Penanggung Jawab
i
Studia Philosophica et Theologica
ISSN 1412-0674
Vol. 1 No. 1 Maret 2001
Hal. 1 - 67
DAFTAR ISI
Pengantar ................................................................................................................... i
TELAAH BUKU
ii
FIDES ET RATIO
Menggagas Pertautan Teologi dan Filsafat
plus Implikasinya dalam terang Ensiklik Fides et Ratio
Abstraksi
Fides et Ratio (iman dan akal budi) bagaikan dua sayap manusia untuk terbang membubung tinggi
pada kontemplasi tentang kebenaran. Apa yang disebut fides adalah segala apa yang ditekuni oleh
refleksi teologis. Dan ratio menjadi lapangan luas disiplin filsafat. Tulisan ini mencoba menguak
pertautan keduanya, teologi dan filsafat, secara luas sekaligus menyebut aneka implikasi yang akhirnya
harus bermuara pada perubahan dan pembaharuan hidup konkret komunitas manusia-manusia yang
beriman. Tulisan menyuguhkan tracing history of Christian philosophy dan rincian implikasi luas
relasi teologi filsafat dalam terang Ensiklik Paus Yohanes Paulus II tahun 1998, yang menegaskan
peringatan 20 tahun pontifikalnya. Tulisan ini mengalirkan jalan pikirannya dalam tiga bagian: (1)
pengantar tentang “ratio” dan “fides”; (2) menggagas pertautan filsafat dan teologi secara historis
dalam rincian sejarah pertemuan iman dan filsafat; (3) implikasi luas dari pertautan filsafat teologi.
Manusia adalah makhluk rasional. Felix, qui semper vitae bene computat
usum. Berbahagialah orang yang senantiasa menggagas pelaksanaan hidupnya dengan
baik. Demikian kata seorang penyair Croatia, M. Marulic dalam Carmen de doctrina
Domini nostri Iesu Christi pendentis in Cruce, v. 77. Dengan menggagas
dimaksudkan memeriksa, memikirkan, memperhitungkan, merencanakan,
mencermati, meneliti, setiap kali menyimak ulang. Aktivitas menggagas merupakan
aktivitas rasio atau akal budi manusia.
Every man has by nature desire to know. Setiap manusia dari kodratnya
ingin tahu. Demikian kalimat pembuka buku monumental dari Aristoteles, Meta-
physics (980a25). Manusia dari kodratnya merupakan makhluk berpikir, ingin
mengenal, menggagas, merefleksikan. Tentang apa? Tentang dirinya, sesamanya,
Tuhannya, hidup kesehariannya, lingkungan dunia kehadirannya, asal dan tujuan
keberadaannya, dan segala sesuatu yang berpartisipasi dalam kehadirannya. Keinginan
rasional (rational desire) ini merupakan bagian kodrati Esse manusia (keberadaan,
kehadiran manusia). Karakter rasional kehadiran manusia merupakan suatu
kewajaran, kenormalan, kenaturalan.
Selain makhluk berpikir, manusia juga bukan makhluk pembual. Artinya,
manusia bukan makhluk yang berkata-kata secara ngawur, sembarangan atau
sekenanya. Manusia dari kodratnya adalah makhluk yang berpikir (atau ingin berpikir)
TENTANG “FIDES”
FIDES dan AGAMA. Fides berarti iman, tetapi dapat pula menunjuk kepada
realitas ketaatan hidup beragama. Maksudnya, di sini, iman dan agama tidak dibedakan
secara real. Iman sering dihubungkan dengan ketaatan dan penyerahan diri kepada
Tuhan. Bagaimana persisnya ketaatan itu diwujudkan? Dalam ketaatan kepada agama.
Tanpa terbelit pada diskusi epistemologis soal terminologi iman dan agama, beriman
1 Dari frase, setiap manusia dari kodratnya harus berpikir secara benar mengenai segala sesuatu yang
berkaitan dengan hidupnya, dapat ditarik sekaligus skema jalinan hubungan aneka bidang atau disiplin
filsafat yang lain. Misalnya, segala apa yang ada adalah lapangan penjelajahan metafisika. Berpikir secara
benar merupakan tugas logika untuk melatihkannya. Apa itu berpikir menjadi pertanyaan pertama disiplin
epistemologi. Makna harus berpikir (termasuk di dalamnya harus bertindak, memutuskan, mengambil
penilaian) masuk dalam lapangan penelitian etika/moral, filsafat politik, moral dan yang semacamnya. Sementara
tema manusia dari kodratnya merupakan tema luas bagi penyelidikan antropologi, psikologi, dan ilmu-ilmu
humanities lainnya.
OBYEKTIF: SUBYEKTIF:
agama sebagai realitas obyektif; agama sebagai suatu realitas
konstatasi kebenaran dogmanya subyektif, langsung berkaitan
tak bisa diperdebatkan/ditawar dengan manusia sebagai subyek
DOKTRINAL: beragama
agama adalah suatu “ajaran” EKSISTENSIAL:
WAHYU: agama sebagai kesaksian
agama sebagai berasal dari PENGALAMAN:
realitas “Atas,” diturunkan oleh agama adalah sebuah pengalaman
Tuhan relasional manusia dengan Tuhan
TRANSENDENTAL: IMANENSIAL:
agama menawarkan prinsip- agama menghadirkan kebenaran
prinsip kebenaran yang mengatasi yang menyentuh dan berurusan
akal budi dan konteks hidup dengan konteks hidup manusia
sehari-hari ANTROPOLOGIS:
ONTOLOGIS: kebenaran ilahi dihadirkan dalam
kebenaran yang ditawarkan cara-cara manusiawi, insani,
absolut, mutlak, universal kontekstual
2 Inilah firman yang diperintahkan TUHAN untuk dilakukan. Enam hari lamanya boleh dilakukan
pekerjaan, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah ada perhentian kudus bagimu, yakni sabat, hari
perhentian penuh bagi TUHAN; setiap orang yang melakukan pekerjaan pada hari itu, haruslah dihukum
mati. Janganlah kamu memasang api di manapun dalam tempat kediamanmu pada hari Sabat (Keluaran
31:12-17; 35:1-3.
