Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN TUTORIAL

KASUS SISTEM PERSEPSI SENSORI

Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Tutorial Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah

Disusun Oleh :

Eko Nugraham. 220110180154 Risma Indriyani 220110180165

Altia Nurrohmah 220110180155 Andinita Siti M. 220110180166

Nindi Pratiwi 220110180156 Dini Aulya S. 220110180167

Ayu Siti Munigar. 220110180157 Tri Karizma 220110180168

Neng Ikhtiyarotul F. 220110180158 Eka Turjanah A. 220110180169

Artanti Lathifah 220110180159 Lidya Rahmawati 220110180170

Devi Nurrahmawati 220110180160 Astri Lufita Sari 220110180171

Erika Enurhasanah 220110180161 Ahmad Ihsan F. 220110180172

Falaq Aliman 220110180162 Putri Rizki M. R. 220110180173

Agfa Ramadhany M. 220110180163 Sinta Dewi 220110180174

Putri Restu Fajri. 220110180164

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2020
Deskripsi Kasus :

Tn. A berusia 18 tahun datang ke poli THT dengan keluhan keluar cairan pada telinga kiri
yang hilang timbul semenjak 3 tahun terakhir. Pasien memiliki riwayat operasi CWD (Canal
Wall Down) dan timpanoplasty. Namun, setelah dioperasi cairan masih keluar dari telinga
bagian kiri klien sehingga dilakukan mastoidektomi. Cairan sedikit demi sedikit mulai
berkurang, namun kini cairan dari telinga terus menerus keluar berwarna putih kental dan
semakin lama semakin berbau. Klien juga mengeluh nyeri pada telinganya. Sebelum sakit,
pasien sangat sering bermain dengan teman-teman sebayanya. Namun, semenjak sakit pasien
menjadi lebih sering bermain dirumah saja karena klien merasa malu jika telinganya keluar
cairan dan berbau. Pasien mengatakan bahwa dirinya takut diejek oleh teman-temanya dan
takut mengalami penolakan dari orang lain karena kondisi yang dialami. Saat pengkajian,
klien sering terlihat menutupi bagian telinga yang sakit.

Hasil Pemeriksaan Fisik :

Fungsi pendengaran : klien mengeluh fungsi pendengaran berkurang, sulit mendengar


saat berbicara dengan orang lain.

Keterangan Kanan Kiri

Bentuk telinga luar Normal Normal

Daun telinga Normal, nyeri tarik (-) Normal, nyeri tarik (+)

Warna epidermis Tidak hepiremis Tidak hepiremis, terdapat luka


jahitan/luka operasi mastoid

Sekret (-) (+) warna putih berbau

Serumen (-) (-)

Kelainan lain (-) (-)

Membran timpani Intake Perforadi, tertutup jaringan,


ada granulasi

Nyeri tekan Tidak ada Ada


Pemeriksaan Penunjang :

● Pemeriksaan Audiometri:

Hasil AC terdapat peningkatan, dan BC dalam batas normal sehingga dapat


disimpulkan gangguan pendengaran tipe konduksi.

● Tes Rinne, Weber, Schwabach:

Tes pendengaran Kanan Kiri Keterangan

Rinne Positif Negatif Tuli konduktif

Weber Tidak lateralisasi Lateralisasi

Schwabach Sesuai pemeriksaan Memanjang

Terapi :

