kemudian ditempatkan di tong dengan kode warna di unit unit lain.

f) Penanganan Limbah Infeksius


 Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah terisi 2/3 bagian. Kemudian
diikiat bagian atasnya dan diberik label yang jelas.
 Kantung harus diangkut dengan memegang lehernya, sehingga jika dibawa mengayun
menjauhi badan limbah tidak tercecer keluar dan diletakkan ditempat tertentu untuk
dikumpulkan.
 Petugas pengumpul limbah harus memastikan kantung-kantung dengan warna yang
sama telah dijadikan satu dan dikirimkan ketempat yang sesuai.
 Kantung harus disimpan pada kotak-kotak yang kedap terhadap kutu dan hewan
perusak sebelum diangkut ketempat pembuangan.
g) Hal-hal yang Harus Diperhatikan
 Selalu memasukkan alat suntik bekas ke dalam wadah tertentu (disposafe box) segera
setelah pemakaian.
 Selalu menggunakan alat suntik sekali pakai yang baru untuk setiap satu penyuntikan ( 1
al sun = 1 pasien )
 Selalu memusnahkan disposafe box pada tempat pembakaran tersendiri, tidak dicampur
dengan limbah-limbah lainnya.
 Tidak boleh menggunakan kembali alat suntik yang telah dipakai untuk menyuntik
pasien ataupun hanya dengan mengganti jarumnya saja
 Tidak melepas / mengganti dan menutup kembali jarum suntik bekas sebelum
dimasukkan ke dalam disposafe box
 Tidak memegang jarum suntik yang telah digunakan tanpa proteksi yang aman, semisal
sarung tangan dari karet

h) Pengangkutan Limbah

Kantung limbah di pisahkan dan sekaligus dipisahkan menurut warnanya.Limbah bukan


klinik misalnya di bawa ke kompactor, limbah bagian klinik di bawa ke insenerator.
Pengangkutan dengan kendaraan khusus ( mungkin ada kerja sama dengan dinas kerja umum )
kendaraan yang di gunakan untuk mengangkut limbah tersebut sebaiknya di kosongkan dan di
bersihkan etiap hari, jika perlu ( misalnya bila ada kebocoran kantung limbah ) di bersihkan
dengan menggunakan larutan klorin.

i) Pembuangan Limbah Infeksius


 Autoclaving Limbah dipanasi dengan uap dibawah tekanan. Kantong limbah plastik biasa
hendaknya tidak digunakan karena tidak tahan panas dan akan meleleh selama
autoclaving.Karena itu diperlukan kantong autoclaving.
 Disinfeksi dengan Bahan Kimia.
 Insinerator merupakan alat yang digunakan untuk memusnahkan sampah dengan
membakar sampah tersebut dalam satu tungku pada suhu 1500-1800 0F dan dapat
mengurangi sampah 70 %.
 Penguburan, Khusus untuk limbah medis, seperti plasenta atau sisa potongan anggota
tubuh dari ruang operasi atau otopsi yang mudah membusuk, perlu segera dikubur.
 Sanitary Landfill, Sampah medis terlebih dahulu dilakukan sterilialisasi atau disinfeksi
kemudian dibuang dan dipadatkan ditutup dengan lapisan tanah setiap akhir hari kerja.
B. DIAGRAM INCENERATOR DAN CARA KERJA

Dalam hal ini banyak fakta yang dapat kita temukan bahwa penanganan limbah medis lebih
dominan menggunakan system inceneration, karena dari segi biaya lebih murah selain itu dapat
mengurangi massa dan volume sehingga untuk penanganan berikutnya menjadi lebih mudah. Limbah
dapat ditangani dalam waktu yang relatif lebih singkat daripada pengolahan secara biologi maupun
sistem landfill dan area yang dibutuhkan relatif lebih kecil.

