A. PENGERTIAN MTA
Multiple Tray Aerator terdiri dari suatu rangkaian baki yang disusun seperti rak (tray) dan
dilubangi pada bagian dasarnya. Air dialirkan dari puncak berupa air terjun kecil yang kemudian
didistribusikan secara merata pada masing-masing rak (tray) dan kemudian dikumpulkan pada suatu bak
di bagian dasarnya (collecting pons). Pemerataan distribusi air di atas tray sangat penting untuk
memperoleh efisiensi perpindahan gas secara maksimum. Media kasar seperti arang, batu, atau bola
keramik yang ukurannya berkisar antara 2-6 inch (5-15 cm) adalah sangat penting untuk digunakan,
karena dapat meningkatkan efisiensi pertukaran gas, sebagai efek katalisa dari mangan oksida. Multiple
Tray Aerator harus dilengkapi dengan sistem ventilasi yang cukup. Jika unit ini ditempatkan dalam suatu
bangunan dimana terdapat pencemaran udara, maka efektifitas dan efisiensi dari unit akan berkurang,
karena terjadi kontaminasi dari udara yang masuk dengan kandungan atau unsur-unsur tertentu yang
ingin dihilangkan.
Secara umum untuk menurunkan kadar besi dalam air dapat dilakukan dengan berbagai cara
antara lain aerasi, filtrasi, pemberian koagulan, peningkatan pH, serta kombinasi di antara cara-cara
tersebut. Aerasi merupakan cara yang cukup efektif dan efisien, selain biaya relatif murah serta mudah
di dalam mengaplikasikannya. Aerasi merupakan proses penambahan kandungan oksigen ke dalam air.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan dalam proses aerasi antara lain suhu,
kejenuhan air, karakteristik air dan turbulensi air. Secara umum untuk menurunkan kadar besi dalam air
dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain aerasi, filtrasi, pemberian koagulan, peningkatan pH,
serta kombinasi di antara cara-cara tersebut. Aerasi merupakan cara yang cukup efektif dan efisien,
selain biaya relatif murah serta mudah di dalam mengaplikasikannya. Aerasi merupakan proses
penambahan kandungan oksigen ke dalam air. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
keberhasilan dalam proses aerasi antara lain suhu, kejenuhan air, karakteristik air dan turbulensi air.Ada
beberapa jenis aerasi yang sering di gunakan yakni aerator gravitasi, spray aerator, aerator dengan
diffuser, dan aerator secara mekanik.
Untuk aerator gravitasi, beberapa yang sering di gunakan misalnya tray aerator, aerator
cascade, aerator dengan tower vertikal misalnya bubble cap tray dan lainya.Untuk tray aerator cara yang
sering di gunakan adalah aerator dengan menggunakan nozzle atau orifice, baik yang stationer maupun
bergerak.
Untuk dengan aerator difuser dilakukan dengan cara menyemburkan tekanan udara kedalam air
melalui difuser yang berbentuk nozzle, pipa berlubang atau difuser gelembung halus dengan cara
demikian akan terjadi kontak yang efektif antara oksigen atau udara dengan zat besi atau mangan .yang
ada didalam air sehingga terjadi reaksi oksidasi zat besi atau mangan membentuk oksida yang tak larut
dalam air
Untuk aerator mekanik,beberapa cara yang sering digunakan adalah submerged paddle,propeler
blade atau turbine blade .
B. DIAGRAM SISTEM AERATOR
Susunannya sangat sederhana dan tidak mahal serta memerlukan ruangan yang relative
kecil . Jenis aerator ini terdiri atas 4 sampai 8 tray dengan susunan vertical maupun piramida . Dasar tray
berlubang lubang dengan jarak 30-50 cm . Melalui pipa berlubang air dibagi merata melalui tray,dari
bagian ini percikan air turun dengan kecepatan 0,02 m3/detik per m2 permukaan tray .Tetesan air yang
menyebar dikumpulkan kembali pada setiap permukaan tray berikutnya . Tray dapat terbuat dari semen
sabes (asbestos cement), PVC, Logam maupun kayu . Untuk mendapatkan penyebaran air yang lebih
halus ,tray dapat diisi dengan kerikil kasar dengan ketebalan 10 cm ,kadang kadang digunakan lapisan
batu apung atau arang sebagai katalisator dan mempercepat proses penggumpalan besi dalam air .
B. Cascade aerator
Pada dasarnya aerator ini terdiri atas 4 sampai 6 step ,dengan ketinggian tiap step 30 cm
degan kecepatan 0,01m3/detik per m2. Dibandingkan dengan jenis tray ,aerator jenis cascade ini tenpat
yang dibutuhkan lebih besar namun total kehilangan tekanan lebih rendah dan keuntungan lain tidak
memerlukan pemeliharaan.
