Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN

SMALL GROUP DISCUSSION LBM 1


BLOK INDRA (MATA DAN THT)
“ TERASA MENGGANJAL DI MATA ”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 6

Niza Anggie MR. (016.06.0025)


Tris Aris Munandar (016.06.0042)
Hardwiky Diwantara (017.06.0015)
Kadek Yulia Inggriani (017.06.0029)
Luh Ade Ardia Aprillia (017.06.0031)
Wiwik Sari Aprianturi (017.06.0038)
Iffah Putri Andini (018.06.0002)
Putu Bany Surya Buana Putri (018.06.0004)
Fidelia Taufik (018.06.0006)
Restu Kurniawan (018.06.0082)

Tutor : dr. Heni A. Lenap, S. Ked

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya
dan dengan kemampuan yang kami miliki, penyusunan makalah SGD (Small Group
Discussion) LBM 1 yang berjudul ‘TERASA MENGGANJAL DI MATA’ dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas mengenai hasil SGD lembar belajar mahasiswa (LBM) 1 yang
berjudul ‘TERASA MENGGANJAL DI MATA’ meliputi seven jumps step yang dibagi
menjadi dua sesi diskusi. Penyusunan makalah ini tidak akan berjalan lancar tanpa bantuan
dari berbagai pihak, maka dari itu dalam kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih
kepada:
1. dr. Heni A. Lenap, S. Ked Sebagai dosen fasilitator kelompok SGD 6 yang
senantiasa memberikan saran serta bimbingandalam pelaksanaan SGD.
2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi kami dalam
berdiskusi.
3. Keluarga yang kami cintai yang senantiasa memberikan dorongan dan motivasi.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman kami yang terbatas untuk menyusun makalah
ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Mataram, 8 Oktober 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Skenario LBM 1 1

BAB II PEMBAHASAN 2

BAB III PENUTUP


3.1. Kesimpulan 22

DAFTAR PUSTAKA 23

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Skenario
“TERASA MENGGANJAL DIMATA”
Seorang laki-laki berusia 65 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan mata kanannya
kabur, dirasakan sejak 1 tahun yang lalu. Pasien mengeluh matanya berair dan ada perasaan
mengganjal, serta rasa pedih pada mata ketika terkena angina. Tidak ada keluhan mata merah
sebelumnya.
Pada saat amnanesa, ditemukan bahwa pasien bekerja di tempat terbuka dan sering
terkena paparan debu dan sinar matahari, dilanjutkan dengan pemeriksaan dengan hasil
konjungtiva kemerahan, dan ada selaput yang tumbuh dari sebelah nasal sampai melewati
tepi pupil. Visus mata kanan 2/60 dan mata kiri 6/6.
Dari data yang didapatkan, kami mendapatkan beberapa pertanyaan yang menyinggung
skenario ini, diantaranya :
1. Apakah ada hubungan pekerjaan dan usia pasien dengan keluhan di skenario?
2. Apa saja hal-hal yang dapat menyebabkan perbedaan visus pada mata kiri dan
kanan?
3. Apa yang menyebabkan mata kanannya mengalami pengelihatan kabur dan
berair?
4. Kenapa saat terkena angin, mata pasien terasa pedih?
5. Apakah diagnosa sementara/ Diagnosa banding pada skenario?

1
BAB 2
PEMBAHASAN
Pertama-tama, kelompok kami membahas dulu mengenai anatomi histologi dan fisiologi
dari struktur mata. Mata secara garis besar dibagi menjadi orbita, bulbus okuli, dan adnexa
oculi.

A. Orbita.

Orbita adalah ruang yang terbentuk piramid yang bersisi empat yang merupakan tempat
bola mata. Basis orbit menghadap anterolateral sedangkan apeks menghadap posteromedial.
Orbit memiliki dinding medial, yang dibentuk oleh apparatus nasal dan os etmoidalis, serta
dinding lateral. Pada bagian superior, orbit berbatasan dengan sinus frontalis, sedangkan pada
inferior sinus maksilaris.Volume orbit pada orang dewasa adalah sekitar 30 ml, dimana hanya
seperenam yang ditempati oleh bola mata. Orbita memiliki empat permukaan, yaitu
(Waschke, 2012):
o Dinding superior (atap), hampir horizontal, dibentuk oleh bagian orbital os
frontalis. Berfungsi untuk proteksi dan tempat perlekatan septum orbital.
o Dinding inferior (lantai), terutama dibentuk oleh os maksila dan sebagian kecil
oleh os zigomatik dan palatine.
o Dinding medial, kurang jelas batasnya, terbentuk oleh os ethmoidalis yang setipis
kertas dan menebal saat bertemu dengan os lacrimal. Beberapa tulang lainnya
yang membentuk batas medial adalah os maxilla, os lacrimalis, dan os sphenoid.