Mengenai tema relasi teologi dan filsafat, saya mencoba mengelaborasi empat
diskursus: (1) elaborasi skema Yerusalem-Atena, (2) diskursus tradisional atau klasik
bahwa filsafat adalah ancilla theologiae dan praeambulum fidei (dengan tokoh
utama para filosof klasik, seperti Dionisius dari Areopagus, Agustinus, Boezius, Scotus
Eriugena, Anselmus, Bonaventura dan terutama sang Doktor Angelicus, Thomas
Aquinas); (3) diskursus filsafat modern (dengan perintisnya Descartes, lalu berlanjut
ke para filosof rasionalis, kaum Kanan Hegelian, para eksistensialis, dan seterusnya);
dan (4) diskursus filsafat postmodern (dengan tokoh Derrida, Lyotard, Vattimo Gianni,
Foucault, dan seterusnya). Dalam peradaban kristiani (saya kira juga dalam agama-
agama lain), agama langsung berkaitan dengan pergumulan refleksi iman kepada
Allah dalam tataran konteks filsafat (yang didalamnya termasuk kultur dan aneka
infrastruktur kehidupan manusia pada umumnya).
YERUSALEM : ATENA :
1- Teologi/Iman 1- Filsafat/Rasio
2- pengetahuan yang mengatasi 2- pengetahuan rasional
rasional
3- berasal dari Allah 3- berasal dari Natura (kodrat)
4- yang dicurahkan/dianugerahkan 4- yang dikejar/diusahakan/dilatih-
Allah kan
5- tentang kebenaran-kebenaran 5- tentang segala apa yang ada, yang
Allah (ditampilkan dalam rincian berhubungan dengan hidup
credo) manusia
6- dimensi transendental 6- dimensi imanensial, kontekstual
7- otoritas yang memastikan 7- pencarian rasional manusia
kebenaran itu
8- penyataan Allah yang relasional, 8- sampai pada penemuan realitas
personal, menyejarah dalam hidup absolut (Idea Prinsip dari segala
manusia yang ada)
9- PRIBADI (sang Pencipta yang 9- substansi (tidak mencipta; segala
mencipta dari ketiadaan) yang ada mengalir dari prinsip/
Arché)
10- Allah yang punya nama 10- tanpa nama
4 Cf. Giovanni Reale – Dario Antiseri, Storia della Filosofia: Dall’Antichita’ al Medioevo, Editrice La Scuola,
Brescia 1993, 394.
5 Cf. Armada Riyanto, “Allah Tritunggal,” dalam Agama Anti-Kekerasan, Malang 2000.
6 Jadi ada dua karakteristik: pengedepanan rasionalitas manusia di satu pihak (dan ini memiliki konsekuensi
penolakan atas tradisi yang sudah ada, atau berarti tradisi agama – Kant membahasakannya sebagai saat
manusia bangkit melawan inferioritasnya dari kungkungan hegemoni tradisi agamis, dan dengan demikian
saat manusia berdiri di kaki sendiri) dan pencarian cara-cara baru untuk mengontrol alam demi menggapai
kemajuan di lain pihak (secara konkret mulai dalam ilmu-ilmu pengetahuan empiris, eksperimental untuk
mencari jalan bagaimana mengembangkan kehidupan manusia – dalam lapangan epistemologis / ilmu
pengetahuan John Locke termasuk menjadi pionir untuk urusan ini karena ia mengajukan tesis bahwa
pengetahuan manusia itu diasalkan dari pengalaman). Dua karakteristik ini memadu sedemikian rupa dalam
kehidupan manusia sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa abad Enlightenment adalah abad
rasionalitas manusia. Sistem sebagai demikian diakarkan pada mentalitas gelombang filsafat yang demikian.
Di Perancis, pada abad ini produk monumentalnya direalisir dalam pembuatan ensiklopedia untuk pertama
kalinya pada tahun 1770: tentang ilmu pengetahuan, seni, dan profesi. Ensiklopedia ini muncul sebagai suatu
sistem baru dalam memberdayakan rasio manusia untuk menggariskan sistem kehidupan secara keseluruhan
pada taraf kognitif.
7 Yohanes Paulus II, Encyclic Fides et Ratio, Vatican, 1998, Chapter VII.
8 Konflik agama (atau lebih tepat, konflik antarmanusia yang beragama) dalam negara kita gandeng dengan
aneka interpretasi terminologi “jihat.” Dalam khasanah kearifan hidup beragama, makna jihat menyentuh
realitas semua agama, meskipun paling umum terminologi itu kerap disebut dalam agama Islam. Kata jihat
sudah masuk dalam perbendaharaan bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi kedua 1994)
menyebut beberapa arti: (1) usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan, (2) usaha sungguh-
sungguh membela agama Islam dengan mengorbankan harta benda, jiwa, dan raga, (3) perang suci melawan
orang kafir untuk mempertahankan agama Islam. Dalam istilah jihat akbar, dimaksudkan perang besar melawan
hawa nafsu (yang jahat); dalam istilah jihat fisabilillah, ditampilkan makna jihat pada jalan Allah (untuk
kamajuan agama Islam atau untuk mempertahankan kebenaran). Dalam doktrin kearifan ajaran suci agama
Islam, terminologi jihat pastilah merangkum kekayaan arti yang lebih mendalam dari yang disebut ini. Dalam
ajaran tradisi Kristen, terminologi jihat kurang lebih menemukan padanan maknanya dalam kata martir. Dalam
ajaran kearifan agama Kristen, mahkota kemartiran konon merupakan puncak upaya memberikan kesaksian
tentang imannya. Dalam tradisi Yudaisme, tidak ada terminologi khusus untuk menyebut kemartiran. Namun
demikian, orang-orang Yahudi mengenal apa yang disebut dengan profesi iman akan Allah yang esa, yaitu
kesetiaan tanpa batas kepada Allah dalam kesaksian hidup sehari-hari yang membuat mereka lebih suka mati
dalam cara apa pun daripada menyangkal hukum Allah (term “Märtyrtum” dalam Lexikon Religiöser
Grundbegriffe, Judentum – Christentum – Islam, Graz-Wien-Köln 1987). Tanpa menyebut arti khusus lain,
