Anda di halaman 1dari 20

SKALA DAN STRATEGI KESANTUNAN

Oleh Saroni 0202519027

1. Skala Kesantunan

Skala kesantunan berarti rentangan tingkatan untuk menentukan kesantunan suatu


tuturan. Semakin tinggi tingkatan di dalam skala kesantunan, semakin santunlah suatu tuturan.
Sebaliknya, kurang santunlah suatu tuturan yang berada pada tingkatan skala kesantunan yang
rendah (Rustono, 1999:78).

1.1 Skala kesantunan menurut Leech


Di dalam model kesantunan Leech, setiap bidal interpersonal itu dapat dimanfaatkan
untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan. Berikut skala kesantunan Leech
(1983:107-111;123-127)
(a) Cost benefit scale(Skala Untung-Rugi): Representing the cost or benefit of an act to
speaker and hearer

Menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah
tindak tutur pada sebuah pertuturan. Makin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan makin
dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, makin tuturan itu menguntungkan diri
penutur akan makin dianggap tidak santunlah tuturan itu.

(1) Unggah dulu hasil wawancara, sekalian yang pernah dikirim, yaitu
ancangan time schedule. (Grup WA Kelompok 3 JMC; peserta 8 mahasiswa + 1 dosen)
(2) Assalamualaikum wr. Wb. Teman-teman Saya perwakilan dari kelompok
3 meminta waktunya pukul 16.00 untuk melakukan presentasi (emoticon terima kasih 3
buah) (Grup WA Jurnalistik Media Cetak; peserta 34 mahasiswa + 1 dosen)
(3) Assalamualaikum wr. Wb. Teman-teman Saya Siti Sri Wahyuningsih
perwakilan dari Kelompok 4 meminta waktunya untuk melakukan presentasi sekarang
(emoticon terima kasih 3 buah) (Grup WA Jurnalistik Media Cetak; peserta 34
mahasiswa + 1 dosen)
(4) Terima kasih, @Aqilla BSI dan Kelompok 2. Saya berikan 10 menit untuk
tanggapan dari semua mahasiswa selain kelompok 2. Terima kasih. (Grup WA
Jurnalistik Media Cetak; peserta 34 mahasiswa + 1 dosen)

Data (1), (2), (3) termasuk tuturan tidak santun karena memiliki skala kerugian yang
tinggi untuk mitra tutur. Skala kerugian paling tinggi adalah tuturan (3) karena penutur meminta
waktu presentasi yang memaksa saat tuturan disampaikan yaitu “sekarang” dan itu sangat
merugikan mitra tuturnya; disusul tuturan (2) yang sama memaksa mitra tutur hanya saja tenggat
waktunya masih sekira satu jam lagi (“pukul 16.00”) pada tuturan pukul 14.57; yang (1)
meskipun merugikan mitra tutur, aspek desakannya lebih ringan.
Data (4) termasuk tuturan yang santun karena memberikan keuntungan kepada mitra
tutur seperti terlihat pada ) “Saya berikan 10 menit”.

(b) Optimality scale (Skala Keoptimalan): Indicating the degree of choice permitted to
speaker and/or hearer by a specific linguistic act
Menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan yang disampaikan si penutur kepada si
mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Bila pertuturan itu makin memungkinkan penutur
dan/atau mitra tutur untuk menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin
santunlah tuturan itu. Intinya, makin banyak memberikan pilihan maka makin santun.

(5) Jangan lupa siapkan zakat fitrah kalian. Kalau mungkin serahkan
langsung. Kalau tak boleh keluar, ya pakai saluran resmi. (Grup WA Jurnalistik Media
Cetak; peserta 34 mahasiswa + 1 dosen)

(6) Pengumpulan paper ulasan lagu tetap Senin besok ehehe okay.
Data (5) termasuk santun karena memberikan beberapa pilihan kepada mitra tutur.
Tindak direktif menyiapkan dan membayar zakat fitrah diberi pilihan beberapa cara yaitu
bayar sendiri atau memakai saluran resmi pembayaran zakat.
Data (6) tidak santun karena penutur tidak memberi pilihan kepada mitra tutur
dalam hal waktu pengiriman paper ulasan lagu. Pilihannya hanya hari Senin, tak ada
lainnya.

