Anda di halaman 1dari 22

PERADABAN ISLAM PADA DINASTI ABBASIYAH

MAKALAH
DISUSUN OLEH
HAFIZH ATHORIQ (1917102135)
TSABBITUL AMSI (1917102139)
MAHA ALFI (1917102109)
BINTI FARIKHAH (1917102123)

KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Subhanallah Wa Ta’ala yang


telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah yang berjudul “Peradaban Islam pada masa Dinasti Abbasiyah”.
Makalah ilmiah ini telah kami susun secara maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari itu semua, kami
menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat
maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima
segala saran dan kritik agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini. Akhir
kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang “Peradaban Islam pada
Dinasti Abbasiyah” ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap
pembaca.

Purwokerto, 15 Maret 2020


DAFTAR ISI
BAB I................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.............................................................................................................4
1.1 Latar Belakang...................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................................5
BAB II...............................................................................................................................6
PEMBAHASAN...............................................................................................................6
2.1 Sejarah Berdiri Dinasti Abbasiyah.....................................................................6
2.2 Masa Kekuasaan Dinasti Abbasiyah..................................................................8
1. Periode Pertama (750-847 M)............................................................................8
2. Periode Kedua (232 H/847 M.-334 H/945 M.).................................................11
3. Periode Ketiga (334 H./945 M.-447 H./1055 M.).............................................12
4. Periode Keempat (447 H./1055 M.-590 H./1199 M.).......................................12
5. Periode Kelima (590 H./1199 M.-656 H./1258 M.)..........................................13
2.3 Kemajuan-kemajuan Dinasti Abbasiyah...........................................................16
1. Administrasi.....................................................................................................16
2. Sosial................................................................................................................17
3. Kegiatan Ilmiah................................................................................................17
4. Peran Pemerintah..............................................................................................18
2.4 Kemunduran dan Akhir Kekuasan Dinasti Abbasiyah.....................................18
BAB III...........................................................................................................................20
KESIMPULAN..............................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................22
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Zaman keemasan Islam dalam berbagai aspeknya pernah dialami
dalam sejarah. Para pakar sejarah menunjuk pada masa kekuasaan Dinasti
Abbasiyah di Baghdad. Dinasti Abbasiyah menempati kedudukan penting
dalam sejarah Islam, antara lain karena kejayaan Islam mencapai
puncaknya dalam rentang waktu yang panjang. Dinasti ini mulai berkuasa
tahun 132-656 H, bertepatan dengan tahun 750-1258 M. Penulis barat
terkemuka bernama Philip K. Hitti menyebut masa dinasti ini sebagai the
most brilliant period atau masa yang paling cemerlang. Dalam ungkapan
yang berbeda, Stephen Humphrey mengatakan bahwa berdirinya Dinasti
Abbasiyah merupakan “titik balik paling menentukan dalam sejarah
Islam”.
Dinasti Abbasiyah berkuasa setelah dinasti Umayyah runtuh. Hal itu
terjadi pada tahun 132 H. Asal-usul Dinasti Abbasiyah diawali oleh
pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh keturunan Abbas,
paman Nabi, yaitu Muhammad Ibn Ali, kemudian Ibrahim Ibn
Muhammad sampai Abu Al-Abbas yang bergelar Al-Saffah, terhadap
pemerintahan Dinasti Bani Umayyah. Pemberontakan-pemberontakan
tersebut dilakukan secara terus-menerus dan terorganisasi sehingga pada
akhirnya terjadi revolusi menumbangkan Dinasti Bani Umayyah.
Pada awalnya Dinasti Abbasiyah menempati Kuffah sebagai ibu kota
dengan pusatnya di Istana Hasyimiyah. Tampaknya, Kuffah merupakan
basis Syiah dan pusat pemberontakan suku Arab pendukung Bani
Umayyah. Kemudian mereka membangun kota Baghdad, dan
memindahkan pusat pemerintahan ke kota baru ini.
Dengan naiknya Dinasti Abbasiyah ke panggung kekuasaan, sejarah
Islam memasuki fase baru. Semenjak masa ini berakhirlah riwayat entitas
politik Islam yang didominasi golongan aristokrasi Arab, dan sebaliknya
mulai periode ini pula kaum Muslim Arab dan non Arab bergandengan
tangan, tidak hanya dalam menegakkan entitas politik Islam, tetapi juga
membangun dan mengembangkan peradaban Islam.
Pada masa Dinasti Abbasiyah, peradaban dan kebudayaan Islam tubuh
dan berkembang bahkan mencapai kejayaan. Hal tersebut dikarenakan
Dinasti Abbasiyah pada periode ini lebih menekankan pembinaan
peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Puncak
kejayaan Dinasti Abbasiyah terjadi pada masa khalifah Harun Ar-Rasyid
(786-809 M) dan anaknya Al-Makmun (813-833 M). Ketika
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah berdirinya Dinasti Abbasiyah ?
2. Seperti apa masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah ?
3. Apa saja yang diperoleh pada masa kejayaan Dinasti Abbasiyah ?
4. Apa faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Dinasti Abbasiyah ?
5. Bagaimana akhir masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah berdirinya Dinasti Abbasiyah;
2. Untuk mengetahui bentuk kekuasaan Dinasti Abbasiyah;
3. Untuk mengetahui apa saja yang diperoleh pada masa kejayaan Dinasti
Abbasiyah;
4. Untuk mengetahui faktor kemunduran Dinasti Abbasiyah;
5. Untuk mengetahui akhir masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Berdiri Dinasti Abbasiyah


