Anda di halaman 1dari 70

TUGAS UAS

SEJARAH PERADABAN ISLAM


JUDUL MAKALAH
EKSISTENSI NU DALAM BINGKAI NKRI
DAN PARADIGMA NU DALAM DAKWAH ISLAM JUGA
KEBANGSAAN

Dosen Pengampu : Dr. Mohammad Arif, M,A

Disusun oleh:
Kelompok 2
IAT “A” Semester 2

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH


PROGRAM STUDI ” ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR ”
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
KEDIRI TAHUN 2020
IDENTITAS MAHASISWA IAT/A

SPI KELOMPOK 2

Nama : Ahmad Ashimulloh

NIM : 933805219

Nomor HP : 081357830077

Alamat : Ds. Plandirejo Kec. Plumpang Kab. Tuban

Nama : Novikha Istyana

NIM : 933802018

Nomor HP : 081231650548

Alamat : Sidoarjo

Nama : Dita Erlin Enjelina

NIM : 933809019

Nomor HP : 085749838685

Alamat : Godog, Laren, Lamongan

Nama : Dewi Nur Laily

NIM : 933806219

Nomor HP : 082231911828

Alamat : Jl.Durian Rt02Rw01 Ds.Garbu Kec.Gurah, Kediri

i|Page
Nama : Iskandar Mulyono Nur

NIM : 933806719

Nomor HP : 08312092781

Alamat : Grujugan, Rt01/05

Nama : Muftirotul Anwar

NIM : 933808019

Nomor HP : 085234149672

Alamat : Dsn. Selang Ds. Bulusari Kec. Tarokan Kab. Kediri

Nama : Anggi Wahyu Ningrum

NIM : 933805019

Nomor HP : 085856762902

Alamat : Jl. Wonorejo 2/59 Kec. Tegalsari Kota Surabaya Pusat

Nama : Evy Zuaihah

NIM : 933808219

Nomor HP : 085784750151

Alamat : Dsn. Tegal Rejo Ds. Sukoanyar Kec. Mojo Kab. Kediri

ii | P a g e
Nama : Alfin Hidayah

NIM : 933802619

Nomor HP : 0895606157583

Alamat : Babat Lamongan

Nama : Fina Fatihatul Husna

NIM : 933802919

Nomor HP : 085748081806

Alamat :Sanggrahan Prambon Nganjuk

Nama : Akdamul Affan Yusuf

NIM : 933805319

Nomor HP : 085815287455

Alamat : Nganjuk

Nama : Khuril Aina Salsabila

NIM : 933802419

Nomor HP : 085331776094

Alamat : Jombang

iii | P a g e
Nama : Diana Indah Anggraini

NIM : 933807319
Nomor HP : 085233266983

Alamat : Ds. Kaliboto Kec. Tarokan Kab. Kediri

Nama : Nurul Af-idah Zain

NIM : 933807619

Nomor HP : 081335410775

Alamat : Ds. Pangean Kec. Maduran Kab. Lamongan

Nama : Kurrotul Faizah

NIM : 933808619

Nomor HP : 085785992434

Alamat : Jl. Opak Rt.005 Rw.002

Nama : Mila Isma Safitri

NIM : 933806919

Nomor HP : 085732826059

Alamat : Pagu Wates Kediri

iv | P a g e
Nama : Rif’an Mujtahid

NIM : 933810519

Nomor HP : 089517877414

Alamat : Pp. Nurul Huda Singgahan Pelem Pare Kediri

Nama : Putri Maharani Az-Zahra

NIM : 933805619

Nomor HP : 087853382449

Alamat : Rt 2 Rw 1 Ds. Wonokarang Kec. Balongbendo Sidoarjo

v|Page
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Eksistensi Nahdhatul Ulama (NU) dalam Bingkai NKRI dan Paradigma Nahdhatul
Ulama (NU) dalam Dakwah Islam dan Kebangsaan ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dalam mata kuliah Sejarah Peradaban Islam yang diampuh oleh Bapak Dr.
Mohammad Arif, MA. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang konstribusi Nahdhatul Ulama (NU) dalam islam, bangsa dan
Negara.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Mohammad Arif, MA,
selaku dosen mata kuliah Sejarah Peradaban Islam yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi
yang kami pelajari.kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu kami sangat mengharap kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Kediri, 25 Juni 2020

Penulis

vi | P a g e
DAFTAR ISI

IDENTITAS MAHASISWA ..................................................................................i

KATA PENGANTAR ...........................................................................................vi

DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1

1.1 Latar Belakang .......................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan ....................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................5

2.1 Eksistensi NU dalam Bingkai NKRI .....................................................5


2.1.1 Kontribusi NU dalam Melawan Penjajah ............................5
2.1.2 Keterlibatan NU sebagai PPKI ..........................................10
2.1.3 Upaya NU dalam Menjaga Keutuhan dan Mempertahankan
NKRI ..................................................................................13
2.1.4 Peran NU saat Reformasi ...................................................17
2.1.5 Peran NU dalam Bidang Pendidikan .................................19
2.1.6 Peran NU dalam Bidang Ekonomi .....................................21
2.1.7 Peran NU dalam Bidang Politik .........................................23
2.1.8 Peran NU dalam Masa Orde Baru ......................................28
2.2 Paradigma NU dalam Dakwah Islam dan Kebangsaan........................30
2.2.1 Dakwah ..............................................................................30
2.2.2 Paham Keagamaan NU ......................................................35
2.2.3 Islam Nusantara dalam Bentuk Dakwah ............................40
2.2.4 Konsep Dasar Berpolitik NU .............................................43
2.2.5 Tujuan Politik NU ..............................................................44
2.2.6 Paradigma Politik NU ........................................................45
2.2.7 Peranan Ideal NU dalam Kancah Perpolitikan Bangsa ......50

vii | P a g e
BAB III PENUTUP ..............................................................................................55

3.1 Kesimpulan ..........................................................................................55


3.2 Saran.....................................................................................................56

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................57

viii | P a g e
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, tidak dapat dipungkiri


bahwa peran dan konstribusi Nahdhatul Ulama (NU) sangatlah besar.
Sebagai organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, NU memiliki rasa
memiliki dan tanggung jawab yang sangat kuat, baik secara jama’ah (umat).
Fakta ini dapat kita lihat dari perjuangan para kyai dalam memperjuangkan
tanah air, mulai dari sebelum kemerdekaan, saat kemerdekaan, setelah
kemerdekaan hingga saat ini. Dalam hal pendidikan, ekonomi, politik,
social, dan dalam upaya menjaga dan mempertahankan keutuhan NKRI.
Apapun yang selama ini dilakukan oleh NU bukanlah hanya sekedar
pencitraan belaka, melainkan memang dari tekad yang terdalam serta
keikhlasan para sesepuh-sesepuh NU sebagai langkah perjuangan
mengayomi masyarakat, yang kemudian langkah-langkah tersebut
dituangkan dalam kebijakan-kebijakan dalam organisasi.

Dalam pengabdian kepada msyarakat, para ulama-ulama tidak


hanya mengurus perihal ibadah dan permasalahan keagamanan saja. Tetapi
juga dalam berbagai aspek dilingkungannya. Salah satunya adalah adanya
gerakan Nahdhatul Wathon (kebangkitan kebangsaan) pada tahun 1916,
yang dipimpin oleh para kyai. Gerakakn tersebut muncul sebagai respon
karena adanya penindasan yang dilakukakan oleh penjajah kepada
masyarakat pribumi.

Gerakan ini merupakan bentuk keberpihakan para ulama kepada


rakyat yang terdzalimi. Semangat yang menggelora pada saat itu dapat
memunculkan rasa cinta tanah air pada masyarakat, yang bertujuan untukm
berjuang bersama-sama melawan imperalisme dan mengusir penjajah
dalam mencapai cita-cita kemerdekaan. Nahdhatul Wathon inilah yang
menjadi salah satu factor didirikannya Nahdhatul Ulama pada 31 Januari
1926.

1|Page
Ketika bangsa Indonesia sedang memperjuangkan kemerdekaannya,
NU juga memiliki peran dan konstribusinya yaitu adanya beberapa tokoh
NU yang turut terlibat, termasuk dalam kelompok BPUPKI dan PPKI.
Tokoh dari NU yang mewakili pada saat itu adalah K.H A. Hasyim Asy’ari
(Ayah Gusdur). Beliau juga merupakan ulama yang ikut serta dalam
merumuskan dasar Negara Indonesia. Pasca kemerdekaan pada 17 Agustus
1945, saat rakyat mulai merasakan kebebasan dari penjajah, mereka
terpaksa kembali terusik dengan rencana hadirnya sekutu ke Indonesia. Hal
ini kembali memanggil rasa tanggung jawab para ulama untuk terus
mempertahankan kemerdekaan Negara Indonesia yang telah dideklarasikan
oleh Ir. Soekarno.

Rois Akbar Suriah NU, K.H Hasyim Asy’ari secara langsung


mengumpulkan para ulama untuk berkonsolidasi dan mengambil sikap
sehingga lahirlah deklarasi yang disebut Resolusi Jihad. Resolusi Jihad ini
merupakan semangat nasionalisme para kyai untuk mempertahankan
kemerdekaan dan mengawal kelangsungan NKRI dalam segala bidang.

Selain itu, NU juga ikut berkostribusi dalam mewujudkan cita-cita


keadaban bangsa. Sebab NU dilahirkan tidak hanya ditujukan kepada
jamaahnya, namun bagaimana NU bisa memberikan sumbangsihnya kepada
bangsa.

Pertama, NU telah merumuskan konsep mabadi’ khoirot ummat


(prinsip dasar umat terbaik) yang didasarkan pada orientasi moral sebagai
perubahan sosial-ekonomi masyarakat. Kedua, dalam ranah keagamaan,
NU telah berhasil merumuskan gagasan dasar tentang tawassuth (moderat),
tasamuh (toleransi), tawazun (keseimmbangan), dan I’tidal (keadilan).
Ketiga, NU telah mempelopori penerimaan dan pengamalan Pancasila
sebagai asas bernegara dan bermasyarakat yang bisa diterima oleh warga
Negara Indonesia yang majemuk.

Proses yang begitu baik dalam tubuh NU di Negara ini seperti


perahu yang mendayung diantara dua pulau, yaitu sebagai gerakan sosial
keagamaan dan keumatan sekaligus kekuatan politik (political power)

2|Page
berbasis massa atau umat yang terus melekat dalam gerakan cultural,
nalar,dan aktualisasi spirit social kebangsaannya.

NU senantiasa dipandang sebagai representasi Islam tradisional (is)


Indonesia yang sedemikian mengakar dan memiliki paradigma sosial yang
terbilang tangguh. Paradigma politik NU senantiasa terus sejalan dan
senafas dengan prinsip-prinsip dasar Ahlussunnah Wal Jama’ah, yang telah
diamalkan dan diajarkan oleh pendiri NU dalam kancah perpolitikan secara
makro.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana Kontribusi NU dalam Melawan Penjajah?
1.2.2 Bagaimana Keterlibatan NU sebagai PPKI?
1.2.3 Bagaimana Upaya NU dalam Menjaga Keutuhan dan
Mempertahankan NKRI?
1.2.4 Bagaimana Peran NU saat Reformasi?
1.2.5 Bagaimana Peran NU dalam Bidang Pendidikan?
1.2.6 Bagaimana Peran NU dalam Bidang Ekonomi?
1.2.7 Bagaimana Peran NU dalam Bidang Politik?
1.2.8 Bagaimana Peran NU pada Masa Orde Baru?
1.2.9 Apa pengertian Dakwah?
1.2.10 Bagimana Islam Nusantara dalam Bentuk Dakwah Kultural dan
Struktural?
1.2.11 Bagaimana Paham Keagamaan NU?
1.2.12 Bagaimana Konsep Dasar Berpolitik NU?
1.2.13 Apa Tujuan Politik NU?
1.2.14 Bagaimana Paradigma Politik NU?
1.2.15 Bagimana Peranan Ideal NU dalam Kancah Perpolitikan Bangsa?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Untuk mengetahui Kontribusi NU dalam Melawan Penjajah.
1.3.2 Untuk mengetahui Keterlibatan NU sebagai PPKI.

3|Page
1.3.3 Untuk mngetahui Upaya NU dalam Menjaga Keutuhan dan
Mempertahankan NKRI.
1.3.4 Untuk mengetahui Peran NU saat Reformasi.
1.3.5 Untuk mengetahui Peran NU dalam Bidang Pendidikan.
1.3.6 Untuk mengetahui Peran NU dalam Bidang Ekonomi.
1.3.7 Untuk mengetahui Peran NU dalam Bidang Politik.
1.3.8 Untuk mengetahui Peran NU pada Masa Orde Baru.
1.3.9 Untuk mengetahui pengertian Dakwah.
1.3.10 Untuk mengetahui Islam Nusantara dalam Bentuk Dakwah Kultural
dan Struktural.
1.3.11 Untuk mengetahui Paham Keagamaan NU.
1.3.12 Untuk mengetahui Konsep Dasar Berpolitik NU.
1.3.13 Untuk mengetahui Tujuan Politik NU.
1.3.14 Untuk mengetahui Paradigma Politik NU.
1.3.15 Untuk mengetahui Peranan Ideal NU dalam Kancah Perpolitikan
Bangsa.

4|Page
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 EKSISTENSI NU DALAM BINGKAI NKRI


2.1.1 Kontribusi NU dalam Melawan Penjajah
Belanda sebagai bangsa yang paling lama menguasai bangsa
Indonesia sudah melakukan banyak kebijakan-kebijakan yang sangat
merugikan rakyat Indonesia Sikap kolonial Belanda telah
menumbuhkan benih-benih ketidakpuasan bangsa Indonesia sehingga
para pemuka agama menghimpun kekuatan melalui dunia pesantren
diantaranya adalah Nahdlatul Ulama (NU). Ditambah adanya
beberapa program kristenisasi yang digalakkan oleh penjajah Belanda
di bumi nusantara ini menjadikan Nahdlatul Ulama bangkit
menghimpun laskar-laskar kekuatan (ḥizbullāh) untuk melawan
penjahan Belanda yang dianggap kafir dan dhalim. NU dengan segala
kekuatan yang ada pada tingkat komunitas masyarakatnya secara
menyeluruh memberikan pengaruh yang mengakibatkan munculnya
kelompok baru yang disebut ulama dan santri, yang kemudian karena
kekuatan NU ini semakin lama semakin kuat, maka olehpenjajah
Belanda ingin dijauhkan dari pengaruh politiknya.
Menurut Alamsyah Ratu Perwiranegara, pandangan dan cara
hidup Islam yang memunculkan ulama dengan pesantrennya,
dinyatakan tidak hanya dengan mengadakan perubahan sosial saja,
tetapi lebih cenderung menumbuhkan revolusi sosial sebagai
perubahan yang radikal dan meluas yang berdasar pada perubahan
sikap mental. Arus perubahan seperti ini pada gilirannya mendapatkan
tantangan baru, yakni adanya agresiperdagangan dan agamayang
dilancarkan oleh imperialis Barat. Menjawab tantangan ini, para
ulama bekerjakeras untuk membina santri-santrinya agar memiliki
sikap combativespirit(semangat siap tempur). Pesantren yang tadinya
merupakan lembagapendidikan, bertambah fungsinya sebagai tempat
kegiatan membina pasukansukarela yang akan disumbangkan

5|Page
untukmempertahankan agama, bangsa danNegara Kesatuan Republik
Indonesia.1
Menurut Thomas Stamford Raffles, peran kelompok ulama
yang strategis ini bukanlah hasil dari voting (pemilihan suara) atau
dari pengaruh karismaraja, tetapi lahir dari perkembangan Islam itu
sendiri yang memandang ulama sebagai kelompok intelektual Islam,
dan tampaknya telah menjadi watak dasar bangsa Indonesia yang
selalu mengangkat kalangan berilmu sebagai pemimpinnya.
Kehadiran ulama dalam masyarakat telah diterima sebagai pelopor
pembaharuan, dan pengaruh ulama pun semakin mendalam setelah
berhasil membina pesantren. Eksistensi ulama jangan dilihat hanya
sekedar sebagai pembina pesantren saja, akan tetapi peranannya
dalam sejarah perjuanganbangsa cukup militan. Sekalipun banyak
penulis sejarah yang menyingkirkanperan para ulama dalam karyanya,
namun Raffles menuliskan betapa besarperanan ulama dalam
menunjang para Sultan melawan Belanda. Menurutnya,“ulama
merupakan kelompok intelektual yang sangat kuat dan
membahayakandi tangan penguasa-penguasa pribumi dalam rangka
melawan penjajahanBelanda dan kelompok ulama senantiasa aktif
menggerakkan perjuangan danmemberikan spirit untuk melakukan
pemberontakan pada penjajahBelanda”. Kelanjutan dari pengaruh
ulama yang demikian luas tersebut tidakhanya terbatas di bidang
politik dan militer saja, melainkan meluas jugaterhadap ekonomi yang
telah meninggalkan bekas-bekasnya baik berupaaktivitas
perdagangan, tukar menukar barang ekonomi, kegiatan
perniagaanlain yang produktivitasnya untuk menopang perekonomian

1Pesantren tidak hanya merupakan lembaga pendidikan, tetapi juga merupakan


lembagapenyemaian kader-kader pemimpin rakyat, sekaligus berfungsi sebagai wahana merekrut
prajuritsukarela yang memiliki keberanian moral yang tinggi. Di hatinya telah ditanamkan ajaran
jihad untukmembela agama, Negara dan bangsa dengan harta, ilmu, dan jiwanya. ajaran yang
dijiwaiIslam ini merupakan faktor psikologis yang sangat penting dalam menghadapi apapun.
Lihat: AbdulGhoffir Muhammad, “Pesantren and Tarekat in the Modern Era: An Account of the
Transmission ofTraditional Islam in Java”, Jurnal Studia Islamika, Vol. 4, No. 1, 1997, h. 17-25.
Lihat juga: Bernard H.M.Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia (Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2010), h. 391.