Pengelolaan limbah dengan menggunakan incinerator harus memenuhi beberapa persyaratan


seperti yang tercantum dalam Keputusan Bapedal No 03 tahun 1995. Peraturan tersebut mengatur
tentang kualitas incinerator dan emisi yang dikeluarkannya. Incinerator yang diperbolehkan untuk
digunakan sebagai penghancur limbah B3 harus memiliki efisiensi pembakaran dan efisiensi
penghancuran / penghilangan (Destruction Reduction Efisience) yang tinggi.

1) PRINSIP KERJA INCENERATOR

Proses insenerasi akan berlangsung melalui 3 tahapan, yaitu:

I. Tahapan pertama adalah limbah atau sampah dalam sampah menjadi uap air, hasilnya
limbah menjadi kering dan siap terbakar.
II. Selanjutnya terjadi proses pirolisis, yaitu pembakaran tidak sempurna, dimana temperature
belum terlalu tinggi.
III. Fase berikutnya adalah pembakaran sempurna. Ruang bakar pertama digunakan sebagai
pembakar limbah, suhu dikendalikan antara 400 C ~ 600 C. Ruang bakar kedua digunakan
sebagai pembakar asap dan bau dengan suhu antara antara 600 C ~ 1200 C.
Suplay oksigen dari udara luar ditambahkan agar terjadi oksidasi sehingga materi-materi
limbah akan teroksidasi dan menjadi mudah terbakar, dengan terjadi proses pembakaran yg
sempurna, asap yg keluar dari cerobong menjadi transparan.
2) Proses Insinerator :

Insinerator dilengkapi mesin pembakar dengan suhu tinggi yang dalam waktu relative
singkat mampu membakar habis semua sampah tersebut hingga menjadi abu. Pembakaran
sampah ini digunakan dengan sistem pembakaran bertingkat (double chamber), sehingga emisi
yang melalui cerobong tidak berasap dan tidak berbau, dan menggunakan sitem cyclon yang
pada akhirnya hasil pembakaran tidak memberikan pengaruh polusi pada lingkungan.

Keseluruhan kinerja incinerator yang saat ini diterapkan di beberapa negara maju dapat
dibagi pada beberapa tahapan proses yaitu

I. Proses penyimpanan sampah dan pengumpanan sampah


II. Proses pembakaran
III. Proses penanganan sisa pembakaran
IV. Proses pembersihan asap
Dalam ruang bakar utama proses karbonisasi dilakukan dengan “ defisiensi udara “ dimana
udara yang dimasukkan didistribusikan dengan merata kedasar ruang bakar untuk membakar karbon
sisa. Gas buang yang panas dari pembakaran, keluar dari sampah dan naik memanasinya sehingga
mengasilkan pengeringan dan kemudian membentuk gas-gas karbonisasi. Sisa padat dari pembentukan
gas ini yang sebagian besar terdiri atas karbon, dibakar selama pembakaran normal dalam waktu
pembakaran. Pada ruang bakar ini secara terkontrol dengan suhu 800 – 1.0000C dengan sistem close
loop sehingga pembakaran optimal. Distribusi udara terdiri dari sebuah blower radial digerakan
langsung dengan impeller, dengan casing almunium dan motor listrik, lubang masuk udara dari pipa
udara utama didistribusikan ke koil.

Ruang Bakar Tingkat Kedua :

Ruang bakar tingkat kedua dipasang diatas ruang bakar utama dan terdiri dari ruang penyalaan
dan pembakaran, berfungsi membakar gas-gas karbonisasi yang dihasilkan dari dalam ruang bakar
utama. Gas karbonisasi yang mudah terbakar dari ruang bakar utama dinyalakan oleh Burner Ruang
Bakar Dua, kemudian dimasukan udara pembakar, maka gas-gas karbonisasi akan terbakar habis. Ruang
Bakar Dua bekerja seperti sebuah after burner, yaitu mencari, gas-gas yang belum terbakar kemudian
membawanya kedalam temperatur lebih tinggi sehingga terbakar sampai habis, dimana suhunya
mencapai 1.100 0C dengan sistem close loop sehingga optimal. Pemasukan sampah ke ruang
pembakaran dilakukan secara manual atau menggunakan lift conveyor.