Nama dinasti Abbasiah, diambil dari nama salah seorang paman
Nabi Muhammad saw. bernama Al-Abbas bin Abdul Muththalib ibn
Hasyim. Secara nasab, para pencetus dinasti ini memang termasuk
keturunan keluarga Nabi dari jalur Al-Abbas. Istilah Abbasiyyun belum
dikenal pada masa-masa sebelum tahun 132 H, yang terkenal adalah
golongan yang mengatasnamakan istilah Hasyimiyyin atau Bani Hasyim.
Asal-usul dinasti ini dimulai dari seorang bernama Ali Ibn Abdullah Ibn
Al-Abbas. Ia seorang yang loyal terhadap bani Umayyah. Oleh karena itu,
Khalifah Al-Walid Ibn Abd Al-Malik memberi kepada Ali sebuah tempat
bernama Humaymah, dekat Damaskus. Tempat ini mulanya tenang dan
tentram. Namun keadaan berubah ketika Muhammad, putra Ali, memiliki
obsesi untuk meletakkan dasar-dasar kekuasan dengan cara
mempropagandakan perebutan kekuasaan bani Umayyah.1
Adanya kecenderungan untuk mengangkat kelebihan kedekatan
nasab ini, bermula dari menonjolnya nasab kekeluargaan yang
mendominasi sistem kekhalifahan dinasti Umayyah. Umat Islam di masa
Umayyah, tidak semua menyetujui dominasi keluarga khalifah yang
memonopoli tampuk kekhalifahan daulah Islamiyah. Namun, hal itu tidak
serta-merta bisa diubah dengan mudah lantaran kekuasaan bani Umayyah
seakan memperkuat sistem pewarisan tahta tersebut.
Kalangan bani Abbas memandang bahwa kepemimpinan umat
tidak boleh dipegang oleh keluarga yang tidak ada hubungan kerabat
dengan Nabi Muhammad, karena otoritas kepemimpinan umat hanya ada
di tangan keluarga Nabi. Sisi lain yang mendorong bani Abbas untuk
mengambil alih tampuk kekhalifahan dari tangan bani Umayyah, adanya
bani Umayyah secara paksa menguasai khilafah melalui tragedi perang
siffin. sementara pengambil alihan bani Umayyah belum sepenuhnya di
sepakati umat Islam. Hal itu semakin bertambah setelah melihat realita
1
Lihat Al-Thabari, Tarikh, Juz 8, hlm. 8-9.
kepemimpinan dinasti bani Umayyah, beberapa khalifah yang seharusnya
menjadi pengayom umat, malah terkesan hidup bermewah-mewah dan
kurang menjalankan ajaran Islam secara baik dari segi Ibadah dan
perilaku. Ide mengambil alih kepemimpinan semakin kuat untuk
diwujudkan setelah melihat permusuhan yang makin lama makin tajam
antara pendukung bani Umayyah dan kelompok Alawiyyin.2
Dalam perjuangan perebutan kekuasaan, setelah meninggalnya
Muhammad, perjuangan dilanjutkan oleh putranya, Ibrahim. Dengan
bergerilya, ia kemudian mempropagandakan gerakan antibani Umayyah ke
setiap penduduk, terutama di dua kota, yaitu Kufah dan Khurasan. Dalam
perjuangannya ia menemukan tokoh yang cerdas bernama Abu Muslim
Al-Khurasani. Dalam gerakan propaganda, Ibrahim tertangkap oleh tentara
Dinasti bani Umayyah , kemudian dipenjarakan di kota Harran sampai
akhirnya dibunuh. Perjuangannya kemudian dilanjut oleh Abu Al-Abbas
yang bergelar Al-Saffah.
Gerakan yang dilancarkan Abu Al-Abbas makin meluas dan
memperoleh dukungan dari berbagai kelompok pemberontak seperti kaum
Syiah, oposisi pimpinan Al-Mukhtar; dan kelompok oposisi pimpinan Abu
Muslim Al-Khurasani.
Sementara itu, terdapat tiga tempat penting yang dijadikan basis
perlawanan dengan fungsi yang berbeda-beda. Pertama, Humaymah.
Tempat ini berfungsi sebagai basis penyusunan, strategi, taktik, intelijen,
dan basis pengaderan pasukan untuk melumpuhkan kekuatan pertahanan
lawan. Kedua, Kufah. Tempat ini dijadikan basis komunikasi dan
informasi antara Humaymah dan Khurasan. Ketiga, Khurasan. Tempat ini
dijadikan basis atau pusat kegiatan perlawanan, karena di sinilah para
pasukan pemberontakan digembleng dan disiaptempurkan kapan saja
diperlukan.
Dalam mempersiapkan operasi perlawanan, Abu Al-Abbas dengan
sangat tepat mengangkat panglima perangnya yaitu Abu Muslim Al-
Khurasani. Tokoh ini dapat ditempatkan sebagai tokoh sentral karena