2
o Dinding lateral, dibentuk oleh prosesus frontalis os zigomatik dan sayap mayor os
sphenoid. dinding ini merupakan dinding terkuat dibandingkan dengan yang
lainnya.
Selain memiliki empat dinding, rongga orbita juga memiliki basis dan apex. Basis adalah
area yang digambarkan oleh garis batas orbital (Waschke, 2012).

B. Bulbus Okuli.
Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bagian anterior bola
mata mempunyai kelengkungan yang lebih cembung sehingga terdapat bentuk dengan dua
kelengkungan berbeda. Bola mata dibungkus oleh tiga lapisan jaringan, yaitu :

a. Sklera.

Sklera merupakan jaringan ikat yang lentur dan memberikan bentuk pada
mata. Jaringan ini merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata. Bagian
terdepan sklera disebut kornea yang bersifat transparan yang memudahkan sinar
masuk ke dalam bola mata (Waschke, 2012).

b. Kornea.

Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya dam merupakan lapisan jaringan yang menutup bola mata sebelah

3
depan.15 Kornea ini disisipkan ke dalam sklera pada limbus, lekukan melingkar
pada sambungan ini disebut sulcus scleralis. Kornea dewasa rata-rata mempunyai
tebal 550 µm di pusatnya (terdapat variasi menurut ras); diameter horizontalnya
sekitar 11,75 mm dan vertikalnya 10,6 mm. Dari anterior ke posterior kornea
mempunyai lima lapisan, yaitu:

o Epitel Tebal dari epitel ini adalah 50 µm. Epitel kornea mempunyai lima lapis
sel epitel tak bertanduk yang terdiri dari sel basal, sel poligonal, dan sel
gepeng (Eroschenko, 2016).
o Membran Bowman Membran Bowman terletak di bawah membran basal
epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersususn tidak teratur seperti
stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
o Stroma Stroma kornea menyusun sekitar 90% ketebalan kornea. Stroma terdiri
atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya.
Pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serta
kolagen ini bercabang.
o Dua’layer adalah lapisan sangat tipis dan kuat dengan ketebalan 15 µm, dapat
bertahan dengan tekanan 1,5 to 2 bars.
o Membran Descemet Membran Descemet merupakan membran aselular dan
merupakan batas belakang stroma kornea.
o Endotel Endotel berasal dari mesotelium, berlapis satu, berbentuk heksagonal,
dan tebalnya 20-40 µm. Lapisan ini berperan dalam mempertahankan
deturgesensi stroma kornea (Waschke, 2012).

c. Uvea.

4
Uvea adalah lapisan vaskular di dalam bola mata dan dilindungi oleh
kornea dan sklera yang terdiri dari tiga bagian, yaitu:

o Iris merupakan perpanjangan badan siliar ke anterior mempunyai permukaan


yang relatif datar dengan celah yang berbentuk bulat di tengahnya, yang
disebut pupil. Iris mempunyai kemampuan untuk mengatur banyaknya
cahaya yang masuk ke dalam bola mata secara otomatis dengan mengecilkan
(miosis) atau melebarkan (midriasis) pupil.
o Badan siliar merupakan susunan otot melingkar yang berfungsi mengubah
tegangan kapsul lensa sehingga lensa dapat fokus untuk objek dekat maupun
jauh dalam lapang pandang. Badan siliar terdiri atas. Lapisan Kornea zona
anterior yang berombak-ombak, pars plicata (2 mm) yang merupakan
pembentuk aqueous humor, dan zona posterior yang datar, pars plana (4 mm).
o Koroid merupakan segmen posterior uvea terletak di antara retina dan
sklerayang berisi pembuluh-pembuluh darah dalam jumlah besar, berfungsi
untuk memberi nutrisi pada retina bagian terluar yang terletak di bawahnya
(Waschke, 2012).

d. Lensa.

Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna, dan


hampir transparan sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Di
sebelah anterior lensa terdapat aqueous humor, di posteriornya terdapat vitreous
humor. Kapsul lensa adalah suatu membran semipermeabel yang akan
memperbolehkan air dan elektrolit masuk. Di sebelah depan terdapat selapis epitel
subkapsular. Nukleus lensa lebih keras daripada korteksnya. Nukleus dan korteks
terbentuk dari lamela konsentris yang panjang. Lensa ditahan di tempatnya oleh
ligamentum suspensorium yang dikenal sebagai zonula Zinii, yang tersusun dari
banyak fibril yang berasal dari permukaan badan siliar dan menyisip ke dalam
ekuator lensa (Waschke, 2012).

5
e. Aqueous Humor.

Aqueous humor diproduksi oleh badan siliar. Setelah memasuki bilik mata
belakang, aqueous humor melalui pupil dan masuk ke bilik mata depan, kemudian
ke perifer menuju sudut bilik mata depan.

f. Vitreous Humor.

