Anda di halaman 1dari 20

1

IMPLIKASI HUKUM PEMBUATAN AKTA BERITA ACARA RAPAT UMUM


LUAR BIASA PERHIMPUNAN PEMILIK DAN PENGHUNI SATUAN RUMAH
SUSUN YANG TIDAK MEMENUHI PERSYARATAN KUORUM
(STUDI TERHADAP PUTUSAN MAJELIS PENGAWAS WILAYAH
NOTARIS PROVINSI DKI JAKARTA NOMOR:
5/PTS/MJ.PWN.PROV.DKIJAKARTA/XI/2017)

Adriella Claresta, Peter Everhardus Latumeten, Widodo Suryandono

Abstrak

Artikel ini membahas mengenai pembuatan akta Berita Acara Rapat Umum Luar Biasa
Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (RULB PPPSRS) yang tidak
memenuhi persyaratan kuorum sesuai peraturan perundang-undangan dan Anggaran Dasar
PPPSRS yang berlaku, sehingga akan dianalisis permasalahan mengenai keabsahan akta
Berita Acara RULB Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Campuran GCM (PPRSC-
GCM) dan mengenai tanggung jawab Notaris yang membuat akta tersebut. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis.
Hasil penelitian menunjukkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPRSC-
GCM berlaku mengikat dan tidak dapat dikesampingkan. Selain itu keadaan RULB yang
kurang terkendali dan tidak kondusif tidak dapat menjadi dasar peniadaan tanggung jawab
Notaris. Disimpulkan di dalam penelitian ini bahwa akta Berita Acara RULB PPRSC-
GCM tidak sah dan tanggung jawab Notaris adalah berupa sanksi teguran tertulis dari
Majelis Pengawas Wilayah Notaris serta berupa penggantian biaya, ganti rugi, dan/atau
bunga secara perdata apabila pihak yang merasa dirugikan mengajukan gugatan perdata
dan dapat dibuktikan di Pengadilan. Saran yang diusulkan penulis kepada Notaris adalah
agar selalu mengambil sikap cermat dan hati-hati di dalam mempelajari dokumen
termasuk Anggaran Dasar PPPSRS serta kemungkinan potensi sengketa di masa yang
akan datang. Selain itu Notaris seharusnya sedapat mungkin memberikan penjelasan,
menunjukkan kelemahan atau kekurangan, serta konsekuensi dalam akta yang akan
dibuatnya kepada klien.

Kata kunci: Notaris, Rapat Umum Luar Biasa Perhimpunan Pemilik dan Penghuni
Satuan Rumah Susun, Kuorum

Abstract

This article discusses about the making of Minutes of Extraordinary General Meeting of
Owner and Tenants Condominium Units Association that failed to meet quorum
requirements stated in Article of Association and by-law. Therefore, this research
analyzes the authenticity of minutes of Extraordinary General Meeting of GCM Owner
and Tenants Condominium Units Association. And how Notary is held accountable for
issuing the meeting minutes. This research was conducted using a juridical normative
method with a type of descriptive analytics approach. The result shows that GCM Owner
and Tenants Condominium Units Association’s Article of Association is legally binding
and can not be ruled out. In addition to that, a disorganized Extraordinary Meeting could
not be a reason for negating Notary’s responsibilities. This research summarizes that
the Minutes of Extraordinary General Meeting of Owner and Tenants Condominium Units
2

Association deed becomes void and Notary will receive a written warning issued by
Notary’s supervisory board based on Law of Notary Public. Then, Notary may be ordered
to pay damage fees and/or interest based on civil liability if any parties file and win a
lawsuit in civil courts. Notary should be more cautious in examining documents including
Condominium Units Association’s Article of Association that have any potential disputes
in the future. Furthermore, Notary should disclose all relevant information in the deed,
including any defects, to their clients.

Keywords: Notary, Extraordinary General Meeting of Owner and Tenants


Condominium Units Association, Quorum

A. PENDAHULUAN
Pembangunan rumah susun merupakan jawaban atas persoalan pemenuhan kebutuhan
perumahan dan permukiman di daerah-daerah yang berpenduduk padat namun dengan
luas tanah yang semakin terbatas terutama di kota-kota besar. Sejak diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun yang memberikan landasan
hukum bagi penyelenggaraan pembangunan rumah susun di Indonesia —sebagaimana
telah dicabut oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (untuk
selanjutnya disebut UU Nomor 20 Tahun 2011), maka telah secara tegas dimungkinkan
konsep perumahan yang dapat dihuni bersama di dalam suatu bangunan gedung
bertingkat, yang dibangun dalam lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang
distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan
merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara
terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda
bersama, dan tanah bersama.1
Untuk mengatur dan mengurus kepentingan bersama yang bersangkutan sebagai
pemilikan, penghunian, dan pengelolaannya, pemilik rumah susun diwajibkan oleh
undang-undang untuk membentuk suatu Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan
Rumah Susun (untuk selanjutnya disebut PPPSRS) yang beranggotakan para pemilik atau
penghuni rumah susun. Lebih lanjut, oleh undang-undang perhimpunan tersebut diberikan
kedudukan sebagai badan hukum, yaitu setelah disahkan oleh Bupati atau Walikotamadya
atau untuk wilayah DKI Jakarta oleh Gubernur Kepala Daerah. Musyawarah dan rapat-
rapat PPPSRS, pada dasarnya dilakukan berdasarkan asas musyawarah dan mufakat serta
asas kekeluargaan oleh dan dari anggota PPPSRS dalam suatu Rapat Umum perhimpunan
penghuni yang khusus diadakan untuk keperluan tersebut. 2 Apabila musyawarah dan
mufakat tidak tercapai maka pemilihan dilakukan dengan cara pemungutan suara
terbanyak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku atau yang diatur dalam Anggaran
Dasar. Kehadiran anggota dan pengambilan keputusan dalam Rapat Umum PPPSRS ini
dibatasi oleh suatu kuorum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Tata cara dan batasan kuorum Rapat Umum PPPSRS tidak diatur dalam UU Nomor
20 Tahun 2011. UU Nomor 20 Tahun 2011 hanya mendelegasikan kewenangan mengatur
lebih lanjut hal-hal mengenai PPPSRS pada Peraturan Pemerintah, yaitu PP Nomor 4

1
Indonesia, Undang-Undang tentang Rumah Susun, UU No. 20 Tahun 2011, LN No. 108 Tahun
2011, TLN No. 5252, Ps. 1 angka 1.
2
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Rumah Susun, PP No. 4 Tahun 1988, LN No. 7 Tahun
1988, TLN No. 3372, Penjelasan Ps. 57 ayat (1). Rapat Umum Perhimpunan Penghuni merupakan
pemegang kekuasaan tertinggi dalam PPPSRS, oleh karenanya pengurus PPPSRS harus ditetapkan dan
disahkan melalui rapat tersebut.
3

