Anda di halaman 1dari 10

KESIAPAN TEKNOLOGI PANEN DAN PASCAPANEN

PADI DALAM MENEKAN KEHILANGAN HASIL


DAN MENINGKATKAN MUTU BERAS
Kasma Iswari

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat, Jalan Raya Padang-Solok km 40, Sukarami, Solok 27366
Telp. (0755) 31122, 31564, Faks. (0755) 31138, E-mail: bptp-sumbar@litbang.deptan.go.id.

Diajukan: 19 Mei 2011; Diterima: 06 Maret 2012

ABSTRAK
Penanganan panen dan pascapanen padi memiliki kontribusi cukup besar terhadap pengamanan produksi beras
nasional. Kehilangan hasil akibat penanganan panen dan pascapanen yang tidak sempurna mencapai 20,51%. Jika
produksi padi nasional mencapai 54,34 juta ton maka kerugian tersebut setara dengan Rp15 triliun. Makalah ini
menyajikan kesiapan teknologi panen dan pascapanen padi dalam upaya menekan kehilangan hasil dan meningkatkan
mutu beras serta pemahaman petani/pengguna teknologi terhadap upaya menekan kehilangan hasil panen. Teknologi
dimaksud mencakup penentuan umur panen, cara panen, perontokan gabah, pengeringan, penggilingan, pelembutan
lapisan aleuron, dan peningkatan mutu beras. Berkaitan dengan mutu beras, hasil pemeriksaan mutu beras pada
tujuh kabupaten dan kota di Sumatera Barat menunjukkan bahwa beras kelas terbaik hanya menempati mutu II
mengacu kepada standar SNI 6128:2008. Ditinjau dari sisi petani/pengguna teknologi, tidak semua petani mampu
dan mau menerapkan teknologi pascapanen karena dipengaruhi oleh kemampuan, budaya seperti kebiasaan petani
yang belum mau menerima pembaharuan, serta masalah sosial lainnya. Kelembagaan petani di Sumatera Barat
sebagian masih berorientasi untuk mendapatkan fasilitas pemerintah, belum sepenuhnya berperilaku untuk
memanfaatkan usaha tersebut sebagai penopang ekonomi.
Kata kunci: Padi, beras, teknologi pascapanen, kehilangan hasil, mutu produk

ABSTRACT
Harvest and postharvest technology to reduce yield losses and improve rice quality

Proper harvest and postharvest handling has a significant contribution to the national rice production. Losses due
to improper harvest and postharvest handling reached 20.51%. The losses are equivalent to more than IDR15
trillion with the production of rice grain of 54.34 million tonnes. The objective of this paper was to review the
readiness of harvest and postharvest technology to reduce yield losses and improve quality of rice and understanding
of the farmers as the users to reduce yield loss. The technologies are the determination of harvest age, harvesting,
threshing, drying, milling, softening aleuron layer, and increasing the quality of rice. In relation to rice quality,
result of rice quality inspection in seven districts and cities in West Sumatra showed that the best rice quality
occupied the grade II based on the quality standard of SNI 6128:2008. In the farmers opinion as the user of
technology, only some farmers were able to and would apply postharvest technology due to different abilities,
culture, habits, reluctant to adopt new technologies, and other social problems. Farmer institutions in West
Sumatra were generally government facility oriented and the farmer business was not profit oriented.
Keywords: Rice, postharvest, losses, quality

C apaian produksi padi secara nasional


tahun 2005−2009 menunjukkan
prestasi yang sangat baik dengan pertum-
melebihi target yang ditetapkan yaitu
63,5 juta ton sehingga Indonesia dapat
meraih kembali swasembada beras pada
pencapaian target produksi sehingga
kebijakan pemerintah sampai saat ini
masih berpatokan pada angka-angka
buhan produksi 3,69%. Produksi padi tahun 2007 dan terhindar dari krisis pencapaian target produksi. Bahkan
meningkat dari 57,16 juta ton pada tahun pangan, seperti terjadi di banyak negara penilaian kesuksesan sektor pertanian
2007 menjadi 60,33 juta ton pada tahun ketika krisis keuangan global melanda lebih dikaitkan dengan tingkat produk-
2008 sehingga terdapat surplus 3,17 juta dunia (Kementerian Pertanian 2009). tivitas dan kemampuan menyediakan
ton GKG (Tabel 1). Produksi padi tahun Keberhasilan dalam meningkatkan kebutuhan pangan masyarakat. Kualitas
2009 yang mencapai 63,84 juta ton telah produksi padi masih dinilai dengan produk dan peningkatan nilai tambah