2
Lihat pidato politik Al-Saffah setelah dibaiat menjadi khalifah. Ibn Katsir, Al-Bidayah, Juz X, hlm. 41-42.
dialah arsitek sebenarnya dari revolusi Abbasiyah. Pada tahun 132 H (750
M), daulat Umayyah digulingkan oleh Abbasiyah dengan terbunuhnya
khalifah terakhir bani Umayyah, Marwan bin Muhammad di Būshīr,
wilayah Bani Suwayf ketika melarikan diri hingga ke Mesir. Dengan
demikian maka berdirilah Daulah Abbasiyah yang dipimpin oleh khalifah
pertamanya, Abū al-‘Abbas al-Saffāh yang berpusat untuk pertama kali di
Kufah.
2.2 Masa Kekuasaan Dinasti Abbasiyah
Kekuasaan dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu
yang cukup panjang, masa pemerintahannya mencakup lima abad, dari
tahun 132 H (750 M) sampai dengan 656 H (1258 M). Selama dinasti ini
berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial dan budaya. Dalam perkembangannya dinasti
Abbasiyah dibagi menjadi lima periode3, yaitu:
1. Periode Pertama (750-847 M)
Sebagaimana kita telah ketahui Daulah Abbasiah didirikan
oleh Abu Abbas yang sekaligus pendiri Dinasti Abbasiah. Ternyata
dia tidak lama berkuasa, hanya empat tahun. Pengembangan dalam
arti yang sesungguhnya dilakukan oleh penggantinya yaitu Abu
Ja’far al-Mansur (754-775 M.). Dia memerintah dengan kejam,
yang merupakan modal bagi tercapainya masa kejayaan Daulah
Abbasiah.
Menunjang langkah menuju masa kejayaan beberapa
kebijakan diambil oleh khalifah baru itu, seperti memindahkan ibu
kota ke Bagdad. Kota baru yang indah yang sengaja dibangun di
tepi aliran sungai Tigris dan Eufrat untuk menjadi ibu kota Daulah
Abbasiah. Sementara itu perbaikan di bidang administrasi
pemerintahan disusun dengan baik. Pengawasan terhadap berbagai
kegiatan pemerintahan diperketat. Petugas pos-pos kemunikasi dan
surat-menyurat ditingkatkan fungsinya menjadi lembaga pengawas
terhadap para gubernur. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi
3
Abu Su’ud, Islamologi(Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradaban Umat Islam), (Cet. I; PT.
Rineka Cipta: Jakarta, 2003), h. 74.
kemungkinan terjadinya gerakan separatis dan pemberontakan. Tak
urung gejala pemberontakan itu memang muncul di mana-mana.
Misalnya beberapa daerah taklukan melepaskan diri.
Pada periode awal pemerintahan Dinasti Abbasiah masih
menekankan pada kebijakan perluasan wilayah. Dalam upaya
melakukan perluasan daerah, Bani Abbasiah bisa langsung ke
bentengnya di Asia, seperti kota Malatia, wilayah Coppadocia, dan
Sicilia pada tahun 775-785. Ke utara bala tentaranya melintasi
pegunungan Taurus dan mendekati Selat Bosporus, dan berdamai
dengan Kaisar Constantine V. Di samping itu, berbeda dengan
Daulah Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiah memakai gelar
“takhta”. Al-Mansur misalnya, gelarnya dengan takhta Abu Ja’far
lebih dikenal daripada nama sesungguhnya.
Kalau dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiah ini telah
diletakkan dan dibangun oleh Abu Abbas al-Saffah dan Abu Ja’far
al-Mansur, maka puncak keemasan dinasti ini berada pada tujuh
khalifah sesudahnya, sejak masa Khalifah al-Mahdi (775-785)
hingga Khalifah al-Wasiq (842-847).
Puncak popularitas daulat ini berada pada zaman Khalifah
Harun al-Rasyid (786-809 M.) dan putranya al-Ma’mun (813-833
M.). Penguasa itu lebih menekankan pengembangan dan
pembinaan peradaban serta kebudayaan Islam ketimbang perluasan
wilayah seperti di masa Umayyah. Orientasi pada pembangunan
peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsure pembeda lainnya
antara Dinasti Abbasiah dan Dinasti Umayyah yang lebih
mementingkan perluasan daerah.
Pada zaman al-Mahdi, perekonomian meningkat. Irigasi
yang dibangun membuat hasil pertanian berlipat ganda
dibandingkan masa sebelumnya.
Tingkat kemakmuran yang paling tinggi adalah pada zaman
Harun al-Rasyid. Masa itu berlangsung sampai dengan masa al-
Ma’mun. Al-Ma’mun menonjol dalam hal gerakan intelektual dan
ilmu pengetahuan dengan menerjemahkan buku-buku dari Yunani.
Faktor-faktor berikut merupakan penyebab Daulah
Abbasiah pada periode pertama ini berhasil mencapai masa
keemasan: Pertama, terjadinya asimilasi dalam Daulah Abbasiah
ini. Berpastisipasinya unsure-unsur non-Arab, terutama bangsa
Persia, dalam pembinaan peradaban Baitul Hikmah dan Darul
Hikmah yang didirikan oleh Khlalifah Harun al-Rasyid dan
mencapai puncaknya pada masa Khalifah al-Ma’mun.
Dalam periode ini, sebenarnya banyak gerakan politik yang
mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri
maupun dari luar. Mereka merupakan sisa-sisa kekuatan Dinasti
Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas. Terdapat pula kekuatan
revolusioner kaum khawarij di Afrika Utara, kekuatan oposisi lain