(c) Indirectness scale (Skala Ketaklangsungan): indicating the amount of inferencing


required of the hearerin order to establish the intended speaker meaning

Menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan.
Makin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap makin tidak santunlah tuturan itu. Sebaliknya
bila tuturan makin tidak langsung maka tuturan itu makin santun.
(7) Mohon maaf, Monsieur. Saya ingin memberitahukan, untuk forum diskusi
di Elena sepertinya Monsieur ada kesalahan menginput materi di sana. (Grup WA
Journalisme; peserta 35 mahasiswa + 1 dosen)
(8) Dosen: Siapa gadis itu? Berkohesi dengan frasa apa?
M-1: Izin menjawab Monsieur, menurut saya Raja Baka disini telah mati dibunuh oleh
tokoh aku, kemudian seorang gadis itu menghampiri Raja Baka tersebut. Makna menjerit pilu
itu sedang bersedih dan shock atas kematian Raja Baka.
M-2: Putri dari Raja Baka tersebut
M-3: Untuk gadis itu berkohesi dengan si putri raja baka monsieur

Data (7) dan (8 M-1) adalah tuturan santun karena disampaikan secara tidak langsung.
Data (7) dilengkapi permintaan maaf terlebih dahulu, (8 M-1) dengn ungkapan “izin menjawab,
Monsieur (sebutan bahasa Prancis untuk Bapak atau Pak).
Adapun data (8 M-2) dan (8 M-3) terkategori tidak santun karena disampaikan secara
langsung. Skala Ketaklangsungan (8 M-3) lebih rendah dibandingkan (8 M-2)

(d) Authority scale (Skala Keotoritasan) : representing the status relationship between
speaker and hearer.
Menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat
dalam pertuturan. Makin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, tuturan
yang digunakan akan cenderung menjadi makin santun. Sebaliknya, makin dekat jarak otoritas
antara penutur dan mitra tutur, tuturan
yang digunakan akan cenderung menjadi makin tidak santun.

(9) Mohon maaf, Monsieur. Saya ingin memberitahukan, untuk forum diskusi
di Elena sepertinya Monsieur ada kesalahan menginput materi di sana. (Grup WA
Journalisme; peserta 35 mahasiswa + 1 dosen)
(10) Hehehe siap monsieur (emoticon menjentikkan jari, emoticon tersenyum
berkeringat) (Grup WA Journalisme; peserta 35 mahasiswa + 1 dosen)
Tuturan (9) bersifat santun karena penutur dengan status mahasiswa memakai tuturan
santun karena otoritasnya lebih rendah daripada mitra tutur (dosen yang dipanggil Monsieur).
Sebaliknya tuturan (10) termasuk tidak santun karena meskipun penutur yang mahasiswa
memiliki otoritas lebih rendah dari mitra tutur (dosen), dia mengungkapkannya dengan bercanda
seperti yang ada pada onomatope “hehehe” dan tuturannya bersifat langsung.

(e) Social distance scale (Skala Jarak Sosial): Indicating the degree of familiarity
between speaker and hearer.

Menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat
dalam sebuah pertuturan. Ada kecendurungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di
antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu.
(11) dikasih bintang ya, biar ga ketelen wkwk (Grup WA Majalah Pragola;
peserta 9 mahasiswa + 1 dosen)
(12) Baik pak nanti akan saya perbaiki, terima kasih untuk masukannya. (Grup WA
Majalah Pragola; peserta 9 mahasiswa + 1 dosen)

Tuturan (11) memiliki skala jarak sosial yang pendek karena penutur dan mitra tutur
adalah mahasiswa sekelas. Karena itu, tuturannya cenderung tidak santun. Adapun tuturan (12)
jelas ada jarak sosial tertentu antara penutur (mahasiswa) dan mitra tuturnya (dosen). Karena itu
tuturan cenderung santun.

Skala kesantunan Brown – Levinson (1987)

(a) Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur banyak ditentukan oleh
parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural.

(13) Mau mengingatkan, tugas yang besok jam 3/stgh 4an. Barangkali ada yg mau
ngumpulin jurnalisme silahkan ke b4 yaa (Grup WA Journalisme; peserta 27 mahasiswa + 1
dosen)
Data (13) bukan tuturan santun karena antara penutur dan mitra tutur sebaya (jarak
sosialnya pendek) sehingga tuturannya cenderung tidak santun.