Tahun 1988. Ketentuan kuorum dalam Rapat Umum PPPSRS pun tidak ditemukan dalam
PP Nomor 4 Tahun 1988. Tata cara dan batasan kuorum Rapat Umum PPPSRS baru
ditemukan dalam lampiran Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor:
06/KPTS/BKP4N/1995 tentang pedoman pembuatan Akta Pendirian, Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga PPRS, yang kemudian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
oleh Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 23/PRT/M/2018
tentang PPPSRS. Tata cara dan batasan kuorum Rapat Umum PPPSRS yang baru
khususnya untuk provinsi DKI Jakarta, dapat ditemukan dalam lampiran Peraturan
Gubernur DKI Jakarta Nomor 132 Tahun 2018 tentang Pembinaan Pengelolaan Rumah
Susun Milik yang mengatur mengenai bentuk Akta Pendirian, Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga PPPSRS. Baik ketentuan kuorum Rapat Umum PPPSRS dalam
Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor: 06/KPTS/BKP4N/1995 maupun
dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 132 Tahun 2018 mengatur bahwa
musyawarah dan rapat-rapat PPPSRS adalah sah apabila memenuhi batasan kuorum,
“sebagaimana diatur atau kecuali jika ditentukan lain di dalam Anggaran Dasar
PPPSRS”. Oleh karena Anggaran Dasar merupakan wujud kesepakatan bulat, maka
ketentuan kuorum yang ada di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
PPPSRS berlaku mengikat layaknya seperti undang-undang bagi para pihak yang
bersangkutan. Sehingga sepanjang menurut peraturan perundang-undangan menentukan
bahwa ketentuan kuorumnya dapat disimpangi oleh Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga PPPSRS, maka ketentuan kuorum yang ada di dalam Anggaran Dasar
dan Anggaran Rumah Tangga PPPSRS lah yang berlaku mengikat bagi seluruh pemilik
dan penghuni rumah susun.
Mengingat perkembangan pembangunan hukum dan kehidupan masyarakat Indonesia
saat ini, kebutuhan masyarakat akan kepastian hukum dalam melakukan perbuatan hukum
dengan memiliki suatu alat bukti tertulis yang autentik, menjadikan kehadiran seorang
Notaris begitu penting dalam rangka menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum
bagi masyarakat untuk membuat akta-akta autentik. Dalam kaitannya dengan PPPSRS,
Notaris sebagai pejabat umum yang ditunjuk memiliki peran untuk membuat Akta
Pendirian dan Anggaran Dasar serta Anggaran Rumah Tangga PPPSRS. Di samping itu,
Notaris juga berperan di dalam melihat, menyaksikan, dan membuat risalah Rapat Umum
PPPSRS mengenai hal-hal yang terjadi dalam rapat untuk dituangkan ke dalam suatu akta
Berita Acara Rapat Umum PPPSRS, atau mengesahkan Rapat Umum PPPSRS dibawah
tangan ke dalam suatu akta Pernyataan Keputusan Rapat. Dengan adanya alat bukti
tertulis, setiap perbuatan hukum yang berkaitan dengan PPPSRS ini dapat dengan jelas
menentukan hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.
Di dalam pelaksanaannya, tidak dapat dipungkiri lagi betapa maraknya sengketa yang
terjadi di lingkungan rumah susun, terutama yang terkait dengan PPPSRS. Sengketa yang
terjadi antara lain sengketa pembentukan PPPSRS, pengesahan PPPSRS, antar pengurus
PPPSRS, PPPSRS dengan pemilik, penghuni dan pengelola rumah susun, bahkan tak
jarang juga melibatkan Notaris sebagai pejabat umum atau pihak ketiga lainnya. Sengketa
di lingkungan rumah susun yang melibatkan Notaris beragam sebabnya, mulai dari akibat
kelalaian atau ketidaksengajaan Notaris, hingga kesalahan yang disengaja oleh Notaris
untuk menguntungkan atau merugikan salah satu pihak. Jeratan hukum bagi Notaris yang
melanggar tugas dan jabatan Notaris bukan saja dapat diakibatkan karena faktor internal
Notaris, seperti tidak jujur, tidak hati-hati, tidak cermat, tidak berpihak, tidak menaati
prosedur serta ketentuan yang berlaku atau tidak menaati kode etik profesi Notaris, akan
tetapi pelanggaran tugas dan jabatan Notaris yang terjadi dapat juga diakibatkan karena
faktor eksternal dari luar diri Notaris seperti dokumen-dokumen palsu yang diberikan
4

kepada Notaris, atau keadaan yang mengancam keamanan diri pribadi Notaris dan/atau
keluarganya.
Sehubungan dengan hal tersebut penulis mengambil objek penelitian ini pada putusan
Majelis Pengawas Wilayah Notaris Provinsi DKI Jakarta Nomor: 5/PTS/Mj.PWN.
Prov.DKIJakarta/XI/2017 dalam perkara antara LT (Pelapor) melawan Notaris SML
(Terlapor). Kasus tersebut dapat penulis sederhanakan ke dalam bentuk skema sebagai
berikut:

Tahun 2000 Terjadi permasalahan


Apartemen
PPRSC-GCM Pengelolaan & Penghunian
GCM
sah dibentuk sebagai Apartemen GCM
Sejak 1995
Badan Hukum

Risalah Rapat Tanggal 20 Juni 2013


Hasil Rapat Kesepakatan antara Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah Daerah
DKI Jakarta, PPRSC-GCM, dan Forum Komunikasi Warga Apartemen GCM:

“PPPSRS GCM akan menyelenggarakan Rapat Umum Tahunan Anggota (RUTA)


atau Rapat Umum Luar Biasa (RULB) warga Apartemen
dan Rukan GCM paling lambat 31 Agustus 2013...”

“Apabila sampai 31 Agustus 2013 PPPSRS GCM tidak menyelenggarakan RUTA,


maka warga melalui Forum Komunikasi Warga akan menyelenggarakan RULB
secara mandiri … dan segala keputusannya sah dan mengikat”

Dihadiri oleh
Notaris SML
RULB Tetap diambil
20 September 2013 keputusan dan
Karena sudah lewat 31 Situasi Rapat dibuat akta
Agustus 2013, Warga kurang terkendali Berita Acara
melalui Forum & tidak kondusif RULB
Komunikasi Warga PPRSC-GCM
melaksanakan Kehadiran
RULB secara mandiri Peserta RULB
tidak Kuorum

Putusan MPW No. 5/PTS/ 18 Juli 2016


Mj.PWN.Prov.DKIJakarta/XI/2017 LT (Pelapor) melakukan pengaduan
Notaris SML dinyatakan bersalah dan terhadap Notaris SML (Terlapor)
dijatuhi sanksi teguran tertulis kepada MPD Notaris

Gambar 1 Skema Kasus Posisi


5

Kasus ini adalah mengenai tindakan Notaris SML di dalam pembuatan akta Berita
Acara Rapat Umum Luar Biasa Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Campuran GCM
(untuk selanjutnya disebut RULB PPRSC-GCM) yang tidak dilakukan sesuai dengan
persyaratan sahnya penyelenggaraan RULB yang ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan berlaku, dalam hal ini secara khususnya penyelenggaraan RULB tidak sesuai
dengan ketentuan kuorum kehadiran yang telah tercantum secara spesifik dalam Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPPSRS Apartemen GCM. Notaris mengira pada
saat itu rapat sudah dilaksanakan dengan memenuhi ketentuan yang berlaku, dimana para
peserta rapat menolak usulan untuk diadakan panggilan rapat yang kedua dengan alasan
sudah ada rapat kesepakatan tanggal 20 Juni 2013 antara Dinas Perumahan dan Gedung
Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta, PPRSC-GCM, dan Forum Komunikasi Warga
Apartemen GCM. Di samping itu, mengingat situasi RULB yang kurang terkendali dan
tidak kondusif, Notaris merasa berada dalam posisi yang tidak aman dan tidak
menguntungkan jika rapat tersebut tidak dilanjutkan walaupun sebenarnya kuorum
kehadiran yang dimaksud tidak sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga PPRSC-GCM. 3 Tanpa terpenuhinya kuorum kehadiran, RULB tersebut tetap
diselenggarakan dan mengambil keputusan-keputusan, bahkan hasil rapat dituangkan ke
dalam akta Notaris.
Di dalam pelaksanaan RULB PPRSC-GCM, seyogianya Notaris sebagai pejabat
umum tidak hanya berkewajiban untuk membuat Berita Acara tentang segala sesuatu yang
dibicarakan dan diputuskan dalam rapat, akan tetapi Notaris juga harus memastikan bahwa
rapat dilaksanakan telah sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan sesuai dengan Anggaran Dasar apabila Anggaran
Dasar telah ditentukan secara spesifik. Hal ini disebabkan Pasal 16 ayat (1) butir a
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang dirubah dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya disebut Undang-Undang
Jabatan Notaris), mengatur bahwa Notaris di dalam menjalankan jabatannya berkewajiban
untuk bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak
yang terkait dalam perbuatan hukum.
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, maka penulis
bermaksud untuk membahas lebih lanjut mengenai implikasi hukum terhadap akta dan
tanggung jawab Notaris akibat penyimpangan penyelenggaraan RULB dalam
permasalahan tersebut, dan oleh karena itu artikel ini disampaikan dengan judul
“IMPLIKASI HUKUM PEMBUATAN AKTA BERITA ACARA RAPAT UMUM
LUAR BIASA PERHIMPUNAN PEMILIK DAN PENGHUNI SATUAN RUMAH
SUSUN YANG TIDAK MEMENUHI PERSYARATAN KUORUM (STUDI
TERHADAP PUTUSAN MAJELIS PENGAWAS WILAYAH NOTARIS PROVINSI
DKI JAKARTA NOMOR: 5/PTS/MJ.PWN.PROV.DKIJAKARTA/XI/2017)”.
Cakupan rumusan permasalahan yang akan dibahas di dalam penelitian ini antara lain:
1. Bagaimana keabsahan akta Berita Acara Rapat Umum Luar Biasa Perhimpunan
Penghuni Rumah Susun Campuran GCM?
2. Bagaimana tanggung jawab Notaris dalam pembuatan akta Berita Acara Rapat Umum
Luar Biasa Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun yang tidak
memenuhi persyaratan kuorum (Studi Terhadap Putusan Majelis Pengawas Wilayah
Notaris Provinsi DKI Jakarta Nomor: 5/PTS/Mj.PWN.Prov.DKIJakarta/XI/2017)?