58 Jurnal Litbang Pertanian, 31(2), 2012


0,19% (Tjahjohutomo 2008). Modifikasi
Tabel 1. Perkembangan produksi padi Sumatera Barat dan Indonesia, penggilingan padi masih menggunakan
2005− 2009. prinsip dasar penyosohan yang bertumpu
pada mekanisme penggerusan (abrasif)
Tahun Produksi Sumatera Peningkatan Produksi Indonesia Peningkatan dan penggesekan (friksi). Perkembang-
Barat (t)1 produksi (%) (t)2 produksi (%) annya lebih banyak terjadi dalam sistem
2005 1.889.487 54.151.000
otomatisasi kendali komputer dan optik,
2006 1.907.391 0,95 54.455.000 0,56 instrumen pendukung untuk pengukuran
2007 1.938.120 1,61 57.157.000 4,96 derajat sosoh, pemisah beras patah, dan
2008 1.965.634 1,42 60.326.000 5,54 penganalisis rasa beras (IRRI 2009;
2009 2.000.790 1,79 63.840.000 5,83 Satake 2009).
Sumber: 1BPS Sumbar (2010); 2Kementerian Pertanian (2009).
Berdasarkan uraian tersebut, kontri-
busi penggunaan alat dan mesin panen
dan pascapanen sangat besar, yaitu
menurunkan kehilangan hasil dari 21,09%
pada cara petani menjadi 6,60% dengan
sebagai akibat dari proses penanganan KEHILANGAN HASIL menggunakan alat dan mesin.
pascapanen masih sebatas sebagai prog- PANEN DAN PASCAPANEN
ram dan belum muncul sebagai indikator
pencapaian target produksi nasional. Tingkat kehilangan hasil panen dan TEKNOLOGI PENANGANAN
Produksi beras nasional berfluktuasi pascapanen disebabkan oleh berbagai PASCAPANEN PADI
sejak Indonesia mencapai swasembada faktor, antara lain cara penanganan dan
pada tahun 1984. Pada tahun 2004 penggunaan alat panen. Dalam hal ini,
produksi beras defisit 2.468.443 ton
Pemanenan
Tjahjohutomo (2008) melaporkan bahwa
(Irawan 2004) dan pada tahun 2007−2010 penanganan panen cara petani dengan
swasembada beras kembali diraih dengan menggunakan alat konvensional yaitu Penentuan Saat Panen
produksi meningkat 1,66%/tahun dalam sabit, perontokan dengan gebot, penge-
periode 2006−2008 (Departemen Pertanian ringan di lantai jemur, dan penggiling- Panen pada saat umur optimum sangat
2009). Kenyataan ini membuktikan bahwa an gabah dengan alat konvensional, penting untuk memperoleh mutu beras
sektor pertanian khususnya padi masih menyebabkan susut hasil 21,09%. Bila yang baik dan menekan kehilangan hasil.
rentan terhadap perubahan alam dan penanganan panen dan pascapanen Umumnya panen optimum dilakukan pada
kebijakan pemerintah. tersebut dimodifikasi, yaitu penggunaan saat gabah menguning 90−95%, kadar air
Terlepas dari masalah klasik dalam sabit diganti dengan reaper, perontokan gabah 25−27% pada musim hujan dan
perberasan nasional, penanganan panen dengan gebot diganti dengan power 21−24% pada musim kemarau atau pada
dan pascapanen memiliki kontribusi nya- thresher, pengeringan di lantai jemur umur 50−60 hari setelah pembungaan,
ta dalam mengamankan produksi beras diganti dengan flat bed dryer, dan peng- bergantung pada varietas (Nugraha
nasional. Kehilangan hasil panen dan gilingan gabah dengan husker dapat 2008). Menurut Marzempi et al. (1993)
pascapanen akibat ketidaksempurnaan menurunkan susut hasil menjadi 13% serta Iswari dan Sastrodipuro (1996),
penanganan pascapanen mencapai (Tabel 2). Pada cara petani, kehilangan umur panen memengaruhi persentase
20,51%, yang terdiri atas kehilangan saat hasil panen tertinggi (9,52%) terjadi beras kepala dan beras patah (Tabel 3).
pemanenan 9,52%, perontokan 4,78%, pada tahap panen dengan menggunakan Umur panen optimum varietas IR42
pengeringan 2,13%, dan penggilingan sabit, selanjutnya pada tahap perontokan jatuh pada 29−30 hari setelah berbunga
2,19%. Jika dikonversikan terhadap (4,79%). 50%. Pada saat tersebut, persentase beras
produksi padi nasional yang mencapai Titik kritis kehilangan hasil terdapat kepala mencapai nilai tertinggi, yaitu
54,34 juta ton, kehilangan hasil tersebut pada tahap pemotongan padi, pengum- 68,87%, dan beras patah terendah, yakni
setara dengan Rp15 triliun lebih (Purwanto pulan potongan padi, dan perontokan 24,77%. Pada varietas Batang Agam dan
2011). (Nugraha et al. 2007). Dengan meng- Batang Ombilin, umur panen optimumnya
Berdasarkan uraian tersebut perlu gunakan combine harvester, kehilangan berkisar antara 42−45 hari dengan per-
diketahui kesiapan teknologi panen dan hasil tersebut dapat diminimalkan menjadi sentase beras kepala 53,66−54,56% untuk
pascapanen yang dapat diterapkan di hanya 2,5% karena panen, pengumpulan, Batang Agam dan 65,77−67,27% untuk
tingkat petani ataupun kelompok tani dan perontokan digabung menjadi satu Batang Ombilin. Penundaan panen akan
untuk menekan kehilangan hasil dan tahapan kegiatan (Purwadaria et al. 1994). menurunkan persentase beras kepala dan
meningkatkan mutu beras sesuai standar Di samping panen menggunakan meningkatkan persentase beras patah.
mutu SNI, serta pemahaman dan kesiap- combine harvester, pengeringan dengan Hal ini disebabkan oleh terjadinya proses
an petani dalam menerapkan teknologi flat bed dryer menurunkan kehilangan senescence yang menurunkan kekompak-
pascapanen padi. Tujuan penulisan hasil menjadi 2,3% (Thahir 2000). Memo- an ikatan antara granula pati dan jaringan
makalah ini adalah untuk memaparkan difikasi penggilingan dengan menambah- dalam biji. Perbedaan umur panen op-
teknologi panen dan pascapanen padi kan beberapa komponen dapat menu- timum pada masing-masing varietas
untuk menekan kehilangan hasil dan runkan kehilangan hasil dari 2,19% disebabkan oleh faktor genetik (Juliano
meningkatkan mutu beras. dengan penggilingan cara petani menjadi 2003).

Jurnal Litbang Pertanian, 31(2), 2012 59


Alat dan Mesin Pemanen Padi
Tabel 2. Pengaruh penggunaan alat/mesin dalam penanganan panen dan
pascapanen padi terhadap persentase kehilangan hasil. Pemanenan padi sebaiknya mengguna-
kan alat dan mesin yang memenuhi
Teknologi alternatif Tahap Susut (%) persyaratan teknis, kesehatan, dan eko-
nomis. Alat dan mesin yang digunakan
Paket A (cara petani) 3 Panen dengan sabit tradisional 9,52
Perontokan dengan dibanting (gebot) 4,79 untuk memanen padi harus sesuai dengan
Pengeringan di lantai jemur 2,98 varietas padi yang akan dipanen. Pada
Penggilingan konvensional 2,19 saat ini, alat dan mesin untuk memanen
Lain-lain 1,61 padi berkembang mengikuti perkembang-
Jumlah susut (%) 21,09 an varietas baru padi yang dihasilkan.
Paket B 4
Panen dengan sabit bergerigi 7,80 Alat pemanen padi berkembang dari
Perontokan dengan pedal thresher 4,75 ani-ani menjadi sabit biasa, kemudian
Pengeringan di lantai jemur 2,98 menjadi sabit bergerigi dengan bahan baja
Penggilingan konvensional 2,19 yang sangat tajam, dan terakhir diintro-
Lain-lain 1,61
duksikan reaper, stripper, dan combine
Jumlah susut (%) 19,33 harvester (Purwadaria dan Sulistiadji
Paket C 4
Panen dengan reaper 6,00 2011). Reaper merupakan mesin pemanen
Perontokan dengan power thresher 1,90 untuk memotong padi dengan sangat ce-
Pengeringan dengan flat bed dryer 2,30 pat (Gambar 1a). Prinsip kerjanya mirip
Penggilingan modifikasi I 1,19
dengan panen menggunakan sabit
Lain-lain 1,61
(Gambar 1b). Mesin ini sewaktu bergerak
Jumlah susut (%) 13,00
maju akan menerjang dan memotong
Paket D 4
Panen dengan paddy mower 2,00 tegakan tanaman padi dan menjatuhkan
Perontokan dengan power thresher 1,90 atau merobohkannya ke arah samping
Pengeringan dengan flat bed dryer 2,30
mesin reaper. Ada pula yang mengikat
Penggilingan modifikasi II 0,19
Lain-lain 1,61 tanaman yang terpotong menjadi seperti
berbentuk sapu lidi ukuran besar. Pada
Jumlah susut (%) 8,00
saat ini terdapat tiga jenis reaper, yaitu
Paket E Panen dengan combine harvester 2,50 1 reaper tiga baris, empat baris, dan lima
Pengeringan dengan flat bed dryer 2,30 2
baris (Purwadaria dan Sulistiadji 2011).
Penggilingan modifikasi II 0,19 4
Lain-lain 1,61 4 Reaper dianjurkan digunakan pada
daerah-daerah yang kekurangan tenaga
Jumlah susut (%) 6,60
kerja dan kondisi lahannya baik (tidak
Sumber: 1Purwadaria et al. (1994); 2Thahir (2000); 3Nugraha et al. (2007); 4Tjahjohutomo tergenang, tidak berlumpur, dan tidak
(2008). becek). Purwadaria dan Sulistiadji (2011)
melaporkan bahwa penggunaan reaper
dapat menekan kehilangan hasil 6,1%.
Combine harvester (Gambar 1c) ada-
lah mesin panen padi yang mampu
menyelesaikan pekerjaan menuai, me-
Tabel 3. Pengaruh umur panen terhadap persentase beras kepala dan beras rontok, memisahkan, membersihkan, dan
patah pada tiga varietas padi sawah. mengayak gabah dalam satu urutan.
Karena strukturnya kompak, mobilitas
Beras kepala Beras patah
Umur panen tinggi, stabil, andal, ekonomis, dan kuat
(hsb 50%) Batang Batang Batang Batang aksesibilitasnya ke lahan sawah, pema-
IR42 1 IR42 1
Agam2 Ombilin2 Agam2 Ombilin2
nenan satu hektare padi hanya mem-
20 60,19 36,64 23,53 31,36 39,73 52,50 butuhkan waktu 5 jam. Keuntungan lain,
23 61,21 38,86 32,71 29,27 35,74 45,48 mesin ini hemat bahan bakar. Untuk
27 63,06 41,26 43,27 29,23 31,54 37,80 mengoperasikan alat bermesin diesel 25
29 68,87 42,22 47,83 24,77 29,92 34,68 PK hanya membutuhkan solar 6,5 l/ha
32 65,36 43,36 53,77 28,24 28,09 30,90
35 62,94 44,56 62,41 29,81 26,59 26,58
(Purwadaria et al. 1994). Namun, combine
38 51,86 44,56 62,41 38,22 26,59 26,58 harvester memiliki keterbatasan, yaitu
40 49,58 44,64 64,33 41,09 26,73 26,10 sulit bekerja pada lahan dengan keda-
42 42,89 54,56 65,77 46,39 27,19 26,10 laman lumpur 20 cm atau lebih dan kurang
47 21,55 53,66 67,27 63,18 29,74 28,20 berfungsi efektif pada lahan dengan
52 10,58 42,64 56,73 66,73 32,23 30,90
kemiringan tinggi. Di samping itu, tanam-
hsb = hari setelah berbunga. an padi yang akan dipanen tidak boleh
Sumber: 1Iswari dan Sastrodipuro (1996); 2Marzempi et al. (1993). basah untuk mencegah kemacetan di
dalam sistem perontokan.