pastilah dijumpai aneka ajaran kearifan yang serupa dalam agama-agama Hindu, Budha, atau tradisi-tradisi
religius yang lain. Pendek kata, jihat atau aneka terminologi padanannya merupakan ekspresi terdalam dari
manusia yang ingin menampilkan konsep-konsep heroik kesetiaan kepada Allah yang diimaninya. Terminologi
ke-jihat-an dan ke-martir-an menemukan realitas paling konkret dalam simbol peradaban baru, peradaban
kota Ambon di negeri kita. Di Ambon dan sekitarnya, hadir kelompok, laskar, pasukan yang langsung
berhubungan dengan konkretisasi terminologi tersebut. Ambon secara nyata telah berubah menjadi lapangan
kemartiran dan jihat yang manisbikan kemanusiaan. Menyimak apa yang terjadi di Ambon, Wakil Presiden
Megawati memberikan komentar singkat, “bangsa ini telah kehilangan jati diri (kemanusiaannya).” Siap mati
berarti siap “terbunuh/dibunuh” oleh lawan. Dalam realitas siap terbunuh juga memaksudkan pada saat
yang sama siap “membunuh” lawan atau siapa saja yang dipandang sebagai lawan. Jika “jihat” atau “martir”
digagas dan dihayati dalam konteks aktivitas bunuh-membunuh, dari sendirinya jihat/martir sebagai ungkapan
bakti kepada Tuhan sama sekali tidak pas untuk suatu tata hidup bersama, untuk societas yang
mengedepankan penghargaan kepada kehidupan Pendek kata, segala aktivitas agamis yang mengeksplorasi
teror, ketakutan, ketidak-nyamanan mesti ditolak dalam societas yang merujuk kepada civil society. Jihat atau
martir kerap diungkapkan sebagai kesetiaan tanpa batas kepada Allah. Kesetiaan yang memberikan harta
melimpah terakhir, yaitu nyawa kita sendiri. Suatu kesetiaan – dari sendirinya – didasarkan pada cinta kasih
kepada Allah, bukan kebencian kepada sesama (apalagi dengan maksud membalas dendam atau dengan
alasan-alasan sloganistis suci yang dibuat-buat). Cinta kasih kepada Allah harus disertai dengan cinta kasih
kepada sesama. Maka, aktivitas jihat atau ingin menjadi martir sebagai bukti kesetiaan kepada Allah dengan
didasarkan kebencian kepada sesama, tidak bisa diterima oleh nurani manusia. Aktivitas kesetiaan kepada
Allah justru harus langsung tercetus pada aneka tindakan cinta kasih kepada sesama, ciptaan Allah – yang
diciptakan segambar denganNya. Jihat atau menjadi martir sebagai suatu cara heroik dalam mengabdi kepada
Allah meminta syarat-syarat moral dan etis manusiawi. Jika tidak, malah akan langsung menampilkan suatu
bentuk terorisme baru dengan aneka alasan suci sebagai baju. Tidak dari sendirinya memperlakukan orang
lain sebagai musuh Allah dan menghabisinya merupakan tindakan heroik. Sering kali justru kebalikannya.
Tindakan itu malah mencetuskan terorisme dan kebodohannya. Dalam suatu civil society, “musuh” bersama
adalah ketidakadilan, korupsi, dan yang semacamnya. Agama menemukan fungsi kesempurnaannya jika
mengeksplorasi kekuatan moral melawan segala macam bentuk ketidakadilan dan korupsi.
Abstraksi
Mengenai penghayatan iman yang merangkul, dapat diberikan dua macam pendekatan: praksis dan
doktrinal. Artikel ini bermaksud mengajukan pendekatan yang kedua. Tema dibahas berdasarkan
dokumen-dokumen Konsili dan ajaran Bapa Suci juga dokumen FABC (Konferensi Uskup-Uskup
Asia). Tulisan akan mengalir dalam jalan pikiran pertama-tama menggali monoteisme Abraham sebagai
dasar universal agama-agama monoteis. Berikutnya menyimak konsep regnosentris (seputar tema
Kerajaan Allah) tentang agama-agama lain. Dan akhirnya, pembahasan sampai kepada rincian tema
“rekan-anggota dan rekan-pembangun Kerajaan Allah,” yang menjadi cetusan konkret penghayatan
iman yang merangkul.
1. Pengantar
Tema ini bisa didekati dengan dua pendekatan, yaitu pada tingkat ajaran
(doktrinal) dan tingkat praktis (praksis). Makalah ini akan mendalami permasalahan
pada tingkat ajaran (doktrinal) dan akan saya konsentrasikan khususnya tentang
ajaran Gereja Katolik, yaitu pada sifat inklusivisme dari ajaran-ajaran Gereja Katolik
berkaitan dengan ajaran dan pengikut agama lain. Ajaran-ajaran itu saya ambil dari
dokumen-dokumen resmi Gereja Katolik, khususnya dokumen Konsili Vatikan II
dan ensiklik atau Himbauan dari Bapa Suci. Kiranya dokumen-dokumen Konsili
Vatikan II dan ensiklik Bapa Suci bisa dipandang mempunyai otoritas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan dokumen-dokumen yang dikeluarkan oleh Kongregasi
Suci (semacam departemen). Karena itu, saya tidak akan membahas secara khusus
dokumen-dokumen resmi dari berbagai Kongregasi Suci di Vatikan, termasuk Domi-
nus Iesus yang diterbitkan tgl. 5 September 2000 oleh Kardinal Ratzinger, Perfek
dari Kongregasi Suci untuk ajaran iman. Secara khusus, perhatian juga akan diberikan
kepada dokumen-dokumen resmi dari Federation of Asian Bishops’ Confer-
ences (FABC) sebagai Magisterium Lokal yang nampaknya lebih relevan untuk
tema kita kali ini.
Paham monoteis berarti pengakuan bahwa Allah itu esa, bahwa hanya ada
satu Allah, dan tidak ada allah-allah lain. Allah ini adalah Sang Pencipta alam semesta
dan Allah ini juga adalah tujuan semua orang. Maka, Allah itu adalah Tuhan (dalam
arti “Ketuhanan yang Mahaesa”dalam Pancasila). Pengakuan ini tidak asing juga
bagi umat Islam, sebab dalam ajaran Islam juga diakui bahwa Allah dari orang Kristiani
ini adalah sama dengan Allah yang mereka sembah.