(b) Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur didasarkan pada
kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur atau dapat dikatakan didasarkan
pada speaker and hearer relative power (peringkat kekuasaan atau power rating).
(14) baik pak, terimakasih telah mengoreksi dan memberi saran terhadap karya
saya. Terimakasih juga untuk teman2 yg telah berkomentar tentang karya saya. Saya akan
memperbaiki dan melengkapi karya saya sesuai dengan saran dari bapak dan teman2. (Grup
WA Journalisme; peserta 33 mahasiswa + 1 dosen)
(15) Silahkan dua dokument itu disimak. Dan nanti jangan lupa pukul 14.00 kita ada
kelas ya. Wajib hadir. Yang berhalangan hadir bisa izin ke Monsieur (Grup WA
Journalisme; peserta 35 mahasiswa + 1 dosen)
(16) Baik kak mega, kira kira jam penggantinya kapan ya kak? (Grup WA
Journalisme; peserta 35 mahasiswa + 1 dosen)

Data (14) merupakan tuturan santun karena penutur (mahasiswa) yang status
sosialnyalebih rendah dari mitra tutur (dosen). Ungkapan “baik, Pak” “terima kasih”, juga
sapaan kepada teman-teman menunjukkan kesantunan.
Adapun data (15) yang dituturkan penutur (koordinator kelas dan mahasiswa angkatan
lebih tinggi dari sebagian besar mahasiswa di kelas Journalisme) dengan status sosial lebih dari
mitra tutur bersifat tidak santun. Ungkapannya lebih banyak berupa tuturan direktif. Sebalik
data (16) bersifat santun karena kedudukan penutur yang adik angkatan dari mitra tutur
mengungkapkan tuturan yang menunjukkan kesantunan seperti “Baik kak mega” masih
ditambahi dengan pertanyaan yang tidak langsung “kira-kira jam penggantinya kapan” dan
ditutup dengan sapaan penghormatan kepada yang lebih tua “kak”.

(c) Skala peringkat tindak tutur atau disebut dengan rank rating adalah tingkat peringkat
tindak tutur didasarkan atas kedudukan relatif antara tindak tutur yang satu dengan yang lainnya
dalam konteks tuturan. Sebagai contoh meminjam uang pada waktu biasa akan terasa kurang
mengenakan akan tetapi dalam keadaan darurat hal itu akan terasa lumrah didasarkan atas
kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya. Begitu juga, pada saat di
suatu kota terjadi kerusuhan dan pembakaran gedung-gedung dan kompleks perumahan, bisa
saja orang berada di rumah orang lain atau rumah tetangganya bahkan sampai pada waktu yang
tidak ditentukan, dia tetap akan dianggap sopan, bahkan ketika dia menjerit-jerit karena
ketakutan sekalipun.

(17) Selamat pagi pak, saya izin tidak masuk kelas dari tadi malam badan saya lemes
pak karena muntah-muntah (tiga emoticon berterima kasih)(Grup WA Journalisme Selasa 09;
peserta 34 mahasiswa + 1 dosen)

Tuturan (17) memperlihatkan kesantunan berdasarkan skala peringkat tindak tuturnya


karena tuturan yang bertujuan untuk tidak melakukan kewajiban kuliah disebabkan oleh situasi
yang tak biasa (sakit) dan diunngkapkan dengan cara-cara santun seperti “Selamat pagi pak”, ada
sapaan lagi dan emoticon berterima kasih.

1.3 Skala kesantunan Robin Lakoff (1973)

Robin Lakoff menyatakan tiga ketentuan untuk dapat dipenuhinya kesantunan di dalam
kegiatan bertutur.
(a) Skala pertama atau skala formalitas

Dinyatakan bahwa agar para peserta tutur dapat merasa nyaman dan kerasan dalam
kegiatan bertutur, tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan tidak boleh
berkesan angkuh. Di dalam tuturan, penutur dan mitra tutur harus saling menjaga keformalitasan
dan menjaga jarak sewajarnya dan sealamiah mungkin antara yang satu dengan yang lain.
(18) D: Baik, kuliah ini akan saya akhiri. Untuk minggu depan, coba kalian cari contoh
penggunaan kata yang kearab-araban. Satu orang satu kata saja. Kalian bisa mencarinya
dalam percakapan, dalam meme, dalam kartun, dalam cerita, dll.
M-1: Baik pak. Terima kasih atas penjelasan materinya.
M-2: Baik, Pak. Terima kasih. (Grup WA Journalisme; peserta 35 mahasiswa + 1 dosen)

Berdasarkan skala formalitas, pada data (18) tuturan D (dosen) sebagai penutur bersifat
sangat formal yang diungkapkan dengan bahasa baku berdasarkan kaidah bahasa Indonesia.
Adapun respons dari mitra tuturnya M-1 (mahasiswa-1) juga masih menunjukkan skala
formalitas yang tinggi dengan “Baik pak” dan ucapan terima kasih yang diberi keterangan untuk
apa terima kasih tersebut, sementara tuturan M-2 (Mahasiswa-2) skala formalitasnya lebih
rendah daripada M-1 karena tak ada keterangan untuk ucapan terima kasihnya.