60 Jurnal Litbang Pertanian, 31(2), 2012


belum lepas dari malai. Untuk menghindari
hal itu, jumlah potongan padi setiap kali
banting jangan terlalu banyak dan jumlah
bantingan minimum delapan kali dan alas
perontokan diperluas.
Dengan semakin berkembangnya
teknologi, saat ini telah tersedia alat
perontok pedal thresher dan power
thresher. Namun di beberapa daerah,
terutama di Sumatera Barat, alat/mesin
perontok tersebut belum digunakan.
Gambar 1. Penggunaan reaper untuk panen padi; a) reaper, b) panen menggunakan Menurut Iswari (2010), petani enggan
reaper, c) combine harvester (Purwadaria dan Sulistiadji 2011). menggunakan mesin perontok karena
alat/mesin tersebut cukup berat sehingga
sulit dipindah-pindah. Oleh karena itu,
petani masih tetap melakukan perontokan
Sistem Panen Perontokan padi dapat dilakukan secara dengan cara digebot.
manual atau dengan mesin. Menurut Pedal thresher merupakan alat pe-
Sistem panen memengaruhi kehilangan Purwadaria et al. (1994), perontokan de- rontok padi dengan konstruksi sederhana
hasil. Setyono (2009) melaporkan bahwa ngan mesin dapat menekan kehilangan dan digerakkan menggunakan tenaga
semakin banyak anggota kelompok hasil hingga 1,3% dibanding cara manual manusia. Kelebihan alat ini dibanding-
pemanen, kehilangan hasil akan semakin (sabit dan gebot) dengan kehilangan ha- kan dengan gebot adalah menghemat
tinggi karena setiap anggota berpotensi sil 10,4% (Tabel 4). Perontokan dengan tenaga dan waktu, mudah dioperasikan,
menyebabkan kehilangan hasil panen. mesin, selain menekan kehilangan hasil mengurangi kehilangan hasil, kapasitas
Jumlah anggota pemanen 50 orang (sistem juga menghemat waktu kerja. Panen de- kerja 75–100 kg/jam, dan cukup diopera-
keroyokan) akan meningkatkan kehilang- ngan menggunakan reaper dan perontok sikan oleh satu orang. Penggunaan pedal
an hasil sampai 9,9%, sedangkan jika hanya membutuhkan waktu 17 jam/ha, thresher dalam perontokan dapat menekan
anggota pemanen 20 orang kehilangan sedangkan secara manual memerlukan kehilangan hasil padi 4,5−6% (Santosa et
hasil hanya 4,39% dengan kemampuan waktu hingga 252 jam/ha. al. 2009).
pemanen masing-masing 135 dan 132,6 Perontokan secara manual dapat di- Power thresher merupakan mesin
jam/orang/ha (Nugraha et al. 1994). lakukan dengan diiles, dipukul atau di- perontok yang menggunakan sumber
Hasbullah (2008) telah menguji coba banting/digebot. Perontokan dengan tenaga penggerak enjin. Kelebihan mesin
pemanenan padi sistem kelompok dengan diiles menggunakan kaki pada alas tikar perontok ini dibandingkan dengan alat
menggunakan kelompok jasa pemanen menyebabkan kehilangan hasil 7,48% perontok lain adalah kapasitas kerja lebih
dan jasa perontok serta mengamati be- lebih rendah dibandingkan dengan di- besar dan efisiensi kerja lebih tinggi.
sarnya ceceran gabah. Hasilnya menun- banting atau digebot, yaitu 9−13%. Penggunaan power thresher dapat
jukkan bahwa kehilangan hasil pada Perontokan dengan membanting menekan kehilangan hasil padi 0,8%
pemanenan sistem kelompok relatif potongan padi sudah dikenal luas oleh (Santosa et al. 2009; Purwadaria dan
rendah, yakni 3,75%. Rinciannya adalah petani. Potongan padi digenggam dengan Sulistiadji 2011).
gabah rontok saat pemotongan padi tangan lalu dibanting atau dipukulkan Perontokan padi merupakan salah satu
1,56%, gabah tercecer dari malai 0,85%, pada benda keras seperti kerangka bambu tahapan pascapanen yang memberikan
dan gabah yang ikut terbuang bersama atau kayu yang diletakkan pada alas kontribusi cukup besar terhadap kehi-
jerami dari mesin perontok 1,34%. penampung gabah. Dengan cara seperti langan hasil secara keseluruhan. Pe-
Sebaliknya, kehilangan hasil pada sistem ini, banyak gabah yang terlempar keluar rontokan perlu segera dilakukan setelah
keroyokan sangat tinggi, yaitu 18,75%. alas dan kadang masih banyak gabah yang padi dipanen, tidak ditumpuk terlebih
Kehilangan hasil tersebut terdiri atas
gabah rontok saat pemotongan padi
3,31%, gabah tercecer dari malai 1,86%,
gabah tercecer saat penggebotan (peron-
tokan) 4,97%, dan gabah yang tidak Tabel 4. Kehilangan hasil panen dan mutu gabah serta kapasitas kerja
terontok 8,59%. Titik kritis kehilangan menggunakan berbagai cara perontokan.
hasil pada pemanenan padi terjadi pada
Cara/alat panen Kecepatan Kehilangan Kotoran Butir Butir
tahap pemotongan dan pengumpulan (jam/ha) hasil (%) (%) rusak (%) patah (%)
potongan padi serta perontokan.
Manual (sabit + gebot) 252 10,4 0,5 0,7 5,4
Stripper IRRI + mesin perontok 19 2,4 0,7 0,2 1,2
Stripper lokal + mesin perontok 17 2,5 0,8 0,8 2,2
Perontokan Reaper + perontok 17 1,3 1,2 1,2 2,0

Tahapan penanganan pascapanen sete- Sumber: Purwadaria et al. (1994).


lah pemanenan adalah perontokan.