adalah gerakan kaum Zindik di Persia, dan gerakan Syiah. Semua
kekuatan oposisi itu berhasil dipadamkan. Dalam kondisi seperti
itu, para khalifah mempunyai prinsip kuat sebagai pusat politik dan
agama sekaligus. Apabila tidak, seperti pada periode sesudahnya,
stabilitas tidak lagi dapat dikontrol, bahkan para Khalifah sendiri
berada di bawah pengaruh kekuasaan yang lain.
Selanjutnya demi memperkokoh kedudukan khalifah,
secara konseptual dinyatakan bahwa khlalifah bukan lagi khalifah
fi al-‘Ardh, atau wakil Allah di Bumi. Semboyan baru yang dipakai
adalah Sultan Allah fi al-‘Ardh artinya pemegang kekuasaan Allah
di Bumi. Selain itu yang dilakukan adalah menyingkirkan semua
pesaing, tidak padang bulu. Bahkan teman seperjuangan-pun
dihabisi, jika diperkirakan akan menjadi penghalang. Misalnya
Abdullah bin Ali, yang menjadi gubernur Mesir dan Salih bin Ali,
gubernur Syria, keduanya dibunuh sebagai musuh. Bahkan Abu
Muslim al-Khurasany, orang kepercayaannya dari keturunan
Persia, tak urung dihabisi pula. Bahkan di samping itu, orang-orang
syiah, Umayyah, dan khawarij-pun selalu dikejar-kejar.
Kekhalifahan Bani Abbas biasa dikaitkan dengan Sultan
Harun al-Rasyid, yang digambarkan sebagai sultan paling terkenal
dalam zaman keemasan kekhalifahan Abbasyiah. Sebenarnya
zaman keemasan itu telah dimulai pemerintahan pengganti
Khalifah al-Ja’far, dan mencapai puncaknya pada masa Khalifah
Harun al-Rasyid. Pada masa-masa itu para khalifah
mengembangkan berbagai jenis kesenian, terutama kesusastraan
pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya. Berbagai buku
bermutu diterjemahkan dari peradaban India maupun Yunani.
Dengan cara-cara seperti itu Abbasiyah telah mengantarkan agama
Islam memasuki peradaban dunia, dan jadilah Islam mendunia
tidak hanya berkembang di dunia Arab.
2. Periode Kedua (232 H/847 M.-334 H/945 M.)
Khalifah al-Mutawakkil (847-861 M.) yang merupakan
awal dari periode ini adalah seorang khalifah yang lemah. Pada
masanya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat
setelah al-Mutawakkil wafat. Mereka telah memilih dan
mengangkat khalifah sesuai dengan kehendak mereka. Dengan
demikian, Bani Abbasiyah tidak lagi mempunyai kekuasaan,
meskipun resminya merekalah penguasa. Usaha untuk melepaskan
dari dominasi tentara Turki itu selalu gagal.
Pemberontakan masih bermunculan dalam periode ini,
seperti pemberontakan Zanj di dataran Irak Selatan dan
pemberontakan Karamitah yang berpusat di Bahrain. Namun bukan
itu semua yang menghambat upaya mewujudkan kesatuan politik
Daulah Abbasyiah. Faktor-faktor penting yang menyebabkan
kemunduran Bani Abbas pada periode ini adalah sebagai berikut.
Pertama, luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah yang harus
dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Berbarengan dengan
itu kadar saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana
pemerintahan sangat rendah. Yang kedua, profesionalisai tentara
menyebabkan ketergantungan kepada mereka menjadi sangat
tinggi. Ketiga, kesulitan keuangan karena beban pembiayaan
tentara sangat besar. Setelah kekuatan militer merosot, khalifah
tidak sanggup lagi memaksa pengiriman pajak ke Bagdad.4
Dari dua belas khalifah pada periode ini, hanya empat
orang yang wafat dengan wajar, sedangkan selebihnya, kalau tidak
dibunuh, mereka digulingkan dengan paksa.
3. Periode Ketiga (334 H./945 M.-447 H./1055 M.)
Posisi Daulah Abbasiah yang berada di bawah kekuasaan
Bani Buwaihi merupakan ciri utama periode ketiga ini. Keadaan
khalifah lebih buruk ketimbang di masa sebelumnya, lebih-lebih
karena Bani Buwaihi menganut aliran Syiah. Akibatnya kedudukan
khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi
gaji. Sementara itu Bani Buwaihi telah membagi kekuasaannya
kepada tiga bersaudara. Ali menguasai wilayah bagian selatan
negeri Persia, Hasan menguasai wilayah bagian utara, dan Ahmad
menguasai wilayah al-Ahwaz, Wasit, dan Bagdad. Dengan
demikian, Bagdad pada periode ini tidak lagi merupakan pusat
pemerintahan Islam, karena telah pindah ke Syiraz di mana
berkuasa Ali bin Buwaihi yang memiliki kekuasaan Bani Buwaihi.
Patut dicatat pula bahwa selama masa Bani Buwaihi
berkuasa di Bagdad, telah terjadi beberapa kali bentrokan sosial
antara aliran Ahlu al-Sunnah dan Syiah, dan pemberontakan
tentara.
Pada periode ini bidang ilmu pengetahuan Daulah Abbasiah
masih terus mengalami kemajuan. Pada masa inilah muncul
pemikir-pemikir besar seperti al-Farabi (870-950 M.), Ibnu Sina
(980-1037 M.), al-Biruni (973-1048 M.), Ibnu Maskawaih (930-
1030 M.), dan kelompok studi Ikhwan al-Safa. Bidang ekonomi,
pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan.
4. Periode Keempat (447 H./1055 M.-590 H./1199 M.)