● Coamoxiclav Sirup 3x2cts


● Tarivid 2 x 4 tetes

LEARNING OBJECTIVE

1. Jelaskan patofisiologi (mekanisme munculnya gejala) gangguan sistem yang ada pada
kasusi pemicu !
Pada kasus pasien mengalami Otitis Media Akut Supuratif Kronik, OMSK
sendiri ditandai dengan keadaan patologis yaitu inflamasi yang ireversibel di telinga
tengah dan mastoid. Disfungsi tuba Eustachius memegang peranan penting pada otitis
media akut dan otitis media kronis. Kontraksi muskulus veli palatini menyebabkan
tuba Eustachius membuka selama proses menelan dan pada kondisi fisiologik
tertentu, mengalirkan sekret dari telinga tengah ke nasofaring, mencegah sekret dari
nasofaring refluks ke telinga tengah dan menyeimbangkan tekanan antara telinga
tengah dengan lingkungan luar (Chole & Nason 2009).
OMSK dapat terjadi akibat komplikasi pemasangan pipa timpanostomi (pipa
gromet) pada kasus otitis media efusi (OME). Perforasi membran timpani gagal untuk
menutup spontan, terjadi infeksi berulang dari telinga luar atau paparan alergen dari
lingkungan, sehingga menyebabkan otorea yang persisten.Peradangan pada membran
timpani menyebabkan proses kongesti vaskuler, sehingga terjadi suatu daerah iskemi,
selanjutnya terjadi daerah nekrotik yang berupa bercak kuning, yang bila disertai
tekanan akibat penumpukan discaj dalam rongga timpani dapat mempermudah
terjadinya perforasi membran timpani.
Perforasi yang menetap akan menyebabkan rongga timpani selalu
berhubungan dengan dunia luar, sehingga kuman dari kanalis auditorius eksternus dan
dari udara luar dapat dengan bebas masuk ke dalam rongga timpani, menyebabkan
infeksi mudah berulang atau bahkan berlangsung terus-menerus.
Perforasi kronis yang dapat menyebabkan infeksi telinga tengah yang
berlanjut atau berulang disebabkan karena: Bakteri dapat mengkontaminasi telinga
tengah secara langsung dari telinga luar akibat efek proteksi barier fisikal membran
timpani telah hilang.
Perforasi kronis yang dapat menyebabkan infeksi telinga tengah yang
berlanjut bisa disebabkan juga karena: Membran timpani yang utuh secara normal
menghasilkan bantalan gas, yang menolong untuk mencegah refluks sekresi
nasofaring ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius. Hilangnya mekanisme
protektif ini menyebabkan terpaparnya telinga tengah terhadap bakteri patogen dari
nasofaring (Yates & Anari 2008).
Jika perforasi kronis disertai dengan adanya kolesteatoma yaitu lesi keratin
non-neoplastik yang berhubungan dengan proliferasi sel epitel dengan karakteristik
morfologi yang menyimpang (Widyatama, 2014) maka dapat dilakukan tindakan
operasi canal wall down (CWD), CWD adalah operasi pada penyakit / infeksi
kronik mukosa telinga tengah disertai kolesteatoma yang bertujuan membersihkan
jaringan patologi, mempertahankan mukosa telinga tengah dan fungsi tuba
Eustachius, menjadikan rongga mastoid, kavum timpani dan liang telinga menjadi
satu rongga dengan meruntuhkan dinding Posterior liang telinga, dengan usaha
menutup perforasi membran timpani sehingga tercapai telinga kering, mencegah
komplikasi, serta memperbaiki fungsi pendengaran bila memungkinkan (Ratna,
2015).
Selain itu pasien juga terdapat adanya perforasi membran timpani dikarenakan
terdapatnya infeksi, epitel mukosa mengalami perubahan menjadi mukosa sekretorik
dengan sel goblet yang mengekskresi sekret mukoid atau mukopurulen. Dengan
adanya infeksi akut dan sekret persisten yang berlangsung lama menyebabkan mukosa
mengalami proses pembentukan jaringan granulasi. (Toari, et. all. 2018) Maka pasien
juga melakukan tindakan operasi timpanoplasty yaitu tindakan operasi telinga untuk
memperbaiki gendang telinga (membran timpani) dengan atau tidak disertai
memperbaiki telinga tengah serta tulang pendengaran. Gendang telinga yang
diperbaiki adalah gendang telinga yang berlubang, karena trauma atau infeksi. Telinga
yang terinfeksi biasanya disertai dengan keluhan telinga berair (Aquinas & Edward,
2020).
Adanya sekret pada telinga secara terus menerus tersebut dapat menyebabkan
terjadinya tuli konduktif atau kerusakan pada bagian telinga luar dan tengah, sehingga
menghambat bunyi-bunyian yang akan masuk ke dalam telinga (Wijayanti, 2018).
Setelah dilakukan operasi CWD dan timpanoplasty pasien masih mengalami
keluarnya sekret maka dilakukan tindakan operasi mastoidektomi tindakan operasi
dengan cara membuka tulang mastoid yaitu tulang di belakang telinga untuk
membuang jaringan yang terinfeksi serta terjadi pembusukan tulang (Aquinas &
Edward 2020), namun hal itu menyebabkan terputusnya incontinuitas dan mengenai
saraf nyeri sehingga timbul diagnosa nyeri akut, dan terputusnya incontinuitas itu juga
menyebabkan adanya luka terbuka dimana hal itu dapat menjadi tempat masuknya
mikroorganisme dan beresiko untuk terjadi nya infeksi.
Menumpuknya sekret pada tuli konduktif juga dapat menyebabkan rasa penuh
pada telinga dan meningkatkan produksi cairan serosa sehingga terjadi akumulasi
cairan mukus dan serosa, karena hal tersebut menyebabkan terjadinya ruptur
membran timpani, karena adanya desakan sekret pun keluar dan berbau tidak enak
atau disebut dengan otorrhea. Keadaan tersebut membuat pasien malu dan tidak mau
berhubungan dengan orang lain, maka timbullah diagnosa gangguan body image.
Tuli konduktif juga dapat membuat terjadinya tinitur atau persepsi bunyi yang
diterima oleh telinga penderita tanpa adanya rangsangan bunyi dari luar (Nugroho,
2015) dan menurunnya fungsi pendengaran sehingga timbul diagnosa gangguan
persepsi pendengaran. Pasien yang mengalami penurunan fungsi pendengaran
membuat pasien sulit mendengar saat berbicara dengan orang lain sehingga pasien
takut dijauhi dan takut akan penolakan akan keadaannya tersebut maka dari itu timbul
diagnosa ansietas.

2. Identifikasi masalah keperawatan yang muncul pada gangguan sistem berdasarkan


data-data yang ada pada kasus pemicu!

DS DO
Pasien mengeluh keluar cairan pada telinga kiri Saat pengkajian, klien sering terlihat menutupi
yang hilang timbul semenjak 3 tahun terakhir. bagian telinga yang sakit.

Pasien memiliki riwayat operasi CWD (Canal Bentuk telinga luar normal pada sisi kanan dan
Wall Down) dan timpanoplasty kiri

Setelah dioperasi cairan masih keluar dari Daun telinga :


telinga bagian kiri klien sehingga dilakukan ● Kanan : Normal, nyeri tarik (-)
mastoidektomi. ● Kiri : Normal, nyeri tarik (+)

❖ Keadaan Normal :
nyeri Tarik (-) pada kedua daun
telinga
Cairan sedikit demi sedikit mulai berkurang, Warna epidermis :
namun kini cairan dari telinga terus menerus ● Kanan : Tidak hiperemis
keluar berwarna putih kental dan semakin lama ● Kiri : Tidak hiperemis, terdapat bekas
semakin berbau. luka jahitan/operasi pada mastoid.