Panel Kontrol Digital :

Diperlukan suatu panel kontrol digital dalam operasionalnya untuk setting suhu minimum dan
maksimum didalam ruang pembakaran dan dapat dikontrol secara “ automatic “ dengan sistem close
loop. Pada panel digital dilengkapi dengan petunjuk suhu, pengatur waktu (digunakan sesuai
kebutuhan), dan dilengkapi dengan tombol pengendali “burner dan “blower” dengan terdapatnya
lampu isyarat yang memadai dan memudahkan operasi.

Cerobong Cyclon :

Cerobong cyclon dipasang setelah ruang bakar dua, yang bagian dalamnya dilengkapi water
spray berguna untuk menahan debu halus yang ikut terbang bersama gas buang, dengan cara gas buang
yang keluar dari Ruang Bakar Dua dimasukan melalui sisi dinding atas sehingga terjadi aliran siklon di
dalam cerobong. Gas buang yang berputar didalam cerobong siklon akan menghasilkan gaya sentripetal,
sehingga abu yang berat jenisnya lebih berat dari gas buang akan terlempar kedinding cerobong siklon.
Dengan cara menyemburkan butiran air yang halus kedinding, maka butiran-butiran abu halus tersebut
akan turun kebawah bersama air yang disemburkan dan ditampung dalam bak penampung. Bak
penampung dapat dirancang tiga sekat, dimana pada sekat pertama berfungsi mengendapkan abu
halus, pada bak selanjutnya air abu akan disaring, dan air ditampung dan didinginkan pada sekat ketiga,
siap untuk dipompakan ke cerobong siklon kembali.

Dengan pembakaran sampah secara sempurna temperatur operasi relatif lebih tinggi, relatif
lebih kecil hidrokarbon yang lolos ke luar cerobong, dan asap berwana bening, sehingga emisi dari gas
buang tersebut ramah terhadap lingkungan.
C. PENELITIAN

Metoda yang digunakan dalam pengambilan data primer adalah dengan cara:

 Aspek Teknis

Metoda sampling yang dilakukan menggunakan teknik sampling yang terdapat pada SNI
19- 3964-1995 yaitu sebagai berikut:

 Lokasi pengambilan sampling adalah di seluruh ruangan sumber penghasil limbah padat
jenis B3 di Rumah Sakit Bhayangkara.
 Waktu sampling: frekuensi pengambilan sampel dilakukan minimum selama 8 kali
ulangan.
 Peralatan dan perlengkapan yang digunakan antara lain: Alat pengambil contoh berupa
kantung plastic, Alat pengukur volume sampel limbah padat jenis B3 berupa kotak
ukuran 20 cm x 20 cm x 100 cm, Timbangan (0-5) kg dan (0-50) kg, Perlengkapan berupa
alat pemindah (sekop), sarung tangan dan masker.
 Pelaksanaan dalam mengambil dan mengukur timbulan limbah padat jenis B3 sebagai
berikut: Menentukan lokasi sampling, Mempersiapkan peralatan, Teknik sampling:
Semua lokasi sampel diberi kantong plastik untuk menampung limbah padat jenis B3
yang dihasilkan selama satu hari. Limbah padat jenis B3 yang terkumpul ditimbang dan
ditentukan beratnya untuk menentukan laju timbulan limbah padat jenis B3. Cara
menentukan berat komposisi limbah padat jenis B3 yang dihasilkan: Limbah padat jenis
B3 yang terkumpul tiap harinya ditimbang dengan menggunakan timbangan, setelah
diketahui beratnya, limbah padat jenis B3 dipilah-pilah dengan berat masing-masing
sampel sesuai dengan komposisinya. Limbah padat jenis B3 diantaranya adalah: limbah
padat jenis B3 yang infeksius, patologi, benda tajam, farmasi, sitotoksis, kimiawi,
radioaktif, kontainer bertekanan, dan limbah dengan kandungan logam berat yang
tinggi. · Cara menentukan laju timbulan limbah padat jenis B3: Dengan penimbangan
langsung di setiap Ruangan Poli yang ada dan pada instalasi rawat inap selama 8 kali
ulangan
 Cara menentukan berat jenis limbah padat jenis B3: Limbah padat jenis B3 yang
terkumpul dituang dalam kotak pengukur volume sampah, diangkat setinggi 20 cm lalu
kotak dihentakkan sebanyak 3 kali dengan cara dijatuhkan ke tanah. Dihitung berat dan
volume yang terjadi. Densitas limbah padat diperoleh dengan: Berat limbah padat ÷
volume (kg/m3 ).
 Aspek kelembagaan dan hokum
Metoda yang dilakukan untuk mendapatkan data primer dari aspek kelembagaan dan
hukum adalah dengan cara dan melakukan observasi yang didukung dengan wawancara pada
pejabat organisasi pengelola limbah rumah sakit.
 Analisis SWOT :
Data yang didapatkan dari lapangan, berdasarkan pengamatan langsung, observasi dan
wawancara terhadap aspek teknis, aspek kelembagaan dan aspek hukum akan diolah dengan
menggunakan perhitungan excel 2007 dan dengan analisis SWOT.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sumber dan timbulan limbah padat B3 yang terdapat di RS Bhayangkara dihasilkan dari delapan
Poliklinik, Laboratorium, Ruang UGD, Ruang Radiologi , Ruang Operasi, Ruang ICU, dan tujuh ruang
perawat dari rawat inap. Laju timbulan total limbah padat B3 sebesar 6,46 kg/hari. Persentase terbesar
limbah padat B3 yang dihasilkan adalah 43,22% limbah infeksius bukan benda tajam (kapas, sarung
tangan, dll), 32,81% limbah farmasi bersifat toksik (ampul, vial, dll), 15,39 % limbah infeksius jenis benda
tajam (spuit/syringe), 8,57 % limbah infeksius jenis logam tajam.

Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan limbah padat B3 di RS


Bhayangkara Surabaya yaitu:

 Infrastruktur
 Ketersediaan lahan yang cukup.
 Fasilitas eksisting pengelolaan limbah padat B3 belum terpenuhi secara maksimal.
 Proses pengumpulan eksisting limbah padat B3 yang masih tercampur.
 Belum ada sarana pengolahan limbah padat B3 yang memadai.
 Kelembagaan
 Kurangnya pendidikan dan pelatihan karyawan terhadap pengelolaan limbah padat B3.
 Tidak adanya pembagian tugas(tanggung jawab) tekait pengelolaan limbah yang
dihasilkan rumah sakit.
 Hukum
 Adanya ketidaksesuaian produk hukum di RS Bhayangkara dengan standar pedoman
yang terdapat pada peraturan yang berlaku.
 Masih rendahnya pemahaman Kepala Instalasi Olah Limbah terhadap regulasi
pengelolaan limbah padat B3 di rumah sakit yang baik.
 Masih rendahnya kesadaran dan kepatuhan Kepala Instalasi Olah Limbah pengelola
terhadap regulasi terkait pengelolaan limbah padat B3 di rumah sakit yang benar.
 Tidak ada Standart Operating Procedur (SOP)/ prosedur tetap dalam pengelolaan limbah
padat B3.
 Analisis SWOT

Dalam menganalisis permasalah an yang ada, maka harus diuji dengan analisis SWOT agar
didapatkan strategi yang paling memungkinkan untuk diimplementasikan. Berikut merupakan
faktor-faktor yang dapat dijadikan acuan dalam analisis SWOT.

Strength (S) – Kekuatan

 Adanya pemisahan yang digunakan dalam sistem pewadahan limbah padat yang
dihasilkan di rumah sakit dapat mempermudah pengelolaan limbah padat jenis B3 di
rumah sakit.
 Telah ada lembaga pengelola limbah di rumah sakit. Sehingga kegiatan pelaksanaan
pengelolaan limbah padat B3 dapat berjalan.
 Ketersediaan lahan yang cukup untuk upaya pengelolaan limbah padat B3 dengan
melakukan pengadaan insenerator.