Jurnal Litbang Pertanian, 31(2), 2012 61


dahulu. Penundaan perontokan akan porkan, pada awal penumpukan malai, coba pengeringan gabah telah dilakukan
meningkatkan butir kuning/rusak dan suhu hanya 32°C dan setelah penum- di Instalasi Karawang Balai Penelitian
beras patah serta menurunkan rendemen pukan 15 hari, suhu meningkat menjadi Tanaman Padi pada 2001 menggunakan
giling. Hal ini dibuktikan oleh hasil 48°C (Tabel 5). varietas IR64 sebanyak 5.000 kg. Penge-
penelitian Iswari dan Sastrodipuro (1996) ringan untuk menurunkan kadar air
di Salimpat, Kabupaten Solok, seperti gabah dari 23,50% menjadi 13,85%
disajikan pada Tabel 5. Pengeringan Gabah memerlukan waktu 10 jam, suhu penge-
Iswari dan Sastrodipuro (1996) me- ringan 45ºC, dan suhu udara penge-
laporkan bahwa perontokan tanpa pe- Pengeringan merupakan proses penu- ringan maksimum 60°C. Dengan laju
nundaan atau langsung dirontok, beras runan kadar air gabah sampai mencapai pengeringan rata-rata 0,97%/jam, bahan
patah hanya 3,52%, butir kuning 0,45%, nilai tertentu sehingga gabah siap untuk bakar sekam yang digunakan sebanyak
dan rendemen giling 70,17%, sedangkan digiling atau aman disimpan dalam waktu 300 kg. Pengeringan gabah dengan
apabila perontokan ditunda sampai 15 yang lama. Keterlambatan pengeringan menggunakan pengering bahan bakar
hari, kualitas beras sangat buruk dengan sampai 3 hari menimbulkan kerusakan sekam biayanya lebih murah diban-
beras patah 60,44%, butir kuning 67,78%, gabah 2,6% (Nugraha et al. 1990). dingkan dengan pengering BBM yang
dan rendemen giling menurun menjadi Sementara itu, Rachmat et al. (2002) dioperasikan di perusahaan peng-
62,54%. Meningkatnya beras patah dan menyatakan, penumpukan padi basah di gilingan, yaitu berturut-turut Rp60 dan
butir kuning disebabkan oleh peningkatan lapangan selama 3 hari mengakibatkan Rp100/kg GKP (Sutrisno dan Rachmad
suhu dan kelembapan selama penum- kerusakan gabah 1,66−3,11%. 2011).
pukan. Peningkatan suhu akan merusak Dengan berkembangnya teknologi, Penggunaan flat bed dryer (tipe
sel-sel sehingga beras menjadi patah saat pengeringan tidak perlu bergantung stasioner) perlu memerhatikan ketebalan
dilakukan penyosohan (Juliano 2003). pada sinar matahari. Pengeringan buatan pengeringan karena dapat memengaruhi
Peningkatan suhu disebabkan oleh merupakan alternatif cara pengeringan rendemen dan mutu beras. Thahir (2000)
meningkatnya respirasi dan pertumbuhan bila penjemuran tidak dapat dilakukan. melakukan penelitian dengan ketebalan
mikroorganisme selama penundaan Pengering buatan berbahan baku sekam pengeringan masing-masing 30 cm, 40
perontokan. Marzempi et al. (1993) mela- dapat menghemat biaya bahan bakar. Uji cm, dan 50 cm. Hasilnya menunjukkan
bahwa ketebalan pengeringan optimum
pada pengeringan dengan pengering tipe
stasioner adalah 40 cm (Tabel 6).
Peningkatan ketebalan pengeringan
Tabel 5. Pengaruh lama penundaan perontokan gabah terhadap beras dapat meningkatkan persentase beras
patah, butir kuning, dan peningkatan suhu. pecah. Hal ini karena biji yang berada pada
kondisi tersebut mempunyai kadar air
Penundaan Beras Butir Rendemen Suhu selama yang tinggi akibat berkurangnya aliran
perontokan patah kuning giling penumpukan udara dalam lingkungan, dan dengan
(hari) (%)1 (%)1 (%) 1 (°C)2
bertambahnya waktu, jaringan biji akan
0 3,52 0,45 70,17 32 semakin rusak karena terjadi hidrolisis
3 6,89 1,82 68,77 34 karbohidrat dalam biji menjadi gula
6 12,50 7,01 68,56 37 sederhana. Selain itu, dengan berkurang-
9 16,73 29,78 66,70 43 nya oksigen akan terjadi proses fermentasi
12 47,33 32,34 65,20 45
15 60,44 67,78 62,54 48
yang mengakibatkan biji mudah patah
atau rusak. Tingginya kadar air disebabkan
Sumber: 1Iswari dan Sastrodipuro (1996); 2 Marzempi et al. (1993). oleh sifat higroskopis dari biji, yaitu dapat
menyerap air dari udara sekelilingnya dan
dapat melepaskan sebagian air yang
Tabel 6. Pengaruh ketebalan pengeringan terhadap mutu beras. terkandung di dalamnya. Dengan sifat
higroskopis tersebut akan terjadi absorpsi
Ketebalan pengeringan (cm) air antarbiji (Syarief dan Halid 1993).
Karakteristik
30 40 50

Rendemen beras (%) 68,54 68,72 71,04 Penggilingan Gabah


Lapisan atas 69,08 69,12 70,20
Lapisan bawah 68,01 68,32 71,88
Beras kepala (%) 96,60 96,64 78,71 Penggilingan merupakan proses untuk
Lapisan atas 96,73 97,83 71,79 mengubah gabah menjadi beras. Proses
Lapisan bawah 94,48 95,45 85,64 penggilingan gabah meliputi pengupasan
Beras pecah (%) 3,95 2,98 10,57 sekam, pemisahan gabah, penyosohan,
Lapisan atas 2,88 1,83 7,35
pengemasan, dan penyimpanan beras.
Lapisan bawah 5,02 4,14 13,80
Penggilingan konvensional memiliki tiga
Sumber: Thahir (2000). komponen utama, yaitu motor penggerak,
pemecah kulit/sekam (husker), dan pe-