6|Page
keluarga dan perjuanganagama. Pasar tidak hanya merupakan
kegiatan jual beli barang dagangan,tetapi juga dijadikan arena dakwah,
sehingga kegiatan pasar sangat dipengaruhioleh hari-hari besar Islam.
Jadi, Islam sebagai agama yang disebarkandi Indonesia oleh para
ulama, memiliki peran yang positif dalam menunjangkegiatan-
kegiatan sosial, politik dan kegiatan perekonomian danperdagangan.
Kalau kita perhatikan data di atas, jelaslah bahwa kepentingan
Belanda diIndonesia mendapatkan rintangan dari ulama, terutama di
bidang perdagangandan kebijakan politik kolonial. Belanda melihat
kegiatan umat Islam yang mempunyaidwi fungsi sebagai pedlar
missionaries (da’i dan pedagang), mengakibatkanusaha perdagangan
Belanda menghadapi ancaman dari umat Islam,maka tidaklah
mengherankan kalau Islam dijadikan sebagai senjata politikdalam
melawan Calvinisme VOC Belanda. Para ulama dan para kiai
mempunyaipengaruh yang sangat besar, terlebih karena sifat
pendidikan agama dipesantren, pondok yang mengarah pada orientasi
vertikal kalangan santrikepada para gurunya —yang dalam filosofis
diartikan harus di“gugu” dandi”tiru” menyebabkan pengaruh
kewibawaan para ulama dan kiai sangatbesar. Karena itulah, dalam
menjangkau perspektifpembangunan politik diIndonesia dalam arti
yang seluas-luasnya, para ulama sangat berperan penting dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 2
Peran ulama dalam perjuangan kemerdekaan negara Republik
Indonesia tidak hanya sebagai pengobar semangat santri dan
masyarakatnya, akan tetapi juga bertujuan “mempengaruhi”
pemerintah agar segera menentukan sikap melawan kekuatan asing
yang ingin menggagalkan kemerdekaan negara Republik Indonesia.

2
Data sejarah di atas memberikan ilustrasi kepada kita tentang betapa besarnya peranan ulamadalam
setiap perlawananbersenjata. Tidak hanya terlihat sekedar sebagai pembina pesantren, tetapi
telahdiakui oleh Thomas Stamford Raffles bahwa ulama merupakan partnership para pengusaha
dalammelawan usaha perluasan kekuasaan asing di Indonesia. Dengan demikian, ulama memegang
perananmultifungsi, termasuk bidang politik dan militer. Lihat dalam buku: Ahmad Mansur
Suryanegara, MenemukanSejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1996)
h. 238.

7|Page
Jauh sebelumnya, yaitu masa pendudukan Jepang, kaum ulama dan
santrinya sudah bersiap-siap menyusun kekuatan. Laskar
Ḥizbullah 3 (Tentara Allah) dan Sabīlillāh (Jalan Allah) didirikan
menjelang akhir pemerintahan Jepang, dan mendapat latihan
kemiliteran di Cibarusah, sebuah desa di Kabupaten Bekasi, Jawa
Barat. Laskar Ḥizbullāh berada di bawahkomando spiritual KH.
Hasyim Asy’ari dan secara militer dipimpin oleh KH. Zaenul Arifin.
Adapun laskar Sabīlillāh dipimpin oleh KH. Masykur, dia adalah
pemuda pesantren dan anggota Ansor NU (ANU) sebagai pemasok
paling besar dalam keanggotaan Ḥizbullāh. Peran kiai dan santri
dalam perang kemerdekaan ternyata tidak hanya dalam laskar
Ḥizbullāh dan Sabīlillāh saja, tetapi banyak diantara mereka yang
menjadi anggota tentara PETA (Pembela Tanah Air).
Menurut Martin van Bruinessen, lahirnya “Resolusi Jihad”
tidak terlepasdari peran Ḥizbullāh, peran mereka nyata terlihat setelah
berkumpulnya parakiai se-Jawa dan Madura di kantor ANO (Ansor
Nahdlatul Oelama) pada tanggal21 Oktober 1945. Setelah rapat
darurat sehari semalam, maka pada 22 Oktoberdideklarasikan seruan
jihad fī sabīlillāh yang belakangan dikenal dengan istilah“Resolusi
Jihad” 4
, ketika NU melihat ancaman terhadap negara yang
sudahmenyatakan proklamasi kemerdekaannya, dan sudah
mempunyai konstitusinyasendiri (UUD 1945), maka pada tanggal 22

3
Nama ḥizbullāh diambil dari kata Arab yang berarti tentara Allah, oleh karena itu dengan
terbentuknya Hizbullāh diharapkan sebagai wadah umat Islam untuk menopang cita-cita dalam
meraih kemerdekaannya. Setelah tentara Ḥizbullāh terbentuk, paratokoh Islam segera
mengkampanyekan kepada seluruh ummat Islam di Jawa, Sumatera, Kalimantan,Sulawesi dan
daerah-daerah lain di Indonesia untuk mengumpulkan para pemuda Islam yang akandididik dalam
kemiliteran.dan Menurut penelitian Agus Sunyoto, dari enam puluh bataliyon tentara PETA, hampir
separuhkomandannya adalah para kiai. Lihat: M. Mas’ud Adnan, Resolusi Jihad dalam Peristiwa
10 November, h.87..
4
Sejarawan Belanda Bruinessen mengakui bahwa “Resolusi Jihad” ini tidak mendapat
perhatianyang layak dari para sejarawan,patut diketahui, bahwa munculnya Resolusi Jihad berkat
peran pentingdari laskar ḥizbullāh dan sabīlillāh dimana laskar rakyat ini paling kuat yang pernah
hidup di bumiIndonesia Meskipun dalam sejarah,keberadaan laskar tersebut disisihkan. Buktinya,
perjuanganmereka tidak ditemukan dalam museum-museum. Boleh jadi, para laskar ini seringkali
berselisihpaham dengan pemerintah Soekarno yang tidak bersikap tegas dalam menentang
pendaratan pasukan. Sekutu dan Belanda ketika itu. Lihat; Martin van Bruinessen dalam NU:
Tradisi, Relasi-relasi Kuasa,Pencarian Wacana Baru (baca: KH. Hasyim Asy’ari: Menjaga
Tradisi Pesantren), 1997, h. 76 .

8|Page
Oktober 1945, organisasi inimengeluarkan sebuah “Resolusi Jihad”.
Sedangkan tokoh ulama NU yang memprakarsai“Resolusi Jihad” ini
adalah KH. Hasyim Asy’ari (1875-1947 M), KH.Wahab Hasbullah
(1888-1971 M), Kiai Bisri Syansuri (1886-1980 M) dan KiaiAbbad
Buntet (1879-1946 M). Ketika NU melihat ancaman terhadap
negarayang sudah menyatakan proklamasi kemerdekaannya, dan
sudah mempunyaikonstitusinya sendiri (UUD 1945), maka pada
tanggal 22 Oktober 1945, organisasiini mengeluarkan sebuah
“Resolusi Jihad”. Namun, sebelumnya NU mengirimsurat resmi
kepada pemerintah yang berbunyi: ”Memohon dengansangat kepada
pemerintah Indonesia supaya menentukan sikap dan tindakanyang
nyata serta sepadan terhadap tiap-tiap usaha yang akan
membahayakankemerdekaan agama dan negara Indonesia, terutama
terhadap Belanda dankaki tangannya. Supaya pemerintah melanjutkan
perjuangan yang bersifat fīsabīlillāh untuk tegaknya Negara Republik
Indonesia yang merdeka dan beragamaIslam.”
Adapun resolusi yang diputuskan dalam rapat para konsul NU
se-Jawa itu
berbunyi:
2.1.1.1 Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17
Agustus 1945, wajib dipertahankan.
2.1.1.2 Republik Indonesia (RI) sebagai satu-satunya pemerintahan
yang sah, wajib dibela dan diselamatkan.
2.1.1.3 Musuh negara Republik Indonesia, terutama Belanda yang
datangdengan membonceng tentara Sekutu (Inggris) dalam
masalah tawanan perang bangsa Jepang tentulah akan
menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali
menjajah Indonesia.
2.1.1.4 Umat Islam, terutama NU wajib mengangkat senjata melawan
Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah
Indonesia.

9|Page
2.1.1.5 Kewajiban tersebut adalah jihad yang menjadi kewajiban tiap-
tiapMuslim yang berada pada jarak radius 94 km (jarak dimana
umat Islamdiperkenankan shalat jamā’ dan qaṣr). Resolusi
jihad tersebut akhirnya mampu membangkitkan semangat
arekarekSurabaya untukbertempur habis-habisan melawan
penjajah. Dengansemangat takbir yang dipekikkan oleh Bung
Tomo, maka terjadilah perangrakyat yang heroik pada 10
November 1945 di Surabaya. Dari sejarah ini,warga NU dan
para elitnya, tidak menjadi alergi ketika akhir-akhir ini
adaupaya untuk mengebiri dan mengaburkan makna jihad.
Resolusi Jihad yangdiserukan KH. Hasyim Asy’ari, sebaiknya
diingat kembali untuk memberikanmotivasi kepada generasi
muda dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan
bangsa dan negara.5
2.1.2 Keterlibatan NU Sebagai Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI)
Keterlibatan Nahdlatul Ulama (NU) mempunyai arti penting
dalam perumusan Pembukaan Undang -Undang Dasar negara
Republik Indonesia, yang terbentuk dalam Panitia Sembilan dalam
BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha -Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) tahun 1945 yang menghasilkan dokumen sejarah penting,
yaitu “Piagam Jakarta”6. Syukurlah rumusan “Atas berkat

5 Tak dipungkiri, semangat ke-jam’iyyah-an NU di kalangan generasi muda kini semakin


merosot.Pada lingkup internal, banyak kader-kader muda NU yang tidak mengerti rangkaian
sejarah ResolusiJihad. Survei membuktikan, ingatan masyarakat tentang Resolusi Jihad NU
1945 yang memiliki matarantai dengan Peristiwa 10 November di Surabaya semakin punah.
“Oleh karena itu, wacana ResolusiJihad NU harus dihidupkan kembali, direkonstruksi dan
tidak ditempatkan pada upaya politisasisejarah. Tanpa Resolusi Jihad, tidak akan ada NKRI
seperti yang kita cintai saat ini,” kata Gugun El-Guyanie, penulis buku Resolusi Jihad Paling
Syar’i. Jangankan masyarakat umum, generasi-generasipenerus NU dari pusat sampai ranting,
Ansor-Fatayat, IPNU-IPPNU pun banyak yang tidak mendapatkantransfer sejarah mengenai
resolusi penting itu. Lihat: M. Mas’ud Adnan, Resolusi Jihad dalam
Peristiwa 10 November, h. 101.
6“Piagam Jakarta” adalah naskah Pembukaan (Preambule) Undang-undang Dasar (UUD) 1945

yang disiapkan untuk konstitusi Negara Indonesia merdeka. Ketika naskah pembukaan itu sudah
disepakati, maka naskah-naskah rincian pasal-pasal dalam UUD 1945 masih menjadi masalah yang
diperdebatkan. Dalam sidang BPUPKI tanggal 13 Juli 1945, KH Wahid Hasyim mengusulkan, agar
Presiden adalah orang Indonesia asli dan “yang beragama Islam”. Begitu juga draft pasal 29 diubah

10 | P a g e
rahmat Allah “ , itu tidak dituntut untuk dicoret sebagaimana rumusan
tujuh kata “(Ketuhanan) dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya”, seperti kita pahami “tujuh kata” itu
kemudian dicoret dalam sidang PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) tanggal 18 Agustus 1945. Bung Hatta
mengaku, ia mendapat telepon dari seorang perwira Jepang yang
mengaku menyampaikan aspirasi kaum Kristen Indonesia Timur,
bahwa mereka tidak mau bergabung dengan NKRI jika “tujuh kata”
itu tidak dihapus 7. Hingga kini, peristiwa seputar pencoretan “tujuh
kata” itu masih misterius, sebab sampai meninggalnya Bung Hatta
tidak membuka siapa sebenarnya perwira Jepang yang meneleponnya
tersebut8
Menurut KH. Wahid Hasyim, bahwa toleransi yang dilakukan
oleh NU dan tokoh-tokoh pejuang Muslim lain yang menerima untuk
menghapus “tujuh kata” dan menerima tuntutan kaum Kristen
Indonesia Timur, itu semua merupakan pengorbanan dan perjuangan
para ulama NU demi terpeliharanya kemerdekaan dan juga demi
persatuan dan kesatuan NKRI.9 Kita perlu mengingat kembali, bahwa
setelah “Piagam Jakarta” ditetapkan, masih ada sebagian anggota
BPUPKI yang menggugatnya. Akhirnya, Bung Karno sendiri

dengan ungkapan: “Agama Negara ialah agama Islam”, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang
yang beragama lain, untuk dan sebagainya..... Menurut KH. Wahid Hasyim: “Hal ini erat
perhubungan dengan pembelaan, pada umumnya pembelaan yang berdasarkan atas kepercayaan
sangat hebat, karena menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi agama.”
Lihat: Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama dan Santrinya & Resolusi Jihad..., h. 208.
7Bung Hatta berkata: “Pada sore harinya saya menerima telepon dari Nisyijima, pembantu Admiral

Maeda menanyakan, dapatkah saya menerima seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut), karena ia
mau mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi indonesia. Nisyijima sendiri yang akan
menjadi juru bahasanya. Saya persilahkan mereka datang. Opsir itu yang saya lupa namanya,
datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan dengan sungguh-sungguh, bahwa wakil-
wakil Protestan dan Katolik dalam daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang,
berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam pembukaan Undang -Undang Dasar, yang
berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Lihat: Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, (Jakarta: Tintamas Press, 1969), h.
66-67.
8Nurlira Goncing, “Politik Nahdlatul Ulama dan Orde Baru”, The Politics: Jurnal Magister Ilmu

Politik UNHAS, Vol01, Number 1, 2015, h. 68.