Vitreous humor adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avaskular yang
membentuk dua pertiga volume dan berat mata. Permukaan luar vitreous humor
normalnya berkontak dengan struktur-struktur berikut : kapsul lensa posterior,
serat-serat zonula, pars plana lapisan epitel, retina, dan caput nervi optici. Basis
vitreous mempertahankan penempelan yang kuat seumur hidup ke lapisan epitel
pars plana dan retina tepat di belakang ora serrata. Vitreous humor mengandung
air sekitar 99%. Sisa 1% meliputi dua komponen, kolagen dan asam hialuronat,
yang memberi bentuk dan konsistensi mirip gel karena kemampuannya mengikat
banyak air (Waschke, 2012).

g. Retina.

Retina atau selaput jala, merupakan bagian mata yang mengandung


reseptor yang menerima rangsangan cahaya. Lapisan-lapisan retina mulai dari sisi
luar yang berbatas dengan koroid adalah sebagai berikut:

o Epitel pigmen retina (Membran Bruch) (Eroschenko, 2016).


o Fotoreseptor: Lapisan fotoreseptor terdiri dari sel batang dan sel kerucut.

6
o Membran limitan eksterna: Lapisan nukleus luar Lapisan nukleus luar
merupakan susunan nukleus sel kerucut dan sel batang. Keempat lapisan di
atas avaskuler dan mendapat nutrisi dari kapiler koroid.
o Lapisan pleksiform luar Lapisan ini merupakan lapisan aselular tempat
sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.
o Lapisan nukleus dalam Lapisan ini terdiri dari tubuh sel bipolar, sel
horizontal, dan sel Muller serta didarahi oleh arteri retina sentral.
o Lapisan pleksiform dalam Lapisan ini merupakan lapisan aselular tempat
sinaps sel bipolar dan sel amakrin dengan sel ganglion (Waschke, 2012).
o Lapisan sel ganglion Lapisan ini merupakan lapisan badan sel dari neuron
kedua.
o Serabut saraf Lapisan serabut saraf berupa akson sel ganglion yang menuju
ke arah saraf optik. Di dalam lapisan-lapisan ini terletak sebagian besar
pembuluh darah retina.
o Membran limitan interna Membran limitan interna berupa membran hialin
antara retina dan vitreous humor.

C. Adnexa Oculi.
Berfungsi membatu bulbus oculi dalam menjalankan fungsinya (Waschke, 2012).

a. Palpebra Atau Kelopak Mata.

7
Palpebra memiliki dua bagian yaitu palpebra superior dan palpebra inferior
yang memiliki fungsi untuk melindungi bola mata, serta mengeluarkan sekresi
kelenjar yang membentuk film air mata di depan kornea. Kelopak mempunyai
lapis kulit yang tipis pada bagian depan sedang di bagian belakang tertutupi
selaput lendir tarsus yang disebut konjungtiva tarsal melalui fornik menutupi bulbi
okuli (Waschke, 2012).

b. Konjungtiva.

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang


membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva berbatasan dengan
kulit pada tepi palpebral dan dengan epitel kornea di limbus (Waschke, 2012).

D. Musculus.
Pada kelopak mata terdapat otot yang mengatur pergerakannya :
a. M. Orbikularis okuli.
b. M. Rioland.
c. M orbikularis.
d. M. Levator palpebra (Waschke, 2012).

Otot penggerak bola mata atau otot ekstrinsik mata yang terdiri dari
a. Musculus rectus superior.
b. Musculus rectus inferior.
c. Musculus rectus lateralis.
d. Musculus rectus medialis.
e. Musculus obliquus superior.
f. Musculus obliquus inferior (Waschke, 2012).

8
Keempat muskulus rektus mempunyai origo pada anulus Zinn yang mengelilingi
nervus optikus pada apeks posterior orbita. Mereka disebut sesuai insertionya kedalam sklera
pada permukaan medial, lateral, inferior, dan superior mata. Fungsi utama otot-otot berturut-
turut adalah untuk adduksi, abduksi, menurunkan, dan mengangkat bola mata. Kedua
muskulus obliquus terutama mengendalikan gerak torsional dan, lebih sedikit, gerak bola
mata ke atas dan ke bawah. Oblikus superior adalah otot mata terpanjang dan paling tipis.
Origonya di atas dan medial foramen optikum dan menutupi sebagian origo muskulus levator
palpebrae superioris. Obliquus inferior berorigo pada sisi nasal dinding orbita tepat di
belakang tepian inferior orbita dan lateral dari duktus nasolakrimalis (Waschke, 2012)

9
E. Inervasi.

(Waschke, 2012)

F. Vaskularisasi.

Vaskularisasi utama orbita dan bagian-bagiannya berasal dari arteri ophtalmica, yaitu
cabang besar pertama arteri karotis interna bagian intrakranial. Cabang ini berjalan di bawah
nervus optikus dan bersamanya melewati kanalis optikus menuju ke orbita. Cabang
intraorbital pertama adalah arteri sentralisretina, yang memasuki nervus optikus sebesar 8-15
mm di belakang bola mata. Cabang-cabang lain arteri oftalmika adalah arteri lakrimalis, yang

10
memvaskularisasi glandula lakrimalis dan kelopak mata atas, cabang-cabang muskularis ke
berbagai otot orbita, arteri siliaris posterior longus dan brevis, arteri palpebra medialis ke
kedua kelopak mata, dan arteri supra orbitalis serta supratroklearis (Waschke, 2012).

