Pengujian substantif merupakan prosedur-prosedur pengauditan yang dibuat oleh auditor untuk
menguji atau mendeteksi kesalahan salah saji material dalam nilai rupiah yang mempengaruhi
langsung kebenaran dari saldo-saldo dalam laporan keuangan.
Maka auditor harus menghimpun semua bukti yang cukup untuk memperoleh dasar yang
memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan perusahaan yang diauditnya.
Pengujian substantif menyediakan bukti mengenai kewajaran setiap asersi laporan keuangan
yang signifikan.
Tujuan dari pengujian substantif atas transaksi adalah untuk menentukan apakah semua tujuan
audit berkaitan dengan transaksi (transaction-related audit objectives) telah terpenuhi untuk
setiap kelastransaksi. Sebagai contoh auditor melakukan pengujian substantif atas transaksi
untuk menguji apakah transaksi yang dicatat benar-benar ada dan transaksi yang ada semua telah
dicatat.
Auditor juga melakukan pengujian ini untuk menentukan apakah transaksi belanja telah dicatat
dengan benar, transaksi belanja telah dicatat pada periode laporan yang tepat, belanja telah
diklasifikasikan dengan benar dalam neraca, dan apakah belanja telah diikhtisarkan dan diposting
dengan benar ke buku besar. Jika auditor merasa yakin bahwa transaksi-transaksi telah dicatat
dan diposting dengan benar, auditor dapat meyakini bahwa jumlah dalam buku besar juga benar.
2. Prosedur analitis
Hampir sama halnya dengan pengujian atas transaksi, pengujian rincian saldo harus dilakukan
dengan memenuhi semua tujuan audit yang berkaitan dengan saldo bagi masing-masing akun
yang signifikan. Pengujian atas saldo akun juga sangat penting karena bukti-bukti biasanya
diperoleh dari sumber independen dengan tingkat keyakinan yang lebih tinggi. Metodologi
perancangan pengujian detail saldo meliputi empat tahapan, yaitu:
Selain membedakan jenis pengujian substantif auditor juga harus dapat melakukan pengujian
substantif secara runtut dan tepat. Berikut prosedur pelaksanaan pengujian substantif yang
dilakukan auditor, yaitu :
Auditor melakukan mengajukan pertanyaan kepada para karyawan atau staf ahli yang
bersangkutan sesuai dengan pekerjaan yang diembannya untuk mengetahui beberapa hal
kesalahan yang ada.
Auditor melakukan pengamatan atau observasi secara langsung terhadap kinerja karyawan dalam
melasanakan tugas mereka.
Menginspeksi seluruh dokumen dan catatan perusahaan selama beberapa periode yang perlu
diaudit.
Melakukan pengecekan kembali semua perhitungan transaksi dan saldo-saldo perusahaan yang
bersangkutan untuk mengetahui benar tidaknya pembukuan akun saldo perusahaan'
Melakukan konfirmasi kepada pihak yang bersangkutan seperti pimpinan perusahaan, dewan
direksi, dan lainnya.
Melakukan analisis terhadap semua dokumen, catatan perusahaan, dan pembukuan saldo akun
perusahaan atau laporan keuangan perusahaan.
Melakukan vouching atau penelusuran apabila ada kesalahan atau kecurangan untuk menemukan
titik permasalahan atau bukti kecurangan.
Auditor juga perlu menentukan waktu yang tepat untuk melaksanakan pengujian substantif
tersebut karena dapat mengetahui tingkat risiko deteksi yang dapat diterima mempengaruhi
penentuan waktu pelaksanaan pengujian substantif. Jika risiko deteksi rendah maka pengujian
substantif lebih baik dilaksanakan saat atau dekat dengan tanggal neraca.
Selain itu auditor juga dapat menentukan luas pengujian substantif yaitu semakin rendah tingkat
risiko deteksi yang dapat diterima, semakin banyak bukti yang harus dikumpulkan, auditor dapat
mengubah jumlah bukti yang harus dihimpun dengan cara mengubah luas pengujian subtantif
yang dilakukan. Keputusan auditor tentang rancangan pengujian substantif didokumentasikan
dalam kertas kerja dalam bentuk program audit.