3
Berita Acara Pemeriksaan Laporan Pengaduan Masyarakat Atas Nama LT terhadap Notaris SML
Nomor: 02/BAP/MPDNJakbar/X/2016 tanggal 31 Oktober 2016.
6

Sistematika artikel ini mencakup 3 bagian, yaitu bagian pertama sebagai pendahuluan
yang membahas mengenai latar belakang, kasus posisi, dan fokus permasalahan
penelitian. Bagian kedua akan membahas mengenai keabsahan akta Berita Acara RULB
PPRS-GCM serta bagaimana tanggung jawab Notaris berkaitan dalam pembuatan akta
Berita Acara RULB PPPSRS yang tidak memenuhi persyaratan sesuai ketentuan hukum
yang berlaku. Sebagai penutup, bagian ketiga dari artikel ini akan memberikan simpulan
sebagai jawaban atas permasalahan di dalam penelitian ini serta saran yang merupakan
solusi alternatif yang diusulkan oleh penulis atas permasalahan yang ada.

B. PEMBAHASAN
1. Analisis Keabsahan Akta Berita Acara RULB Perhimpunan Penghuni Rumah
Susun Campuran GCM
Akta autentik menurut Pasal 1868 KUHPerdata ialah suatu akta yang dibuat dalam
bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang
berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.4 Berdasarkan pengertian akta autentik
tersebut, autentik atau tidaknya suatu akta tidak cukup jika akta tersebut hanya dibuat oleh
atau di hadapan pejabat saja, akan tetapi cara membuat akta autentik juga harus sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan akta tersebut dibuat oleh pejabat
yang memiliki wewenang dan kemampuan untuk membuatnya. Jadi pada prinsipnya
keabsahan akta Notaris mencakup bentuk isi, kewenangan dari pejabat yang membuat
aktanya, serta pembuatan aktanya harus memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila suatu akta tidak memenuhi
persyaratan tersebut, maka akta yang bersangkutan tidak dapat dikategorikan sebagai akta
autentik, dan kekuatan pembuktian aktanya juga lemah.
Untuk dapat menilai keabsahan akta Berita Acara RULB PPRSC-GCM yang dibuat
oleh Notaris SML, terlebih dahulu akan dianalisis mengenai keabsahan penyelenggaraan
RULB PPRSC-GCM yang dilaksanakan pada tanggal 20 September 2013, apakah
pembuatan aktanya telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
RULB PPPSRS merupakan forum tertinggi dalam PPPSRS untuk mengambil
keputusan-keputusan tertentu yang dipandang perlu di luar Rapat Umum Tahunan. Perlu
atau tidaknya untuk menyelenggarakan RULB ditentukan oleh pengurus berdasarkan
keputusan Rapat Pengurus PPPSRS, atau berdasarkan permintaan tertulis dari anggota
PPPSRS. Karena pentingnya keputusan yang diambil dalam RULB ini maka proses
penyelenggaraan RULB PPPSRS wajib dilakukan dalam batas-batas yang telah ditetapkan
oleh peraturan perundang-undangan dan Anggaran Dasar serta Anggaran Rumah Tangga
PPPSRS, mulai dari syarat tata cara penyelenggaraan rapat, kuorum kehadiran, kuorum
pengambilan keputusan, hingga jumlah suara yang sah untuk pengambilan suara sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Pada prinsipnya, agar rapat dapat diselenggarakan dan dapat mengambil keputusan
yang sah, maka untuk kehadiran peserta rapat dan pengambilan keputusan dalam rapat
memiliki suatu batasan minimal yang disebut dengan kuorum. Apabila kehadiran peserta
rapat telah memenuhi ketentuan kuorum sebagai batas minimal kehadiran anggota dalam
Rapat Umum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, maka rapat dapat
diselenggarakan dan dapat mengambil keputusan yang sah. Berdasarkan fakta hukum dari


4
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R. Subekti dan R.
Tjitrosudibio, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2003), Ps. 1868.
7

kasus posisi yang telah diuraikan sebelumnya, diketahui bahwa akta Berita Acara RULB
PPRSC-GCM dibuat oleh Notaris SML dengan kehadiran peserta RULB PPRSC-GCM
yang tidak memenuhi persyaratan kuorum sebagaimana telah ditentukan dalam Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPRSC-GCM. Menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada saat itu yakni Keputusan Menteri Negara
Perumahan Rakyat Nomor: 06/KPTS/BKP4N/1995, bahwa:

1. Musyawarah dan rapat-rapat sebagaimana ditetapkan dalam Anggaran Dasar


adalah sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari
jumlah seluruh anggota PPPSRS kecuali jika ditentukan lain dalam Anggaran
Dasar.
2. Apabila jumlah yang hadir dalam rapat tersebut tidak mencapai 2/3 (dua pertiga),
maka harus diadakan undangan rapat sekali lagi dan jika masih belum mencapai
2/3 (dua pertiga) yang hadir, maka anggota yang hadir berapa pun jumlahnya
dapat melangsungkan rapat dan dapat mengambil keputusan yang sah dan
mengikat semua anggota.
3. Pengambilan keputusan pada asasnya dilakukan berdasarkan suara setuju lebih
dari 2/3 (dua pertiga) anggota yang hadir.5

Dari keputusan Menteri tersebut ditentukan bahwa ketentuan kuorum dalam rapat
PPPSRS dapat disimpangi oleh ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
PPPSRS. Lebih lanjut diketahui dari kasus posisi dan fakta hukum bahwa Anggaran Dasar
dan Anggaran Rumah Tangga PPRSC-GCM mengatur secara spesifik ketentuan kuorum
dan pengambilan keputusan dalam rapat. Dengan demikian untuk menganalisis keabsahan
penyelenggaraan RULB PPRSC-GCM, terutama mengenai kuorum kehadiran RULB
PPRSC-GCM, maka akan digunakan ketentuan yang ada di dalam Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga PPRSC-GCM. Pasal 28 Anggaran Dasar dan Pasal 15 Anggaran
Rumah Tangga PPRSC-GCM menyatakan bahwa:

PASAL 28
KUORUM
1. Musyawarah dan Rapat-Rapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1)
dan (2) Anggaran Dasar ini adalah sah apabila dihadiri sekurang-kurangnya 2/3
(dua pertiga) dari jumlah Anggota, kecuali ditentukan lain dalam Anggaran
Dasar.
2. Apabila telah 2 (dua) kali diundang secara sah dan patut, namun yang hadir
tidak memenuhi 2/3 (dua pertiga) dari jumlah Anggota, maka Anggota yang hadir
dapat melangsungkan Rapat dan mengambil keputusan yang sah.
Pasal 15
Kuorum dan Pengambilan Keputusan
1. Rapat-rapat Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) butir a
Anggaran Dasar, adalah sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua
pertiga) dari jumlah Anggota kecuali ditentukan lain dalam Anggaran Dasar.


5
Kementerian Negara Perumahan Rakyat Selaku Ketua Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian
Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional, Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Selaku
Ketua Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional
tentang Pedoman Pembuatan Akta Pendirian, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perhimpunan
Penghuni Rumah Susun. Nomor : 06/KPTS/BKP4N/1995, Lampiran I, angka XIII.
8

2. Pengambilan keputusan pada azasnya dilakukan berdasarkan musyawarah untuk


mufakat. Apabila hal itu tidak tercapai maka keputusan dapat diambil
berdasarkan suara terbanyak (voting).

Sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPRSC-GCM,
maka untuk dapat menyelenggarakan RULB PPRSC-GCM dan mengambil keputusan
yang sah dan mengikat RULB, harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga)
dari jumlah anggota PPPSRS untuk memenuhi kuorum. Apabila jumlah yang hadir dalam
RULB tidak mencapai 2/3 (dua pertiga), maka rapat tidak dapat dilanjutkan karena
kuorum tidak tercapai, dan harus diadakan undangan rapat sekali lagi secara sah dan patut.
Sepanjang kehadiran peserta rapat belum mencapai 2/3 (dua pertiga) maka tidak rapat
pada prinsipnya tidak dapat diselenggarakan, tidak dapat mengambil keputusan yang sah,
dan harus dilakukan panggilan kembali untuk rapat yang kedua. Dalam hal telah 2 (dua)
kali diundang namun yang hadir masih belum memenuhi 2/3 (dua pertiga) dari seluruh
anggota, maka barulah anggota yang hadir berapa pun jumlahnya dapat menyelenggarakan
RULB dan dapat mengambil keputusan yang sah dan mengikat seluruh anggota.
Fakta hukum menunjukkan bahwa kehadiran peserta RULB PPRSC-GCM pada
tanggal 20 September 2013 tersebut tidak memenuhi batas minimal kuorum. Ternyata
peserta RULB yang hadir kurang dari 2/3 (dua pertiga) dari jumlah warga. Rapat
kemudian diskors selama 2 x 15 (dua kali lima belas) menit, akan tetapi kehadiran peserta
rapat tetap belum memenuhi kuorum. Di dalam rapat telah diusulkan bahwa harus
dilakukan panggilan rapat kedua sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga PPRSC-GCM. Para peserta rapat menolak usulan tersebut dengan alasan
pelaksanaan RULB ini adalah sesuai dengan perintah Dinas Perumahan dan Gedung
Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta. Rapat tetap diselenggarakan dan mengambil
keputusan secara bulat dengan jumlah yang hadir, serta hasilnya dituangkan oleh Notaris
ke dalam akta Berita Acara RULB PPRSC-GCM. Dari fakta hukum tersebut
memperlihatkan adanya pengesampingan tata cara penyelenggaraan RULB oleh Notaris
dengan dibuatkannya akta Berita Acara RULB yang tidak memenuhi ketentuan kuorum
menurut Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPRSC-GCM. Seharusnya rapat
tidak dapat diselenggarakan dan Notaris tidak melanjutkan untuk membuatkan akta
tersebut apabila kuorum untuk kehadiran peserta rapat tidak terpenuhi. Pengesampingan
kuorum kehadiran untuk penyelenggaraan RULB tersebut dan tetap dibuatkan akta oleh
Notaris ini menurut penulis dilakukan atas dasar 2 (dua) alasan utama yaitu:
1. Pelaksanaan RULB pada tanggal 20 September 2013 secara mandiri oleh warga
melalui Forum komunikasi Warga Apartemen GCM tersebut adalah atas perintah
Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta berdasarkan
kesepakatan dalam risalah rapat tanggal 20 Juni 2013 antara Dinas Perumahan dan
Gedung Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta, PPRSC-GCM, dan Forum
Komunikasi Warga Apartemen GCM dimana alasan tersebut dianggap sebagai
keadaan “mendesak” atau “dipandang perlu” untuk segera diambil keputusan, bahkan
telah “disepakati bersama”; dan
2. Notaris merasa berada dalam posisi yang tidak aman dan tidak menguntungkan jika
rapat tersebut tidak dilanjutkan walaupun sebenarnya kuorum yang dimaksud tidak
sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPRSC-GCM. Hal ini
disebabkan oleh situasi RULB yang kurang terkendali dan tidak kondusif.
Kedua alasan inilah yang akan dianalisis oleh penulis pada bab ini apakah dapat menjadi
alasan pengesampingan tata cara penyelenggaraan RULB PPRSC-GCM. Terhadap alasan
yang kedua akan dibahas dan dianalisis pada sub berikutnya oleh karena berkaitan dengan
9

pertanggungjawaban Notaris. Sehingga yang perlu dinilai dan dianalisis untuk menjawab
rumusan permasalahan yang pertama mengenai keabsahan akta Berita Acara RULB
PPRSC-GCM adalah, apakah kuorum RULB PPSRS dapat dikesampingkan oleh suatu
keadaan yang “mendesak” atau “dipandang perlu” bahkan telah “disepakati bersama”
dalam risalah rapat yang dibuat oleh Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah Daerah
Provinsi DKI Jakarta berdasarkan hasil kesepakatan antara Dinas Perumahan dan Gedung
Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta, PPRSC-GCM, dan Forum Komunikasi Warga
Apartemen GCM?
Di dalam Peraturan Gubernur Nomor 132 Tahun 2018 diatur mengenai Dinas
Perumahan dan perannya berkaitan dengan rumah susun dan PPPSRS. Peran Dinas
Perumahan adalah melakukan bimbingan teknis dan pengendalian terhadap pengelolaan
rumah susun bersama dengan Walikota serta melibatkan Perangkat Daerah dalam rangka
pembinaan terhadap kewajiban dan larangan pengelolaan rumah susun milik.6 Bimbingan
teknis meliputi:7
a. Melaksanakan sosialisasi peraturan perundang-undangan;
b. Memberikan pedoman dan standar pelaksanaan PPPSRS; dan
c. Melakukan bimbingan, supervisi serta konsultasi terhadap pengurus PPPSRS.
Sedangkan pengendalian meliputi:
a. Memberikan teguran dan peringatan;
b. Pemberian sanksi administratif; dan
c. Pencabutan surat pencatatan dan pengesahan kepengurusan oleh Dinas.
Teguran tersebut diberikan dalam hal:
a. Pelaku pembangunan tidak melaksanakan kewajiban mengelola rumah susun dalam
masa transisi, memfasilitasi terbentuknya PPPSRS sebelum masa transisi berakhir,
atau kewajiban lain yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan;
b. Pengurus PPPSRS dan/atau pengawas PPPSRS melanggar atau melakukan tindakan
yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
c. Badan hukum pengelola melanggar atau melakukan tindakan yang bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan sanksi administratif diberikan oleh Dinas Perumahan dalam hal pelaku
pembangunan, pengurus PPPSRS dan pengawas PPPSRS serta badan hukum pengelola
tidak mengindahkan peringatan hingga kedua kalinya setelah diberikan teguran. Sanksi
administratif dapat berupa:
a. Pencabutan pencatatan dan pengesahan atas kepengurusan PPPSRS; atau
b. Memberikan rekomendasi kepada Perangkat Daerah yang bertanggung jawab dalam
urusan perizinan untuk mencabut izin usaha dari pelaku pembangunan dan/atau izin
usaha/izin operasional badan hukum pengelola sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Dari pengaturan mengenai Dinas Perumahan tersebut, dapat penulis simpulkan bahwa
peran Dinas Perumahan hanya sebatas melakukan bimbingan teknis dan pengendalian
terhadap pengelolaan rumah susun. Peraturan perundang-undangan tidak mengatur atau
mendelegasikan kewenangan bagi Dinas Perumahan serta risalah rapat yang dibuatnya
dapat mengintervensi ketentuan yang ada di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga PPPSRS. Bahkan seharusnya Dinas Perumahan dapat menegur pengurus PPPSRS


6
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Peraturan Gubernur tentang Pembinaan Pengelolaan Rumah Susun
Milik, Pergub No. 132 Tahun 2018, Ps. 101 ayat (1) dan (2).
7
Ibid., Ps. 101 ayat (3).
10

yang melakukan tindakan yang melanggar atau bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Sementara itu keadaan “mendesak” atau “dipandang perlu” berarti “memaksa untuk
segera dilakukan (dipenuhi, diselesaikan karena ada dalam keadaan darurat, genting, dan
sebagainya), dalam keadaan harus lekas mengambil keputusan.”8 Di dalam kesepakatan
antara Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta, PPRSC-
GCM, dan Forum Komunikasi Warga Apartemen GCM tanggal 20 Juni 2013 tersebut
disebutkan pada angka 1 hasil risalah rapat:

Pengurus Perhimpunan Penghuni Pemilik Satuan Rumah Susun GCM (PPPSRS


GCM) akan menyelenggarakan Rapat Umum Tahunan Anggota (RUTA) atau Rapat
Umum Luar Biasa (RULB) warga Apartemen dan Rukan GCM paling lambat 31
Agustus 2013, … dengan materi laporan pertanggungjawaban keuangan dan
pengelolaan Tahun 2012, pengesahan program kerja dan rencana anggaran Tahun
2013, termasuk pertanggungjawaban penetapan kenaikan Iuran Pengelolaan
Lingkungan (IPL) oleh Pengurus PPPSRS GCM.

