Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Tutorial Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah
Disusun Oleh :
Tn. A berusia 18 tahun datang ke poli THT dengan keluhan keluar cairan pada telinga kiri
yang hilang timbul semenjak 3 tahun terakhir. Pasien memiliki riwayat operasi CWD (Canal
Wall Down) dan timpanoplasty. Namun, setelah dioperasi cairan masih keluar dari telinga
bagian kiri klien sehingga dilakukan mastoidektomi. Cairan sedikit demi sedikit mulai
berkurang, namun kini cairan dari telinga terus menerus keluar berwarna putih kental dan
semakin lama semakin berbau. Klien juga mengeluh nyeri pada telinganya. Sebelum sakit,
pasien sangat sering bermain dengan teman-teman sebayanya. Namun, semenjak sakit pasien
menjadi lebih sering bermain dirumah saja karena klien merasa malu jika telinganya keluar
cairan dan berbau. Pasien mengatakan bahwa dirinya takut diejek oleh teman-temanya dan
takut mengalami penolakan dari orang lain karena kondisi yang dialami. Saat pengkajian,
klien sering terlihat menutupi bagian telinga yang sakit.
Daun telinga Normal, nyeri tarik (-) Normal, nyeri tarik (+)
● Pemeriksaan Audiometri:
Terapi :
LEARNING OBJECTIVE
1. Jelaskan patofisiologi (mekanisme munculnya gejala) gangguan sistem yang ada pada
kasusi pemicu !
Pada kasus pasien mengalami Otitis Media Akut Supuratif Kronik, OMSK
sendiri ditandai dengan keadaan patologis yaitu inflamasi yang ireversibel di telinga
tengah dan mastoid. Disfungsi tuba Eustachius memegang peranan penting pada otitis
media akut dan otitis media kronis. Kontraksi muskulus veli palatini menyebabkan
tuba Eustachius membuka selama proses menelan dan pada kondisi fisiologik
tertentu, mengalirkan sekret dari telinga tengah ke nasofaring, mencegah sekret dari
nasofaring refluks ke telinga tengah dan menyeimbangkan tekanan antara telinga
tengah dengan lingkungan luar (Chole & Nason 2009).
OMSK dapat terjadi akibat komplikasi pemasangan pipa timpanostomi (pipa
gromet) pada kasus otitis media efusi (OME). Perforasi membran timpani gagal untuk
menutup spontan, terjadi infeksi berulang dari telinga luar atau paparan alergen dari
lingkungan, sehingga menyebabkan otorea yang persisten.Peradangan pada membran
timpani menyebabkan proses kongesti vaskuler, sehingga terjadi suatu daerah iskemi,
selanjutnya terjadi daerah nekrotik yang berupa bercak kuning, yang bila disertai
tekanan akibat penumpukan discaj dalam rongga timpani dapat mempermudah
terjadinya perforasi membran timpani.
Perforasi yang menetap akan menyebabkan rongga timpani selalu
berhubungan dengan dunia luar, sehingga kuman dari kanalis auditorius eksternus dan
dari udara luar dapat dengan bebas masuk ke dalam rongga timpani, menyebabkan
infeksi mudah berulang atau bahkan berlangsung terus-menerus.
Perforasi kronis yang dapat menyebabkan infeksi telinga tengah yang
berlanjut atau berulang disebabkan karena: Bakteri dapat mengkontaminasi telinga
tengah secara langsung dari telinga luar akibat efek proteksi barier fisikal membran
timpani telah hilang.
Perforasi kronis yang dapat menyebabkan infeksi telinga tengah yang
berlanjut bisa disebabkan juga karena: Membran timpani yang utuh secara normal
menghasilkan bantalan gas, yang menolong untuk mencegah refluks sekresi
nasofaring ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius. Hilangnya mekanisme
protektif ini menyebabkan terpaparnya telinga tengah terhadap bakteri patogen dari
nasofaring (Yates & Anari 2008).
Jika perforasi kronis disertai dengan adanya kolesteatoma yaitu lesi keratin
non-neoplastik yang berhubungan dengan proliferasi sel epitel dengan karakteristik
morfologi yang menyimpang (Widyatama, 2014) maka dapat dilakukan tindakan
operasi canal wall down (CWD), CWD adalah operasi pada penyakit / infeksi
kronik mukosa telinga tengah disertai kolesteatoma yang bertujuan membersihkan
jaringan patologi, mempertahankan mukosa telinga tengah dan fungsi tuba
Eustachius, menjadikan rongga mastoid, kavum timpani dan liang telinga menjadi
satu rongga dengan meruntuhkan dinding Posterior liang telinga, dengan usaha
menutup perforasi membran timpani sehingga tercapai telinga kering, mencegah
komplikasi, serta memperbaiki fungsi pendengaran bila memungkinkan (Ratna,
2015).