4
Abu Su’ud, Islamologi(Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradaban Umat Islam), (Cet. I; PT.
Rineka Cipta: Jakarta, 2003), h. 80.
Periode keempat ini ditandai oleh kekuasaan Bani Saljuk
dalam Daulah Abbasiah. Kehadiran Bani Saljuk ini atas
“undangan” khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaihi
di Bagdad. Keadaan khalifah memang sudah membaik, paling
tidak karena kewibawaannya dalam bidang agama sudah kembali
setelah beberapa lama dikuasai orang-orang Syiah.
Seperti halnya pada periode sebelumnya, ilmu pengetahuan
juga berkembang dalam periode ini. Cendekiawan yang dilahirkan
pada periode ini antara lain al-Zamakhsyari, penulis dalam bidang
tafsir dan ushuluddin (teologi); al-Kusyairi dalam bidang tafsir; al-
Ghazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawuf; dan Umar
Khayyam dalam bidang ilmu perbintangan.
Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di
kota Bagdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi
beberapa provinsi dengan seorang gubernur untuk mengepalai
masing-masing provinsi tersebut. Pada masa pusat kekuasaan
melemah, masing-masing provinsi memerdekakan diri.
5. Periode Kelima (590 H./1199 M.-656 H./1258 M.)
Terjadi Perubahan besar-besaran dalam kekhalifahan
Abbasiah dalam periode kelima ini. Pada periode ini, khalifah
Abbasiah tidak lagi berada di bawah kekuasaan sautu dinasti
tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa, tetapi hanya di Bagdad
dan di sekitarnya. Sempitnya wilayah kekuasaan khalifah
menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah datang
tentara Mongol dan Tartar menghancurkan Bagdad tanpa
perlawanan pada tahun 656 H./1258 M.
Faktor-faktor yang membuat Daulah Abbasiah menjadi
lemah dan kemudian hancur, dapat dikelompokkan menjadi dua.
Faktor Interen dan Eksteren. Diantara factor Intern adalah (1)
Adanya persaingan tidak sehat antara beberapa bangsa yang
terhimpun dalam Daulah Abbasiah, terutama Arab, Persia, dan
Turki. (2) Terjadinya perselisihan pendapat di antara kelompok
pemikiran agama yang ada, selanjutnya berkembang menjadi
pertumpahan darah. (3) Munculnya dinasti-dinasti kecil sebagai
akibat perpecahan sosial yang berkepanjangan. Akhirnya (4)
Terjadinya kemerosotan tingkat perekonomian sebagai akibat dari
bentrokan politik.
Sedangkan faktor Eskteren yang terjadi adalah (1)
Berlangsungnya Perang Salib yang berkepanjangan dalam
beberapa gelombang dan (2) Pasukan Mongol dan Tartar yang
dipimpin Hulagu Khan, berhasil menjarah semua pusat-pusast
kekuasaan maupun pusat ilmu yaitu perpustakaan Bagdad.5
Para khalifah Abbasiyah sebanyak 37 orang, sebagaimana
tercantum di bawah ini:
1. Abū al’Abbās al-Saffāh (132-136 H / 750-754 M)
2. Abū Ja’far al-Manshūr (136-158 H / 754-775 M)
3. Abū ‘Abdullāh Muhammad al-Mahdi (158-169 H / 775-
785 M)
4. Abū Muhammad Musa al-Hādi (169-170 H / 785-786 M)
5. Abū Ja’far Hārun al-Rasyīd (170-193 H / 786-809 M)
6. Abū Musa Muhammad al-Amin (193-198 H / 809-813
M)
7. Abū Ja’far ‘Abdullah al-Ma’mūn (198-218 H / 813-833
M)
8. Abū Ishaq Muhammad al-Mu’tashim (218-227 H / 833-
842 M)
9. Abū Ja’far Hārun al-Wātsiq (227-232 H / 842-847 M)
10. Abū al-Fadhl Ja’far al-Mutawakkil (232-247 H / 847-
861 M)
11. Abū Ja’far Muhammad al-Muntashir (247-248 H / 861-
862 M)
12. Abū al-‘Abbās Ahmad al-Musta’īn (248-252 H / 862-
866 M)
5
Abu Su’ud, Islamologi(Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradaban Umat Islam), (Cet. I; PT.
Rineka Cipta: Jakarta, 2003), h. 82.
13. Abū ‘Abdullah Muhammad al-Mu’taz (252-255 H /
866-869 M)
14. Abū Ishaq Muhammad al-Muhtadi (255-256 H / 869-
870 M)
15. Abū al-‘Abbās Ahmad al-Mu’tamid (256-279 H / 870-
892 M)
16. Abū al-‘Abbās Ahmad al-Mu’tadhid (279-289 H / 892-