Selanjutnya angka 6 hasil rapat menyatakan:

Apabila sampai 31 Agustus 2013 PPPSRS GCM tidak menyelenggarakan RUTA,


maka warga melalui Forum Komunikasi Warga (FKW) akan menyelenggarakan
Rapat Umum Luar Biasa secara mandiri yang dihadiri oleh unsur-unsur pemerintahan
terkait, dan segala keputusannya sah dan mengikat.

Jika berbicara mengenai hasil risalah rapat yang telah “disepakati bersama” antara Dinas
Perumahan dan Gedung Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta, PPRSC-GCM, dan
Forum Komunikasi Warga Apartemen GCM, menurut penulis tidak ada yang salah
dengan pembuatan risalah rapat tersebut, mengingat setiap orang dapat mengadakan
kesepakatan apa saja sesuai dengan kehendak mereka, dan mereka akan terikat dengan
kesepakatan tersebut sepanjang memenuhi syarat-syarat yuridis sebagai berikut: 9
a. Memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang terdapat dalam Pasal
1320 KUHPerdata (memenuhi syarat wenang berbuat, tidak ada paksaan, tidak ada
penipuan, dan sebagainya);
b. Tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam Anggaran Dasar, sejauh ketentuan
dalam Anggaran Dasar tersebut tidak dapat disimpangi; dan
c. Tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
terkait yang berlaku, sejauh ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut
merupakan kaidah hukum memaksa.
Dengan demikian para pihak memang harus tunduk terhadap hasil rapat tersebut sebagai
wujud kesepakatan bersama. Hal yang “disepakati bersama” dalam risalah tersebut pun
adalah perihal “keharusan untuk menyelenggarakan RULB apabila telah melewati batas
waktu yang disepakati”, dan bukan kesepakatan untuk dapat menyimpang dari ketentuan
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPPSRS —walaupun alasan demikian pun
tidak mungkin diperkenankan. Memang pada faktanya terdapat suatu kondisi “mendesak”
untuk segera diselenggarakan RULB dan diambil keputusan mengenai hal-hal tersebut.


8
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, “Mendesak,” https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/mendesak, diakses 15 Oktober 2019.
9
Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2017), hlm. 147.
11

Akan tetapi menurut hemat penulis suatu “keadaan untuk harus lekas mengambil
keputusan” bukan berarti penyelenggaraan RULB PPRSC-GCM dapat diselenggarakan
tanpa memperhatikan batas-batas yang telah diatur dan ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan dan Anggaran Dasar serta Anggaran Rumah Tangga PPRSC-GCM
yang berlaku. Perbuatan menyimpang yang demikian tentunya akan menciptakan
ketidakpastian hukum.
Baik UU Nomor 20 Tahun 2011, PP Nomor 4 Tahun 1988 maupun peraturan
perundang-undangan lain yang berkaitan dengan rumah susun dan PPPSRS memang tidak
mengatur secara tegas apakah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPPSRS
dapat disimpangi. Walaupun demikian, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
PPPSRS pun pada dasarnya adalah wujud kesepakatan bersama, bahkan telah dicatat dan
disahkan oleh Gubernur, sehingga menurut penulis kedudukan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga PPRSC-GCM ini lebih tinggi daripada kedudukan dari suatu
keadaan “mendesak” berdasarkan kesepakatan bersama dalam risalah rapat tanggal 20
Juni 2013. Ketentuan kuorum dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
PPRSC-GCM tidak dapat dikesampingkan oleh sebuah hasil risalah rapat walaupun
dibuat resmi oleh Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah Daerah dengan dasar alasan
karena keadaan “mendesak” atau “dipandang perlu” untuk segera diambil keputusan.
Maka berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, penentuan keabsahan
penyelenggaraan suatu RULB PPPSRS adalah tetap mengacu kepada Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga PPPSRS sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan. Dengan demikian menurut penulis penyelenggaraan RULB PPRSC-
GCM pada tanggal 20 September 2013 tidak dapat dibenarkan oleh karena tidak
dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan dan
Anggaran Dasar serta Anggaran Rumah Tangga PPPSRS yang berlaku.
Agar dapat disebut sebagai akta yang sah dan memiliki kekuatan pembuktian sebagai
akta autentik, maka suatu akta Notaris, demikian halnya akta Berita Acara RULB PPRSC-
GCM sebagai salah satu jenis akta Relaas, harus memenuhi 3 (tiga) kekuatan pembuktian
yakni kekuatan pembuktian lahiriah, kekuatan pembuktian formal dan kekuatan
pembuktian material.10 Oleh karena berdasarkan analisis di atas bahwa penyelenggaraan
RULB PPRSC-GCM tidak memenuhi prosedur dalam pembuatan akta Berita Acara
RULB PPRSC-GCM, yang mana telah terbukti juga pelanggarannya sesuai dengan
putusan MPW Nomor: 5/PTS/Mj.PWN.Prov.DKIJakarta/XI/2017, maka pembuatan akta
Berita Acara RULB PPRSC-GCM telah tidak memenuhi persyaratan formal, artinya akta
tersebut tidak memenuhi kekuatan pembuktian formal sebagai akta autentik.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan oleh penulis bahwa dengan tidak
terpenuhinya salah satu kekuatan pembuktian sebagai akta autentik maka akta Berita
Acara RULB PPRSC-GCM yang dibuat oleh Notaris SML tersebut adalah tidak sah dan
tidak memiliki kekuatan pembuktian sebagai suatu akta autentik yang mempunyai
kekuatan bukti sempurna. Akta Berita Acara RULB PPRSC-GCM tersebut mengandung
cacat hukum di dalam pembuatan akta dan akibatnya kekuatannya hanya seperti akta di
bawah tangan.


10
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, cet. 4, (Jakarta: Erlangga, 1996), hlm. 55.
12

2. Analisis Tanggung Jawab Notaris dalam Pembuatan Akta Berita Acara RULB
Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun yang Tidak
Memenuhi Persyaratan Kuorum (Studi Terhadap Putusan Majelis Pengawas
Wilayah Notaris Provinsi DKI Jakarta Nomor: 5/PTS/Mj.PWN.Prov.DKI
Jakarta/XI/2017)
Setiap perbuatan yang dilakukan atau dikerjakan seseorang baik yang disengaja
maupun yang tidak disengaja pada akhirnya harus dapat dipertanggungjawabkan.
Demikian juga halnya dengan jabatan Notaris, Undang-Undang Jabatan Notaris telah
secara tegas mengatur kewenangan, kewajiban dan larangan Notaris sebagai pejabat
umum. Apabila terjadi kesalahan baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian yang
melanggar atau bertentangan dengan kewenangan, kewajiban dan larangan tersebut, maka
akan menimbulkan konsekuensi hukum bagi Notaris yaitu berupa tanggung jawab.
Tanggung jawab Notaris ini akan timbul akibat adanya kesalahan yang dilakukan
Notaris di dalam menjalankan tugas jabatan. Sebelum dapat menentukan tanggung jawab
apakah yang seyogianya dipikul oleh Notaris dalam pembuatan akta Berita Acara RULB
PPRSC-GCM, terlebih dahulu harus ditentukan dan dibuktikan apakah Notaris tersebut
dapat dikatakan bersalah atau tidak.
Kata “salah” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “tidak benar, keliru,
khilaf, menyimpang dari yang seharusnya,”11 “bersalah” berarti “berbuat keliru, berbuat
sesuatu yang melanggar peraturan (hukum dan sebagainya).”12 Undang-Undang Jabatan
Notaris mewajibkan Notaris di dalam menjalankan jabatannya untuk bertindak amanah,
jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait
dalam perbuatan hukum. 13 Lebih lanjut Notaris juga berkewajiban untuk selalu
memberikan pelayanannya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Jabatan
Notaris, kecuali Notaris mempunyai alasan untuk menolaknya. 14 Telah dianalisis dan
disimpulkan sebelumnya bahwa pembuatan akta Berita Acara RULB PPRSC-GCM yang
dibuat oleh Notaris SML tidak dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dan Anggaran Dasar serta Anggaran Rumah Tangga PPPSRS yang berlaku. Hal tersebut
mengakibatkan akta Berita Acara RULB PPRSC-GCM yang dibuat oleh Notaris SML
menjadi tidak sah dan tidak memiliki kekuatan pembuktian sebagai suatu akta autentik
karena akta tersebut mengandung cacat hukum di dalam pembuatan akta dan akibatnya
kekuatannya hanya seperti akta di bawah tangan. Dari kesimpulan tersebut dapat
dikatakan telah terjadi suatu perbuatan yang “melanggar peraturan”, melanggar ketentuan
hukum yang berlaku, sehingga menunjukkan adanya “kesalahan” pada diri Notaris untuk
dapat dimintakan pertanggungjawaban. Selain terjadi pelanggaran peraturan perundang-
undangan terkait rumah susun dan PPPSRS, Anggaran Dasar serta Anggaran Rumah
Tangga PPPSRS, juga terjadi pelanggaran Undang-Undang Jabatan Notaris Pasal 16 ayat
(1) huruf a bahwa Notaris tidak bertindak secara saksama. Saksama berarti “teliti; cermat;