Paham monoteis Gereja Katolik ini bersumber pada Allah yang diimani oleh
Abraham dan tercermin dalam skema Israel: “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN
itu Allah kita, TUHAN itu esa!” (Ul 6:4). Keesaan Allah ini kemudian diuraikan lebih
lanjut dalam Deutero-Yesaya: “Akulah TUHAN dan tidak ada yang lain; kecuali
Aku tidak ada Allah.” (Yes 45:5); “Aku, Akulah TUHAN, dan tidak ada juruselamat
selain dari padaKu” (Yes 43:11; lihat juga 43:8-13; 44:6-8. 24-28; 45:20-25, dll.).
Pesan yang sama diulangi dalam Perjanjian Baru: “Jawab Yesus: “Hukum yang
terutama ialah:’Dengarlah hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah
Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.” (Mk 12:29-30; lih. Mt
22:37-38). Monoteisme Kristiani ini merupakan kelanjutan dari monoteisme Israel.
Menganut paham monoteisme ini tidak langsung berarti bahwa Gereja langsung
mengakui bahwa Allah yang disembah oleh agama-agama lain adalah Allah yang
sama. Dalam teologi tentang agama-agama, tidak banyak yang bisa ditulis tentang
pergulatan pandangan Gereja tentang agama-agama lain, khususnya tentang agama
Islam. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa sampai dengan Konsili Vatikan II,
Gereja memandang agama-agama lain sebagai “lawan”.1 Pandangan ini baru berubah
dengan dan dalam Konsili Vatikan II seperti tercermin dalam berbagai dokumennya,
khususnya dalam Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama Bukan
Kristen Nostra Aetate (dikeluarkan 28 Oktober 1965).2
Konsili Vatikan II mengakui bahwa seluruh umat manusia mempunyai satu
titik-temu dalam Allah, yaitu sebagai asal-usul bersama dan tujuan akhir bersama
(NA 1). Kesatuan dalam Allah ini berlaku untuk seluruh umat manusia. Hal ini
kemudian diuraikan lebih rinci berkaitan dengan Budha dan Hindu, terlebih Yahudi
dan Islam. Karena itulah maka seluruh umat manusia membentuk “satu masyarakat.”
Konsili mengakui bahwa “penyelenggaraan Ilahi, bukti-bukti kebaikan-Nya dan
rencana penyelamatan-Nya meliputi semua orang” (NA 1). Dalam agama-agama itu
1 Uraian lebih lengkap tentang berbagai pandangan tentang Islam dalam Gereja dan perkembangan pandangan-
pandangan itu bisa dilihat pada R. Casper, “Le Concile et l’Islam,” Etudes, 324 (1966), 114-126; A. Roest
Crollius, “Vaticano II e le religioni non cristiane,” RassTeol, 8 (1967), 65-74; N. Daniel, Islam and the West, The
Making of an Image (1960), dan P. Southern, Western Views of Islam in the Middle Ages (1962).
2 Untuk semua rujukan ke dokumen Konsili Vatikan II, digunakan: Dokumen Konsili Vatikan II, (Terj.: R.
Hardawiryana, S.J.), Dokumentasi dan Penerangan KWI, Obor 1993.
Dalam ajaran Al Quran bisa diketemukan ajaran yang searah dengan ajaran
Konsili tentang universalitas Allah. Ketika berbicara tentang “umat dari Kitab”,
dikatakan: “Kita percaya pada apa yang telah diwahyukan kepada kami dan kepada
kalian; Allah kami dan Allah kalian, adalah Satu, dan kita taat (muslimum) kepadaNya”
(Surah 29:46). Demikian juga dikatakan dalam Al Quran: “Tidak ada Allah lain
selain Aku (illa ana)” (Surah 16:2; 21:14).3
Persamaan ini tidak berarti bahwa tidak ada perbedaan-perbedaan mendasar
antara ajaran Islam dan Katolik tentang Allah yang Esa itu. Dalam studinya yang
mendalam tentang ketiga agama monoteis, Arnaldez menyimpulkan bahwa perbedaan-
perbedaan itu terjadi pada tataran ajaran, namun demikian semua itu benar-benar
bisa diharmoniskan pada tataran penghayatan iman oleh para mistikus dari masing-
masing agama. Para mistikus baik dari Islam maupun dari Katolik (juga Yahudi)
merindukan satu Allah yang sama, yang transenden dan imanen. Dialah Pencipta
kehidupan yang melimpahkan rahmatNya kepada para ciptaan yang tak berarti itu.
Para mistikus itu memberikan kesaksian tentang nilai-nilai yang sama tentang
3 Jacques Dupuis, Toward a Christian Theology of Religious Pluralism, New York: Orbis Books, 1997, hlm.
260.
4 Arnaldez, R. Trois messagers pour un seul Dieu, Paris: Albin Michel, hlm. 69 seperti dikutip oleh Jacques
Dupuis, Ibid., hlm. 262.
5 Analisa tentang pergulatan Gereja bisa diikuti dalam Jacques Dupuis, Toward a Christian Theology of
Religious Pluralism, New York: Orbis Books, 1997.
6 Lihat Oscar Cullman, Christ and Time: The Christian Conception of Time and History, London: SCM Press,
1952.
7 Bdk. Jacques Dupuis, Ibid., hlm. 334-336.
RM juga menegaskan dengan keras sekali bahwa Kerajaan itu sudah terwujud dalam
Yesus dan diidentifikasikan dengan Yesus. Karena itu Kerajaan ini tidak bisa
dipisahkan dari Yesus dan Gereja (RM18). Tugas Gereja ialah “melayani Kerajaan.”
(RM 20).