Arteri siliaris posterior brevis memvaskularisasi koroid dan bagian nervusoptikus.


Kedua arteri siliaris longus memvaskularisasi badan siliar dan bersama arteri siliaris anterior
membentuk sirkulus arteriosus major iris. Arteri siliaris anterior berasal dari cabang-cabang
muskularis dan menuju ke muskuli rekti. Arteri ini memvaskularisasi sklera, episklera,
limbus, konjungtiva, serta ikut membentuk sirkulus arteriosus major iris. Drainase vena-vena
di orbita terutama melalui vena oftalmika superior dan inferior, yang juga menampung darah
dari vena vorteks, vena siliaris anterior,dan vena sentralis retina. Vena oftalmika
berhubungan dengan sinus kavernosus melalui fisura orbitalis superior dan dengan pleksus
venosus pterigoideus melaluifisura orbitalis inferior (Waschke, 2012).

11
a. Arteri.

b. Vena.

c. Limfatik.
o Menuju nodus limfatikus preaurikular dan submandibular.
o Menerima drainase dari sistem superfisial dan profunda.
o Pleksus superfisial : menerima aliran limfa dari kulit dan otot orbikularis.
o Pleksus profunda : dari tarsus dan konjungtiva (Waschke, 2012).
o Aspek medial palpebra superior inferior, sentral palpebra inferior dan
konjungtiva menuju nodus limfatikus submandibularis.
o Palpebra superior, aspek lateral palpebra inferior dan konjungtiva menuju
nodus imfatikus preaurikular.

12
Setelah memberikan gambaran besar mengenai organ indra pengelihatan, kami akan
membahas pertanyaan sekaligus membahas mengenai diskusi kelompok kami. Pertama, kami
mendiskusikan apakah ada hubungannya pekerjaan dan usia pasien dengan keluhan di
skenario. Tentunya ada seiring dengan bertambahnya usia akan terjadi proses penuaan
sehingga akan menyebabkan system kekebalan tubuh menurun yang akan menyebabkan
penurunan kemampuan terhadap organ organ tubuh terutama mata. Saat lahir konsistensi
lensa seperti plastic lunak; pada usia lanjut konsistensinya mirip kaca dan kekuatan dari otot
siliaris menurun. Hal ini menjadi penyebab sukarnya mengubah bentuk lensa saat akomodasi
dengan semakin tuanya seseorang sehingga bayangan benda tidak focus yang menyebabkan
pandangan kabur.
Diskusi kedua adalah mengenai penyebab-penyebab dari perbedaan visus pada mata
pasien. Secara umumnya, penyebab adanya perbedaan visus pada mata kiri dan kanan dapat
dibagi menjadi empat, diantaranya :
 Herediter
Herediter adalah faktor bawaan yang dapat berasal dari gen kromosom
dan diturunkan dari orang tua pada anaknya. Contohnya adalah pada kasus
miopia. Anak dengan orang tua miopia, meskipun belum mengalami miopia itu
sendiri, cenderung memiliki bola mata yang lebih panjang dibanding dengan anak
dengan orang tua non miopia, menghasilkan sebuah faktor predisposisi untuk
menjadi miopia nantinya .
 Jenis Kelamin
Banyak peneliti yang menemukan tingginya kejadian miopia pada
perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Analisis multivariat menunjukkan
bahwa kejadian miopia pada laki-laki lebih rendah dibandingkan dengan
perempuan.
 Perliaku
Seperti membaca, seharusnya tidak dilakukan ketika sedang berbaring di
lantai atau tempat tidur. Hal ini biasanya menempatkan mata sangat dekat dengan
material yang dibaca. Seorang anak yang biasa membaca sambil tiduran di
sebelah kiri akan lebih memungkinkan terjadi miopia pada mata kiri
dibandingkan dengan mata kanan, karena mata kiri lebih dekat dengan buku.

13
 Pencahayaan
Pencahayaan yang baik sangat penting sekali dalam pencegahan miopia.
Pergunakan sebanyak mungkin cahaya saat sedang membaca, selama cahaya
tersebut tidak menyilaukan atau membuat tidak nyaman. Kebanyakan orang
cenderung menggunakan sangat sedikit cahaya saat bekerja melihat dekat.
Pencahayaan yang baik menyebabkan pupil mata menjadi lebih kecil, sehingga
daya akomodasi yang dibutuhkan hanya sedikit.

Diskusi ke-3 yang kami lakukan adalah penyebab apa saja yang menyebabkan mata
kanannya mengalami pengelihatan kabur dan berair? mata kabur pada skenario diakibatkan
pertumbuhan fibrovaskuler non maligna konjungtiga berbentuk segitiga; terdiri dari
degenerasi fibroelastis dengan proliferasi fibrotik yang dominan. apabila pertumbuhan sudah
mencapai kornea makan akan menyebabkan penglihatan terganggu seperti membuat
pandangan menjadi kabur .Mata kabur juga dapat disebabkan oleh kelainan yang timbul
mulai dari bagian mata anterior, mata posterior, dan jaras visualneurologik. Jadi, harus
dipertimbangkanterjadinya pengeruhan atau gangguan pada media, perdarahan dalam vitreus,
gangguan fungsi retina, nervus optikus atau jaras visual intrakranial atau pembentukan
fibrovaskular.