9Contoh pengorbanan yang dilakukan oleh ulama Indonesia adalah KH. Wahid Hasyim, beliau

Usul KH. Wahid Hasyim disokong oleh Soekiman. Lihat: Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama
dan Santrinya & Resolusi Jihad ..., h. 21

11 | P a g e
menegaskan: “Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk
menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat
sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan, saya kira sudah jelas bahwa
kalimat “dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya....” sudah
diterima oleh Panitia ini” 10 Inilah debat panjang yang akhirnya
menelorkan sikap kompromis yang sebaik-baiknya antara kaum
muslimin dan kristen. Sehingga panitia memegang teguh akan
kompromis yang dinamakan oleh anggota yang terhormat Muh.
Yamin dengan nama “Djakarta Charter”, yang disertai perkataan
Tuan anggota Soekiman, gentlemen agreement, hal ini supaya
dipegang teguh di antara pihak Islam dan pihak kebangsaan.” 11
Piagam Jakarta adalah cikal bakal materi Pembukaan UUD
1945 oleh karena materi Piagam Jakarta kemudian dijadikan materi
pembukaan (preambule) UUD 1945. Piagam Jakarta berisi pula
kalimat proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dinyatakan pada 17
Agustus 1945. Persiapan yang dilakukan oleh para tokoh bangsa
termasuk salah satu perumus Pancasila yaitu KH. Abdul Wahid
Hasyim dari kalangan tokoh agama, beliau melakukan langkah
dengan menggelar rapat di Taman Raden Saleh Jakarta pada tanggal
13-14 September 1944. Sebulan kemudian, Masyumi mengadakan
rapat khusus dengan kesepakatan untuk mengajukan resolusi kepada
Jepang agar segera mempersiapkan umat Islam Indonesia untuk siap
menerima kemerdekaan. Di saat tentara Negara belum efektif
terutama jalur komandonya, Laskar ulama dan santrinya telah sigap
menghadapi berbagai ancaman yang akan terjadi. Bahkan konsolidasi
dan jalur komando laskar Ḥizbullāh dengan dukungan struktur
Nahdlatul Ulama (NU) dan Masyumi begitu massif hingga ke

10Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, (Jakarta: Tintamas Press, 1969), h. 19.
Lihat juga dalam: Panji Islam, No. 29,22 Juni 1940, sebagaimana dikutip oleh Deliar Noer,
Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta LP3ES, 1980), h. 308
11 A.B. Kusuma, Lahirnya Undang -Undang Dasar 1945 (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, 2004), h. 85.

12 | P a g e
pedesaan. Sebagai bentuk dukungan, laskar tetap loyal terhadap
negara, ini ditandai dengan meleburnya laskar Ḥizbullāh dan
Sabīlillāh NU ke dalam TNI dan terus aktif terlibat dalam berbagai
serangan umum terhadap markas Belanda. Kegigihan para pejuang
TNI dan laskar Ḥizbullāh,Sabīlillāh NU menunjukkan kepada dunia
bahwa bangsa Indonesia tetap eksis meskipun ibukota sudah diluluh
12
lantahkan oleh kolonial Belanda. Perjuangan ini akhirnya
membuahkan hasil dengan diakuinya kedaulatan negara Republik
Indonesia dalam perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB), 13
yang hasil keputusannya adalah Kerajaan Belanda menyerahkan
kedaulatan negara Indonesia dan kemerdekaannya secara penuh
dengan tidak bersyarat dan tidak dicabut lagi.

2.1.3 Upaya NU dalam Menjaga Keutuhan dan Mempertahankan


NKRI
Nahdhatul Ulama’ (NU) sejak kelahirannya merupakan
organisasi yang digunakan dalam melawan segala bentuk penjajahan
dan merebut kemerdekaan Negara Indonesia. Dan juga dalam
organisasi NU juga melakukan dakwah-dakwah guna menjaga
kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. NU merupakan
ORMAS terbesar di dunia. Ada tiga yang menjadi sebab lahirnya NU

12KH. Wahid Hasyim merupakan pendiri tentara Ḥizbullah , yang dibentuk dengan beberapa
ulama yang ada dalam Masyumi yang bertujuan untuk mendidik para santri dalam bidang
kemiliteran dan untuk mempersiapkan perang melawan penjajah Belanda untuk merebut
kemerdekaan. R. Moh. Kafrawi, dkk, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar
(Bandung: Al-Ma’arif, 1958), h. 307-319
13Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan yang dilaksanakan di Den Haag Belanda,

dari 23 Agustus sampai 2 November 1949 antara perwakilan Republik Indonesia, Belanda dan BFO
(Bijeenkomst voor Federal Overleg) yang mewakili berbagai negara yang diciptakan Belanda di
kepulauan Indonesia. KMB ini dilatarbelakangi oleh usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia
dengan jalan kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia
internasional. Lihat: Zuhdi Mukhdlor, NU dan Politik, (Yogyakarta: PT. Gunung Jati dan Pondok
Pesantren al-Munawwir Krapyak, 1986), h. 21.
Lihat juga: Suryanegara, Ahmad Mansur, Api Sejarah: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri ...,
h. 54.

13 | P a g e
yakni pertama, motif agama. Kedua, untuk mempertahankan paham
ASWAJA ( Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) dan yang terakhir adalah
motif nasionalisme. Guna mempersatukan Negara Idonesia yang
awalnya terdiri dari organisasi daerah, yaitu jong java, jong Ambon,
jong Sumatera, dan lain sebagainya akhirnya NU membentuk
organisasi yang bersifat nasionalisme yakni Subban Al-wathon dan
kemudian berubah menjadi Ansor Nahdlatoel oelama’ (ANO). 14
Peran NU dalam menyatukan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yakni:

2.1.3.1 Lingkup toleransi dalam umat beragama.


Dalam ranah toleransi NU telah menjadikan toleransi sebagai
sikap yang harus diambil yang mana Negara Indonesia
merupakan Negara yang beragam baik dari segi suku, ras,
etnik, dan agama, hal ini dibuktikan pada masa Gus Dur
(Abdurrahan Wahid) yang mana sebagai presiden pada
masanya beliau menyodorkan surat perdamaian kepada negara
Cina untuk menerima agama islam di negrinya begitupun di
Indonesia, dinegara indonesia dengan senang hati menerima
agama tionghoa untuk berada di indonesia karena itulah negara
indonesia merupakan Negara Pluraslisme mengapa begitu?
Karena keberagaman agama di Indonesia yang menyebabkan
Negara Indonesia sebagai Negara pluralism. Jasa Gus Dur pun
di kenang hingga sampai sekarang.
2.1.3.2 Menangkal Radikalisme
Radikalisme adalah sebuah faham atau aliran yang
menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik
dengan cara politik dengan cara kekerasan. Perkembangan
radikalisme sangat menyita operhatian baik nasional Dan
15
internasional. Dimana di indenesia yang juga terjadi

14Amin farih. 2016. Nahdlatul Ulama (NU) dan Kontribusinya dalam Memperjuangkan
Kemerdekaan Indonesia dan Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. h. 2
15Rina sari kusuma dan nur azizah. 2016. Melawan Radikalisme.h. 11

14 | P a g e
peristiwa seperti ini seperti perubahan Negara Indonesia yang
awalnya dari Negara kesatuan dijadikan Negara islam. Ormas
(HTI) inipun masih berusaha untuk mengubah Negara
Indonesia ini. Strategi di Indonesia adalah dengan
menggandeng para petinggi NU, untuk mengikuti kajian
mereka yang mana mereka mereka datang secara langsung
untuk menawarkan ajarannya yang dibawanya itu.
Yang masih berlangsung hingga saat ini adalah
pemberontakan ISIS yang sampai saat ini tejadi di Negara
Palestina. Kesenjangan sosial di Negara muslim dan ekspansi
barat merusak nilai-nilai islam dan pemimpin dunia islam
tidak berdaya dan tunduk terhadap kemauan Barat. Ketidak
adilan global adalah kenyataan yang tidak dapat diabaikan.
Cara NU untuk mengakal radikalisme yang disampaikan
dalam Muktamar NU ke 33 di Jombang yakni :
2.1.3.2.1 Dibidang dakwah, berupa langkah-langkah afirmasi
ASWAJA an-nahdliyah sekaligus untuk menegasi
faham-faham radikalisme di masyarakat terutama
melalui program kaderisasi secara intensif. Seperti
NU mengadakan dialod internasional melalui
pengiriman delegasi ke Afganistan dan juga
mengundang ulama’ afganistan untuk datang ke
Indonesia. Dialog yang saling kunjung ini
membuahkan hasik dengan dibentuknya NU
afganistan sekitar agustus 2014 di Kabul.
2.1.3.2.2 Di bidang sosial, meliputi pelayanan sosial melalui
pemanfaatan zakat, infaq, dan shadaqoh.
2.1.3.2.3 Dalam bidang perekonomian, pemberdayaan umat
dalam bidang perekonomian yang mana orang-
orang diarahkan untuk bersemangat dalam
berwirausaha dikalangan warga nahdliyin dan
mengembangkan ekonomi syariah dengan tujuan

15 | P a g e
jangka menengah dan panjang guna membentangi
umat dari dominasi kapitalisme global.
2.1.3.3 Penumpasan PKI (Partai Komunis Indonesia)
Peristiwa G30S PKI merupakan permasalahan yang tidak
enteng di Indonesia. Terutama yang menyangkut siapa yang
menjadi pemeran didalamnya yang meninggal yakni tujuh
pwrwira besar Angkatan Darat pada tanggal 1 oktober 1965
dini hari.16 Menurut beberapa para ahli dalang dari kejadian
tersebut adalah suekarno, PKI, soeharto dan campur tangan
orang asing. Dalam tragedi di Indonesia ini, banyak sekali
pelanggaran HAM yang terjadi seperti: perbudakan,
penganiayaan, penyiksaan, pemerkosaan, dan pembantaiann.
Banyak dugaan di didalam peristiwa pemberontakan PKI ini.
Guna melancarkan serangannya kelompok ini melibatkan
warga sipil juga. Mereka memberikan training dan
persenjataan sipil pada warga yang mau ikut dengannnya.
Bahkan organisasi NASAKOM yang didiririkan oleh
Preseiden Indonesia pada masa itu yakni Ir. Suekarno difuga
ikut terlibat dalam peristiwa ini.
Dalam kalangan Nahdhatul Ulama’ (NU) dari golongan ansor
punya peran yang cukup segnifikan. Dinamika di lingkar elit
NU di Jakarta menjelaskan bahwa G30S PKI hingga
pertengahan Oktober 1965, nampaknya bisa menjadi penjelas
terjadi penyerangan terhadap PKI, khususnya di daerah Jawa
Timur.
Dalam percaturan politik Indonesia, hubungan kelompok
islam dengan kominis berlangsung dengan kecurigaan dari waktu ke
waktu. Kebangkitan NU bertujuan untuk membendung meluasnya
komunisme yang mana idelogi ini dituduh anti tuhan, suatu hal yang
pantas untuk dibenci dan diperangi. Kekafiran adalah salah satu

aan. 2017. Kemenangan Faksi Militan: Jejak Kelam Elit Nahdlatul Ulama’ Akhir
16Anshori,

September-Oktober 1965.h. 2-4

16 | P a g e
penyebab pertumpahan darah. Tensi yang menegang diantara PKI
dengan kelompok PNI-MASYUMI, yang mana NU berada di
dalamya yang mana pergesekan ini menyebabkan pergesekan yang
mudah memicu konflik terbuka. Puncak ketegangan ini memuncak
ketika peristiwa Madiun pada tahun 1948. Dalam catatan sejarawan
Onghokham menjelaskan bahwa ada tiga penyebab terjadinya
peristiwa 1948, yakni: reorganisasi rasionalisme (rera) TNI,
memburuknya perekonomian yang membuat diskursus revolusi
menjadi condong ke kiri, pengaruh perkembangan nasional dan
internasional. Dalam peristiwa ini akhirnya dimenangkan Tentara
Republik Indonesia, korban berjatuhan baik dari kelompok PKI
ataupun PNI-MASYUMI.
2.1.4 Peran NU saat Reformasi
Masa reformasi yang menjadi tanda berakhirnya kekuasaan
pemerintahan orde baru merupakan sebuah momentum bagi Nahdlatul
Ulama (NU) untuk melakukan pembenahan diri.Selama rezim orde
baru berkuasa, NU cenderung dipinggirkan oleh penguasa saat
itu.Ruang gerak NU pada masa orde baru juga dibatasi, terutama
dalam hal aktivitas politiknya.

Pada masa reformasi inilah peluang Nahdlatul Ulama untuk


memainkan peran pentingnya di Indonesia kembali terbuka.NU yang
merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia, pada awalnya lebih
memilih sikap netral menjelang mundurnya Soeharto. Namun sikap
ini kemudian berubah, setelah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU) mengeluarkan sebuah pandangan untuk merespon proses
reformasi yang berlangsung di Indonesia, yang dikenal dengan
Refleksi Reformasi.

Refleksi reformasi ini berisi delapan butir pernyataan sikap


dari PBNU, yaitu :

2.1.4.1 Nahdlatul Ulama memiliki tanggung jawab moral untuk turut


menjaga agar reformasi berjalan kea rah yang lebih tepat.

17 | P a g e
2.1.4.2 Rekonsiliasi nasional jika dilaksanakan harus ditujukan untuk
merajut kembali ukhuwah wathaniyah (persaudaraan
kebangsaan) dan dirancang kearah penataan sistem
kebangsaan dan kenegaraan yang lebih demokratis, jujur dan
berkeadilan.
2.1.4.3 Reformasi jangan sampai berhenti di tengah jalan, sehingga
dapat menjangkau terbentuknya sebuah tatanan baru dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
2.1.4.4 Penyampaian berbagai gagasan yang dikemukakan hendaknya
dilakukan dengan hati-hati, penuh kearifan dan didasari
komitmen bersama serta dihindari adanya pemaksaan
kehendak.
2.1.4.5 Kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu harus disikapi
secara arif dan bertanggung jawab.
2.1.4.6 TNI harus berdiri di atas semua golongan.
2.1.4.7 Pemberantasan KKN harus dilakukan secara serius dan tidak
hanya dilakukan pada kelompok tertentu.
2.1.4.8 Praktik monopoli yang ada di Indonesia harus segera dibasmi
tuntas dalam setiap praktik ekonomi.

Pada perkembangan selanjutnya, PBNU kembali


mengeluarkan himbauan yang isinya menyerukan agar agenda
reformasi diikuti secara aktif oleh seluruh lapisan dan jajaran
Nahdlatul Ulama. Himbauan itu dikeluarkan pada tanggal 31
Desember 1998 yang ditandatangani oleh K.H. M. Ilyas Ruhiyat, Prof.
Dr. K.H. Said Agil Siraj, M.A., Ir. H. Musthafa Zuhad Mughni dan
Drs. Ahmad Bagdja.

Menjelang Nopember 1998, para mahasiswa yang merupakan


elemen paling penting dalam gerakan reformasi, makin menjadi tidak
sabar dengan tokoh-tokoh nasional yang enggan bergerak cepat dalam
gerakan reformasi ini. Pada tanggal 10 Nopember 1998 para
mahasiswa merancang sebuah pertemuan dengan mengundang
K.H.Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Prof.Dr. Amien

18 | P a g e
Rais dan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Tempat pertemuan ini
dipilih di Ciganjur (rumah K.H. Abdurrahman Wahid), karena kondisi
kesehatan K.H. Abdurrahman Wahid saat itu belum sembuh total dari
serangan stroke yang menimpanya.

Keempat tokoh nasional pro reformasi tersebut membentuk


sebuah kelompok yang sering disebut Kelompok Ciganjur. Kelompok
ini kemudian mengeluarkan sebuah deklarasi yang dikenal dengan
Deklarasi Ciganjur, yang berisi delapan tuntutan reformasi, yaitu :

2.1.4.1 Menghimbau kepada semua pihak agar tetap menjunjung


tinggi kesatuan dan pesatuan bangsa.

2.1.4.2 Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan


memberdayakan lembaga perwakilan sebagai penjelmaan
aspirasi rakyat.

2.1.4.3 Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat sebagai asas


perjuangan di dalam proses pembangunan bangsa.

2.1.4.4 Pelaksanaan reformasi harus diletakkan dalam perspektif


kepentingan yang akan datang.

2.1.4.5 Segera dilaksanakan pemilu oleh pelaksana independent.

2.1.4.6 Penghapusan dwi fungsi ABRI secara bertahap, paling


lambat 6 tahun dari tanggal pernyataan ini dibacakan.

2.1.4.7 Menghapus dan mengusut pelaku KKN, yang diawali dari


kekayaan Soeharto dan kroni -kroninya.