902 M)
17. Abū Muhammad ‘Ali al-Muktafīy (289-295 H / 902-
905 M)
18. Abū al-Fadhl Ja’far al-Muqtadir (295-320 H / 905-932
M)
19. Abū Manshūr Muhammad al-Qāhir (320-322 H / 932-
934 M)
20. Abū al’Abbās Muhammad al-Rādhi (322-329 H / 934-
940 M)
21. Abū Ishaq Ibrahim al-Muttaqi (329-333 H / 940-944 M)
22. Abū al-Qāsim ‘Abdullāh al-Mustakfīy (333-334 H /
944-946 M)
23. Abū al-Qāsim al-Fadhl al-Muthī’ (334-362 H / 946-974
M)
24. Abū al-Fadhl ‘abd al-Karīm al-Thāi’ (362-381 H / 974-
991 M)
25. Abū al-‘Abbās Ahmad al-Qādir (381-422 H / 991-1031
M)
26. Abū Ja’far ‘Abdullah al-Qāim (422-467 H / 1031-1075
M)
27. Abū al-Qāsim ‘Abdullah al-Muqtadi (467-487 H /
1075-1094 M)
28. Abū al-‘Abbās Ahmad al-Mustazhhir (487-512 H /
1094-1118 M)
29. Abū Manshūr al-Fadhl al-Mustarsyid (512-529 H /
1118-1135 M)
30. Abū Ja’far al-Mansūr al-Rāsyid (529-530 H / 1135-
1136 M)
31. Abū ‘Abdillāh Muhammad al-Muqtafīy (530-555 H /
1136-1160 M)
32. Abū al-Muzhaffar al-Mustanjid (555-566 H / 1160-
1170 M)
33. Abū Muhammad al-Hasan al-Mustadhī (566-575 H /
1170-1180 M)
34. Abū al-‘Abbās Ahmad al-Nāshir (575-622 H / 1180-
1225 M)
35. Abū Nashr Muhammad al-Zhāhir (622-623 H / 1225-
1226 M)
36. Abū Ja’far al-Manshūr al-Mustanshir (623-640 H /
1226-1242 M)
37. Abū Ahmad ‘Abdullah al-Musta’shim (640-656 H /
1242-1258 M)
2.3 Kemajuan-kemajuan Dinasti Abbasiyah
Sisi kemajuan yang dicapai umat Islam pada masa dinasti
Abbasiah dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori, antara lain.
1. Administrasi
Khalifah sebagai kepala pemerintahan, penguasa tertinggi
sekaligus menguasai jabatan keagamaan dan sebagai pemimpin
sakral. Disebut juga, bahwa para khalifah tidak mempunyai aturan
baku dalam menetapkan putera mahkota, dan itu telah bermula
sejak masa al-Amin.
Pada masa ini, jabatan penting diisi oleh seorang wazir
yang menjalankan tugas sesuai dengan aturan yang digariskan
hukum Islam sebagai orang yang berperan mengangkat dan
menurunkan para pegawai. Selain jabatan wazir, masih ada lagi
jabatan penting lain. Hajib, perantara antara rakyat dengan
khalifah. Kemudian jabatan jallad, pelaksana hukuman terhadap
terdakwa sering diistilahkan dengan algojo atau eksekutor yang
selalu siap di belakang khalifah.
Demi kelancaran administrasi wilayah, khalifah bani
Abbasiah membagi susunan pemerintahan menjadi pemerintah
pusat dan wilayah. Satu wilayah dianggap sebagai satu propinsi.
Setiap propinsi dipimpin oleh seorang amir yang melaksanakan
tugas khalifah dan bertanggungjawab kepadanya.
2. Sosial
Masyarakat pada masa Abbasyiah, gengsi kearaban bangsa
arab sudah luntur berubah menjadi masyarakat majemuk. Untuk
memperlancar proses pembaruan antara bangsa Arab dengan rakyat
taklukan, lembaga poligami, selir, dan perdagangan budak terbukti
efektif. Saat unsur arab murni surut, orang mawali dan anak-anak
perempuan yang dimerdekakan, mulai menggantikan posisi
mereka. Dunia politik-pun ikut diwarnai sumbangsih wanita,
seperti Khaizuran (istri khalifah al-Mahdi), (putrinya) Ulayyah,
dan (Permaisuri Harun al-Rasyid) Zubaydah. Meskipun
perbudakan masih berlaku, namun pemerintah bersikap terhadap
mereka dengan penuh kemanusiaan, bahkan sama dengan bangsa
Arab.
3. Kegiatan Ilmiah
Periode Abbasiyah sangat identik dengan era
pengembangan ilmu pengetahuan. Istilah yang melekat dengan
masa keemasan, banyak dipengaruhi oleh kemajuan pada beberapa
bidang ilmu pengetahuan. Hal itu tidak terlepas akan adanya
khalifah Mansur mengumpulkan para cendekiawan-cendekiawan
Persia yang diangkat menjadi pegawai penting serta pembangunan
bait al-Hikmah sebagai pusat pengkajian. Adanya mereka sebagai
pejabat, tidak meninggalkan kecintaan mereka akan pengembangan