62 Jurnal Litbang Pertanian, 31(2), 2012


nyosoh beras (polisher). Dengan tiga kristal). Tekanan dan gesekan mekanis mukaan beras, mengurangi tekanan
komponen tersebut, beras yang dihasil- pada saat penyosohan berlangsung gesekan pada permukaan beras dan
kan belum memenuhi mutu yang ditetap- menimbulkan tegangan termal sel pati timbulnya panas pada saat penyosohan
kan SNI, karena masih banyak gabah caryopsis yang dapat mengakibatkan berlangsung (Juliano 2003). Teknologi
yang tidak tergiling dan adanya benda- butir beras retak dan patah. Butir beras ini dapat diandalkan untuk memperoleh
benda asing seperti batu, pasir ataupun patah memperluas permukaan beras yang rendemen dan mutu beras yang tinggi,
biji rerumputan yang terikut bersama disosoh sehingga makin banyak bagian sesuai dengan tuntutan dalam per-
beras, serta persentase beras patah lebih beras yang menjadi dedak, yang pada dagangan global.
tinggi (Thahir et al. 2000). akhirnya menurunkan rendemen beras Mesin penyosoh dengan teknik pe-
Untuk mendapatkan beras bermutu giling (Thahir 1996). ngabutan telah dikembangkan dalam
baik dengan rendemen giling yang le- Penyosohan beras telah berkembang berbagai bentuk, salah satunya adalah
bih tinggi, Tjahjohutomo et al. (2004) dengan berbagai teknik untuk mengu- prototipe pengabut tipe bayonet yang
menyatakan konfigurasi mesin peng- rangi keretakan dan kepatahan butir telah dimodifikasi menjadi tongkat
gilingan padi perlu diperbaiki dengan beras. Perbaikan teknik penyosohan yang pengabut multiinjeksi (Tjahjohutomo et
menambahkan beberapa komponen, paling banyak dilakukan adalah dengan al. 2004). Kabut air dihasilkan dari nozzle
seperti pembersih gabah (paddy cleaner) mengombinasikan sistem abrasif dan dengan rasio lubang venturi 10 : 0,5 mm/
sebelum gabah dimasukkan ke dalam friksi serta sistem penyosohan bertahap. mm. Rasio ini menghasilkan droplet
husker (mesin pemecah kulit), serta pe- Kombinasi sistem abrasif dan friksi me- partikel kabut yang paling baik untuk
misah gabah (paddy separator) setelah ningkatkan volume beras kepala menjadi penyosohan beras. Alat pengabut ini di-
gabah melewati husker sehingga gabah 86% dan menekan jumlah beras patah rancang untuk memperbaiki efisiensi dan
yang tidak terkelupas dipisahkan dari menjadi 13% (Thahir 1996; Setiawati efektivitas pengabutan. Dengan memberi
beras pecah kulit (BPK). Selanjutnya 1999; Sudaryono et al. 2005). Melalui tekanan 50 psi dihasilkan sebaran droplet
BPK dimasukkan ke dalam polisher penelitiannya, Bangphan et al. (2009) merata dan halus sebesar 1.000 titik/cm2,
(penyosoh). Dalam hal ini, Budiharti et memperoleh beras patah minimum 15,29% dengan rata-rata konsumsi air 0,19 liter/
al. (2006) melaporkan bahwa rata-rata pada perlakuan kombinasi putaran silin- menit (Thahir 2002).
rendemen giling dan beras kepala pada der penyosoh abrasif berbahan kuarsa Penyosohan dengan konsep pelem-
penggilingan padi sederhana dengan 1.500 rpm dengan clearance 1,71 mm. butan aleuron dapat meningkatkan
konfigurasi husker-polisher (H-P) ma- Sesuai tipe, beras dibedakan atas ukur- rendemen beras 1−2% dan volume beras
sing-masing hanya 61,40% dan 74,5%, an panjang (long grain), sedang (medium kepala 5−9%, serta mengurangi jumlah
sedangkan dengan konfigurasi mesin grain), dan pendek (short grain). Beras beras patah 5% dan ekses termal pada
cleaner-husker-separator-polisher berukuran pendek berbentuk relatif bulat, saat penyosohan dari 37 o C menjadi
(CHSP), rendemen giling dan beras kepala liat, dan sukar patah, sedangkan yang 34,6oC (Thahir et al. 2000). Hasil penguji-
meningkat menjadi 66% dan 84,6%. berukuran panjang berbentuk langsing an alat pengabut air tipe bayonet oleh
dan mudah patah. Antara tipe beras Thahir (2002) di Karawang menunjuk-
pendek (< 5,5 mm) dan panjang (> 6,6 mm) kan terdapat peningkatan beras utuh
Penyosohan Beras dapat menimbulkan perbedaan rendemen (beras kepala) 2,2% dan menurunkan
sampai 5%. Bentuk beras juga meme- menir 4,1%. Di Cianjur, penggunaan alat
Butir gabah terdiri atas lapisan terluar ngaruhi perolehan beras kepala dan be- tersebut dapat meningkatkan persentase
sekam (palea dan lemma) yang menutupi ras patah. Percobaan penyosohan gabah beras kepala/utuh 2,52% dan menurunkan
butir beras pecah kulit caryopsis. Lapisan varietas IR54 dan IR64 yang berbentuk menir 6,64% untuk varietas Sintanur, dan
terluar dari caryopsis adalah lapisan tipis ramping, menghasilkan beras kepala untuk varietas Widas dapat meningkat-
perikarp yang bersifat impermeable dan beras patah masing-masing 76,9% kan persentase beras kepala/utuh 6,52%
terhadap difusi O2, CO2, dan uap air, dan 21,2%, sedangkan pada varietas dan menurunkan menir 9,28%. Iswari et
pelindung yang sangat baik dari gang- Cisadane yang gabahnya berbentuk al. (2010) juga telah melakukan pengujian
guan jamur, oksidasi, dan kerusakan bulat, beras kepala mencapai 92,9% dan alat pengabut air tipe bayonet pada
enzimatis. Di sebelah dalamnya terda- beras patah 6,2% (Setyono et al. 2008). penggilingan padi kecil di Desa Batu
pat lapisan tegmen dan aleuron dengan Kalang, Kabupaten Padang Pariaman,
ketebalan 1−7 sel, kaya dengan protein, Sumatera Barat. Hasilnya memperlihat-
lemak, dan vitamin (Juliano 2003). kan bahwa alat pengabut air tipe bayonet
Penyosohan beras adalah proses Teknologi Pelembutan dapat meningkatkan beras kepala varie-
menghilangkan sebagian atau kese- Aleuron tas Cisokan dari 62,32% menjadi 77,99%
luruhan lapisan yang menutupi caryopsis, dan meningkatkan derajat putih dari
terutama aleuron, dengan tidak meng- Penyosohan dengan teknik pelembutan 36,40% menjadi 40,13% (Tabel 7 dan
akibatkan keretakan pada butir beras, lapisan aleuron dilakukan dengan cara Gambar 2). Namun, pengujian penyosohan
menghasilkan beras giling berwarna pu- mengembuskan partikel air ke permukaan hanya dapat dilakukan dengan volume
tih, bersih, dan cemerlang (Thahir 2002; beras pecah kulit, bersamaan dengan beras kurang dari 500 kg. Bila volume
Juliano 2003). Proses penyosohan ini proses penyosohan (Thahir et al. 2001). penyosohan lebih dari 500 kg akan terjadi
dikenal dengan istilah pemutihan atau Kabut air dengan volume 0,3−0,4% dari penggumpalan beras pada penyosoh
pemolesan bila ditujukan untuk meng- bobot dapat digunakan untuk melunak- akibat tidak tepatnya rasio lubang ven-
hasilkan beras yang mengilap (beras kan dan mengikat debu halus di per- turi pada nozzle. Menurut Thahir et al.

Jurnal Litbang Pertanian, 31(2), 2012 63


Tabel 7. Pengaruh penggunaan alat pengabut air tipe bayonet pada penggilingan padi terhadap persentase beras kepala,
butir menir, beras patah, dan derajat putih pada beberapa varietas di Karawang1 dan Pariaman2.

Tanpa bayonet Menggunakan bayonet


Varietas Butir menir Beras patah Beras kepala Derajat putih Butir menir Beras patah Beras kepala Derajat putih
(%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)

Cisokan2 13,22 24,46 62,32 36,40 8,00 14,01 77,99 40,13


Anak Daro 2 14,36 24,34 61,30 38,70 8,99 15,85 75,16 42,13
Widas1 14,93 14,57 70,50 37,83 5,65 17,33 77,02 41,23
Sintanur1 13,06 17,01 69,93 38,70 6,42 21,13 72,45 42,13

Sumber: 1Thahir (2002); 2Iswari et al. (2010).