Weaknesses (W) – Kelemahan

 Proses pengumpulan limbah padat B3 yang masih tercampur, sehingga menjadi


hambatan dalam pengelolaan limbah padat B3 di rumah sakit.
 Tidak adanya pembagian tugas(tanggung jawab) tekait pengelolaan limbah
secara keseluruhan yang dihasilkan rumah sakit.
 Kurangnya pendidikan dan pelatihan karyawan terhadap pengelolaan limbah
padat B3.

Opportunities (O) – Peluang

 Sudah ada peraturan perundangundangan tingkat pusat yang dapat dijadikan


acuan dalam pengelolaan limbah padat B3.
 Adanya kegiatan pembinaan dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya terkait dengan
kegiatan pengelolaan limbah padat B3 (medis).

Threats (T) – Ancaman

 Pemberian sanksi (punishment) dari Dinas Kesehatan atas kelalaian dari


pengelolaan limbah padat B3 yang belum memenuhi peraturan perundangan.

Setelah didapatkan faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang, dan


ancaman maka perlu ada skoring. Hasil skoring yang terdapat pada faktor internal
yaitu kekuatan/ strength dan kelemahan/ Weaknesses dapat dilihat pada Tabel 1.
Nilai/skor dari penjabaran tiap-tiap faktor kekuatan / strength didapatkan angka
3.80 dengan total nilai pembobotan 1. Nilai/skor dari penjabaran tiap-tiap faktor
kelemahan / weaknesses didapatkan angka -3.55 dengan total nilai pembobotan 1.
Total nilai/skor dari penjumlahan faktor kekuatan/ Strength dan kelemahan/
Weaknesses didapatkan angka 0.25 Hasil skoring yang terdapat pada faktor
eksternal yaitu peluang/ opportunities dan ancaman/threat masing-masing faktor
dapat dilihat pada Tabel 2.
Nilai/skor dari penjabaran tiap-tiap faktor peluang / opportunities didapatkan
angka 4.40 dengan total nilai pembobotan 1. Nilai/skor dari penjabaran faktor
ancaman / threat didapatkan angka -4.00 dengan total nilai pembobotan 1. Total
nilai/skor dari penjumlahan faktor kekuatan/ Strength dan kelemahan/ Weaknesses
didapatkan angka 0.40. Setelah melakukan skoring, maka dilihat kecenderungan
nilai dari masingmasing faktor. Pada faktor internal yang berupa yaitu
kekuatan/strength dan kelemahan/ Weaknesses, faktor eksternal yaitu
peluang/opportunitiesdan ancaman/threat pada posisi kuadran penilaian pada
Gambar 2.
Berdasarkan gambar diatas dapat ditarik suatu strategi yaitu strategi agresif
(Kekuatan-Peluang) dalam membuat strategi untuk pelaksanaan pengelolaan limbah
padat jenis B3 di rumah sakit.

Berikutnya dilakukan matriks penyusunan strategi untuk menetapkan strategi


berdasarkan penentuan posisi kuadran.
Berdasarkan Tabel 3 diatas dapat dilakukan penyusunan langkah-langkah yang
diperlukan dalam pengelolaan limbah padat B3 dan dapat dilihat pada Tabel 4
beserta rencana aksinya.
Kebijakan, strategi, dan rencana tindak yang telah tersusun perlu untuk diimplementasikan baik
dalam jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang. Penyusunan skala prioritas dan
urutan Kebijakan, strategi, dan rencana tindak dalam pelaksanaannya dapat dilihat pada Tabel 5.
MULTIPLE TRAY AERATOR DAN INFEKSIUS

DISUSUN OLEH :
Abdul Lukman Nur Wahid
Wildan
Ajeng Palupi
Alvira
Lisa
Universitas Balikpapan
Fakultas D-IV Keselamatan Dan Kesehatan Kerja
2017 - 2019

Anda mungkin juga menyukai