❖ Keterangan : Normal

Klien juga mengeluh nyeri pada telinganya Sekret :


● Kanan : (-)
● Kiri : (+) warna putih, berbau

❖ Keadaan Normal :
tidak ada secret/(-)
Semenjak sakit pasien menjadi lebih sering Serumen :
bermain dirumah saja karena klien merasa malu ● Kanan : (-)
jika telinganya keluar cairan dan berbau ● Kiri : (-)

Kategori : Normal
Pasien mengatakan bahwa dirinya takut diejek Kelainan lain :
oleh teman-temanya dan takut mengalami ● Kanan : (-)
penolakan dari orang lain karena kondisi yang ● Kiri : (-)
dialami.
Keterangan : Normal (Tidak ada kelainan)

Klien mengeluh fungsi pendengaran berkurang, Membran Timpani :


sulit mendengar saat berbicara dengan orang ● Kanan : Intake
lain. ● Kiri : Perforasi, tertutup jaringan
glanulasi

Keadaan Normal :
Intake dan tidak ada perforasi, tidak ada
gangguan oleh jaringan granulasi/parut
Nyeri tekan :
● Kanan : Tidak ada
● Kiri : ada

Keadaan Normal :
Tidak ada nyeri tekan pada kedua sisi telinga
(kanan dan kiri)
Audiometri :
● AC meningkat (Normal : 20 dB)
● BC dalam batas normal (Normal : 0-20
dB)
Keterangan: Gangguan pendengaran tipe
Konduksi
Tes Rinne :
● Kanan : Positif
● Kiri : Negatif
Normal :
Bila masih terdengar (+)
Bila tidak terdengar (-)
Weber :
● Kanan : Tidak lateralisasi
● Kiri : Lateralisasi (Normal : Tidak
lateralisasi)
Schwabach :
● Kanan : Sesuai pemeriksa
● Kiri : Memanjang (Normal : Sesuai
pemeriksa)
Keterangan : Tuli Konduktif
Terapi :
● Coamoxiclav Sirup 3x2cts
● Tarivid 2 x 4 tetes

ANALISA DATA

Data Etiologi Masalah

Ds : Infeksi kronik mukosa tengah Gangguan persepsi


● Pasien mengeluh keluar ↓ sensori
cairan pada telinga kiri Perforasi membran tympani
yang hilang timbul ↓
semenjak 3 tahun terakhir. Peningkatan produksi cairan
● Klien mengeluh fungsi mukosa
pendengaran berkurang, ↓
sulit mendengar saat Akumulasi cairan mukus dan
berbicara dengan serosa
oranglain. ↓
Penurunan hantaran suara dan
Do :
Ruptur membran tympani
● Membran timpani telinga

kiri: Perforasi, tertutup
Tuli konduktif
jaringan glanulasi.

● Audiometri: AC
Tinitur
meningkat, BC dalam

batas normal, gangguan
Penurunan fungsi pendengaran
pendengaran tipe

konduktif (tuli konduktif).
Gngguan persepsi sensori
● Tes Rinne: Telinga kiri
negative (-)
● Tes Weber: Telinga kiri
lateralisasi.
● Tes Schwabach: Telinga
kiri memanjang.
Ds : Infeksi kronik mukosa tengah Nyeri akut
● Pasien memiliki Riwayat ↓
operasi CWD (Canal Wall Perforasi membran tympani
Down) dan ↓
tympanoplasty. Tindakan operasi mastoidektomi
● Setelah operasi cairan ↓
masih keluar dari telinga Terputusnya incontinuitas
bagian kiri klien, sehingga ↓
dilakukan mastoidektomi. Mengenai saraf nyeri
● Klien mengeluh nyeri ↓
pada telinganya. Nyeri akut
Do :
● Klien terlihat sering
menutup bagian telingan
yang sakit.
● Telinga kiri: Normal,
nyeri tarik (+)
● Terdapat bekas luka
jahitan/operasi pada
mastoid.
● Terdapat nyeri tekan pada
telinga kiri.
Ds : - Tindakan operasi mastoidektomi Risiko infeksi
Do : ↓
● Terdapat bekas luka Terputusnya inkontinuitas
jahitan/operasi pada ↓
mastoid. Luka terbuka

Jalan masuk mikroorganisme

Resiko infeksi
Ds : Infeksi kronik mukosa tengah Gangguan citra tubuh
● Semenjak sakit klien ↓
menjadi lebih sering Perforasi membran tympani
bermain dirumah saja ↓
karena klien merasa malu Peningkatan produksi cairan
jika telinganya keluar mukosa
cairan dan berbau. ↓
Do : Akumulasi cairan mukus dan
● Cairan sedikit demi sedikit serosa
mulai berkurang, namun ↓
kini cairan dari telinga Penurunan hantaran suara dan
terus menerus keluar Ruptur membran tympani
berwarna putih kental dan ↓
semakin lama semakin Otorrhea
berbau. ↓
Malu

Tidak mau berinteraksi dengan
orang lain

Gangguan body image
Ds : Infeksi kronik mukosa tengah Ansietas
● Pasien mengatakan bahwa ↓
dirinya takut diejek oleh Perforasi membran tympani

teman-temannya dan takut
Peningkatan produksi cairan
mengalami penolakan dari mukosa
orang lain karena kondisi ↓
Akumulasi cairan mukus dan
yang dialami.
serosa
Do : - ↓
Penurunan hantaran suara dan
Ruptur membran tympani

Takut akan penolakan

Ansietas

3. Susun intervensi keperawatan untuk setiap masalah keperawatan yang


teridentifikasi berdasarkan evidence terkait!