Penyebab mata berair adalah diakibatkan gangguan stabilitas lapisan air mata. Keluhan
berair dapat terjadi pada berbagai macam penyakit mata salah satu contohnya pterigium
dimana perubahan patologi pada konjungtiva atau kornea pada pterigium dapat
mengakibatkan gangguan lapisan dan fungsi air mata serta rasa mengganjal yang
menyebabkan air mata keluar sebagai kompensasi pertahanan tubuh.

Diskusi ke-4 menanyakan mengapa mata yang terkena angina dapat terasa nyeri. Mata
perih didefinisikan sebagai sensasi terbakar, nyeri menusuk atau seperti ada benda asing di
organ penglihatan. Mata perih bisa disebabkan oleh berbagai hal, mulai dari iritasi, terpapar
debu atau asap, hingga infeksi atau peradangan pada mata. Mata perih bagi kebanyakan orang
mungkin tidak memengaruhi aktivitas keseharian mereka. Namun pada beberapa kasus, mata
perih bisa terasa sangat menyakitkan dan berisiko menimbulkan komplikasi Biasanya, mata
perih disebabkan oleh iritasi dari masuknya benda asing seperti debu, bulu mata, atau
sisa make up ke mata.

Bahan-bahan iritan yang sering kita jumpai di dalam kehidupan sehari-hari juga
seringkali membuat mata perih. Faktor lingkungan yang biasanya berdampak kepada kondisi

14
mata kering adalah udara kering dan kotor. Kondisi udara yang kotor dan kering dapat
meningkatkan penguapan air mata dan membuat mata iritasi. Pada kasus dari scenario
diketahui bahwa seorang laki-laki berusia 65 tahun bekerja di tempat terbuka dan sering
terkena paparan debu dan sinar matahari sehingga membuat seorang laki-laki pada scenario
mengeluhkan akan pedih bila terkena angina.

Diskusi kami yang terakhir menanyakan diagnosa sementara yang dapat kami
diskusikan lebih lanjut. Dari diskusi kami, kami mendapat enam (6) kondisi dan/atau
penyakit yang akan kami bandingkan satu persatu. Kondisi dan/atau penyakit itu adalah
pterigium / surfer’s eyes, konjungtivitis, Dry Eyes Syndrome atau DES, Pinguecula,
Neoplasia pada mata , dan pseudopterigium.

Secara garis besarnya, kami menggambarkan penyakit dan/atau kondisi tersebut dalam
tabel yang berada dihalaman selanjutnya.

PTERIGIUM KONJUNGTIVITIS DRY EYES SYNDROM


Kelainan pada konjungtiva Inflamasi jaringan Gangguan lapisan air
DEFINISI bulbi hingga kornea yang konjungtiva yang disebabkan mata akibat defesiensi air
bersifat degeneratif dan oleh invasi mikroorganisme mata atau penguapan air
invasif mata berlebih,
menyebabkan kerusakan
permukaan interpalpebral
 Mata merah  Mata merah  Mata berair
MANIFE  Terasa gatal, panas  Edema konjungtiva  Terasa panas
STASI dan perih  Keluar sekret berlebih  Sensitif terhadap
KLINIS  Mata kabur  Infiltrasi seluler dan sinar UV
 Timbulnya eksudasi  ↓ ketajaman mata
bentukan daging  Ketidakstabilan
lapisan air mata
Belum diketahui secara  Konjungtivitis infeksi Berkurangnya cairan air
ETIOLO pasti (virus dan bakteri) mata dan gangguan pada
GI  Konjungtivitis non- permukaan mata akibat
infeksi (alergi, reaksi perubahan epitel
toksik dan inflamasi sehingga menurunkan
sekunder) jumlah air mata dan
 Konjungtivitis akut sensitifitas permukaan
(gejala terjadi hingga 4 mata hal ini merupakan
minggu) reaksi inflamasi
 Konjungtivitis kronik
( >4 minggu)
Prevalensinya disetiap Secara global konjungtivitis Pada populasi Asia lebih
EPIDEMI negara bervariasi namun dapat terjadi pada semua banyak dibandingkan
OLOGI pada umumnya sering kelompok usia, dari mulai populasi kulit putih. Di