11
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, “Salah,” https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/salah, diakses 15 Oktober 2019.
12
Ibid., “Bersalah,” https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/bersalah, diakses 15 Oktober 2019.
13
Indonesia, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris, UU No. 30 Tahun 2004, LN No. 117 Tahun
2004, TLN No. 4432, yang dirubah dengan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang
tentang Jabatan Notaris. UU No. 2 Tahun 2014, LN No. 3 Tahun 2014, TLN No. 5491, Ps. 16 ayat (1)
huruf a.
14
Ibid., Ps. 16 ayat (1) huruf e.
13

tepat benar; jitu,”15 cermat berarti “berhati-hati”.16 Menurut penulis Notaris SML telah
melanggar kewajiban untuk bertindak secara saksama di dalam menjalankan jabatannya.
Notaris SML tidak memperhatikan sikap ketelitian dan kehati-hatian di dalam pembuatan
akta sehingga tindakannya menimbulkan kerugian tidak hanya bagi dirinya sendiri akan
tetapi juga menimbulkan kerugian bagi orang lain. Notaris juga seharusnya memberikan
pelayanannya sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf e Undang-Undang Jabatan
Notaris, bahkan menurut ketentuan tersebut Notaris berhak menolak untuk membuatkan
akta jika ada alasan untuk itu. Dalam kasus ini Notaris wajib menolak untuk membuatkan
akta jika Notaris mengetahui lebih awal potensi-potensi sengketa terhadap akta yang akan
dibuatnya.
Untuk mengkaji pengertian kesalahan di sini tidak hanya sebatas perbuatan yang
menyimpang dari yang seharusnya atau melanggar peraturan hukum saja, dapat juga dikaji
berdasarkan unsur-unsur kesalahan menurut hukum pidana yaitu:17
a. Adanya kemampuan untuk bertanggung jawab;
b. Adanya kesengajaan atau kealpaan; dan
c. Tidak adanya alasan pemaaf.
Mengenai unsur “kemampuan untuk bertanggung jawab”, sebagai seseorang yang
minimal sudah mencapai usia 27 (dua puluh tujuh) tahun, sedang tidak di bawah
pengampuan, serta memiliki bekal teoritis dan praktis untuk diangkat menjadi Notaris
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris, maka menurut penulis Notaris
SML adalah tergolong orang yang seharusnya mampu bertanggung jawab. Notaris mampu
untuk mengendalikan dan mengontrol kehendak yang akan dilakukannya sehingga Notaris
sendiri mengerti akan akibat yang timbul dari apa yang dilakukannya.
Mengenai unsur “kesengajaan atau kealpaan”, seorang Notaris tidak hanya dapat
dinyatakan bersalah akibat pelanggaran hukum yang disengaja, akan tetapi seorang
Notaris juga dapat dinyatakan bersalah akibat kelalaiannya, ketidakhati-hatiannya, atau
ketidakmengertiannya. Berdasarkan fakta hukum diketahui bahwa pelanggaran yang
dilakukan oleh Notaris SML bukan dikarenakan kesengajaan akan tetapi lebih kepada
kelalaian, ketidakhati-hatian, dan ketidakmengertiannya. Berdasarkan kasus posisi dan
fakta hukum, Notaris SML “mengira” pada saat rapat tersebut sudah dilaksanakan dengan
memenuhi ketentuan yang berlaku.
Kemudian mengenai unsur “tidak adanya alasan pemaaf”. Sebagaimana telah
dikemukakan sebelumnya bahwa berdasarkan analisis fakta hukum diketahui terdapat 2
(dua) alasan utama Notaris mengesampingkan ketentuan kuorum penyelenggaraan RULB
yang telah tercantum dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPRSC-GCM,
yaitu:
1. Pelaksanaan RULB pada tanggal 20 September 2013 secara mandiri oleh warga
melalui Forum komunikasi Warga Apartemen GCM tersebut adalah atas perintah
Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta berdasarkan
kesepakatan dalam risalah rapat tanggal 20 Juni 2013 antara Dinas Perumahan dan
Gedung Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta, PPRSC-GCM, dan Forum
Komunikasi Warga Apartemen GCM dimana alasan tersebut dianggap sebagai

15
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, “Saksama,” https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/saksama, diakses 16 Oktober 2019.
16
Ibid., “Cermat,” https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/cermat, diakses 16 Oktober 2019.
17
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, cet. 3,
(Jakarta: Storia Grafika, 2002), hlm. 165.
14

keadaan “mendesak” atau “dipandang perlu” untuk segera diambil keputusan, bahkan
telah “disepakati bersama”; dan
2. Notaris merasa berada dalam posisi yang tidak aman dan tidak menguntungkan jika
rapat tersebut tidak dilanjutkan walaupun sebenarnya kuorum yang dimaksud tidak
sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPRSC-GCM. Hal ini
disebabkan karena situasi RULB yang kurang terkendali dan tidak kondusif.
Mengenai alasan yang pertama, telah dianalisis dan disimpulkan sebelumnya bahwa
alasan tersebut tidak dapat dibenarkan sehingga akta Berita Acara RULB PPRSC-GCM
yang dibuat oleh Notaris SML adalah tidak sah dan tidak memiliki kekuatan pembuktian
sebagai suatu akta autentik karena akta tersebut mengandung cacat hukum di dalam
pembuatan akta dan akibatnya kekuatannya hanya seperti akta di bawah tangan.
Selanjutnya yang menarik menurut penulis di sini adalah mengenai alasan yang kedua,
terkait unsur “ada atau tidaknya alasan pemaaf”. Apakah alasan yang kedua perihal
keterangan yang disampaikan Notaris SML bahwa Notaris saat itu berada dalam posisi
yang tidak aman dengan situasi RULB yang kurang terkendali dan tidak kondusif, dapat
menjadi alasan pemaaf, alasan pembenar atau peniadaan tanggung jawab Notaris?
Di dalam hukum pidana, “alasan pemaaf” merupakan alasan yang menghapus
kesalahan yang dilakukan seseorang sehingga orang tersebut tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban. Menurut Sjaifurrachman dan Habib Adjie, dalam kasus pembuatan
akta yang cacat hukum, yang dapat dijadikan sebagai alasan pemaaf adalah apabila
Notaris tersebut dalam keadaan yang tidak dapat dibebani tanggung jawab, sakit jiwa,
cacat tubuh, atau adanya kesesatan (kekhilafan) yang dapat dimaafkan mengenai sifat
melanggar hukumnya.18 Dari fakta hukum kasus ini diketahui bahwa Notaris SML merasa
berada dalam posisi yang tidak aman dan tidak menguntungkan jika rapat tersebut tidak
dilanjutkan walaupun sebenarnya kuorum yang dimaksud tidak sesuai dengan Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPRSC-GCM. Hal ini disebabkan karena situasi
RULB yang kurang terkendali dan tidak kondusif. Menurut pendapat penulis alasan
pemaaf tidak dapat diterapkan untuk kasus ini dan tidak dapat menjadi alasan pemaaf atau
alasan pembenar untuk meniadakan tanggung jawab Notaris. Hal ini dikarenakan fakta
hukum hanya menunjukkan keadaan rapat yang kurang terkendali, tidak kondusif, dan
Notaris merasa tidak aman jika tidak melanjutkan RULB tersebut, namun tidak
menunjukan adanya suatu tekanan atau paksaan yang sampai mengancam keselamatan diri
Notaris dan/atau keluarganya. Selain itu Notaris tidak berada dalam kondisi yang tidak
dapat dibebani tanggung jawab, sakit jiwa, cacat tubuh, atau adanya kesesatan yang dapat
dimaafkan. Sehingga menurut penulis keadaan “tidak aman” demikian masih dalam batas
yang dapat dipertanggungjawabkan, bahkan seharusnya kejadian tersebut dapat dihindari
oleh Notaris jika Notaris telah mengetahui lebih awal potensi adanya sengketa sebelum
penyelenggaraan RULB PPRSC-GCM karena Notaris berhak untuk menolak akta apabila
terdapat alasan untuk itu. Memang kondisi RULB yang demikian menempatkan Notaris
dalam keadaan yang cukup sulit, akan tetapi seyogianya Notaris berusaha sedapat
mungkin untuk menolak membuatkan aktanya dimana penyelenggaraan RULB tersebut
menurut kenyataannya sudah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Berdasarkan penjelasan di atas terlihat bahwa unsur-unsur kesalahan telah terpenuhi,
dengan demikian menurut penulis Notaris SML telah bersalah. Akibat perbuatannya
tersebut, Notaris SML haruslah bertanggung jawab sebagai wujud komitmen Notaris