Diagnosa Tujuan Perencanaan

Intervensi (NIC) Rasional


1. Mengidentifikais
Nyeri akut Setelah 1. Lakukan
karakterisktik
berhubungan dengan dilakukan pengkajian
nyeri secara
tindakan pembedahan intervensi nyeri
komprehensif :
ditandai dengan : keperawatan 2. Observasi
lokasi, frekuensi,
selama 2 x 24 reaksi
Ds : durasi, dan faktor
jam diharapkan nonverbal
● Pasien predisposisi
pasie tidak dari nyeri
memiliki 2. Mengidentifikasi
merasakan nyeri 3. Mengatur
Riwayat nyeri
dengan kriteria posisi klien
operasi CWD menggunakan
hasil : senyaman
(Canal Wall ekspresi wajah
1. Pasien mungkin
Down) dan 3. Posisi yang
mengatak 4. Ajarkan
tympanoplasty nyaman adapat
an nyeri teknik
. mebgurangi nyeri
berkurang manajemen
● Setelah operasi 4. Mengurangi nyeri
2. Pasien non
cairan masih secara
terlihat faramakolo
keluar dari nonfarmakologik
rileks gi : teknik
telinga bagian 5. Analagetik dapat
distraksi
kiri klien, mengurangi nyeri.
relaksasi,
sehingga
nafas
dilakukan
dalam.
mastoidektomi
5. Kolaborasi
.
pemberian
● Klien
analgetik
mengeluh
nyeri pada
● Klien terlihat
sering
menutup
bagian
telingan yang
sakit.
● Telinga kiri:
Normal, nyeri
tarik (+)
● Terdapat nyeri
tekan pada
telinga kiri.

Intervensi berdasarkan EBP

1. . Utami, S. (2016) menyatakan bahwa Setelah dilakukan penelitian tentang


“Efektifitas relaksasi napas dalam dan distraksi dengan latihan 5 jari”, maka dapat
disimpulkan bahwa hasil menunjukkan bahwa relaksasi napas dalam dan distraksi
dengan latihan 5 jari efektif untuk menurunkan nyeri post laparatomi (p value <
0,05).
2. Berdasarkan penelitian dan pembahasan menurut (Rampengan, et. all, 2014) tentang
pengaruh teknik relaksasi dan teknik distraksi terhadap perubahan intensitas nyeri
pada pasien post operasi di Irina A Atas RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado,
maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.Terdapat pengaruh yang bermakna
teknik relaksasi terhadap perubahan intensitas nyeri pada pasien post operasi di
ruangan Irina A Atas RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado, dengan nilai p= 0,001
(p
1. Menurut (Syamsiah, 2015) terdapat perbedaan pengaruh terhadap skala nyeri pada
pasien dengan abdominal pain antara sesudah diberikan terapi relaksasi dan analgetik
dibandingkan sesudah diberikan terapi analgetik saja. pengaruh antara kelompok
intervensi dan kelompok kontrol terhadap skala nyeri. Dapat disimpulkan bahwa
kombinasi terapi relaksasi dengan analgetik lebih efektif menurunkan skala nyeri.

Diagnosa Tujuan Perencanaan

Intervensi (NIC) Rasional


Ansietas b.d Setelah dilakukan 1. Monitor 1. Mengetahui
kekhawatiran tindakan tanda gejala perubahan
penolakan sosial keperawatan 1x24 ansietas perilaku dan
ditandai dengan jam ansietas 2. Beri tingkat ansietas
teratasi atau dukungan 2. Dukungan
Ds:
berkurang dengan emosional emosional dapat

Pasien mengatakan kriteria hasil: 3. Pengajaran menenangkan

bahwa dirinya perawatan 3. Perawatan


Pasien
takut diejek diri mandiri terhadap
menunjukkan
temannya dan takut 4. Dukungan kondisi yang
koping
mengalami kelompok terjadi dapat
positif/adaptif
penolakan atau meminimalkan
terkait kondisinya
libatkan rasa malu yang
Do: orang diakibatkan
terdekat kondisi yang
Pasien terlihat
dialami.
sering menutupi
4. Menjamin
bagian telinga yang
adanya sistem
sakit
pendukung bagi
klien dan
memberi
kesempatan
orang terdekat
untuk
berpartisipasi

Intervensi berdasarkan EBP :

Perubahan keseluruhan aspek dalam kehidupan klien yang menderita penyakit fisik yang
dialami klien sebagai stresor yang kemudian memunculkan respons ansietas dan gangguan
citra tubuh. Ansietas dan gangguan citra tubuh pada klien dengan penyakit fisik dalam
prosesnya dapat saling mempengaruhi karena pada keduanya terdapat perubahan respons
fisik yang mendasarinya.
Intervensi keperawatan yang dilakukan dapat mengarahkan proses adaptasi yang inadaptif
sebagai upaya pembentukan kemampuan dalam menghadapi setiap kemungkinan
perubahan yang terjadi sehingga proses adaptasi senantiasa mengarah pada perilaku yang
adaptif. (Turnip, Hamid, & Wardani, 2017)

Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional

Gangguan Citra Setelah dilakukan 1. Diskusikan 1. Dengan di


Tubuh b.d perubahan tindakan persepsi dengarkan,
persepsi diri ditandai keperawatan 1x24 Pasien pasien akan
dengan jam gangguan citra tentang citra merasa lebih
tubuh teratasi dengan tubuh nya nyaman
DS:
kriteria: yang dulu 2. Dapat