(b) Skala kedua atau skala ketidaktegasan/skala pilihan

Menunjukkan bahwa agar penutur dan mitra tutur dapat merasa nyaman dalam kegiatan
bertutur, pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua pihak. Tidak diperbolehkan
terlalu tegang atau kaku akan akan dianggap tidak santun.
(19) M-1: Pukul 15.00 bagaimana? Atau pukul 14.00?
M2: 14.00 kalau aku
M3: Saya menyarankan pukul 14.00 kak (Grup WA Journalisme; peserta 35 mahasiswa +
1 dosen)
Data (19) menunjukkan bahwa antara penutur (M-1) dan mitra tutur (M-2 dan M-3)
merasa nyaman karena masing-masing memberikan pilihan, dalam hal ini soal waktu yang akan
disepakati: antara pukul 14.00 dan pukul 15.00, dengan demikian tuturan (19) ini bersifat santun.

(c) Skala ketiga atau peringkat kesekawanan atau kesamaan

Menunjukkan bahwa agar dapat bersikap santun, orang haruslah bersikap ramah dan
selalu mempertahankan persahabatan antara pihak yang satu dengan pihak yang lain. Agar
tercapai maksud yang demikian, penutur haruslah dapat menganggap mitra tutur sebagai sahabat.
Dengan menganggap pihak yang satu sebagai sahabat bagi pihak lainnya, rasa kesekawanan dan
kesejajaran sebagai salah satu prasyarat kesantunan akan dapat tercapai.

(20) M-1: Javier???


M-2: Napa?
M-1: Gkpapa manggil aja (emoticon tersenyum berkeringat) Diskusi yuk, jgn diem-diem
aja (3 buah emoticon senyum terbalik) (Grup WA Kelompok 3 JMC, peserta 8 mahasiswa + 1
dosen)

Data (20) memperlihatkan bahwa penutur (M-1) bersikap ramah dan akrab (bersahabat)
dengan mitra tutur (M-2) yang merupakan sama-sama mahasiswa sekelas. Ungkapan cenderung
lembut, bahkan mengesankan keintiman persahabatan seperti sapaan nama terhadap mitra tutur
“Javier”, lalu penutur melakukan strategi kesantunan negatif “Gkpapa manggil aja” yang
dilanjutkan dengan pemberian emoticon kedekatan dan ungkapan ajakan yang meskipun negatif
imperatif “jangan diem-diem” dilengkapi dengan partikelajakan “yuk”.

2. Strategi Kesantunan
Strategi tindak tutur sangat bergantung pada konteks berbicara. Brown dan Levinson
(1987) menunjukkan adanya empat kemungkinan strategi yang dapat ditempuh oleh seseorang
dalam situasi mendesak tersebut, adalah sebagai berikut:
(Strategi langsung atau tanpa basa-basi (bald on-record strategy), digunakan untuk tindakan
yang tidak terlalu mengancam muka mitra tutur. Strategi ini berformula “Lakukan ini” (Do X).
Strategi tanpa basa-basi ini digunakan di antara dua teman akrab, atau apabila penutur memiliki
posisi berkuasa (power rating) lebih tinggi daripada mitra tuturnya.

(21) Pake nama yang benar biar dosennya juga tau (Grup WA BI SENIN 15; peserta 46
mahasiswa + 1 dosen)

Strategi tanpa basa-basi terlihat dalam data (21) yang dituturkan seorang mahasiswa
kepada teman-temannya di grup Whatsapp. Pemilihan trategi ini oleh penutur menunjukkan
antara dia dan mitra tuturnya adalah akrab.

B. strategi kesantunan positif (positive politeness) digunakan untuk tindakan bertutur yang
tidak terlalu mengancam muka mitra tutur, tetapi penutur tidak tega untuk menyatakannya
dalam bentuk perintah. Strategi ini banyak digunakan di antara dua orang teman, kenalan, atau
pihak-pihak yang sudah menjalin kedekatan, walaupun belum terlalu akrab.
Strategi kesantunan positif dirinci ke dalam lima belas (15) substrategi, yakni
1) memberi perhatian (notice);
(22) M: Selamat pagi pak, saya izin tidak masuk kelas dari tadi malam
badan saya lemes pak karena muntah-muntah (tiga emoticon berterima kasih)
D: Periksa ke dokter dan atau istirahat. Semoga segera membaik. (Grup
WA Journalisme Selasa 09; peserta 34 + 1 dosen)

Data (22) memperlihatkan bahwa tuturan D (Dosen) yang mereaksi atas


permohonan izin M (mahasiswa) yang sakit dengan strategi kesantunan positif
berupapemberian perhatian.