STANDAR MUTU

Sebelum gabah dipasarkan atau selama


penyimpanan, kontrol mutu perlu dila-
kukan dengan berpedoman pada standar-
disasi mutu sehingga dapat meningkatkan
nilai jual. Persyaratan mutu gabah meliputi
persyaratan kualitatif dan kuantitatif.
Persyaratan mutu kualitatif gabah terdiri
atas empat karakter, yaitu: 1) bebas hama
dan penyakit, 2) bebas dari bau busuk,
asam dan bau lainnya, 3) bebas bahan
kimia dan sisa pupuk, insektisida, dan
fungisida, dan 4) gabah tidak boleh pa-
nas. Persyaratan kuantitatif meliputi
kriteria pemeriksaan gabah di laborato-
rium dengan berpedoman pada standar
mutu gabah berdasarkan SNI (Tabel 8).
Gambar 2. Pemasangan alat pengabut air tipe bayonet (ditunjuk tanda panah) pada Pada beras, kontrol mutu juga harus
mesin penyosoh beras di Pariaman, Sumatera Barat. berpedoman pada standar mutu kualitatif
dan kuantitatif. Standar mutu kualitatif
beras meliputi bebas hama dan penyakit,
bebas bau busuk, asam dan bau lainnya,
bebas dari bekatul, dan bebas dari tanda-
tanda adanya bahan kimia yang mem-
(2001), rasio lubang venturi untuk meng- (Thahir 1993). Hasil penelitian ini bahayakan. Standar mutu kuantitatif
hasilkan partikel kabut yang paling baik didukung oleh Juliano (2003) yang men- harusnya sesuai dengan standar mutu
adalah 10 : 0,5 mm/mm. jelaskan bahwa pada kadar air rendah, SNI, seperti tercantum pada Tabel 9.
Kadar air gabah pada saat penyo- beras cenderung lebih kaku (rigid), tidak
sohan akan memengaruhi rendemen dan elastis, dan mudah patah dibandingkan
mutu beras giling. Referensi kadar air dengan pada kadar air yang lebih tinggi.
penyosohan beras yang terbaik adalah Secara ekonomis, penggunaan alat KONDISI MUTU BERAS DI
13−14% basis bawah, mengikuti kadar air pengabut akan meningkatkan nilai jual SUMATERA BARAT
keseimbangan dengan lingkungan alami beras Rp1.000/kg dengan biaya operasi-
(Afzalina et al. 2002). onal tambahan Rp50/kg beras (Iswari et Pada tahun 2011, BPTP Sumatera Barat
Dari sudut mutu penampakan beras al. 2010). Peningkatan derajat putih sam- melakukan pemeriksaan kualitas beras
giling, penyosohan beras sebenarnya pai 5% dan penurunan derajat kuning pada tujuh kabupaten dan kota sentra
lebih baik dilakukan pada kadar air 15% beras 0,05% meningkatkan nilai jual produksi beras, yaitu Kabupaten Agam,
karena butir beras lebih utuh dan penam- Rp300−400/kg (Thahir et al. 2000; Nugraha Solok, Padang Pariaman, Lima Puluh Kota,
pakan beras lebih baik daripada penyo- et al. 2007). Secara umum, penggunaan Kota Payakumbuh, Pesisir Selatan, dan
sohan pada kadar air 14%, namun daya alat pengabut dapat mendorong pemilik Solok Selatan. Dari hasil pemeriksaan
simpan beras singkat, dalam tempo tiga penggilingan untuk meningkatkan jang- mutu beras di tujuh kabupaten/kota
hari dan setelahnya beras akan buram kauan pemasaran. tersebut, belum ditemui beras mutu I

64 Jurnal Litbang Pertanian, 31(2), 2012


sesuai standar SNI 6128:2008. Kualitas sil penelitian Iswari (2011) menunjukkan laju respirasi yang menghasilkan energi.
beras terbaik hanya menempati mutu II, bahwa penumpukan padi hingga tujuh Menurut Iswari dan Sastrodipuro (1996),
yaitu di Kabupaten Agam dan Solok hari meningkatkan beras patah dari 18% energi yang dihasilkan menyebabkan pati
(Tabel 10). Mutu beras yang paling rendah menjadi 32,4% dan menurunkan per- terhidrolisis sehingga gabah akan patah
adalah di Kabupaten Pesisir Selatan, sentase beras kepala dari 72,27% menjadi atau kuning.
selanjutnya di Kabupaten Solok Sela- 66,8%, serta meningkatkan butir kuning Rendahnya mutu beras di Kabupaten
tan dan Padang Pariaman. Rendahnya dari 0,5% menjadi 10,28%. Tingginya Pesisir Selatan, Solok Selatan, dan Padang
mutu beras di Kabupaten Pesisir Sela- persentase beras patah dan butir kuning Pariaman juga disebabkan oleh kondisi
tan disebabkan oleh kebiasaan petani disebabkan oleh meningkatnya suhu se- penggilingan padi. Sebagian besar peng-
yang menumpuk padi setelah disabit. Ha- lama penumpukan akibat meningkatnya gilingan padi masih berupa penggilingan
padi kecil (PPK) dengan konfigurasi
husker dan polisher (H-P), yang meng-
hasilkan rendemen giling yang rendah,
Tabel 8. Mutu gabah menurut SNI 0224-1987-0. yaitu 55,7% dengan beras kepala hanya
61,4−74,3% dan beras patah > 12%. De-
Kualitas ngan konfigurasi mesin cleaner-husker-
Komponen mutu
I II III
separator-polisher (CHSP), rendemen
giling dan beras kepala dapat ditingkatkan
Kadar air (maks., %) 14 14 14 menjadi 66% dan 84,6%, dengan beras
Gabah hampa (maks., %) 1 2 3 patah ± 6,6% (Budiharti et al. 2006).
Butir rusak + butir kuning 2 5 7 Berdasarkan hal tersebut, untuk mening-
(maks., %)
Butir mengapur + gabah muda 1 5 10
katkan kualitas beras dan menekan kehi-
(maks., %) langan hasil, perlu dilakukan perbaikan
Butir merah (maks., %) 1 2 10 konfigurasi mesin penggiling, dan di-
Benda asing (maks., %) − 0,5 4 perlukan dukungan pemerintah dalam
Gabah varietas lain (maks., %) 2 5 1 pendanaan untuk menambah alat, serta
pelatihan dan magang bagi pengusaha
penggilingan padi (Hasbullah 2008).
Tabel 9. Standar mutu beras menurut SNI 6128:2008.

Mutu KENDALA SOSIAL DALAM


Komponen mutu
I II III IV V PENERAPAN TEKNOLOGI
Derajat sosoh (min., %) 100 100 95 95 85 PASCAPANEN
Kadar air (maks., %) 14 14 14 14 15
Butir kepala (min., %) 95 89 78 73 60 Upaya mengatasi susut pascapanen
Butir patah (maks., %) 5 10 20 25 35
terkendala bukan oleh minimnya pene-
Butir menir (maks., %) 0 1 2 2 5
Butir merah (maks., %) 0 1 2 3 3 rapan teknologi, melainkan oleh masalah
Butir kuning/rusak (maks., %) 0 1 2 3 5 nonteknis dan sosial. Nugraha et al.
Butir mengapur (maks., %) 0 1 2 3 5 (1994) melaporkan bahwa waktu panen
Benda asing (maks., %) 0 0,02 0,02 0,05 0,20 yang tidak tepat bukan karena petani
Butir gabah (maks., butir/100 g) 0 1 1 2 3
pemilik sawah tidak mengetahui teknik
Campuran varietas lain (%) 5 5 5 10 10
penentuan umur panen, tetapi waktu
panen sering ditentukan oleh penderep.

Tabel 10. Hasil pemeriksaan mutu beras pada tujuh kabupaten dan kota di Sumatera Barat, 2011.