-Klien merasa malu dan saat ini, meningkatkan


● body image
jika telinga keluar perasaan dan rasa percaya
positif
cairan dan bau harapan diri pasien.
● kepercayaan
yang dulu 3. Dapat
DO: diri klien
dan saat ini membersihkan
kembali
terhadap keluaran
-klien sering terlihat normal.
citra tersebut, dapat
menutupi bagian ● mempertahan
tubuhnya. mengurangi
telinga yang sakit. kan intraksi
2. Diskusikan perbedaan dari
sosial
aspek positif orang lain.
diri 4. Antibiotik
3. Anjurkan dapat
klien untuk mencegah
membersihk bertambahnya
an telinga perluasan
4. Anjurkan permukaan
klien untuk yang terinfeksi
menggunaka
n antibiotik
secara
teratur

Intervensi menurut EBP

1. Pelatihan berpikir positif merupakan salah satu pengembangan atas model kognitif
transpersonal Pelatihan berfikir positif adalah proses berpikir berkaitan erat dengan
konsentrasi, perasaan, sikap, dan perilaku. Berpikir positif dapat dideskripsikan
sebagai suatu cara berpikir yang lebih menekankan pada sudut pandang dan emosi
yang positif, baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun situasi yang dihadapi.
Pelatihan berpikir positif ini ada beberapa pendekatan psikologi, yaitu relaksasi,
visualisasi, dan afirmasi. Pelatihan berpikir positif didasarkan pada asumsi bahwa
manusia memiliki kesanggupan untuk berpikir, maka manusia mampu untukmelatih
dirinya sendiri untuk mengubah atau menghapus keyakinan yang merusak dirinya
sendiri. (Mukhlis, 2013)

2. Melakukan pendekatan terapeutik agar terbina hubungan saling percaya sehingga


dapat melakukan pengkajian masalah gangguan citra tubuh. Mahasiswa melakukan
pendekatan dengan menggunakan komunikasi terapeutik agar terbina hubungan saling
percaya. memberi kesempatan pasien mengungkapkan perasaannya tentang citra
tubuhnya dan mendiskusikan potensi bagian tubuh yang lain yang memiliki
kelebihan. Mahasiswa menanamkan cara berpikir positif pada pasien tentang
tubuhnya, agar pasien mampu mengatasi gangguan citra tubuhnya sehingga pasien
memiliki persepsi positif khususya terhadap tubuhnya umumnya terhadap hidupnya.
Selain itu mahasiswa membantu memberikan motivasi pada pasien melakukan
kegiatan sesuai kemampuan saat ini untuk meningkatkan citra tubuhnya seperti
melakukan rentang gerak sendi baik aktif maupun pasif saat di tempat tidur agar
kondisi tubuh dan kesehatannya terjaga.(SUPRIATNA, 2014)
3. Tema peningkatan kemampuan diri dalam menghadapi perubahan citra tubuh. Hal ini
sesuai dengan paparan Pallesen (2012) bahwasanya dengan pendekatan optimis pada
diri sendiri untuk hidup dapat menyebabkan individu meningkatkan pembelajaran
lanjutan tentang kemampuan dan keterbatasan, untuk pengembangan keterampilan
baru dan penciptaan dari identitas diri yang baru setelah stroke. Sehingga kemampuan
diri meningkat seiring dengan peningkatan pemulihan. Selain itu dukungan yang
diberikan keluarga dapat berupa dukungan informasional, emosional, instrumental
dan penghargaan. Walaupun tidak semua dukungan ini teridentifikasi dari partisipan
pada penelitian ini, yaitu dukungan informasional, tetapi tiga dari empat tema
dukungan keluarga ini terdapat dalam penelitian ini. dimana dukungan emosional
diperoleh dengan sikap keluarga, dukungan instrumental diperoleh dengan mengantar
saat berobat atau terapi, penghargaan diberikan dengan menunjukkan sikap keluarga
yang merawat klien. (Herawati, n.d.)

4. Terapi Generalis salah satunya terapi kohnitif menunjukkan adanya penurunan


ansietas yang diukur berdasarkan perubahan respon terhadap stresor berupa respon
kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial. Respon yang paling berpengaruh
terhadap pemberian terapi kognitif adalah respon kognitif Tindakan keperawatan
untuk gangguan citra tubuh : membantu klien mengenal gangguan citra
tubuhnya,mendiskusikan persepsi klien tentang citra tubuhnya dulu, saat ini, perasaan
dan harapan terhadap citra tubuhnya, diskusikan potensi bagian tubuh yang lain yang
masih sehat, membantu klien untuk meningkatkan fungsi tubuh yang terganggu dan
menggunakan bagian tubuh yang masih sehat, mengajarkan klien meningkatkan citra
tubuh. (Surtiningrum, 2012)
Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
1. Mengidentifikasi
Resiko infeksi Setelah dilakukan 1. Kaji kulit
adanya faktor
berhubungan dengan tindakan terhadap
pencetus masuknya
adanya luka. keperawatan 1x24 adanya iritasi
kuman penyebab
jam resiko infeksi pada luka.
DS: - infeksi.
teratasi dengan 2. Kaji tanda-
2. Sebagai indikator
DO: kriteria: tanda vital.
untuk intervensi
● Tidak 3. Tekankan
selanjutnya dari
- Terdapat menunjuka pentingnya
perubahan tanda-
bekas luka jahitan n adanya cuci tangan
tanda vital.
/ operasi pada tanda – yang baik
3. Mencegah
mastoid. tanda dan benar.
kontaminasi silang,
infeksi. 4. Lakukan
menekan resiko
● Mengetahui perawatan
infeksi.
perilaku luka yang
4. Menurunkan resiko
yang tepat dan
infeksi dan
berhubunga tindakan
mendukung proses
n dengan kontrol
penyembuhan.
resiko infeksi.
5. Menurunkan resiko
infeksi 5. perhatikan
infeksi.
● Memprakti personal
6. Menurunkan jumlah
kan strategi hygiene
organisme untuk
efektif terutama
menurunkan
untuk pada daerah
penyebaran dan
mengontrol luka.
pertumbuhannya.
infeksi 6. kolaborasi
7. Mencegah infeksi
pemberian
yang mungkin bisa
antibiotik.
terjadi sewaktu –
7. Anjurkan
waktu
pasien agar
8. Penjelasan tentang
menghindari
organisme
masuknya air
penyebab infeksi
ketelinga
dapat member
pada saat pemahaman kepada
mandi pasien tentang
8. Berikan tindakan yang akan
penjelasan dilakukan
singkat 9. Untuk menghindari
tentang transfer organism
organism dari estacius ke
penyebab telinga tengah
infeksi
9. Beritahu
pasien
untukmenghi
ndari
mengeluarkk
an ingus
dengan
paksa/terlalu
keras.