2.14.8 Mendesak untuk segera dibubarkannya PAM Swakarsa

Gerakan reformasi harus dijalankan dengan cara-cara yang


damai dan menolak segala bentuk tindakan kekerasan atas nama
reformasi. Di berbagai wilayah Indonesia digelar istighosah yang
bertujuan untuk memohon kepada Allah SWT agar bangsa Indonesia
dapat segera terbebas dari krisis yang sedang melanda.Istighosah

19 | P a g e
terbesar yang diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama diadakan di
Jakarta pada bulan Juli 1999, yang dihadiri tokoh-tokoh
nasional.Dengan penyelengaraan istighosah, diharapkan dapat
mempererat silaturahim dan mengurangi ketegangan antar komponen
bangsa.17

2.1.5 Peran NU dalam Bidang Pendidikan


Dalam bidang pendidikan NU merupakan manifestasi modern
dari kehidupan keagamaan, social dan budaya dari para kiayi, dengan
demikian pesantren, Nahdlatul Ulama dan para kiai sebagai sentral
selalu mengaitkan diri dalam membentuk masyarakat, kekompakan
itu merupakan lembaga yang mempunyai peran kuat dalam
perkembangan Islam yang ditingkatkan melalui intuisi yang bergerak
dalam bidang pendidikan. Pertama, pendidikan Islam meberikan
pengaruh terhadap sosio-kultural, dalam arti memberikan wawasan
dan pandangan motivasi prilaku,kedua pendidikan Islam dipengaruhi
oleh perubahan sosial dan lingkungan sosial-kultural dalam penentuan
sistem pendidikan pesantren adalah model pendidikan yang sama
tuannya dengan Islam di Indonesia, jika dilihat dari keberadaannya,
pesantren merupakan institusi pendidikan dan dakwah Agama Islam,
dalam wacana ini, menjalankan fungsi pendidikan merupakan tugas
pokok dari semua pesantren .

Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat diambil


kesimpulan bahwa kontribusi merupakan suatu keterlibatan yang
diberikan oleh individu atau badan tertentu dalam bentuk
keikutsertaan atau sumbangan dalam kegiatan tersebut.Nahdlatul
Ulama adalah organisasi atau perkumpulan sosial yang mementingkan
pendidikan dan pengajaran Islam. 18

17Aceng Abdul Aziz Dy. Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah di indonesia. Pustaka Ma’arif NU:
Jakarta: 2006
18
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam,(Jakarta:PT Bumi Aksara,1994) hlm. 182 .

20 | P a g e
Sejarah membuktikan bahwa peran dan sumbangan Nahdlatul
Ulama (NU) tidaklah kecil terhadap mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sumbangan ini tampak lebih besar, jika dilihat betapa lembaga
pendidikan (NU) seperti pesantren,madrasah,atau sekolah (NU) yang
didirikan secara tradisional hingga saat ini berkembang dengan pesat
dan bahkan menjadi pilihan umat. Nahdlatul Ulama (NU) dapat
memainkan peran khusus dan memberikan sumbangan berharga untuk
upaya penataan kembali sistem pendidikan nasional, peranan maupun
sumbangan Nahdlatul Ulama (NU) pada dasarnya dapat dilihat
sebagai berikut :

2.1.5.1 Sistem pendidikan yang dikembangkan NU berwatak mandiri,


misalnya dalam pengelolaannya, sehingga jiwa kemandirian
tersebut bila dikembangkan dapat menjadi sumbangan bagi
pendidikan Nasional
2.1.5.2 Perpaduan antara jiwa penggerakan dan keharusan
mengorganisasi diri. Imam Suprayogo mengungkapkan bahwa
dalam perkembangannya, NU telah menetapkan lembaga
pendidikannya pada posisi strategis yaitu sebagai lembaga
pendidikan alternative posisi yang bersifat partisipasif, oleh
karena itu peran-peran NU dalam pendidikan sesungguhnya
amat kaya dan strategis.

Peran pendidikan NU yang bersifat alternatif adalah


pendidikan pesantren yang dikelola dan dikembangkan secara
individual oleh para ulama dan tokoh ulama yang juga sudah
memberikan sumbangan besar pada masyarakat, pemerintah dan
bangsa ini. NU juga terus memberikan pemahaman dengan
mengenalkan warisan kebudayaan dikalangan Ahlusunnah
Waljama’ah dalam bentuk bacaan-bacaan atau pelajaran madrasah,
kesenian-kesenian dan lain sebagainya.19

2.1.6 Peran NU dalamBidang Ekonomi

19Ali Rahim, Nahdlatul Ulama’ Peranan dan Sistem Pendidikannya, hlm 179-181.

21 | P a g e
Pada perkembangannya, ekonomi diseluruh dunia telah
tercemar dengan sistem ekonomi kapitalis, sistem ekonomi sosialis
dan sistem ekonomi lainnya yang tidak memberikan rasa adil dan
ketentraman bagi umat manusia. Oleh karena itu diperlukan sebuah
sistem ekonomi yang bersifat universal dan memberikan rasa adil bagi
seluruh umat manusia. Dalam banyak ayat Allah SWT
memerintahkan manusia untuk berbuat adil. Islam mendefinisikan
adil sebagai “tidak mendzalimi dan tidak di dzalimi.” Implikasi
ekonomi dari nilai ini adalah bahwa pelaku ekonomi tidak dibolehkan
untuk mengejar keuntungan pribadi bila hal itu merugikan orang lain
atau merusak alam. Tanpa keadilan, manusia akan terkotak-kotak
dalam berbagai golongan. Golongan yang satu akan mendzalimi
golongan yang lain, sehingga terjadi eksploitasi manusia atas manusia.
Masing-masing berusaha mendapatkan hasil yang lebih besar
daripada usaha yang dikeluarkannya karena kerakusannya.20

Bagi semua orang, berekonomi dalam pengertian berbuat


untuk mendapat nafkah hidup adalah suatu kebutuhan mutlak. Bagi
orang beragama, berekonomi adalah perintah Allah swt dan
pelaksanaannya harus disesuaikan dengan ajaran dan hukum agama.
Berekonomi adalah sarana mutlak untuk memelihara kelangsungan
hidup di dalam hidup itulah orang dapat ibadah, berbuat sesuatu untuk
kepentingan agama, bangsa dan Negara. Berekonomi dalam Islam
bukan sekedar memenuhi kebutuhan pokok bagi diri sendiri dan
keluarga. Islam mendorong secara tegas supaya pemeluknya memiliki
harta benda yang berlebih dari kebutuhan pokoknya sehingga mampu
melaksanakan kewajiban berzakat. Mampu berzakat berarti memiliki
harta benda sedikitnya satu nisab. Islam tidak menyenangi kemiskinan
bahkan mengajarkan pemberantasan kemiskinan antara lain dengan
kewajiban membayar zakat.

20QS Al-Fajr, dalam Akhmad Mujahidin, ekonomi Islam (Jakarta:PT. Raja Grafindo 1Persada,
2007), h.15.

22 | P a g e
NU tidak melupakan aspek ekonomi dalam program kerjanya
yang permanen, karena seluruh warganya berekonomi dan dalam
berekonomi itu harus ditaati dan diikuti ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan oleh agama. Dalam Anggaran Dasar Nahdlarul Ulama
pasal 6 huruf d ditegaskan bahwa di bidang ekonomi, mengusahakan
terwujudnya pembangunan ekonomi dengan mengupayakan
pemerataan kesempatan untuk berusaha dan menikmati hasil-hasil
pembangunan dengan mengutamakan tumbuh dan berkembangnya
ekonomi kerakyatan. Dengan demikian jelas bahwa kesejahteraan
umat merupakan masalah yang menjadi perhatian utama Nahdlatul
Ulama dalam kiprahnya di bidang ekonomi.

Pedoman Program Perekonomian Nahdlatul Ulama


didasarkan pada pokok-pokok ajaran agama dalam berekonomi, yaitu:

2.1.6.1 Mendorong para anggota untuk meningkatkan kegiatan


berekonomi demi meningkatkan kemampuan ekonominya.
2.1.6.2 Membimbing para anggotanya supaya dalam berekonomi
selalu menaati dan mengikuti hukum dan ajaran Islam.

Berangkat dari pokok-pokok ajaran di atas, maka Nahdlatul


Ulama dapat mewujudkannya dengan cara:

2.1.6.1 Membentuk koperasi tingkat bawah yang tumbuh dari


kebutuhan nyata.
2.1.6.2 Menciptakan jaringan-jaringan kerja ekonomi antara tingkat
pedesaan dengan pedesaan, perkotaan dengan perkotaan, dan
pedesaan dengan perkotaan.
2.1.6.3 Nahdlatul Ulama selalu mengajukan gagasan, ajakan dan
pengawasan tentang penentuan skala prioritas pembangunan
yang dilaksanan oleh pemerintah.
NU juga mengembangkan ekonomi melalui peran serta
pesantren karena terbukti sangat efektif. Letak pesantren yang pada
umumnya di pedesaan memungkinkan lembaga ini memahami
persoalan-persoalan desa sehingga gagasan-gagasan pengembangan

23 | P a g e
kesejahteraan yang datang dari luar dapat diserap dengan baik oleh
masyarakat setelah diolah dan disampaikan oleh pesantren.
Disamping itu, NU juga memiliki perangkat organisasi yang
mendukung program ekonominya, seperti : lembaga perekonomian
dan lembaga pengembangan pertanian.
2.1.7 Peran NU dalam Bidang Politik
Nahdlatul Ulama dalam menjalankan perannya sebagai sebuah
organisasi kemasyarakatan mempunyai nilai dasar yang menjadi
pedoman mereka termasuk dalam melakukan proses pendidikan
politik di masyarakat. Nilai dasar tersebut kemudian dikenal dengan
dengan istilah tawasuth, tasamuh, tawazun dan amar ma’ruf nahi
mungkar yang juga bisa disebut dengan kebijaksanaan, keluwesan dan
moderatisme. Dimana jika dimaknai secara etimologi masing-masing
adalah tengah-tengah, toleransi, seimbang, dan mengajak pada
kebaikan dan mencegah hal yang buruk bagi masyarakat.

Dalam memaknai konsep nilai dasar tersebut, pada prakteknya


warga NU terkadang masih besar dipengaruhi pada bagaimana para
ulama kharismatik di NU dalam membumikan nilai-nilai dasar
tersebut. Dalam hal melakukan pendidikan politik, NU sebagai
organisasi Islam yang akhirnya memutuskan untuk tidak terlibat
dalam politik karena melihat manfaat yang didapatkan lebih sedikit
daripada kerugian yang nanti dihadapi. Sikap politik tersebut
kemudian populer dengan sebutan kembali ke 14 khittah yang
dimaknai sebagai sikap politik NU yang secara institusi tidak terikat
dengan partai politik atau organisasi masyarakat lain.

Konsekuensi logis dari khittah NU tahun 1926 adalah


penegasan bahwa NU tidak lagi terikat oleh PPP.16 Namun walaupun
begitu, secara personal jika terdapat warga bahkan tokoh sentral dari
NU yang memilih untuk terlibat secara aktif dalam proses dan
dinamika politik, maka bukan menjadi masalah bagi organisasi. Oleh
karena dengan dianutnya 4 nilai dasar NU setiap perbedaan persepsi
dapat disikapi secara damai. Hanya saja dalam Munas 1983, NU

24 | P a g e
menegaskan untuk pengurus NU dilarang rangkap jabatan di
organisasi politik manapun. Salah satu pertimbangan larangan
rangkap jabatan tersebut adalah akan berakibat terbaginya perhatian
dan kesungguhan untuk melaksanakan tugas sosial keagamaan tetapi
juga dapat menghambat usaha penampilan citra dan pelaksanaan
kembalinya NU sebagai kelompok keagamaan. Dalam hal
keterlibatan personal warga NU disikapi dengan syarat bahwa warga
NU tersebut dalam keterlibatannya dalam politik praktis tidak
mengatasnamakan sebagai sikap kelembagaan secara umum
melainkan adalah hanya dianggap sebagai ekspresi pribadi saja.

Sikap yang cenderung moderat dalam menyikapi perbedaan


internal dalam tubuh organisasi NU pun juga menjadi ciri khas
warganya dalam menyikapi perbedaan di luar tubuh organisasinya.
Banyak fakta sosial politik yang membuktikan bahwa NU selalu dapat
berdiri di tengah-tengah dalam menyikapi perbedaan garis perjuangan
setiap organisasi Islam lainnya. NU kemudian tidak pernah
memberikan justifikasi salah bagi organisasi yang tidak sejalan
dengannya dalam persepsi maupun jalan perjuangan dalam politik.
Hal tersebut menjadi implikasi dari multitafsirnya konsep khittah NU
bagi kalangan internal mereka sendiri. Khittah NU hanya menjadi
wacana yang menggelambung dan berada di dunia utopia. 21

Menyadari bahwa Nahdlatul Ulama merupakan satu kesatuan


yang integral dari para anggotanya dengan aneka ragam latar belakang
dan aspirasi masing-masing dan demi mengembangkan budaya politik
yang bertanggung jawab, maka Nahdlatul Ulama memberikan
pedoman berpolitik sebagai berikut:

2.1.7.1 Berpolitik mengandung arti keterlibatan warga negara dalam


kehidupan berbangsa dan bernegara.

21Muhammad Farhanuddin, “peran Nahdlatul Ulama dalam pendidikan politik di kabupaten


majane”, jurnal politik profetik, vol. 5 no. 2, 2017, hlm.8

25 | P a g e
2.1.7.2 Berpolitik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi
bangsa dengan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan.
2.1.7.3 Berpolitik dengan mengembangkan nilai-nilai kemerdekaan
yang hakiki dan demokratis, menyadari hak, kewajiban dan
tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.
2.1.7.4 Berpolitik harus dilakukan denan moral, etika dan budaya
sesuai dengan nilai-nilai sila pancasila.
2.1.7.5 Berpolitik dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral
agama.
2.1.7.6 Berpolitik dilakukan untuk memperkokoh konsensus-
konsensus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul
karimah sebagai pengalaman ajaran Islam dan Ahlussunnah
Wal Jama’ah.
2.1.7.7 Berpolitik dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan
mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah
persatuan.
2.1.7.8 Perbedaan pandangan harus tetap berjalan dalam suasana
persaudaraan dan saling menghargai.
2.1.7.9 Berpolitik menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan
timbal balik dalam pembangunan nasioanl.

Dengan berpedoman pada etika politik di atas, menurut Ir. KH.


Salahuddin Wahid, Nahdlatul Ulama dapat mewujudkan peran politik
yang ideal dengan selalu berpegang pada prinsip-prinsip. Pertama,
memperhatikan kepentingan bangsa dan negara serta agama. Kedua,
memperhatikan kepentingan Nahdlatul Ulama, baik secara jama’ah
(komunitas) maupun jam’iyah (organisasi). Ketiga, orang-orang
Nahdlatul Ulama yang memiliki jabatan dalam structural organisasi
Nahdlatul Ulama tidak masuk ke dalam wilayah politikis praktis.

Selanjutnya dalam merespon perkembangan politik pada masa


reformasi, Nahdlatul Ulama memfasilitasi pendeklarasian sebuah
partai politik. Pendeklarasian partai tersebut bertujuan untuk
menyalurkan dan memproses warga Nahdliyin yang ingin berkiprah

26 | P a g e
dalam politik praktis agar menjadi politisi sejati, yang pada gilirannya
menjadi negarawan.

Pada sisi lain, warga Nahdlatul Ulama memberikan kebebasan


pada warganya untuk memasuki partai politik manapun yang
diyakininya dapat menjadikan sebagai politisi sejati dan negarawan.
Dengan catatan senantiasa mengacu pada etika berpolitik nahdliyin
yang didasarkan pada nilai-nilai Ahlussunnah Wal Jama’ah dan tidak
kehilangan kesetiaan kepada cita-cita dan kepentingan Nahdlatul
Ulama.22

2.1.8 Nahdlatul Ulama di Masa Orde Baru

Pada tahun 1966, Achmad Sjaichu mengatakan bahwa ABRI


bagaikan saudara yang lahir dari satu ibu. Namun ABRI menetapkan
sebuah sistem baru dan menarik dukungannya kepada Soekarno. Baru
kemudian, setelah jelas tidak akan mengizinkan pembubaran PKI,
Soekarno secara bertahap disingkirkan. Di awal tahun 1966, aksi-aksi
pembantaian mulai mereda, setelah sebelumnya terjadi
pemberantasan terhadap PKI dengan cukup keras supaya PKI tidak
tumbuh subur di Negara Indonesia. Pada saat itu, NU dengan
mempersiapkan organisasi kepemudaan Ansor, Banser (1964) untuk
menghadapi pertempuran yang diduga semakin gawat, dan saat
tanggal 8 Oktober 1965, pemuda Muslim membakar markas besar
PKI.