Derajat Kadar Butir Butir Benda Campuran Butir


Kabupaten/Kota sosoh air kepala patah asing varietas lain kuning Mutu
(%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)
Agam 100 14,1 85,30 13,88 0,02 0,80 0 II
Solok 100 14,0 89,23 10,73 0,01 0,03 0 II
Solok Selatan 96 14,3 70,45 26,34 0,20 3,01 0,30 IV
Padang Pariaman 97 14,2 71,30 27,87 0,76 0,07 0,03 IV
Lima Puluh Kota 100 14,0 80,50 18,45 0,84 0,21 0,01 III
Kota Payakumbuh 100 14,0 79,32 20,00 0,03 0,65 0,01 III
Pesisir Selatan 90 15,1 67,40 30,60 1,50 0,50 10,50 V
Sumber: Iswari (2011).

Jurnal Litbang Pertanian, 31(2), 2012 65


Penderep juga menentukan jumlah pen- KONDISI KELEMBAGAAN tidak lagi menerapkan teknologi beras
derep, tanpa sepengetahuan pemiliknya. PETANI super setelah bantuan pemerintah tidak
Pertanaman padi sawah seluas satu ada lagi (Iswari 2011).
hektare yang idealnya dipanen oleh 20− Organisasi petani yang ada saat ini lebih
30 orang sering kali dikerjakan oleh 50 bersifat budaya dan sebagian besar ber-
orang atau lebih secara keroyokan. orientasi untuk mendapatkan fasilitas KESIMPULAN
Setyono et al. (2001) menyatakan, panen pemerintah, belum sepenuhnya meman-
dengan sistem keroyokan menyebabkan faatkan usaha untuk menopang ekonomi Teknologi pascapanen untuk menekan
terjadinya susut saat panen, susut melalui aksesibilitas terhadap informasi kehilangan hasil, yang meliputi penentuan
penumpukan sementara, dan susut teknologi, permodalan, dan pasar yang umur panen, cara panen, perontokan
perontokan yang cukup tinggi, men- diperlukan bagi pengembangan usaha. gabah, pengeringan, dan pelembutan
capai 18,6%. Hal ini terjadi karena para Di sisi lain, kelembagaan usaha yang ada lapisan aleuron untuk perbaikan mutu
penderep berebut untuk mendapatkan di pedesaan, seperti koperasi belum dapat beras, telah siap diterapkan di tingkat
jatah pemanenan yang lebih banyak. sepenuhnya mengakomodasi kepen- petani. Oleh karena itu, petani perlu di-
Di samping sistem panen, masalah tingan petani/kelompok tani sebagai dorong untuk menggunakan teknologi
budaya juga dapat meningkatkan susut wadah pembinaan teknis. yang tersedia. Penggilingan gabah yang
panen. Sebagian petani di Sawahlunto, Farmer Managed Extension Activities umumnya berupa penggilingan kecil
Sumatera Barat, enggan menggunakan (FMA) adalah suatu wadah penyuluhan dengan konfigurasi mesin husker dan
perontok karena lebih berat dan sulit di tingkat desa sebagai wahana pembela- polisher (H-P) perlu diperbaiki menjadi
dipindah-pindah dibanding perontokan jaran petani dalam pengembangan agri- konfigurasi mesin cleaner-husker-
menggunakan gebot (Iswari et al. 2010). bisnis. Dalam hal ini, petani bisa belajar separator-polisher (CHSP).
Kultur budaya di Kabupaten Pesisir praktik menerapkan konsep agribisnis Masalah dalam penerapan teknologi
Selatan juga menghambat penerapan secara utuh dari hulu sampai hilir secara pascapanen bukan berupa minimnya
teknologi pascapanen. Petani di daerah bertahap. Pembinaan dan pembelajaran penerapan teknologi oleh petani, tetapi
ini pada umumnya menumpuk batang pa- petani mendapat bantuan dari Bank berupa masalah nonteknis dan sosial.
di beserta malai setelah disabit setinggi Dunia. Waktu panen sering ditentukan oleh pen-
3 m dengan diameter ± 3 m selama 5−10 Penerapan program FMA belum ber- derep yang jumlahnya melebihi jumlah
hari, dan ditutup dengan jerami. Pada saat jalan secara maksimal. Hasil pengkajian idealnya sehingga gabah banyak yang
yang ditentukan, tumpukan dibongkar Iswari et.al (2010) menunjukkan bahwa tercecer. Selain itu, belum semua petani
lalu diiles bersama-sama untuk men- teknologi beras super telah diadopsi di mampu dan mau menerapkan teknologi
dapatkan gabah. Besarnya tumpukan padi UP-FMA Desa Ambacang Kamba pascapanen karena faktor kemampuan
sebelum diiles merupakan kebanggaan Kabupaten Pesisir Selatan, dan UP-FMA dan budaya setempat. Kelembagaan
bagi si pemilik sawah. Kebiasaan tersebut Desa Batu Kalang Kabupaten Padang petani sebagian besar masih berorientasi
sudah berlangsung turun-temurun dan Pariaman pada saat bantuan pemerintah untuk mendapatkan fasilitas dari pe-
sampai saat ini sulit untuk diubah (Iswari masih ada. Hal ini dibuktikan dengan telah merintah, belum sepenuhnya berupaya
2010), walaupun pembinaan oleh peme- dipasarkannya beras super sampai ke luar memanfaatkan kelembagaan tersebut
rintah dan instansi terkait telah berulang daerah. Namun kedua kelompok tersebut sebagai penopang kegiatan ekonomi.
kali dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Afzalina, S., M. Shaker, and E. Zare. 2002. rendemen giling padi. http://mekanisasi. Iswari, K. dan D. Sastrodipuro. 1996. Pengaruh
Comparison of different rice milling me- litbang.deptan.go.id. [25 Juni 2011]. penundaan perontokan terhadap sifat dan
thods. The ASAE Paper No. MBSK 02-214. mutu beras. Jurnal Penelitian Pertanian
Departemen Pertanian. 2009. Database Produksi
Fakultas Pertanian Universitas Islam Suma-
BPS Sumbar (Badan Pusat Statistik Provinsi Tanaman Pangan. http://database.deptan.
tera Utara 15(3): 186−193.
Sumatera Barat). 2010. Luas panen, laju go.id. [30 Desember 2009]
produksi dan produksi padi per provinsi tahun Iswari, K. 2010. Inovasi teknologi pascapanen
Hasbullah, R. 2008. Menyiasati susut pasca-
2008. http://bps.go.id/. [11 Oktober 2010]. padi sawah. Makalah disajikan pada Pela-
panen. http://www.fateta-ipb.ac.id/paper.
tihan Penyuluh Pertanian (PL3) Kota Sawah-
Bangphan, S., P. Bangphan, S. Lee, S. Jom- php. [25 Juni 2011]
lunto dan Pesisir Selatan, Sawahlunto, 16
junyong, and S. Phanpet. 2009. The Optimal Juni 2010.
IRRI. 2009. Modern Rice Milling. www.irri. [6
Milling Condition of the Quartz Rice
October 2011].
Polishing Cylinder Using Response Surface Iswari, K., Azwir, Atman, dan Tjahjohutomo.
Methodology. Proceedings of the World Irawan, B. 2004. Dinamika produktivitas dan 2010. Demplot pengujian alat pengabut air
Congress on Engineering Vol I. London, 1− kualitas budi daya padi sawah. hlm. 179− tipe bayonet di UP-FMA Batu Kalang
3 July 2009. 199. Dalam F. Kasryno, E. Pasandaran, dan Kabupaten Padang Pariaman. Laporan Hasil
A.M. Fagi (Ed). Ekonomi Padi dan Beras Penelitian 2010. Balai Pengkajian Tekno-
Budiharti, U., Harsono, dan R. Juliana. 2006. logi Pertanian Sumatera Barat, Sukarami,
Indonesia. Badan Penelitian dan Pengem-
Perbaikan konfigurasi mesin pada peng- Padang.
bangan Pertanian, Jakarta.
gilingan padi kecil untuk meningkatkan