Intervensi berdasarkan EBP

1. Madu memiliki efek farmakologi antara lain sebagai antibiotika, antibakteri,


antimikroba, antiseptik, dan membantu penyembuhan serta merangsang pertumbuhan
jaringan baru, sehingga selain mempercepat penyembuhan juga mengurangi timbul
nya parut atau bekas luka pada kulit (BSN, 2002). Sementara itu kita tahu balutan
Madu mempunyai komposisi yang bermanfaat untuk penyembuhan luka diantaranya
molekul gula (fruktosa, glukosa, sukrosa), air yang berfungsi melembabkan luka,
mineral (Ca, Mg, K, Na, Fe, Cu,Zn, Iodium, Klorin, Sulfur, dan fosfat), vitamin (B
komplek, K dan B3), enzim ( amilase, invertase, phosphatase, catalase dan
peroxidase) serta asam organic antara lain asam glikolat, asam format, asam laktat,
asam sitrat, asam asetat, asam oksalat, dan asam tartarat serta acetilcholine (Mansjoer,
2000; BSN, 2002).
2. Menurut Alexandra pada tahun 2015, untuk mencegah terjadinya infeksi pada pasien
yaitu dengan cara mencuci tangan sebelum dan sesudah tindakan/perawatan luka,
alat-alat perawatan luka yang digunakan dalam keadaan steril (bebas dari kuman),
bersihkan luka dengan menggunakan teknik septik dan aseptik.

3. Menurut (Wahida, Kadriyan, & Aini, 2016) pemberian obat tetes pada telinga yaitu
Siprofloksasin. Aktifitas sensitifitas siprofloksasin terhadap bakteri penyebab OMSK.
Siprofloksasin merupakan antibiotik spektrum luas yang masih peka terhadap
beberapa jenis bakteri penyebab OMSK seperti Pseudomonas aeruginosa dan
Staphylococcus aureus.
4. Menurut (Fitria & Edward, 2012) pemberian Tetes telinga serum autologous
digunakan untuk penutupan perforasi membran timpani dimana tetes telinga serum
autologous berfungsi sebagai pelembab. Kemudian perforasi ditutup dengan membran
chitin yang berfungsi sebagai jembatan. Tetes telinga serum autologous diteteskan 1-2
tetes pada liang telinga dan dibiarkan selama 10 menit. Hal ini dilakukan 2-4 kali
sehari di rumah dan dievaluasi setiap 2 minggu. Penutupan perforasi membran
timpani terjadi pada 11 telinga dari 19 telinga yang diterapi pada penelitian ini.
Selama penggunaan serum autologous tidak ditemukan efek samping seperti nyeri,
inflamasi dan hiperkeratosis.

5. Menurut (Farida & Oktaria, 2016) unutk melakukan pencegahan infeks pada pasien
post operasi dengan cara Pasien diberikan edukasi untuk menjaga telinga agar tetap
kering agar pengobatan optimal dan dapat mencegah infeksi berulang.

Diagnosa Tujuan Perencanaan

Intervensi Rasional
Gangguan Persepsi Setelah dilakukan 1. Monitor 1. melihat perubahan
Sensori : pendengaran tindakan fungsi fungsi auditori
berhubungan dengan keperawatan selama auditori 2. Untuk
infeksi telinga tengah 2x 24 jam 2. Kaji tanda – mendiagnosa
ditandai dengan : diharapkan tanda keadaan telinga
gangguan persepsi kehilangan terhadap masalah
Ds.
sensori : pendengaran – masalah

● pasien pendengaran teratasi yang lebih pendengaran

meneluh dengan Kriteria lanjut rusak secara

fungsi hasil: 3. Ajarkan klien permanen

pendengaran untuk 3. keefektifan alat


1. Klien
berkurang saat menggunaka pendengaran
mengalami
berbicara n dan tergantung pada
peningkatan
dengan orang merawat alat gangguan,
pendengaran
lain pendengaran pemakaian serta
2. Klien dapat
secara tepat perawatan yang
Do. mendengar
4. Instruksikan tepat
saat berbicara
klien untuk 4. Apabila penyebab
● Membran dengan orang
menggunaka ketian tidak
Timpai lain
n teknik – progresif, maka
perforasi 3. Pemeriksaan
teknik yang pendengaran yang
tertutup telinga kiri:
aman dalam tersisa sensitif
jaringan ● Rinne
perawatan terhadap trauma
granulasi (+)
telinga dan infeksi
● Telingan kiri : ● Webe
sehingga sehingga harus
○ · Rinne r
dapat dilindungi
(-) tidak
mencegah 5. Penghentian terapi
○ Weber lateral
terjadinya antibiotik sebelum
lateralis isasi
ketulian lebih waktunya dapat
asi ● Sesua
jauh menyebabkan
○ Scwaba i
5. Instruksikan organisme sisa
h pemer
klien untuk resisten sehingga
meman iksa
menghabiska infeksi akan
jang
● Audiometri n seluruh berlanjut
Tuli konduktif dosis
antibiotik