Selain itu pasien juga terdapat adanya perforasi membran timpani dikarenakan
terdapatnya infeksi, epitel mukosa mengalami perubahan menjadi mukosa sekretorik
dengan sel goblet yang mengekskresi sekret mukoid atau mukopurulen. Dengan
adanya infeksi akut dan sekret persisten yang berlangsung lama menyebabkan mukosa
mengalami proses pembentukan jaringan granulasi. (Toari, et. all. 2018) Maka pasien
juga melakukan tindakan operasi timpanoplasty yaitu tindakan operasi telinga untuk
memperbaiki gendang telinga (membran timpani) dengan atau tidak disertai
memperbaiki telinga tengah serta tulang pendengaran. Gendang telinga yang
diperbaiki adalah gendang telinga yang berlubang, karena trauma atau infeksi. Telinga
yang terinfeksi biasanya disertai dengan keluhan telinga berair (Aquinas & Edward,
2020).
Adanya sekret pada telinga secara terus menerus tersebut dapat menyebabkan
terjadinya tuli konduktif atau kerusakan pada bagian telinga luar dan tengah, sehingga
menghambat bunyi-bunyian yang akan masuk ke dalam telinga (Wijayanti, 2018).
Setelah dilakukan operasi CWD dan timpanoplasty pasien masih mengalami
keluarnya sekret maka dilakukan tindakan operasi mastoidektomi tindakan operasi
dengan cara membuka tulang mastoid yaitu tulang di belakang telinga untuk
membuang jaringan yang terinfeksi serta terjadi pembusukan tulang (Aquinas &
Edward 2020), namun hal itu menyebabkan terputusnya incontinuitas dan mengenai
saraf nyeri sehingga timbul diagnosa nyeri akut, dan terputusnya incontinuitas itu juga
menyebabkan adanya luka terbuka dimana hal itu dapat menjadi tempat masuknya
mikroorganisme dan beresiko untuk terjadi nya infeksi.
Menumpuknya sekret pada tuli konduktif juga dapat menyebabkan rasa penuh
pada telinga dan meningkatkan produksi cairan serosa sehingga terjadi akumulasi
cairan mukus dan serosa, karena hal tersebut menyebabkan terjadinya ruptur
membran timpani, karena adanya desakan sekret pun keluar dan berbau tidak enak
atau disebut dengan otorrhea. Keadaan tersebut membuat pasien malu dan tidak mau
berhubungan dengan orang lain, maka timbullah diagnosa gangguan body image.
Tuli konduktif juga dapat membuat terjadinya tinitur atau persepsi bunyi yang
diterima oleh telinga penderita tanpa adanya rangsangan bunyi dari luar (Nugroho,
2015) dan menurunnya fungsi pendengaran sehingga timbul diagnosa gangguan
persepsi pendengaran. Pasien yang mengalami penurunan fungsi pendengaran
membuat pasien sulit mendengar saat berbicara dengan orang lain sehingga pasien
takut dijauhi dan takut akan penolakan akan keadaannya tersebut maka dari itu timbul
diagnosa ansietas.
DS DO
Pasien mengeluh keluar cairan pada telinga kiri Saat pengkajian, klien sering terlihat menutupi
yang hilang timbul semenjak 3 tahun terakhir. bagian telinga yang sakit.
Pasien memiliki riwayat operasi CWD (Canal Bentuk telinga luar normal pada sisi kanan dan
Wall Down) dan timpanoplasty kiri
❖ Keadaan Normal :
nyeri Tarik (-) pada kedua daun
telinga
Cairan sedikit demi sedikit mulai berkurang, Warna epidermis :
namun kini cairan dari telinga terus menerus ● Kanan : Tidak hiperemis
keluar berwarna putih kental dan semakin lama ● Kiri : Tidak hiperemis, terdapat bekas
semakin berbau. luka jahitan/operasi pada mastoid.