C. Submerged Cascade Aerator
Submerged Cascade Aerator atau aerasi tangga meluncur penangkapan udara terjadi pada saat
air terjun dari lempengan lempengan trap yang membawa nya masuk ke dalam air yang dikumpullam le
lempengan bawah nya .Total ketinggian jatuh kurang lebih 1,5 m yang dibagi dalam 3-5 step .kapasitas
peralatan ini antara 0,005 sampai 0,5 m3/ per m2.
D. Spray aerator
Terdiri atas nozel penyemprotan statis (stationary nozzles), dihubungkan dengan kisi lempengan
yg mana air disemprotkan ke udara sekeliling pada kecepatan 5-7m/detik . Aliran pada spray aerator
dari bawah melaui pipa yg panjangnya 25 cm dan diameter 15- 30 mm. piringan melingkar ditempatkan
beberapa cm di setiap ujung pipa , sehingga dapat terbentuk selaput air tipis melingkar yang selanjutnya
menyebar menjadi percikan air yang halus .
e. Aerator Dengan Difuser Gelembung (Bubble Aerator)
Jumlah yang dibutuhkan untuk bubble aerator tidak banyak, yaitu sekitar 0,3-0,5 m 3 Udara per m3 air
dengan volume ini dengan sangat mudah untuk ditinggikan. Udara di alirkan melalui perpipaan yang di
letakkan pada dasar bak.
C. Studi Kasus
Air disumur di pompa dengan menggunakan pompa sambil diinjeksi larutan sodium hipoklorit
untuk mengoksidasi zat besi atau mangan yang ada dalam air, selanjutnya dialirkan ke static
mixer agar larutan sodium hipoklorit
BAB 2 INFEKSIUS
A. PENGERTIAN INFEKSIUS
Limbah medis adalah hasil buangan dari suatu aktivitas medis. Limbah medis harus sesegera
mungkin diolah setelah dihasilkan dan penyimpanan menjadi pilihan terakhir jika limbah tidak dapat
langsung diolah.Faktor penting dalam penyimpanan limbah medis adalah melengkapi tempat
penyimpanan dengan penutup, menjaga areal penyimpanan limbah medis tidak tercampur dengan
limbah non-medis, membatasi akses lokasi, dan pemilihan tempat yang tepat. Menurut peraturan
Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002, limbah medis dikategorikan berdasarkan potensi bahaya
yang terkandung di dalamnya serta volume dan sifat persistensinya yang dapat menimbulkan berbagai
masalah.
Dibeberapa Negara kanting pelastik cukup mahal sehingga sebagai gantinya di gunakan
kantung kertas yang tahan bocor.Kantung kertas ini dapat di tempeli dengan strip bewarna,
kemudian ditempatkan di tong dengan kode warna di unit unit lain.
h) Pengangkutan Limbah
Dalam hal ini banyak fakta yang dapat kita temukan bahwa penanganan limbah medis lebih
dominan menggunakan system inceneration, karena dari segi biaya lebih murah selain itu dapat
mengurangi massa dan volume sehingga untuk penanganan berikutnya menjadi lebih mudah. Limbah
dapat ditangani dalam waktu yang relatif lebih singkat daripada pengolahan secara biologi maupun
sistem landfill dan area yang dibutuhkan relatif lebih kecil.
I. Tahapan pertama adalah limbah atau sampah dalam sampah menjadi uap air, hasilnya
limbah menjadi kering dan siap terbakar.
II. Selanjutnya terjadi proses pirolisis, yaitu pembakaran tidak sempurna, dimana temperature
belum terlalu tinggi.
III. Fase berikutnya adalah pembakaran sempurna. Ruang bakar pertama digunakan sebagai
pembakar limbah, suhu dikendalikan antara 400 C ~ 600 C. Ruang bakar kedua digunakan
sebagai pembakar asap dan bau dengan suhu antara antara 600 C ~ 1200 C.
Suplay oksigen dari udara luar ditambahkan agar terjadi oksidasi sehingga materi-materi
limbah akan teroksidasi dan menjadi mudah terbakar, dengan terjadi proses pembakaran yg
sempurna, asap yg keluar dari cerobong menjadi transparan.
2) Proses Insinerator :
Insinerator dilengkapi mesin pembakar dengan suhu tinggi yang dalam waktu relative
singkat mampu membakar habis semua sampah tersebut hingga menjadi abu. Pembakaran
sampah ini digunakan dengan sistem pembakaran bertingkat (double chamber), sehingga emisi
yang melalui cerobong tidak berasap dan tidak berbau, dan menggunakan sitem cyclon yang
pada akhirnya hasil pembakaran tidak memberikan pengaruh polusi pada lingkungan.