Kesetiaan NU terhadap Soekarno semakin besar dan terus


berlanjut bahkan hingga sesudah pelimpahan kekuasaan dari
Soekarno kepada Soeharto 11 Maret 1966. Setelah peralihan
kekuasaan kepada Suharto tanggal 11 Maret 1966, sebagian
perombakan pada MPR dan DPR, sebagian diserahkan kepada NU.
Pada titik inilah NU memainkan peran kunci dalam peralihan
kekuasaan secara bertahap karena dalam beberapa waktu saja, Jendral

Niam, “peran Nahdlatul Ulama dalam bidang politik”, artikel peran NU dalam
22Septiyan

mempertahankan NKRI, Oktober 2014, hlm 9-10.

27 | P a g e
Suharto berhasil menumpas G30S. NU juga memainkan peran yang
sangat penting dalam pengambilalihan kekuasaan secara
konstitusional oleh Jendral Suharto. Demikian pula, NU ikut andil
dalam membumbungnya karier politik Suharto melalui reshuffle yang
dilakukan DPR-GR dan dua resolusi, yang mengabsahkan peralihan
kekuasaan ke tangan Suharto. Resolusi yang dimaksud di sini adalah,
pertama, resolusi Lubis, di mana Nurdin Lubis pernah mengajukan
resolusi agar Sukarno dicopot dari jabatannya sebagai presiden, dan
kedua resolusi yang disampaikan oleh Djamaluddin Malik, seorang
anggota DPR-GR dari NU. Resolusi ini meminta agar MPRS
mengangkat Jendral Suharto menjadi presiden RI.

Semenjak Orde Baru, Suharto mulai membuka bantuan dan


penanaman modal dari asing seperti dari Amerika, Jepang, dan lain-
lain. Bantuan dari luar negeri seolah tak berkurang, namun terus
meningkat. Pada tahun 1967, bantuan dari asing mencapai 200 juta
dolar dan pada tahun 1969 batuan mencapai 500 juta rupiah. Bantuan
tersebut melampaui dua milyar sejak tahun 1975. NU sangat
mengkhawatirkan dampak bantuan asing tersebut serta
mengkhawatirkan dampak budaya asing yang kelak masuk di
Indonesia. NU meminta kepada Soeharto supaya penanaman modal
dan bantuan asing dibatasi.

Di sisi lain, dalam konteks kepartaian, Orde Baru yang


dipimpin Soeharto menginginkan partai politik berjumlah sedikit saja.
Sehingga terjadi penggabungan paksa partai politik menjadi dua partai,
dan hal tersebut cukup mengejutkan bagi NU. Sehingga NU, Parmusi,
PSII, dan Perti digabungkan pada Partai Persatuan Pembangunan
(PPP). PNI, Pakindo, Partai Katholik, IPKI dan Murba digabungkan
pada Partai Demokrasi Indonesia (PDI). PPP sendiri mulai dibentuk
pada tanggal 5 Januari 1973, dengan tujuan mempertahankan dan
membangun negara Republik Indonesia di atas landasan Pancasila dan
UUD 1945, menuju masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah.

28 | P a g e
Di sinilah NU mulai diperlakukan tidak adil sejak Partai Islam
dijadikan satu, sejak NU kehilangan Departemen Agama dan karena
keikutsertaan NU dalam Orde Lama. Lambat laun, orang-orang
tradisionalis menilai, tersisihnya NU itu dikarenakan kurangnya
“kematangan Politik NU sendiri”. Hasyim Lathif pun mengatakan,
dalam Orde Baru ini, ABRI lah satusatunya kekuatan yang mempuyai
konsep pemerintahan yang sudah siap. Menjelang tahun 1980-an,
karakateristik yang mewarnai Indonesia adalah perdebatan ideologis
dan perubahan yang mendalam di dalam tubuh lembaga-lembaga
Islam. Salah satu pengaruh juga dikarenakan adanya ideologi Timur
Tengah mulai bebas masuk ke Indonesia. Sejak pembentukan PPP,
golongan Parmusi dan NU pun bermasalah. Jabatan politik juga
berada di tangan ketua umum Mintaredja, seorang modernis dari
muslim Indonesia.23

Di tahun 1975, NU memutuskan untuk mengadakan


konferensi besar dengan mengundang para ulama membahas situasi
yang serba baru. Sebab saat itu para pemimpin NU tampak
meninggalkan ormas NU dan partai PPP. Karena kekosongan itu,
wilayah daerah mulai mengambil inisiatif. Para ulama memutuskan
untuk “mempergiat usaha-usaha di bidang sosial” sambil
menyesuaikan diri dengan identitas baru organisasi keagamaan
“jam’iyah”. Pada tanggal 4 Februari 1976 dibentuklah lembaga
pendidikan independen (Lembaga Ma’arif) di Yogyakarta. Lembaga
ini minta pada sekolah-sekolah NU agar masuk ke dalam yayasan.

Pada Muktamar ke 25 di Surabaya, Rais Am Kiai Wahab


Hasbullah menghimbau para aktivis agar kembali ke khittah 1926.
Ada beberapa faktor terkait mengarah pada penolakan keikutsertaan
kehidupan politik. Pertama, ada tekanan yang diderita para pegawai
negeri/para pengusaha yang tergantung pada administrasi untuk

23
Nurul Shobacha, “STRATEGI POLITIK NAHDLATUL ULAMA DI ERA ORDE BARU”,
Jurnal Review politik, vol. 02 no. 01, Juni 2012, hlm. 9-11.

29 | P a g e
mendapatkan bagian tender pekerjaan umum. Kedua, ketidakpuasan
terhadap pengabaian tugas-tugas utama yang bersifat
sosial/pendidikan. Pengabaian jangka panjang dapat membuat NU
kehilangan akarnya dalam masyarakat. Ketidakpuasan juga banyak
muncul karena kepengurusan Idham Chalid yang suka merahasiakan
hal yang mestinya diketahui oleh umum dan tidak memberikan
dukungannya pada cabang-cabang daerah yang menderita tekanan
dari pemerintah sehingga dalam beberapa kasus menyebabkan
hancurnya (cabang tersebut).

Pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo juga sangat menarik.


Sebab, pertama, telah diambilnya keputusan kembali ke khittah 1926,
yang berati NU secara organisatoris tidak lagi berpolitik praktis.
Kedua, pada muktamar ini, untuk pertama kalinya Abdurrahman
Wahid terpilih sebagai Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 1984-1989. Kehadiran Gus Dur
dalam organisasi ini penting untuk dicatat, paling tidak karena ia telah
memberikan warna tersendiri, terutama karena watak pribadi Gus Dur
serta pendekatannya yang khas dalam membawa NU ke dalam wacana
sosial politik di Indonesia. Para kiai pun mendukung prakarsa pemuda
NU, karena pada dasarnya gagasan kembali ke khittah 1926 berarti
pula mengembalikan posisi ulama pada peran yang lebih besar lagi.
Sebab NU terlibat dalam pergumulan politik praktis, sejumlah ulama
telah meninggalkan misi keumatannya karena “tergoda” rebutan
kekuasaan.24

2.2 PARADIGMA NU DALAM DAKWAH ISLAM DAN KEBANGSAAN


2.2.1 Dakwah

24Ibid, hlm. 12.

30 | P a g e
2.2.1.1 Definisi dakwah dari berbagai ilmuwan

Dakwah berasal dari Bahasa arab, kata da’a, artinya menyeru


atau memmanggil, mengajak atau mengundang. Jika diubah
menjadi da’awatun, maka maknanya akan berubah menjadi
seruan, panggilan, atau undangan. 25

Dakwah mempunyai banyak pengertian, dan dirumuskan dari


berbagai ilmuwan Indonesia untuk mendapatkan pengertian
yang lengkap.(Khatib Pahlawan Kayo, 2007: 25).

2.2.1.1.1 Dr. Moh. Nasir(1980). Dakwah adalah tugas para


mubaligh untuk meneruskan risalah yang diterima
dari Rasulullah, sedangkan risalah adalah tugas
yang diembankan kepada Rasulullah untuk
menyampaikan wahyu Allah yang diterimanya
kepada umat manusia, "risalah merintis, sedangkan
dakwah melanjutkan".

2.2.1.1.2 Prof. Thoha Yahya Oemar, MA(1982). Dakwah


menurut Islam adalah mengajak manusia dengan
cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai
dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan
kebahagiaan dunia akhirat.

2.2.1.1.3 H.A Malik Ahmad(1986). Dakwah tidak berarti


tabligh. Dakwah adalah segala usaha dan sikap yang
bersifat menumbuhkan keinginan an dan kecintaan
mematuhi Allah sampai tercipta masyarakat besar
yang mematuhi Allah dan mematuhi bimbingan
Rasulullah.

2.2.1.1.4 H. Rusydi Hamka(1995). Dakwah merupakan


kegiatan penyampaian petunjuk Allah kepada

25Eva Ida Amaliyah, “Islam dan Dakwah”. Sebuah kajian antropologi agama. Vol 3, no 2, 2015
hal.343.

31 | P a g e
seseorang atau sekelompok masyarakat agar terjadi
perubahan pengertian, cara berpikir, pandangan
hidup (way of life) dan keyakinan, sikap, tingkah
laku, dan nilai yang akan mengubah tatanan
kemasyarakatan dalam proses yang dinamis.

2.2.1.1.5 Quraish Shihab(1996). Dakwah adalah seruan atau


ajakan kepada keinsyafan atau usaha mengubah
situasi yang lebih baik dan sempurna, baik personal
atau masyarakat.

2.2.1.1.6 Dakwah adalah ajaran agama yang ditujukan sebagai


rahmat untuk semua, yang membawa nilai positif
seperti aman, tentram, dan sejuk(Al-Amn). Ada dua
segi dakwah yang tidak dapat dipisahkan atau
dibedakan, yaitu menyangkut isi dan bentuk
(substansi dan format), pesan dan cara penyampaian
(esensi dan metode). Keduanya tidak dapat
dipisahkan. Namun perlu disadari bahwa isi dan
pesan senantiasa mempunyai dimensi universal
yang tidak terikat oleh ruang dan waktu 26

2.2.1.2 UNSUR-UNSUR DAKWAH

Keberhasilan suatu dakwah ditentukan oleh berbagai


macam elemen yang terkait dengan unsur-unsur dakwah itu
sendiri yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Adapun
unsur-unsur dakwah yaitu:

2.2.1.2.1 Subjek Dakwah

26Asep Muluddin,Dakwah Islam, 2002, h. 23

32 | P a g e
Subjek dakwah yang dimaksud ialah pelaku aktivitas
dakwah. Maksudnya seorang da'i hendaknya
mengikuti cara-cara yang telah ditempuh oleh
Rasulullah, sehingga hasil yang diperoleh pun bisa
mendekati kesuksesan seperti yang pernah diraih
Rasulullah SAW. Oleh karena itu M. Nasir
mengatakan bahwa kepribadian dan akhlak seorang
dai merupakan penentu keberhasilan seorang da'i.

2.2.1.2.2 Materi Dakwah

Materi dakwah tidak terlepas dari ajaran Islam itu


sendiri, yaitu Al-Quran dan hadis. Seorang da'i harus
memiliki pengetahuan tentang materi dakwah. Materi
dakwah harus sinkron dengan keadaan masyarakat
Islam sehingga tercapai sasaran yang telah ditetapkan.
seorang dai harus mampu menunjukkan kehebatan
ajaran Islam kepada masyarakat yang mudah
dipahami dan dimengerti jangan sampai "nasi di bikin
bubur".
2.2.1.2.3 Metode Dakwah
Cara berdakwah yang baik telah dicontohkan oleh
Rasulullah SAW sebagaimana yang telah dijelaskan
oleh Allah SWT QS. An-Nahl ayat 125 yang
merupakan kerangka acuan bagi setiap da'i, baik cara
berpikir maupun cara bersikap.

2.2.1.2.4 Tujuan Dakwah

Tujuan dakwah ialah untuk menyelamatkan umat dari


kehancuran dan untuk mewujudkan cita-cita ideal
masyarakat utama menuju kebahagiaan dan
kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat. Hal ini
senada dengan apa yang dikatakan M Nasir bahwa wa
tujuan dakwah adalah keridhaan Allah yang

33 | P a g e
memungkinkan tercapainya hidup bahagia yang
terletak pada pertemuan Allah SWT. 27 Hal ini sesuai
dengan firman QS. Adz-Dzariyat ayat 56).

‫وما خلقت الجن واالنس اال ليعبدون‬

Artinya, "Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia


melainkan supaya mereka menyembahKu".

2.2.1.3 MACAM-MACAM DAKWAH

2.2.1.3.1 Dakwah bil-lisan

Dakwah bil-lisan adalah dakwah yang dilaksanakan


melalui lisan, yang dilakukan antara lain dengan
ceramah-ceramah, khutbah, diskusi nasehat dan lain-
lain. Metode ceramah ini tampaknya sudah sering
dilakukan oleh para juru dakwah, baik ceramah di
majelis taklim, khutbah jumat di masjid-masjid, atau
ceramah pengajian-pengajian. Dari aspek jumlah
barangkali dakwah melalui lisan (ceramah dan yang
lainnya) ini sudah cukup banyak dilakukan oleh para
juru dakwah di tengah-tengah masyarakat.

Secara etimologis dakwah bil lisan Al-hal merupakan


gabungan dari tiga kata dakwah, lisan, dan al-hal. Kata
dakwah berasal dari kata da'a, yad'u, da'watun. Yang
berarti memanggil, menyeru. Kata lisan berarti bahasa,
sedangkan kata Al-hal berarti hal atau keadaan. Lisan
Al-hal mempunyai arti yang menunjukkan realitas
sebenarnya. Jika ketiga kata tersebut digabungkan
maka dakwah bil lisan Al-hal mengandung arti
memanggil, menyeru, dan menggunakan bahasa
keadaan atau menyeru mengajak dengan perbuatan

27 Nurwahidah Alimuddin, “Konsep Dakwah”. Jurnal Hunafa. vol 4 No 1. 2007. hlm.76.

34 | P a g e
nyata. Pengertian ini sejalan dengan ungkapan hikmah.
Lisan Al hal abyanu min lisanil maqal. Pernyataan itu
lebih menjelaskan dari ucapan.

2.2.1.3.2 Dakwah bil hal

Dakwah bil hal adalah dakwah dengan perbuatan nyata


meliputi keteladanan. Misalnya dengan tindakan amal
karya nyata yang dari karya nyata tersebut hasilnya
dapat dirasakan secara konkrit oleh masyarakat sebagai
objek dakwah. Dakwah bil hal dilakukan oleh
Rasulullah, terbukti bahwa ketika pertama kali tiba di
Madinah yang dilakukan nabi adalah membangun
masjid Al Quba, mempersatukan kaum Anshar dan
Muhajirin, kedua hal ini adalah dakwah nyata
dilakukan oleh nabi yang dapat dikatakan sebagai
dakwah bil hal.28

Dakwah bil hal adalah bentuk ajakan kepada Islam


dalam bentuk amal, kerja nyata, baik yang sifatnya
seperti mendirikan lembaga pendidikan Islam, kerja
bakti, mendirikan bangunan keagamaan, penyantunan
masyarakat secara ekonomis, kesehatan atau bahkan
acara-acara hiburan keagamaan, singkatnya sesuatu
bukan pidato ( dakwah bil lisan) atau juga dakwah
dengan menggunakan pena atau karya tulis (dakwah bil
qalam).

Dakwah bil hal merupakan aktivitas dakwah Islam


yang dilakukan dengan tindakan nyata atau amal nyata
terhadap kebutuhan penerima dakwah. Sehingga
tindakan nyata tersebut sesuai dengan apa yang
dibutuhkan penerima dakwah. Dakwah bilhal

28
Drs. Samsul Munir Amin, MA. Ilmu Dakwah(Jakarta: 2009) hal.11.

35 | P a g e
ditujukan bagi sasaran dakwah sesuai dengan
kebutuhan sasaran, sehingga aktivitas dakwah
mengenai sasaran.