2) melebihkan dalam memberikan komentar atau pujian (exaggerate);


(23) A: Semoga rasanya pas di lidah dan perut Bapak ya (emoticon
senyum pipi merah)
B: Sudah dipastikan panjenengan pancen ngaten (5 buah emoticon tanda
jempol) Dan saya (17 buah emoticon tanda berterima kasih) (WA pribadi ke
tetangga)

Data (23) memperlihatkan bahwa tuturan A yang mereaksi harapan


tetangganya (B) mengenai makanan yang dimasak B dengan strategi kesantunan
positif berupa pemberian perhatian pujian berlebihan “sudah dipastikan
panjenengan pancen ngaten” (sudah dipastikan Anda itu begini) yang disimbolkan
dengan emoticon tanda jempol yang berlebihan yaitu 5 dan makin dilebih-
lebihkan dengan 17 simbol emoticon berterima kasih.

3) menegaskan (intensify);
(24) Sip. Terima kasih, Elisa.Kita tetap minta presentasi sesuai yang
sudah dijadwalkan. (WA pribadi ke teman kuliah)
Data (24) memperlihatkan bahwa tuturan memberdayakan strategi
kesantunan positif berupa penegasan mengenai presentasi yang waktunya tidak
mengalami perubahan dan ditegaskan oleh penutur.

4) menggunakan penanda sebagai anggota kelompok yang sama (use in-group


identity markers);
(25) Selamat pagi teman-teman. semangat kuliah gih (emoticon lengan) (WA
PASCA UNNES KELAS B 2019)
Strategi kesantunan positif berupa penggunaan penanda sebagai anggota
kelompok yang sama dalam data (25) dilakukan penutur dengan menyapa akrab
kelompoknya “teman-teman” yang dia beri semangat untuk mengikuti
perkuliahan.

5) mengupayakan kesepakatan (seek agreement);


(26) Pukul 15.00 bagaimana? Atau pukul 14.00? (Grup WA Journalisme)
Data (26) yang merupakan tuturan dalam bentuk pertanyaan mengenai dua
waktu dilakukan dengan strategi kesantunan positif berupa pengupayaan kesepakatan.

6) menghindari perbedaan pendapat (avoid disagreement);


(27) Saya sepakat pendapatmu bahwa peneliti suatu bahasa semestinya sudah
mempelajari bahasa yang akan diteliti. Itu untukpeneltian bahasa, baik struktur
maupun yang interdisipliner seperti sosiolinguistik.Lagi pula, aneh bila meneliti
bahasa sama sekali belum tahu bahasa yang diteliti.(GrupWA Metode Penelitian
Rom B)
Data (27) memakai strategi kesantunan positif berupa penghindaran terhadap
perbedaan pendapat antara penutur dan mitra tutur. Hal itu bisa dilihat pada klausa
“Saya sepakat pendapatmu”

7) mengisyaratkan kesamaan pandangan (presuppose common ground);

(28) Saya setuju dengan pendapat April, Pak. Sungai di dekat sawah tidak
selalu kecil namun ukurannya juga tidak terlalu besar, walaupun tetapada
kemungkinan buaya muncul (Grup WA B.INDONESIA Pukul 13.00; peserta 40
mahasiswa + 1 dosen)

Data (28) memakai strategi kesantunan positif berupa isyarat kesamaan


pandangan antara penutur (mahasiswa) dan mitra tutur (anggota grup WA) yang
mengisyaratkan kesamaan pandangan dengan yang berpendapat sebelum dirinya yaitu
teman sekelasnya yang bernama April.

8) menggunakan lelucon (joke);


(29) M: Baik, Pak. Terima kasih. Saya baru tahu ada istilah ‘tugas bonus’,
Pak.
D: Iya, saya juga baru tahu Pakhsal itu ternyata di kamus artinya Panggil
Saja Yuni. Terima kasih yah kamu kasih bonus kata baru hehehe (WA Jurnalistik
Media Cetak)
Data (29) memakai strategi kesantunan positif berupa lelucon oleh D (dosen)
sebagai reaksi atas tuturan asertif M (mahasiswa) yang mengatakan “Saya baru tahu
ada istilah ‘tugas bonus’, Pak. D yang menjadi mitra tutur dalam hal ini mereaksinya
dengan tuturan berstrategi lelucon “Iya, saya juga baru tahu Pakhsal itu ternyata di
kamus artinya Panggil Saja Yuni”. Di Grup WA Jurnalistik Media Cetak, M
memakai nama Pakhsal untuk nomor kontaknya. Dalam interaksi di grup WA
beberapa waktu sebelumnya yang menjadi konteks tuturan (29) tersebut Pakhsal
pernah ditanya siapa nama dia, lalu dia menjawab “Panggil Yuni Saja”. Ungkapan
itulah yang dalam tuturan (29) dimanfaatkan mitra tutur (dosen) sebagai strategi
kesantunan positif lelucon.