Tujuan dengan mengetahui jenis-jenis dan prosedur pelakasanaan pengujian substantif secara
umum, yaitu dapat mempermudahkan seorang auditor dalam melaksanakan tugas pengujian
substantif dan memberikan informasi kepada beberapa orang yang bersangkutan untuk
mengetahui beberapa jenis pengujian substantif dan dasar-dasar pelaksanaan prosedur pengujian
substantif auditor.
Oleh kerana itu, setiap perusahaan harus memahami rasio likuiditas yang terdiri dari beberapa
jenis yaitu rasio lancar atau current ratio, rasio cepat atau quick ratio, dan rasio kas atau cash
ratio. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dijelaskan mengenai cara menghitung rasio likuiditas
dengan beberapa langkah.
Current ratio merupakan cara penghitungan rasio likuiditas yang paling sederhana dibanding cara
lainnya. Penghitungan ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kemampuan perusahaan dalam
memenuhi kewajiban jangka pendeknya dengan aktiva perusahaan yang likuid pada saat ini atau
aktiva lancar (current asset).
Jenis aktiva ini adalah aktiva yang dapat ditukarkan dengan kas dalam jangka waktu satu tahun.
Rumus perhitungan current ratio adalah sebagai berikut:
Contohnya suatu perusahaan memiliki aktiva lancar sebesar Rp10.000.000 dan kewajiban lancar
sebesar Rp5.000.000, Jadi current ratio perusahaan adalah
Selain itu, jika rasio lancar suatu perusahaan nilainya lebih dari 3,0 bukan berarti perusahaan
tersebut dalam keadaan keuangan yang baik. Bisa jadi perusahaan tersebut tidak mengalokasikan
aktiva lancarnya secara optimal, tidak memanfaatkan aktiva lancarnya secara efisien, dan tidak
mengelola modalnya dengan baik.
Quick ratio merupakan penjelasan lebih lanjut dari current ratio. Penghitungan quick ratio hanya
menggunakan aktiva lancar yang paling likuid untuk dibandingkan dengan kewajiban lancar.
Inventaris tidak termasuk ke dalam perhitungan quick ratio karena sulit untuk ditukar dengan
kas, sehingga quick ratio jauh lebih ketat dari current ratio. Cara penghitungan quick ratio yaitu:
Misalnya perusahaan Maju Jaya memiliki aktiva lancar senilai Rp20.000.000, inventaris
Rp2.000.000, dan kewajiban lancar Rp6.000.000. Maka rasio cepatnya adalah
Hasil penghitungan quick ratio jika lebih dari 1,0 maka menunjukkan kemampuan perusahaan
yang baik dalam memenuhi kewajibannya. Namun, jika nilainya di atas 3,0 kali maka bukan
berarti keadaan likuiditas perusahaan sedang baik. Boleh jadi kas perusahaan jumlahnya besar
karena tidak dialokasikan kemana pun sehingga tidak produktif.
Sebab lain adalah karena tingginya piutang perusahaan tersebut. Quick ratio dapat dijadikan
acuan yang lebih baik karena berfokus pada aktiva lancar yang mudah diubah menjadi kas.
Cash ratio adalah cara penghitungan likuiditas yang melibatkan kas perusahaan. Manfaatnya
mirip dengan current ratio dan quick ratio yaitu untuk mengetahui kemampuan perusahaan untuk
melunasi kewajiban jangka pendeknya dengan menjadikan kas sebagai acuan. Berikut adalah
cara penghitungannya:
Misalnya suatu perusahaan memiliki kas senilai Rp5.000.000, surat berharga senilai
Rp3.000.000 dan kewajiban lancar sebesar Rp5.000.000. Maka kas rasionya adalah
Rasio kas jarang digunakan oleh perusahaan karena kurang realistis dan tidak mudah
dipertahankan nilainya. Jumlah kas berlebih yang ada pada perusahaan yang mampu menutupi
kewajiban lancar sering dianggap sebagai kas tidak produktif yang tidak dimanfaatkan dengan
baik.
5 jenis item yang sering digunakan dalam menghitung sebuah nilai likuiditas perusahaan adalah,
aktiva lancar, utang lancar, kas, surat berharga, persediaan. Untuk mengetahui nilai akhir dari
perhitungan 5 item tersebut, pastinya perusahaan membutuhkan proses pencatatan akuntansi
yang cermat dan tepat.