❖ Keterangan : Normal
❖ Keadaan Normal :
tidak ada secret/(-)
Semenjak sakit pasien menjadi lebih sering Serumen :
bermain dirumah saja karena klien merasa malu ● Kanan : (-)
jika telinganya keluar cairan dan berbau ● Kiri : (-)
Kategori : Normal
Pasien mengatakan bahwa dirinya takut diejek Kelainan lain :
oleh teman-temanya dan takut mengalami ● Kanan : (-)
penolakan dari orang lain karena kondisi yang ● Kiri : (-)
dialami.
Keterangan : Normal (Tidak ada kelainan)
Keadaan Normal :
Intake dan tidak ada perforasi, tidak ada
gangguan oleh jaringan granulasi/parut
Nyeri tekan :
● Kanan : Tidak ada
● Kiri : ada
Keadaan Normal :
Tidak ada nyeri tekan pada kedua sisi telinga
(kanan dan kiri)
Audiometri :
● AC meningkat (Normal : 20 dB)
● BC dalam batas normal (Normal : 0-20
dB)
Keterangan: Gangguan pendengaran tipe
Konduksi
Tes Rinne :
● Kanan : Positif
● Kiri : Negatif
Normal :
Bila masih terdengar (+)
Bila tidak terdengar (-)
Weber :
● Kanan : Tidak lateralisasi
● Kiri : Lateralisasi (Normal : Tidak
lateralisasi)
Schwabach :
● Kanan : Sesuai pemeriksa
● Kiri : Memanjang (Normal : Sesuai
pemeriksa)
Keterangan : Tuli Konduktif
Terapi :
● Coamoxiclav Sirup 3x2cts
● Tarivid 2 x 4 tetes
ANALISA DATA
Perubahan keseluruhan aspek dalam kehidupan klien yang menderita penyakit fisik yang
dialami klien sebagai stresor yang kemudian memunculkan respons ansietas dan gangguan
citra tubuh. Ansietas dan gangguan citra tubuh pada klien dengan penyakit fisik dalam
prosesnya dapat saling mempengaruhi karena pada keduanya terdapat perubahan respons
fisik yang mendasarinya.
Intervensi keperawatan yang dilakukan dapat mengarahkan proses adaptasi yang inadaptif
sebagai upaya pembentukan kemampuan dalam menghadapi setiap kemungkinan
perubahan yang terjadi sehingga proses adaptasi senantiasa mengarah pada perilaku yang
adaptif. (Turnip, Hamid, & Wardani, 2017)
1. Pelatihan berpikir positif merupakan salah satu pengembangan atas model kognitif
transpersonal Pelatihan berfikir positif adalah proses berpikir berkaitan erat dengan
konsentrasi, perasaan, sikap, dan perilaku. Berpikir positif dapat dideskripsikan
sebagai suatu cara berpikir yang lebih menekankan pada sudut pandang dan emosi
yang positif, baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun situasi yang dihadapi.
Pelatihan berpikir positif ini ada beberapa pendekatan psikologi, yaitu relaksasi,
visualisasi, dan afirmasi. Pelatihan berpikir positif didasarkan pada asumsi bahwa
manusia memiliki kesanggupan untuk berpikir, maka manusia mampu untukmelatih
dirinya sendiri untuk mengubah atau menghapus keyakinan yang merusak dirinya
sendiri. (Mukhlis, 2013)
3. Menurut (Wahida, Kadriyan, & Aini, 2016) pemberian obat tetes pada telinga yaitu
Siprofloksasin. Aktifitas sensitifitas siprofloksasin terhadap bakteri penyebab OMSK.
Siprofloksasin merupakan antibiotik spektrum luas yang masih peka terhadap
beberapa jenis bakteri penyebab OMSK seperti Pseudomonas aeruginosa dan
Staphylococcus aureus.
4. Menurut (Fitria & Edward, 2012) pemberian Tetes telinga serum autologous
digunakan untuk penutupan perforasi membran timpani dimana tetes telinga serum
autologous berfungsi sebagai pelembab. Kemudian perforasi ditutup dengan membran
chitin yang berfungsi sebagai jembatan. Tetes telinga serum autologous diteteskan 1-2
tetes pada liang telinga dan dibiarkan selama 10 menit. Hal ini dilakukan 2-4 kali
sehari di rumah dan dievaluasi setiap 2 minggu. Penutupan perforasi membran
timpani terjadi pada 11 telinga dari 19 telinga yang diterapi pada penelitian ini.
Selama penggunaan serum autologous tidak ditemukan efek samping seperti nyeri,
inflamasi dan hiperkeratosis.