15
terjadi pada orang dewasa, neonatus hingga lansia. Di Indinesia pada tahun
namun di Indonesia pada Indonesia konjungtivitis 2001 tercatat jumlah
daerah Sumatra termasuk 10 besar penyakit pasien berumur <21 :
menunjukkan prevalensi terbanyak pada pasien rawat 27,5% , 21-29 :19,2% ,
10% dengan rata-rata usia jalan di RS pada tahun 2009, dan >60 : 30% dari
36,6 tahun pada 2010 menurun. sejumlah 1.058 penderita
 Paparan sinar UV  Menggunakan lensa  Pemakaian lensa
FAKTOR  Mikro trauma pada kontak  Kekurangan
RESIKO mata  Terpapar sesuatu yang Vit.A
 Infeksi mikroba membuat alergi  Usia lanjut
atau virus  Terinfeksi virus atau  Obat-obatan
bakteri konjutivitis

PINGUECULA NEOPLASIA MATA PSEUDOPTERIGIUM


Degenerasi stroma Pertumbuhan baru sel ganasPerlekatan konjungtiva
DEFINISI konjungtiva dimata, (malignant), yang timbul dengan kornea yang cacat.
tampak seperti plak kuning akibat pengaruh berbagai Pseudopterigium
putih yang meninggi di faktor penyebab dan merupakan jaringan
konjungtiva bulbar dekat menyebabkan jaringan konjungtiva yang tumbuh
limbus setempat pada tingkat gen menutupi jaringan kornea
kehilangan kendali normal.yang mengalami luka atau
peradangan
 Putih pada  Kelainan pada kelopak  Melekat pada
MANIFE konjungtiva mata atau konjungtiva limbus kornea
STASI  Endapan kuning  Penonjolan bola mata  Ulkus pada kornea
KLINIS  Mata kering, gatal  Peradangan atau lesi  Mata kabur
 Gatal dan nyeri  Terasa perih
 Pelebaran episklera
 Gangguan penglihatan
 Bintik gelap pada iris
Terjadi akibat refletifitas Penyebab pastinya belum Terjadi akibat inflamasi
ETIOLO yang tinggi dari jaringan diketahui, namun beberapa permukaan okular yang
GI sklera putih padat yang kondisi terkait dengan disebabkan karena trauma,
mendasari konjungtiva dan neoplasma mata ialah warna konjungtiva sikatrik, trauma
paparan sinar UV, debu mata lebih terang, tahi lalat bedah atau ulkus perifer
serta angin yang bersifat kanker, paparan kornea
sinar UV
Sebagian besar ditemukan Angka kejadian kasus kanker Dapat terjadi pada semua
EPIDEMI pada orang berusia diatas didunia terus meningkat, kelompok usia
OLOGI 40 tahun, hal ini tidak menurut data WHO tahun
jarang terjadi pada orang 2012 terdapat 14,1jt kasus
dewasa berusia 20 & 30 baru di dunia dengan 8,2
tahun yang menghabiskan meninggal dan 32,6jt hidup
banyak waktu di bawah dengan diagnosa kanker

16
sinar matahari selama 5 tahun.
 Paparan sinar UV  Riwayat penyakit  Paparan sinar UV
FAKTOR lansung keturunan
RESIKO  Pekerjaan  Paparan sinar UV atau
 Usia zat kimia
 Usia
 Jenis kelamin

Berdasarkan beberapa pembahasan sebelumnya diagnosa kerja yang paling mendekati


adalah Pterigium. Hal ini dikarenakan pada skenario dikatakan pasien merupakan pekerja
yang bekerja diluar ruangan. Yang mana hal tersebut sangat memungkinkan bagi orang-orang
yang pekerjaannya di luar ruangan untuk terpapar sinar ultraviolet dan debu secara terus-
menerus. Hal ini lah yang dapat menjadi penyebab utama terjadinya pterigium pada pasien.
Walaupun Pterigium termasuk dalam golongan mata merah tanpa penurunan visus, namun
terdapat beberapa kondisi dimana grade pterigium yang cukup tinggi hingga mencapai kornea
bahkan menghalangi pupil dapat menyebabkan terjadinya penurunan visus pasien, karena
jaringan fibroblas yang tumbuh sudah menutupi media pengelihatan pasien. Maka dari itu
dapat disimpulkan diagnosa kerjanya adalah Pterigium grade III.

Mekanisme patologi pterigium belum diketahui terdapat banyak teori patogenesis,


antara lain teori pajanan terhadap sinar ultraviolet (UV), teori growth factor-sitokin pro-
inflamasi, dan teori stem cell. Teori pajanan sinar UV mengungkapkan pajanan terutama
terhadap sinar UV-B menyebabkan perubahan sel di dekat limbus, proliferasi jaringan akibat
pembentukan enzim metalloproteinase, dan terjadi peningkatan signifikan produksi
interleukin, yaitu IL-I, IL-6, IL-8, dan TNFα.