Gagasan yang sama tentang Kerajaan telah diungkapkan oleh Uskup-uskup
Asia dalam Pernyataan Akhir Sidang Lokakarya Uskup-uskup ke II untuk hal-ikhwal
antar Agama tentang Teologi Dialog di Pattaya, Thailand, 1985:
Kerajaan Allah sendirilah dasarnya, mengapa ada Gereja. Gereja berada
dalam dan demi Kerajaan Allah. Kerajaan yang dianugerahkan dan diprakarsai
oleh Allah itu, sudah mulai dan terus-menerus diwujudkan serta dihadirkan
melalui Roh Kudus. Dimanapun Allah diterima, bila nilai-nilai Injil dihayati,
dimanapun manusia dihormati, di situ hadirlah Kerajaan Allah. Kerajaan itu
jauh lebih luas dari lingkup Gereja. Kenyataan yang sudah hadir itu ditujukan
ke arah penampilan mutakhir dan pemekaran paripurna Kerajaan Allah.10
10 “Pernyataan Akhir Sidang Lokakarya Uskup-uskup ke II untuk hal-ikhwal antar Agama tentang Teologi
Dialog di Pattaya, Thailand, 1985,” no. 8.1., dalam Dokumen Sidang-sidang Federasi Konferensi-konferensi
Para Uskup Asia 1970-1991, alih bahasa: R. Hardawiryono, SJ., Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, 1995, hlm. 423. Teks ini bisa dibandingkan juga dengan “Tesis-
tesis tentang Dialog antar Umat Beragama” no. 6.3., dalam Dokumen Sidang-sidang Federasi Konferensi-
konferensi Para Uskup se-Asia 1995-1998 (volume I), alih bahasa: R. Hardawiryono, SJ, Jakarta: Departemen
Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, 1998, hlm. 143: “Fokus misi Gereja mewartakan
Injil ialah membangun Kerajaan Allah, dan membangun Gereja untuk melayani Kerajaan itu. Oleh karena itu
Kerajaan Allah lebih luas dari Gereja. Gereja ialah Sakramen Kerajaan yang menampilkannya, terarah kepadanya,
memajukannya, tetapi tidak menyamakan diri dengannya.”
Telah dijelaskan bahwa para penganut agama lain menjadi anggota Kerajaan
Allah melalui ketaatan dalam iman dan pertobatan kepada Allah. Demikian juga
telah diungkapkan bahwa Kerajaan itu hadir di dunia dimana saja “nilai-nilai Kerajaan”
dihayati dan dikembangkan. Redemptoris Missio menyatakan bahwa “realitas pada
tahap awal dari Kerajaan” hadir dalam umat manusia “sejauh bahwa mereka
11 Biro FABC untuk Evangelisasi, Hua Hin, Thailand, tanggal 10 November 1991, “Kesimpulan-kesimpulan
Konsultasi Teologis,” no. 29-30 dalam Dokumen Sidang-sidang Federasi Konferensi-konferensi Para
Uskup Asia 1970-1991, alih bahasa: R. Hardawiryono, SJ., Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan
Konferensi Waligereja Indonesia, 1995, hlm. 562-563.
12 Oscar Cullman, Ibid., hlm. 187.
Abstraksi
Harold Coward menulis sebuah buku menarik, Pluralism Challenge to World Religions. Gagasan
pluralisme dewasa ini mendominasi dunia agama-agama. Coward bahkan menarik sebuah kesimpulan
bahwa tingkat spiritualitas seorang agamawan ditentukan oleh bagaimana dia bersikap terhadap
agama-agama lain. Tulisan ini menjabarkan tiga tesis menarik Coward seputar pluralisme: realitas
transenden tampil dalam fenomena agama-agama (satu), ada pengakuan umum seputar pengalaman
keagamaan tertentu (dua), identifikasi spiritualitas sendiri yang sering kali dipandang lebih tinggi dari
agama orang lain (tiga). Rincian ide dari Coward ini dijabarkan untuk suatu pembahasan tentang
dialog antarumat beragama. Sebuah pembahasan yang memiliki kepentingan perenial di Indonesia
dan di dunia saat ini.
1 Harold Coward, Pluralism Challenge to World Religions (Maryknoll. NY: Orbis Books, 1985), hal.95.
2 Ibid.
Ada satu hal yang sangat penting yang perlu diperhatikan dalam membangun
wawasan keagamaan yang merangkul, yaitu menekankan pada pendekatan dialogis.
Dialog itu sendiri sebenarnya berpijak pada satu asumsi bahwa tiap-tiap agama
memiliki klaim keabsolutan atas keyakinannya sendiri yang tidak bisa direlatifkan.
Oleh karena itu persyaratan dialog sesungguhnya bukan menyamakan semua
keyakinan tetapi pengakuan bahwa masing-masing orang beragama memiliki
komitmen akan keyakinannya sendiri, dan keyakinan yang dimiliki oleh semua umat
beragama itu berbeda. Umat Kristiani meyakini Tuhan melalui Yesus Kristus, umat
Muslim meyakini al-Quran sebagai kalam Tuhan terakhir, umat Hindu percaya akan
adanya banyak jalan menuju Satu Brahmana (absolutisasi sebuah relativisme) dan
seterusnya. Dalam pendekatan dialog ini masing-masing agama dipandang memiliki
sebuah kemutlakan yang tidak bisa diganggu-gugat. Dialog semacam ini memerlukan
kedewasaan ego yang cukup tinggi “untuk membiarkan orang lain yang berbeda itu
hidup bersama-sama tanpa memandang bahwa mereka itu bisa disamakan”. Jika
semua keyakinan seperti ini dipahami oleh semua pemeluk agama, maka dialog akan
Abstract:
Artikel ini merupakan pengolahan ulang bagian kedua dari paper yang pernah dibawakan sebagai
‘kuliah perdana’ pada pembukaan tahun akademis 2001-2002 STFT Widya Sasana Malang, 10
September 2001. Di sini penulis menganalisis kondisi historis, sosial, politis, dan kultural masyarakat
Bali dalam hubungannya dengan kehadiran Gereja-gereja di sana. Gereja selalu berusaha menjadi
bagian integral dari masyarakat dan kebudayaan Bali, namun setiap kali dia masuk, setiap kali pula
dia terlempar ke luar. Analisis historis kultural ini menunjukkan bahwa memang pada dasarnya
masyarakat tradisional Bali adalah komunitas-komunitas tertutup yang ‘lengkap’. Kenyataan ini
diperteguh oleh kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda yang menduduki pulau Bali (1882-
1950), khususnya politik isolasi dan Balinisasi yang diterapkannya pada pertengahan pertama abad
ke-20. Pada bagian akhir, penulis tidak memberikan kesimpulan, melainkan menawarkan pekerjaan
rumah, yakni poin-poin yang harus dipertimbangkan oleh Gereja dalam mengaktualkan kehadiran
dan misinya di dalam masyarakat setempat.