ilmu pengetahuan di semua bidang. Sebagai contoh ilmu filsafat,
ada banyak daerah yang dikenal dengan pengembangan filsafatnya
antara lain Damaskus, Alexandria, Qaryawan, Fustat, Kairo, dan
lain-lain. Kemudian hal lain yang mendukung adalah faham
mu’tazilah yang dianut, menganjurkan kemerdekaan dan
kebebasan berpikir kepada manusia. Bahkan pada masa khalifah al-
Ma’mun mu’tazilah dijadikan mazhab resmi negara.
Sisi lain yang lebih menonjolkan perkembangan ilmu
pengetahuan masa Abbasiyah adalah pribadi para khalifah. Dari
berapa banyak khalifah, memang ada beberapa orang yang terkenal
kutu buku. Diantaranya adalah al-Mansur, Harun, dan al-Ma’mun
memang dikenal kutu buku, dan cinta ilmu pengetahuan. Hal itu
membawa kebijakan-kebijakan mereka mengarah kepada
peningkatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu-ilmu
agama, bahasa dan adab telah begitu mendalam dikaji pada masa
Abbasiyah. Termasuk kebanggaan masa Abbasiah adalah
munculnya empat mazhab besar dalam bidang fiqih. Begitu pula
ilmu-ilmu lain seperti kedokteran, manthiq, olah raga, ilmu
astronomi, dan ilmu-ilmu lain telah dimulai dan dikembangkan
begitu pesat.
4. Peran Pemerintah
Kemajuan yang dicapai lebih-kurangnya pasti tergantung
kepada peran pemimpin. Termasuklah upaya penerjemahan
sumber-sumber ilmu pengetahuan dari bahasa asing ke dalam
bahasa arab.
Buku-buku yang terkumpul di Bait al-Hikmah dibuang ke
sungai Tigris sehingga berubahlah warna air sungai tersebut yang
jernih bersih menjadi hitam karena lunturan tinta yang ada pada
buku-buku tersebut.
2.4 Kemunduran dan Akhir Kekuasan Dinasti Abbasiyah
Kejayaan Dinasti Abbasiyah rupanya hanya sampai periode
pertama dari tiga periode. Setelah itu Abbasiyah mengalami kemunduran.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran dinasti Abbasiyah,
diantaranya faktor internal, yaitu: luasnya wilayah kekuasaan, berdirinya
dinasti-dinasti kecil, perebutan kekuasaan di pusat pemerintah, persaingan
antarbangsa, kemerosotan ekonomi, konflik keagamaan, gaya hidup
bermewahmewahan dan bersenang-senang, korupsi (memperkaya diri
sendiri), umat Islam meninggalkan ajaran agamanya, sistem pergantian
khalifah secara turun menurun, serta khalifah usia muda dan tidak
memiliki kemampuan memimpin. Dari faktor internal kemunduran Dinasti
Abbasiyah yang paling dominan adalah umat Islam meninggalkan
ajarannya. Seandainya para pemimpin dan para pejabat pemerintah
menjalankan ajaran agama dan menjauhi segala larangan agama
kemunduran Dinasti Abbasiyah tidak akan terjadi.
Selanjutnya, faktor eksternal kemunduran Dinasti Abbasiyah yaitu,
perang salib dan serangan tentara Mongol. Serangan yang dilancarkan oleh
pihak Kristen terhadap kekuatan Muslim dalam periode 1095-1291 M
yang dikenal dengan perang Salib. Hal ini dikeranakan adanya dugaan
bahwa pihak Kristen dalam melancarkan serangan didorong oleh motivasi
keagamaan, selain itu perang ini juga menggunakan simbol salib.6
Akhir dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah ialah ketika Baghdad
dihancurkan oleh pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulako Khan (656
H/1258 M). Ia adalah seorang saudara Qubilay Khan yang berkuasa di
Cina hingga ke Asia Tenggara, dan saudara Mongke Khan yang
menugaskannya untuk mengembalikan wilayah-wilayah sebelah barat dari
Cina itu ke pangkuannya lagi. Baghdad dibumihanguskan dan diratakan
dengan tanah. Khalifah Bani Abbasiyah yang terakhir dengan keluarganya,
al-Musta’sim dibunuh, buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah
dibakar dan dibuang ke sungai Tigra sehingga berubahlah warna air sungai
tersebut yang jernih bersih menjadi hitam kelam karena lunturan tinta
yang ada pada buku-buku itu.7