9) menampilkan pengetahuan penutur dan mempertimbangkan keinginan


mitra tutur(assert S’s knowledge and concern for H’s wants);

(30) Oke, saya sangat paham. Tapi sebelum memutuskan, kalian saya ajak
berpikir dengan perspektif lain. (Jurnalistik Media Cetak)

Data (30) memakai strategi kesantunan positif berupa


menampilkan pengetahuan penutur dan mempertimbangkan keinginan mitra
tutur. Penutur mengekspresikan pengetahuannya dalam ungkapan “saya sangat
paham”, pada saat yang sama dia juga ingin mitra tutur melakukan sesuatu, dalam hal
ini “ajakan berpikir dengan perspektif baru.”

10) menawarkan, berjanji (offer, promise);

(31) Akhirnya dapat versi digital Lyons. Dua volume. Nanti kubagi di grup.
(WA PASCA UNNES Kelas B 2019)
Data (31) memakai strategi kesantunan positif berupa penawaran atau janji
yang dilakukan oleh penutur (mahasiswa). Dia berjanji akan membagi buku Lyons
versi digital ke dalam grup.

11) bersikap optimis (be optimistic);


(31) Keren. Saya yakin minggu depan, lipsus kalian kelar. (Jurnalistik Media
Cetak)

Data (31) memakai strategi kesantunan positif berupa sikap optimisme seperti
tecermin pada kata kerja “yakin” sebagai tanda optimisme.

12) menyertakan penutur dan petutur dalam kegiatan (include both S and H in
the activity);

(32) Merci. Ayo isi media sosial dengan cerita. Saya yakin itu hal bagus ketimbang kita
mengudap hoak, hate speech, ikut memviralkan yang tak selalu layak diviralkan. Bagus pula
untuk terapi diri. (Journalisme)

Data (31) memakai strategi kesantunan positif berupa penyertaan penutur dan
mitra tutur dalam suatu aktivitas. Cirinya diketahui pada kalimat “Ayo isi media
sosial dengan cerita”. Yang diajak mengisi media sosial dengan cerita tentu saja
penutur dan mitra tutur yang lebih dari satu jumlahnya.

13) memberi atau meminta alasan (give reasons);

(32) Kenapa tak kaujawab di grup? Memang begitulah menurut Barthes.


Mitos. (WA pribadi ke mahasiswa)

Data (32) memakai strategi kesantunan positif berupa pemberian dan


permintaan alasan. Kalimat pertama “Kenapa tak kaujawab di grup?” adalah bentuk
perminta analasan.
14) menerima atau menampilkan sikap timbal balik atau saling (assume or
assert reciprocity);

(33) Bro, mengko bengi, dirimu yg mlm, yo...besok gantian aku. Ok? (WA
pribadi dari teman)

Data (33) memakai strategi kesantunan positif berupa penerimaan dan atau
penampilan timbal balik yaitu antara penutur dan mitra tutur secara bergiliran
mendapat beban sama.

15) memberi hadiah kepada mitra tutur (give gifts to H).

(34) Wis Ayah transferi sangu (WA pribadi ke anak)

Data (34) memakai strategi kesantunan positif berupa pemberian


hadiah/sesuatu. Dalam tuturan ini verba “transferi” yang menjadi predikat yang
memperlihatkan tindakan penutur memberikan uang lewat transfer bank kepada
anaknya.

(a) kesantunan negatif (negative politeness) digunakan apabila penutur


menyadari adanya sebuah derajat ancaman yang bisa diterima oleh mitra tuturnya.
Hal ini bisa terjadi misalnya pada tindak tutur dengan orang yang belum dikenal, di
antara atasan dan bawahan, dan orang muda dengan yang lebih tua.
Strategi kesantunan negatif terdiri atas sepuluh (10) substrategi, yakni
1) menggunakan ujaran tidak langsung (be conventionally indirect);

(35) Izin menjawab Monsieur, menurut saya Raja Baka disini


telah mati dibunuh oleh tokoh aku, kemudian seorang gadis itu
menghampiri Raja Baka tersebut. Makna menjerit pilu itu sedang
bersedih dan shock atas kematian Raja Baka.
Tuturan (35) memperlihatkan pemakaian strategi kesantunan negatif
berupa tuturan tidak langsung.

2) pertanyaan kalimat berpagar (question, hedge);

(36) Wah ternyata, Bapak juga merasakan apa yang kita


rasakan.
Tuturan (36) memperlihatkan pemakaian strategi kesantunan negatif
dengan pertanyaan kalimat pagar.