Intervensi berdasarkan EBP

1. Simpulan pada penelitian D., Anggraeni (2013), bahwa pada diagnosa pasien otitis
media supuratif kronis dan tonsilitis kronis serta karies dentis. Penyelesaian pada
kasus ini, pasien sudah melakukan pengobatan ke spesialis THT, dilakukan toilet
telinga, dibekali H2O2 untuk membersihkan telinga di rumah, penggantian antibiotik
lain, dan diberikan informasi lengkap mengenai manajemen merawat telinga di
rumah. Food recall dalam sehari memakan karbohidrat, protein, sayur, dan mineral
yang baik. Pelaksanaan sikat gigi yang baik sudah dilakukan, namun perlu dilakukan
motivasi yang lebih untuk melakukan perawatan gigi yang rusak.Dibutuhkan
kerjasama yang baik antara provider kesehatan dengan keluarga agar masalah telinga
pasien dapat terselesaikan dengan tuntas. Dalam melakukan intervensi terhadap
pasien diperlukan pemeriksaan dan penanganan yang holistik, komperhensif dan
berkesinambungan. Lingkungan rumah mempengaruhi timbulnya suatu penyakit dan
sembuhnya suatu penyakit.

2. OMSK adalah penyakit infeksi kronis yang umum terjadi di seluruh dunia. Kombinasi
antibiotik topikal dan sistemik merupakan terapi terbaik dalam tatalaksana OMSK.
Antibiotik topikal golongan kuinolon lebih direkomendasikan karena lebih efektif
dibandingkan dengan golongan aminoglikosida dan tidak mempunyai efek samping
ototoksik. Amoksisilin/clavulanat merupakan obat antibiotik sistemik pilihan pertama
sedangkan golongan kuinolon merupakan obat pilihan kedua pada pasien OMSK.
Selain itu, edukasi untuk menjaga telinga supaya tetap kering agar pengobatan
optimal dan dapat mencegah infeksi berulang.

3. Karena kesulitan dalam mendengar maka penyandang hambatan pendengaran sangat


memerlukan alat bantu dengar untuk membantunya beraktifivitas dan
meminimalisasikan kesulitannya dalam mendengar lingkungan disekitarnya.
Berdasarkan analisis data dan pernyataan penelitian menunjukkan bahwa lebih dari
setengah penyandang hambatan pendengaran belum sepenuhnya memahami tentang
alat bantu dengar yang dimana alat tersebut merupakan sarana mereka memanfaatkan
sisa pendengaran, membantunya berkomunikasi dengan teman-teman dan
memudahkannya beraktifitas. Selain itu lebih dari setengah penyandang hambatan
pendengaran juga belum memahami komponen-komponen alat bantu dengar seperti
mikrofon, amplifier dan receiver begitupun bentuk-bentuk alat bantu dengar yang
terdiri dari ABD saku (Body worm aid atau Pocket hearing aid), ABD Belakang
telinga (Ear level atau Behind the ear hearing aid), ABD Dalam telinga (In the ear
hearing aid) dan ABD dalam liang telinga (XP Peritympanic hearing aid). Ada juga
menyatakan bahwa pemilihan alat bantu dengar tidak terlalu sulit dan mudah
didapatkan.

4. Penelitian menunjukkan bahwa ciprofloksasin dan polimiksin-neomisin mempunyai


sensitivitas yang lebih baik dibanding kedua tetes telinga antibiotik yang lain,
meskipun setelah dilakukan analisis post hoc, ciprofloksasin dan polimiksin-neomisin
tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik. Ciprofloksasin lebih
sensitif dibanding ofloksasin. Di Indonesia, pengobatan OMSK menggunakan
ciprofloksasin tetes jarang dilakukan oleh karena sediaan ciprofloksasin yang masih
berupa tetes mata, meskipun sudah pernah dilakukan penelitian di Yogyakarta bahwa
penggunaan ciprofloksasin tetes mata mempunyai hasil guna yang sama dengan tetes
telinga untuk pengobatan OMSK benigna, dan juga tidak menimbulkan efek samping
yang berbahaya bagi pasien. Faktor ketidak-taatan pasien dalam pemakaian antibiotik
juga bisa berpengaruh terhadap terjadinya resistensi, meskipun dokter sudah
memberikan aturan atau dosis yang sesuai. (Darmawan & Anjarwati 2012)
DAFTAR PUSTAKA