Keseluruhan kinerja incinerator yang saat ini diterapkan di beberapa negara maju dapat
dibagi pada beberapa tahapan proses yaitu
Ruang bakar tingkat kedua dipasang diatas ruang bakar utama dan terdiri dari ruang penyalaan
dan pembakaran, berfungsi membakar gas-gas karbonisasi yang dihasilkan dari dalam ruang bakar
utama. Gas karbonisasi yang mudah terbakar dari ruang bakar utama dinyalakan oleh Burner Ruang
Bakar Dua, kemudian dimasukan udara pembakar, maka gas-gas karbonisasi akan terbakar habis. Ruang
Bakar Dua bekerja seperti sebuah after burner, yaitu mencari, gas-gas yang belum terbakar kemudian
membawanya kedalam temperatur lebih tinggi sehingga terbakar sampai habis, dimana suhunya
mencapai 1.100 0C dengan sistem close loop sehingga optimal. Pemasukan sampah ke ruang
pembakaran dilakukan secara manual atau menggunakan lift conveyor.
Diperlukan suatu panel kontrol digital dalam operasionalnya untuk setting suhu minimum dan
maksimum didalam ruang pembakaran dan dapat dikontrol secara “ automatic “ dengan sistem close
loop. Pada panel digital dilengkapi dengan petunjuk suhu, pengatur waktu (digunakan sesuai
kebutuhan), dan dilengkapi dengan tombol pengendali “burner dan “blower” dengan terdapatnya
lampu isyarat yang memadai dan memudahkan operasi.
Cerobong Cyclon :
Cerobong cyclon dipasang setelah ruang bakar dua, yang bagian dalamnya dilengkapi water
spray berguna untuk menahan debu halus yang ikut terbang bersama gas buang, dengan cara gas buang
yang keluar dari Ruang Bakar Dua dimasukan melalui sisi dinding atas sehingga terjadi aliran siklon di
dalam cerobong. Gas buang yang berputar didalam cerobong siklon akan menghasilkan gaya sentripetal,
sehingga abu yang berat jenisnya lebih berat dari gas buang akan terlempar kedinding cerobong siklon.
Dengan cara menyemburkan butiran air yang halus kedinding, maka butiran-butiran abu halus tersebut
akan turun kebawah bersama air yang disemburkan dan ditampung dalam bak penampung. Bak
penampung dapat dirancang tiga sekat, dimana pada sekat pertama berfungsi mengendapkan abu
halus, pada bak selanjutnya air abu akan disaring, dan air ditampung dan didinginkan pada sekat ketiga,
siap untuk dipompakan ke cerobong siklon kembali.
Dengan pembakaran sampah secara sempurna temperatur operasi relatif lebih tinggi, relatif
lebih kecil hidrokarbon yang lolos ke luar cerobong, dan asap berwana bening, sehingga emisi dari gas
buang tersebut ramah terhadap lingkungan.
C. PENELITIAN
Metoda yang digunakan dalam pengambilan data primer adalah dengan cara:
Aspek Teknis
Metoda sampling yang dilakukan menggunakan teknik sampling yang terdapat pada SNI
19- 3964-1995 yaitu sebagai berikut:
Lokasi pengambilan sampling adalah di seluruh ruangan sumber penghasil limbah padat
jenis B3 di Rumah Sakit Bhayangkara.
Waktu sampling: frekuensi pengambilan sampel dilakukan minimum selama 8 kali
ulangan.
Peralatan dan perlengkapan yang digunakan antara lain: Alat pengambil contoh berupa
kantung plastic, Alat pengukur volume sampel limbah padat jenis B3 berupa kotak
ukuran 20 cm x 20 cm x 100 cm, Timbangan (0-5) kg dan (0-50) kg, Perlengkapan berupa
alat pemindah (sekop), sarung tangan dan masker.