66 Jurnal Litbang Pertanian, 31(2), 2012


Iswari, K. 2011. Survei Mutu Beras di Sumatera Purwanto. 2011. Kehilangan pascapanen padi Syarief, R. dan H. Halid. 1993. Teknologi
Barat. Kerja Sama Balai Pengkajian Tekno- kita masih tinggi. http://io.ppijepang.org. Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan, Ja-
logi Pertanian Sumatera Barat dengan Dinas [10 Januari 2011] karta. 347 hlm.
Sosial Provinsi Sumatera Barat.
Rachmat, R., S. Lubis, S. Nugraha, dan R. Thahir. Tjahjohutomo, R., Handaka, Harsono, dan T.
Juliano, B.O. 2003. Rice Chemistry and Quality. 2002. Teknologi penanganan gabah basah W. Widodo. 2004. Pengaruh konfigurasi
PhilRice, the Philippines. dengan model pengeringan dan penyimpanan mesin penggilingan padi rakyat terhadap
terpadu. Majalah Pangan Media Komunikasi rendemen dan mutu beras giling. Jurnal
Kementerian Pertanian. 2009. Rancangan Ren- Enjiniring Pertanian II(1): 1−23.
dan Informasi XI(39): 57−63.
cana Strategis Kementerian Pertanian Tahun
2010−2014. Kementerian Pertanian, Ja- Santosa, Azrifirwan, dan F.E. Putri. 2009. Sistem Tjahjohutomo, R. 2008. Komersialisasi inovasi
karta. informasi alat dan mesin panen dan pasca- teknologi hasil penelitian dan pengem-
panen tanaman pangan di Kabupaten Solok bangan pertanian. Disampaikan pada Work-
Marzempi, Y. Jastra, dan D. Sastrodipuro. 1993. shop Membangun Sinergi A-B-G dalam
Sumatera Barat. Jurnal Enjiniring Pertanian
Penentuan umur panen optimum padi sawah Komersialisasi Hasil Litbang Alsintan Lokal
VII(1): 59−70.
pegunungan varietas Batang Agam dan Dalam Negeri, FATETA IPB, Bogor, 6
Batang Ombilin. Pemberitaan Penelitian Satake. 2009. Rice milling. http://satake.co.uk/ Agustus 2008. Badan Penelitian dan
Sukarami (15): 3−8. rice_milling/index. html. [12 November Pengembangan Pertanian, Jakarta.
2011]
Nugraha, S., A. Setyono, dan D.S. Damardjati. Thahir, R. 1993. Teknologi penggilingan padi.
1990. Pengaruh keterlambatan perontokan Setiawati, J. 1999. Pengaruh jenis pemutih hlm. 52−63. Dalam Gaybita (Ed.). Arahan
padi terhadap kehilangan dan mutu. Kom- terhadap mutu beras. Buletin Enjiniring Pengembangan Penggilingan Padi. Dit.
pilasi Hasil Penelitian 1988/1989, Pasca- Pertanian VI(1&2): 33−39. Binus, Ditjen Tanaman Pangan, Jakarta.
panen. Balai Penelitian Tanaman Pangan
Setyono, A., Sutrisno, S. Nugraha, dan Jumali. Thahir, R. 1996. Susut dan mutu padi pada
Sukamandi.
2001. Uji coba kelompok jasa pemanen dan berbagai sistem pemanenan. Temu Teknis
Nugraha, S., A. Setyono, dan R. Thahir. 1994. jasa perontok. Laporan Akhir TA 2000. Balai Pelatihan Pembuatan dan Operasi Mesin
Studi optimisasi sistem pemanenan padi Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. Penyisir Padi, Sukamandi, 12−13 Agustus
untuk menekan kehilangan hasil. Reflektor 1996.
Setyono, A., B. Kusbiantoro, Jumali, P. Wibowo,
VII(1−2): 4−10.
dan A. Guswara. 2008. Evaluasi mutu beras Thahir, R. 2000. Pengaruh aliran udara dan
Nugraha, S., R. Thahir, dan Sudaryono. 2007. di beberapa wilayah sentral produksi padi. ketebalan pengeringan terhadap mutu gabah
Keragaan kehilangan hasil pascapanen padi hlm. 1429−1449. Prosiding Seminar Nasional keringnya. Buletin Enjiniring Pertanian
pada 3 (tiga) agroekosistem. Buletin Tek- Inovasi Teknologi Padi Mengantisipasi Peru- VII(1&2): 1−5.
nologi Pascapanen Pertanian 3(1): 42−49. bahan Iklim Global Mendukung Ketahanan
Pangan, Buku 4. Balai Besar Penelitian Thahir, R., H. Wijaya, dan J. Setiawati. 2000.
Nugraha, S. 2008. Penentuan umur panen dan Tanaman Padi, Sukamandi. Pemolesan beras melalui sistem pengkabut
sistem panen. Informasi Ringkas Bank air. Prosiding Seminar Nasional Teknik
Pengetahuan Padi Indonesia. Balai Besar Setyono, A. 2009. Teknologi penanganan pasca- Pertanian. Modernisasi Pertanian untuk
Penelitian dan Pengembangan Pascapanen panen padi. http://agribisnis. deptan.go.id/ Meningkatkan Efisiensi dan Produktivitas
Pertanian Bogor. http://pustaka.litbang. web/diperta-ntb/Juklak/pasca_panen_ Menuju Pertanian Berkelanjutan, Bogor,
deptan.go.id [13 April 2012]. padi.htm, [14 September 2009]. 11−12 Juli 2000. Perhimpunan Teknik Per-
Purwadaria, H.K., E.E. Ananto, K. Sulistiadji, Sudaryono, S. Lubis, dan Suismono. 2005. tanian Indonesia (2): 246−326.
Sutrisno, and R. Thahir. 1994. Devel- Pengaruh sistem penggilingan padi skala Thahir, R., H. Wijaya, B. Satriyo, S. Lubis, dan J.
opment of stripping and threshing type menengah terhadap mutu hasil giling. Buletin Setiawati. 2001. Pengkabut Air Model Bayo-
harvester. Postharvest Technologies for Rice Teknologi Pascapanen Pertanian I(1): 64− net. Pendaftaran Paten No. S00200100015.
in the Humid Tropics - Indonesia. Technical 70.
Report Submitted to GTZ-IRRI Project. Thahir, R. 2002. Tinjauan penelitian pening-
Sutrisno dan R. Rachmad. 2011. Perbaikan desain katan kualitas beras melalui perbaikan
IRRI, the Philippines. 38 pp.
tungku sekam untuk meningkatkan efisiensi teknologi penyosohan. Seminar Jatidiri,
Purwadaria, H.K. dan K. Sulistiadji. 2011. Petun- panas pada pengeringan gabah. Balai Pe- Balai Besar Pengembangan Alat dan Mesin
juk Operasional Mesin Pemanen (Reaper). nelitian Tanaman Padi. http://mekanisasi. Pertanian, Serpong, 1 Mei 2002.
http://agribisnis.net/Pustaka. [11 Januari litbang.deptan.go.id. [18 Januari 2011].
2011].

Jurnal Litbang Pertanian, 31(2), 2012 67

Anda mungkin juga menyukai