2.2.1.3.2 Dakwah bil Qalam

Dakwah bil Qalam yaitu dakwah melalui tulisan yang


dilakukan dengan keahlian menulis di surat kabar,
majalah, buku, maupun internet. Jangkauan yang dapat
dicapai oleh dakwah bil Qalam ini lebih luas daripada
melalui media lisan, demikian pula metode yang
digunakan tidak membutuhkan waktu secara khusus
untuk kegiatannya. Kapan saja dan dimana saja mad'u
atau objek dakwah dapat menikmati sajian dakwah bil
Qalam ini.

2.2.2 Paham Keagamaan Nu

2.2.2.1 Paham Keagamaan Masyarakat NU Tradisional

Nahdlatul Ulama yang berideologi Ahl al Sunnah wa al


Jama’ah, sangat berpotensi melahirkan masyarakat
tradisional yang moderat. Dengan berteologi mengikuti
paham al Asy’ari dan al Maturidi sejatinya warga NU
memang digiring untuk bersikap moderat dengan tidak
ekstrem kanan maupun kiri atau dengan kata lain tidak
menjadi golongan yang radikal dan tidakpula menjadi
golongan yang liberal. Kesejarahan kehadiran al Asy’ari dan
Maturidi adalah berada di tengah-tengah benturan antara
khawarij, Qadariyah (sikap lahir), dan Murji’ah (sikap batin),
antara Qodariyah (kebebasan berkehendak) dan Jabariyyah
(fatalistik), antara Khawarij (penafsiran lahir), dan Syi’ah
(penafsiran batin), serta antara Salaf (naqal) dan Murji’ah
(akal), perkembangan pemikiran Asy’ari dan Maturidi
berjalan. Dengan kata lain mengambil jalan tengah ketika

36 | P a g e
kedua kutub yang ekstrem sama-sama tidak memberikan
kepuasan dalam memecahkan masalah serta memberikan
keyakinan yang mantap. Sikap jalan tengah inilah yang
menjadi landasan keduniawian NU. Dalam operasional
praksisnya kemudian dirumuskan kedalam norma-norma NU
yang natar lain ; 1) Tawassut dan i’tidal (bersikap tengah) ,
2) Tasammuh (toleran), 3) Tawazun (seimbang), 4) Amr
ma’ruf nahi munkar (mendorong perbuatan baik dan
mencegah perbuatan mungkar).Sebagai implikasi dari
pandangan tradisi keilmuagamaan tersebut akan memberikan
rasa tanggung jawab dalam bersosial dan berplitik
sebagaimana diujarkan oleh Gus Dur : “ hal ini sudah tentu
ada implikasinya sendiri-sendiri kepada pandangan
kenegaraan yang dianut warga NU yang masih belum
kehilangan tradisi keilmuagamaannya. Kewajiban hidup
bermasyarakat, dengan sendirinya bernegara, adalah sesuatu
yang tidak boleh ditawar lagi. Eksistensi negara
mengaharuskan adanya ketaatan kepada pemerintah sebagai
sebuah mekanisme pengaturan hidup, yang dari perilaku
pemegang kekuasaan dalam kapasitas pribadi. Kesalahan
tindakan atau keputusan pemegang kekuasaan tidaklah
mengaharuskan adanya perubaan dalam sistem
pemerintahan.29
Konsekuensi dari implikasi pernyataan tersebut
menempatkan kewajiban bermasyarakat, dengan sendirinya
bernegara adalah mengakui keabsahan negara begitu ia
berdiri dan maupun bertahan. Di sisi yang lain, adanya
penolakan sistem alternatif sebagai pemecahan masalah-
masalah utama yang dihadapi suatu bangsa yang telah
membentuk negara. Dengan demikian cara-cara yang

29AbdurrahmanWahid.Islam,Kosmopolitan:Nilai-nilai Indonesia dan Trasformasi


Kebudayaan(Jakarta : The WahidIntitute,2007),2016.

37 | P a g e
digunakan dalam melakukan perbaikan keadaan senantiasa
bercorak gradual. Pandangan ini sesuai dengan penjelasan
KH. Ahmad Siddiq (Rais Aam PBNU 1984-1991) Tentang
kehidupan bernegara yakni : 1) Negara nasional (yang
didirikan bersama oleh seluruh rakyat) wajib dipelihara dan
dipertahankan eksistensinya. 2) Penguasa negara
(pemerintah) yang sah harus ditempatkan pada kedudukan
yang terhormat dan di taati, selama tidak menyeleweng, dan
/ atau memerintah kearah yang bertentangan dengan hukum
dan ketentuan Allah. 3) Kalau terjadi kesalahan dari pihak
pemerintah, cara memperingatkannya melalui tatacara yang
sebaik-baiknya.30

Mengutip dari perkataan Gus Mus (Rais Aam PBNU), seperti


yang sudah diajarkan oleh para Kyai Pondok Pesantren, yaitu
dimana beliau mengatakan bahwa masyarakat NU adalah
orang Islam Indonesia, “bukan” orang Islam yang
“kebetulan”berada di Indonesia. Artinya, sebagai orang
Islam Indonesia, tentunya masyarakat NU sangat paham
dengan kemajemukan bangsa Indonesia baik dalam masalah
budaya, suku, sampai masalah penyikapan perbedaan antar
umat beragama. Sikap kompromis juga di perlihatkan oleh
masyarakat NU dalam menyikapi tradisi dan budaya jawa
yang mana tradisi tersebut mayoritas adalah warisan dari
agama Hindu dan Budha yang masuk lebih dulu sebelum
Islam. Masyarakat NU tidak serta merta menolak tradisi
tersebut, karena para kyai NU mampu meng-alkulturasikan
antara ajaran agama dengan tradisi lokal atau yang lebih di
kenal dengan istilah Islamisasi Budaya. Melalui budaya dan
tradisi, para ulama NU membenamkan ideologi Ahl al

30KH.Achmad siddiq,Khittah Nahdliyyah(Surabaya:Khalisa bekerja sama dengan lajnah


Ta’lif Wan Nasyr Jawa Timur,2006),66.

38 | P a g e
Sunnah wa al Jama’ah menjadi sebuah ideologi kerakyatan.
Sebagai contoh adalah tradisi slametan di kalangan warga
NU. Slametan berasal dari bahasa arab salam dan salamatan,
yang berarti selamat, ketentraman, ketenangan. Tradisi
slametan sendiri merupakan sebuah rangkaian kegiatan doa
dan ucapan rasa syukur atas suatu kejadian, kenikmatan dan
kesempatan. Acara ini melibatkan banyak orang dan
dipimpin oleh seorang guru agama, ustadz atau kiyai, dengan
suguhan makanan ala kadarnya atau yang biasa disebut
dengan berkat. Melalui kegiatan slametan ini harapan
keselamatan lahir batin bagi diri, keluarga, para tamu dan
masyarakat pada umumnya di panjatkan. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa yang menjadi komponen dari acara
slametan ini adalah doa, makanan, dan para tamu yang
menunjukkan sebuah solidaritas. Berkat adalah sebuah
simbol ikatan solidaritas diantara orang-orang desa
partisipan acara slametan. Slametan juga merupakan sebuah
bentuk solidaritas lintas komunitas Jika diklasifikasikan ada
tiga jenis slametan yang biasa di selenggarakan masyarakat
NU tradisional. pertama, slametan yang diselenggarakan
pada momen-momen tertentu. Misalnya slametan atau
sedekah ba’da haji, sedekah maulud, sedekah ba’da bulan
syawal dan tradisi maleman di bulan Ramadhan. Kedua,
slametan yang diselenggarakan ketika manusia menjalani
tahap-tahap siklus kehidupan. Misalnya, slametan kelahiran,
slametan penganten atau walimahan, slametan mitoni,
brokohan, pupak puser, dan sebagainya. Ketiga, slametan
untuk kepentingan menjaga harmoni kehidupan manusia
dengan alam sekitarnya. Termasuk menjaga sumber-sumber

39 | P a g e
air, hutan dan tanah. Seperti halnya acara sedekah bumi,
nyadran, labuhan, bersih desa, dan sebagainya. 31

2.2.2.2 Bahsul Masa’il sebagai solusi Konflik/ Permasalahan-


Permasalahan

Dari segi historis maupun operasionalitas, bahtsul masa‟il


NU merupakan forum yang sangat dinamis, demokratis dan
“berwawasan luas”. Dikatakan dinamis sebab persoalan
(masa’il) yang dibahas selalu mengikuti perkembangan
(trend) hukum di masyarakat. Demokratis karena dalam
forum tersebut tidak ada perbedaan antara kiai, santri baik
yang tua maupun muda. Pendapat siapapun yang paling kuat
itulah yang diambil.32Dikatakan “berwawasan luas” sebab
dalam forum bahtsul masa'il tidak ada dominasi mazhab dan
selalu sepakat dalam khilaf. Salah satu contoh untuk
menunjukkan fenomena “sepakat dalam khilaf” ini adalah
mengenai status hukum bunga bank. Dalam memutuskan
masalah krusial ini tidak pernah ada kesepakatan. Ada yang
mengatakan halal, haram atau subhat. Itu terjadi sampai
Muktamar NU tahun 1971 di Surabaya. Muktamar tersebut
tidak mengambil sikap. Keputusannya masih tiga pendapat:
halal, haram atau subhat. Ini sebetulnya merupakan langkah
antisipatif NU. Sebab ternyata setelah itu berkembang

31 Ahmad Baso,Agama NU untuk NKRI(Jakarta:pustaka Afid.2013).11


32
NU sejak berdirinya memang mengambil sikap dasar untuk “bermazhab”. Sikapini secara
konsekuen ditindaklanjuti dengan upaya pengambilan hukum dari referensi (maraji‟) berupa
kitab-kitab fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam beberapa
komponen: „ibadah, mua‟amalah, munakahah (hukum keluarga) dan jinayah/qadla
(pidana/peradilan). Dalam hal ini para ulama NU dan forum Bahtsul masa'il mengarahkan
orientasinya dalam pengambilan hukum kepada aqwal al-mujtahidin (pendapat para
mujtahid) yang muthlaq ataupun muntashib. Bila kebetulan ditemukan qaul manshush (pendapat
yang telah ada nashnya), maka qaul itulah yang dipegangi. Kalau tidak ditemukan, maka akan
beralih ke qaul mukharraj (pendapa thasil takhrij). Bila terjadi khilaf (perbedaan pendapat) maka
diambil yang paling kuat sesuai dengan pentarjihan para ahlul-tarjih. Mereka juga sering
mengambil keputusan sepakat dalam khilaf akan tetapi juga mengambil sikap untuk
menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan hajjiyah tahsiniyah (kebutuhan sekunder)
maupun dlaruriyah (kebutuhan primer)

40 | P a g e
berbagai bank dan lembaga keuangan modern yang dikelola
secara profesional. Orang pada akhirnya tidak bisa
menghindar dari persoalan bank. Secara historis, forum
bahtsul masa‟il sudah ada sebelum NU berdiri.Saat itu sudah
ada tradisi diskusi di kalangan pesantren yang melibatkan
kiai dan santri yang hasilnya diterbitkan dalam buletin LINO
(Lailatul Ijtima Nahdlatul Oelama).Dalam buletin LINO,
selain memuat hasil, bahtsul masa‟il juga menjadi ajang
diskusi interaktif jarak jauh antar para ulama.

2.2.2.3 Tradisi Keagamaan NU

Tradisi tahlilan, yasinan, dan tradisi memperingati 3 hari, 7


hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari orang yang meninggal
dunia adalah tradisi yang telah mengakar di tengah-tengah
masyarakat kita khususnya di kalangan warga nahdliyin. 33
Dan tradisi tersebut mulai dilestarikan sejak para sahabat
hingga saat ini, di pesantrenpun tahlilan, yasinan merupakan
tradisi yang dilaksanakan setiap hari setelah shalat subuh
oleh para santri. Sehingga tahlilan, yasinan merupakan
budaya yang tak pernah hilang yang senantiasa selalu
dilestarikan dan terus dijaga eksistensinya.Tahlilan, yasinan
merupakan tradisi yang telah di anjurkan bahkan
disunnahkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.Yang di
dalamnya membaca serangkaian ayat-ayat al-Qur‟an, dan
kalimah-kalimat tahmid, takbir, shalawat yang di awali
dengan membaca al-Fatihah dengan meniatkan pahalanya
untuk para arwah yang dimaksudkan oleh pembaca atau yang
punyak hajat, dan kemudian ditutup dengan do‟a. Inti dari
bacaan tersebut ditujukan pada para arwah untuk
dimohonkan ampun kepada Allah, atas dosa-dosa arwah

33
Muzadi, Abdul Muchith, Mengenal Nahdlatul Ulama, cet. IV (Jember: Masjid Sunan
Kalijaga, 2006), hlm. 9

41 | P a g e
tersebut.Para ulama sepakat untukterus memelihara
pelaksanaan tradisi tahlil tersebut berdasarkan dalil-dalil
Hadits, al-Qur‟an, serta kitab-kitab klasik yang
menguatkannya.

2.2.3 Islam Nusantara dalam Bentuk Dakwah

2.2.3.1 Islam Nusantara dalam Bentuk Dakwah Kultural dan Dakwah


Struktural.

Kemudian dalam melihat Islam Nusantara sebagai


sebuah gagasan dakwah, maka ada dua pendekatan yang
secara garis besar berlaku dalam aktivitas dakwah, yakni
pendekatan kultural dan struktural, sebagai berikut :

2.2.3.1.1 Dakwah Kultural

Dakwah kultural adalah aktivitas dakwah yang


menekankan pendekatan Islam kultural. Islam
kultural adalah salah satu pendekatan yang
berusaha meninjau kembali kaitan doktrin yang
formal antara Islam dan politk atau Islam dan
negara.Dakwah kultural hadir untuk
mengukuhkan kearifan-kearifan lokal yang ada
pada suatu pola budaya tertentu dengan cara
memisahkannya dari unsur-unsur yang
bertentangan dengan nilai-nilai.

Dakwah kultural tidak menganggap power politik


sebagai satu-satunya alat perjuangan dakwah.
Dakwah kultural menjelaskan, bahwa dakwah itu
sejatinya adalah membawa masyarakat agar
mengenal kebaikan universal, kebaikan yang
diakui oleh semua manusia tanpa mengenal batas
ruang dan waktu. Dakwah Kultural memiliki peran
yang sangat penting dalam kelanjutan misi Islam

42 | P a g e
di Bumi ini. Suatu peran yang tak diwarisi Islam
Politik atau struktural yang hanya mengejar
kekuasaan yang instan. Oleh karena itu, dakwah
kultular harus tetap ada hingga akhir zaman.
Menurut Prof. Dr. Said Aqil Siradji, M.A., jika
dilihat secara hiostoris dakwah kultural sudah ada
sejak zaman Muawiyah yang dipelopori oleh
Hasan Bashri (w. 110 H) yaitu dengan mendirikan
forum kajian yang nantinya melahirkan para
ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, hingga
kemudian diteruskan oleh para Walisongo, KH.
Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad dahlan dan lain
sebagainya.34

2.2.3.1.2 Dakwah Struktural

Dakwah struktural adalah gerakan dakwah yang


berada dalam kekuasaan. Aktivis dakwah ini
memanfaatkan struktur sosial, politik maupun
ekonomi untuk mendakwahkan ajaran Islam. Jadi,
dalam teori ini, negara dipandang sebagai alat
yang pailing strategis untuk berdakwah. Di dalam
dakwah struktural ini telah menyatakan suatu tesis
bahwa dakwah yang sesungguhnya adalah
aktivisme Islam yang berusaha mewujudkan
negara yang berasaskan Islam.

Kategorisasi Islam Struktural dan Islam kultural


bukan merupakan metode yang baik untuk dapat
melanggengkan nilai-nilai Islam dalam
masyarakat. Islam kultural memang kuat dari sisi

34.Siradj dalam Budiman, 2014: 6.

43 | P a g e
bagaimana membuat masyarakat itu paham akan
Islam, namun di sisi lain ia tidak kuat secara politik.
Apabila hanya mengandalkan pada ukuran
kultural saja maka Islam tentu tidak dapat
diberlakukan secara kaffah. Karena ada beberapa
penerapan hukum Islam yang hanya dapat
dilakukan apabila model Negaranya adalah Islam.
Dalam realitas di lapangan, kita pun tak dapat
menafikan bahwa saat ini tak ada satu gerakan
dakwah pun yang sifatnya hanya struktural atau
kultural saja.