INTRODUCTION
The goal of this article is to examine the Balinese world, in which Christian-
ity1 has been struggling to be its integral part. The issue is that every time Christianity
tries to enter, every time it is denied to get access. It is more impossible to redefine
and reconstruct Balinese community based on a multicultural society. Already in
1924 Soekawati,2 a member of the Volksraad in Batavia (now, Jakarta) and the
head of the district of Ubud, Bali, strongly opposed the present of Christianity on the
island, saying: “Westersche invloeden, welke ook, zijn welkom, alleen de
1 According to the official statistics (1995), in Bali live 2.631.210 Hindus, 158.564 Muslims, 16.037 Buddhists,
11.957 Catholics and 10.258 Protestants (BPS Kantor Statistik Propinsi Bali, Bali Dalam Angka 1995, Denpasar:
BPS, 1996, p. 133).
2 Cokorda Gde Raka Soekawati later on became the President of the State of East Indonesia (NIT, Negara
Indonesia Timur), established under Dutch auspices in December 1946, with Anak Agung Gde Agung as
Prime Minister and minister of the interior. NIT collapsed in 1949-1950 with the downfall of Dutch power in
Indonesia, and Bali eventually joined the Republic of Indonesia. “Educated in the Netherlands, married to a
French woman, and having lived much of his adult life outside of Bali, he was regarded by many people at
home as arrogant and excessively westernized (kebarat-baratan)” (Robinson, 1995:171).
What does this all mean for the churches (Catholics as well as Protestants)?
In my opinion, we can start our investigation by citing the statement highlighted by
the late Anak Agung Gede Agung in an interview conducted by the research team of
the CRI Alocita, Yogyakarta.4 He insisted that in Bali adat, agama, dan budaya
(tradition, religion, and culture) have to be accepted as a unity, an integrated one.On the
other hand, the role of the Dutch colonialism in the first half of the twentieth century
was very influencial in reconstruting the Balinese society. It could not be ignored.
BALINESE COMMUNITY
There are three important aspects in the traditional community which make
Bali a closed community, namely community of ancestry, caste system, and custom-
ary village.
Frankly speaking, religious life is primary to Balinese identity. Religious aspects domi-
nate the private as well communal life, except with regard to the content of the
doctrine. It is said that nobody would take doctrine seriously, or more precisely, in
most cases, the Balinese do not know or do not want to know the nature of niskala
(divine, sacred, invisible world, gods, spirits, and supernatural realm). On this ground,
Geertz (1973:177) argues:
You can believe virtually anything you want to actually, including that the
whole thing is rather a bore, and even say so. But if you do not perform the
ritual duties for which you are responsible you will be ostracized, not just
from the temple congregation, but from the community as a whole.6
have been purified through a series of rituals. The dewa hyangs are those who have been merged into the
deity and have no more individuality. Many ordinary people, however, do not distinguish the pitara from the
dewa hyang. So they call the two groups as ‘Batara Hyang’, ‘Dewa Hyang’, and ‘Pitara Hyang’ inter-
changeably.
6 Scures (1994:57-8) writes: “[...] changing faith (through marriage or conversion) means that a Balinese
person is no longer Balinese. What remains important among the Balinese is attention to ritual duty.”
7 Nirartha was regarded as the author of several ‘kakawin’ (epic court literature) including the Usana Bali
(composed between 1550-1560) and known in various names such as Dang Hyang Nirartha, Pedanda Sakti
Wawu Rawuh, and Dang Hyang Dwijendra. He came to Bali, arrived at Purancak, on his long journey from
Majapahit headquarters to Daha, to Pasuruan and then to Blambangan. The Brâhmanas of Nirartha’s de-
scendants are now known as ‘Catur Brâhmana’ (the four groups of Brâhmana), namely Brâhmana Mas,
Brâhmana Keniten, Brâhmana Manuaba and Brâhmana Kemenuh. They are different from the other ‘Panca
Brâhmana’ (the five Brâhmana), namely Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan, Mpu Beradah and Mpu
Genijaya who lived prior to them and had similar responsibility as a priest. See M.J. Wiener, 1995: 123-4; N.
Djoni Gingsir, 1996:117-20, 259-62.
8 The word ‘desa’ is usually translated as ‘village’, while ‘banjar’ is ‘ward’ or ‘hamlet’. Therefore, ‘desa adat’
should be ‘customary village’ and ‘banjar adat’ should be ‘customary ward.’ But, according to the surveys
so far available from the Law Faculty of Udayana University (Denpasar), nearly half the desa adat of the
district of Badung, Klungkung and Karangasem were comprised of single banjar (Warren, 1991: 213ff).
9 Picard translates ‘adat’ as “custom; local customary law, institutions, and ritual,” while Vickers puts it as
“tradition or customary regulations.” (Picard, 1996: 203; Vickers, 1996:223). Goris (1960:293) writes: “The
relation between adat law and Hindu canon law in early Java and present-day Bali might well be compared
to that between early Germanic law and Christian canon law in medieval Europe.”
10 Desa adat might not neatly fit the actual village structure in most of Bali, but no doubt this common
perception gives great social and political advantages to Bali-Hindus against the non-Bali-Hindus. It signifi-
cantly supports their concept that desa adat is a ‘closed and steady community’ tied by the classic three
village temples as mentioned above. Furthermore, many Bali-Hindu intellectuals of today ardently promote
the idea of desa adat as a conceptual and ideal Hindu village community. Ketut Wiana, for example,
mentions that desa adat consists of three different spaces called tri-mandala, namely utama mandala
(temples), madya mandala (space where human beings live), and nista mandala (graveyard) (Wiana, 1995:44).
11 Each Balinese adat village has three public pura, known as kahyangan tiga, which may be visited by
members of all strata and castes: the uranian temple of creation or origin (pura puseh), located mountainward,
in the purest part of the village; the village temple (pura desa), with its large assembly hall for the traditional
village council (bale agung); and the chthonian temple of death (pura dalem), which is attached to the
cemetery and is located seaward, low and hence in the most impure area of the village (Hobart et.al., 1996:127).