Beberapa teori menyatakan bahwa radiasi sinar UV menyebabkan mutasi supresor


gen tumor P53, sehingga terjadi proliferasi abnormal epitel limbus. Teori growth factor dan
pembentukan sitokin pro-inflamasi mengungkapkan bahwa pada pterigium terjadi inflamasi
kronik yang merangsang keluarnya berbagai growth factor dan sitokin, seperti FGF
(Fibroblast Growth Factor), PDGF(Platelet derived Growth Factor), TGF-β (Transforming
Growth Factor-β), dan TNF-α (Tumor Necrosis Factor-α) serta VEGF (Vascular Endothelial
Growth Factor) yang akan mengakibatkan proliferasi sel, remodelling matriks ektra-sel dan
angiogenesis. Teori stem cell menyatakan bahwa pajanan faktor lingkungan (sinar ultraviolet,
angin, debu) merusak sel basal limbus dan merangsang keluarnya sitokin pro-inflamasi,

17
sehingga merangsang sumsum tulang untuk mengeluarkan stem cell yang juga akan
memproduksi sitokin dan berbagai growth factors. Sitokin dan berbagai growth factor akan
mempengaruhi sel di limbus, sehingga terjadi perubahan sel fibroblas endotel dan epitel yang
akhirnya akan menimbulkan pterigium. Penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun karena
air mata yang kurang baik.

Tentunya perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada pasien
untuk mengetahui kondisi pterigium. Pemeriksaan fisik yang dilakukan berupa Melihat kedua
mata pasien untuk morfologi pterygium, serta memeriksa visus pasien. Diagnosa dapat
didirikan tanpa pemeriksaan lanjut. Anamnesa positif terhadap faktor risiko danpaparan serta
pemeriksaan fisik yang menunjang anamneses cukup untuk membuat suatu diagnosa
pterygium. Pada inspeksi pterygium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan
konjuntiva. Pterygium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada juga
pterygium yangavaskuler dan flat. Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal
dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterygium pada daerah
temporal.

Untuk pemeriksaan penunjang, ada tiga pemeriksaan yang dapat dilakukan.


Pemeriksaan tersebut diantaranya :

 Pemeriksaan Slit Lamp

Jika perlu, dokter akan melakukan Pemeriksaan Slit Lamp untuk memastikan
bahwa lesiadalah pterygium dan untuk menyingkirkannya dari diagnosa banding
lain. Pemeriksaan slit lamp dilakukan dengan menggunakan alat yang terdiri dari
lensa pembesar dan lampu sehingga pemeriksa dapat melihat bagian luar bola
mata dengan magnifikasi dan pantulan cahaya memungkinkan seluruh bagian luar
untuk terlihat dengan jelas.

 Pemeriksaan Histopatologi

Secara histopalogis ditemukan epitel konjungtiva irrekuler kadang-kadang


berubah menjadi gepeng. Pada puncak pteregium, epitel kornea menarik dan pada
daerah ini membran bauman menghilang. Terdapat degenerasi stauma yang
berfoliferasi sebagai jaringan granulasi yang penuh pembulih darah. Degenerasi
ini menekan kedalam kornea serta merusak membran bauman dan stoma kornea
bagian atas
18
 Pemeriksaan Topografi Kornea

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium adalah topografi


kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme ireguler
yang disebabkan oleh pterygium

Penatalaksanaan dari pterigium dilakukan melalui terapi medikamentosa, terapi


edukasi dan terapi operatif. Penatalaksanaan medikamentosa di tujukan untuk mengurangi
gejala yang muncul, sehingga diberikan obat antiinflamasi. Pada pterigium yang ringan tidak
perlu diobati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan
obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan
juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan
intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.

Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat
mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi
dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjungtiva bagian superior untuk
menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan
hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka
kekambuhan yang rendah. Pada pasien pemilihan terapi yang paling tepat adalah dengan
pembedahan. Pembedahan pada pasien ini perlu dilakukan karena pasien mengeluhkan
sedikit mengganggu penglihatan dan timbul rasa mengganjal.

Teknik pembedahan pterigium dapat dilakukakan dengan beberapa cara yaitu Bare
sclera, tidak ada jahitan dan benang absorabable yang digunakan untuk melekatkan
konjungtiva ke supervisial sklera di depan insersi tendon rectus. Simple closure, yakni tepi
konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika hanya defek konjungtiva sangat kecil).
Sliding flap, yakni suatu insisi berbentuk L dibuat di sekitar luka kemudian flap konjungtiva
digeser untuk menutup defek. Rotational flap, yakni insisi berbentuk U dibuat sekitar luka
untuk membentuk lidah konjungtiva yang dirotasi pada tempatnya. Conjungtival graft, yakni
suatu free graft biasanya dari konjungtiva superior, dieksisi sesuai dengan besar luka dan
kemudian dipidahkan dan dijahit. Amnion membran transplantasi, mengurangi frekuensi
rekuren dan mengurangi fibrosis. Lamellar keratoplasty, yakni terapi baru dengan
menggunakan gabungan angiostatik dan steroid.