6
M.Natsir Arsyad, Seputar Sejarah dan Muamalah, (Al-Bayan : Semarang, 1993), h. 132.
7
Lihat Hassan, Sejarah, op. cit, h. 245-268.
BAB III

KESIMPULAN

Zaman keemasan atau kejayaan Islam dengan jelas pernah dialami


pada masa Dinasti Abbasiyah. Dengan demikian, pemerintah Dinasti
Abbasiyah dengan sangat meyakinkan dapat digolongkan pemerintah
adikuasa (superpower). Hal tersebut ditandai dengan: Luasnya kekuasaan
wilayah yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari satu kesatuan
dinasti; kuatnya hegemoni politik yang dimiliki oleh kerajaan Dinasti
Abbasiyah sehingga dapat bertahan selama lebih dari 500 tahun; kuatnya
barisan pasukan angkatan bersenjata (militer); tercapainya kemajuan luar
biasa dibidang ekonomi, terutama perdagangan dan industri; tidak terdapat
kekuasaan lain yang mampu mengungguli hegemoni kekuasaan dan
kekuatan politik dinasti; pesatnya kemajuan di bidang sains, filsafat, dan
ilmu-ilmu keislaman yang berpengaruh signifikan terhadap peradaban
Islam.

Dari segi politik Dinasti abbasiyah berkuasa sejak tahun 132 H


sampai tahun 656 H.

 Periode pertama (132 H/750 M- 232 H/847 M). Di sebut periode


pengaruh Persia pertama.
 Periode kedua (232 H/847 M- 334 H/945 M). Di sebut masa
pengaruh Turki pertama.
 Periode ke tiga (334 H/ 945 M – 447 H/1055 M). Masa kekuasaan
dinasti Buwaih atau pengaruh Persia kedua.
 Periode ke empat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M). Merupakan
kekuasaan dinasti bani Saljuk dalam pemerintahan atau pengaruh
Turki dua.
 Periode kelima (590 H/1194 M – 565 H/1258 M). Merupakan
masa mendekati kemunduran dalam sejarah peradaban Islam

Kemajuan-kemajuan dinasti Abbasiyah diperoleh seiring dengan


membaiknya perekonomian yang mulai meningkat, terutama dari sektor
pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti emas,
perak, tembaga dan besi. Kemajuan dalam sektor ini diikuti dengan
perbaikan-perbaikan internal yang cukup bagus baik dalam sistem
administrasi dan pemerintahan yang menunjukkan kematangan dalam
berpikir.

Kemunduran Dinasti Abbasiyah disebabkan oleh dua faktor, yaitu


internal dan eksternal. Dari faktor internal kemunduran Dinasti Abbasiyah,
yang paling dominan berpengaruh terhadap kemunduran Dinasti
Abbasiyah adalah karena umat Islam meninggalkan ajaran agamanya.
DAFTAR PUSTAKA

Didin Saefudin, Zaman Keemasan Islam, PT Grasindo, Jakarta, 2002.

Dr. Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Logos, Jakarta, cet.
I, 1997.

Su’ud, Abu, Islamologi ,Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam


Peradaban Umat Islam, Cet. I; PT. Rineka Cipta: Jakarta, 2003.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Cet. XII; Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada, 2001.

Anda mungkin juga menyukai