Pelaksanaan dalam mengambil dan mengukur timbulan limbah padat jenis B3 sebagai
berikut: Menentukan lokasi sampling, Mempersiapkan peralatan, Teknik sampling:
Semua lokasi sampel diberi kantong plastik untuk menampung limbah padat jenis B3
yang dihasilkan selama satu hari. Limbah padat jenis B3 yang terkumpul ditimbang dan
ditentukan beratnya untuk menentukan laju timbulan limbah padat jenis B3. Cara
menentukan berat komposisi limbah padat jenis B3 yang dihasilkan: Limbah padat jenis
B3 yang terkumpul tiap harinya ditimbang dengan menggunakan timbangan, setelah
diketahui beratnya, limbah padat jenis B3 dipilah-pilah dengan berat masing-masing
sampel sesuai dengan komposisinya. Limbah padat jenis B3 diantaranya adalah: limbah
padat jenis B3 yang infeksius, patologi, benda tajam, farmasi, sitotoksis, kimiawi,
radioaktif, kontainer bertekanan, dan limbah dengan kandungan logam berat yang
tinggi. · Cara menentukan laju timbulan limbah padat jenis B3: Dengan penimbangan
langsung di setiap Ruangan Poli yang ada dan pada instalasi rawat inap selama 8 kali
ulangan
Cara menentukan berat jenis limbah padat jenis B3: Limbah padat jenis B3 yang
terkumpul dituang dalam kotak pengukur volume sampah, diangkat setinggi 20 cm lalu
kotak dihentakkan sebanyak 3 kali dengan cara dijatuhkan ke tanah. Dihitung berat dan
volume yang terjadi. Densitas limbah padat diperoleh dengan: Berat limbah padat ÷
volume (kg/m3 ).
Aspek kelembagaan dan hokum
Metoda yang dilakukan untuk mendapatkan data primer dari aspek kelembagaan dan
hukum adalah dengan cara dan melakukan observasi yang didukung dengan wawancara pada
pejabat organisasi pengelola limbah rumah sakit.
Analisis SWOT :
Data yang didapatkan dari lapangan, berdasarkan pengamatan langsung, observasi dan
wawancara terhadap aspek teknis, aspek kelembagaan dan aspek hukum akan diolah dengan
menggunakan perhitungan excel 2007 dan dengan analisis SWOT.
Sumber dan timbulan limbah padat B3 yang terdapat di RS Bhayangkara dihasilkan dari delapan
Poliklinik, Laboratorium, Ruang UGD, Ruang Radiologi , Ruang Operasi, Ruang ICU, dan tujuh ruang
perawat dari rawat inap. Laju timbulan total limbah padat B3 sebesar 6,46 kg/hari. Persentase terbesar
limbah padat B3 yang dihasilkan adalah 43,22% limbah infeksius bukan benda tajam (kapas, sarung
tangan, dll), 32,81% limbah farmasi bersifat toksik (ampul, vial, dll), 15,39 % limbah infeksius jenis benda
tajam (spuit/syringe), 8,57 % limbah infeksius jenis logam tajam.
Infrastruktur
Ketersediaan lahan yang cukup.
Fasilitas eksisting pengelolaan limbah padat B3 belum terpenuhi secara maksimal.
Proses pengumpulan eksisting limbah padat B3 yang masih tercampur.
Belum ada sarana pengolahan limbah padat B3 yang memadai.
Kelembagaan
Kurangnya pendidikan dan pelatihan karyawan terhadap pengelolaan limbah padat B3.
Tidak adanya pembagian tugas(tanggung jawab) tekait pengelolaan limbah yang
dihasilkan rumah sakit.
Hukum
Adanya ketidaksesuaian produk hukum di RS Bhayangkara dengan standar pedoman
yang terdapat pada peraturan yang berlaku.
Masih rendahnya pemahaman Kepala Instalasi Olah Limbah terhadap regulasi
pengelolaan limbah padat B3 di rumah sakit yang baik.
Masih rendahnya kesadaran dan kepatuhan Kepala Instalasi Olah Limbah pengelola
terhadap regulasi terkait pengelolaan limbah padat B3 di rumah sakit yang benar.
Tidak ada Standart Operating Procedur (SOP)/ prosedur tetap dalam pengelolaan limbah
padat B3.
Analisis SWOT
Dalam menganalisis permasalah an yang ada, maka harus diuji dengan analisis SWOT agar
didapatkan strategi yang paling memungkinkan untuk diimplementasikan. Berikut merupakan
faktor-faktor yang dapat dijadikan acuan dalam analisis SWOT.
Adanya pemisahan yang digunakan dalam sistem pewadahan limbah padat yang
dihasilkan di rumah sakit dapat mempermudah pengelolaan limbah padat jenis B3 di
rumah sakit.
Telah ada lembaga pengelola limbah di rumah sakit. Sehingga kegiatan pelaksanaan
pengelolaan limbah padat B3 dapat berjalan.
Ketersediaan lahan yang cukup untuk upaya pengelolaan limbah padat B3 dengan
melakukan pengadaan insenerator.
DISUSUN OLEH :
Abdul Lukman Nur Wahid
Wildan
Ajeng Palupi
Alvira
Lisa
Universitas Balikpapan
Fakultas D-IV Keselamatan Dan Kesehatan Kerja
2017 - 2019