18
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta, cet. 1,
(Bandung: Mandar Maju, 2011), hlm. 176.
15

terhadap pelaksanaan tugas jabatannya sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Jabatan


Notaris.
Tanggung jawab Notaris ini dibedakan menjadi tanggung jawab menurut Undang-
Undang Jabatan Notaris, tanggung jawab menurut KUHPerdata, dan tanggung jawab
menurut KUHPidana. Maka perlu dianalisis tanggung jawab manakah yang dapat dipikul
oleh Notaris SML akibat pembuatan akta Berita Acara RULB PPRSC-GCM tersebut.
Terhadap Notaris SML yang telah melakukan pelanggaran atas Undang-Undang
Jabatan Notaris yakni Pasal 16 ayat (1) huruf a dan huruf e, maka sebagai bentuk
pertanggungjawabannya Notaris dapat dikenakan sanksi administratif. Menurut penulis
sanksi administratif yang dijatuhkan oleh MPW kepada Notaris SML sudah tepat yaitu
berupa teguran tertulis tanpa didahulukan dengan teguran lisan, oleh karena pelanggaran
yang dilakukannya dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran yang telah menyangkut
substansi pembuatan akta Berita Acara RULB PPRSC-GCM sebagai akta autentik, dan
akibat pelanggarannya tersebut menimbulkan kerugian bagi orang lain, hal ini terlihat
pada fakta hukum kasus bahwa kepengurusan PPRSC-GCM yang lama menerangkan
merasa dirugikan dengan terbitnya akta nomor 60, 61, 62 dan 63 yang dibuat oleh Notaris
tersebut sampai akhirnya terhadap Notaris SML dilakukan pengaduan oleh LT kepada
MPD. Batas pertanggungjawaban Notaris terkait sanksi administratif ini adalah sepanjang
Notaris masih berwenang dalam melaksanakan tugas jabatannya sebagai Notaris. Apabila
Notaris yang bersangkutan telah berhenti dari tugas jabatannya sebagai Notaris, maka
tidak akan ada lagi permintaan pertanggungjawaban berupa sanksi adminsitratif baginya.
Tanggung jawab Notaris menurut KUHPerdata yaitu dalam bentuk sanksi
keperdataan atau sanksi yang dijatuhkan terhadap kesalahan yang terjadi akibat perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatige daad). Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh
Notaris yang mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai
akta di bawah tangan dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk
menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris. Dalam kasus ini,
Notaris SML berpotensi untuk bertanggung jawab secara keperdataan akibat kesalahan
yang terjadi karena perbuatannya yang melanggar hukum dan menimbulkan kerugian bagi
orang lain akibat akta Berita Acara RULB PPRSC-GCM yang dibuatnya tidak sah dan
hanya memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Tanggung jawab ini
harus dipikulnya sepanjang ada pihak yang mengajukan gugatan perbuatan Notaris secara
perdata kepada Pengadilan. Sanksi keperdataan berupa penggantian biaya, ganti rugi,
dan/atau bunga harus ditanggung oleh Notaris apabila dapat dibuktikan di Pengadilan
bahwa akta yang dibuat oleh Notaris hanya memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta di
bawah tangan dan Notaris telah melakukan perbuatan melanggar hukum serta terbukti
mengakibatkan kerugian terhadap orang lain. Lebih lanjut, sesuai dengan KUHPerdata
batas tuntutan hukum untuk penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris
tersebut dapat dimintakan kepada Notaris adalah sebelum lewat waktu selama 30 (tiga
puluh) tahun.19 Jadi sepanjang belum lewat waktu selama 30 (tiga puluh) tahun, maka
tuntutan penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga secara perdata kepada Notaris
berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat
tetap dilaksanakan. Setelah lewat waktu 30 (tiga puluh) tahun, maka tidak akan ada lagi
permintaan pertanggungjawaban yang demikian bagi Notaris.

19
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], Ps. 1967. Segala tuntutan hukum, baik
yang bersifat perbendaan maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya
waktu 30 (tiga puluh) tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan akan adanya daluwarsa itu tidak usah
mempertunjukkan suatu alas hak, lagi pula tak dapatlah dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang
didasarkan kepada itikadnya yang buruk.
16

Di dalam kasus ini, Notaris tidak bertanggung jawab secara pidana oleh karena
berdasarkan fakta hukum Notaris tidak melanggar unsur-unsur tindak pidana menurut
ketentuan yang diatur oleh KUHPidana dan/atau peraturan perundang-undangan terkait
tindak pidana lainnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan oleh penulis bahwa Notaris SML dalam kasus
ini bersalah, dan sebagai konsekuensinya Notaris harus bertanggung jawab. Tanggung
jawab Notaris SML dapat berbentuk sanksi administratif yaitu berupa teguran tertulis dari
MPW, sepanjang Notaris masih berwenang dalam melaksanakan tugas jabatannya sebagai
Notaris. Selain itu, tanggung jawab Notaris SML juga dapat berupa sanksi keperdataan
menurut KUHPerdata akibat perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad), yaitu
berupa penggantian biaya, ganti rugi, dan/atau bunga, dengan catatan sepanjang pihak
yang merasa dirugikan akibat kesalahan Notaris mengajukan gugatan secara perdata
kepada Pengadilan dan hal tersebut dapat dibuktikan di Pengadilan.

C. PENUTUP
1. Simpulan
Berdasarkan permasalahan hukum, temuan penelitian dan hasil analisis permasalahan
hukum, maka terhadap kasus pada putusan Majelis Pengawas Wilayah Notaris Provinsi
DKI Jakarta Nomor: 5/PTS/Mj.PWN.Prov.DKIJakarta/XI/2017 mengenai implikasi
hukum pembuatan akta Berita Acara RULB PPPSRS yang tidak memenuhi persyaratan
kuorum, penulis menarik simpulan sebagai berikut:
a. Akta Berita Acara RULB PPRSC-GCM yang dibuat oleh Notaris SML terbukti tidak
sah dan tidak memiliki kekuatan pembuktian sebagai suatu akta autentik yang
mempunyai kekuatan bukti sempurna. Hal ini disebabkan karena akta tersebut tidak
memenuhi kekuatan pembuktian secara formal (formele bewijskracht) dimana
pembuatan akta tidak dilakukan menurut peraturan perundang-undangan dan
Anggaran Dasar serta Anggaran Rumah Tangga PPPSRS yang berlaku. Akta Berita
Acara RULB PPRSC-GCM tersebut mengandung cacat hukum di dalam pembuatan
akta dan sebagai akibatnya kekuatan aktanya hanya seperti akta di bawah tangan; dan
b. Notaris SML dalam kasus ini telah bersalah, dan sebagai konsekuensinya Notaris
harus bertanggung jawab baik menurut Undang-Undang Jabatan Notaris maupun
menurut KUHPerdata. Tanggung jawab Notaris SML sesuai Undang-Undang Jabatan
Notaris berbentuk sanksi administratif yaitu teguran tertulis dari MPW sepanjang
Notaris yang bersangkutan masih berwenang dalam melaksanakan tugas jabatannya
sebagai Notaris. Selain itu tanggung jawab Notaris SML juga dapat berupa sanksi
keperdataan menurut KUHPerdata yaitu penggantian biaya, ganti rugi, dan/atau
bunga, dengan catatan sepanjang pihak yang merasa dirugikan akibat kesalahan
Notaris mengajukan gugatan secara perdata kepada Pengadilan dan hal tersebut dapat
dibuktikan di Pengadilan. Tuntutan hukum untuk penggantian biaya, ganti rugi, dan
bunga kepada Notaris tersebut dapat dimintakan kepada Notaris sebelum lewat waktu
selama 30 (tiga puluh) tahun.