3) bersikap pesimis (be pessimistic);


(37) Ku tak sanggup melihatnya. Sungguh tak sanggup. (WA pribadi dari
teman)

Data (37) memperlihatkan pemakaian strategi kesantunan negatif berupa


sikap pesimistis. Dalam tuturan ungkapkan tak sanggup bahkan diulang dua kali.

4) meminimalkan tekanan (minimize imposition);


(38) Terima kasih, Mbak Elisa. Hanya sedikit yang bisa kami sampaikan.
(WA PASCA UNNES KELAS B)

Tuturan (38) memperlihatkan pemakaian strategi kesantunan negatif


dengan meminimalkan tekanan kepada mitra tutur.

5) memberikan penghormatan (give deference);


(39) Alhamdulillah, maturnuwun, Prof (Grup WAMetode Penelitian Rom
B; peserta 12 mahasiswa + 3 dosen)
Tuturan (39) memperlihatkan pemakaian strategi kesantunan negatif
dengan memberikan perhomatan kepada mitra tutur.

6) meminta maaf (apologize);


(40) Mohon maaf masih belum terdengar, Prof. Bi (Grup WAMetode
Penelitian Rom B; peserta 12 mahasiswa + 3 dosen)

Tuturan (40) memperlihatkan pemakaian strategi kesantunan negatif


berupa permintaan maaf.

7) menghindarkan penggunaan kata “Saya” dan “Kamu”


(impersonalize S and H: avoid the pronouns “I” and “You”)

(41) Ditunggu penulis wacana dan cerpen yang berani “berbeda” (WA
pribadi ke kolega)

Tuturan (41) memperlihatkan pemakaian strategi kesantunan negatif


berupa impersonalisasi atau menghindari pemakaian pronomina “saya”
dan”kamu”.

8) menyatakan tindakan pengancaman muka sebagai aturan yang


bersifat umum (state the FTA as a general rule);

(42) Imbauannya kumpul tak boleh lebih dari 15 orang (WA PASCA
UNNES KELAS B 2019)

Tuturan (42) memperlihatkan pemakaian strategi kesantunan negatif


berupa pengancaman nosi muka sebagai hal umum.

9) nominalisasi (nominalize);
(43) Gayanya masih sangat akademis. Dua alinea pertama itu ciri sajian
akademis (Grup WA Jurnalistik Media Cetak)

Tuturan (43) memperlihatkan pemakaian strategi kesantunan negatif berupa


nominalisasi.

10) menyatakan terus terang penutur berutang budi kepada petutur (go on
records).

(44) Dari penerbit 105K. Untuk saudara2ku jika berkenan 100 pas saja. Belum
ongkir. (dua tanda emoticon berterima kasih) (WA PASCA UNNES KELAS B
2019)

Tuturan (44) memperlihatkan pemakaian strategi kesantunan negatif


berupa utang budi.

(b) strategi tidak langsung (off-record strategy) digunakan terutama apabila


ada ancaman yang lebih serius terhadap muka mitra tutur.

(45) Ini kok jadi gini ya?

Data (45) memperlihatkan tuturan kesantunan dengan strategi tidak langsung


berupa pertanyaan retoris.

Kesantuan pada perilaku Berbahasa Sekarang (Era Disruptif).