After the Dutch Colonial Authorities could establish their power over the
most part of Indonesia, they also managed to establish their economic and political
control over Bali. They sent several expeditions against Buleleng (North Bali) and
Karangasem (East Bali) in 1846-1849 to ‘teach the Balinese a lesson’, because the
Balinese refused to be their subjects. The Balinese responded in the words best
expressed by the chief minister of Buleleng: “Let the keris [wavy-bladed dagger]
decide” (Vickers, 1995:30). In 1858 the Dutch sent the fourth military expedition to
make Buleleng subservient. In fact, only after the fifth military aggression (1882),
North Bali was completely under the Dutch East Indies control.
At the turn of the twentieth century, the Dutch colonial authorities were strug-
gling to control the whole island. They forced the Kingdom of Gianyar to accept the
status of Regency under Dutch sovereignty in 1900. Six years later the Dutch troops
landed at Sanur coast on their way westward to attack south Bali, followed by
puputan (ending)12 of the princely families of Badung and Tabanan. The puputan
was described as nothing but a mass-suicide, where everybody was entirely dressed
in white to face the Dutch troops, who were apparently superior in everything. Armed
with only lances and keris, the Balinese refused to surrender. They stepped forward
to face their death before their conquerors. Two years later (1908) the kingdoms of
Mengwi and Bangli were subjected to Dutch rule, following the puputan of the most
prestigious royal family of the Gelgel dynasty of Klungkung. It was the end of the
lineal descendants of Majapahit, the kingdom of the Dewa Agung. An era in Ba-
linese history was ended and the new one started. Vickers (1996:133) puts it as
follows:
Those few members of the royal families of Badung and Klungkung who
survived the slaughters of 1906-1908 were sent into exile, to join members
of other important Balinese families who were not willing to accept Dutch
authority. The royal families who remained lost much of their power and
12 The Balinese ‘puputan’ is translated and interpreted in various ways such as ending, fight to the death cum
self-sacrifice, a kind of ‘holy war,’ massacre and suicide. In a word of a Balinese king: “It is better that we die
with the earth as our pillow than to live like a corpse in shame and disgrace” (Vickers, 1995: 32).
13 The Dutch ‘ethische politiek’, as it was called in the Netherlands Indies, was fully exposed when Queen
Wilhelmina gave her annual speech to the Netherlands Parliament in September 1901. Reflecting on the
Christian spirit and after 300 years of the Dutch occupation on Java and their exploitation of the archipelago,
the Queen spoke of an ‘ethical obligation and moral responsibility to the peoples of the East Indies’. “Als
Christelijke mogendheid is Nederland verplicht, geheel het regeringsbeleid te doordringen van het besef, dat
Nederland tegenover de bevolking dier gewesten ene zedelijke roeping heeft te vervullen ...” [As a Christian
power the Netherlands is compulsory to imbue the whole conduct of government with the consciousness
that the Netherlands has a moral duty to fulfill towards the people in the regions ...”] (Mommersteeg, 1947:6).
‘Politiek isolatie’
This new policy of cultural conservation was not so simple as it seemed. The
Dutch colonials had also to confront the increasing nationalist sentiment and nation-
alist movements in Indonesia with the spread of Islamic radicalism which forced the
Dutch to isolate Bali – politiek isolatie. With great help from orientalists, the Dutch
conservation policy was directed to secure the position of Balinese nobility. The
triwangsa were regarded as the main vehicle of Hinduization of the island as well as
the pillar of its traditional order. They were also regarded as the best barriers, at least
in Bali, against the threat of Islam in the country and the rise of nationalism. The
Dutch colonial authorities seemed to sort out how to carry out their policy by ensur-
ing the triwangsa’s loyalty. The caste system was codified as ‘the principal founda-
tion of Balinese society’ (1910)15 and the royal houses were restored to their previ-
ous position and became ‘important administrators and large landowners’ (1929)
under the Dutch ‘older brothers’ (Vickers, 1996:133), while the commoners were
really ‘outsiders’ (jaba).
What the Dutch colonials did in Bali was a typical colonial conservatism and
faith in the idea of ‘traditions’, where the authority of aristocracy was expected to
guarantee the continuity of the colonial system. By emphasising this entire cultural
heritage and religious tradition as adat, the link between the native rulers and the
colonial state became stronger and hence the ‘harmony’ between the centres (pal-
ace, ruling class) and the villages (periphery, jaba) was guaranteed as well. There-
fore, by employing their scholars, who were supposed to support the main policy of
the Dutch colonial power, at least three main goals could be achieved. Adrian Vickers
(1995:32) puts it this way:
[...] creating a colonial society which included a select group of the aristoc-
racy, labelling and categorizing every aspect of Balinese culture with a view
14 KPM was the Royal Packet Navigation Company that in 1924 established a weekly steamship service that
connected Bali through its northern port of Buleleng with Makassar, Surabaya and Batavia (Kersten, 1940:
179).
15 See the minutes of an administrative conference, 15-17 September 1910, Collectie Korn, no. 166, Koninklijk
Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde (KITLV) (Robinson, 1995:32-3).
All this gives way to the Balinese to regain their ‘rasa bangga dan harga diri,’ an
ethnic pride and self-esteem, characterised by a strong religious sentiment – their
identity. It also aggrandise the so-called ‘island mentality’ with its exclusive ‘insiders-
outsiders’ way of thinking, an ‘Us-Them’ dichotomy which affects the attitudes of
most Bali-Hindus (insiders, hosts) towards the non-Bali-Hindus (outsiders, guests)
– in our case, the Christians.
SELECTED BIBLIOGRAPHY
BPS Kantor Statistik Propinsi Bali, Bali Dalam Angka 1995, Denpasar: BPS, 1996.
COVARRUBIAS, Miguel, The Island of Bali, London: KPI Ltd., (1937) 1986.
DJONI GINGSIR, N., Babad Bali Agung. Seri K.G.P. Bendesa Manik Mas,
Jakarta: Yayasan Diah Tantri, 1996.