5. Menurut (Farida & Oktaria, 2016) unutk melakukan pencegahan infeks pada pasien
post operasi dengan cara Pasien diberikan edukasi untuk menjaga telinga agar tetap
kering agar pengobatan optimal dan dapat mencegah infeksi berulang.
Intervensi Rasional
Gangguan Persepsi Setelah dilakukan 1. Monitor 1. melihat perubahan
Sensori : pendengaran tindakan fungsi fungsi auditori
berhubungan dengan keperawatan selama auditori 2. Untuk
infeksi telinga tengah 2x 24 jam 2. Kaji tanda – mendiagnosa
ditandai dengan : diharapkan tanda keadaan telinga
gangguan persepsi kehilangan terhadap masalah
Ds.
sensori : pendengaran – masalah
1. Simpulan pada penelitian D., Anggraeni (2013), bahwa pada diagnosa pasien otitis
media supuratif kronis dan tonsilitis kronis serta karies dentis. Penyelesaian pada
kasus ini, pasien sudah melakukan pengobatan ke spesialis THT, dilakukan toilet
telinga, dibekali H2O2 untuk membersihkan telinga di rumah, penggantian antibiotik
lain, dan diberikan informasi lengkap mengenai manajemen merawat telinga di
rumah. Food recall dalam sehari memakan karbohidrat, protein, sayur, dan mineral
yang baik. Pelaksanaan sikat gigi yang baik sudah dilakukan, namun perlu dilakukan
motivasi yang lebih untuk melakukan perawatan gigi yang rusak.Dibutuhkan
kerjasama yang baik antara provider kesehatan dengan keluarga agar masalah telinga
pasien dapat terselesaikan dengan tuntas. Dalam melakukan intervensi terhadap
pasien diperlukan pemeriksaan dan penanganan yang holistik, komperhensif dan
berkesinambungan. Lingkungan rumah mempengaruhi timbulnya suatu penyakit dan
sembuhnya suatu penyakit.
2. OMSK adalah penyakit infeksi kronis yang umum terjadi di seluruh dunia. Kombinasi
antibiotik topikal dan sistemik merupakan terapi terbaik dalam tatalaksana OMSK.
Antibiotik topikal golongan kuinolon lebih direkomendasikan karena lebih efektif
dibandingkan dengan golongan aminoglikosida dan tidak mempunyai efek samping
ototoksik. Amoksisilin/clavulanat merupakan obat antibiotik sistemik pilihan pertama
sedangkan golongan kuinolon merupakan obat pilihan kedua pada pasien OMSK.
Selain itu, edukasi untuk menjaga telinga supaya tetap kering agar pengobatan
optimal dan dapat mencegah infeksi berulang.
.Toari, M. A., Suprihati, S., & Naftali, Z. (2018). Lama Sakit, Letak Perforasi dan Bakteri
Penyebab Otitis Media Supuratif Kronik Sebagai Faktor Resiko Terjadinya Jenis Dan
Derajat Kurang Pendengaran Pada Penderita OMSK (Doctoral dissertation, Faculty of
Medicine).
Alexandra, O. 2015. Pencegahan Infeksi dalam Pelayanan Keluarga Berencana (Manual
Rujukan Berdasarkan Pemecahan Masalah). Jakarta : PKM.
Anggraini. (2013). Otitis Media Supuratif Kronis dan Tonsilitis Kronis Serta Karies Dentis
Dan Perilaku Kuratif Ibu. Medula, 1 (2).
Aquinas, R., & Edward, Y. (2020). Penatalaksanaan Kolesteatom Eksterna dengan
Timpanomastoidektomi Dinding Runtuh. Jurnal Kesehatan Andalas, 8(4).
Darmawan, A. B., & Anjarwati, D. U. (2012). Perbedaan sensitivitas tetes telinga antibiotik
terhadap Pseudomonas aeruginosa pada otitis media supuratif kronik. ORLI, 42 (1), 77-
82.
Faida, Y., Sapto, H., & Oktaria, D (2016).Tatalaksana Terkini Otitis Media Supuratif Kronis
(OMSK). J Medula Unila, 6 (1), 180-184.
Farida, Y., & Oktaria, D. (2016). Tatalaksana Terkini Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK).
Jurnal Medula Unila volume 6 no 1 , 180-184.
Fitria, H., & Edward, Y. (2012). Penggunaan Tetes Telinga Serum Autologous dengan
Amnion untuk. Jurnal Kesehatan Andalas volume 1 no 1 , 45-52.