Standar industri untuk cash ratio adalah 50% (Kasmir, 2008:143) dimana semakin tinggi rasio ini
maka semakin baik kinerja keuangan yang dilakukan oleh perusahaan. ... Debt to ratio atau debt
to asset ratio merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur perbandingan antara total hutang
dengan total aktiva.
Rasio ini merupakan perbandingan antara total hutang dengan total aktiva. Sehingga rasio ini
menunjukkan sejauh mana hutang dapat ditutupi oleh aktiva. Menurut Sawir (2008:13) debt ratio
merupakan rasio yang memperlihatkan proposi antara kewajiban yang dimiliki dan seluruh
kekayaan yang dimiliki. Dengan kata lain, seberapa besar aktiva perusahaan dibiayai oleh utang
atau seberapa besar utang perusahaan berpengaruh terhadap pengelolaan aktiva.
Apabila debt ratio semakin tinggi, sementara proporsi total aktiva tidak berubah maka hutang
yang dimiliki perusahaan semakin besar. Total hutang semakin besar berarti rasio financial atau
rasio kegagalan perusahaan untuk mengembalikan pinjaman semakin tinggi.
Dan sebaliknya apabila debt ratio semakin kecil maka hutang yang dimiliki perusahaan juga
akan semakin kecil dan ini berarti risiko financial perusahaan mengembalikan pinjaman juga
semakin kecil.
Rasio hutang modal menggambarkan sampai sejauh mana modal pemilik dapat menutupi
hutang-hutang kepada pihak luar dan merupakan rasio yang mengukur hingga sejauh mana
perusahaan dibiayai dari hutang. Rasio ini juga mengukur seberapa bagus struktur permodalan
perusahaan. Struktur permodalan merupakan pendanaan permanen yang terdiri dari hutang
jangka panjang, saham preferen dan modal pemegang saham (Wahyono, 2002:12).
Jadi dapat disimpulkan bahwa debt to equity ratio merupakan perbandingan antara total hutang
(hutang lancar dan hutang jangka panjang) dan modal yang menunjukkan kemampuan
perusahaan untuk memenuhi kewajibannya dengan menggunakan modal yang ada.
Long Term Debt to Equity Ratio, merupakan rasio antara hutang jangka panjang dengan modal
sendiri. Tujuannya adalah untuk mengukur berapa bagian dari setiap rupiah modal sendiri yang
dijadikan jaminan hutang jangka panjang dengan cara membandingkan antara hutang jangka
panjang dengan modal sendiri
Aktiva Pasiva
1. Debt Ratio
= 47,6 = 48 %
Rasio ini menunjukan bahwa 48% pendanaan perusahaan dibiayai dengan hutang. Artinya,
bahwa setiap Rp 100 pendanaan perusahaan Rp 48 dibiayai dengan hutang, Rp 52 disediakan
oleh pemegang saham. Kondisi tersebut juga menunjukan perusahaan dibiayai hampir
sepenuhnya dari hutang.
Semakin tinggi rasio ini maka pendanaan dengan utang semakin banyak, maka semakin sulit
bagi perusahaan untuk memperoleh tambahan pinjaman karena dikhawatirkan perusahaan tidak
mampu menutupi utang-utangnya dengan aktiva yang dimilikinya. Sebaliknya semakin rendah
rasio ini maka semakin kecil perusahaan dibiayai dari utang.
Jika perusahaan ingin menambah hutang, maka perusahaan perlu menambah dahulu ekuitasnya,
jadi ketika perusahaan dilikuidasi masih mampu menutupi hutangnya.
= 90,9 = 91 %
Rasio ini menunjukan bahwa kreditor menyediakan Rp 91 untuk setiap Rp 100 yang disediakan
oleh pemegang saham, atau perusahaan dibiayai oleh utang sebanyak 91%
Bagi kreditor semakin besar rasio ini maka akan semakin tidak menguntungkan karena akan
semakin besar resiko yang ditanggung atas kegagalan yang mungkin terjadi di perusahaan.
Sebaliknya, semakin rendah rasio ini maka semakin tinggi tingkat pendanaan yang disediakan
pemilik dan semakin besar batas pengamanan bagi kreditor jika terjadi kerugian atau penyusutan
terhadap nilai aktiva. Rasio ini juga menunjukan kelayakan dan resiko keuangan perusahaan.
3. Long Term Debt to Equity Ratio
= 0,54 = 54 %