Kesantunan berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan
kecerdasan emosional para penuturnya. Dalam berkomunikasi penutur dan mitra tutur tidak
hanya dituntut untuk menyampaikan suatu kebenaran, tetapi harus berkomitmen untuk menjaga
keharmonisan hubungan.
Kesantunan berbahasa juga sebagai kesopanan dalam menggunakan bahasa ketika
berkomunikasi melalui lisan maupun tulisan. Ketika berkomunikasi secara langsung penutur
dituntut untuk menggunakan bahasa yang santun baik dalam situasi formal maupun informal.
Berkomunikasi melalui tulisan juga dituntut untuk menggunakan bahasa yang santun, sebuah
tulisan dinilai baik apabila menggunakan bahasa yang santun dan mudah dimengerti oleh
pembacanya.
Aktivitas berkomunikasi sangatlah perlu mengemban prinsip kesantunan agar dapat
menghasilkan bahasa yang santun. Prinsip kesantunan berkenaan dengan aturan mengenai hal-
hal yang bersifat sosial, estetis, dan moral di dalam bertindak tutur.
Berkomunikasi dengan bahasa yang santun pada saat ini tidaklah sesuai realitas
kehidupan masyarakat. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya penggunaan bahasa yang makin
hari makin tidak memperhatikan prinsip kesantunan berbahasa dalam berkomunikasi. Apalagi
pada era milenial sekarang ini, banyak penggunaan bahasa yang sudah terkontaminasi dengan
bahasa-bahasa gaul yang
dipakai oleh komunitas tertentu yang kemudian masuk dan dipakai untuk berkomunikasi
sehari-hari khususnya di kalangan pelajar baik dengan teman, orang tua, maupun guru di
sekolah.
Selain itu, penggunaan bahasa yang santun juga jarang dijumpai dalam berkomunikasi
menyelesaikan sebuah konflik yang dilatar belakangi perbedaan kepentingan ataupun sengketa,
sehingga terjadinya perkelahian.
Media sosial dari satu dekade ini seperti Facebook dan Instagram pada hakikatnya
dikuasai anak-anak muda maka. Maka standar nilainya pun didominasi oleh nilai-nilai anak
muda. Bagi kebanyakan mereka, keintiman jauh lebih berharga daripada kesantunan
sebagaimana ekspresif juga lebih bernilai daripada tertib. Standar nilai itu menurut Rokhman dan
Surahmat, (2020: 18) membuat “akrab di media sosial” lebih keren daripada “santun di media
sosial”. Citra “santun di media sosial” bahkan lebih sering dipakai sebagai olok-olok yang
berkonotasi negatif daripadasebuah pujian. Standar nilai itu membuat “akrab” adalah sebuah
standar yang dikejar oleh pengguna secara umum, termasuk bagi pengguna tua. Inilah yang
membuat pengguna Facebook tua mengikuti anak-anak muda dalam menggunakan bahasa.
Selanjutnya Rokhman dan Surahman (2020:189-190) mengutip penelitian Julia Indah
(2018) terhjadap 147 pelajar di Sumedang, Cirebon, dan Bandung menunjukkan bahwa
penggunaan media sosial berkolerasi terhadap menurunnya kesantunan berbahasa mereka.
Dalam penelitian itu, kebanyakan pelajar mengaku dirinya memiliki wawasan teknologi yang
baik, selalu mengikuti perkembangan teknologi, juga memiliki gawai yang canggih.
Teknologi juga telah mendorong mereka lebih berani berkomunikasi dengan lebih banyak
orang, namun pada saat yang sama mereka merasa bahwa komunikasi dengan perantara
teknologi membuat standar etiket berkomunikasi mereka menjadi relatif rendah.
Dari jumlah remaja yang disurvei, hanya 11 persen yang mengaku menjadi lebih santun.
Mayoritas dari mereka, yaitu 72,1 persen merasa menjadi kurang santun. Adapun 20,4 persen
lainnya merasa penggunaan media sosial tidak berpengaruh terhadap kesantunan mereka.
Temuan yang didasarkan pada pengakuan diri ini menunjukkan bahwa media sosial
secara umum memberi pengaruh negatif terhadap kesantunan siswa. Hal itu dapat disebabkan
oleh longgarnya etiket kesantunan yang berlaku di media sosial sehingga memengaruhi perilaku
berbahasa mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, tantangan yang saat ini justru lebih mendasar untuk dihadapi adalah menguji
nilai-nilai kesantunan pada masyarakat digital seperti sekarang. Kesantunan adalah nilai yang
berlaku sejak lama. Bahkan, sangat beralasan jika nilai ini disebut sudah muncul sejak
munculnya masyarakat pertama kali. Dalam sebuah masyarakat, satu anggota memiliki peran
yang berbeda-beda yang didefinisikan oleh gender, usia, keturunan, kekuatan tubuh, kepemilikan
sumber daya, kekuatan supranatural, juga definisi sosial seperti jabatan dan sebagainya.
Karena itu menurut Rokhman dan Surahmat (2020:188) sangat beralasan jika kita
menyimpulkan bahwa kesantunan akan tetap diperlukan selama masyarakat memiliki struktur
hierarkis. Dalam konteks ini, kesantunan dapat dipandang sebagai mekanisme keteraturan yang
diciptakan untuk mengatur transaksi sosial agar berjalan sesuai dengan nilai-nilai dominan pada
masa itu. (*)

Referensi
Brown, Penelope dan Levinson, Stephen C. 1987. Politeness: Some Universals in Language
Usage. Cambridge: Cambridge University Press.
Lakoff, Robin. 1973. Language and Woman's Place. Journal Language in Society, Vol. 2, No. 1
(Apr., 1973). Cambridge: Cambridge University Press.
Leech, Geoffrey N. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman.
Rokhman, Fathur dan Surahmat. 2020. Linguistik Disruptif (Pendekatan Kekinian Memahami
Perkembangan Bahasa). Jakarta: Bumi Aksara.

Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: CV IKIP Semarang Press

Anda mungkin juga menyukai