Herawati, N. (n.d.). Studi Fenomenologi Pengalaman Perubahan Citra Tubuh Pada Klien Di
Rs Dr M Djamil Kota Padang, 31–40.
Mukhlis, A. (2013). Berpikir Positif Pada Ketidakpuasan Terhadap Citra Tubuh (Body Image
Dissatisfaction) Akhmad, 10(1998), 5–14.
Nason, R., Jung, J. Y., & Chole, R. A. (2009). Lipopolysaccharide-induced osteoclastogenesis
from mononuclear precursors: a mechanism for osteolysis in chronic otitis. Journal of the
Association for Research in Otolaryngology, 10(2), 151-160.
Nugroho, D. A., Muyassaroh, M., & Naftali, Z. (2015). Hubungan frekuensi dan intensitas
tinitus subjektif dengan kualitas hidup pasien. Oto Rhino Laryngologica Indonesiana,
45(1), 19-26.
Rahmi, Dilla. (2015). Minat Penyandang Hambatan Pendengaran Terhadap Penggunaan Alat
Banti Dengar (Penelitian deskriptif kuantitatif di Gerkatin Kota Padang). E-JUPEKhu
(Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus), 1(3), 39-48.
Rampengan, S. F., Rondonuwu, R., & Onibala, F. (2014). Pengaruh teknik relaksasi dan teknik
distraksi terhadap perubahan intensitas nyeri pada pasien post operasi di Ruang Irina A
Atas RSUP Prof. Dr. RD Kandou Manado. Jurnal Keperawatan, 2(2)
Restuti,Ratna. 2015 . Panduan Klinis, Panduan Praktik Klinis Tindakan, Clinical Pathway.
Jakarta : Pengurus Pusat Perhati - KL
Sugijati, D. P., &Asri, S. (2018). Perbedaan Prosws Penyembuhan Luka Terbuka
Menggunakan Balutan Madu dan NaCL 0,9 %. Jurnal Keperawatan, 6(1), 1-5.
Supriatna, N. (2014). Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan
Pada Pasien Dengan Gangguan Citra Tubuh Di Ruang Gayatri Rs.Dr. H. Marzoeki
Mahdi Bogor Karya.
Surtiningrum, A. (2012). Efektivitas Terapi Spesialis Pada Klien Gangguan Fisik Yang
Mengalami Ansietas Dan Gangguan Citra Tubuh Di Rumah Sakit Umum Pusat
Persahabatan Jakarta.
Syamsiah, N., & Muslihat, E. (2015). Pengaruh terapi relaksasi autogenik terhadap tingkat
nyeri akut pada pasien abdominal pain Di IGD RSUD Karawang 2014. Jurnal
Keperawatan BSI, 3(1)
Turnip, M., Hamid, A. Y. S., & Wardani, I. Y. (2017). Manajemen Asuhan Keperawatan
Spesialis Pada Klien Dengan Diagnosis Ansietas Dan Gangguan Citra Tubuh. Jurnal
Kesehatan, 6(1), 50–63.
Utami, S. (2016). Efektifitas Relaksasi Napas dalam dan Distraksi dengan Latihan 5 Jari
Terhadap Nyeri Post Laparatomi. Jurnal Keperawatan Jiwa, 4(1), 61-73
Wahida, N., Kadriyan, H., & Aini, S. r. (2016). Perbedaan Sensitivitas Bakteri Penyebab Otitis
Media Supuratif Kronik terhadap Antibiotik. Jurnal Kedokteran Universitas Mataram
Volume 5 Nomor 2 , 1-6.
Widyatama, I. K. H., Handoko, E., & Wahyudiono, A. D. (2014). Hubungan kadar Interleukin-
6 kolesteatoma dengan derajat kerusakan tulang pendengaran pasien otitis media supuratif
kronis. Oto Rhino Laryngologica Indonesiana, 44(2), 83-95.
Wijayati, L. (2018). Hubungan Antara Tuli Konduktif dengan Kebiasaan Membersihkan
Telinga dengan Cotton Buds Pada Mahasiswa Stikes Al - Irsyad Al -Islamiyyah Cilacap
Prodi DIII Keperawatan TK II Tahun Akademik 2016/2017. Jurnal Kesehatan Al-Irsyad,
35-39.
Yates D, Philip.(Eds.). 2008. Otitis Media. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology
Head and Neck Surgery, Second Edition.New York : McGraw-Hill, 600-835.