.Toari, M. A., Suprihati, S., & Naftali, Z. (2018). Lama Sakit, Letak Perforasi dan Bakteri
Penyebab Otitis Media Supuratif Kronik Sebagai Faktor Resiko Terjadinya Jenis Dan
Derajat Kurang Pendengaran Pada Penderita OMSK (Doctoral dissertation, Faculty of
Medicine).
Alexandra, O. 2015. Pencegahan Infeksi dalam Pelayanan Keluarga Berencana (Manual
Rujukan Berdasarkan Pemecahan Masalah). Jakarta : PKM.
Anggraini. (2013). Otitis Media Supuratif Kronis dan Tonsilitis Kronis Serta Karies Dentis
Dan Perilaku Kuratif Ibu. Medula, 1 (2).
Aquinas, R., & Edward, Y. (2020). Penatalaksanaan Kolesteatom Eksterna dengan
Timpanomastoidektomi Dinding Runtuh. Jurnal Kesehatan Andalas, 8(4).
Darmawan, A. B., & Anjarwati, D. U. (2012). Perbedaan sensitivitas tetes telinga antibiotik
terhadap Pseudomonas aeruginosa pada otitis media supuratif kronik. ORLI, 42 (1), 77-
82.
Faida, Y., Sapto, H., & Oktaria, D (2016).Tatalaksana Terkini Otitis Media Supuratif Kronis
(OMSK). J Medula Unila, 6 (1), 180-184.
Farida, Y., & Oktaria, D. (2016). Tatalaksana Terkini Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK).
Jurnal Medula Unila volume 6 no 1 , 180-184.
Fitria, H., & Edward, Y. (2012). Penggunaan Tetes Telinga Serum Autologous dengan
Amnion untuk. Jurnal Kesehatan Andalas volume 1 no 1 , 45-52.
Herawati, N. (n.d.). Studi Fenomenologi Pengalaman Perubahan Citra Tubuh Pada Klien Di
Rs Dr M Djamil Kota Padang, 31–40.
Mukhlis, A. (2013). Berpikir Positif Pada Ketidakpuasan Terhadap Citra Tubuh (Body Image
Dissatisfaction) Akhmad, 10(1998), 5–14.
Nason, R., Jung, J. Y., & Chole, R. A. (2009). Lipopolysaccharide-induced osteoclastogenesis
from mononuclear precursors: a mechanism for osteolysis in chronic otitis. Journal of the
Association for Research in Otolaryngology, 10(2), 151-160.
Nugroho, D. A., Muyassaroh, M., & Naftali, Z. (2015). Hubungan frekuensi dan intensitas
tinitus subjektif dengan kualitas hidup pasien. Oto Rhino Laryngologica Indonesiana,
45(1), 19-26.
Rahmi, Dilla. (2015). Minat Penyandang Hambatan Pendengaran Terhadap Penggunaan Alat
Banti Dengar (Penelitian deskriptif kuantitatif di Gerkatin Kota Padang). E-JUPEKhu
(Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus), 1(3), 39-48.
Rampengan, S. F., Rondonuwu, R., & Onibala, F. (2014). Pengaruh teknik relaksasi dan teknik
distraksi terhadap perubahan intensitas nyeri pada pasien post operasi di Ruang Irina A
Atas RSUP Prof. Dr. RD Kandou Manado. Jurnal Keperawatan, 2(2)
Restuti,Ratna. 2015 . Panduan Klinis, Panduan Praktik Klinis Tindakan, Clinical Pathway.
Jakarta : Pengurus Pusat Perhati - KL
Sugijati, D. P., &Asri, S. (2018). Perbedaan Prosws Penyembuhan Luka Terbuka
Menggunakan Balutan Madu dan NaCL 0,9 %. Jurnal Keperawatan, 6(1), 1-5.
Supriatna, N. (2014). Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan
Pada Pasien Dengan Gangguan Citra Tubuh Di Ruang Gayatri Rs.Dr. H. Marzoeki
Mahdi Bogor Karya.
Surtiningrum, A. (2012). Efektivitas Terapi Spesialis Pada Klien Gangguan Fisik Yang
Mengalami Ansietas Dan Gangguan Citra Tubuh Di Rumah Sakit Umum Pusat
Persahabatan Jakarta.
Syamsiah, N., & Muslihat, E. (2015). Pengaruh terapi relaksasi autogenik terhadap tingkat
nyeri akut pada pasien abdominal pain Di IGD RSUD Karawang 2014. Jurnal
Keperawatan BSI, 3(1)
Turnip, M., Hamid, A. Y. S., & Wardani, I. Y. (2017). Manajemen Asuhan Keperawatan
Spesialis Pada Klien Dengan Diagnosis Ansietas Dan Gangguan Citra Tubuh. Jurnal
Kesehatan, 6(1), 50–63.
Utami, S. (2016). Efektifitas Relaksasi Napas dalam dan Distraksi dengan Latihan 5 Jari
Terhadap Nyeri Post Laparatomi. Jurnal Keperawatan Jiwa, 4(1), 61-73
Wahida, N., Kadriyan, H., & Aini, S. r. (2016). Perbedaan Sensitivitas Bakteri Penyebab Otitis
Media Supuratif Kronik terhadap Antibiotik. Jurnal Kedokteran Universitas Mataram
Volume 5 Nomor 2 , 1-6.
Widyatama, I. K. H., Handoko, E., & Wahyudiono, A. D. (2014). Hubungan kadar Interleukin-
6 kolesteatoma dengan derajat kerusakan tulang pendengaran pasien otitis media supuratif
kronis. Oto Rhino Laryngologica Indonesiana, 44(2), 83-95.
Wijayati, L. (2018). Hubungan Antara Tuli Konduktif dengan Kebiasaan Membersihkan
Telinga dengan Cotton Buds Pada Mahasiswa Stikes Al - Irsyad Al -Islamiyyah Cilacap
Prodi DIII Keperawatan TK II Tahun Akademik 2016/2017. Jurnal Kesehatan Al-Irsyad,
35-39.
Yates D, Philip.(Eds.). 2008. Otitis Media. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology
Head and Neck Surgery, Second Edition.New York : McGraw-Hill, 600-835.

Anda mungkin juga menyukai