2.2.4 Konsep Dasar Berpolitik NU

2.2.4.1 Konsep dasar politik dalam ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah

Prinsip umum ajaran sosial politik ini adalah


mengambil sikap tawassuth tawazun ta'addul dan tasamuh
serta al-qiyam Bil al qodim as sholih Wa al akhdzu Bil al jadid
al ashlah dengan prinsip ini ahlussunnah selalu mengambil
sikap yang akomodatif toleran moderat dan menghindari sikap
ekstrim dalam menghadapi spektrum Budaya apa pun tak
terkecuali budaya politik kekuasaan. Dalam konteks politik
sikap-sikap seperti itu dijadikan framework dan kerangka
paradigmatik bagi setiap pemikiran dan tampilan politiknya
menurut pandangan ahlussunnah mendirikan negara itu wajib
syar'i karena syariah tidak akan bisa ditegakkan tanpa ditopang
oleh kekuasaan inilah hujjah awal yang senantiasa ditarik oleh
35
mazhab Ahlussunnah Wal Jamaah. Oleh karena itu,
keberadaan kepala negara tidak hanya berfungsi menjamin
keselamatan warganya tetapi untuk kelangsungan ajaran
agama. Dalam perspektif mazhab Ahlussunnah, negara adalah
perwujudan dari kepemimpinan kenabian yang berfungsi

35Ahmad Zahro,Tradisi Intelektual NU,(Yogyakarta:LKIS,2004), h.19

44 | P a g e
meneruskan misi kenabian yaitu memelihara agama dan
mengatur pranata sosial. Dan kewajiban mendirikan negara
yang merupakan tanggung jawab kolektif seluruh umat yakni
fardhu kifayah. Sedangkan, menurut pemikiran al-ghazali,
pemikir politik ahlussunnah umumnya mencoba mengurangi
hubungan agama dan negara dengan pola Nalar simbiosis
mutualisme pada kerangka hubungan yang saling
bergantungan model bangunan pemikiran politik ahlussunnah.
seperti itu tentu dilatarbelakangi oleh faktor seperti sosial
keagamaan, budaya, dan setting politik yang melingkupi
kehidupan para tokoh Ahlussunnah.

2.2.5 Tujuan Politik NU

2.2.5.1 Tujuan politik NU terdiri dari tiga bagian utama yang dalam
teorinya sangat berhubungan dengan tujuan keagamaannya,
seperti telah disinggung oleh Greg Fealy :

Pertama, menyalurkan dana pemerintah kepada masyarakat


NU, terutama untuk meningkatkan fasilitas pendidikan dan
keagamaan, seperti pesantren, madrasah, dan masjid; dan juga
membangun, merawat prasarana sosial, seperti klinik
kesehatan, panti asuhan, dan balai pertemuan. Kedua,
berusaha mendapatkan peluang bisnis dari pemerintah bagi
NU dan penduduknya. Peluang semacam ini akan memberikan
keuntungan langsung kepada mereka yang mampu mendapat
kedudukan dan dianggap dapat membantu Islam maupun umat
pada umumnya. Semakin sejahtera anggota masyarakat kian
meningkat pula kemampuan mereka memenuhi kewajiban
sosial dan keagamaannya, seperti menunaikan ibadah haji,
membayar zakat, dan mendukung upaya peningkatan

45 | P a g e
36
pendidikan Islam dan kesejahteraan. Tujuan politik ketiga
adalah mendapatkan kedudukan bagi anggota NU dalam
birokrasi. Selama masa kolonial, santri tradisional umumnya
menjauhkan diri dari lembaga pemerintahan dan
mengembangkan usaha-usaha di sektor-sektor swasta dan
informal. Setelah kemerdekaan, birokrasi dipandang sebagai
jalan menuju mobilitas dan status sosial. Masuknya muslim
tradisional dalam birokrasi diyakini akan meningkatkan
kedudukan NU di masyarakat Indonesia, sekaligus
memperkuat suara umat di kalangan pemerintah. 37 Tujuan
politik lain yang sama pentingnya bagi NU adalah menjamin
peningkatan kondisi sosial-ekonomi pendukung
tradisionalisnya. Tujuan ini kadang kadang tersirat dalam
literatur NU, namun jarang dibahas secara terang-terangan.
Kurang ditampakkan dan diseriusi. Meski demikian,
pentingnya motivasi politik ini terlihat lebih jelas dalam
forum-forum partai korespondensi internal partai. 38
Ternyata ketiga motivasi ini adalah asumsi bahwa kemajuan
sosial dan ekonomi merupakan suatu hal yang diperlukan
untuk mencapai tujuan Islam. Krisis dalam aspek material dan
ketidakberdayaan politik masyarakat muslim akan
menyulitkan pelaksanaan ibadah dan syiar Islam. Selain itu,
muslim yang miskin tidak dapat diharapkan bisa
melaksanakan rukun Islamnya, terutama menunaikan ibadah
haji dan membayar zakat. Maka kaitan antara kesejahteraan
masyarakat dan religiusitas terkandung dalam konsep Izzul
Islam wal Muslimin, yang arti harfiahnya adalah ‘keagungan
Islam dan umatnya.’ Ini didasarkan pada keyakinan dalam

36Lik Arifin Mansurnoor, Islam in Indonesia World, Ulama of Madura,(Yogyakarta: Gajah Mada
University Press,1990),p.261
37Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama, p. 84.

38 Ibid., p. 82.

46 | P a g e
sikap dan tindakan umat Islam. Mereka harus mempunyai
kebanggaan akan agamanya, berjuang menegakkan dan
menyebarkan ajarannya serta menciptakan umat yang adil,
makmur, dan dinamis, yang pantas sebagai penganut
keyakinan yang benar .39.
2.2.6 Paradigma Politik NU
Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola
pikir seseorang atau sebuah kelompok sebagai titik tolak pandang
sehingga akan membentuk citra subyektif mengenai realita dan
akhirnya akan menentukan bagaimana ia menanggapi realitas. Dalam
bahasa sederhana Paradigma adalah cara berpikir, cara pandang, pola
pikir. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Paradigma
merupakan kerangka berpikir.
KH. Sahal Mahfudh menegaskan bahwa dalam NU dikenal
ada 3 macam paradigma politik, yaitu politik kenegaraan, kerakyatan,
kekuasaan. Pernyataan tersebut implisit untuk mengingatkan para
politisi NU yang sudah keluar dari khittah 1926, termasuk belakangan
ini politisi ada yang menempa diri dalam perahu politik Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP),
Partai Kebangkitan Nasional Ulama’ (PKNU), dan lain-lain.
Seiring kompleksitas perkembangan politik Indonesia, Nu
mulai bersentuhan dengan politik Kebangsaan terutama pada masa-
masa sesudah kemerdekaan. Persentuhan ini merupakan gerakan
nasionalisme di beberapa negara yang bergerak menuju kemerdekaan.
Kontribusi politik kenegaraan Nu yang paling menonjol adalah
dukungan Wachid Hasyim untuk tidak mencantumkan Piagam Jakarta
dengan beberapa isinya Dasar Negara kita. 40
Politik NU adalah politik kebangsaan, bukan politik
kepentingan sesaat. Ia bukan politik parsialistik, melainkan politik

39 Achmad Siddiq, Pedoman Berpikir Nahdlatul Ulama (fikiran Nahdliyah, (Jember: PMII Tjabang
Djember, 1969), p. 12.
40
Khamami Zada, Fawaid Sjadzili, Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan, (Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara, 2010, hlm 3-5)

47 | P a g e
paradigmatikuniversalistik. Sehingga tidak mencederai cita-cita luhur
para pendiri NU dan dapat ikut serta membangun masyarakat berbasis
nilai-nilai keislaman yang mempunyai jiwa nasionalisme serta
kepedulian sosial yang tinggi. Dalam rangka mewujudkan semuanya,
kekuasaan bukan jalan pintas yang harus ditempuh. Ia semata salah
satu media. Akan tetapi, pendekatan kultural dan sikap merakyatnya
organisasi NU bisa menjadi alternatif sekaligus menumbuhkan
kewibawaan tersendiri bagi NU. Di satu sisi NU tidak ingin terlibat
praktis dalam perpolitikan tapi di pihak lain “syahwat politik” para
tokoh NU sangat sulit dibendung. Sepertinya, karena jiwa politik
dalam NU sudah mendarah daging, tampak NU tidak bisa
meninggalkan kancah perpolitikan yang menawarkan kemanisan
semu itu walau sejenak. Inilah yang oleh Asep Saeful Muhtadi
dilanggamkan dengan lugas bahwa NU mau tidak mau memang harus
berpolitik untuk menyalurkan ghirah atau energy politik sebagian
umat, elit, maupun kelembagaannya.
NU menggabungkan diri dengan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan
penguasa Orde Baru. Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP.
Pada Muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan diri untuk kembali
ke Khittah 1926, yaitu untuk tidak lagi berpolitik praktis. Namun
demikian, setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang
mengatasnamakan NU. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
dideklarasikan oleh Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang menjadi
tokoh fenomenal. Pada Pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi di
DPR dan mengantarkan Abdurahman Wahid (Gus Dur) sebagai
Presiden RI. Dalam pemilu 2004, PKB memperoleh 52 Kursi DPR.41
Dengan mendapatkan peluang memperoleh kursi di DPR, NU
semakin jauh memasuki ranah perpolitikan dan tidak hanya menjadi
ormas Islam akan tetapi menjadi organisasi politik atau parpol.
Menurut Greg Fealy, tujuan politik NU saat menjadi parpol adalah 1)

41Asep Ahmad Hidayat dkk, Studi Islam, h. 250.

48 | P a g e
penyaluran dana pemerintah terhadap NU, 2) mendapat peluang bisnis,
dan 3) menduduki jabatan birokrasi. 42
2.2.6.1 Pemikiran Nahdlatul Ulama’ terhadap Agama dan Tata
Negara
Dalam diskusi tentang relasi agama dan negara perspektif
religious power, yang telah dilakukan oleh para pemikir
besar terutama setelah abad pertengahan, secara garis besar
terdapat dua model paradigma. Yaitu konsep organik dan
sekuler. Donald Eugene Smith dalam bukunya “Agama dan
Modernisasi Politik: Suatu Kajian Analitis” 43 menegaskan
bahwa dalam paradigma organik, agama dan negara
merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan karena
jangkauan agama meliputi seluruh aspek kehidupan.
Sedangkan dalam paradigma sekuler perlu pemisahan antara
agama dan negara dengan tujuan untuk melindungi
kesempurnaan agama.
Pada awal pendirian NU, ijtihad-ijtihad politik NU tampak
diorientasikan pada format pencarian paradigma hubungan
agama dan negara. Pada Muktamar NU di Banjarmasin pada
tahun 1938, status Indonesia diputuskan sebagai Dar al-Islam
(negara Islam), karena pernah dikuasai sepenuhnya oleh
orang-orang Islam dan mayoritas penduduknya beragama
Islam. Jika waktu itu bumi Indonesia masih dalam penjajahan
Belanda (bangsa asing), maka hal itu sifatnya hanya
sementara. Adapun yang dijadikan dasar hukum oleh
muktamirin adalah penjelasan kitab Bughyah al-
Mustarsyidin babHudna wa al-Imamah. 44 Dengan merujuk
kitab karangan ulama Shafi’iyyah itu, NU membedakan jenis

42
Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, (Yogyakarta: LKIS, 2011), h. 165.
43Donald Eugene Smith, Agama dan Modernisasi Politik: Suatu Kajian Analitis (Jakarta: Rajawali
Press, 1985), h. 26.
44M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik

(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994), h. 95

49 | P a g e
negara menjadi tiga, yaitu dar al-islam (negara Islam), dar al-
sulh (negara damai) dan dar al-harb (negara perang). Salah
satu pandangan organisasi para kyai ini tercermin dari dalil
seperti dikutip berikut ini:Janganlah kalian tentang (lawan)
pemegang kekuasaan dalam masalah-masalah yang menjadi
tanggung jawab mereka dan janganlah kalian protes mereka
kecuali kalian lihat dari mereka kemungkaran yang nyata
kalian ketahui dari kaidah-kaidah Islam. Jika kalian lihat itu,
kalian harus menentang mereka dan tegakkan kebenaran di
manapun kalian berada. Adapun memisahkan diri dari
mereka dan memerangi mereka haram menurut kesepakatan
umat walaupun mereka fasik. 45 Dengan demikian, menurut
pandangan NU, negara dan pemerintah wajib ditaati
sepanjang kelangsungan syariah dijamin dan kekufuran
(pelanggaran terhadap hukum agama) tidak terjadi. Hal ini
berarti, sebagaimana dinyatakan oleh Abdurrahman Wahid, 46
Dalam hal ini Abdurrahman Wahid menyatakan: Dalam
Konstituante di tahun 1958-1959, NU memperjuangkan
berlakunya syari’ah dalam undangundang negara (berarti
memuat negara Islam), ditahun 1959 menerima dekrit
Presiden Soekarno untuk memberlakukan kembali UUD
1945, dan di tahun 1983-1984 menerima Pancasila sebagai
satu-satunya asas bagi organisasi politik dan organisasi
kemasyarakatan.
Relasi Islam dan negara (politik) telah terumuskan di dalam
pemikiran kitab kuning dan pandangan-pandangan para
pendiri Nahdlatul Ulama sebelum bangsa Indonesia
menyatakan kemerdekaannya. Sebagaimana diketahui
bahwa salah satu di antara Panitia Sembilan yang
merumuskan Pancasila adalah KH. Wahid Hasyim, salah

45Syamsuddin Haris, Aspek Agama dalam Perilaku Politik NU, Dalam Pesantren, No.
2/Vol.VIII/1991, h. 30.
46Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren (Jakarta: Dharma Bakti, 1978), h. 34.

50 | P a g e
seorang tokoh NU. Juga, ditetapkannya Pancasila dan UUD
1945 sebagai dasar negara telah diterima secara tulus oleh
para kyai. Bahkan keputusan itu sudah menjadi ketetapan
dalam Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin pada 1936. 47
Lebih lanjut, wacana ini menjadi tuntas dengan penegasan
KH. Ahmad Shiddiq dalam Musyawarah Nasional Alim
Ulama (1983) di Situbondo bahwa hubungan antara Islam
dan negera (politik) bersifat simbiosis mutualisme.
Pancasila dinilai sebagai falsafah bangsa sedangkan agama
adalah wahyu. “Pada dasarnya, sila-sila dalam Pancasila
tidak bertentangan dengan Islam, kecuali jika diisi dengan
tafsiran atau perbuatan yang bertentangan dengan ajaran
Islam”. 48
Sering dikatakan bahwa Islam tidak dapat
memisahkan agama dan politik. Itu memang benar dan NU
tidak memisahkan agama dan politik atau agama dengan
masyarakat, tetapi ia membedakan mana bidang yang
berguna ditanggapi dan mana yang tidak berguna; dan mana
yang harus diterima dan mana yang harus ditolak demi tujuan
keagamaan. Tepat seperti yang dikatakan oleh al-Ghazali:
Mencari kebenaran meminta sang pencarinya untuk
membedakan antara hal-hal dan tujuan yang penting dan
perlu yang ada dalam masyarakat dengan hal-hal dan tujuan-
tujuan yang tidak penting dan tidak perlu.
Pancasila itu sendiri bersifat filosofi, tetapi bila kita
perhatikan rumusan sila pertama Pancasila dan anak kalimat
“Atas berkat rakhrnat Allah” di dalam Pembukaan UUD
1945 maka negara Indonesia benarbenar mengutamakan
landasan dan wawasan keagamaan bagi kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat. Dan wawasan keagamaan itu
menurut Mukti Ali sesuai dengan watak kehidupan bangsa

47M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya, h. 94.