2. Saran
Sehubungan dengan kasus di dalam penelitian ini, penulis memberikan saran-saran
sebagai berikut:
a. Seharusnya sebelum memutuskan untuk membuatkan akta Berita Acara RULB
PPPSRS, Notaris mengambil sikap lebih cermat dan hati-hati, terutama di dalam
memeriksa dokumen-dokumen esensial seperti Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga dari PPPSRS yang bersangkutan. Notaris harus betul-betul
17

mempelajari profil rumah susun, PPPSRS dan developer yang bersangkutan. Dari
sanalah Notaris akan mengetahui kemungkinan ada atau tidaknya potensi sengketa di
masa yang akan datang, mengingat Notaris berhak menolak untuk membuatkan akta
apabila Notaris mempunyai alasan kuat untuk itu. Dengan demikian Notaris dapat
terhindar dari kesalahan-kesalahan yang dapat membahayakan dirinya dan
mengakibatkan kerugian bagi orang lain di kemudian hari;
b. Seharusnya Notaris wajib mengetahui dan mengerti akan syarat-syarat autentisitas,
keabsahan, sebab-sebab kebatalan dan pembatalan suatu akta Notaris serta segala
konsekuensi dari akta-akta yang dibuatnya. Dengan demikian Notaris sedapat
mungkin harus membantu memberikan jalan keluar terhadap permasalahan yang
sedang dihadapi klien melalui penyuluhan hukum darinya sebelum memutuskan
untuk melanjutkan membuat aktanya. Notaris seharusnya memberikan penjelasan
dan menunjukkan kekurangan dan kelemahan yang terdapat dalam suatu akta yang
akan dibuatnya kepada peserta RULB agar peserta RULB mengerti akan resiko serta
konsekuensi hukum yang mungkin terjadi di masa yang akan datang akibat akta yang
dibuat tanpa memenuhi ketentuan hukum yang berlaku tersebut. Apabila peserta
RULB tetap memaksakan kehendaknya untuk menyelenggarakan rapat tanpa
memenuhi persyaratan hukum yang berlaku sesuai Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga PPPSRS, seharusnya Notaris wajib menolak dengan tegas untuk
membuatkan aktanya.

DAFTAR PUSTAKA

A. Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Undang-Undang tentang Rumah Susun. UU No. 16 Tahun 1985. LN No. 75
Tahun 1985, TLN No. 3318.
_______. Undang-Undang tentang Jabatan Notaris. UU No. 30 Tahun 2004. LN No.
2004 Tahun 2004, TLN No. 4432, yang dirubah dengan Undang-Undang tentang
Perubahan atas Undang-Undang tentang Jabatan Notaris. UU No. 2 Tahun 2014.
LN No. 3 Tahun 2014, TLN No. 5491.
_______. Undang-Undang tentang Rumah Susun. UU No. 20 Tahun 2011. LN No. 108
Tahun 2011, TLN No. 5252.
_______. Peraturan Pemerintah tentang Rumah Susun. PP No. 4 Tahun 1988. LN No. 7
Tahun 1988, TLN No. 3372.
Kementerian Negara Perumahan Rakyat. Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat
tentang Tata Laksana Pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun
Sederhana Milik. Nomor : 15/PERMEN/M/2007.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat tentang Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan
Rumah Susun. Permen No. 23/PRT/M/2018.
Kementerian Negara Perumahan Rakyat Selaku Ketua Badan Kebijaksanaan dan
Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional. Keputusan
Menteri Negara Perumahan Rakyat Selaku Ketua Badan Kebijaksanaan dan
Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional tentang
18

Pedoman Pembuatan Akta Pendirian, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah


Tangga Perhimpunan Penghuni Rumah Susun. Nomor : 06/KPTS/BKP4N/1995.
Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Peraturan Gubernur tentang Pembinaan Pengelolaan
Rumah Susun Milik. Pergub No. 132 Tahun 2018. BD No. 73006 Tahun 2018.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh R.
Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramita, 2003.

B. Buku
Adjie, Habib. Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris). Cet. 4. Bandung: Refika Aditama, 2014.
_______. Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris. Cet. 3. Bandung: Refika Aditama,
2015.
_______. Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik.
Cet. 3. Bandung: Refika Aditama, 2013.
Anand, Ghansham. Karakteristik Jabatan Notaris di Indonesia. Cet. 1. Jakarta: Kencana,
2018.
Anshori, Abdul Ghofur. Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika.
Yogyakarta: UII Press, 2009.
Budiono, Herlin. Dasar Teknik Pembuatan Akta Notaris. Cet. 4. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2014.
Darus, Luthfan Hadi. Hukum Notariat dan Tanggung Jawab Jabatan Notaris. Cet. 1.
Yogyakarta: UII Press, 2017.
Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris.
Cet. 3. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Fuady, Munir. Perseroan Terbatas Paradigma Baru. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2017.
Garner, Bryan A. Black’s Law Dictionary Tenth Edition. Ed. 10. Minnesota: Thomson
Reuters, 2014.
Harris, Freddy dan Leny Helena. Notaris Indonesia. Cet. 1. Jakarta: Lintas Cetak Djaja,
2017.
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Cet. 2. Jakarta: Universitas Trisakti, 2015.
Hutagalung, Arie S. Condominium dan Permasalahannya. Cet. 1. Depok: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998.
Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya.
Cet. 3. Jakarta: Storia Grafika, 2002.
Kuswahyono, Imam. Hukum Rumah Susun Suatu Bekal Pengantar Pemahaman. Malang:
Bayumedia, 2004.
Lubis, Muhammad Yamin dan Abdul Rahim Lubis. Kepemilikan Properti di Indonesia
Termasuk Kepemilikan Rumah oleh Orang Asing. Cet. 1. Bandung: Mandar Maju,
2013.
19

Mamudji, Sri. Et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Cet. 1. Depok: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Puspa, Yan Pramadya. Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda Indonesia Inggris.
Jakarta: Aneka Semarang, 1977.
Santoso, Urip. Hukum Perumahan. Cet. 1. Jakarta: Kencana, 2014.
Saputro, Anke Dwi. Ed. Jati Diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang, dan di Masa Datang.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Sjaifurrachman dan Habib Adjie. Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan
Akta. Cet. 1. Bandung: Mandar Maju, 2011.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: UI Press, 1986.
_______ dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Cet. 17.
Jakarta: Rajawali Pers, 2015.
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cet. 31. Jakarta: Intermasa, 2003.
_______ dan R. Tjitrosoedibio. Kamus Hukum. Cet. 4. Jakarta: Pradnya Paramita, 1979.
Tobing, G.H.S. Lumban. Peraturan Jabatan Notaris. Cet. 4. Jakarta: Erlangga, 1996.

C. Jurnal
Hutagalung, Arie S. “Membangun Condominium (Rumah Susun): Masalah-Masalah
Yuridis Praktis dalam Penjualan, Pemilikan Pembebanan Serta Pengelolaannya.”
Hukum dan Pembangunan 25 No. 1 (Februari 1994). Hlm. 14-26.
Purwanto, Harry. “Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian Internasional.”
Mimbar Hukum 21 No. 1 (1 Februari 2009). Hlm. 155-170.

D. Putusan
Majelis Pengawas Wilayah Notaris Provinsi DKI Jakarta. Putusan No. 5/PTS/Mj.PWN.
Prov.DKIJakarta/XI/2017.

E. Internet
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia. “Notaris.” https://kbbi.kemdikbud.go.id/ entri/notaris. Diakses
24 September 2019.
_______. “Bersalah.” https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/bersalah. Diakses 15 Oktober
2019.
_______. “Mendesak.” https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/mendesak. Diakses 15 Oktober
2019.
_______. “Salah.” https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/salah. Diakses 15 Oktober 2019.
_______. “Cermat.” https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/cermat. Diakses 16 Oktober 2019.
20

_______. “Saksama.” https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/saksama. Diakses 16 Oktober


2019.

Anda mungkin juga menyukai