19
Meski jarang terjadi, pterigium dapat tumbuh hingga mencapai kornea dan
menyebabkan komplikasi berupa luka pada kornea. Kondisi ini dapat mengakibatkan
hilangnya penglihatan jika tidak ditangani (Signh, S.K. 2017) Selain kondisi pterigium itu
sendiri, operasi untuk menangani pterigium juga mungkin menyebabkan beberapa
komplikasi, seperti:

 Astigmatisme
 Pterigium kambuh setelah operasi
 Mata kering
 Iritasi
 Gangguan visual. Dalam kasus yang paling parah, massa jaringan akan meluas ke
kornea (pupil) dan mengubah strukturnya. Deformasi kelengkungan kornea
menyebabkan penglihatan berkurang. Arti pupil adalah pusat transparan (warna
hitam) yang terletak di tengah mata yang berfungsi untuk jalan masuk cahaya ke
dalam rongga mata.

Prognosis dari pterigium itu sendiri biasanya bonam atau baik. Pasien umumnya
kembali beraktivitas seperti semula setelah 48 jam. Tetapi apabila pterigium tidak ditangani,
maka kemungkinan besar pasien dapat kehilangan pengelihatannya.

20
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Mata merupakan organ indra pengelihatan yang mudah mengalami berbagai macam
penyakit. Salah satu penyakit tersebut adalah pterigium. Pterigium sendiri merupakan suatu
kelainan pada konjungtiva bulbi hingga kornea yang bersifat degeneratif dan invasif.
Pterigium memiliki grade/tingkatan dari grade I hingga IV. Grade I dan II umumnya tidak
menimbulkan penurunan visus, tetapi grade III dan IV menyebabkan penurunan visus.
Penanganan dari pterigium tergantung dari grade yang dialami penderita dan apabila tidak
ditangani, maka penderita yang memiliki pterigium grade III dan IV dapat berpotensi
kehilangan pengelihatannya.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Eroschenko, V P. 2011. Atlas Histologi di Fiore edisi 12. Jakarta : Penerbit


Buku Kedokteran EGC.

2. Putri, Gladys Dara Dea. 2015. Pterigium oculli dextra stage III. Jurnal
Agromed Unila. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Vol.2. No.2.

3. Sitompul, Ratna. 2017. Konjungtivitis viral (Diagnosis dan Terapi di


Pelayanan Kesehatan Primer). Departemen Kesehatan Mata Fakultas
Kedokteran UI. Vol.5. No.5.

4. Hikmatul, Roisatu. 2016. Studi Penggunaan Artificial Tears pada Pasien Dry
Eyes Syndrom. Fakultas Farmasi Universitas Airlangga : Surabaya

5. Santosa dr. Sp.M, Djoko Heru. 2014. ODS Pinguecula. Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sultan Agung : Semarang

6. Soebagjo, Hendrian D. 2019. Onkologi Mata. Airlangga University Press :


Surabaya

7. Sri Rahayu Y & Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata. Edisi keempat. Fakultas
Kedokteran UI

8. Riordan, P., Augsburger, J. 2007. Vaughan & Asbury's: General


Ophthalmology. 17th. New York: Mc Graw Hill Education.

9. Suhardjo dan Hartono. 2007. Ilmu Penyakit Mata UGM. Yogyakarta: Bagian
Ilmu Mata UGM.

10. Ilyas, Sidarta., Yulianti, Rahayu Sri. Ilmu Penyakit Mata. Edisi
keempat. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

11. Soebagjo, Hendrian. 2018. Onkologi Mata. Surabaya: Airlangga


University Perss

12. Insani, Maulidia Laela., Adioka I Gede Made., Artini, IGA., &
Mahendra Agung Nova. 2017. Karakteristik Dan Manajemen Konjungtivitis
Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit Indera Denpasar Periode Januari-April
2014. E-Jurnal Medika,Vol 6 No 7. Issn:2303-1395. Diakses pada 6 Oktober
2020. Pada URL: http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

22
13. Syuhada, Rahmat., Syahputra, Muhammad Wahid. 2018. Pengaruh
Produksi Air Mata Terhadap Dry Eye Syndrome Pada Pasien Di Poliklinik
Mata Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin Bandar Lampung Tahun 2018.
Jurnal Ilmu Kedokteran Dan Kesehatan, Volume 5, Nomor 3. Diakses pada 6
Oktober 2020. Pada URL:
http://ejurnalmalahayati.ac.id/index.php/kesehatan/article/download/218%20-
%20223/pdf

14. Lima FVI, Manuputty GA. Hubungan paparan sinar matahari dengan
angka kejadian pterigium di Desa Waai Kabupaten Maluku Tengah tahun
2013. Moluca Medica. 2014; 4(2);101-9 4. Kanski JJ. Pterygium

15. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan & Asbury oftalmologi umum:
Konjungtiva. 17th Ed. Jakarta: EGC; 2009.p.67-72

16. Zhong, et al. NCBI. Association between Dry Eye Disease, Air
Pollution and Weather Changes in Taiwan. International Journal of
Environmental Research and Public Health. 2018. 15(10), pp. 2269.

17. Lusby, F. NIH U.S. National Library of Medicine MedlinePlus (2017).


Eye Pain. NHS UK (2018). Health A-Z. Dry eyes.

23

Anda mungkin juga menyukai