EISEMAN, F.B., Jr., Bali: Sekala and Niskala. Vol. 1: Essays on Religion, Ritual,
and Art, Singapore: Puriplus Editions, 1996.
—————, Bali: Sekala and Niskala. Vol. II: Essay on Society, Tradition, and
Craft, Singapore: Puriplus Editions, 1995.
GEERTZ, C., Interpretation of Cultures, New York: Basic Books, 1973.
GORIS, Roelof, “The Position of the Blacksmith,” in Dutch Scholars, eds., Bali.
Studies in Life, Thought, and Ritual, The Hague, Bandung: van Hoeve,
1960, pp. 289-99.
HOBART, Angela, Urs RAMSEYER and Albert LEEMANN, The Peoples of
Bali, Cambridge: Blackwell, 1996.
HOOYKAAS, C., Religion in Bali, Leiden: E.J. Brill, 1973.
KERSTEN, Jan, Bali. Hoe een Missionaris het Ziet, Eindhoven: De Pelgrim, 1940.
MOMMERSTEEG, J.A., Indonesië: Chronologisch Documentair Overzicht,
Amsterdam: Uitgave van Systemen Keesing, 1947.
PICARD, Michel, Bali. Cultural Tourism and Touristic Culture, Singapore: Ar-
chipelago Press, 1996.
ROBINSON, Geoffrey, The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali,
Ithaca: Cornell University Press, 1995.
SCHULTE NORDHOLT, H., The Spell of Power. A History of Balinese Politics,
1650-1940, Leiden: KITLV Press, 1996.
Robert Wijanarka, CM
De Paul University, Chicago (USA)
Abstraksi
Konflik yang menghiasi peradaban bangsa Indonesia terasa demikian mengoyak humanisme.
“Kemanusiaan yang beradab” terasa asing di negara kita. Keberadaban di banyak tempat telah
mendadak lenyap. Yang ada malahan kebalikannya, kebiadaban. Tulisan ini mencoba menguak kembali
ide- ide yang pernah dimiliki oleh para pendiri negara ini khususnya dalam mendulang konsep tentang
humanisme. Kita diingatkan kembali. Ditegur malahan, untuk mengupayakan peradaban kemanusiaan
baru di negeri tercinta ini. Segala upaya politis untuk meredam konflik dan kekerasan tidak boleh
menyisihkan prinsip-prinsip humanis.
1 BPKI was the committee for Examination of Independence or Badan Penyelidikan Kemerdekaan Indonesia.
It was formed with the permission of the Japanese occupational administration. This committee completed
its task in July 1945. While PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) was the Committee for the
Preparation of Independence of Indonesia that laid down the definitive text on 18 August 1945. These two
committees had several meeting in preparing the concept of nation and state.
2 Among others alliances Coen Holtzappel mentioned these tree strong alliances.
Being weaned by the tradition and culture, the Indonesians as human beings are
placed in their free stand. They aren’t burdened by a certain moral conception or
standard of human beings. They are distanced from a certain conception of human
beings that might be inherited from the traditional perspectives. Human beings in such a
new perspective are the concrete and free beings. Moreover, by his idea of new
nationalism Sukarno, influenced by Marxism5 , erased the social stratification that
had been living in the several feudalistic communities of the society in our country.
3 As quoted by Coen Holtzappel from “Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945” (edited by
Mohhamad Yamin) this statement was made by Radjiman as requested by Sukarno. This statement, then,
delivered by Sukarno in a meeting and then colored the spirit of BPKI and PPKI meeting.
4 As quoted by Coen Holtzappel Sukarno’s article, that was published in Soeloeh in 1926, became the spirit of
the BPKI and PPKI meetings.
5 It is obvious also that in the course of time Sukarno was influenced strongly by Marxism. And his concern
to the real people indicates that he knew that Marxism should be close to the real-concrete people (Marxist-
existentialist), that is the poor. That is why during his time he was expected as “the just king” that would save
the people from the poverty. The Film” The Year of Living Dangerously” demonstated that finally Sukarno
was intrigued by the promises of Capitalism, represented by USA power (See Sartre, Search For A Method
17-21, 31).
By weaning people from their habitat, which are their ethnic background,
traditional value system, culture, language, tradition, geographical territory, the founding
fathers wanted to set people free from the bondage of the past and put them in the
same stand before the law and constitution. Instead of being used as only a living
vehicle to perpetuating tradition or system of values and beliefs, people are freed
and invited to live and foresee their future according to the common objective and
values, which were formulated in the concept of the nationalism and the unitary state.
Again, instead of being used as a living vehicle to perpetuate the inherited history, the
new Indonesian is invited to create his/her own histories. Who the Indonesians, hence,
are not determined by their history in the past rather determined by the way they
concretize or express themselves in the process of constructing a new nation and
state.
6 In his exposition “existentialism is a Humanism” Sartre believes that existence comes before essence. Thus,
there is no human nature. Man is nothing else but that which he makes of himself, he will no be anything until
later, and then he will be what he makes of himself. (In Jean-Paul Sartre, Existentialism is a Humanism, 1946)
Paulus Dwintarta, CM
Didik P., CM
Telaah Buku 63
Telaah Buku
Judul : GLOBAL/LOKAL Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia Th.X – 2000
Penerbit : Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, Bandung
Tebal : IX + 136 halaman
Telaah Buku 65
ke postmodernisme. Secara garis besar disebutkan ciri sikap baru itu: penghargaan
atas nilai-nilai heterogenitas, fragmentasi dan perbedaan; pembauran antara “seni
tinggi” dengan “seni rendah”; gerakan kembali ke masa lalu dengan menghargai kembali
idiom atau bahasa-bahasa estetik masa lalu; ekklektisisme radikal berupa
pencampuran berbagai gaya dalam ungkapan seni; pencairan hubungan ‘pusat’ -
‘pinggiran’. (Sitatnya dari Pauline Marie Rosenau, “Postmodernism and the social
sciences”, Princeton Univ. Press, 1992)
Menghadapi tantangan demikian masa depan, kebudayaan dan kesenian In-
donesia ditentukan oleh kemampuan menyaring berbagai prinsip dan pengaruh yang
muncul dari pergaulan budaya global itu. Diperlukan sikap kehati-hatian (122).
Biodata Kontributor 67