48
Karim, Dinamika, h. 90

51 | P a g e
Indonesia. Dengan memperhatikan UUD 1945 dengan
Pembukaannya bahwa pendekatan terhadap UUD 1945 harus
pendekatan agama. Ini berarti bahwa pengertian Ketuhanan
Yang Maha Esa adalah pengertian agama, dan bukan
pengertian falsafi. Hal ini disebabkan karena yang dimaksud
dengan Tuhan Yang Maha Esa adalah “Allah”, dan “Allah”
adalah istilah agama, bukan istilah filsafat.
2.2.7 Peranan Ideal NU dalam Kancah Politik Bangsa

Berkaitan dengan bentuk ideal politiknya, tentu tidak bisa


lepas dari Khittah NU sendiri. Sebab, Khittah NU 1926 selama ini
sering dipahami sebagai proses “depolitisasi” NU struktural. NU
dituntut seratus persen kembali pada gerakan sosial kemasyarakatan
tanpa sedikit pun bersentuhan apalagi masuk dalam politik praktis.
NU harus berani ambil dan menerima risiko, tidak mudah mrnyerah,
dan ksatria dengan kematangan paradigma sosial-etiknya.

Meski sesungguhnya tak sedikit kalangan yang meragukan hal


ini terjadi. Setidaknya dikarenakan beberapa faktor berikut: Pertama,
para elite NU suka berpolitik praktis. Ini memang dari sejarahnya, NU
dilahirkan tidak lepas dari politik kekuasaan. Memisahkan NU dengan
politik sama saja memutuskan NU dari konstruksi historisitasnya
sendiri. Kedua, NU merupakan satu-satunya organisasi yang memiliki
basis massa terbesar di Indonesia. Karena itu, NU mempunyai daya
tarik cukup kuat terhadap berbagai pihak politis. Dan mengaca pada
sejarah, daripada massa yang dimiliki dimanfaatkan kelompok-
kelompok politik selain NU, lebih baik kekuatan massa itu
dimobilisasi sendiri. Ketika berfusi ke dalam Masyumi, NU hanya
dimanfaatkan menjadi kantung-kantung suara, namun orang-orang
NU dalam partai tersebut selalu menuai kekecewaan dan
terpinggirkan. Ketiga, NU kultural harus memiliki jalur politik secara
resmi karena ketidakmandirian politik warganya. Warga NU yang
pada umumnya adalah masyarakat awam, tidak serta merta percaya
diri mengambil keputusan politik secara otonom dan independen,

52 | P a g e
kecuali bertanya terlebih dahulu kepada tokoh (kiai). Tradisi ini cukup
mengakar di kalangan konstituen NU. Sebab kiai, dalam istilah Asep
Saeful Muhtadi, di kalangan NU itu seperti “makelar simbol” yang
dapat menerjemahkan tarikan bahasa politik yang mudah dipahami
oleh konstituen (umat) dengan sentuhan nilai-nilai agama. 49 Disini
tampak peran politik NU sebagai pendidik politik yang mengajarkan
kedewasaan berpolitik sesuai dengan ideologi NU yang telah
ditetapkan founding father/mu’assis NU. Keempat, jika Khittah NU
dipahami sebagai tidak tahu menahunya NU secara struktural
terhadap politik masing-masing warganya, maka NU sendiri akan
mendapat kerugian. Kekuatan NU akan tersebar dalam banyak partai.
Kekuatan NU akan tercerai berai dan menjadi kecil. Sebab, dalam
partai-partai tersebut ideologi warga NU tidak akan utuh lagi, bahkan
tergerus oleh ideologi partai-partai politik yang diikutinya. Ini akan
menyebabkan menguapnya ideologi NU dan hilangnya militansi
kader-kader NU dalam perjuangan pembebasan. 50

Maka dibutuhkan usaha-usaha mereformulasi Khittah NU


1926.Khittah 1926 harus dipahami sebagai strategi politik,
sebagaimana yang sering digunakan Gus Dur ketika kondisi politik
waktu itu tidak memungkinkan NU mengepakkan sayap dari alur
politik praktis yang sangat sempit. Gus Dur sungguh lihai dan
langkahnya selalu tepat serta lebih strategis untuk menghindari
kebuntuan gerakan pada masa-masa tertentu. Inilah langkah non-
politis dari (kiai) politik NU. Jauh di luar itu, Khittah NU 1926 juga
harus dipahami sebagai upaya mengembalikan dunia politik praktis
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan agenda besar politik
kebangsaan yang digagas NU sejak awal.

2.2.7.1 Kontribusi Nahdlatul Ulama (NU) dalam Mempertahankan


Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

49
Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik, p. 44.
50Abu Dzarrin Al-Hamidy dkk, Sarung & Demokrasi, pp. 77-8

53 | P a g e
Di tengah era globalisasi yang melahirkan ideologi
kapitalisme, kedaulatan wilayah NKRI menghadapi
tantangan dari upaya-upaya pencaplokan pulau-pulau
terpencil. Oleh karena itu, negara dituntut ekstra sensitif
untuk menjamin keamanan negaranya dari ancaman
kedaulatan bangsanya. Dengan segala dampak yang
menguntungkan dan merugikan dari globalisasi, negara
diwajibkan untuk lebih memperhatikan keamanan dari
perspektif non-konvensional. Dimana aspek-aspek ideologi,
ekonomi, budaya, sosial-politik, teknologi, militer, dan
pertahanan negara sebagai dimensi yang bisa terancam
sewaktu-waktu oleh siapapun dan negara manapun.
Ancaman yang harus kita tanggulangi dalam rangka
mempertahankan keutuhan NKRI (Negara Kesatuan
RepublikIndonesia) adalah setiap upaya dan kegiatan, baik
dari dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai
mengancam atau membahayakan kedaulatan negara,
keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa
harus segera ditangani secara serius, dikarenakan wilayah
Indonesia baik darat maupun perairan memiliki kekayaan
alam yang melimpah, sehingga menjadi sasaran negara lain
untuk memiliki dan menguasainya. Bahaya pencaplokan
pulau-pulau terpencil yang dilakukan oleh Negara lain,
dalam perspektif Nahdlatul Ulama (NU), bahwa hubungan
antara bangsa baik di bidang politik, ekonomi dan
kebudayaan harus dilakukan berdasarkan atas prinsip-
prinsip kesetaraan dan keadilan serta membuang segala
bentuk eksploitasi dan penjajahan. Karena itu segala bentuk
investasi dan bantuan asing haruslah diletakkan sebagai
upaya emansipasi rakyat bukan sebaliknya untuk
menciptakan ketergantungan dan mematikan kreativitas

54 | P a g e
bangsa. 51 Nahdlatul Ulama (NU) menolak liberalism dan
imperialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya yang
sangat gencar menjajah bangsa lain atas nama pasar bebas
dan globalisasi, karena prinsip ini telah digunakan untuk
menguasai bangsa lain, sehingga merusak tatanan sosial
bangsa lain. Selain itu, kehidupan negara dan rakyat menjadi
sangat tergantung pada negara besar sehingga
mengakibatkan kehidupan rakyat makin sengsara. Nahdlatul
Ulama (NU) juga menolak segala bentuk pengambil alihan
aset strategis Negara, baik sektor ekonomi atau sektor
pendidikan dan kebudayaan oleh pihak asing, dengan alasan
privatisasi, divestasi atau pun komersialisasi.

Perspektif Nahdlatul Ulama (NU) terkait dengan menjaga


kedaulatan bangsa dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, NU menganjurkan untuk senantiasa
memupuk persatuan di tengah masyarakat yang plural
dengan cara menanamkan sikap menghargai perbedaan lewat
komunikasi dialog dalam konteks mempertahankan
kedaulatan bangsa dan negara.

Merespon berkembangnya upaya disintegrasi dan


perpecahan antara bangsa kita sendiri yang mengakibatkan
hilangnya komitmen kebangsaan terhadap integritas dan
kesatuan bangsa yang disebabkan oleh dampak negatif
globalisasi, kebebasan berpendapat dan ekspresi tanpa batas,
yang mengakibatkan munculnya gerakan separatisme,
radikalisme, konflik ras dan agama yang mengancam
kesatuan negara Republik Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU)
merasa perlu untuk meneguhkan kembali semangat

51
Menjaga Kedaulatan sebuah negara merupakan salah satu keputusan Muktamar NU ke-31 di
Boyolali, Solo tahun 2004 tentang Taushiyah Muktamar bidang politik internasional. Lihat: PB
NU,
Hasil-hasil Muktamar XXXI Nahdlatul Ulama (Jakarta: Sekretariat Jenderal PBNU, t.th.), h. 73.

55 | P a g e
kebangsaan Indonesia dengan menyatakan bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan bentuk
final dari sistem kebangsaan di negara ini.

Menurut NU disintegritas bangsa, gerakan separatisme,


radikalisme, konflik ras dan agama ini akan menghancurkan
tertib dan struktur sosial yang sudah mapan, sehingga
merusak relasi sosial, yang kemudian memunculkan rasa
saling curiga dan saling membenci yang berujung pada
konflik sosial. Dalam situasi sekarang penguatan komitmen
kebangsaan tidak bisa dijalankan dengan cara paksaan
apalagi kekerasan tetapi perlu strategi kebudayaan baru
untuk menata hubungan sosial dan hubungan antar bangsa
berdasarkan kesetaraan dan kesukarelaan, sehingga
solidaritas sosial dan solidaritas kebangsaan bisa
diwujudkan dengan baik penuh kedamaian, oleh karenanya
bagi warga Nandliyin bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) merupakan bentuk final dari sistem
kebangsaan.52

52Menjaga Kedaulatan sebuah negara merupakan salah satu keputusan Muktamar NU ke-31 di
Boyolali, Solo tahun 2004 tentang Taushiyah Muktamar bidang politik internasional. Lihat: PB
NU, Hasil-hasil Muktamar XXXI Nahdlatul Ulama (Jakarta: Sekretariat Jenderal PBNU, t.th.),
h.62-63

56 | P a g e
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Belanda sebagai bangsa yang paling lama menguasai bangsa Indonesia


sudah melakukan banyak kebijakan-kebijakan yang sangat merugikan rakyat
Indonesia Sikap kolonial Belanda telah menumbuhkan benih-benih
ketidakpuasan bangsa Indonesia sehingga para pemuka agama menghimpun
kekuatan melalui dunia pesantren diantaranya adalah Nahdlatul Ulama (NU).
Nahdlatul Ulama bangkit menghimpun laskar-laskar kekuatan (ḥizbullāh)
untuk melawan penjahan Belanda yang dianggap kafir dan dhalim. Peran
ulama dalam perjuangan kemerdekaan negara Republik Indonesia tidak hanya
sebagai pengobar semangat santri dan masyarakatnya, akan tetapi juga
bertujuan “mempengaruhi” pemerintah agar segera menentukan sikap
melawan kekuatan asing yang ingin menggagalkan kemerdekaan negara.
Menurut Martin van Bruinessen, lahirnya “Resolusi Jihad” tidak terlepas dari
peran Ḥizbullāh, peran mereka nyata terlihat setelah berkumpulnya para kiai
se-Jawa dan Madura di kantor ANO (Ansor Nahdlatul Oelama) pada tanggal
21 Oktober 1945.

Nahdlatul Ulama (NU) mempunyai arti penting dalam perumusan


Pembukaan Undang -Undang Dasar negara Republik Indonesia, yang
terbentuk dalam Panitia Sembilan dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha -
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tahun 1945 yang menghasilkan
dokumen sejarah penting, yaitu “Piagam Jakarta”. Menurut KH. Wahid Hasyim,
bahwa toleransi yang dilakukan oleh NU dan tokoh-tokoh pejuang Muslim lain
yang menerima untuk menghapus “tujuh kata” dan menerima tuntutan kaum
Kristen Indonesia Timur, itu semua merupakan pengorbanan dan perjuangan
para ulama NU demi terpeliharanya kemerdekaan dan juga demi persatuan dan
kesatuan NKRI.

Organisasi NU juga melakukan dakwah-dakwah guna menjaga


kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. NU merupakan ORMAS
terbesar di dunia. Ada tiga yang menjadi sebab lahirnya NU yakni pertama,

57 | P a g e
motif agama. Kedua, untuk mempertahankan paham ASWAJA ( Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah) dan yang terakhir adalah motif nasionalisme.

3.2 Saran

Semoga dengan adanya pembahasan pada makalah ini dapat menjadi


masukan dansumber pengetahuan bagi semua orang dan dapat bermanfaat.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa kami hanyalah manusia biasa yang


tak luput dari salah dan lupa, oleh sebab itu kami sadar bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu kami sangat harapkan kritik dan saran
yang membangun dari semua pihak terutama dari dosen yang bersangkutan,
agar kedepannya dapat membuat yang lebih baik lagi.

58 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Vlekke, Bernard H.M. 2010. Nusantara Sejarah Indonesia.
Jakarta: Kepustakaan Popular Gramedia.

Suryanegara, Ahmad Mansur. 1996. Wacana Pergerakan Islam di


Indonesia. Bandung: Mizan.

Bruinessen, Martin Van. 1997. Tradisi, Relasi – Relasi Kuasa,


Pencarian Wacana Baru.

Hatta, Mohammad. 1969. Proklamasi 17 1945.


Jakarta: Tintamas Press.

Goncing, Nurlira. 2015. “Politik Nadhatul Ulama dan Orde Baru”.


Jurnal Magister Ilmu Politik. Volume 01. UNHASY.

Kusuma, A.B. 2004. Lahirnya Undang – Undang Dasar 1945.


Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Kafrawi, R. Moh. Dkk. 1958. Sejarah Hidup K.H. A. Wahid


Hasyim dan Karangan Tersiar. Bandung: Al – Ma’arif.

Mukhdlor, Zuhdi. 1986. NU dan Politik.


Yogyakarta: PT. Gunung Jati dan Ppnpes al – Munawwir Krapyak.

Dy, Aceng Abdul Aziz. 2006. Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah di


Indonesia. Jakarta: Pustaka Ma’arif NU.

Zuhairini. 1994. Sejarah Pendidikan Islam.


Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Mujahidin, Akhmad. 2007. Ekonomi Islam.


Jakarta: PT. Raja Grafindo 1 Persada.

Farhanuddin, Muhammad. 2017. “Peran Nahdlatul Ulama dalam


pendidikan Politik Profetik”. Jurnal Politik Profetik. Vol 5. No 2. Halaman 8.

Shobacha, Nurul. 2012. “Strategi Politik nahdlatul Ulama di Era


Orde Baru”. Vol. 02. No. 01. Hal. 9 – 11.

59 | P a g e
Amaliyah, Eva Ida. 2015. “Islam dan Dakwah”.
Sebuah Kajian Antropologi Agama. Vol. 3. No. 2. Hlm 343.

Alimuddin, Nurwahidah. 2007. “Konsep Dakwah”.


Jurnal Hufada. Vol. 4. No. 1. Hlm. 76.

Amin, Samsul Munir. 2009. “Ilmu Dakwah”.


Jakarta.

Wahid, Aburrahman. 2016. “Islam, Kosmopolitan: Nilai – Nilai


Indonesia dan Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahidlntitute.

Siddiq, KH. Achmad. 2006. Khittah Nahdliyyah.


Surabaya: Khalisa Bekerja sama dengan lajnah Ta’rif wa Nasyr Jawa Timur.

Baso, Ahmad. 2013. Agama NU untuk NKRI.


Jakarta: Pustaka Afid.

Muchith, Abdul. Muzadi. 2006. Mengenal Nahdlatul Ulama.


Jember: Masjid Sunan Kalijaga.

Zahro, Ahmad. 2004. Tradisi Intelektual NU.


Yogyakarta: LKIS.

Mansurnoor, Lik Arifin. 1990. Islam in Indonesia World, Ulama of


Madura. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Siddiq, Achmad. 1969. Pedoman Berpikir Nahdlatul Ulama


(Fikiran Nahliyah). Jember: PMII Tjabang Djember.

Zada, Khamami. 2010. Dinamika Ideologi dan Politik


Kanegaraan.
Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

Fealy, Greg. 2011. Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952 –


1967.
Yogyakarta: LKIS.

Smith, Donald Eugene. 1985. Agama dan Modernisasi Politik.


Jakarta: Rajawali Press.

60 | P a g e
Haidar, M. Ali. 1994.Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Haris, Syamsuddin. 1991. “Aspek Agama dalam Perilaku Politik


NU, dalam Pesantren”. Vol. VIII. No. 2.

Wahid, Abdurrahman. 1978. Bunga Rampai Pesantren.


Jakarta: Dharma Bakti.

Mukhtamar. 2004. Hasil Mukhtamar NU.


Jakarta: Sekretaris Jendral PBNU, t.th.

61 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai