Anda di halaman 1dari 144

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Mastektomi adalah pembedahan yang dilakukan untuk mengangkat
payudara akibat kanker. Meskipun berbagai terapi kanker payudara telah banyak
dikembangkan namun mastektomi merupakan salah satu alternative terapi yang
masih banyak digunakan, sebagai kombinasi dari kemoterapi, radiasi .Hal ini
dikarenakan pasien yang datang kerumah sakit sudah dalam keadaan stadium
lanjut, sehingga harus dilakukanpengangkatan seluruh bagian payudara atau
mastektomi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa lima besar kanker
di dunia adalah kanker paru-paru, kanker payudara, kanker usus besar dan kanker
lambung dan kanker hati. Sementara data dari pemeriksaan patologi di Indonesia
menyatakan bahwa urutan lima besar kanker adalah kanker leher rahim, kanker
payudara, kelenjar getah bening, kulit dan kanker nasofaring. Kanker tertinggi
yang diderita wanita Indonesia adalah kanker payudara dengan angka kejadian 26
per 100.000 perempuan, disusul kanker leher rahim dengan 16 per 100.000
perempuan. Salah satu factor risiko yang menyebabkan tingginya kejadian kanker
di Indonesia yaitu prevalensi merokok 23,7%, obesitas umumnya penduduk
berusia ≥ 15 tahunpada laki-laki 13,9% dan pada perempuan 23,8%. Prevalensi
kurang konsumsi buah dan sayur 93,6%, konsumsi makanan diawetkan 6,3%,
makanan berlemak12,8%, dan makanan dengan penyedap 77,8%. Sedangkan
prevalensi kurang aktivitas fisik sebesar 48,2% (Riskesdas tahun 2007).
Prosedur pembedahan atau mastektomi yang dilakukan pada pasien kanker
payudara tergantung pada tahapan penyakit, jenis tumor, umur dan kondisi
kesehatan pasien secara umum. Pembedahan bisa dengan mengangkat sebagian
payudara yang mengandung sel kanker atau tumor (lumpectomi) atau mengangkat
seluruh payudara (lumpectomi). Untuk meningkatkan harapan hidup, pembedahan
biasanya diikuti dengan therapi tambahan seperti radiasi, hormon atau kemoterapi.
Kanker payudara adalah kanker yang paling sering diteliti dalam studi tentang
kualitas hidup, studi psikososial terdahulu menekankan bahwa adaptasi terhadap

1
kehilangan payudara merupakan satu-satunya faktor penting bagi seorang wanita,
terutama budaya barat. Karenanya tidaklah mengejutkan bahwa perhatian
penelitian tentang penyesuian diri seorang wanita terhadap kanker payudara
menemukan hasil yang serupa.
Meskipun demikian riset yang terus tumbuh menunjukan bahwa perhatian
yang berkaitan dengan ketidakpastian tentang masa depan seseorang, Isu-isu
keseharian yang terjadi ditempat kerja dan hubungan keluarga, serta tuntutan
penyakit merupakan faktor-faktor yang lebih penting dalam menyesuaikan diri
akibat mengalami kanker, dibanding kehilangan payudara itu sendiri. Ca.
Mammae adalah kanker yang relatif sering dijumpai dan merupakan penyebab
kematian utama pada wanita berusia 45 dan 64 tahun. Ca. Mammae merupakan
penyakit yang mengancam atau semua wanita dapat beresiko untuk terkena
kanker payudara ini, tidak ada satupun penyebab spesifik dari kanker payudara
sebaliknya faktor genetik, hormonal dan kemungkinan kejadian lingkungan dapat
menunjang terjadinya kanker ini. Beberapa gambaran kanker payudara menunjang
prognosisnya, secara umum, makin kecil tumor, makin baik prognosisnya,
karsinoma payudara bukan semata-semata keadaan patologis yang terjadi hanya
dalam semalam, tetapi membutuhkan lebih dari 2 tahun agar bisa teraba. Sehingga
peran perawat dalam memberi asuhan keperawatan kepada pasien sangat besar
dan sangat berpengaruh dimana perawat harus memiliki pengetahuan untuk
pencegahan, pengawasan, dan pengobatan khususnya mengenai carcinoma
mammae atau kanker mammae.
1.2 Perumusan masalah
Bagaimanakah Asuhan Keperawatan Anestesi pasien dengan diagnosis medis
Ca Mammae (D) yang dilakukan tindakan MRM (modified radikal
mastectomy) dengan general Anestesi di GBPT Lt.4 RSUD Dr.Soetomo
surabaya.
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Penulis mampu melakukan Asuhan Keperawatan Anestesi pasien dengan
diagnosis medis Ca Mammae (D) yang dilakukan tindakan MRM (modified

2
radikal mastectomy) dengan general Anestesi di GBPT Lt.4 RSUD
Dr.Soetomo surabaya.
1.3.2 Tujuan Khusus
 Mampu melakukan pengkajian keperawatan Anestesi pada pasien
dengan diagnosis medis Ca Mammae (D) yang dilakukan tindakan
MRM (modified radikal mastectomy) dengan general Anestesi di
GBPT Lt.4 RSUD Dr.Soetomo surabaya.
 Mampu menganalisa diagnosis keperawatan Anestesi pada pasien
dengan diagnosis medis Ca Mammae (D) yang dilakukan tindakan
MRM (modified radikal mastectomy) dengan general Anestesi di
GBPT Lt.4 RSUD Dr.Soetomo surabaya.
 Mampu menyusun rencana keperawatan Anestesi pada pasien dengan
diagnosis medis Ca Mammae (D) yang dilakukan tindakan MRM
(modified radikal mastectomy) dengan general Anestesi di GBPT Lt.4
RSUD Dr.Soetomo surabaya.
 Mampu melakukan tindakan Keperawatan Anestesi pada pasien
dengan diagnosis medis Ca Mammae (D) yang dilakukan tindakan
MRM (modified radikal mastectomy) dengan general Anestesi di
GBPT Lt.4 RSUD Dr.Soetomo surabaya.
 Mampu melakukan evaluasi terhadap tindakan Anestesi pada pasien
dengan diagnosis medis Ca Mammae (D) yang dilakukan tindakan
MRM (modified radikal mastectomy) dengan general Anestesi di
GBPT Lt.4 RSUD Dr.Soetomo surabaya.
 Mampu melakukan dokumentasi keperawatan Anestesi pada pasien
dengan diagnosis medis Ca Mammae (D) yang dilakukan tindakan
MRM (modified radikal mastectomy) dengan general Anestesi di
GBPT Lt.4 RSUD Dr.Soetomo surabaya.
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Manfaat Teoritis
Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan
proses Asuhan keperawatan Anestesi pada pasien dengan diagnosis

3
medis Ca Mammae (D) yang dilakukan tindakan MRM (modified
radikal mastectomy) .
1.4.2 Manfaat Praktis
 Bagi penulis
Meningkatkan pengetahuan penulis tentang Asuhan Keperawatan
Anestesi pada pasien dengan diagnosis (modified radikal mastectomy)
medis Ca Mammae (D) yang dilakukan tindakan MRM (modified
radikal mastectomy) dengan dokumentasi keperawatan.
 Bagi institusi pendidikan
Memberikan masukan pada institusi sehingga dapat menjadikan
perawat Anestesi yang berkompeten dalam memberikan Asuhan
Keperawatan Anestesi yang komprehensif pada pasien dengan
diagnosis Ca Mammae (D) yang dilakukan MRM (modified radikal
mastectomy) dengan GA Intubasi.
1.5 Metode Penulisan
Dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini ,penulis menggunakan metode
penulisan deskriptif dalam bentuk studi kasus dengan tahapan-tahapan yang
meliputi pengkajian diagnosis keperawatan,perencanaan,pelaksanaan dan
evaluasi.Cara yang digunakan dalam pengumpulan data diantaranya.
1.5.1 Anamnesis
Tanta jawab / komunikasi secara langsung dengan pasien (autoanamnesis)
maupun tak lansung (Alloanamnesis) dengan keluarga untuk menggali
informasi tentang status kesehatan pasien,komunikasi yang digunakan
adalah komunikasi terapeutik.
1.5.2 Observasi
Tindakan secara umum mengamati perilaku dan keadaan pasien.
1.5.3 Pemeriksaan
1. Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menggunakan empat cara yaitu
melakukan inspeksi,palpasi,perkusi dan auskultasi.

4
2. Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi,contoh: Foto
Thorax,laboratorium,rekam jantung dan lain-lain.
1.6 Lokasi
Pengumpulan data pada karya tulis ini dilakukan di GBPT Lt.4 RSUD
Dr.Soetomo Surabaya dalam jangka waktu sehari.
1.7 Waktu
Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 16 Mei 2017 jam 07.00-10.00 WIB

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KONSEP DASAR


2.1.1 Pengertian
Modified Radical Mastectomy adalah suatu tindakan pembedahan
onkologis pada keganasan payudara yaitu dengan mengangkat seluruh
jaringan payudara yang terdiri dari seluruh stroma dan parenkhim payudara,
areola dan puting susu serta kulit diatas tumornya disertai diseksi kelenjar
getah bening aksila ipsilateral level I, II/III secara en bloc TANPA
mengangkat m.pektoralis major dan minor.
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Mammae
A.   Struktur Anatomi Payudara
1.      Struktur Payudara
Payudara (mammae, susu) adalah kelenjar yang terletak di bawah kulit, di
atas otot dada. Fungsi dari payudara adalah memproduksi susu untuk nutrisibayi.
Manusia mempunyai sepasang kelenjar payudara, yang beratnya kurang lebih 200
gram, saat hamil 600 gram dan saat menyusui 800 gram.
Pada payudara terdapat tiga bagian utama, yaitu :
1. Korpus (badan), yaitu bagian yang membesar.
2. Areola, yaitu bagian yang kehitaman di tengah.
3. Papilla atau puting, yaitu bagian yang menonjol di puncakpayudara.

Gambar 1.Anatomipayudara

6
a.       Korpus

Alveolus, yaitu unit terkecil yang memproduksi susu. Bagian dari alveolus adalah
sel Aciner, jaringan lemak, sel plasma, sel otot polos dan pembuluh
darah.Lobulus, yaitu kumpulan dari alveolus.Lobus, yaitu beberapa lobulus yang
berkumpul menjadi 15-20 lobus pada tiap payudara.ASI dsalurkan dari alveolus
ke dalam saluran kecil (duktulus), kemudian beberapa duktulus bergabung
membentuk saluran yang lebih besar (duktus laktiferus).

b.      Areola

Daerah lingkaran yang terdiri dari kulit yang longgar dan mengalami
pigmentasi dan masing-masing payudara bergaris tengah kira-kira 2,5 cm. Areola
berwarna merah muda pada wanita yang berkulit cerah, lebih gelap pada wanita
yang berkulit cokelat, dan warna tersebut menjadi gelap pada waktu hamil.
Didaerah areola ini terletak kira-kira 20 glandula sebacea. Pada kehamilan areola
ini membesar dan disebut tuberculum montgomery.
Sinus laktiferus, yaitu saluran di bawah areola yang besar melebar, akhirnya
memusat ke dalam puting dan bermuara ke luar.Di dalam dinding alveolus
maupun saluran-saluran terdapat otot polos yang bila berkontraksi dapat
memompa ASI keluar.

c.       Papilla

Terletak di pusat areola mammae setinggi iga ( costa ) ke-4. papilla mammae
merupakam suatu tonjolan dengan panjang kira- kira 6 mm, tersusun atas jaringan
erektil berpigmen dan merupakan bangunan yang sangat peka. Permukaan papilla
mammae berlubang- lubang berupa ostium papillare kecil- kecil yang merupakan
muara duktus lactifer.Duktus latifer ini di lapisi oleh epitel.
Bentuk puting ada empat, yaitu bentuk yang normal, pendek/ datar,
panjangdanterbenam(inverted).

2.      Anatomi normal payudara


Payudara tersusun dari jaringan lemak yang mengandung kelenjar-kelenjar
yang bertanggung jawab terhadap produksi susu pada saat hamil dan setelah
bersalin. Setiap payudara terdiri dari sekitar 15-25 lobus berkelompok yang

7
disebut lobulus, kelenjar susu, dan sebuah bentukan seperti kantung-kantung yang
menampung air susu (alveoli). Saluran untuk mengalirkan air susu ke puting susu
disebut duktus. Sekitar 15-20 saluran akan menuju bagian gelap yang melingkar
di sekitar puting susu (areola) membentuk bagian yang menyimpan air susu
(ampullae) sebelum keluar ke permukaan.
Kedua payudara tidak selalu mempunyai ukuran dan bentuk yang sama.
Bentuk payudara mulai terbentuk lengkap satu atau dua tahun setelah menstruasi
pertamakali.Hamil dan menyusui akan menyebabkan payudara bertambah besar
dan akan mengalami pengecilan (atrofi) setelah menopause.
Payudara akan menutupi sebagian besar dinding dada. Payudara dibatasi oleh
tulang selangka (klavikula) dan tulang dada (sternum).Jaringan payudara bisa
mencapai ke daerah ketiak dan otot yang berada pada punggung bawah sampai
lengan atas (latissimus dorsi).
Kelenjar getah bening terdiri dari sel darah putih yang berguna untuk melawan
penyakit.Kelenjar getah bening didrainase oleh jaringan payudara melalui saluran
limfe dan menuju nodul-nodul kelenjar di sekitar payudara samapi ke ketiak dan
tulang selangka.Nodul limfe berperan penting pada penyebaran kanker payudara
terutama nodul kelenjar di daerah ketiak.

Gambar 2. Anatomi Payudara

B.     Struktur Mikroskopis Payudara


1. Struktur mikroskopis
Payudara terutama etrsusun atas jaringan kelenjar tetapi juga mengandung
sejumlah jaringan lemak dan di tutupi oleh kulit. Jaringan kelenjar ini di bagi

8
menjadi kira-kira 18 lobus yang di pisahkan secara sempurna satu sama lain oleh
lembaran- lembaran jaringan febrosa. Struktur didalamnya dikatakan menyerupai
segmen buah anggur atau jeruk yang dibelah. Setiap lobus merupakan satu unit
fungsional yang berisi dan tersusun atas bangun sebagai berikut :
- Alveoli
Yang mengandung sel-sel yang mensekresi air susu. Setiap alveolus dilapisi oleh
sel-sel yang mensekresi air susu, disebut acini. Yang mengekstraksi faktor-faktor
dari darah yang penting untuk pembentukan air susu. Di sekeliling setiap alveolus
terdapat sel-sel mioepitel yang kadang disebut sel keranjang (basket cell)atau sel
laba-laba (spider cell). Apabila sel-sel ini dirangsang oleh oksitosin akan
berkontraksi sehingga mengalirkan air susu kedalam duktus lactifer.
- Tubulus lactifer, Saluran kecil yang berhubungan dengan alveoli
- Ductus lactifer, Saluran sentral yang merupakan muara beberapa tubulus
lactifer
- Ampulla,
Bagian dari ductus lactifer yang melebar, yang merupakan tempat menyimpan
air susu. Ampulla terletak dibawah areola. Lanjutan masing-masing ductus lactifer
Meluas dari ampulla sampai muara papilla mammae
2. Vaskularisasi
Suplai darah (vaskulaisasi) ke payudara berasal dari arteria mammaria iterna,
arteria mammaria eksterna, dan arteria-arteria intercostalis superior. Drainase
vena melalui pembuluh-pembuluh yang sesuai, dan akan masuk kedalam vena
mammaria interna dan vena axillaris.
3. Drainase limfatik
Drainase limfatik terutama kedalam kelenjar axillaris dan sebagian akan
dialirkan kedalam fissura portae hepar dan kelenjar mediasanum. Pembluh
limfatik dari masing-masing payudara berhubungan satu sama lain.
4. Persyarafan
Fungsi payudara terutama dikendalikan oleh aktivitas hormon.pada kulit
dipersyarafi oleh cabang-cabang nervus thoracalis.Juga terdapat sejumlah saraf
simpatis, terutama disekitar areola dan papilla mammae.

9
C.     Tahap Perkembangan Payudara
Payudara wanita adalah salah satu struktur tubuh yang rumit dan luar
biasa.Payudara wanita mulai tumbuh pada masa puber dan terus berubah seiring
dengan fluktuasi hormonnya. Biasanya payudara mulai kendur pada akhir usia 40-
an. Seperti apa kondisi payudara payudara dalam setiap tahapan usia?
1.      Usia 20-an
Pada masa pubertas ketika tubuh seorang gadis remaja pertama
menghasilkan estrogen dalam jumlah cukup, payudaranya akan berkembang
pesat, membentuk dua kerangka jaringan ikat serta sistem kelenjar, saluran,
pembuluh darah, kelenjar getah bening, dan saraf. Secara bersamaan, payudara
juga mengembangkan sel-sel lemak yang membentuk gumpalan kelenjar
payudara. Payudara juga lebih cepat terpengaruh gaya gravitasi. Untuk
mencegahnya, kenakan bra yang mampu menyangga "aset" Anda ini dengan
sempurna.
2.      Usia 30-an
Selama kehamilan, payudara secara bertahap akan membesar. Boleh jadi
bobot kedua payudara akan bertambah sebanyak setengah kilogram. Peregangan
kulit di sekitar payudara akibat kenaikan berat badan juga bisa mengganggu
produksi kolagen sehingga membuat kulit di sekitar payudara menjadi kendur,
terutama setelah persalinan.Lakukan pemeriksaan payudara sendiri sekali setiap
bulan. Jika ibu atau saudari Anda memiliki riwayat kanker, lakukan mamografi di
usia 35 tahun.
3.      Usia 40-an 
Walaupun Anda belum pernah hamil dan melahirkan, di usia ini kelenjar
penghasil susu (lobule) akan mengecil sehingga payudara terlihat kendur.
Penurunan berat badan yang drastis juga bisa membuat payudara terlihat kendur
akibat lapisan lemak pada payudara menyusut.Push up bra bisa menyiasati hal
tersebut. Mamografi disarankan setahun sekali.
4.      Usia 50-an
Pada saat menopause, perubahan pada payudara yang biasanya terjadi selama
siklus haid tidak terjadi lagi. Namun, risiko kanker payudara akan semakin

10
meningkat seiring bertambahnya usia. Pemeriksaan payudara menjadi lebih
penting lagi dilakukan setelah menopause.
2.1.3 Etiologi
Sebab-sebab keganasan pada mammae masih belum diketahui secara pasti
(Price & Wilson, 1995: 1142), namun ada beberapa teori yang menjelaskan
tentang penyebab terjadinya Ca mammae, yaitu:
a. Mekanisme hormonal
Steroid endogen (estradiol & progesterone) apabila mengalami perubahan
dalam lingkungan seluler dapat mempengaruhi faktor pertumbuhan bagi ca
mammae (Smeltzer & Bare, 2002: 1589).
b. Virus
Invasi virus yang diduga ada pada air susu ibu menyebabkan adanya massa
abnormal pada sel yang sedang mengalami proliferasi.
c. Genetik
– Ca mammae yang bersifat herediter dapat terjadi karena adanya “linkage
genetic” autosomal dominan (Reeder, Martin, 1997).
– Penelitian tentang biomolekuler kanker menyatakan delesi kromosom 17
mempunyai peranan penting untuk terjadinya transformasi malignan
(Reeder, Martin, 1997).
– mutasi gen BRCA 1 dan BRCA 2 biasanya ditemukan pada klien dengan
riwayat keluarga kanker mammae dan ovarium (Robbin & kumar, 1995)
serta mutasi gen supresor tumor p 53 (Murray, 2002).
d. Defisiensi imun
Defesiensi imun terutama limfosit T menyebabkan penurunan produksi
interferon yang berfungsi untuk menghambat terjadinya proliferasi sel dan
jaringan kanker dan meningkatkan aktivitas antitumor .
Faktor resiko Ca mammae, terdiri dari: (Murray,2002)
1. wanita
2. Usia (resiko Ca mammae meningkat pada wanita yang berusia > 50
tahun)
3. mutasi gen BRCA 1 dan BRCA 2; mutasi pada gen tumor p 53

11
4. Riwayat pribadi ca mammae/kelainan mammae pada mammae
sebelahnya
5. riwayat keluarga, ibu atau saudara perempuan kandung (+) kanker
6. Ras ( wanita kulit putih kebih beresiko dari wanita kulit hitam)
7. Riwayat penyinaran/roentgen pada daerah dada pada wakut anak-anak
atau remaja sebagai terapi untuk karsinoma yang lain
8. Hasil biopsi mammae
– hyperplasia atipikal
– penyakit proliperatif mammae tanpa sel atipikal atauhiperplasia biasa
– perubahan fibrokistik tanpa perubahan proliferatif
9. Nullipara
10. Hamil pertama sesudah usia 30 tahun
11. Menarche dini (usia < 12 tahun)
12. Menopause pada usia lanjut (. 30 tahun sesudah menarche)
13. Penggunaan terapi hormone pengganti jika progesteron diresepkan.
14. Gaya hidup, diet tinggi lemak dan protein, rendah serat.

Asupan kalori yang berlebihan terutama yang berasal dari lemak binatang
dan kebiasaan makan makanan yang kurang serat meninggikan resiko terhadap
berbagai keganasan seperti kanker mammae dan kanker colon, namun hal tersebut
belum terbukti ( Syamsuhidayat,R& Wim de jong, 1997: 165 )
Studi terbaru menunjukkan hubungan yang lemah atau tidak menyeluruh
antara diet tinggi lemak dan Kanker mamma ( Smeltzer & Bare, 2002: 1590).
Smeltzer menambahkan kontrasepsi oral, alcohol, pengangkatan ovarium
pada usia lebih dari 40tahun sebagai faktor resiko kanker mammae
Menurut C. J. H. Van de Velde, penyebab Ca Mammae :
1. Ca Payudara yang terdahulu
Terjadi malignitas sinkron di payudara lain karena mammae adalah organ
berpasangan
2. Keluarga
Diperkirakan 5 % semua kanker adalah predisposisi keturunan ini, dikuatkan
bila 3 anggota keluarga terkena carsinoma mammae.

12
3. Kelainan payudara ( benigna )Kelainan fibrokistik ( benigna ) terutama pada
periode fertil, telah ditunjukkan bahwa wanita yang menderita / pernah
menderita yang porliferatif sedikit meningkat.
4. Makanan, berat badan dan faktor resiko lain
Status sosial yang tinggi menunjukkan resiko yang meningkat, sedangkan berat
badan yang berlebihan ada hubungan dengan kenaikan terjadi tumor yang
berhubungan dengan oestrogen pada wanita post menopouse.
5. Faktor endokrin dan reproduksi
Graviditas matur kurang dari 20 tahun dan graviditas lebih dari 30 tahun,
Menarche kurang dari 12 tahun
6. Obat anti konseptiva oral
Penggunaan pil anti konsepsi jangka panjang lebih dari 12 tahun mempunyai
resiko lebih besar untuk terkena kanker.

2.1.4 Patofisiologi
A. Patologi Anatomi Tumor/ Kanker Payudara
Patologi anatomi atau kelainan anatomi payudara yang paling sering terjadi
disebabkan oleh tumor.Tumor terdiri dari tumor jinak dan tumor ganas.Tumor
jinak memiliki karakter sel yang sangat mirip dengan jaringan asalnya dan relatif
tidak berbahaya karena umumnya tumor jinak tetap dilokalisasi, tidak dapat
menyebar ke tempat lain, dan mudah untuk dilakukan pengangkatan tumor
dengan pembedahan lokal.
Tumor dikatakan ganas apabila dapat menembus dan menghancurkan struktur
yang berdekatan dan menyebar ke tempat yang jauh (metastasis) dan umumnya
dapat menyebabkan kematian.Sifat ini sesuai dengan penamaannya kanker yang
berasal dari bahasa Latin yang berarti kepiting, melekat pada setiap bagian dan
mencengkeram dengan erat seperti seekor kepiting.
B. Tumor jinak memiliki berbagai bentuk, antara lain :
1. Kelainan fibrokistik
Terdiri dari bentukan kista (kantung) yang bisa dalam jumlah banyak dan
pembentukan jaringan ikat.Keluhan yang paling sering adalah nyeri.
2. Fibroadenoma

13
Tumor jinak yang banyak terdapat pada wanita muda.Fibroadenoma teraba
sebagai tumor benjolan bulat dengan permukaan yang licin dan konsistensi
padat kenyal.Tumor ini tidak melekat ke jaringan sekitarnya dan amat mudah
digerakkan.Benjolan ini biasanya tidak nyeri, bisa tumbuh banyak
(multipel).Pertumbuhan tumor bisa cepat sekali selama kehamilan dan
menyusui atau menjelang menopause saat rangsangan estrogen tinggi tapi
setelah menopause tumor jenis ini tidak ditemukan lagi.
3. Tumor filoides
Tumor jinak yang bersifat menyusup secara lokal dan seperti tumor
ganas.Tumor ini biasanya terjadi pada umur 35-40 tahun.Kulit diatas tumor
mengkilap, regang, tipis, merah dengan pembuluh-pembuluh darah balik
(vena) yang melebar dan panas.Meskipun mirip dengan kanker, tumor ini
tidak mengalami penyebaran (metastasis) hanya merusak jaringan
lokal.Tumor ini pertumbuhannya cepat dan sering timbul kematian sel
(nekrosis) dan radang pada kulit dan kambuhan.
4. Papiloma intraduktus
Tumor jinak dari saluran air susu (duktus laktiferus) dan 75% tumbuh di
bawah areola payudara. Gejalanya berupa keluarnya cairan berdarah dari
puting susu.
5. Adenosis sklerosis
Secara klinis, tumor ini teraba seperti kelainan fibrokistik tetapi secara
histopatologi tampak proliferasi jinak.
6. Mastitis sel plasma
Tumor ini merupakan radang subakut yang didapat pada sistem saluran di
bawah areola payudara. Gambarannya sulit dibedakan dengan tumor ganas
yaitu berkonsistensi keras, bisa melekat ke kulit, dan menimbulkan retraksi
puting susu akibat pembentukan jaringan ikat (fibrosis) sekitar saluran dan
bisa terdapat pembesaran kelenjar getah bening ketiak.
7. Nekrosis lemak
Biasanya disebabkan oleh cedera berupa massa keras yang sering agak nyeri
tetapi tidak membesar. Kadang terdapat retraksi kulit dan batasnya biasanya
tidak rata.Secara klinis, sukar dibedakan dengan tumor ganas.

14
8. Kelainan lain
Tumor jinak lemak (Lipoma), tumor jinak otot polos (leimioma), dan kista
sebasea (kelenjar minyak) merupakan tumor yang mungkin terdapat di
payudara tetapi tidak bersangkutan dengan jaringan kelenjar payudara.

C. Tumor ganas atau kanker payudara juga memiliki beberapa tipe, antara
lain :
1. Ductal Carcinoma In-Situ (DCIS)
Merupakan tipe kanker payudara yang paling dini dan terbatas hanya di
dalam sistem duktus.
2. Infiltrating Ductal Carcinoma (IDC)
Tipe yang paling sering terjadi, mencapai 78% dari semua keganasan.Pada
pemeriksaan mammogram didapatkan lesi berbentuk seperti bintang (stellate)
atau melingkar.Apabila lesi berbentuk seperti bintang maka prognosis atau
angka kesembuhan pasien sangat rendah.
3. Medullary Carcinoma
Tipe ini paling sering terjadi pada wanita berusia akhir 40 tahun dan 50
tahun.Menghasilkan gambaran sel seperti bagian abu-abu (medulla) pada
otak.Terjadi sebanyak 15% dari kasus kanker payudara.
4. Infiltrating Lobular Carcinoma (ILC)
Tipe kanker payudara yang biasanya tampak sebagai penebalan di kuadran
luar atas dari payudara.Tumor ini berespon baik terhadap terapi
hormon.Terjadi sebanyak 5% dari kasus kanker payudara.
5. Tubular Carcinoma
Tipe ini banyak ditemukan pada wanita usia 50 tahun keatas. Pada
pemeriksaan mikroskopik gambaran struktur tubulusnya sangat khas.Terjadi
sebanyak 2% dari kasus kanker payudara dan angka 10 ysr (year survival
rate) mencapai 95%.
6. Mucinous Carcinoma (Colloid)

15
Kanker payudara yang angka kesembuhannya paling tinggi. Perubahan yang
terjadi terutama pada produksi mucus dan gambaran sel yang sulit ditentukan,
terjadi sebanyak 1-2% dari seluruh kasus kanker payudara

7. Inflammatory Breast Cancer (IBC)


Tipe kanker payudara yang paling agresif dan jarang terjadi.Kanker ini dapat
menyebabkan saluran limfe pada payudara dan kulit terbuntu.Disebut
inflammatory (keradangan) karena penampakan kanker yang membengkak
dan merah. Di Amerika, terjadi 1%-5% dari seluruh kasus kanker payudara.
2.1.5 Komplikasi/Dampak Masalah
a. Dini :
- Pendarahan merupakan suatu kejadian dimana keluarnya darah dari
pembulu darah yang diakibatkan pembulu darah tersebut mengalami
kerusakan, dan kerusakan ini di sebabkan oleh ruda paksa (trauma)
b. Lambat :
- Infeksi merupakan suatu keadaan dimana adanya suatu organisme pada
jaringan tubuh yang di sertai dengan gejala klinis baik itu bersifat lokal
maupun sistemik, jika agen yang masuk ke tubuh virus maka demam
bersifat mendadak, tapi jika yang masuk ke tubuh bakteri maka demam
bersifat
- Nekrosis merupakan kematian sel ireversibel yang terjadi ketika sel cedera
berat dalam waktu lama dimana sel tidak mampu beradaptasi lagi atau
memperbaiki diri sendiri, hal ini terjadi ketika tidak ada cukupan darah
mengalir ke jaringan
- Edema lengan merupakan penimbunan cairan secara berlebihan diantara
sel-sel tubuh atau di dalam berbagai rongga tubuh karena penurunan
konsentrasi protein plasma menyebabkan tekanan osmotik plasma,
penurunan ini mengakibatkan filtrasi cairan yang keluar dari pembulu
lebih tinggi sementara jumlah cairan yang direabsorbsi kurang dari normal
dengan demikian terdapat cairan tambahan yang tertinggal di ruang
interstisiil
- Kekakuan sendi bahu / kontraktur

16
2.1.6 Indikasi dan Kontraindikasi
 Indikasi dilakukan MRM :
a. Kanker payudara stadium dini (I,II)
b. Kanker payudara stadium lanjut lokal dengan persyaratan tertentu
c. Keganasan jaringan lunak pada payudara.
 Kontra indikasi dilakukan MRM :
a. Tumor melekat dinding dada
b. Edema lengan
c. Nodul satelit yang luas
d. Mastitis inflamatoar

Tipe-tipe Mastektomi
1) Mastektomi Preventif (Preventive Mastectomy)
        Mastektomi preventif disebut juga prophylactic mastectomy. Operasi ini
dapat berupa total mastektomi dengan mengangkat seluruh payudara dan puting.
Atau berupa subcutaneous mastectomy, dimana seluruh payudara diangkat namun
puting tetap dipertahankan. Penelitian menunjukkan bahwa tingkat kekambuhan
kanker payudara dapat dikurangi hingga 90% atau lebih setelah mastektomi
preventif pada wanita dengan risiko tinggi.
2) Mastektomi Sederhana atau Total (Simple or Total Mastectomy)
        Mastektomi dengan mengangkat payudara berikut kulit dan putingnya,
namun simpul limfe masih dipertahankan. Pada beberapa kasus, sentinel node
biopsy terpisah dilakukan untuk membuang satu sampai tiga simpul limfe
pertama.
3) Mastektomi Radikal Termodifikasi (Modified Radical Mastectomy)
        Terdapat prosedur yang disebut modified radical mastectomy (MRM)-
mastektomi radikal termodifikasi. MRM memberikan trauma yang lebih ringan
daripada mastektomi radikal, dan ssat ini banyak dilakukan di Amerika. Dengan

17
MRM, seluruh payudara akan diangkat beserta simpul limfe di bawah ketiak,
tetapi otot pectoral (mayor dan minor) – otot penggantung payudara – masih tetap
dipertahankan. Kulit dada dapat diangkat dapat pula dipertahankan, Prosedur ini
akan diikuti dengan rekonstruksi payudara yang akan dilakukan oleh dokter bedah
plastik.
4.  Mastektomi Radikal (Radical Mastectomy)
        Mastektomi radikal merupakan pengangkatan payudara ‘komplit’, termasuk
puting. Dokter juga akan mengangkat seluruh kulit payudara, otot dibawah
payudara, serta simpul limfe (getah bening). Karena mastektomi radikal ini tidak
lebih efektif namun merupakan bentuk mastektomi yang lebih ‘ekstrim’ , saat ini
jarang dilakukan.
4. Mastektomi Parsial atau Segmental (Partial or Segmental Mastectomy)
        Dokter dapat melakukan mastektomi parsial kepada wanita dengan kanker
payudara stadium I dan II. Mastektomi parsial merupakan breast-conserving
therapy- terapi penyelamatan payudara yang akan mengangkat bagian payudara
dimana tumor bersarang. Prosedur ini biasanya akan diikuti dengan terapi radiasi
untuk mematikan sel kanker pada jaringan payudara yang tersisa. Sinar X
berkekuatan penuh akan ditembakkan pada beberapa bagian jaringan payudara.
Radiasi akan membunuh kanker dan mencegahnya menyebar ke bagian tubuh
yang lain.
5.  Quandrantectomy
        Tipe lain dari mastektomi parsial disebut quadrantectomy. Pada prosedur ini,
dokter akan mengangkat tumor dan lebih banyak jaringan payudara dibandingkan
dengan lumpektomi.
Mastektomi tipe ini akan mengangkat seperempat bagian payudara, termasuk kulit
dan jaringan konektif (breast fascia).  Cairan berwarna biru disuntikkan untuk
mengidentifikasi simpul limfe yang mengandung sel kanker.
6. Lumpectomy atau sayatan lebar,
        Merupakan pembedahan untuk mengangkat tumor payudara dan sedikit
jaringan normal di sekitarnya.  Lumpektomi (lumpectomy) hanya mengangkat
tumor dan sedikit area bebas kanker di jaringan payudara di sekitar tumor. Jika sel
kanker ditemukan di kemudian hari, dokter akan mengangkat lebih banyak

18
jaringan. Prosedur ini disebuat re-excision (terjemahan : pengirisan/penyayatan
kembali).
        Biopsi dengan sayatan juga mengangkat tumor payudara dan sedikit jaringan
normal di sekitarnya. Kadang, pembedahan lanjutan tidak diperlukan jika biopsy
dengan sayatan ini berhasil mengangkat seluruh tumor.

Prosedur tindakan Mastektomi

Secara singkat tekhnik operasi dari mastektomi radikal modifikasi dapat


dijelaskan sebagai berikut:
1) Penderita dalam general anaesthesia, lengan ipsilateral dengan yang
dioperasidiposisikan abduksi 900, pundak ipsilateral dengan yang dioperasi
diganjal bantal tipis.
2) Desinfeksi lapangan operasi, bagian atas sampai dengan pertengahan leher,
bagian bawah sampai dengan umbilikus, bagian medial sampai pertengahan
mammma kontralateral, bagian lateral sampai dengan tepi lateral skapula.
Lengan atas didesinfeksi melingkar sampai dengan siku kemudian dibungkus
dengan doek steril dilanjutkan dengan mempersempit lapangan operasi
dengan doek steril
3) Bila didapatkan ulkus pada tumor payudara, maka ulkus harus ditutup dengan
kasa steril tebal ( buick gaas) dan dijahit melingkar.
4) Dilakukan insisi (macam –macam insisi adalah Stewart, Orr, Willy Meyer,
Halsted, insisi S) dimana garis insisi paling tidak berjarak 2 cm dari tepi
tumor, kemudian dibuat flap.
5) Flap atas sampai dibawah klavikula, flap medial sampai parasternal ipsilateral,
flap bawah sampai inframammary fold, flap lateral sampai tepi anterior m.
Latissimus dorsi dan mengidentifikasi vasa dan. N. Thoracalis dorsalis
6)  Mastektomi dimulai dari bagian medial menuju lateral sambil merawat
perdarahan, terutama cabang pembuluh darah interkostal di daerah
parasternal. Pada saat sampai pada tepi lateral m.pektoralis mayor dengan
bantuan haak jaringan maamma dilepaskan dari m. Pektoralis minor dan
serratus anterior (mastektomi simpel).

19
7) Diseksi aksila dimulai dengan mencari adanya pembesaran KGB aksila Level I
(lateral m. pektoralis minor), Level II (di belakang m. Pektoralis minor) dan
level III ( medial m. pektoralis minor). Diseksi jangan lebih tinggi pada
daerah vasa aksilaris, karena dapat mengakibatkan edema lengan. Vena-vena
yang menuju ke jaringan mamma diligasi. Selanjutnya mengidentifikasi vasa
dan n. Thoracalis longus, dan thoracalis dorsalis, interkostobrachialis. KGB
internerural selanjutnya didiseksi dan akhirnya jaringan mamma dan KGB
aksila terlepas sebagai satu kesatuan (en bloc)
8)  Lapangan operasi dicuci dengan larutan sublimat dan Nacl 0,9%.
9)  Semua alat-alat yang dipakai saat operasi diganti dengan set baru, begitu juga
dengan handschoen operator, asisten dan instrumen serta doek sterilnya.
10) Evaluasi ulang sumber perdarahan
11) Dipasang 2 buah drain, drain yang besar ( redon no. 14) diletakkan dibawah
vasa aksilaris, sedang drain yang lebih kecil ( no.12) diarahkan ke medial.
12)  Luka operasi ditutup lapais demi lapis

20
2.1.7 WOC ( web of caution)

Perioperatif KANKER PAYUDARA

-Prosedur pembedahan
-Acaman konsep diri CEMAS
-Perubahan status kesehatan
-Krisis situasional

-Penurunan tek inspirasi dan ekspirasi akibat agent anesthesia -jalan nafas tidak efektif
Intraoperatif
-prosedur bedah -Resiko infeksi
-Resiko cedera MASTEKTOMI -Resiko cedera

Postoperatif

Pengangkatan jaringan
Prosedur
Prosedur
pembedahan
bedah yg mengubah gambaran
Gangguantubuh
neuromuskuler
Kurang informasi

Kerusakan Integritas kulit Nyeri Kerusakan


Gangguan konsep diri (gambaran mobilitas
diri) Kurang fisik
pengetahuan ttg kondisi, prognos

21
Pemeriksaan Penunjang dan Laboratorium

Pemeriksaan Penunjang :

1. Mamografi: memperlihatkan struktur internal payudara, dapat mendeteksi


kanker yang tak teraba atau tomur yang terjadi pada tahap awal.
2. Galaktografi: mamogram dengan kontras dilakukan dengan
menginjeksikan zat kontras kedalam aliran duktus.
3. Ultrasound: dapat membantu dalam membedakan antara massa padat dan
kista dan pada wanita yang jaringan payudaranya keras;hasil komplement
dari mamografi.
4. Xeroradiografi: menyatakan peningkatan sirkulasi sekitar sisi tumor.
5. Termografi: mengidentifikasikan pertubuhan cepat tumor sebagai “titik
panas” karena peningkatan suplai darah dan penyesuaian suhu kulit yang
lebih tinggi.
6. Diafanografi (transimulasi): mengidentifikasi tumor atau massa dengan
membedakan bahwa jaringan mentransmisikan dan menyebarkan sinar.
Prosedur masih diteliti dan dipertimbangkan kurang akurat daripada
mamografi.
7. CT-scan dan MRI: teknik scan yang dapat mendeteksi penyakit payudara,
khususnya massa yang lebih besar, atau tumor kecil, payudara mengeras
yang sulit diperiksa dengan mamografi. Teknik ini tidak bisa untuk
pemeriksaan rutin dan tidak untuk mamografi.
8. Biopsi payudara(jarum atau eksisi): memberikan diagnosa definitive
terhadap massa dan berguna untuk klasifikasi histology pentahapan, dan
seleksi terapi yang tepat
9. Asai hormon reseptor: menyatakan apakah sel tumor atau spesimen biopsi
mengandung reseptor hormon (estrogen dan progesteron). Pada sel
malignan, reseptor kompleks estrogen-plus merangsang pertumbuhan
danpembagian sel. Kurang lebih dua pertiga semua wanita dengan kanker
payudara reseptor estrogennya positif dan cenderung berespon baik
terhadap terapi hormon menyertai terapi primer untuk memperluas periode
bebas penyakit dan kehidupan.

22
10. Foto dada, pemeriksaan fungsi hati, hitung sel darah, dan scan
tulang:dilakukan untuk mengkaji adanya metastase.

Pemeriksaan Laboratorium :
Pemeriksaan labortorium meliputi: Morfologi sel darah, LED, Test fal
marker (CEA) dalam serum/plasma, Pemeriksaan sitologis 
a.  Perawatan Intraoperatif
Fase intra operatif dimulai ketika pasien masuk atau dipindah ke instalasi
bedah dan berakhir saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan.
Aktivitas keperawatan yang dilakukan selama tahap intra operatif meliputi 4
hal, yaitu :
1) Safety Management (Pengaturan posisi pasien)
- Faktor penting yang harus diperhatikan ketika mengatur posisi di
ruang operasi adalah: daerah operasi, usia, berat badan pasien, tipe
anastesidan nyeri. Posisi yang diberikan tidak boleh mengganggu
sirkulasi, respirasi, tidak melakukan penekanan yang berlebihan
pada kulit dan tidak menutupi daerah atau medan operasi.
- Kesejajaran fungsional maksudnya adalah memberikan posisi yang
tepat selama operasi. Operasi yang berbeda akan membutuhkan
posisi yang berbeda pula à supine
- emajanan area pembedahan maksudnya adalah daerah mana yang
akan dilakukan tindakan pembedahan. Dengan pengetahuan
tentang hal ini perawat dapat mempersiapkan daerah operasi
dengan teknik drapping
- Mempertahankan posisi sepanjang prosedur operasidengan tujuan
untuk mempermudah proses pembedahan juga sebagai bentuk
jaminan keselamatan pasien dengan memberikan posisi fisiologis
dan mencegah terjadinya injury.
- Memasang alat grounding ke pasien
- Memberikan dukungan fisik dan psikologis pada klien untuk
menenagkan pasien selama operasi sehingga pasien kooperatif.

23
- Memastikan bahwa semua peralatan yang dibutuhkan telah siap
seperti : cairan infus, oksigen, jumlah spongs, jarum dan instrumen
tepat.
2) Monitoring Fisiologis
- Melakukan balance cairan
- Memantau kondisi cardiopulmonal meliputi fungsi pernafasan, nadi,
tekanan darah, frekuensi denyut jantung, saturasi oksigen,
perdarahan dll.
- Pemantauan terhadap perubahan vital sign
3) Monitoring Psikologis
- Memberikan dukungan emosional pada pasien
- Berdiri di dekat klien dan memberikan sentuhan selama prosedur
induksi
- Mengkaji status emosional klien
- Mengkomunikasikan status emosional klien kepada tim kesehatan
(jika ada perubahan)
4) Pengaturan dan koordinasi Nursing Care
- Memanage keamanan fisik pasien
- Mempertahankan prinsip dan teknik asepsis

b. Perawatan Post Operasi Mastektomi


 Fase pasca anesthesia.
Setelah dilakukan mastektomi, penderita dipindah ke ruang pemulihan disertai
dengan oleh ahli anesthesia dan staf profesional lainnya.
1)  Mempertahankan ventilasi pulmoner.
Menghindari terjadiya obstruksi pada periode anestesi pada saluran
pernafasan, diakibatkan penyumbatan oleh lidah yang jatuh, kebelakang dan
tumpukan sekret, lendir yang terkumpul dalam faring trakea atau bronkhial
ini dapat dicegah dengan posisi yang tepat dengan posisi miring/setengah
telungkup dengan kepala ditengadahkan bila klien tidak bisa batuk dan
mengeluarkan dahak atau lendir, harus dilakukan penghisapan dengan
suction.

24
2)  Mempertahankan sirkulasi
Pada saat klien sadar, baik dan stabil, maka posisi tidur diatur ”semi fowler”
untuk mengurangi oozing venous (keluarnya darah dari pembuluh-
pembuluh darah halus) lengan diangkat untuk meningkatkan sirkulasi dan
mencegah terjadinya udema, semua masalah ini gangguan rasa nyaman
(nyeri) akibat dari sayatan luka operasi merupakan hal yang pailing sering
terjadi
3)  Masalah psikologis.
Payudara merupakan alat vital seseorang ibu dan wanita, kelainan atau
kehilangan akibat operasi payudara sangat terasa oleh pasien,haknya seperti
dirampas sebagai wanita normal, ada rasa kehilangan tentang hubungannya
dengan ssuami, dan hilangnya daya tarik serta serta pengaruh terhadap anak
dari segi menyusui.
4)  Mobilisasi fisik.
Pada pasien pasca mastektomi perlu adanya latihan-latihan untuk mencegah
atropi otot-otot kekakuan dan kontraktur sendi bahu, untuk mencegah
kelainan bentuk (diformity) lainnya, maka latihan harus seimbang dengan
menggunakan secara bersamaan.

 Perawatan post operasi Mastektomi


1)    Pemasangan plester /hipafik
Dalam hal ini pemasangan plester pada operasi mastektomi hendaknya
diperhatikan arah tarikan-tarikan kulit (langer line) agar tidak melawan
gerakkan-gerakkan alamiah, sehingga pasien dengan rileks menggerakkan
sendi bahu tanpa hambatan dan tidak nyeri untuk itu perlu diperhatikan cara
meletakkan kasa pada luka operasi dan cara melakukan fiksasi plester pada
dinding dada diantaranya :
- Plester medial melewati garis midsternal
- Plester posterior melewati garis axillaris line/garis ketiak
- Plester posterior(belakang) melewati garis axillaris posterior.
- Plester superior tidak melewati clavicula
- Plester inferior harus melewati lubang drain

25
Untuk dibawah klavicula ujug hifavik dipotong miring seperti memotong
baju dan dipasang miring dibawah ketiak sehingga tidak mengangu grakkan
tangan.
2)    Perawatan pada luka eksisi tumor.
Bila dikerjakan tumorektomi,pakai hipafik ukuran 10 cm yang dibuat seperti
BH sehingga menyangga payudara .
3)    Klien yang dikerjakan transplantasi kulit kalau kasa penutup luka basah
dengan darah atau serum harus segera diganti, tetapi bola penutup (thiersch)
tidak boleh dibuka.
4)    Pemberian injeksi dan pengambilan darah.
5)    Pengukuran tensi

2.1.8 PENATALAKSANAAN MEDIS


1. Pembedahan
1) Terapi bedah bertujuan kuratif dan paliatif
2) Jenis terapi : lokal /lokoregional
3) Jenis terapi : terapi utama /terapi tambahan
4) Prinsif terapi kuratif bedah
5) Pengangkatan sel kanker secara kuratif dapat dilakukan dengan cara :
a. Modified radikal mastektomi
b. Breast conversing treatment (BCT) ± rekontruksi payudara
c. Tumorrektomi /lumpektomi /kuadran tektomi /parsial mastektomi
± diseksi axsila
Pengobatan bedah kuratif dilakukan pada kanker payudara dini
(stadium 0, I, dan II), dan pegobatan paliatif bedah adalah dengan
mengangkat kanker payudara secara makroskopis dan masih
meninggalkan sel kanker secara mikroskopis dan biasanya dilakukan
pada stadium II dan IV dan juga untk mengurangi keluhan-keluhan
penderita baik perdarahan, patah tulang dan pengobatan ulkus
a. Mastectomy radikal yang dimodifikasi
Pengangkatan payudara sepanjang nodu limfe axila sampai otot
pectoralis mayor. Lapisan otot pectoralis mayor tidak diangkat

26
namun otot pectoralis minor bisa jadi diangkat atau tidak
diangkat.
b. Mastectomy total
Semua jaringan payudara termasuk puting dan areola dan lapisan
otot pectoralis mayor diangkat. Nodus axila tidak disayat dan
lapisan otot dinding dada tidak diangkat.
c. Lumpectomy/tumor
Pengangkatan tumor dimana lapisan mayor dri payudara tidak
turut diangkat. Exsisi dilakukan dengan sedikitnya 3 cm jaringan
payudara normal yang berada di sekitar tumor tersebut.
d. Wide excision/mastektomy parsial.
Exisisi tumor dengan 12 tepi dari jaringan payudara normal.
e. Ouadranectomy.
Pengangkatan dan payudara dengan kulit yang ada dan lapisan
otot pectoralis mayor.
2. Radiotherapy
1) Biasanya merupakan kombinasi dari terapi lainnya tapi tidak jarang
pula merupakan therapi tunggal. Adapun efek samping: kerusakan
kulit di sekitarnya, kelelahan, nyeri karena inflamasi pada nervus atau
otot pectoralis, radang tenggorokan.
2) Pegobatan radioterapi adalah untuk pengobatan lokal /lokal regional
yang sifatnya bisa kuratif atau paliatif. Radioterapi dapat merupakan
terapi utama , misalnya pada operasi BCT dan kanker payudara
stadium lanjut III. Sebagai terapi tambahan/adjuvan biasanya diberikan
bersama dengan terapi bedah dan kemoterapi pada kanker stadium I, II
dan IIIA . Pengobatan kemoterapi umumnya diberikan dalam regimen
poliferasi lebih baik dibanding pemberian pengobatan monofaramasi /
monoterapi
3. Chemotherapy
a. Pemberian obat-obatan anti kanker yang sudah menyebar dalam
aliran darah. Efek samping: lelah, mual, muntah, hilang nafsu
makan, kerontokan membuat, mudah terserang penyakit.

27
b. Pengobatan kemoterapi adalah pengobatan sisitemik yang
menggunakan obat-obat sitostatika melalui aliran sistemik, sebagai
terapi utama pada kanker stadium lanjut (stadium IIIB dan IV) dan
sebagai terapi tambahan
c. Pada kasus karsinoma mammae dapat dilakukan pengobatan
dengan radiasi dan pengangkatan mammae (Mastektomi).
Pengangkatan tergantung sejauh mana pertumbuhan dan
penyebaranya dipilih berdasar stadiumnya.dan chemoterapy
4. Manipulasi hormonal.
a. Biasanya dengan obat golongan tamoxifen untuk kanker yang
sudah bermetastase. Dapat juga dengan dilakukan bilateral
ophorectomy. Dapat juga digabung dengan therapi endokrin
lainnya.
b. Pengobatan hormon terapi untuk pengobatan sistemik untuk
meningkatkan survival, yaitu dengan pemberian anti esterogen,
pemberian hormon aromatase inhibitor, antiGn RH, ovorektomi.
Pemberian hormon ini sebagai adjuvan stadium I, II, III, IV
terutama pada pasiien yangreceptor hormon positif, hormon terpi
dapat juga digunakan sebagai terapi pravelensi kanker payudara.
5. Terapi Paliatif dan pain
Terapi paliatif untuk dapat dikerjakan sesuai dengan keluhan pasien, untuk
tujuan perbaikan kualitas hidup. Dapat bersifat medikamentosa, paliatif
(pemberian obat-obat paliatif) dan non medicamentosa (radiasi paliatif dan
pembedahan paliatif)
6. Immunoterapi dan ioterapi
1) Sampai saat ini penggunaan immunoterapi seperti pemberian
interferon, modified molekuler, biologi agent, masih bersifat terbatas
sebagai terapi adjuvan untuk mendukung keberhasilan pengobatan-
pengobatan lainnya.
2) Pengobatan bioterapi dengan rekayasa genetika untuk mengoreksi
mutasi genetik untuk mengoreksi mutasi genetik masih dalam
penelitian.

28
2.2 KONSEP ANESTESI

2.2.1 Pengertian

Anestesi dapat dibagi menjadi dua macam,yaitu anestesi umum dan anestesi
regional. Anestesi umum masih dibagi lagi menurut cara pemberiannya yaitu
inhalasi dan parenteral.

Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah anestesi umum, yaitu
meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat
reversible. Dalam memberikan obat-obat anestesi pada penderita yang akan
menjalani operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi,
induksi, maintenance, dan lain-lain.

2.2.2 Tujuan

Anestesi umum menjamin hidup pasien yang memungkinkan operator


melakukan tindakan bedah dengan leluasa dan terbebas dari rasa nyeri.

2.2.3 Kontraindikasi

Tergantung efek farmakologi pada organ yang mengalami kelainan (harus


hindari pemakaian obat)

 Hepar : dosis dikurangi/ dosis obat diturunkan.

 Jantung : obat-obat yang mendepresi miokard/ menurunkan aliran

aliran darah coroner

 Ginjal : obat yang disekresi di ginjal

 Paru : obat yang merangsang sekresi paru

 Endokrin : hindari obat yang meningkatkan kadar gula /hindarkan pe-

makaian obat yang merangsang susunan saraf simpatis

pada diabetes, karena menyebabkan peninggian gula

darah.

29
2.2.4 Persiapan

2.2.4.1 Persiapan Alat

1) Pengertian Mesin Anestesi


Mesin anestesi adalah alat-alat anestesi dan perlengkapannya yang
digunakan untuk memberikan anestesi umum secara inhalasi ( Muhadi
M, 1989 )
Suatu alat yang digunakan untuk menyalurkan gas atau campuran
gas anastetik yang aman ke rangkaian anestesi yang kemudian dihisap
oleh pasien dan membuang sisa gas dari pasien. ( Said.A Latief, dkk,
2001). Rangkaian mesin anestesi banyak sekali ragamnya mulai dari
yang sederhana sampai yang diatur dengan computer.

2) Fungsi Mesin Anestesi


Fungsi mesin anestesi (mesin gas) ialah menyalurkan gas atau
campuran gas anestetik yang aman kerangkaian sirkuit anestetik yang
kemudian dihisap oleh pasien dan membuang sisa campuran gas dari
pasien.
Mesin yang aman dan ideal adalah mesin yang memenuhi
persyaratan berikut:
a.       Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat
b.      Ruang rugi ( dead space ) minimal
c.       Mengeluarkan CO2 dengan efesien
d.      Bertekanan rendah
e.       Kelembaban terjaga dengan baik
f.       Penggunaannya sangat mudah dan aman
Mesin anestetik adalah teman akrab anestesis atau anestesiologis
yang harus selalu siap pakai, kalo akan dipergunakan. Mesin anestetik
modern dilengkapi langsung dengan ventilator mekanik dan alat
pantau.
Tidak ada alat yang sangat dihubungkan dengan praktek anestesi
dibandingkan dengan mesin anestesi (Figure 4-1). Yang paling dasar,

30
anestesiologis mengunakan mesin anestesi untuk mengontrol
pertukaran gas pasien dan memberikan anastetik inhalasi.  Mesin
anestesi modern telah lebih canggih dan memiliki banyak komponen
keamanan, breathing circuit, monitor dan ventilator mekanis, dan satu
atau lebih mikroprosessor yang dapat mengintegrasi dan memonitor
seluruh komponen.  Monitor dapat ditambahkan secara eksternal dan
sering masih dapat diintegrasikan secara penuh.  Lebih lanjut, modular
desainnya memberikan banyak pilihan configurasi dan pilihan dari satu
jenis produk.  Penggunaan mikroprosessor memberikan pilihan seperti
mode ventilator yang canggih, perekaman otomatis, dan networking
dengan monitor lokal atau jauh dan juga dengan sistem informasi
rumah sakit.  Ada dua produsen utama mesin anestesi di Amerika,
Datex-Ohmeda (GE Healthcare) dan Draeger Medical. Fungsi yang
benar dari alat sangat penting bagi keselamatan pasien.
3) Komponen Dasar Mesin Anestesi
Secara umum mesin anestesi terdiri dari 3 komponen yang saling
berhubungan, yaitu :
a.      Komponen 1
1)      Sumber gas
2)      Penunjuk aliran gas ( PAG ) atau flowmeter
3)      Dan alat penguap ( vaporizer )
4)      Oksigen flush control yang dapat mengalirkan O2 murni 35-
37 Liter/menit tanpa melalui meter aliran gas pada keadaan
darurat
b.      Komponen 2
Sirkuit nafas : system lingkar, system magill
c.       Komponen 3
A1at yang menghubungkan sirkuit nafas dengan pasien : sungkup
muka (face mask), pipa endotrakeal ( ETT )

31
   Keterangan Komponen Satu
1)      Sumber gas
Tersimpan dalam tabung-tabung khusus dibawah tekanan
tinggi.dapat disimpan dalam bentuk gas (O2, udara ) maupun
dalam bentuk cair ( N2O, CO2, C6H6 ). Masing-masing tabung gas
mempunyai alat pengukur tekanan ( regulator ) khusus. Regulator
ini menunjukkan tekanan gas didalam tabung dan dapat
menurunkan tekanan, dengan pertolongan pressure reducting
valve( katup penurun tekanan ). Mesin anestesi bekerja efektif pada
tekanan 50-60 PSI atau 3-4 atm.
Sebelum membuka tabung gas, yakinlah bahwa regulator sudah
benar-benar terpasang dan sudah ada hubungan antara regulator
dan PAG atau flowmeter. Tabung gas dapat dibuka dengan cara
memutar logam ( berbentuk kotak kecil yang ada dipuncak tabung )
kearah berlawanan dengan arah jarum jam dengan alat pembuka
khusus atau alat lain.
Pada rumah sakit besar dengan banyak kamar operasi, mungkin
tidak dijumpai tabung-tabung gas tersebut karena telah dibuat
dengan system sentral.

Jenis Warna Dalam Tekanan (Psi) Tekanan(atm)


tabung bentuk
O2 Putih/hijau gas 1800-2400 120-160
N2O Biru Cair 745 50
Air Hitam/putih Gas 1800 120
Cyclopropan Jingga Cair 75 5
CO2 Abu-abu cair 838 56
Tabel 2.8. Gas anestesi, warna tabung, bentuk gas dan tekanan jenuh

2) Alat penunjuk aliran gas ( PAG/flowmeter )


Berbentuk tabung gelas yang didalamnya terdapat indikator
pengukur yang umumnya berbentuk bola atau berbentuk
rotameter.Skala yang tertera umumnya dalam L/menit dan
ml/menit.

32
Sebelum membuka flowmeter perhatikan dulu gas apa yang
akan diputar ( tidak jarang terjadi bahwa kita bermaksud membuka
O2, tanpa sengaja kita membuka N2O )
Flowmeter dapat dibuka dengan cara memutar tombol pemutar
kearah berlawanan dengan arah jarum jam. Bila indikator
berbentuk bola, maka angka laju aliran ( flowmeter) dibaca setinggi
bagian tengah bola dan bila memakai rotameter dibaca setinggi
bagian atas rotameter.
3) Alat penguap ( vaporizer )
Berfungsi untuk menguapkan zat anestesi cair yang mudah
menguap ( volatile anesthetic agent ) yang biasanya dilengkapi dial
untuk mengatur besar kecilnya konsentrasi zat anestesi yang keluar.
Alat penguap ini ada yang terbuat dari :
a) Gelas dengan komponen pengatur dari logam : vaporizer
Goldman, Boyle
b) Logam keseluruhannya misalnya : Fluotec mark II, mark
III.EMO, OMV, Copper Kettle.
Penempatan vaporizer :
a) Dapat diletakkan diluar sirkuit nafas, terletak diantara
flowmeter dan lubang keluar gas
b)   Dapat diletakkan didalam sirkuit nafas
c) Dapat lebih 2 vaporizer yang akan dipakai, maka vaporizer
untuk zat anestesi cair yang lebih mudah menguap diletakkan
lebih dekat dengan flowmeter.
Pada umumnya zat anestesi cair mempunyai alat penguapannya
sendiri, Tetapi ada alat penguap yang dapat dipakai untuk
menguapkan beberapa zat anestesi. Contoh : Fluotec Mark II, Mark
III hanya untuk halothane dan EMO khusus untuk eter. Copper
kettle dapat untuk eter, halothane, trilene Metoksifluran.

Keterangan Komponen Dua


1)      Canester dan Isinya

33
 Pengertian
Canester adalah  bagian dari mesin anetesi yang berisi
sodalyme dan berfungsi sebagai penampung kapur penyerap gas
CO2 atau CO2 absorber.
 Jenis Canester
Jenis canester yang  ada :
(1).     Single canester
Kelebihan dari single canester adalah lebih murah dan ringan.
Sedangkan kekurangan yang didapat pada single canester efisiensi
penyerapan rendah, hal tersebut dapat memperlambat induksi dan
pemulihan serta meningkatkan komsumsi anestesi.
Dimana soda kapur cenderung menetap yang memungkinkan
penyaluran gas tidak maksimal sehingga menyebabkan
rebreathing.
(2).  Double canester
Kelebihan dari double canester adalah penyerapan CO2 lebih
lengkap.Dimana aliran gas ekspirasi masuk ke tabung canester
bagian atas dan sebagian besar CO2 diabsorbsi.Carbondioksida
yang tersisa kemudian diabsorbsi oleh tabung bagian bawah.
Ketika tabung bagian atas itu habis atau berubah warna, tabung
bagian bawah dipindahkan  ke atas kemudian canester yang telah
habis tadi diganti dengan yang baru dan dipasang di bagian
bawah. Susunan ini memberikan efesiensi yang optimal dan
ekonomis dalam penyerapan karbondioksida.
Kekurangan dari double canester adalah :
a. lebih berat dan lebih mahal daripada model single canester.
b. Tidak stabil jika digunakan secara close system
c. Perubahan lambat  dalam konsentrasi anastesi yang
terinspirasi dengan aliran rendah.
d. Soda kapur dan katup dalam system meningkatkan penolakan
untuk bernafas.
e. Memungkinkan penghirupan debu soda kapur.

34
 Isi dari canester
Canester berisi dengan sodalyme yang berupa butir kapur atau
kapur barium hidroksida yang akan bisa menetralisir asam
karbonat. Reaksi dan produk yang ada meliputi panas, air dan
kalsium carbonat.Kapur soda merupakan absorben yang lebih
sering diketemukan dan mampu menyerap sampai 23 liter CO2/
100 gr absorben.Perubahan warna dari pH seperti yang ditunjukkan
dengan indicator warna karena terjadinya peningkatan konsentrasi
ion hydrogen menunjukkan dikeluarkannya absorben. Absorben
bias digantikan bila 50-70% mengalami perubahan warna.
Contohnya perubahan warna pada CO2 absorben dapat berupa
merah muda berubah menjadi putih, yang putih berubah menjadi
ungu.
 Kandungan sodalyme
 Kalsium Hidroksida Ca(OH)2    : 70-80%
 Sodium Hidroksida NaOH          : < 3,5 %
 Air   H2O                                 : 12-19%
 Ukuran :
 2,5 – 5,0 mm
 4,0 – 8,0 mm
 Bentuk – bentuk soda kapur :
 Bentuk pellet.
 Bentuk cylinder.
 Bentuk regular.
2)      Sirkuit Nafas
Aliran gas dari sumber gas berupa campuran O2 dan gas
anestesi akan mengalir melalui vaporizer dan bersama campuran
zat anestesi cair tersebut keluar.Campuran O2, zat anestesi (gas dan
uap) ini lazim kita sebut aliran gas segar (AGS)atau Fresh Gas
Flow (FGF). FGF ini selanjutnya masuk ke sirkuit nafas pasien.
Sirkuit nafas pasien tersebut adalah:

35
(1)    Sistem lingkar : terjadi rebrething
(a)    Paling banyak ada pada mesin anestesi
(b)   Komponen system lingkar : Sungkup muka, konektor Y,
katup searah, canister, katup ekspirasi, kantong cadangan
(reservoir bag), pipa berlekuk (kurogeted)
(c) Pada system lingkar dapat bervariasi mengenai:
 Letak masuknya FGF
 Letak Reservoir bag
 Letak katup ekspirasi
 Letak katup searah
(2)  System magill dan mapleson serta variasinya : Rebrething
tidak ada atau minimal sekali
(a)    Keuntungan:
 Ringan (bila dihubungkan dengan pipa ET atau
sungkup muka tidak merupakan beban berat seperti
pada system lingkar)
 Mudah dibersihkan dan disterilkan karena dapat dilepas
satu demi satu
 Sederhana : mudah dipasang dan dipakai
 Kelainan fungsi alat minimal; hanya biasa terjadi pada
katup ekspirasi
 Tidak mahal
(b)   Kerugian:
 Banyak panas dan kelembaban hilang akibat tidak
adanya rebreathing
 Aliran (flow) yang diperlukan tinggi guna mencegah
rebrething sehingga pemakaian zat-zat anestesi boros
dan menimbulkan polusi udara.
3)     Sirkuit Nafas Untuk Anak

36
Peralatan anestesi untuk anak hanya berbeda pada sirkuit
nafasnya serta alat-alat yang menghubungkan dengan
pasien,sedangkan komponen yang lain tetap sama dengan dewasa.
Pada anak sirkuit nafas yang dipakai hendaknya:
(1) Memiliki resistensi yang rendah dan ruang rugi sekecil
mungkin terutama pada anak dengan BB 20 kg atau kurang
(2) Dapat berupa system lingkar dengan desain sendiri ( dengan
diameter dan panjang pipa berlekuk lebih kecil dan katup
searah dan katup eksprasi lebih ringan)
(3) Yang lazim dipakai adalah system T pice atau
modipikasinya (Jackson Rees)
(4) Jenis yang lain umumnya merupakan pengembangan dari
Jackson Rees (misal dengan memasang katup ekspirasi),
tetapi secara klinis perbedaan pemakaiannya tidak banyak.
Aliran FGF yang digunakan 2,5-3 kali volume semenit.
Beberapa variasi yang mungkin ditemukan di daerah :
(1) System terbuka
Alat ini hanya terdiri dari 3 komponen yaitu: sungkup muka
(khusus karena terdiri dari rangka kawat yang dibalut dengan
kassa). Obat anestesi diberikan dengan cara meneteskan ke
sungkup muka ( eter ), dapat digunakan tanpa O2.
(2) Trilene inhaler
Alat ini hanya terdiri dari alat penguap dan suungkup muka,
tanpaa sirkuit nafas. Katup nafas telah terpasang pada alat
tersebut.
(3) System EMO (Ebstein, Macintosh, Oxford ) terdiri dari 3
komponen yaitu:
 Vaporizer berupa EMO inhaler
 Kantong dan sirkuit nafas dengan katup satu arah
 Sungkup muka dan pipa nafas

37
Dapat dipakai tanpa O2 bila eter saja yang digunakan.
Kantong nafas ( bellow) dapat mengembang sendiri walaupun
tidak ada aliran gas.
Keterangan Komponen Tiga
Adaptor atau konektor, sungkup muka, pipa endotrakeal, pipa
oropharingeal, pipa nasopharyngeal, (terbuat dari logam atau
plastic).
Bayi sampai dewasa:
a) Sungkup muka : ukuran bayi sampai dewasa
Model : Rendell Baker, Ohio, dll
b)  Pipa trachea : Orotrakea (banyak terbuat dari plastic),
Nasotrakea (banyak terbuat dari karet atau spiral) dilengkapi
dengan atau tanpa balon. Sediakan selalu 3 macam ukuran, pipa
yang paling besar dapat masuk dengan satu nomor diatas dan
dibawah.
   Model : Oxford, Cole, tanpa balon.

1)  Aliran Gas Pada Mesin Anestesi


Aliran gas dan zat-zat anestesi didalam sirkuit anestesi dapat
digambarkan secara sederhana sebagai berikut :
Uap obat anestesi dihisap masuk lewat paru-paru kemudian
menembus membran alveoli kapiler kemudian masuk aliran darah
kapiler menuju sirkulasi oleh jantung bagian kiri menuju ke
otak. Kemudian obat akan menembus kapiler di jaringan otak dan
kemudian masuk kedalam sel-sel otak sehingga pasien menjadi tidak
sadar. Bila uap obat anestesi dihentikan kadar obat pada alveolar akan
turun sehingga menimbulkan penurunan pada kadar obat dalam darah
dan kadar obat pada otak akan menurun dan pasien akan kembali
sadar.

38
2) Persiapan Mesin Anestesi
Sebelum melakukan tindakan anestesi kita harus selalu melakukan
pengecekan komponen dan fungsi dari mesin anestesi.
Adapun yang perlu diperhatikan adalah:
a) Tabung sumber gas anestesi dan alat pengukur aliran
Hidupkan aliran gas dari tabung dan periksalah tekanan dan aliran.
Periksalah juga tabung cadangan
b) Reservoir O2
Periksalah penghubung T dan yakinkan tidak ada sumbatan pada
jalan masuk udara
c) Vaporizer
Periksa bahwa vaporizer tersebut berisi, periksa juga sambungan-
sambungan yang ada dan putarlah tombol pada angka 0
d)  SIB
Periksalah sambungan dan posisi magnet pada pompa
e)  System pernafasan dan konector
Periksalah semua system pernafasan dan sambungannya
f) Katup pernafasan
Periksalah dengan melihat langsung pada atup, dimana daun katup
harus bergerak selama pernafasan
g)  Periksalah kebocoran sirkuit
Kembangkan kantong pompa, sementara itu tutuplah penghubung
yang berhubungan dengan pasien dengan tangan, beri tekanan pada
bag sebesar 20-30 mmH2O, tidak boleh ada udara yang keluar
3) Pemeliharaan Mesin Anestesi
 Maintenance harian: melakukan pembersihan mesin anestesi setiap
habis pakai dan  mencuci peralatan yang kontak dengan pasien
dengan sabun dan desinfektan
 Maintenance mingguan : memeriksa atau mengganti O2 sensor dan
flow sensor bila tidak bisa dikalibrasi
 Maintenance bulanan : mencuci cooling air filter
 Maintenance semiannual : infeksi oleh teknisi agen mesin anestesi

39
 Maintenance tahunan : kalibrasi oleh teknisi agen mesinanestesi
a. Peralatan untuk Airway:
1) Suction
a) Sambungkan dengan vacum suction sesuai conectornya
b) Cek Kelengkapannya meliputi : selang suction, tabung penampung,
c) kateter suction dengan diameter 1/3 diameter, ujungnya harus tumpul
dan lubang lebih dari satu.
d) Atur kekuatan penghisapan sesuai kebutuhan (Adult ≤ 200 mmHg
pediatric ≤ 100 mmHg dan bayi ≤ 60 mmHg )
2) Oropharingeal
 Cara mengukur
(1) Dari sudut bibir sampai ke tragus.
(2) Dari tengah bibir sampai angulus mandibula.
(3) Diameter sebesar jari kelingking kanan pasien
 Dipakai sebagai alat untuk membebaskan jalan nafas pada pasien
dengan reflek muntah yang masih ada.
 Tidak boleh digunakan pada pasien dengan fraktur basis cranii
3) Nasopharingeal
a) Cara mengukur:
(1) Dari ujung hidung sampai tragus.
(2) Diameter sebesar jari kelingking kanan penderita.
b) Dipakai sebagai alat untuk membebaskan jalan nafas
pada pasien dengan reflek muntah yang masih ada.
c) Tidak boleh digunakan pada pasien dengan fracture
basis cranii.
4) Bite block.
5) Alat bantu dalam Intubasi
(1) Bantal intubasi (Tebal 10-12 cm)
(2) Bantal donat
(3) Masker sesuai ukuran
(4) Laringoscope

40
Terdiri dari handle dan blade. Laringoscope harus berfungsi dengan
baik, tidak boleh goyang baik blade maupun lampunya. Lampu harus
menyala terang dan putih. Siapkan beberapa ukuran sesuai
kebutuhan.
Beberapa macam blade:
(a) Blade lurus (Machintosh) untuk bayi-anak-dewasa.
(b) Blade lengkung (Miller, magill) untuk anak besar-dewasa.
(c) Blade Meycoy
(5) Endotracheal tube (ETT)
Selalu siapkan 3 macam ukuran yang sesuai untuk pasien (1
nomor diatas dan 1 nomor dibawah nomor ETT yang sesuai). Berikut
tabel pemilihan ETT berdasarkan usia :
Tabel 2.9. Pedoman ukuran laringoskop, ETT dan kateter penghisap
USIA LARINGOSKOP DIAMETER JARAK KATETER
ETT (mm) ANTARA GIGI PENGHISAP
SERI/GUSI KE
TRAKEA (cm)
Neonat Miller 0 2,5 ; 3,0 8 5-6
us < tanpa balon
bulan penyekat
Neonat Miller 0-1 3,0 ; 3,5 9 - 10 6-8
us tanpa balon
cukup penyekat
bulan
6 bln 3,5 ; 4,0 10 8
tanpa balon
penyekat
1 th 4,0 ; 4,5 11 8
tanpa balon
penyekat
2 th Miller 2 4,5 ; 5,0 12 8
tanpa balon
penyekat
4 th 5,0 ; 5,5 14 10
tanpa balon

41
penyekat
6 th 5,5 tanpa 15 10
balon
penyekat
8 th Miller 2 6,0 dengan 16 10
Macintosh 2 atau tanpa
balon
penyekat
10 th 6,5 dengan 17 12
atau tanpa
balon
penyekat
12 th Macintosh 3 7,0 dengan 18 12
balon
penyekat
Remaja Macintosh 3 7,0 – 8,0 20 12
Miller 3 dengan
balon
penyekat
Pemilihan ukuran pipa yang tepat dapat diperkirakan dengan cara :
Diameter (dalam mm) = (usia /4) + 4
Panjang (cm) = (usia /2) + 12 (pipa oral)
= (usia /2) + 15 (pipa nasal)
Rumus di atas dapat berlaku untuk usia di atas 1 tahun. Cara lain
untuk memperkirakan diameter pipa adalah dengan
membandingkannya dengan diameter kelingking pasien atau
diameter yang tepat dengan liang hidung. Pemilihan diameter yang
tepat dapat diketahui bila dalam penggunaannya terjadi kebocoran
udara melaui tepi pipa pada tekanan di atas 20 - 30 cm H2O. Bila
digunakan pipa dengan cuff, pengisian udara ke dalam cuff, juga
harus dapat menghasilkan kebocoran udara melalui tepi cuff pada
tekanan di atas 20 -30 cm H2O.
(6) Stilet dengan ukuran 2/3 diameter ETT
(7) Spuit 20cc untuk mengembangkan Cuff

42
(8) Xyllocain spray
(9) Gel untuk lubricating
(10) Connector / Elbow
(11) Stetoscope dan precordial
(12) Plester (potong 2 plester panjang ukuran 30 cm untuk
fixasi ETT dan 2 plester pendek untuk plester mata)
(13) Gunting
(14) Salep mata (Occulotec gel atau garamycin salep mata)
(15) Magil forcep
(16) Tampon
(17) Set Krikotirotomy, gloscope, fiber optik,Mc coy
laryngoscope, LMA. Disiapkan bila diperkirakan intubasi akan sulit
dilakukan per oral/ nasal dan airway akan sulit dikuasai
b. Peralatan Breathing.
1) Sungkup muka (masker) sesuai kebutuhan.
2) Bag-valve-mask (BVM) / jakson rees
c. Alat Monitor ECG
1) Pengertian
Pasien monitor adalah suatu alat yang difungsikan untuk memonitor
kondisi fisiologis pasien. Dimana proses monitoring tersebut dilakukan
secara real-time, sehingga dapat diketahui kondisi fisiologis pasien pada
saat itu juga.
2) Parameter Monitor
Parameter adalah bagian-bagian fisiologis dari pasien yang diperiksa
melalui monitor pasien. Jika kita ketahui ada sebuah pasien monitor
dengan 5 parameter, maka yang dimaksud dari lima parameter tersebut
adalah banyaknya jenis pemeriksaan yang bisa dilakukan oleh pasien
monitor tersebut.
Di dalam istilah pasien monitor kita mengetahui beberapa parameter
yang diperiksa, parameter itu antara lain adalah :
(a) ECG adalah pemeriksaan aktivitas kelistrikan jantung, termasuk
pemeriksaan “Heart Rate” atau detak jantung pasien dalam satu

43
menit. Dalam monitoring ECG di kamar operasi dapat
menggunakan ECG 3 lead atau 5 lead sesuai dengan kebutuhan.
ECG dengan 3 lead dapat merekam aktivitas jantung di bagian
inferior dan lateral, sedangkan 5 lead dapat merekam di bagian
inferior, lateral dan anterior jantung.
(b) Respirasi adalah pemeriksaan irama nafas pasien dalam satu menit.
(c) Saturasi darah / SpO2, adalah kadar oksigen yang ada dalam darah.
(d) Tensi / NIBP (Non Invasive Blood Pressure) / Pemeriksaan tekanan
darah.
(e) Temperature, suhu tubuh pasien yang diperiksa.
3) Beberapa jenis monitor pasien
(a) Pasien monitor vital sign, pasien monitor ini bersifat
pemeriksaan stándar, yaitu pemeriksaan ECG, Respirasi, Tekanan
darah atau NIBP, dan Kadar oksigen dalam darah / saturasi darah /
SpO2.
(b) Pasien monitor 5 parameter, pasien monitor ini bisa melakukan
pemeriksaan seperti ECG, Respirasi, Tekanan darah atau NIBP,
kadar oksigen dalam darah / saturasi darah / SpO2, dan Temperatur.
(c) Pasien monitor 7 parameter, pasien monitor ini biasanya
dipakai diruangan operasi, karena ada satu parameter tambahan yang
biasa dipakai pada saat operasi, yaitu “ECG, Respirasi, Tekanan
darah atau NIBP (Non Invasive Blood Pressure) , kadar oksigen
dalam darah / Saturasi darah / SpO2, temperatur, dan sebagai
tambahan adalah IBP (Invasive Blood Pressure) pengukuran tekanan
darah melalui pembuluh darah langsung, EtCo2 (End Tidal Co2)
yaitu pengukuran kadar karbondioksida dari sistem pernafasan
pasien.”
4) Jenis monitor yang biasanya digunakan di Rumah Sakit
Kebanyakan rumah sakit memakai pasien monitor vital sign dan 5
parameter adalah diruangan ICU, UGD, ruang-ruang perawatan, dan
beberapa ruang operasi. Sedangkan untuk pasien monitor yang 7
parameter biasanya pemakaian dilakukan di ruang operasi.

44
5) Kelengkapan /aksesoris dalam monitor pasien
Yang termasuk dalam aksesoris pasien monitor adalah tergantung dari
parameter pengukuran yang ada. Seperti ECG, NIBP, SpO2, Temperatur.

2.2.4.2 Persiapan Pasien


a. Selalu pastikan kembali identitas pasien, kelengkapan status/rekam medis,
data laboratorium, radiologi, dan EKG sebelum memulai anestesi.
b. Persiapan puasa dan terapi cairan pre anestesi
c. Mengetahui kebutuhan cairan dan elektrolit pasien perioperatif.
(1) Anatomi cairan tubuh
Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia, persentasenya
dapat berubah tergantung pada umur, jenis kelamin dan derajat
obesitas seseorang. Pada bayi usia < 1 tahun cairan tubuh adalah
sekitar 80-85% berat badan dan pada bayi usia > 1 tahun mengandung
air sebanyak 70-75 %. Seiring dengan pertumbuhan seseorang
persentase jumlah cairan terhadap berat badan berangsur-angsur turun
yaitu pada laki-laki dewasa 50-60% berat badan, sedangkan pada
wanita dewasa 50 % berat badan.

Usia Kilogram Berat %


Bayi premature 80
3 bulan 70
6 bulan 60
1 – 2 tahun 59
11 – 16 tahun 58
Dewasa 58 - 60
Dewasa obesitas 40 - 50
Dewasa kurus 70 - 75
Tabel 2.1. Perubahan Cairan Tubuh Sesuai Usia

Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi


pada perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan puasa
preoperatif maupun perioperatif, dapat menyebabkan gangguan
fisiologis yang berat. Jika gangguan tersebut tidak dikoreksi secara
adekuat sebelum tindakan anestesi dan bedah, maka resiko penderita
menjadi lebih besar. Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam

45
kompartemen intraselular dan kompartemen ekstraselular. Lebih jauh
kompartemen ekstraselular dibagi menjadi cairan intravaskular dan
intersisial.
 Cairan intraselular

Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan intraselular.


Pada orang dewasa, sekitar duapertiga dari cairan dalam tubuhnya
terdapat di intraselular (sekitar 27 liter rata-rata untuk dewasa laki-
laki dengan berat badan sekitar 70 kilogram), sebaliknya pada bayi
hanya setengah dari berat badannya merupakan cairan intraselular.

 Cairan ekstraselular

Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular.


Jumlah relatif cairan ekstraselular berkurang seiring dengan usia.
Pada bayi baru lahir, sekitar setengah dari cairan tubuh terdapat di
cairan ekstraselular. Setelah usia 1 tahun, jumlah cairan
ekstraselular menurun sampai sekitar sepertiga dari volume total.
Ini sebanding dengan sekitar 15 liter pada dewasa muda dengan
berat rata-rata 70 kg. Cairan ekstraselular dibagi menjadi :

- Cairan Interstitial

Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan


interstitial, sekitar 11- 12 liter pada orang dewasa. Cairan limfe
termasuk dalam volume interstitial. Relatif terhadap ukuran
tubuh, volume ISF adalah sekitar 2 kali lipat pada bayi baru
lahir dibandingkan orang dewasa.

- Cairan Intravaskular

Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah


(contohnya volume plasma). Rata-rata volume darah orang

46
dewasa sekitar 5-6L dimana 3 liternya merupakan plasma,
sisanya terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan platelet.

- Cairan transeluler

Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh


tertentu seperti serebrospinal, perikardial, pleura, sendi
sinovial, intraokular dan sekresi saluran pencernaan. Pada
keadaan sewaktu, volume cairan transeluler adalah sekitar 1
liter, tetapi cairan dalam jumlah banyak dapat masuk dan
keluar dari ruang transeluler.

Selain air, cairan tubuh mengandung dua jenis zat yaitu elektrolit
dan non elektrolit
 Elektrolit

Merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan


menghantarkan arus listrik. Elektrolit dibedakan menjadi ion positif
(kation) dan ion negatif (anion). Jumlah kation dan anion dalam
larutan adalah selalu sama (diukur dalam miliekuivalen).

 Kation

Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium


(Na+), sedangkan kation utama dalam cairan intraselular
adalah potassium (K+). Suatu sistem pompa terdapat di dinding
sel tubuh yang memompa keluar sodium dan potassium ini.

 Anion

Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl-)


dan bikarbonat (HCO3-), sedangkan anion utama dalam cairan
intraselular adalah ion fosfat (PO43-). Karena kandungan
elektrolit dalam plasma dan cairan interstitial pada intinya sama
maka nilai elektrolit plasma mencerminkan komposisi dari
cairan ekstraseluler tetapi tidak mencerminkan komposisi
cairan intraseluler.

47
 Non elektrolit

Merupakan zat seperti glukosa dan urea yang tidak terdisosiasi


dalam cairan. Zat lainya termasuk penting adalah kreatinin dan
bilirubin.

Body 100%

Water 60 % (100) Tissue 40 %

Intraseluler Extraseluler
Space 40% (60) Space 20% (60)

Intertisiel Space Intravaskuler


15 % (30) Space 5% (10)

Diagram 2.1 Komposisi Cairan Tubuh

(2) Kebutuhan normal cairan dan elektrolit harian


Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan ± 30-35 ml/kgBB/hari
dan elektrolit utama Na+ =1-2 mmol/kgBB/haridan K+ =
1mmol/kgBB/hari. Kebutuhan lainnya yaitu pengganti cairan yang
hilang akibat pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat
(lewat kulit) dan pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan
insensible water losses. Cairan yang hilang ini pada umumnya bersifat
hipotonus (air lebih banyak dibandingkan elektrolit). kehilangan cairan
pada ekskresi urin (rata-rata 1500 ml tiap hari, 40-80 ml per jam untuk
orang dewasa dan 0,5 ml/kg untuk pediatrik), kulit (insensible loss
sebanyak rata-rata 6 ml/kg/24 jam pada rata-rata orang dewasa yang
mana volume kehilangan bertambah pada keadaan demam yaitu 100-
150 ml tiap kenaikan suhu tubuh 1 derajat celcius pada suhu tubuh di

48
atas 37 derajat celcius dan sensible loss yang banyaknya tergantung
dari tingkatan dan jenis aktivitas yang dilakukan), paru-paru (sekitar
400 ml tiap hari dari insensible loss), traktus gastointestinal (100-200
ml tiap hari yang dapat meningkat sampai 3-6 L tiap hari jika terdapat
penyakit di traktus gastrointestinal).

Weight kcal/d or ml/d


Kcal/h or ml/h
(kg)
0 to10 kg 100/kg per day 4/kg per hour
11 to 20 1000+(50/kg per day) 40+(2/kg per hour)
kg
>20 kg 1500+(20/kg per day) 60+(1/kg per hour)
Tabel 2.2. Rumatan Cairan menurut rumus Holliday-Segar

(3) Defisit cairan dan elektrolit preoperatif


Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa,
lavement) harus diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti
pada masa pra-bedah sebelum induksi. Setelah dari sisa defisit yang
masih ada diberikan pada jam pertama pembedahan, sedangkan
sisanya diberikan pada jam kedua berikutnya. Kehilangan cairan di
ruang ECF ini cukup diganti dengan ciran hipotonis seperti garam
fisiologis, Ringer Laktat dan Dextrose. Pada penderita yang karena
penyakitnya tidak mendapat nutrisi yang cukup maka sebaiknya
diberikan nutrisi enteral atau parenteral lebih dini lagi. Penderita
dewasa yang dipuasakan karena akan mengalami pembedahan (operasi
elektif) harus mendapatkan penggantian cairan sebanyak 2
ml/kgBB/jam lama puasa. Defisit karena perdarahan atau kehilangan
cairan (hipovolemik, dehidrasi) yang seringkali menyertai penyulit
bedahnya harus segera diganti dengan melakukan resusitasi cairan atau
rehidrasi sebelum induksi anestesi.
 Dehidrasi
Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi
serum dari natrium menjadi isonatremik (130-150 mEq/L),
hiponatremik (<139 mEq/L) atau hipernatremik (>150 mEq/L).

49
Dehidrasi isonatremik merupakan yang paling sering terjadi (80%),
sedangkan dehidrasi hipernatremik atau hiponatremik sekitar 5-
10% dari kasus. Dehidrasi Isotonis (isonatremik) terjadi ketika
kehilangan cairan hampir sama dengan konsentrasi natrium
terhadap darah. Kehilangan cairan dan natrium besarnya relatif
sama dalam kompartemen intravaskular maupun kompartemen
ekstravaskular.
Dehidrasi hipotonis (hiponatremik) terjadi ketika kehilangan
cairan denga kandungan natrium lebih banyak dari darah
(kehilangan cairan hipertonis). Secara garis besar terjadi
kehilangan natrium yang lebih banyak dibandingkan air yang
hilang. Karena kadar natrium serum rendah, air di kompartemen
intravaskular berpindah ke kompartemen ekstravaskular, sehingga
menyebabkan penurunan volume intravaskular.
Dehidrasi hipertonis (hipernatremik) terjadi ketika kehilangan
cairan dengan kandungan natrium lebih sedikit dari darah
(kehilangan cairan hipotonis). Secara garis besar terjadi kehilangan
air yang lebih banyak dibandingkan natrium yang hilang. Karena
kadar natrium tinggi, air di kompartemen ekstraskular berpindah ke
intravaskular, sehingga meminimalkan penurunan volume
intravaskular.

Mild Moderate Severe


Symptom/Sign
Dehydration Dehydration Dehydration
Level  consciousness*Alert Lethargic Obtunded

Capillary refill 2 Seconds 2-4 Seconds Greater than 4

50
Seconds, cool
limbs

Mucous membranes* Normal Dry Parched, cracked

Tears* Normal Decreased Absent

Heart rate Slight increase Increased Very increased

Respiratory rate Normal Increased Increased and

hyperpnea

Blood pressure Normal Normal Decreased


but orthostasis

Pulse Normal Thready Faint or impalpable

Skin turgor Normal Slow Tenting

Fontanel Normal Depressed Sunken

Eyes Normal Sunken Very sunken

Urine output Decreased Oliguria Oliguria/anuria

Tabel 2.3. Tanda-tanda Klinis Dehidrasi

Dehidrasi Dewasa Anak

Ringan 4% 4%- 5%

Sedang 6% 5 % - 10 %

Berat 8% 10 % - 15 %

Shock 15-20% 15 % - 20%

Tabel 2.4. Derajat Dehidrasi

Terapi dehidrasi (rehidrasi) dilakukan dengan


mempertimbangkan kebutuhan cairan untuk rumatan, defisit cairan
dan kehilangan cairan yang sedang berlangsung. Cara rehidrasi:
a) Nilai status rehidrasi (sesuai tabel diatas), banyak cairan yang
diberikan (D) = derajat dehidrasi (%) x BB x 1000 cc

51
b) Hitung cairan rumatan (M) yang diperlukan (untuk dewasa 40
cc/kgBB/24 jam atau rumus holliday-segar seperti untuk anak-
anak)
c) Pemberian cairan (menurut Guillot) :
6 jam I = ½ D + ¼ M atau 8 jam I = ½ D + ½ M
18 jam II = ½ D + ¾ M atau 16 jam II = ½ D + ½ M
(4) Defisit cairan dan elektrolit intraoperatif
Secara teoritis perdarahan dapat diukur dari : botol penampung
darah yang disambung dengan pipa penghisap darah (suction pump),
dengan cara menimbang kasa yang digunakan sebelum dan setelah
pembedahan. Kasa yang penuh darah (ukuran 4x4 cm) mengandung ±
10 ml darah, sedangkan tampon besar (laparatomy pads) dapat
menyerap darah ± 100 ml. Dalam prakteknya jumlah perdarahan
selama pembedahan hanya bisa ditentukan berdasarkan kepada
taksiran (perlu pengalaman banyak) dan keadaan klinis penderita yang
kadang-kadang dibantu dengan pemeriksaan kadar hemoglobin dan
hematokrit berulang-ulang (serial). Pemeriksaan kadar hemoglobin
dan hematokrit lebih menunjukkan rasio plasma terhadap eritrosit
daripada jumlah perdarahan. Kesulitan penaksiran akan bertambah bila
pada luka operasi digunakan cairan pembilas (irigasi) dan banyaknya
darah yang mengenai kain penutup, meja operasi dan lantai kamar
bedah.

52
Gambar 2.11. Perkiraan jumlah darah pada kassa

Kehilangan darah sampai sekitar 20% EBV (EBV = Estimated


Blood Volume = taksiran volume darah), akan menimbulkan gejala
hipotensi, takikardi dan penurunan tekanan vena sentral. Kompensasi
tubuh ini akan menurun pada seseorang yang akan mengalami
pembiusan (anestesi) sehingga gejala-gejala tersebut seringkali tidak
begitu tampak karena depresi komponen vasoaktif.

Usia Volume Darah


Neonatus
*Prematur 90 ml/kgbb
*Aterm 85 ml/kgbb
Bayi 80 ml/kgbb
Dewasa
*Laki-laki 75 ml/kgbb
*Wanita 65 ml/kgbb
Tabel 2.5. Perkiraan Volume Darah

53
Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung
berdasarkan kebutuhan dasar ditambah dengan kehilangan cairan
akibat pembedahan (selain perdarahan, kehilangan cairan diakibatkan
dari translokasi cairan dan penguapan atau evaporasi). Jenis cairan
yang diberikan tergantung pada prosedur pembedahannya dan jumlah
darah yang hilang. Berikut penggunaan cairan berdasarkan klasifikasi
syok hemoragic (perdarahan) :

CLASS I II III IV

BLOOD LOSS < 750 750 – 1500 – 2000 >2000


(ml) 1500
BLOOD LOSS < 15% 15- 30 – 40 % > 40%
(%EBV) 30%
PULSE (x/min) < 100 > 100 > 120 weak
BLOOD N/ N/
PRESSURE
CAPILARY N + + +
REFILL
RESPIRATORY 14 – 20 20 – 30 30-40 > 40
RATE
DIURESIS (ml/hr) >30 20 – 30 10-20 0-10
MENTAL N/ Restles Somnolence Somnolence/co
STATUS restless s/ ma
anxiety
FLUID Crystal Crystal Crystalloid+blo Crystalloid+blo
THERAPY loid/RL loid/R od/RL od/RL 1L+
2.5 L L + 1L+colloid colloid 1L +
or colloid 0,5L + Blood 1- Blood 2L or
colloid 1L 1,5L / PRC 0,5 PRC 1L +
1L L colloid 1L
Tabel 2.6. Klasifikasi Syok Hemoragik (Perdarahan)

54
Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis
misalnya bedah mata (ekstrasi, katarak) cukup hanya diberikan cairan
rumatan saja selama pembedahan. Pembedahan dengan trauma ringan
misalnya: appendektomi dapat diberikan cairan sebanyak 2
ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 4 ml/kgBB/jam untuk
pengganti IWL akibat trauma pembedahan. Total yang diberikan
adalah 6 ml/kgBB/jam berupa cairan garam seimbang seperti Ringer
Laktat atau Normosol-R. Pembedahan dengan trauma sedang diberikan
cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 8
ml/kgBB/jam untuk pembedahannya. Total 10 ml/kgBB/jam.

Fluid Shift Contoh Operasi Rates (dengan Kristaloid)


Kecil Repair tendon 0 – 3 ml/kgbb/jam
Tympanoplasty
Sedang Hernia inguinalis 6 ml/kgbb/jam
Histerektomi
Besar Hip replacement 9 ml/kgbb/jam
Kasus abdominal ; peritonitis
Tabel 2.7. Pengganti kehilangan cairan (IWL) berdasarkan jenis operasi

d. Persiapan mental.
e. Persetujuan informasi ( Inform Consent ).
f. Apakah gigi palsu, lensa kontak, perhiasan, cat kuku, lipstik, dll, sudah
dilepas atau dibersihkan.
g. Menetukan P.S ASA pasien
h. Menentukan bila ada atau tidak ada komorbit

55
i. Premedikasi anastesi adalah pemberian obat sebelum anastesi. Adapun
tujuan dari premedikasi antara lain :
 Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam
 Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
 Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
 Memberikan analgesia, misal : pethidin
 Mencegah muntah, misal : droperidol
 Memperlancar induksi, misal : pethidin
 Mengurangi jumlah obat-obatan anasthesia, misal : pethidin
 Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin
 Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan
hiosin

2.2.4.3 Persiapan Obat


a. Obat Premedikasi
1. Sulfas Atropin
Merupakan Obat golongan anti kolinergik dimana kerjanya memblok
Acetilcholin.
1) Penggunaan
a) Pengobatan dari bradikardi sinus /CPR
b) Premedikasi (vagolisis)
c) Reversal dari blockade neuromuskuler (blockade efek
muskarinik anticolinergik)
d) Terapi tambahan pada pengobatan bronkhospasme dan tukak
lambung
2) Dosis
a) Pengobatan dari bradikardi sinus /CPR
Dewasa :

56
IV/IM/SC : 0,5-1,0 mg ulang setiap 3-5 menit sesuai indikasi,
dosis maksimum 40 μg / kg
Anak :
IV/IM/SC : 10-20 μg/kg (dosis minimum : 0,1 mg)
b) Premedikasi (vagolisis)
Dewasa :
IV/IM : 0,4-1,0 mg
PO : 0,4-0,6 mg setiap 4-6 jam
Anak-anak :
IV : 10-20 μg/kg (dosis minimum 0,1 mg)
PO: 30 μg /kg setiap 4-6 jam. Larutan suntik potensi tinggi (0,3
mg/ml) dapat dilarutkan dalam 3-5 ml sari apel atau minum
soda berkarbonat atau bersendawa.
c) Reversal dari blockade neuromuskuler
IV : 0,015 mg/kg dengan antikolinesterase
(neostigmine IV 0,5-1 mg/kg)

d) Bronkodilasi ; inhalasi
Dewasa : 0,025 mg/kg setiap 4-6 jam
Anak-anak : 0,05 mg/kg setiap 4-6 jam
Dosis maksimal 2,5 mg encerkan hingga 2-3 ml dengan normal
saline dan berikan melalui nebulisator udara bertekanan.
3) Farmakologi
Atropin secara kompetisi mengantagonisir aksi asetikoline pada
reseptor muskarinik. Menurunkan sekresi saliva, bronkus dan
lambung dan merelaksasi otot polos bronkus, tonus dan motilitas
gastrointestinal berkurang, tekanan sfinfter esophagus bagian
bawah berkurang, dan tekanan intraokuler meningkat (karena
dilatasi pupil). Dalam dosis digunakan untuk premedikasi.
Peningkatan IOP ini secara klinis tidak bermakna. Dosis yang
besar dapat meningkatkan suhu tubuh dengan mencegah sekresi
keringat.

57
Blokade vagus perifer dari sinus dan nodus AV neningkatkan
nadi. Penurunan sementara dari nadi dosis yang kecil (0,5 mg pada
orang dewasa) disebabkan oleh efek agonis kolinergik muskarinik
perifer yang lemah. Atropin merupakan suatu amin tersier dank
arena itu melintasi sawar darah otak pada dosis yang tinggi
merangsang dan kemudian mendepresi medulla dan pusat otak
yang lebih tinggi.
4) Farmakokinetik
Awitan aksi IV : 45-60 detik
Intratekal : 10-20 detik
IM : 5-40 detik
PO : 30 menit – 2 jam
Inhalasi : 3- 5 menit
Efek Puncak IV : 2 menit
Inhalasi : 1-2 jam
Lama Aksi IV/IM : blockade vagal 1-2 jam efek
antisialog 4 jam
Inhalasi : blockade vagal 3-6 jam
5) Interaksi / Intoxixitas
Efek antikolinergik aditif dengan antihistamin, fenotiasin,
antidepresi trisklik, prokainamid, kuinidin, inhibitor MAO,
benzodiazepine, antipsikotik, peningkatan tekanan intraokuler
ditingkatkan oleh nitrat, nitrit, obat-obatan alkalinasi, disopiramid,
kortikosteroid, haloperidol, mempotensiasi simpato-mimetik,
mengaragonisir antikolineterase dan metoclopramide ; dapat
menimbulkan sindrom antikolinergik sentral ( halusinasi, delirium,
koma)
6) Pedoman / peringatan
a) Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan takiaritmia, gagal
jantung kongestif (CHF), iskemia miokard akut atau infark,
demam, refluk esophagus, infeksi.

58
b) Kontraindikasi pada pasien dengan glukoma sudut sempit
uropati obstriktif, penyakit obstruktif trakus.
c) Jika tidak tersediaakses intra vens selama resusitasi
kardiopulmoner, obat dapat diencerkan 1:1 dalam normal saline
steril dan disuntikkan via suatu tube andotrakea kecepatan lama
absorbs dan efek farmakologik dari pemberian obat intra trakeal
dengan rute IV.
d) Dapat berakumulasi dan menimbulkan efek samping sistemik
dengan dosis majemuk melalui inhalsi khususnya pada manusia.
e) Obat keracunan dengan sedasi (benzodizepin) dan
pemberianfisotigmin (prostigmin, neostigmine)
f) Bayi dan anak kecil dan pasien manula lebih rentan terhadap
efak system atropine,contohnya nadi yang cepat dan teratur,
demam, eksitas agitasi.
7) Reaksi samping Utama
CVS : Takikhardi (dosis tinggi),Bradikardi (dosis rendah)
Pulmonal : Depresi nafas
SSP : Kebingungan, halusinasi, kegugupan

GV : Keraguan urinarius, retensi

GI : Refluk gastroesofagus

Mata : Medriasis, penglihatan kabur, intraokuler

Dermatologik : Urtikaria

Lain-lain : Keringat berkurang, reaksi alegi

2. Petidhine
Pethidine adalah merupakan golongan obat analgesic opioid dan
dikenal juga sebagai meperidine. Secara kimia adalah etil-1 metil-4
karboksilat
a) Penggunaan
(1) Premedikasi
(2) Analgesia

59
(3) Pencegahan dan pengobatan menggigil pasca bedah
b) Dosis
(1) Analgesia
PO/IM/SC: 5-150 mg (1-3 mg/kg)
IV : 25-100 mg (0,5-2 mg/kg)
(2) Epidural Bolus
50-100 mg (1-2 mg/kg) diencerkan dalam 10 ml ( bebas
pengawet) NS atau anestesi local
(3) Infus
10-20 mg/jam (0,2-0,4 mg/kg/jam)
(4) Analgesia terkontrol pasien
IV : Bolus 5-30 mg (0,1-0,6 mg/kg)
Infus 5-40 mg/jam (0,1-0,8 mg /kg/jam)
Inteval lockout 5-15 menit
(5) Epidural
Bolus 5-30 mg/jam (0,1-0,6 mg/kg/jam)
(6) Infus 5-10 mg/jam (0,1-0,2 mg/kg/jam)
Interval lockout 5-15 menit.

c) Farmakologi
Opioid sintetik ini mempunyai kekuatan kira-kira sepersepuluh
mopin, meperidin lebih efektif pada nyeri neuropatik. Meperidin
mempunyai efek vagolitik dan anti fasmodik ringan Dapat
menimbulkan hipotensi ortostatik pada dosis terapeutik.
Normoperidn, metabolit aktifnya merupakan stimulant otak terutama
diekskresikan dalam urin. Pada pemberian yang lama dapat terjadi
akumulasi 73 hari. Memperidin menurunkan aliran darah ke otak,
kecepatan metabolic otak dan tekanan intrakanial. Meperidin
melintasi sawar placenta maksimum dan menimbulkan depresi pada
neonates.
Transfer placenta maksimum dan depresi neonates terjadi 2-3
jam setelah pemberian parental. Pemberian meperidine spinal dan

60
epidural menimbulakan substansia gelatinosa. Sekali sudah
diaktifasi, reseptor opioid menghambat pelepasan substansi P dari
serat C aferen nisiseptif.
d) Farmakokinetik
Absorbsi meperidine setelah cara pemberian apapun berlangsung
baik akan tetapi kecepatan absorbs mungkin tidak teratur setelah
suntikan IM. Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam
45 menit dan kadar yang dicapai bervariasi antar individu. Setelah
pemberian secara oral, sekitar 50% obat mengalami metabolisme
lintas pertama dan kadar maksimal dalam plasma tercapai dalam 1-2
jam. Setelah pemberian meperidine IV, kadarnya dalam plasma,
kemudia penurunannya berlangsung dengan lambat. Kurang lebih 60
% meperidine dalam plasma terikat protein. Metabolisme meperidine
mengalami hoidrolisis menjadi asam meperedinat yang kemudian
sebagian mengalami konyugasi. N-demelitasi menghasilkan
normeperidine, yang kemudian dihidrosis menjadi asam
normeperidine dan seterusnya asam dikoyugasi pula. Masa
meperidine ± 3 jam. Pada penderita sirosis, biovailabilitas meningkat
sampai 80% dan masa paruh meperidine dan normeperidine
memenjang. Meperidine bentuk utuh sampai sedikit ditemukan
dalamurine. Sebanyak 1/3 dari dosis meperidine ditemukan
dalamurine.
e) Efek Samping Kontraindikasi Dan Introksikasi
Efek samping meperidine dan derivate fenilpiperidine yang
ringan berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual,
muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia,
sinkop dan sedasi. Pada penderita berobat jalan reaksi ini timbul
lebih sering dan lebih berat opstipasi dan retensi urine tidak begitu
sering timbul pada morin tetapi efek sedasinya sebanding morpin.
Penderita yang mual muntah pada pemberian morfin mungkin tidak
mengalami hal tersebut bila morfin diganti dengan meperidine, hal
yang sebaiknya juga terjadi.

61
Kontraindikasi penggunaan meperidine menyerupai
kontraindikasi terhadap morfin dan opioi lain. Pada penderita hati
dan orang tua dosis obat harus dikurangi karena terjadinya
perubahan pada disposis obat. Selain itu dosis meperidine perlu
dikurangi bila diberikan bersama antipsikosis, hipnotik sedasi dan
obat-obat lain penekan SSP. Pada penderita yang sedang mendapat
MAO inhibitor pemberian meperidine dapat menyebabkan
kegelisahan, gejala eksitasi dan demam. Takar layak meperidine
dapat mengakibatkan timbulnya tremor dan kovulsi bahkan juga
depresi nafas, koma dan kematian. Depresi nafas oleh meperidine
dapat dilawan oleh nalorfin atau nalokson. Pada pecandu meperidine
yang telah kebal akan efek depresi, pemberian meperidine dalam
dosis besar dapat menimbulkan tremor, kedutan otot, midriasis,
reflek hieraktif dan konvulsi. Efek perangsang SSP tersebut
disebabkan oleh akumulasi metabolic aktifnya yaitu normeperidine
pada penggunaan jangka panjang terutama pada gangguan fungsi
ginjal atau anemi bulan sabit.

f) Indikasi
Analgesia pada meperidine hanya digunakan untuk menimbulkan
analgesia pada beberapa keadaan klinis, meperidine diindikasikan
atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada morpin.
Misalnya untuk tindakan diagnostic seperti sistoskopi, pielografi,
retrogad, gastroskopi, dan pneumoensefalosgrafi. Pada bronscoskopi
meeridine kurang cocok karena efek antitusifnya jauh lebih lemah
dari morfin.
Meperidine digunakan juga untuk menimulkan analgesia obstetric
dan sebagai obat preanastetik. Untuk menimbulkan analgesia
obstetric dibandingkan dengan morpin, meperidine kurang
menyebabkan depresi napas pada janin, tetapi sebagai medikasi

62
preanastetik masih dipertanyakan perluanya suatu analgesic opioid
pada penderita yang tidak menderita nyeri.
3. Morphine
a) Farmakodinamik
Efek samping morfin pada susunan saraf pusat dan usus
ditimbulkan karena morfin bekerja sebagai antagonis pada reseptor
α dan κ.

1) Susunan Saraf Pusat


 Narkosis
Efek morfine terhadap SSP berupa analgesic dan
narcosis. Analgesia morfine sudah timbul sebelum penderita
tidur dan sering kali terjadi analgesia tanpa disertai tidur.
Morfin dosis kecil menimbulkan euporia pada penderita yang
sedang menderita nyeri , seduh dan gelisah. Sebaliknya pada
dosis yang sama pada orang normal sering menimbulkan
disforia berupa perasaan khawatir atau takut disertai muntah
mual. Morfine menimbulkan pula rasa ngantuk, tidak dapat
berkonsentrasi, sukar berpikir, apatis aktifitas motoric
berkurang dan letergi, ektermitas terasa berat’ badan terasa
panas, muka gatal dan mulut terasa kering depresi napas dan
miosis. Rasa nyeri berkurang, rasa lapar hilang dan timbul
yang tidak selalu disertai mual. Dalam lingkungan yang
tenang orang yang diberikan dosis terapi 15-20 mg morfine
akan tertidur cepat dan banyak disertai mimpi, napas dalam
dan miosis.
 Analgesia
Efek analgesia morfine sangat selektif disertai oleh hilang
nya fungsi sensorik lain yaitu rasa laba, rasa getar ( vibrasi ),
penglihatan dan pendengaran, bahkan persepsi nyeri pun
tidak selalu hilang walaupun setelah pemberian morfine
dosis terapi. Yang terjadi adlah sesuatu perubahan reaksi

63
terhadap stimulus nyeri, penderita sering mengatakan bahwa
nyeri masih ada tetapi ia tidak menderita lagi. Pengaruh
morfine terhadap modalitas nyeri yang tidak tajam (dull pain)
dan berkesinambungan lebih nyata dibandingkan dengan
pengaruh morfine terhadap nyeri intermiten. Dengan dosis
terapi morfine dapat merendahkan nyeri kolik renal atau
kolik empedu. Nyeri mendadak yang menyertai tabes dorsalis
(tabletic crise) tidak dapat dihilangkan dengan sempurna oleh
morfine. Berbeda dengan salisilat, morfine dapat mengatasi
nyeri yang berasal dari integument, Otot dan sendi.
Efek enalgesik morfine timbul berdasarkan 3 mekanisme :
1) Morfine meninggalkan ambang rasa nyeri
2) Morfine dapat mempengaruhi emosi
3) Morfine memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang
rangsang nyeri meningkat.
 Eksitasi
Morfine sering menimbulkan mual muntah, sedangkan
delirium dan lebih jarang timbul.

 Miosis
Morfine bekerja pada reseptor u dan k menyebabkan
miosis. Miosis ditimbulkan oleh perangsangan pada segmen
otonom ini saraf okumuler. Miosis ini dapat dilawan oleh
atropine skopolamin. Pada intoksikasi morfine pin point
pupils merupakan gejala yang khas. Dilatasi berlebihan hanya
timbul pada stadium akhir intoksikasi morfine. Morfine
dalam dosis terapi mempertinggi daya akomodasi dan
menurunkan tekanan intraokuler, baik pada orang normal
maupun pada penderita glaucoma.
 Depresi Napas

64
Morfine menimbulkan depresi nafas secara primer dan
berkesinambungan berdasarkan efek langsung pada pusat
nafas batang otak. Pada dosis kecil morfine sudah
menimbulkan depresi nafas tanpa menyebabkan tidur dan
kehilangan kesadaran. Pada depresi nafas terjadi penurunan
frekuensi nafas, volume semenit dan tidal excenge, akibatnya
PCO2 dalam darah dan udara elveolar meningkat dan kadar
O2 dalam darah menurun. Morfine berguna untuk
menghambat reflek batuk disertai depresi nafas misalnya
noskapin.
 Mual Muntah
Efek emetic morfine terjadi berdasarkan stimulant
langsung pada anetik chemoroceptor tringger zone di area
posterma medulla oblongata, bukan oleh stimulan pusat
emetic sendiri. Efek emetik lain tidak efektif setelah
pemberian morfine. Derifet fenotiazin, yang merupakan
boker dopamine kuat mengatasi mual muntah akibat morfine.
Dengan dosis 15 kg morfine sub kutan pada penderita yang
berbaring, jarang terjadi mual dan muntah.

2) Saluran Cerna
Pada penelitian telah membuktikan bahwa morfine berefek
langsung pada cerna, bukan melalui efeknya pada SSP.
 Lambung : Lambung menghambat sekresi HCL, tetapi efek
ini lemah. Selanjutnya morfine menyebabkan pergerakan
lambung berkurang, tonus bagian antrum meninggi dan
motalitasnya berkurang sedangkan sfingter pylorus
berkonsentrasi. Akibatnya pergerakan isi lambung ke
duodenum. Pada manusia peninggian tonus otot pols
lambung oleh morfine sedikit diperkecil oleh atropine.

65
 Usus halus : morfine mengurangi sekresi empedu dan
pancreas, dan memperlambat pencernaan makan di usus
halus. Pada manusia, morfine mengurangikontrasi
propulsive, meninggikan tonus dan spasme periodic
 usus halus. Efek morfine ini lebih jelas terlihat pada
duodenum. Penerusan isi usus menjadi lebih padat. Tonus
valvula ileosekalis juga meninggi. Atroin dosis besar tidak
lengkap melawan efek morfine ini.
 Usus besar : morfine mengurangi atau menghilangkan
gerakan propulsi usus besar, meninggikan tonus otot dan
menyebabkan spasme usus besar, akibatnya penerusan isi
kolon menjadi lebih lambat dan tinja menjadi lebih keras.
Daya persepsi kortek dipengaruhi morfine sehingga
penderita tidak merasakan kebutuhan untuk defikasi,
walaupun tidak lengkap efek morfinepada kolon dapat
diantagonis oleh atropine.
3) Sistem Kardiovaskuler
Pemberian morfine dosis terapi tidak mempengaruhi
tekanan darah, frekuensi maupun irama denyut jantung.
Perubahan yang terjadi pada dosis toksis, tekanan darah turun
akibat hipoksida pada stadium akhir intoksikasi morfine. Hal
ini terbukti dengan dilakukannya nafas buatan atau dengan
memberikan oksigen, tekanan darah naik meskipun depresi
medulla oblongata masih berlangsung.
Morfine menurunkan kemampuan sistem kardiovaskuler
untuk bereaksi terhadap sikap. Penderita mungkin menderita
hipotensi ortastik dan dapat jatuh pingsan, terutama akibat
vasodilatasi perifer yang terjadi berdasarkan efek langsung
terhadap pembuluh darah kecil. Morfine melepaskan histamine
yang merupakan faktor penting dalam timbulnya hipotensi.
b) Farmakokinetik

66
Morfine tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat
diabsorbsi melalui kulit luka. Morfine juga dapat menembus
mukosa. Dengan kedua cara pemberian ini absorbs morfine kecil
sekali. Morfine dapat diabsorbsi usus, tetapi efek analgesiknya
setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgetik
yang timbul setelah pemberian parental dengan dosis yang sama.
Mula kerja semua alkaloid opioid setelah suntikan IV sama cepat,
sedangkan setelah suntikan subcutan, absorbsi berbagai alkaloid
opioid berbeda-beda. Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian
morfine mengalami konyugasi dengan asam glukuront di hepar,
sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas dan 18% tidak diketahui.
Morfine dapat melintas sawar uri dan mempengaruhi janin. Eskresi
morfine terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfine bebas
ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfine yang terkonjugasi
ditemukan dalam empedu. Sebagian yang sangat kecil dikeluarkan
oleh paru-paru. Sebagian kodein mengalami N-demilitasi. Urine
mengandung bentuk bebas dan bentuk konyugasi dari kodein,
norkodein dan morfine.
c) Efek Samping
Indiosinkrasi dan alergi
Morfine dapat menyebabkan mual dan muntah terutama pada
wanita berdasarkan idiosinkrasi lain ialah timbulnya eksitasi
dengan tremor, dan jarang-jarang delirium, lebih jarang lagi
konvulsi dan insomnia. Berdasarkan reaksi alergi dapat
menimbulkan gejala seperti urtikaria
4. Midazolam
a) Farmakodinamik
Obat induksi tidur jangka pendek atau premedikasi,
pemeliharaan anastesi, bekerja cepat dan karena tranformasinya
metaboliknya cepat dan karena kerjanya singkat, bekerja kuat
menimbulkan sedasi dan induksi tidur. Setelah pemberian IM<IV
terjadi amnesia anterograde.

67
b) Dosis
(1) Premedikasi
 IM 2,5-20 mg (0,05-0,2 mg/kg)
 Intranasal 0,2-0,3 mg/kg. gunakan larutan injektat potensi
tinggi (5 mg/ml)
 Rektal 15-20 mg (0,3-0,35 mg/kg).encerkan dalam 5 ml NS
(2) Sedasi
IV 0,5-5 mg (0,25-0,1 mg/kg). Titrasi lambat hingga efek yang
diinginkan (contohnya, awitan bicara tidak jelas). Pernafasan
dan fungsi jantung harus dimonitor secara continue.
(3) Induksi
 IV 50-350 µg/kg
 Infus 0,25-1,5 µg/kg/menit

(4) Antikolvulsan
 IV/IM 2-5 mg (0,025-0,1 mg/kg) setiap 10 menit seperti
yang diperlukan
c) Farmakologi
Mula kerja: IM sedasi: sampai 15 menit; IV.: 1-5 menit.
Puncak efek: IM: 0,5-1 jam. Durasi: IM: sampai 6 jam; rata-rata 2
jam. Absorpsi oral cepat. Distribusi: Vd: 0,8-2,5 L/kg; meningkat
oleh adanya gagal jantung kongestif dan gagal ginjal kronik. Ikatan
protein 95%. Metabolisme: secara ekstensif di hati melalui
CYP3A4. Biovailabilitas rata-rata 45%. Waktu paruh eliminasi: 1-
4 jam; diperpanjang oleh sitrosis, gagal jantung kongestif, obesitas
dan ketuaan. Ekskresi : lewat urin sebagai metabolit yang
terkonjugasi oleh glukuronat; feses 2-10%.
d) Penyimpanan
Pada konsentrasi akhir 0,5 mg/ml stabil sampai 24 jam bila
diencerkan dengan larutan NaCl fisiologis atau larutan dekstrosa
5%. Larutan 1 mg/ml dalam NaCl fisiologis stabil sampai 10 hari.
Dapat juga dicampur dengan larutan Ringer Laktat. Campuran

68
larutan yang disimpan singkat tidak perlu diproteksi terhadap
cahaya. Penyimpanan suhu kamar (15º-30ºC), lindungi dari cahaya.
e) Kontra Indikasi
Hipersensitif pada midazolam atau komponen lain dalam
formula, termasuk benzilalkohol (sensitivitas silang dengan
benzodiazepine lain); bentuk sediaan parental tidak boleh
digunakan untuk intratekal atau epiderual; glaucoma sudut sempit,
penggunaan bersamaan dengan inhibitor kuat CYP3A4
(amprenavir, atazanavir, ritonavir); kehamilan.
f) Efek Samping
(1) Kardiovaskuler : Takikardi, vasovagal, hipotensi
(2) Pulmoner : Bronkospasme, laringospasme, apneu,
hipoventilasi
(3) SSP : Euforia, delirium bangkitan, agitasi,
hiperaktivitas, gerakan tonik-klonik
(4) GI : Saliva, muntah, rasa asam
(5) Dermatologic : Ruam, pruritis, hangat atau dingin pada
tempat suntikan
g) Interaksi Makanan
Etanol: hindari etanol, karena dapat memperkuat penghambat
SSP. Makanan: Jus grapefruit dapat meningkatkan konsentrasi
midazolam di serum; hindari pemberian bersamaan. Herbal: hindari
penggunaan bersamaan dengan St.Johns wort karena dapat
menurunkan konsentrasi midazolam atau meningkatkan
penghambat SSP. Hindari penggunaan bersama valerian, kava-
kava, gotu kola karena meningkatkan penghambat SSP.
h) Interaksi Obat
Efek Sitokrom P450: substrat CYP2B6 (minor), 3A4 (major);
Penghambat CYP2C8 (lemah), 2C9 (lemah), 3A4 (lemah).
Peningkatan efek/toksisitas: penghambat CYP3A4 dapat
meningkatkan efek/tingkat midazolam; misalnya antijamur azol,
klaritromisin, diklofenak, doksisiklin, eritromisin, imatinib

69
isoniazid, nefazodon, nikarpidin, propofol, protease inhibitor,
kunidin, telitromisin, dan verapamil. Dosis midazolam harus
diturunkan 30% padausia <65 tahun, 50% pada usia >65 tahun bila
diberikan bersama narkotik, dan penghambat SSP lainnya.
Penurunan efek: Peninduksi CYP3A4 dapat menurunkan
efek/tingkat midazolam; misalnya aminoglutetimid, karbamazepin,
nafsilin, nevirapin, fenobarbital, fenitoin, dan rifamisin.
i) Pengaruh Kehamilan
Faktor risiko D. Midazolam dapat melewati plasenta; tidak
direkomendasikan penggunaan pada kehamilan.
j) Peringatan
(1) Mengurangi dosis padamanula, pasien hipovolemik, beresiko
tinggi dan penggunaan bersama sedative atau narkotik lain
(2) Pasien dengan COPD biasanya peka terhadap efek depresi
pernafasan
(3) Penggunaannya merupakan kontraindikasi pada glaucoma
sudut-sempit atau terbuka akut kecuali pasien mendapatkan
terapi yang sesuai
(4) Hipotensi dan depresi pernafasan yang tidak diharapkan dapat
terjadi jika diberikan bersama opioid; pertimbangkan dosisyang
lebih kecil

(5) Depresi dan henti pernafasan dapat terjadi jika digunakan untuk
sedasi, jika digunakan untuk sedasi jangan berikan sebagai
suatu bolus. Terapi kelabihan dosis dengan tindakan suportif
dan flumazenil (IV lambat 0,2-1 mg).

k) Mekanisme Aksi
Berikatan dengan reseptor stereospesifik benzodiazepin pada
neuron postsinaps GABA di beberapa tempat di SSP, termasuk di
sistem limbic, dan reticular formation. Meningkatkan efek

70
hambatan oleh GABA pada perangsangan neuron akibat dari
meningkatnya permeabilitis neuron terhadap ion Chlorida.

b. Obat Induksi
1. Propofol
Obat induksi sedasi sadar, menimbulkan induksi yang cepat serta
distribusi dan eliminasi yang cepat pula. Mendepresi myocard
langsung, mengakibatkan apne dan hipertensi. Tidak mempunyai efek
analgetik, memiliki efek anti emetic intrinsic. Dapat menekan korteks
adrenal dan menurunkan kadar kartisol plasma. Mengurangi aliran
darah ke otak, tekanan perpusi otak, dapat terjadi pelepasan histamin
dan reaksi alergi kemugkinan sekali berupa anafilaksis. Kurangi dosis
untuk manula dan penggunaan bersama narkotik dan hipnotik sedatif.

a) Farmakologi
Tidak bersifat histamine release/reaction anaphylactoid
(cheremophor El diganti dengan minyak soyabean), pada injeksi
perivascular injection: tidak terjadi nekrosis jaringan, pada injeksi
intra arteri tidak terjadi nekrosis jaringan. Mekanisme kerja: diduga
menghasilkan efek sedative hipnotik interaksi dengan gamma-
amino bucryc acid (GABA), neurotranmilter inhibitor pada sistem
saraf pusat.

b) Dosis
- Sediaan 10 mg/cc cairan putih seperti susu.siapkan dalam spuit
20cc.’
- Dosis anak > 8 thn : 2,5 mg/ KgBB (IV)
- Dewasa : 2 – 2,5 mg/ KgBB (IV)
- Orang tua : 1,25 – 2 mg/ KgBB (IV)
c) Kontra Indikasi
Pada pasien yang mengalami alergi terhadap telur atau minyak
kedelai.

71
d) Ekskresi
Dimetaboliser dihati.
e) Efek Samping
 Pernapasan : depresi pernapasan, ane, cegukan, Bronco
Spasme, Laringaspasme. Cardio Vaskuler : Hipotensi,
aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi.
 Susunan saraf pusat : Sakit kepala, pusing, europia,
kebingungan, gerakan klonik/mioklonik, apestotonus, kejang
 Gastrointestinal : Mual, muntah ringan, kram abdomen.
 Lain-lain : Demam. Ilusi seksual, nyeri pada tempat
suntikan.
2. Ketamine
Pertama kali ditemukan oleh Domino dan Carsen tahun 1965, yang
termasuk golongan Phewilcyclo Hexylamin. Merupakan anastetik
disosiatif induksi dan pemeliharaan anastesi, khususnya pada pasien
hipovolemik atau berisiko tinggi, satu-satunya anastetik untuk prosedur
bedah singkat.
a) Farmakologi
Menimbulkan anastesi disosiatif dan bereaksi cepat yang
ditandai dengan adanya reflex laring yang normal atau agak
meningkat, tonus otot rangka yang normal atau meningkat,
stimulasi pernapasan, dan kadang-kadang depresi pernapasan yang
sementara atau menimal. Ketamine juga bekerja pada reseptor
Kolinergik muskarinik, serotonin, dan norepinephrine dalamSSP.
Pengaruh terhadap ECG meliputi peningkatan aktifitas alfa, delta.
Dan tetap peruahan pada gelombang beta. Ketamine menimbulkan
peningkatan tonus uterus terkait dosis tanpa efek berlawanan
terhadap aliran darah uterus (pada dosis < 1 mg/kg). Sekresi dari
trakeobronkial meningkat. Ketamin tidak melepaskan histamin.
b) Farmakokinetik
Ketalar dapat menimbulkan delirium, penurunan kebutuhan
anastetik volatile, hipertensi, aritmia, iskemia, miokard pada

72
penggunaan bersama simpatumetitik (contohnya efineprine),
depresi hemodinamik dapat terjadi dengan adanya penyekat alfa,
penyekat beta, penyekat ganglion, anastesi epidural servikal,
transeksi medulla spinalis, penggunaan bersama dengan
benzodiazepine, barbitural, anastetik volatile dapat memperpanjang
pemulihan, peningkatan penyekat neuromuskuler depolarisasi,
penurunan ambang kejang jika diberikan dengan amiofilin.
c) Sifat Fisik
 Mempunyai daya analgesic yang kuat terutama untuk nyeri
somatic sedangkan untuk nyeri visceral tidak ada
 Tidak mempunyai sifat relaksasi malahan tonus otot sering
maningkat
 Hipersalivasi, mual dan muntah
 Batas keselamatan lebar
 Tidak ada toksik terhadap hepar dan ginjal
 Waktu siuman lama
 Merangsang sekresi katekolamin.
d) Penggunaan Klinik
Tersedia dalam vial : dosis 100 mg/cc dan 50 mg/cc
Cara pengenceran :
1. 100 mg/cc : ambil 1 cc + aquades 9 cc = 10 cc, jadi 1 cc = 10
mg
2. 50 mg/cc : ambil 2 cc + aquades 8 cc = 10 cc, jadi 1 cc = 10
mg.
e) Dosis
 IV :1-2 mg/KgBB
Onset 15 detik
Durasi obat 5-10 menit
 IM :5-7 mg/KgBB
Onset 2-8 menit
Durasi obat 10-20 menit
f) Efek

73
Terhadap CNS
 Mempunyai analgesic kuat, hipnotik kurang
 Mimpi buruk, halusinasi, disorientasi dan bangun lama
 Cerebral blood flow meningkat
 Intracranial pressure meningkat.
Terhadap Kardiovaskuler
 Tekanan darah meningkat 20-25 %
 Nadi meningkat
 Kardiak output meningkat karena pengeluaran adrenalin dalam
sirkulasi.
Terhadap Respirasi
 Dilatasi bronkus dan antagonis terhadap efek konstiksi bronkus
oleh histamine
 Dapat terjadi depresi nafas bila dosis berlebihan
 Obstruksi dan aspirasi dapat terjadi walaupun kemungkinan
kecil.
g) Indikasi
 Pasien asmatik
 Untuk prosedur diagnostic orthopedic (reposisi + biopsi)
 Untuk tindakan operasi kecil
 Untuk pasien resiko tinggi karena ketamine tidak mendepresi
fungsi vital
 Tersering digunakan di daerah bila alat anestesi tidak ada.
h) Kontraindikasi
 Hipertensi dengan systole > 160 mmHg, diastole > 100 mmHg
 Pasien pre eklampsi dan eclampsia
 Pasien riwayat CVA
 Pasien penyakit jantung coroner
 TIK meningkat, kontusio serebri, trauma kapitis dan herniasi
otak.
i) Keuntungan Ketamin

74
 Depresi kardiovaskuler minimal sehingga baik untuk pasien
syok
 Depresi faring dan laring minimal
 Airway dapat dipertahankan tanpa intubasi
 Mudah pemberiannya
 Anestesi sangat baik.
j) Kerugian Ketamin
 Reaksi emergensi (mimpi buruk, halusinasi ) terutama pasien
dewasa
 Harga mahal
 Hipertensi
 Relaksasi kurang
 Peningkatan salivasi
 Mata masih terbuka dan ada gerakan spontan.
k) Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Pemakaian Ketamin
 Hindari sedasi ketamine IM (1-2 mg/kg) pada bayi praterm
karena dapat menyebabkan apnea lama dan bradikardia
 Jangan campur dengan barbiturate dalam suntikan yang sama
Karena dapat pembentukan presipitat atau endapan.
 Hati-hati penggunaan pada pasien hipertensi berat, penyakit
jantung iskemik atau aneurisma, pasien dengan TIK
meningkat, alkoholik kronis dan terintoksikasi alcohol secara
aktif
 Peningkatan TIK akibat ketamine dapat diperlemah dengan
hiperventilasi dan pra pengobatan benzodiazepine.

c. Analgetik Opioid
1. Fentanyl
Obat analgesic yang sangat kuat berupa cairan isotonic steril untuk
penggunaan intravena. Zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan
100x morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat

75
mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar. Fentanyl dikombinasi
dengan droperidol untuk menimbulkan neurolep analgesia.
a) Farmakologi
Metabolisme terutama dalam hati. Ekskresi melalui urin
sebagai metabolit tidak aktif dan obat utuh 2-12 %. Pada kerusakan
ginjal terjadi akumulasi morfin-6-glukoronid yang dapat
memperpanjang aktivitas opioid. Kira kira 7-10 % melalui feses.
b) Dosis
(1) Analgesia
(1) IV/IM : 25-100 µg (0,7 µg/KgBB)
(2) Oral tranmukosa : 200-400 µg (5-15 µg/KgBB). Setiap 4-
6 jam, oralet harus dihisap dan tidak dikunyah.
(2) Induksi
(1) Bolus IV : 5-40 µg/kg atau
(2) Infus : 0,25-0,2 µg/kg/menit selama ≤ 20 menit.
(3)
(3) Suplemen anesthesia
(1) IV : 2-20 µg/kg
(2) Infus : 0,025-0,25 µg/kg/menit.
(4) Anestesik Tunggal
(1) IV : 50-150 µg/kg (dosis total) atau
(2) Infus : 0,25-0,5 µg/kg/menit.
(5) Epidural
(1) Bolus IV : 50-100 µg (1-2 µg/kg), diencerkan dalam 10 ml
(2) NS (bebas pengawet)
(3) Infus : 25-60 µg/jam (0,5-0,7 µg/kg/jam).
(6) Spinal
Bolus : 5-20 µg (0,1-0,4 µg/kg).
(7) Blok Regional
IV : tambahkan 50 µg (1 µg/kg) fentanyl pada anastetik local.
(8) Blok Pleksus Brakhialis

76
Tambahkan 50-100 µg (1-2 µg/kg) fentanyl pada 40 ml (0,5-
0,75 µg/kg) anestetik local.
c) Penyimpanan

(1) Suntikan : suhu kamar (15-30o C), lindungi dari cahaya.

(2) Sistem transdermal : suhu dibawah 30o C


d) Kontraindikasi
Hipersensitivitas, depresi pernapasan yang parah, sediaan
transdermal tidak derekomendasikan pada nyeri akut atau paska
operasi, nyeri kronis ringan atau intermitten atau pasien yang belum
pernah menggunakan opioid dan toleran terhadap opioid.
e) Efek Samping
a) Kardiovaskuler : hipotensi, bradikardi
b) Pulmoner : depresi pernafasan, apneu
c) SSP : pusing, penglihatan kabur, kejang
d) Mata : miosis
e) Muskuloskeletal : kekakuan otot
f) GI : mual, emesis, pengosongan lambung tertunda,
spasme trakstus biliaris.
f) Interaksi Obat
 Antidepresan (MAO & trisiklik) : potensiasi efek antidepresan
 Agonis opioid lainnya, anestetik umum, trankuilizer, sedative,
hinotik : potensiasi efek depresi SSP.
 Relaksan otot : opioid dapat meningkatkan kerja
penghambatan neuromuskuler
 Kumarin, antikoagulan : potensiasi aktivitas antikoagulan
 Diuretic : opioid menurunkan efek diuretic pada pasien dengan
kengestif jantung
 Amfetamin : dekstroamfetamin dapat meningkatkan efek
analgetik opioid.
i. Pengaruh Pada Anak
Keamanan dan efikasi pada anak-anak belum diketahui.

77
ii. Pengaruh Pada kehamilan
Kategori C : dapat digunakan jika potensi manfaat lebih besar
daripada resiko pada janin.
iii. Pengaruh Menyusui
Hati-hati pemakaian pada ibu menyusui.
iv. Parameter Monitoring
Status sistem pernapasan dan status mental, tekanan darah.
4) Bentuk Sediaan
a) Suntikan : 50 µg/ml
b) Transdermal : 25 µg/ml, 50 µg/ml, 75 µg/ml, 100 µg/ml.
c) Oralet tranmukosa : 200 µg, 300 µg, 400 µg.
5) Peringatan
Hati-hati pada pasien disfungsi hati dan ginjal karena akan
memperlama kerja dan efek akumulasi opioid, juga pada pasien lanjut
usia, pada depresi SSP yang parah, anoreksia, hiperkapnia, depresi
pernapasan, aritmia, kejang, cedera kepala, tumor otak dan asma
bronkial.
i. Informasi Pasien
Hindari pemakaian alcohol, dapat menyebabkan ngantuk (hati-
hati mengendarai mobil atau menjalankan mesin), gangguan
koordinasi, pada penggunaan jangka panjang menyebabkan
ketergantungan fisik dan psikologi.
ii. Mekanisme Aksi
Berikatan dengan reseptor di system saraf pusat, mempengaruhi
persepsi dan respon terhadap nyeri.

d. Antagonis Obat Narkotik


1. Naloxone
Naloxone adalah antagonism opiod dan bekerja pada reseptor µ
(mu), delta, kappa dan sigma. Pemberian nalokson pada pasien setelah
mendapatkan morfin akan terlihat : laju nafas meningkat, kantuk
menghilang, pupil mata dilatasi, tekanan darah sebelumnya rendah akan

78
meningkat. Kemasan suntikan 0,4 mg/ml, suntikan neonates 0,02
mg/ml.
1) Kegunaan
Nalokson biasanya digunakan untuk melawan depresi
pernafasan pada akhir pembedahan dengan dosis dicicil 1-2
µg/KgBB IV, dapat diulang tiap 3-5 menit sampai ventilasi
dianggap baik.
Pada keracunan opioid nalokson dapat diberikan per infus dosis
4-5 µg/kg/jam. Untuk depresi nafas neonates yang ibunya
mendapat opioid berikan 10 µg/kgBB dapat diulang setelah 2
menit.
Biasanya 1 ampul nalokson, diambil 0,4 mg kemudian dioplos
menjadi 10 cc, sehingga tiap cc mengandung 0,04 mg, bisa
diberikan bertahap yaitu 0,5-1 µg/kg setiap 3-5 menit.
2) Efek Samping
Dapat menaikkan tekanan darah pada septik syok.
Dapat menimbulkan oedem paru.
3) Eliminasi
Dimetabolisme di liver.

4) Penggunaaan :
Reversi dari depresi narkotik dan spasme traktus biliaris,
pengobatan tambahan pada kelebihan dosis captopril, clonidine,
codein, dekstrometorfan, difenoksilat dan propoksifen, pengobatan
efek samping narkotik (contoh : pruritus, mual), terapi tambahan
syok septik dan kardiogenik.
5) Farmakologi
Nalokson merupakan antagonis opioid murni tanpa aktivitas
agonis.secara kompetisi menghambat agonis opiate pada reseptor
mu, delta, kappa dan mencegah atau mereversi efek opioid,
termasuk depresi pernapasan, sedasi, hipotensi, analgesia dan
spasme traktus biliaris. Nalokson dapat juga mereversi efek

79
psikoemetik dan disforik dari antagonis seperti penazosin. Depresi
SSP dan pernafasan sebagai akibat sekunder kelebihan dosis
captopril, clonidine, codein, dekstrometorfan, difenoksilat dan
propoksifen dapat direversi dengan nalokson. Nalokson dapat
mereversi ketidakstabilan kardivaskuler dan hipotensi sebagai
akibat sekunder dari endorphin endogen (vasodilatasi poten) yang
dilepaskan pada pasien syok septik atau kardiogenik, nalokson
tidak menimbulkan depresi pernafasan, psikomimeik, konstriksi
pupil.
6) Farmakokinetik
 Awitan aksi : IV : 1-2 menit; IM/SK 2-5 menit
 Efek puncak : IV/IM/SK : 5-15 menit
 Lama aksi : IV/IM/SK : 1-4 jam
 Interaksi/toksisitas : reverse analgesia, peningkatan aktivitas
system saraf simpatis termasuk takikardi, hipertensi, edema
paru dan aritmia jantung. Mual dan muntah berhubungan
dengan dosis dan kecepatan penyuntikan.
7) Pedoman/peringatan
 Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan penyakit jantung
yang sudah ada sebelumnya atau yang mendapat obat-obatan
yang secara potensial kardotoksik.
 Titrasi lambat hingga efek yang diinginkan
 Pasien yang memberikan respon terhadap nalokson harus
dipantau secara seksama karena lamanya aksi dari beberapa
opiate dapat melebihi lama aksi nalokson.
 Jika akses intravena tidak ada, obat dapat diencerkan 1:1 dalam
NS steril dan disuntikkan via pipa endotrakeal.
 Berikan dengan hati-hati pada orang yang diketahui atau
dicurugai secara fisik tergantung pada opioid, termasuk dari
ibu dengan ketergantungan narkotik.
8) Kemasan
 Suntikan 0,4 mg/ml, 1 mg/ml

80
 Suntikan neonates 0,02 mg/ml
 Penyimpanan : suhu kamar (15-30 oC), lindungi dari cahaya.
9) Pengenceran Untuk Infus
 Depresi narkotik/kelebihan dosis obat : IV, 1 mg dalam 100 ml
D5W atau NS (10µg/ml).
 Efek samping narkotik : IV, 0,4-0,8 mg (1-2 ampul) dalam 100
ml.
 Reaksi efek samping : berkeringat , pulmoner : edema paru, GI
: mual dan muntah, SSP : gemetaran, kardiovaskuler :
takikardi.

e. Obat Relaxant
1. Atracurium
Atracurium mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal
dari tanaman Leontice Leontopeltatum. Keunggulannya dalah
metabolism terjadi di dalam darah, tidak bergantung pada fungsi hati
dan ginjal, tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian ulang.
a) Penggunaan
Relaksan otot non depolarisasi
b) Farmakologi
Atrakurium merupakan relaksan otot skelet non depolarisasi.
Obat ini berkompetisi untuk reseptor kolinergik pada lempeng
akhir motoric. Lama blockade neuromuskuler adalah sepertiga dari
pankuronium pada dosis equipotent. Obat ini mengalami
metabolism yang cepat melalui eliminasi hofmannya adalah
laudanosin, suatu stimulant otak yang terutama diekskresikan ke
dalam urin. Dosis yang berulang atau infus yang berlanjut kurang
mempunyai efek kumulatif terhadap angka pemulihan disbanding
relaksan otot lain. Konsentrasi laudanosin darah dapat mendekati
rentang konvulsan (5,1 µg/ml) pada infus yang lama.
c) Farmakodinamik

81
Atrakurium merupakan neuromuskuler bloking agent yang
sangat selektif dan kompetitif dengan lama kerja sedang. Non
depolarizing agen bekerja antagonis terhadap neurotransmitter
asetilkolin melalui ikatan reseptor site pada motor-end-plate.
Atrakurium dapat digunakan pada berbagai tindakan bedah dan
untuk mefasilitasi ventilasi terkendali. Atrakurium tidak
mempunyai efek langsung terhadap tekanan intraokuler dan
karena itu dapat digunakan untuk operasi opthalmik.
d) Farmakokinetik
Waktu paruh eliminasi kira-kira 20 menit. Atrakurium
diinaktivasi melalui eliminasi Hoffman, suatu proses non
enzimatik yang terjadi pada pH dan suhu fisiologis dan melalui
hidrolisis ester yang dikatalis oleh esterase non spesifik.
Eliminasi atrakurium tidak bergantung pada fungsi ginjal dan
hati. Produk urai yang utama adalah laudanosin dan alcohol
monoquartenary yang tidak memiliki aktivitas blockade
neuromuskuler. Alcohol monoquartenary tersebut secara spontan
terdegradasi oleh proses eliminasi Hoffman dan diekskresi melalui
ginjal. Laudanosin diekskresi melalui ginjal dan dimetabolisme di
hati. Waktu paruh laudanosin berkisar 3-6 jam pada pasien dengan
fungsi ginjal dan hati normal, dan sekitar 15 jam pada pasien gagal
ginjal, sedangkan pada pasien gagal ginjal dan hati sekitar 40 jam.
Terminasi kerja blockade neuromuskuler atrakurium tidak
tergantung pada metabolism ataupun ekskresi hati atau ginjal. Oleh
karena itu, lama kerjanya tidak dipengaruhi oleh gangguan fungsi
ginjal, hati atau peredaran darah.
Uji plasma pasien dengan kadar pseudocholinesterase rendah
menunjukkan bahwa inaktivasi atrakurium tidak terpengaruh.
Variasi pH darah dan suhu tubuh pasien selama masih dalam
kisaran fisiologistidak akan mengubah lama kerja atrakurium
secara bermakna. Konsntrasi metabolit didapatkan lebih tinggi pada

82
pasien ICU dengan fungsi ginjal atau hati yang abnormal.
Metabolit ini tidak berperan pada blockade neuromuskuler.
e) Dosis
 Intubasi IV 0,3-0,5 mg/kg
 Pemeliharaan
a) IV 0,1-0,2 mg/kg (10%-50% dari dosis intubasi)
b) Infus 2-15 µg/kg/menit
c) Prepengobatan/priming : IV 10% dari dosis intubasi,
diberikan 3-5 menit sebelum dosis relaksan
depolarisasi/non depolarisasi.
f) Eliminasi
Plasma (eliminasi Hoffman, hidrolisis ester), hati dan ginjal.
g) Efek Samping
 Kardiovaskuler : hipotensi, vasodilatasi, takikardi sinus,
bradikardi.
 Pulmoner : hipoventilasi, apneu, bronkospasme dan
laringospasme.
 Muskoloskeletal : blok yang tidak adekuat, blok yang lama.
 Dermatologic : ruam, urtikaria.
h) Peringatan
Monitor respon dengan stimulator saraf tepi untuk memperkecil
resiko kelebihan dosis.
 Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan riwayat asma
bronkial dan reaksi anafilaktik
 Efek reverse dengan antikolinesterase seperti piridostigmine
bromide atau edrofonium berbarengan dengan penggunaan
atropine atau glikopirolat
 Dosis pra pengobatan dapat menimbulkan suatu tingkat
blockade neuromuskuler yang pada beberapa pasien cukup
untuk menyebabkan hipoventilasi.
i) Penyimpanan

83
o
Dinginkan (2-8 C). jangan biarkan membeku, pada saat
pengangkatan dari pendinginan ke suhu ruang, gunakan dalam 14
hari jika didinginkan kembali.
2. Rocuronium
Zat ini merupakan analog vekuronium dengan awal kerja lebih
cepat. Keuntungannya adalah tidak mengganggu fungsi ginjal,
sedangkan kerugiannya adalah terjadi gangguan fungsi hati dan efek
kerja yang lebih lama.
a) Penggunaan
Relaksasi otot skelet.
b) Metabolisme Dan Ekskresi
Eliminasi terutama oleh hati dan sedikit oleh ginjal. Durasi tidal
terpengaruh oleh kelainan ginjal, tapi diperpanjang oleh kelainan
hepar berat dan kehamilan, baik untuk infusan jangka panjang (di
ICU). Pasien geriatri menunjukkan prolong durasi.
c) Dosis
1) Intubasi IV 0,6-1,2 mg/kg.
2) Pemeliharaan
a) IV 0,06-0,6 mg/kg (10-50% dari dosis intubasi).
b) Infus, 5-15 mg/kg/menit

3) Prapengobatan / priming

(a) IV 10% dari dosis intubasi diberikan 3-5 menit sebelum


dosis relaksan depolarisasi / non depolarisasi

(b) Pada pasien obesitas,dosis rokuronium harus didasarkan


pada berat badan sesungguhnya ( dan bukan pada berat
ideal seperti halnya pada sebagian besar obat )

d) Farmakologi
Rokuronium merupakan obat pemblokir neuromuskuler
nondepolarisasi steroid dengan lama aksi serupa dengan
vekuronium.Rokuronium 8 kali kurang potens daripada
vekuronium dan berkompetisi untuk reseptor kolinergik pada

84
lempeng akhiran motorik.Dengan dosis yang meningkat awitan
waktu berkurang dan lama waktu diperpanjang.Tidak ada
perubahan yang secara klinis bermakna dalam parameter
hemodinamik.Tidak seperti vekuronium,rekuronium mempunyai
aktivitas vagolitik ringan dan kadang-kadang dapat menimbulkan
takikardi.Rokuronium tidak melepaskan konsentrasi histamin yang
secara klinis bermakna.
e) Efek Samping
1) Kardiovaskuler : Takikardi,aritmia
2) Pulmonar : Hipoventilasi,apneu,bronkospasme
3) Muskuloskelet : Blok yang tidak adekuat,blok yang
diperpanjang
4) Dermatologik : Ruam,edema tempat suntikan,pruritis.
f) Peringatan
a) Pantau respons dengan stimulator saraf tepi untuk
memperkecil resiko kelebihan dosis
b) Efek reversi dengan antikolinesterase seperti
neostigmen,endrofonium, atau piridostigmen bromida
bersama dengan atropin atau glikopirolat.
c) Dosis prapengobatan dapat menimbulkan tingkat blokade
neuromuskuler yang pada beberapa pasien cukup untum
menyebabkan hipoventilasi.
d) Rokuronium tampaknya tidak memicu hipertemia maligna.

f. Obat Emergency
1. Adrenalin
a) Farmakologi
Pada umumnya pemberian obat ini menimbulkan efek
stimulasi saraf adrenergik .Ada beberapa perbedaan karena
neurotransmitor pada syaraf adrenergik adalah Non epinefrine.
Efek paling menonjol adalah efek pada jantung,otot polos
pembuluh darah dan otot polos lain.Obat ini menstimuler baik

85
alfa maupun betha reseptor. Zat ini juga dibentuk dalam medulla
supra renalis ,yang kemudian disimpan dalam granula-granula
interseluler dan ujung-ujung saraf adrenergik dan dilepaskan oleh
acetil choline dari serabut otonom pre ganglion.
1. Sistem Kardiovaskuler
Efek terbesar pada sistem kardiovaskuler adalah dalam
hal menambah stroke volume, cardiac rate cardia
output.terjadi peningkatan kontraktilinitas miokard dan nadi.
Tekanan sistole akan meninggi tetap tekanan diastole tidak
terlalu banyak dipengaruhi. Terjadi vasodilatasi pembuluh
darah, dan dengan bertambahnya cardi output inilah yang
akan menyebabkan tekanan darah naik,tekanan darah perifer
juga naik. Sangat penting digunakan pada penderita cardiac
arest.Kerjanya pada jantung mengaktivasi reseptor beta-1
diotot jantung dan jaringan konduksi. Ini merupakan dasar
efek inotropik dan kronotropik positif epinefrine pada
jantung.Efineprine mempercepat depolarisasi fase 4, yakni
depolarisasi lambat sewaktu diastole,dari nodissino atrial
(SA) dan sel otomatik lainnya,dengan demikian mempercepat
firing rate pacu jantung dan merangsang pembentukan fokus
ektopik dalam ventrikel.Dalam nodus SA,
Epinefrine juga menyebabkan perpindahan pacu jantung
ke sel yang mempunyai firing rate yang lebih
cepat.Epinefrine memperkuat waktu sistolik tanpa
mengurangi waktu diastoli. Akibatnya curah jantung
bertambah,tetapi kerja jantung dan pemakaian oksigen makin
bertambah,sehingga efisiensi jantung berkurang.
2. Ginjal/Kandung Kemih
Terjadi penyempitan pembuluh darah ginjal,RBF
menurun.Menyebabkan relaksasi otot detrusor melalui
reseptor Beta-2 dan kotraksi otot trigonium dan sfingter
melalui Alfa-1,sehingga dapat menimbulkan retensi urine.

86
3. Sistem Respirasi
Epinefrine mempengaruhi pernafasan terutama dengan
cara merelaksasi otot bronchus melalui reseptor Beta-
2.Bronchus melebar,baik pemberian secara topikal maupun
injeksi . Hal ini dapat menambah tidal volume walaupun pada
penderita normal sekalipun. Efek bronkhodilatasi ini jelas
sekali bila sudah ada kontraksi otot polos bronchus karena
asma bronkial, histamin, ester kolin,pilorkapin,bradikinin,zat
anafilaksis yang bereaksi lambat ( SRS-A) dan lain-lain. Pada
asma epineprine juga menghambat pelepasan mediator
inflamasi dari sel-sel mast melalui reseptor B2, serta
mengurangi sekresi bronkus dan kongesti melalui reseptor
alfa-1.
4. Susunan Saraf Pusat
Epinefrine pada dosis terapi tidak mempunyai efek
stimulasi SSP kuat karena obat ini relatif polar sehingga
sukar masuk SSP.Tetapi pada banyak orang epinefrine dapat
menimbulkan kegelisahan,rasa kwatir,nyeri kepala dan
tremor,sebagainya karena efek pada sistem kardiovaskuler.
5. Saluran Cerna
Melalui reseptor alfa dan beta-2,epinefrine menimbulkan
relaksasi otot polos saluran cerna pada umumnya, tonus dan
motilitas usus dan lambung berkurang,tapi spinter pylorus
dan spinter ileocolic akan berkontraksi ( efek alfa dan
betha ).sekresi dari kelenjar-kelenjar usus akan
terlambat.Glikogin akan dimobilisir dari liver, sehingga kadar
gula darah akan naik.
b) Farmakokinetik
 Absorpsi pada pemberian oral epinefrine tidak mencapai
dosis terapi karena sebagian besar oleh enzim COMT dan
MAO yang banyak terdapat pada dinding usus dan hati. Pada
penyuntikan sub kutan,absorpsi yang lambat terjadi karena

87
vasokontriksi lokal,dapat mempercepat dengan memijat
tempat suntikan.Absorpsi yang lebih cepat terjadi dengan
penyuntikan IM.Pada pemberian lokal secara
inhalasi,efeknya terbatas terutama pada saluran nafas,tetapi
efek sistemik dapat terjadi ,terutama bila digunakan dosis
besar.
 Biotransformasi dan EkskresiEpinefrine stabil dalam darah
Degradasi epinefrine terutama terjadi dalam hati yang banyak
mengandung kedua enzim COMT dan MAO,tetapi jaringan
lain juga dapat merusak zat ini. Metabolit-metabolit ini
bersifat epinefrine yang tidak di ubah dikeluarkan dalam
urine. Pada orang normal jumlah epinefrine dalam urine
hanya sedikit.
c) Intoksikasi/Efek Samping Dan Kontra Indikasi
Pemberian epinefrine dapat menimbulkan gejala seperti
perasaan takut, kwatir, gelisah, tegang, nyeri kepala berdenyut,
pusing,sukar bernafas,dan palpitasi. Gejala-gejala ini cepat setelah
istirahat. Penderita hipertiroid dan hipertensi lebih peka terhadap
efek-efek tersebut diatas maupun terhadap efek pada sistem
vaskuler. Pada penderita psikonurotik epinefrine dapat
memperberat gejala-gejalanya. Dosis epinefrine yang besar atau
penyuntikan IV cepat dengan tidak disengaja akan menimbulkan
perdarahan otak karena kenaikan tekanan darah yang
hebat.Bahkan penyuntikan lewat sub kutan 0,6 ml larutan 2 : 1000
dapat menimbulkan perdaraha sub araknoid dan hemiplagia.
Untuk mengatasinya dapat diberikan vasodilator yang kerjanya
cepat, misalnya nitrit atau natrium nitropusit, epinefrine dapat
menimbulkan aritmia ventrikel.febrilasi ventrikel bisa terjadi
biasanya bersifat fatal, ini terutama terjadi bila epinefrine
diberikan sewaktu anastesia dengan hidrokarbon berhalogen, atau
pada penyakit jantung organik.
 Awitan aksi : IV 30-60 detik

88
Sub kutan 6 – 15 menit
Intra trakea 4 -15 detik
Inhalasi 3 – 5 menit
 Efek puncak IV dalam 3 menit
 Lama aksi : IV 5 – 10 menit
Intra trakea 15 – 25 menit
Inhalasi 1 – 3 jam
d) Penggunaan Klinis
Manfaat epinefrine dalam klinis berdasarkan efeknya terhadap
pembuluh darah jantung dan otot polos bronkus.Penggunaan
paling sering untuk menghilangkan sesak nafas akibat
bronkokonstriksi untuk mengatasi reaksi hipersensitifitas terhadap
obat maupun alergen lainnya,dan untuk memperpanjang masa
kerja anastetik lokal.Epinefrine juga untuk merangsang jantung
pada waktu terjadi henti jantung oleh berbagai sebab. Secara lokal
obat ini digunakan untuk menghentikan perdarahan kapiler.
e) Dosis
 Henti Jantung
Dosis standart : Bolus IV, 1 mg atau 0,02 mg/kg ( 10 ml atau
0,02 mg/kg larutan 1 ; 10000 ). Berikan setiap 3 – 5 menit
seperlunya,jika tidak ada respon setelah dosis kedua berikan
dosis tinggi.
Dosis tinggi ( dapat diterima,kemungkinan dapat membantu),
bolus IV 5 – 10 ml larutan 1 : 1000 setiap 3 – 5 menit seperti
yang diperlukan. Jika akses intra vena tidak ada encerkan 5 –
10 mg atau 0,1 – 0,2 mg/kg ( 5 – 10 ml larutan 1 : 1000 )
dalam volume yang ama normal saline steril dan suntikan via
tube endotrakea.
 Anafilaksis Asma Berat
Dewasa : 0,1 – 0,5mg sub kutan atau IM ( 0,1 – 0,5 ml
dilarutkan 1 : 10000)

89
Anak-anak : 0,01 mg/kg larutkan 1 : 1000, jangan melebihi
0,05 mg dosis subkutan dapat diulangi dalam interval 10 -15
menit pada pasien dengan syok anafilatik dan dalam interval
20 menit hingga 4 jam pada pasien asma.
f) Efek Samping Utama
a. Kardiovaskuler : hipertensi,takikardi,aritmia,angina
b. Pulmuner : edema paru
c. SSP : ansietas,sakit kepala,perdarahan serebri vaskuler
d. Dermatologi : nekrosis pada tempat suntikan
e. Metabolik : hiperglikemia,hiperkalemia,hipokalemia.
2. Lidokain
a) Penggunaan
Anestesi regional, pengobatan aritmia ventrikuler, khususnya jika
berkaitan dengan infark miokard akut atau pembedahan jantung,
perlemahan prosesor terhadap intubasi ( tekanan darah/ tekanan
intracranial : pelemahan fasikulasi yang diakibatkan subsikolin.

b) Dosis

 Antiaritmik : bolus IV lambat , 1 mg/kg (dalam 1%-2%)


diikuti oleh 0,5 mg/kg/setiap 2-5 menit ( sehingga maksimum
3mg/kg/jam.

 Infuse ( larutan 0,15-0,4 mg/menit ( 20-50 µg/kg/menit) IM


4-5 menit, dapat diulang 60-90 menit kemudian.

 Pelemahan reseptor pressor


IV 1,5-2 mg/kg (larutan 1%-2%), berikan 3-4 menit sebelum
laringoskopi.
Laringotrakea, 2 mg/kg (larutan 4%),instilasikan secara
translaringeal ( dengan kanula) tepat sebelum intubasi.
Reduksi dari respon prosesor terhadap intubasi hanya

90
merupakan indikasi pada pasien yang secara hemodinamik
stabil

 Pelemahan fasikulasi
IV, 1,5 mg/kg ( larutan 1%-2%). Berikan 3 menit sebelum
dosis suksinokolin. Dapat dikombinasikan dengan dosis pra
pengobatan dari relaksan otot non depolarisasi
 Anestesi local
Topical 0,6-3 mg/kg ( larutan 2%-4%)
Block saraf tepi/infiltrasi 0,5-5 mg/kg (dalam larutan0,5% -
2% )

 Regional intravena
 Ekstremitas atas , 200-250 mg ( 40-50 ml larutan 0,5%)
 Ekstremitas bawah, 250-300 mg(100-120 ml larutan 0,25% )

 Blok pleksus brakialis, 300-750 mg ( 30-50 ml larutan 1%-


1,5%, anak-anak 0,2- 0,3 ml/kg

 Blok epidural, 200-400mg (larutan 1%-2%), anak-anak 7-9


mg/kg infuse 6-12 ml/jam (larutan 0,55 dengan atau tanpa
narkotik pidural) ; anak-anak 0,2 – 0,35 ml/kg/jam.

c) Eliminasi
Hati dan paru
d) Kemasan

 Pemberian parental : suntikan untuk suntik IM 10%, suntikan


untuk IV langsung 1%-2%, suntikan untuk campuran IV 4%,
10%, 20%, suntikan untuk infuse IV 0,2%, 0,4%, 0,8%.

 Blok saraf tepi/ infiltrasi : 0%, 1%,1,5%, 2% dengan atau


tanpa epinephrine, 1: 500.000, 1: 100.000 , 1: 200.000

 Epidural : 1%, 1,5%, 2% bebas pengawet.

91
e) Farmakologi
Anestesi local turunan amida ini mempunyai awitan aksi yang
cepat. Menstabilkan membrane neuronal dengan menghinbisi
influx natrium yang diperlukan untuk memulai dan
menghantarkan impuls. Obat ini juga merupakan suatu obat
antiarimik kelas I B, yang secara otomatis menekan dan
mempendek periode refraktek efek dan lama potensial aksi dari
system his-purkinje. Lama potensial aksi dan periode refraktef
aktif otot ventrikuler juga berkembang. Lidokain intravena dan
laringotrakea menurunkan respons tekanan darah yan ditimbulkan
oleh intubasi trakea. Jika diberikan secara intravena, hal ini
disebabkan oleh efek analgesic dan efek anatetik
local(mencerminkan pengiriman obat ke percabangan
trakeobronkus yang sangat vaskuler). Dosis yang berulang
menyebabkan peningkatan yang bermakna dari kadar darah karena
akumulasi yang lambat.
f) Farmakokinetik

 Awitan : IV ( efek antiarimik) : 45-90 detik


Intratrakea ( efek antiarimik) : 10-15 detik
Infiltrasi : 0,5-1 menit
Epidural : 5-15 menit

 Efek puncak : IV ( efek antiarimik) : 1-2 menit


Infiltrasi epidural : ≤ 30 menit
 Lama aksi : IV ( efek antiarimik) : 10-20 menit
Intratrakea : 30-50 menit
Infiltrasi : 0,5-1 jam
Dengan Epineprine : 2-6 jam
Epidural : 1-3 jam
g) Pedoman / Peringatan

92
a. Hati-hati pada pasien hipovolemik, gagal jantung kongenetif
(CHF) berat, syok dan semua bentuk blok janung.
b. Benzodiazepine meningkatkan ambang kejang
c. Kontraindikasi pada pasien hipersensivitas terhadap anastetik
local tepi amida
d. Monitor terhadap hipoventilasi dengan melepaskan manset jika
ditambahkan relaksan otot pada larutan anastetik untuk
blockade regional.

h) Reaksi Efek Samping Utama

 Kardiovaskuler : hipotensi, bradikardi, aritmia, blok jantung

 SSP : tinnitus, kejang, kehilangan pendengaran, euphoria,


ansietas, diplopia, nyeri kepala pasca spinal, araknoiditis.

 Pulmoner : depresi pernapasan, henti pernapasan

 Alergik : urtikaria, pruiritas, edema angioneurotik

 Epidural/kaudal/spinal : spinal tinggi, kehilangan control


kandungan kemih dan usus, deficit motorik, sensorik,
otonomik dari segmen bawah.

3. Ephedrine
Obat ini adalah stimulator langsung α dan β-adregenik dan
membebaskan catheccholamin ( adrenalin dan nonadrenalin) dari
tempat reseptor. Secara kimiawi ini adalan keturunan adrenalin.
a) Farmakodinamik
Obat ini mengahambat penghancuran adrenalin dan nonadrenalin
sehingga mempertahankan kadar cathecolamin dalam darah tetap
tinggi. Obat ini membebaskan nonadrenalin pada ujung saraf
dalam pembuluh darah berefek :

 Suatu rangsangan simpatis yang kuat. Denyut jsntung


menguat dan frekwensinya bertambah dan tekanan darah

93
naik. Arterior berkonsentrasi. Durasi efek kira-kira 30-40
menit tetapi dosis ulang kurang efektif

 Relaksasi otot polos bronchus melebarka pupil

 Merangsang cortex dan medulla cerebrum dengan


perasaan subyektif pada sesuatu, geram dan tidak nyaman

 Melebarkan arteri koronaria

 Meningkatkan aliran darah koroner dan skelet


menimbulkan bronkodilatasi melalui reseptor β-2

b) Penggunaan

 Memiliki keuntungan bahwa cardiac out put dan venous


return itu meningkat
 Dignakan pada keadaan hypotensi, broncouspasme,
heartblock, carotis sinus, syndrome, urticaria, narcolepsy,
enuresis dan myasthenia.
 Vasopresor dan bronkodilator

c) Dosis

 Dosis 5-20 mg ( 100-200 µg/kg) IV < IM 25-50 mg

 Efek puncak IV 2-5 menit, IM < 10 menit , DOA IV/IM 10-


60 menit

d) Pedoman

 Gunakan hati-hati pada pasien dengan hipertensi dan


penyakit jantung sistemik.

 Dapat menimbulkan suatu tingkat stimulasi SSP tidak dapt


diterima yang menimbulkan insomnia

94
g. Obat Inhalasi
1. Halotan (F3C-CHBrCl)
Halotan disintesis pertama kali oleh CW Suckling di laboratorium
“Imperial Chemical industries” Manchester pada tahun 1951.
Digunakan pertama kali oleh M. johnstone di klinik Manchester.
Selanjutnya diikuti oleh Bryce-smith dan O’Brian di Oxford.
a) Sifat Fisik Dan Kimiawi
Halotan atau disebut dengan nama kimia 2,bromo-2-khloro-1,1,1-
trifluoroetan, mempunyai berat molekul 197, berat jenis 1,18
(pada suhu 25 derajat celcius) dan titik didih 50 derajat celcius
dan mempunyai MAC 0,87%.
Secara fisik, halotan adalah cairan yang tidak berwarna, berbau
harum tidak mudah terbakar atau meledak, tidak iritatif dan tidak
tahan terhadap sinar matahari. Apabila kena sinar matahari, akan
mengalami dekomposisi menjadi HCl, HBr, klorin, Bromin dan
Fosgen bebas, disi timol 0,01% sebagai pengawet.
Halotan bisa diserap oleh karet sirkuit anestesia, tetapi kurang
larut dalam polietilen dan tidak mengalami dekompisisi bila
melewati karbon absorben.
b) Efek Farmakologi
i. Terhadap susunan saraf pusat
Halotan menimbulkan depresi pada sistem saraf pusat di
semua komponen otak. Depresi di pusat kesadaran akan
menimbulkan efek hipnotik, depresi pada pusat sensorik
menimbulkan khasiat analgesia dan depresi pada pusat
motorik akan menimbulkan relaksasi otot. Tingkat depresinya
tergantung dari dosis yang diberikan.
Terhadap pembuluh darah otak, halotan menyebabkan
vasodilatasi, sehingga aliran darah otak meningkat dan hal ini
menyebabkan tekanan intrakranial meningkat, dan oleh
karena itu tidak dipilih untuk anestesi pada kraniotomi.

95
ii. Terhadap sistem kardiovaskuler
Halotan menimbulkan depresi langsung pada “S-A Node”
dan otot jantung, relaksasi otot polos dan inhibisi
baroreseptor. Keadaan ini akan menyebabkan hipotensi yang
derajatnya tergantung dari dosis dan adanya interaksi dengan
obat lain, misalnya dengan tubokurarin.
Gangguan irama jantung sering kali terjadi, seperti
bradikardi, ekstrasistol ventrikel, takikatrdi ventrikel, bahkan
bisa terjadi fibrilasi ventrikel. Hal ini disebabkan karena
peningkatan eksitagen maupun eksogen serta adanya retensi
CO2.
Batas keamanan halotan terhadap kardiovaskuler sangat
sempit, maksudnya, konsentrasi obat untuk mencapai efek
farmakologi yang diharapkan sangat dekat dengan efek
depresinya.
iii. Terhadap sistem respirasi
Pada konsentrasi tinggi, halotan akan menimbulkan depresi
pusat nafas, sehingga pola nafas menjadi cepat dan dangkal,
volume tidal dan volume nafas semenit menurun dan
menyebabkan dilatasi bronkus
iv. Terhadap ginjal
Halotan pada dosis lazim secara langsung akan menurunkan
aliran darah ke ginjal dan laju filtrasi glomerulus, tetapi efek
ini hanya bersifat sementara dan tidak mempengaruhi
autoregulasi aliran darah ginjal. Hasil metabolitnya terutama
bromidnya akan diekskresikan melalui ginjal dan apabila
terdapat gangguan fungsi ginjal, ekskresinya akan terhambat
sehingga akan terjadi akumulasi.
v. Terhadap otot rangka
Halotan akan berpotensiasi dengan obat pelumpuh otot
golongan non depolarisai, sehingga pada pemakaian

96
kombinasi kedua obat ini, perlu dilakukan modifikasi dosis,.
Pada saat persalinan normal, begitu juga pada seksio sesaria
vi. Terhadap hati
Pada konsentrasi 1,5 vol%, halotan akan menurunkan aliran
darah pada lobulus sentral hati sampai 25-30%. Faktor-faktor
yang lain disamping halotan yang ikut berpengaruh terhadap
aliran darah, antara lain aktivitas sistem saraf simpatis,
tindakan pembedahan, hipoksia, hiperkarbia dan refleks
splangnik. Penurunan aliran darah pada lobulus sentral ini
menimbulkan nekrosis sel pada sentral hati yang diduga
sebagai penyebab dari “hepatitis post-halothane”. Kejadian
ini akan lebih bermanifes, apabila diberikan halotan berulang
dalam waktu yang relatif singkat.
Kejadian “hepatitis post-halotane”, pertama kali dilaporkan di
USA pada tahun 1958, selanjutnya pada tahun 1966 diadakan
penelitian besar-besaran untuk membuktikan laporan
tersebut. Dilakukan evaluasi pada 850.000 kasus pasien yang
diberikan anestesi halotan. Ternyata penelitian ini
menyangkal anggapan bahwa halotan menimbulkan nekrosis
sel hati. Selanjutnya beberapa percobaan laboratorium juga
gagal membuktikan efek toksik langsung halotan pada hepar.
Jadi sikap yang disepakati pada saat ini adalah bahwa
mungkin saja terjadi nekrosis sel hati setelah anestesia
dengan halotan, tetapi mekanismenya masih belum jelas.
vii. Terhadap suhu tubuh
Induksi dengan halotan akan segera menurunkan suhu sentral
tubuh sebesar 1 derajat celcius, tetapi akan meningkatkan
suhu permukaan tubuh akibat redistribusi panas tubuh ke
permukaan. Selanjutnya pada periode pemeliharaan anestesia,
suhu permukaan pun akan turun akibat dilatasi pembuluh
darah seehingga terjadi pelepasan panas tubuh.

97
c) Penggunaan Klinik
Halotan digunakan terutama sebagai komponen hipnotik dalam
pemeliharaan anestesia umum. Disamping efek hipnotik, halotan
juga mempunyai efek analgetik ringan dan relaksasi otot ringan.
Pada bayi dan anak-anak yang tidak kooperatif, halotan
digunakan untuk induksi bersama-sama dengan N2O secara
inhalasi.
Untuk mengubah cairan halotan menjadi uap, diperlukan alat
penguap (vaporizer) khusus halotan, misalnya fluotec, halomix,
copper kettle, dragger dan lain-lainnya.
d) Dosis
1. Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara
inspirasi adalah 2,0-3,0% bersama-sama N2O.
2. Untuk pemeliharaan dengan pola nafas sponata,
konsentrasinya berkisar anatara 1,0-2,5%, sedangkan untk
nafas kendali, berkisar antara 0,5-1,0%.
e) Kontra indikasi
Penggunaan halotan tidak dianjurkan pada pasien :
1. Menderita gangguan fungsi hati dan gangguan irama jantung.
2. Operasi kraniotomi.
f) Keuntungan Dan Kelemahan
Keuntungannya adalah induksi cepat dan lancar, tidak intattif
terhadap mukosa jalan nafas, pemulihannya relatif cepat, tidak
menimbulkan mual muntah dan tidak meledak atau cepat terbakar.
Kelemahannya adalah batas keamanannya sempit (mudah
terjadi kelebihan dosis), analgesia dan relaksasinya kurang
sehingga harus dikombinasikan dengan obat lain. Selain itu juga
menimbulkan hipotensi, gangguan irama jantung dan hepatotoksik,
serta menimbulkan menggigil pasca anestesia.
2. Enflurane (2 kloro-1,1,2-trifluoroethyl ether)
Enfluran merupakan obat anestesia inhalasi yang termasuk
turunan eter. Dikemas dalam bentuk cair, tidak berwarna, tidak iritatif,

98
berbau agak harum, tidak eksplosif, lebih stabil dibandingkan dengan
halotan dan induksinya lebih cepat dibandingkan dengan halotan.
Pertama kali diperkenalkan oleh Dobkin dkk pada tauhn 1968.
a) Efek Farmakologi
(1) Terhadap sistem saraf pusat
Pada dosis tinggi menimbulkan “twitching” (tonik-klonik)
pada otot muka dan anggota gerak. Hal ini terutama dapat
terjadi bila pasien mengalami hipokabnia. Kejadian ini bisa
dihindari dengan mengurangi dosis obat dan mencegah
terjadinya hipokabnia. Obat ini tidak dianjurkan
pemakaiannya pada pasien yang mempunyai riwayat
epilepsi walaupun pada penelitian taerbukti bahwa enfluran
tidak menimbulkan bangkitan epilepsi.
Walaupun menimbulkan vasodilatasi serebral, tetapi pada
dosis kecil dapat dipergunakan untuk operasi intrakranial
karena tidak menimbulkan peningkatan tekanan
intrakranial.
(2) Terhadap sistem kardiovaskuler
Secara kualitatif efeknya sama dengan halotan. Walaupun
enfluran meningkatkan kepekaan otot jantung terhadap
katekolamin, tetapi pemakaian adrenalin sangat jarang
menimbulkan disritmia. Enfluran menghambat pelepasan
katekolamin sehingga konsentrasinya pada plasma rendah,
pada saat anestesia dengan enfluran.
(3) Terhadap sistem respirasi
Menimbulkan depresi respirasi sesuai dengan dosis yang
diberikan. Volume tidal berkurang tetapi frekuensi nafas
hampir tidak berubah. Tidak menimbulkan iritasi pada
mukosa jalan nafas sehingga bisa menimbulkan komplikasi
batuk, laringospasme dan peningkatan sekresi kelenja jalan
nafas tidak terjadi.

99
(4) Terhadap ginjal
Enfluran menurunkan aliran darah ginjal, menurunkan laju
filtrasi glomerolus dan akhirnya menurunkan diuresis.
Pemecahan enfluran menghasilkan metabolit fluorida
anorganik, tetapi konsentrasi dalam plasma tidka pernah
menccapai konsentrasi yang nefrotoksik. Walaupun
demikian harus berhati-hati menggunakan enfluran pada
pasien yang mempunyai gangguan fungsi ginjal.
(5) Terhadap otot rangka
Menurunkan tonus otot rangka melalui mekanisme depresi
pusat motorik pada serebrum, sehingga dengan demikian
berpotensisasi dengan obat pelumpuh otot non depolarisasi.
Walupun demikian, masih diperlukan obat pelumpuh otot
untuk mendapatkan keadaan relaksasi otot yang optimal
terutama pada operasai laparotomi.
(6) Terhadap uterus
Menimbulkan depresi tonus otot uterus, namun respon
uterus terhadap oksitosin tetap baik selama dosis enfluran
rendah.
(7) Terhadap hati
Dilaporkan bahwa terjadi gangguan fungsi hati yang ringan
setelah pemakaian enfluran yang sifatnya reversibel.
b) Biotransformasi
Hanya sekitar 2-8% dari dosis yang diberikan mengalami
metabolisme di hati, sebagian besar keluar secara utuh lewat
respirasi. Rendahnya daya larut dalam lemak menyebabkan
pemulihannya sangat cepat asal pasien tidak mengalami depresi
nafas. Produk metabolit enfluran berupa fluorida organik dan
anorganik.
c) Penggunaan Klinik
Sama seperti halotan, enfluran digunakan terutama sebagai
komponen hipnotik dalam pemeliharaan anestesi umum.

100
Disamping efek hipnotik, juga mempunyai efek analgetik ringan
dan relaksasi otot ringan. Pada bayi dan anak-anak yang tidak
kooperatif, sangat baik digunakan untuk induksi bersama-sama
dengan N2O.
Untuk mengubah cairan enfluran menjadi uap, diperlukan alat
penguap (vaporizer) khusus enfluran.
d) Dosis
(1) Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara
inspirasi adalah 2-3% bersama-sama dengan N2O.
(2) Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan,
konsentrasinya berkisar antara 1-2,5%, sedangkan untuk nafas
kendali berkisar antara 0,5-1%.
e) Kontra Indikasi
Hati-hati pada gangguan fungsi ginjal. Akhir-akhir ini
penggunaan enfluran relatif jarang karena efeknya terhadap ginjal
dan hati tersebut, seperti telah diuraikan di atas.
f) Keuntungan Dan Kelemahan
(1) Keuntungannya adalah induksi cepat dan lancar, tidak iritatif
terhadap mukosa jalan nafas, pemulihannya lebih cepat dari
halotan, tidak menimbulkan mual muntah, dan tidak
menimbulkan menggigil serta tidak mudah meledak atau
terbakar.
(2) Kelemahannya adalah batas keamanan sempit (mudah terjadi
kelebihan dosis), analgesia dan relaksasinya kurang, sehingga
harus dikombinasikan dengan obat lain dan bisa menimbulkan
hipotensi.

3. ISOFLURAN
Isofluran merupakan halogenasi eter, dikemas dalam bentuk
cairan, tidak berwarna, tidak eksplosif, tidak mengandung zat
pengawet, dan relatif tidak ralut dalam darah tapi cukup iritatif
terhadap jalan nafas sehingga pada saat induksi inhalasi sering

101
menimbulkan batuk dan tahanan nafas. Proses induksi dan
pemulihannya relatif cepat dibandingkan dengan obat-obat anestesi
inhalasi yang ada pada saat ini tapi masih lebih lambat dibandingkan
dengan sevofluran.
a) Efek Farmakologi
(1) Terhadap sistem saraf pusat
Efek depresinya terhadap SSP sesuai dengan dosis yang
diberikan. Isofluran tidak menimbulkan kelainan EEG seperti
yang ditimbulkan oleh enfluran. Pada dosis anestesi tidak
menimbulkan vasodilatasi dan perubahan sirkulasi serebrum
serta mekanisme autoregulasi aliran darah otak tetap stabil.
Kelebihan lain yang dimiliki oleh isofluran adalah penurunan
konsumsi oksigen otak. Sehingga dengan demikian isofluran
merupakan obat pilihan untuk anestesi pada kraniotomi,
karena tidak berperngaruh pada tekanan intrakranial,
mempunyai efek proteksi serebral dan efek metaboliknya
yang menguntungkan pada tekhnik hipotensi kendali.
(2) Terhadap sistem kardiovaskuler
Efek depresinya pada otot jantung dan pembuluh darah lebih
ringan dibanding dengan obat anesetesi volatil yang lain.
Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama anestesi.
Dengan demikian isofluran merupakan obat pilihan untuk
obat anestesi pasien yang menderita kelainan kardiovaskuler.

(3) Terhadap sistem respirasi


Seperti halnya obat anestesi inhalasi yang lain, isofluran juga
menimbulkan depresi pernafasan yang derajatnya sebanding
dengan dosis yang diberikan.
(4) Terhadap otot rangka
Menurunkan tonus otot rangka melalui mekanisme depresi
pusat motorik pada serebrum, sehingga dengan demikian
berpotensiasi dengan obat pelumpuh otot non depolarisasi.

102
Walaupun demikian, masih diperlukan obat pelumpuh otot
untuk mendapatkan keadaan relaksasi otot yang optimal
terutama pada operasai laparatomi.
(5) Terhadap ginjal
Pada dosis anestesi, isofluran menurunkan aliran darah ginjal
dan laju fitrasi glomerulus sehingga produksi urin berkurang,
akan tetapi masih dalam batas normal.
(6) Terhadap hati
Isofluran tidak menimbulkan perubahan fungsi hati. Sampai
saat ini belum ada laporan hasil penelitian yang menyatakan
bahwa isofluran hepatotoksik.
b) Biotransformasi
Hampir seluruhnya dikeluarkan melalui udara ekspirasi, hanya
0,2% dimetabolisme di dalam tubuh. Konsentrasi metabolitnya
sangat rendah, tidak cukup untuk menimbulkan gangguan fungsi
ginjal.
c) Penggunaan Klinik
Sama seperti halotan dan enfluren, isofluren digunakan terutama
sebagai komponen hipnotik dalam pemeliharaan anestesi umum.
Disamping efek hipnotik, juga mempunyai efek analgetik ringan
dan relaksasi ringan.
Untuk mengubah cairan isofluran menjadi uap, diperlukan alat
penguap (vaporizer) khusus isofluran.

d) Dosis

 Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara


inspirasi adalah 2-3% bersama-sama dengan N2O.
 Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan
konsentrasinya berkisar antara 1-2,5%, sedangkan untuk nafas
kendali berkisar antara 0,5-1%.

103
e) Kontra Indikasi
Tidak ada kontra indikasi yang unik. Hati-hati pada hipovolemik
berat.
f) Keuntungan Dan Kelemahan
(1) Keuntungannya adalah induksi cepat dan lancar, tidak iritatif
terhadap mukosa jalan nafas, pemulihannya lebih cepat dari
halotan, tidak menimbulkan mual muntah, dan tidak
menimbulkan menggigil serta tidak mudah meledak atau
terbakar. Penilaian terhadap pemakaian isofluran saat ini
adalah bahwa isofluran tidak menimbulkan guncangan
terhadap fungsi kardiovskuler, tidak megubah sensitivitas
otot jantung terhadap katekolamin, sangat sedikit yang
mengalami pemecahan dalam tubuh dan tidak menimbulkan
efek eksitasi SSP.
(2) Kelemahannya adalah batas keamanan sempit (mudah terjadi
kelebihan dosis), analgesia dan relaksasinya kurang, sehingga
harus dikombinasikan dengan obat lain.
4. Sevoflurane
Sevofluran merupakan halogenasi eter, hasil dari fluorisasi
isopropil metil eter dengan nama kimia 1-1-1-3-3-3-hexa fluoro 2-
propil fluoro-metil-eter atau fluorometil 2-2-2 trifluoro-1-
(trifluorometil) eter-eter dan memilki berat molekul 200,053.
Sevofluran dikemas dalam bentuk cairan, tidak berwarna, tidak
eksplosif, tidak berbau, stabil di tempat biasa (tidak perlu tempat
gelam), dan tidak terlihat adanya degradasi sevofluran dengan asam
kuat atau panas. Obat ini tidak bersifat iritatif terhadap jalan nafas
sehingga baik untuk induksi inhalasi.
Proses induksi dan pemulihannya paling cepat dibandingkan
dengan obat-obat anestesi inhalasi yang ada pada saat ini. Sevofluran
dapat dirusak oleh kapur soda tetapi belum ada laporan yang
membahayakan.

104
a) Efek Farmakologi
(1) Terhadap sistem saraf pusat
Efek depresinya pada SSP hampir sama dengan isofluran.
Aliran darah otak sedikit meningkat sehingga sedikit
meningkatkan tekanan intrakranial. Laju metabolisme otak
menurun cukup bermakna sama dengan isofluran. Tidak
pernah dilaporkan kejadian kejang akibat sevofluran.
(2) Terhadap sistem kardiovaskuler
Sevofluran relatif stabil dan tidak menimbulkan aritmia. Nilai
mabang arimogenik epinefrin terhadap sevofluran terletak
antara isofluran dan enfluran.
Tahanan vaskuler dan curah jantung sedikit menurun, sehingga
tekanan darah sedikit menurun. Pada 1,2-2 MAC sevofluran
menyebabkan penurunan tahanan vaskuler sistemik kira-kira
20% dan tekanan darah arteri kira-kira 20%-40%. Curah
jantung akan menurun 20% pada pemakaian sevofluran lebih
dari 2 MAC. Diabndingkan dengan isofluran, sevofluran
menyebabkan penurunan tekanan darah lebih sedikit.
Sevofluran tidak atau sedikit meyebabkan perubahan pada
aliran darah koroner. Dilatasi arresi koroner yang terjadi akibat
sevofluran lebih kecil dibanding isofluran dan tidak
menimbulkan efek coronary steal, sehingga sevofluran aman
dipakai untuk penderita penyakit jantung koroner atau yang
mempunyai resiko penyakit jantung iskemik, tetapi penelitian
pada orang tua di atas 60 tahun, disebutkan bahawa sebaiknya
berhati-hati dlaam memberikan sevofluran konsentrasi tinggi
(8%) pada penderita hipertensi dan riwayat penyakit jantung
9penyakit jantung koroner dan iskemik).
Sevofluran menyebabkan penurunan laju jantung. Mekanisme
ini belum jelas, kemungkinan disebabkan oleh karenna
penurunan aktifitas simpatis tanpa perubahan aktifitas
parasimpatis. Penelitian-penelitian menyebutkan bahwa

105
penurunan laju jantung tidak sampai menyebabkan bradikardi,
tetapi kejadian bradikardi pernah dilaporkan pada bayi.
(3) Terhadap sistem respirasi
Seperti halnya dengan obat anestesi inhalasi yang lain
sevofluran juga menimbulkan depresi pernapasan yang
derajatnya sebanding dengan dosis yang diberikan sehingga
volume tidal akan menurun, tapi frekuensi nafas sedikit
meningkat. Pada manusia, 1,1 MAC sevofluran menyebabkan
tingkat depresi pernafasan hampir sama dengan halotan dan
pada 1,4 MAC tingkat depresinya lebih dalam daripada
halotan. Sevofluran menyebabkan relaksasi otot polos bronkus,
tetapi tidak sebaik halotan.
(4) Terhadap otot rangka
Efeknya terhadap otot rangka lebih lemah dibandingkan
dengan isofluran. Relaksasi otot dapat terjadi pada anestesi
yang cukup dalam denga sevofluran. Proses induksi,
laringoskopi dan intubasi dapat dikerjakan tanpa bantuan obat
pelemas otot.
(5) Terhadap hepar dan ginjal
Tidak ada laporan tentang hepatotoksisitas klinis pada manusia
setelah penggunaan sevofluran oleh lebih dari dua jua orang
sejak tahun 1988. Sevofluran menurunkan aliran darah ke
hepar paling kecil dibandingkan dengan enfluran dan halotan.
Ada beberapa bukti, sevofluran menurunkan aliran darah ke
ginjal dan meningkatkan konsentrasi fluoride plasma, tetapi
tidak ada bukti hal ini menyebabkan gangguan fungsi ginjal
pada manusia.
(6) Terhadap uterus
Kontraksi uterus spontan dapat dipertahankan dengan baik dan
kehilangan darah minimal. Tidak terjadi efek buruk pada bayi
dan ibu. Penelitian Sharma dkk, menunjukkan bahwa efek

106
terhadap bayi, perubahan hemodinamik ibu dan efek samping
pasca bedah adalah sebanding antara sevofluran dan isofluran.

b) Biotransformasi
Hampir seluruhnya dikeluarkan untuk melalui udara ekspirasi,
hanya sebagian kecil 2-3% dimetabolisme dalam tubuh.
Konsentrasi metabolitnya sangat rendah, tidak cukup untuk
menimbulkan gangguan fungsi ginjal.
c) Eleminasi
Eleminasi sevofluran oleh paru-paru kurang cepat dibanding
desfluran, tetapi masih lebih cepat dibanding isofluran,enfluran,
dan halotan. Sevofluran mengalami metabolisme di hati
(defluoronisasi) kurang dari 5%, membentuk senyawa fluorine,
kemudian oleh enzim glucuronyl tansferase diubah menjadi
fluoride inorganik dan fluoride organik (hexafluoro isopropanol),
dan dapat dideteksi dalamdarah serta uruin. Hexafluoro isopropanol
akan terkonjugasi menjadi produk tidak aktif, kemudian
diekskresikan lewat urin. Tidak ada pengaruh nyata pada fungsi
ginjal dan tidak bersifat nefrotoksik.
d) Penggunaan Klinik
Sama seperti agen volatil lainnya, sevofluran digunakan terutama
sebagai komponen hipnotik dalam pemeliharaan anestesia umum.
Disamping efek hipnotik, juga mempunyai efek analgetik rignan
dan relaksasi otot ringan. Pada bayi dan anak-anak yang tidak
kooperatif, sangat baik digunakan untuk induksi.
Untuk mengubah cairan sevofluran menjadi uap, diperlukan alat
penguap (vaporizer) khusus sevofluran.
e) Dosis
(1) Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara
inspirasi adalah 3,0-5,0% bersama-sama dengan N2O.

107
(2) Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan,
konsentrasinya berkisar antara 2,0-3,0%, sedangkan untuk
nafas kendali berkisar antara 0,5-1%.
f) Kontra Indikasi
Hati-hati pada pasien yang sensitif terhadap “drug induced
hyperthermia”, hipovolemik berat dan hipertensi intrakranial.
g) Keunggulan Dan Kelemahan
(1) Keuntungannya adalah induksi cepat dan lancar, tidak iritatif
terhadap mukosajalan nafas, pemulihannya paling cepat
dibandingkan dengan agen volatil lain.
(2) Kelemahannya adalah batas keamanan sempit (mudah terjadi
kelebihan dosis), analgesia dan relaksasinya kurang sehingga
harus dikombinasikan dengan obat lain.
5. Desflurane
Desfluran merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan
efek klinisnya sama dengan isofluran. Desfluran sangat mudah
menguap dibandingkan dengan agen volatil yang lain. Memerlukan
alat penguap khusus (TEC-6) dengan saran elektrik tidak seperti agen
yang lain.
a) Efek Farmakologi
Efek klinisnya hampir sama dengan isofluran. Hanya efeknya
terhadap respirasi dapat menimbulkan rangsangan jalan nafas
sehingga tidak dapat digunakan untuk induksi. Bersifat
simpatomimetik sehingga mengakibatkan takikardi, akan tetapi
tidak bermakna dalam meningkatkan tekanan darah. Efek terhadap
hepar dan ginjal sama dengan sevofluran.

b) Biotransformasi
Hampir seluruhnya dikeluarkan melalui udara ekspirasi, hanya <
0,1% dimetabolisme oleh tubuh.
c) Penggunaan Klinik

108
Sama seperti agen volatil lainnya, desfluran digunakan terutama
sebagai komponen hipnotik dalam pemeliharaan anestesia umum.
Disamping efek hipnotik, desfluran juga mempunyai efek analgetik
yang ringan dan relaksasi otot ringan.
d) Dosis
1. Untuk induksi, disesuaikan dengan kebutuhan
2. Untuk pemeliharaan tergantung dengan racikan obat yang lain
dan disesuaikan dengan kebutuhan.
e) Kontra Indikasi
Hati-hati pada pasien yang sensitif terhadap “drug induced
hyperthermia”, hipovolemik berat dan hipertensi intrakranial.
f) Keuntungan Dan Kelemahan
(1) Keuntungannya hampir sama dengan isofluran.
(2) Kelemahannya adalah batas keamanannya sempit (mudah
terjadi kelebihan dosis), analgesia dan relaksasinya kurang
sehingga harus dikombinasikan dengan obat lain.

MAC
Daya %
(Daya Efek SVR
Vapor larut Meta HR
GAS larut pada CI
pressure lemak/ bolis (1MAC) (1MAC)
dalam (1 MAC)
darah me
darah

Sevofluran
2,0 (0,65) 160 48 Menurun 5-8 Menurun Menurun

Isofluran 1,5 (1,7) 240 45 Menurun 0-0,2 meningkat Menurun

Desfluran 6,0 (0,42) 669 27 Menurun 0-0,2 meningkat Menurun

Tidak
Halothane 0,75 (2,5) 244 60 Menurun 15-40 Tidak ada
berubah

Tabel 2.10. Gas Inhalasi

CI ( Cardiac index ) : HR (Heart rate) = kecepatan denyut jantung

109
MAC (Mean Alveolar concentration) = konsentrasi alveolar rata-rata

SVR (Systemic vascular resistance) ; VP (Vapor pressure) : tekanan


uapPenderita kanker payudara sebaiknya setelah mendapat pengobatan
konvensiobnal seperti pembedahan, penyinaran, kemoterapi sebaiknya
dilakukan rehabolitasi fisik untuk mencegah timbulnya komplikasi akibat
treatment tersebut. Rehabilitasi psikis juga diperlukan untuk mendorong
semangat hidup yang lebih baik.

2.3 ASUHAN KEPERAWATAN


2.3.1 PENGKAJIAN

 Biodata Meliputi:
Nama, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, bangsa, status
pernikahan, agama, pekerjaan, diagnosa medis, No register, tanggal
masuk, tanggal pengkajian
 Keluhan Utama:
Keluhan utama yang berhubungan dengan ganngguan kebutuhan dasar
manusia meliputi: nutrisi, eliminasi, oksigenasi, elektrolit, cairan,
istirahat tidur,aktivitas, nyeri, personal hygiene
 Riwayat Kesehatan
1. Riwayat Kesehatan Sekarang yaitu kondisi saat dikaji dan keluhan lain
yang menyertai
2. Riwayat Kesehatan Lalu kecelakaan yang pernah dialami, prosedur
operasi dan perawatan rumah sakit, allergi (makanan, obat-obatan)
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Penyakit keturunan atau menular
 Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola Persepsi
Menggambarkan persepsi, pemeliharaan dan penanganan kesehatan

b. Pola Nutrisi dan Metabolisme

110
Menggambarkan masukan nutrisi, balance cairan dan elektrolit,
kesulitan menelan, kebutuhan jumlah gizi,
c. Pola Eliminasi (BAB & BAK)
Menjelaskan fungsi eksresi, kandung kemih, ada tidaknya masalah
defikasi, masalah miksi, penggunaan kateter, frekuensi defekasi dan
miksi, karakteristik feses dan urin, pola input cairan, ada tidaknya
infeksi saluran kemih
d. Pola Istirahat Tidur
Menggambarkan pola tidur, istirahat dan relaksasi, jumlah tidur pada
siang dan malam, masalah selama tidur, insomnia atau mimpi buruk,
penggunaan obat
e. Pola Aktivitas dan Olah Raga
Menggambarkan pola latihan, aktivitas, waktu luang dan rekreasi
f. Pola Kognitif dan Persepsi
Menjelaskan persepsi sensori dan kognitif. Pola sensoris meliputi
pengkajian penglihatan, pendengaran, perasaan, pembauan dan
kompensasinya terhadap tubuh. Sedangakan pola kognitif yaitu
mengandung kemampuan daya ingat klien terhadap peristiwa yang
terjadi dan kemampuan orientasi terhadap nama, tempat dan waktu
g. Pola Konsep Diri
Menggambarkan terhadap diri sendiri antara lain gambaran diri, harga
diri, peran, identitas, dan ide diri sendiri
h. Pola Peran dan Hubungan
Menggambarkan hubungan dan peran klien terhadap anggota keluarga
dan masyarakat tempat tinggal
i. Pola Seksualitas
Menggambarkan kepuasan yang dirasakan dengan seksualitas dampak
sakit terhadap seksualitas
j. Pola Pertahanan diri
Menggambarkan kemampuan untuk menangani stressdan penggunaan
sistem pendukung penggunaan obatuntuk menangani stress, interaksi,

111
dengan orang terdekat, menangis kontak mata, metode kping yang
biasa digunakan, efek penyakit terhadap tingkat stress
 Pemeriksaan Fisik
a. Penampilan umum kilen
- Ekspresi wajah
- Tinggi badan
- Berat badan
b. Tanda-tanda vital
- Tekanan darah (normal/tidak)
- Nadi (teratur, tidak teratur, kuat/lemah)
- Pernafasan (cheyne stoke/kusmaul/biots)
- Suhu (axila, rectal, oral)
c. Sistem Pernafasan
- Hidung: kesimetrisan, pernafasan cuping hidung, adanya sekret
atau polip
- Leher: pembesaran kelenjar, tumor, trakeostomi
- Dada: bentuk dada (normal, barrel, pigeon chest), gerakan dada
(kiri dan kanan, apakah ada retraksi), suara nafas tambahan
- Apakah ada clubbing finger
d. Sistem Cardiovaskuler
- Conjungtiva mata (merah muda, merah, pucat)
- Bibir pucat, cyanosis
- Suara jantung (mitral, tricuspidalis, suara 1, suara 2, bising aorta,
murmur, gallop)
- Capillary Retilling Time
- Edema tidak ada, anasarka, palpebra, ekstrimitas atas, ekstrimitas
bawah
e. Sistem Pencernaan
- Bibir (lembab, kering, pecah2, laboi skizis)
- Mulut (stomatitis, jumlah gigi, kemampuan menelan, gerak lidak)
- Abdomen (ada/tidaknya massa, simetris/tidak, bising usus, nyeri
tekan, acites

112
- Kemapuan BAB ( ada masalah atau tidak, feses ber darah, melena,
diare, konstipasi, wasir, kolostomi)
f. Sistem Indra
- Mata
Sklera (putih, icterus, merah, perdarahan)
Kelopak mata, bulu mata, alis
Visus (gunakan snellen card)
Lapang pandang
- Hidung
Penciuman, perih dihidung, trauma, mimisen
Sekret yang menghalang penciuman
Fungsi penciuman
- Telinga
Keadaan daun telinga, kanal auditorius, memberan tympani, fungsi
pendengaran
g. Sistem Saraf
- Kesadaran (kompos metis, sopor, apatis, koma, samnolent, gelisah)
- GCS (mata, bicara, motorik)
- Iritasi meningeal (kaku kuduk, lasaque sign, kernig sign,
brudzinski sign)
- Pupil mata (isokor/anisokor, miosis/medriasis)
h. Sistem Muskuloskeletal
- Bentuk kepala
- Tulang belakang (normal, skoliosis, lordosis, kiphosis)
- Ekstrimitas atas (tidak ada kelainan, patah tulang, peradangan,
gerak sensi terbatas)
- Ekstrimitas bawah (tidak ada kelainan, patah tulang, peradangan,
gerak sensi terbatas)
- Kemampuan gerak (parase, paralise, hemiparase)
i. Sistem Integumen
- Rambut (textur, kelembaban, kebersihn)

113
- Kulit ( perubahan warna, temperatur, kelembaban, bulu kulit,
erupsi, perlukaan)
- Kuku (warna, permukaan kuku, mudah patah, kebersihan)
j. Sistem Perkemihan
- Produksi urin, frekuensi berkemih, warna, bau,
- Kemampuan berkemih (tidak ada masalah, oliguri, poliuri, disuria,
menetes, retensiuri, hematuri, memakai kateter, cystostomi)
k. Sistem Reproduksi
- Wanita:
Payudara (putting, areola mammae, besar, perbandingan kiri dan
kanan)
Labio mayora dan minora
- Laki-laki
Keadaan gland penis, testis, pertumbuhan rambut, pertumbuhan
jakun, perubahan suara
Fase preoperatif dimulai ketika ada keputusan untuk dilakukan intervensi dan
diakhiri ketika pasien dikirim ke kamar operasi. Lingkup aktivitas keperawatan
selama waktu tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian dasar pasien.
Wawancara praoperatif dan menyiapkan pasien untuk anestesi yang diberikan
dalam pembedahan
a.Identitas pasien: nama, umur, jenis kelamin, status, suku, agama, berat
badan, alamat
b.Anamnesa: keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit
dahulu, riwayat penyakit keluarga
c. Pemeriksaan Fisik
B1 ( Breath ) Air Way: Jalan nafas bebas, nafas spontan, gerak leher bebas,
buka mulut 3 jari, jarak mentohyoid 3 jari, jarak
hyothiroid 2 jari, leher tidak pendek, malampathy
normal 1, tidak ada gigi palsu, tidak ada gigi
goyang, ventilasi tidak sulit
Breathing: Spontan respitarasi, RR normal (16-20x/menit),

114
rhonci-/-, wheezing-/- tidak ada pernafasan cuping
hidung, saturasi O2 normal (98-100%)
B2 ( Blood ) : TD normal (sistol 100 – 140mmhg dan diastol 70-90mmhg),
nadi normal (60 – 80x/menit), suhu normal, perfusi hangat,
kering, merah, CRT < 2 detik
B3 ( Brain) : keadaan umum, GCS 456, pupil normal 3/3, reflek cahaya +/+
B4 ( Bladder ) : BAK spontan atau pakai kateter, warna urin, jumlah urin
B5 ( Bowel ) : abdomen supel atau distendit, massa ada atau tidak, bising usus
normal atau tidak
B6 ( Bone ) : edema -/-

2.3.2 PERENCANAAN

A. Status Anastesi
1) Pre Operatif
a. Informed consent
b. Dilakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik tekanan darah, nadi,
RR, berat badan
c. Pasien disiapkan besok
d. pasien dipuasakan
e. Infus kristaloid sejak puasa (surflo 18, blood set, three way
panjang),
f. persiapan darah kalau perlu
g. Pemeriksaan Laboratorium dan penunjang lainnya
h. Berdoa
i. Kesimpulan evaluasi pra bedah
* Penentuan ASA dengan ada penyulit atau tidak
j. Rencana Tindakan Anastesi
2) Durante Operatif
1. Persiapan klien
a. Informed Concent
b. Memasang monitor, (EKG, Tensi, RR, Nadi, SpO2)
c. Pastikan IV line terfiksasi dengan baik dan infus berjalan dengan lancar

115
Persiapan Alat
a. Alat untuk General Anastesi :
a) Mesin anastesi yang siap pakai
b) Bag Valve Mask
c) Bag and mask + selang O2 dan sumber O2
d) Chateter suction dan mesin suction pastikan berfungsi baik
e) Xyllocain spray
f) ETT laki No 7, 7,5, 8 dan wanita No 6,5. 7. 7,5
g) Stilet
h) Magyll Forceps
i) Laryngoscope lengkap dengan blade sesuai ukuran dan
pastikan lampu menyala dengan terang.
j) Oropharingeal tube
k) Stetoskop
l) pericordial
m) Spuit 20cc
n) Plester untuk fixasi ETT
o) Bantal Intubasi, donat
Penatalaksanaan Anastesi
a. Premedikasi :Obat Premedikasi
SA 0.25 mg
Midazolam 2.5 mg
Morfin 5 mg
b. Jenis Anestesi : General Anestesi
d. Jam Intubasi :
 Tehnik intubasi : Oral sleep apneu
 Tehnik Induksi : IV
 Laringoskop : sesuai ukuran
 ETT : Kink/Non Kink, No, Cuff (+), tampon (+)
 Obat Induksi : * Midazolam 1 mg/cc
* Fentanyl 50 mcg/cc
* Propofol 10 mg/cc

116
* Atracurium 10 mg/cc
* Rocuronium 10 mg/cc
 Penatalaksanaan :
 Sebelum induksi, bentuk rahang dan kondisi gigi
(gigi palsu atau gigi goyang)
 Berikan bantal kecil di bawah kepala
 Oksigenasi
 Masukkan obat induksi (IV) yang dilanjutkan
dengan penyuntikan obat relaksan
 Ventilasi dengan oksigen murni selama 5 menit
 Kepala dibuat extensi dan leher flexi
 Laringoskop dimasukkan menyusuri tepi kanan
rongga mulut dan tepi lidah, serta menahan lidah
supaya tidak mengganggu pandangan
 Ujung blade ditempatkan didepan epiglotis dan
epiglotis diangkat ke atas, sehingga akan tampak
permukaan laring dan plika.
 Pipa endotrakea dimasukkan mengikuti permukaan
kurve blade laringoskop
 Ujung endotrakeal melewati laryng sampai ujung
pipa dan cuff berada dibawah laring dan diatas
carina
 Cuff dikembangkan secukupnya sampai tidak ada
suara kebocoran
 Auskultasi
 Fiksasi
d. Inhalasi : Isoflurane 1,2 %
e. Ventilasi : Circuit, O2 : 3 lpm
g. Kondisi Hemodinamik pasien durante operasi
h. Cairan masuk durante operasi :
*Cairan kristaloid atau koloid

117
i. Cairan keluar durante operasi :
* Darah atau Urin

2.3.3 PELAKSANAAN/IMPLEMENTASI
Berdasakan pada data pengkajian, diagnosa keperawatan pada klien Ca
Mammae ( D ) dengan tindakan Medified Radical Mastectomy (MRM) dengan
general anastesi yang muncul di ambil pada saat anamnesa.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pre Operatif
Cemas berhubungan dengan prosedur tindakan pembedahan
2. Durante Operasi
Resiko terjadi perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan
3. Post Operasi
Resiko terjadi obstruksi jalan nafas berhubungan dengan post ekstubasi

2.3.4 EVALUASI
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara
melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau
tidak. Pada tahap evaluasi ini terdiri dari dua kegiatan yaitu kegiatan yang
dilakukan dengan mengevaluasi selama proses perawatan berlangsung (formatif)
menilai dari respons klien beberapa jam atau beberapa waktu setelah tindakan
(sumatif). Disamping itu evaluasi juga sebagai alat ukur suatu tujuan yang
mempunyai kriteria tertentu yang membuktikan apakah tujuan tercapai, tidak
tercapai atau tercapai sebagian.

118
BAB III
TINJAUAN KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN
Klien Ny. M, dengan Ca Mammae (D) tindakan
MRM (Modified Radical Mastectomy)
dengan Genearal Anestesi

Ruangan/kamar : GBPT lt 4 / 406


No. Register : 12.16.80.63
Tanggal MRS : 14 Mei 2017
Tanggal Pengkajian : 16 Mei 2017 jam 07 .00 WIB
Diagnosa Medis : Ca Mammae (D)
Tindakan Operasi : Modified Radical Mastectomy (MRM)
3.1 PENGKAJIAN
3.1.1 Identitas Klien
Nama : NY. M
Umur : 62 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Suku : Jawa
Agama : Islam
Berat Badan : 70 kg
Tinggi Badan : 159 cm
Alamat : Ploso Timur 3B/65 Surabaya Jawa Timur
3.1.2 Anamnesa
1. Keluhan Utama :
Terdapat benjolan dan nyeri pada Mammae sebelah kanan
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Klien rujukan dari Poli Bedah Tumor RS.dr Soetomo dengan diagnosa Ca
Mammae. Mengeluh badan lemah sejak 1 minggu saat MRS makan sedikit
minum malas, ada benjolan pada payudara kanan sebesar 2x2 cm.

119
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
Klien mengeluh muncul benjolan sebesar kancing baju sejak 1 thn yang
telur ayam. Lalu berobat dan klien sudah diberikan kemoterapi 4 kali pada
klien ditemukan efek samping kemoterapi berupa rambut rontok, kulit
kehitaman (hiper pigmentasi kulit) dan benjolan mengecil saat klien di kaji
ukuran 2x2 cm
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
Di dalam keluarga klien tidak ada yang mempunyai penyakit menular,
maupun menahun, dan tidak ada yang menderita penyakit yang sama
5. Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola Persepsi
Sakit yang diderita klien saat ini merupakan cobaan dari Allah SWT
b. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Saat sakit makan mau tapi porsi sedikit, minim sedikit, tidak ada
kesulitan menelan
c. Pola Eliminasi (BAB & BAK)
Saat sakit klien tidak ada masalah BAK lancar, tidak nyeri, tidak pakai
kateter, BAB juga tidak ada masalah rutin tiap pagi,
d. Pola Istirahat Tidur
Saat sakit tidur siang dan malam klien merasa terganggu dengan
adanya nyeri dan sulit merubah posisi karena adanya benjolan di salah
satu mammae
e. Pola Aktivitas dan Olah Raga
Saat sakit klien tidak bisa beraktivitas seperti saat dirumah merawat
cucu
f. Pola Kognitif dan Persepsi
Klien mampu melihat, mendengar dan merasakan dengan baik
termasuk orientasi terhadap nama, waktu dan tempat
g. Pola Konsep Diri
Klien merasa malu gambaran diri, harga diri rendah saat setelah
tindakan operasi pengangkatan payudara

120
h. Pola Peran dan Hubungan
Peran sebagai istri/ibu merasa terganggu, hubungan dengan
masyarakat mulai ada perubahan jarang berkumpul merasa malu
dengan keadaan tubuhnya
i. Pola Seksualitas
Saat sakit klien tidak begitu banyak memikirkan masalah hubungan
seksualitas karena klien banyak fokus memikirkan keadaan penyakit
yang di deritanya
j. Pola Pertahanan diri
Selama menderita sakit klien mekanisme koping yang digunakan
hanya diam dan memendam sendiri apa yang dirasakan
3.1.3 Pemeriksaan Fisik
1. Penampilan Umum
Klien tampak menahan rasa sakit
2. B1 (Breath) / Sistem Pernafasan
Air way : Jalan nafas bebas, nafas spontan, sulit ventilasi (-)
Breathing :SR, RR 18x/menit, rhonci -/-, wheezing -/-, SpO2 99%
dengan Oksigen 21%
Mulut: buka mulut 3 jari, jarak mentohyoid 3 jari, jarak hyothiroid 2
jari, malampathy 1, tidak ada gigi goyang, gigi palsu (-)
Hidung: tidak ada pernafasan cuping hidung, tidak adanya sekret atau
polip
Leher: gerak leher bebas, leher pendek (-), tidak ada pembesaran
kelenjar, traceostomy (-)
Dada: bentuk barrel(-), pigeon chest(-), gerakan dada tidak ada
retraksi kanan dan kiri, suara nafas tambahan(-)
3. B2 (Blood) / Sistem Cardiovaskuler
Suara jantung vesikuler kanan dan kiri, suara 1 dan 2 sama,
murmur (-) gallop (-)
Tekanan darah 120/70 mmhg, Nadi 85 x/menit, Suhu 36 C,
CRT<2detik, perfusi hangat kering merah (PHKM)

121
4. B3 (Brain) / Sistem Saraf
Kesadaran kompos metis, GCS E4V5M6, tidak ada kaku kuduk, pupil
mata isokor (3/3), reflek cahaya (+/+)
5. B4 (Bladder) / Sistem Perkemihan
BAK spontan, tidak terpasang kateter, frekuensi berkemih normal,
warna putih, oliguri (-), poliuri (-), disuria (-), retensiuri (-),
hematuri(-), produksi urin normal
6. B5 (Bowel) / Sistem Pencernaan
Abdomen supel, tidak ada massa, tidak distendit, bising usus(+), nyeri
tekan (-), acites (-), kemapuan BAB tidak ada masalah rutin tiap pagi,
diare (-), konstipasi (-)
7. B6 (Bone) / Sistem Muskuloskeletal
Edem -/-, ekstrimitas atas/bawah tidak ada kelainan, patah tulang(-),
peradangan(-), tulang belakang normal, skoliosis(-), lordosis (-),
kiphosis(-)
3.1.4 Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan Laboratorium :
Tanggal 14 Mei 2017 Jam 12.17 WIB
HB : 10.1 g/dl (Normal: 11,0 – 14,7)
BUN :18 mg/dl (Normal: 10-20)
Albumin : 3,91 gr/dl (Normal: 3,4-5)
Kreatinin serum : 0.94 mg/dl (Normal: 0,5-1,2)
SGOT : 39 U/L (Normal: < 41)
SGPT : 41 U/L (Normal: < 38)
PPT : 11.5 detik (Normal: 9 – 12 detik)
APTT : 31.3 detik (Normal: 23 – 33 detik)
GDA : 122 mg/dl (Normal: 0,50 – 1,20)
Natrium : 142mmol/I (Normal: 136-144)
Kalium :4.6 mmol/I (Normal: 3,8-5)
Klorida : 107mmol/I (Normal: 97-103)

122
2) Tanggal 14 Mei 2017
CXR : C/P dbn
USG
Mammae kanan, massa mixed echo intensity batas tidak tegas tepi
ireguler 2x2 cm
3.1.5 Status Anastesi
1) Pre Operatif, tgl 16 Mei 2017
a. Informed consent
b.Dilakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik yang hasilnya:
TD: 120/70 mmHg, Nadi: 85 x/menit, RR: 18 x/menit,
Suhu: 36 C, BB: 70 kg, TB: 159 cm
c. Pasien disiapkan di OK 406 ronde 1
d. Puasa makanan padat dan susu mulai jam 21.30 WIB, minum air
putih terakhir jam 04.00 WIB
e. Infus RL 80 cc/jam sejak puasa (surflo 18, blood set, three way
panjang), pada tangan kiri
f. Siap darah 1 WB di tangan.
g. Pemeriksaan Laboratorium dan penunjang lainnya
h. Berdoa
i. Kesimpulan evaluasi pra bedah :
PS ASA 2 dengan penyulit : keganasan post kemoterapi 4 kali
j. Rencana Operasi : * Anastesi : GA- Intubasi
Posisi Supine
2) Durante Operatif
1. Persiapan Pasien
a. Informed Concent
b. Memasang monitor, (EKG, Tensi, SpO2, RR)
c. Pastikan IV line terfiksasi dengan baik dan infus berjalan
dengan lancar

123
2. Persiapan Obat
a. Obat Emergency :
- Sulfas Atropin 0.25mg/cc
- Lidocain 2% 40mg/cc
- Ephedrine 5mg/cc
b. Obat Induksi :
- Midazolam 1mg/cc
- Fentanyl 50mg/cc
- Propofol 10mg/cc
- Atracurium 10mg/cc
- Morfin 1mg/cc
3. Persiapan Alat
Alat untuk General Anestesi :
1. Mesin anestesi yang siap pakai
2. Bag Valve Mask
3. Bag and mask + selang O2 dan sumber O2
4. Chateter suction dan mesin suction pastikan berfungsi
baik
5. Xyllocain spray
6. ETT no 6,5. 7. 7,5
7. Stilet
8. Magyll Forceps
9. Laryngoscope lengkap dengan blade sesuai ukuran dan
pastikan lampu menyala dengan terang.
10. Oropharingeal tube
11. Stetoskop
12. pericordial
13. Spuit 20cc
14. Plester untuk fixasi ETT
15. Bantal Intubasi, donat

124
4. Penatalaksanaan Anestesi
a. Premedikasi Jam 07.00 : Obat premedikasi
- SA 0.25 mg
- Midazolam 2.5 mg
- Morfin 5 mg
b. Jenis Anestesi : General Anestesi
c. Masuk OK Jam : 08.00 WIB
d. Induksi Jam : 08.15 WIB
e. Intubasi Jam : 08.25 WIB
 Tehnik intubasi : Oral sleep apneu
 Tehnik Induksi : IV
 Laringoskop : No 2
 ETT : No. 7,0 Cuff (+), tampon (+)
 Obat Induksi:
- Midazolam 2 mg - IV
- Fentanyl 100 mcg - IV
- Propofol 70 + 70 mg - IV
- Rocuronium 50 mg – IV
- Morfin 3+2 mg – IV

f. Penatalaksanaan :
- Sebelum induksi, bentuk rahang dan kondisi gigi geligi di periksa
- Berikan bantal kecil di bawah kepala
- Oksigenasi
- Masukkan obat induksi (IV) yang dilanjutkan dengan penyuntikan obat
relaksan
- Ventilasi dengan oksigen murni selama 5 menit
- Kepala dibuat extensi dan leher flexi
- Laringoskop dimasukkan menyusuri tepi kanan rongga mulut dan tepi
lidah, serta menahan lidah supaya tidak mengganggu pandangan
- Ujung blade ditempatkan didepan epiglotis dan epiglotis diangkat ke atas,
sehingga akan tampak permukaan laring dan plika.

125
- Pipa endotrakea dimasukkan mengikuti permukaan kurve blade laringoskop
- Ujung endotrakeal melewati laryng sampai ujung pipa dan cuff berada
dibawah laring dan diatas carina
- Cuff dikembangkan secukupnya sampai tidak ada suara kebocoran
- Auskultasi
- Fiksasi
g. Inhalasi : Isoflurane 1,2 %
h. Ventilasi : Circuit, O2 3 lpm
i. Kondisi Hemodinamik pasien durante operasi :
Jam TD Nadi SpO2
08.00 116/73 84 99 %
08.05 110/66 97 99 %
08.10 110/69 90 99 %
08.15 120/69 92 99 %
08.20 123/70 92 99 %
08.25 110/74 90 99 %
08.30 126/73 90 99 %
08.35 120/73 88 99 %
08.40 118/70 86 99 %
08.45 120/70 86 99 %
08.50 118/72 85 99 %
08.55 120/70 84 99 %
09.00 120/70 82 99 %
09.05 118/68 85 99 %
09.10 130/67 85 99 %
09.15 128/65 89 99 %
09.20 120/63 87 99 %
09.25 120/68 87 99 %
09.30 118/71 87 99 %
09.35 120/70 86 99 %
09.40 116/68 86 99 %
09.45 116/68 82 99 %
09.50 12070 82 99 %

126
09.55 122/72 82 99 %
10.00 122/72 86 99 %

j. Cairan masuk pre operasi : RL 80 cc/jam sejak klien puasa


mulai jam 21.30
- Cairan keluar urin pagi kira-kira 1 gelas ( 150 cc )
k. Cairan masuk durante operasi
- Cairan kristaloid : RL 500 cc
- Cairan koloid :-
l. Cairan keluar durante operasi
- Darah : 150 cc
- Urin klien tidak terpasang kateter
EBV : 65 cc x BB
: 65 cc x 70 = 4550 cc Hb : 10.1 g/dl
EBL : Derajat Perdarahan x EBV
10 % x 4550 = 455 cc Hb : 9.09 g/dl
20 % x 4550 = 910 cc Hb : 8.08 g/dl
30 % x 4550 = 1.365 cc Hb : 7.07 g/dl
40 % x 4550 = 1.820 cc Hb : 6.06 g/dl
50 % x 4550 = 2.275 cc Hb : 5.05 g/dl

Lama Operasi : 08.00 WIB – 10.00 WIB

5. Pesanan Pasca Anastesi :


 Jaga airway tetap bebas

127
 O2 masker 6 lpm bila SpO2 < 95%
 Infus RD5 1500 cc/ 24 jam
 Puasa sampai dengan sadar baik, mual (-), muntah(-) minum
sedikit sedikit
 Bila mual (+),muntah(+), miringkan kepala bersihkan, kalau
perlu suction
 Observasi TTV dan perfusi tiap 15 menit, produksi urine 60 menit
 Lapor dokter bila :
Tekan darah sistol > 140 atau Tekan darah diastol < 60 mmHg
Nadi > 100 atau Nadi < 60 x/menit
RR > 20 atau RR < 10 x/menit
Suhu > 38 atau Suhu < 36 0
 Terapi :
Ranitidin 2 x 50 mg IV (1 hari)
Ketorolac 3 x 30mg IV (2 hari)
Metocloperamide 3 x 10 mg IV (1 hari)
Morfin pump ( 2 amp dalam 50 ml PZ 0,9% ) jalan 3 ml/jam

3.1.6 CATATAN PERKEMBANGAN

128
TANGGAL JAM CATATAN PERKEMBANGAN

16-05-2017 07:00 Melakukan komunikasi terapeutik dengan


memperkenalkan diri dan menanyakan identitas
pasien --à pasien kooperatif

07:05 Menanyakan pada pasien keluhan yang dirasakan


saat ini -à pasien menceritakan bahwa saat ini sedang
takut, sampai semalam tidak bisa tidur nyenyak.

Menenangkan pasien dan menganjurkan pasien


07: 10 untuk berdoa -à Pasien kooperatif dan tampak sedikit
tenang selama diajak komunikasi

Mengobservasi TTV -à TD = 120/80 mmHg, N = 92


07:15 x/mnt, RR = 18 – 20x/mnt, Saturasi O2 99 %

Melakukan kolaborasi dengan dokter anasthesi untuk


07:15 pemberian obat premedikasi SA 0,25 mg,Midazolam
2,5 mg --à Obat sudah di berikan.

Mengobservasi reaksi dari pemberian obat


07:20 premedikasi -à Pasien tampak tenang, raut wajah
tidak tegang, pasien mengatakan sedikit
mengantuk,tak ada tanda – tanda reaksi alergi, dan
tak ada tanda obstruksi jalan napas

Menyiapkan pasien untuk memasuki kamar operasi


07:30 406 --à Pasien siap operasi

Memindahkan pasien di meja operasi, memberikan


16-05-2017 07:45 posisi yang nyaman

129
Memasang monitor TTV -à TD 118/80, N 92 x/mnt,
07:50 Sat O2 99%

Memastikan IV line menetes dengan lancar


07:55
Mempersiapkan alat-alat intubasi beserta obat-obat
08:00 anestesi.

Kolaborasi pemberian antibiotik (cefazoline 2 gr IV )


08:05
Memulai induksi
08:10 -pre oksigenasi O2 100% 10 Lpm

Induksi dengan:
08:15 - Midazolam 2mg, Fentanyl 100 mcg,
- propofol 70+70 mg, rokuronium 50 mg/iv

Memberikan ventilasi dengan O2 10 lpm -à ventilasi


08:20 dapat dilakukan dengan benar, gerak dada bergerak
simetris, pasien apnue, TD 120/70,
N 92x/mnt,Sat O2 99 % .

Melakukan intubasi dengan ETT no 7, cuff +, batas


08:25 bibir 21 cm, suara napas kanan dan kiri sama

Memberikan inhalasi isopluran 1,2% dengan O2


08:30 3 lpm

Melakukan controled ventilasi dengan frekuensi


16-05-2017 08:35 respirasi 16 x/mnt

130
Operasi dimulai -à posisi pasien supine, sudah di
08:40 pasang pengaman

Mengobservasi perdarahan -à perdarahan minimal,


08:45 TD turun 88/45 mmHg, N 110x/mnt

Melakukan kolaborasi dengan dokter anasthesi untuk


08:50 pemberikan injeksi Ephedrin 10 mg/iv -à TD 100/64
mmHg, N 92x/mnt, perfusi hangat, kering, merah.

Operator mulai jahit

09:20 Melakukan kolaborasi dengan dokter untuk


pemberian obat analgetik, anti emetik, dan antasida
09:45 --à obat sudah di berikan, tak ada reaksi alergi

Bagging manual sambil mencari napas spontan


pasien -à TTV dalam batas normal, Sat O2 100 %,
09:55 belum ada napas spontan

Operasi selesai

10:05 Bagging manual sambil mencari napas spontan


pasien -à TTV dalam batas normal, Sat O2 99 %,
10:10 pasien mulai napas spontan tapi masih tidak adekuat

Mengobservasi -à TD 122/86, N 100 x/mnt, Sat O2


100 %, napas spontan adekuat, UT 550 cc
16-05-2017 10:15

131
Melakukan suction ETT -à Sekret + mukoid, suara
napas bersih, ronchi -/-, whezing - Membangunkan
10:20 pasien -à pasien terbangun, sedikit berontak

Membantu dokter anasthesi melakukan ekstubasi dan


melakukan sution mulut -à sudah ekstubasi, pasien
10:30 kooperatif, bisa menelan ludah
Memberikan O2 masker 6 lpm -àAirway bebas,
napas spontan adekuat, TTV dalam batas normal, Sat
O2 100 %

Memindahkan pasien ke ruang RR -à Pasien masih


mengantuk tapi mudah di bangunkan, airway bebas,
10:40 tak ada tanda – tanda sianosis dan obstruksi jalan
napas, nyeri terkontrol, tak mual, tak muntah, perfusi
hangat, kering, merah.

3.1.7 DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Pre Operasi
Cemas berhubungan dengan prosedur tindakan pembedahan

132
2. Durante Operasi
Resiko terjadi perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan

3. Post Operasi
Resiko terjadi obstruksi jalan nafas berhubungan dengan post ekstubasi

133
3.2 INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI

Tanggal DIAGNOSA ANALISA DATA KRITERIA HASIL PERENCANAAN IMPLEMENTASI


16-5-2017 Pre Operasi: DS: klien mengatakan Tujuan : 1. Jelaskan pada klien tentang 1. Menjelaskan pada klien
Jam 07.00 1. Cemas sering bertanya tentang prosedur tindakan pembedahan tentang prosedur tindakan
berhubungan prosedur tindakan Setelah dilakukan pembedahan
dengan prosedur pembedahan Asuhan keperawatan 2. Kaji tingkat kecemasan klien
tindakan DO: anestesi diharapkan dengan melakukan komunikasi 2. Mengkaji tingkat kecemasan
pembedahan - wajah tampak pucat cemas dapat teratasi . terapeutik klien dengan melakukan
- Tampak cemas komunikasi terapeutik
- Klien tampak gelisah Kriteria hasil:
- Tensi 116/73 mmhg 3. Anjurkan klien untuk rilek
- Nadi 84 x/menit -Klien mengerti dalam menghadapi proses 3. Menganjurkan klien untuk rilek
tentang prosedur pembedahan dalam menghadapi proses
- SpO2 99%
tindakan pembedahan pembedahan
- RR 20 x/menit 4. Observasi tanda-tanda vital
- Klien tampak tenang (tensi, nadi, RR) 4. Mengobservasi tanda-tanda
Problem:
vital (tensi, nadi, RR)
Cemas
- Klien tampak tidak 5. Kolaborasi dengan dokter
Etiologi:
cemas anastesi untuk pemberian obat 5. Mengkolaborasikan dengan
Pengetahuan kurang
premedikasi (midazolam 2,5 dokter anastesi untuk
tentang prosedur dari
mg, morpin 5 mg, SA 0,25 mg) pemberian obat premedikasi
tindakan operasi
-Observasi tanda-tanda (midazolam 2,5 mg, morpin 5
vital. mg, SA 0,25 mg)
Stressor meningkat Tensi 120/80 Mmhg
Nadi 86 x / menit
SpO2 100 %
Rr 15x/menit
Cemas

134
Tanggal DIAGNOSA ANALISA DATA KRITERIA HASIL PERENCANAAN IMPLEMENTASI
16-05-2017 Durante Op DS: - Tujuan : 1. Kaji tanda-tanda syok, perfusi, 1. Mengkaji tanda-tanda syok,
Jam 08:45 1.Resiko terjadi DO: turgor, Hb perfusi, turgor, Hb
perdarahan - Adanya tanda-tanda syok Perdarahan dapat
berhubungan - Perfusi dingin, pucat teratasi 2. Beri cairan kristaloid atau 2. Memberikan cairan kristaloid
dengan tindakan - Kulit berkeringat koloid sesuai program dokter atau koloid sesuai program
pembedahan - Hb turun lebih dari 30% Kriteria Hasil: dokter
- Tanda-tanda vital
-Tidak ada tanda-tanda 3. Kaji output dan input cairan 3. Mengkaji output dan input
- Tensi 120/70 mmhg syok cairan
- Nadi 86 x/menit
- SpO2 99% - Perfusi hangat 4. Komunikasi dengan dokter 4. Mengkomunikasikan dengan
- RR 16 x/menit bedah/operator untuk berhati- dokter bedah/operator untuk
- Tidak pucat hati dan segera memblok berhati-hati dan segera
Problem : pembulu darah jika ada memblok pembulu darah jika
perdarahan perdarahan ada perdarahan
- Kulit kering
Etiologi 5. Kaji tanda-tanda vital tensi, 5. Mengkaji tanda-tanda vital
Ca mammae
- Hb normal kurang
dari 10% nadi, RR tensi, nadi, RR

Tindakan pembedahan
-Observasi tanda-tanda
vital:
Tensi 120/80 Mmhg
Terbukanyapembuluh darah
Nadi 86 x / menit
SpO2 100 %
Rr 15x/menit
Perdarahan

135
Tanggal DIAGNOSA ANALISA DATA KRITERIA HASIL PERENCANAAN IMPLEMENTASI
16-5-2017 Post Operasi: DS: - Tujuan : 1.Jaga jalan nafas tetap bersih 1. Menjaga jalan nafas tetap
Resiko terjadi DO: dengan memasang oroparingeal bersih dengan memasang
Jam 10:00 obstruksi jalan - pasien belum sadar baik Bila terjadi obstruksi oroparingeal
nafas berhubungan - Dada mengembang jalan nafas dapat
dengan post simetris kanan dan kiri dievaluasi sedini 2.Auskultasi suara nafas 1 dan 2 2. Mengauskultasi suara nafas 1
ekstubasi - Tidak adanya sianosis mungkin kanan dan kiri dan 2 kanan dan kiri
- Adanya sekret
Kriteria hasil: 3.Monitor tanda tanda vital (tensi, 3. Memonitor tanda tanda vital
Tensi 122/72 Mmhg nadi, RR, SpO2) (tensi, nadi, RR, SpO2)
Nadi 86 x / menit - Frekuensi dan
SpO2 99% kedalaman nafas
Rr 15x/menit normal (dada
terangkat simetris)
Problem
Jalan nafas - Suara nafas tambahan
tidak ada
Etiologi
Pasien belum sadar -Observasi tanda-tanda
vital.
Tensi 120/80 Mmhg
Nadi 86 x / menit
Pangkal lidah jatuh SpO2 100 %
Rr 15x/menit

Resiko terjadi obstruksi


Jalan nafas

136
3.3 EVALUASI

TANGGAL DIAGNOSA EVALUASI TTD


16-5-2017 Pre Operasi S: klien mengatakan mengerti tentang prosedur tindakan
Jam 07:00 1. Cemas berhubungan dengan prosedur pembedahan
tindakan pembedahan O:
- Klien tampak tenang
- Klien tampak tidak gelisah
- Tensi 116/73 mmhg
- Nadi 84 x/menit
- SpO2 99%
- RR 20 x/menit
A: Masalah terasi
P: Intervensi dilanjutkan dan dipertahankan

16-5-2017 Durante S: -
Jam 08:45 1. Resiko terjadi perdarahan berhubungan O:
dengan tindakan pembedahan - Tidak ada tanda-tanda syok
- Perfusi hangat
- Tidak pucat
- Kulit kering
- Hb normal kurang dari 10%
- Tanda-tanda vital
- Tensi 120/70 mmhg
- Nadi 86 x/menit
- SpO2 99%
- RR 16 x/menit

137
A: Masalah teratasi
P: Intervensi dilanjutkan dan dipertahankan

16-5-2017 Post Operasi S: -


Jam 10.00 1.Resiko terjadi obstruksi jalan nafas O:
berhubungan dengan post ekstubasi - Dada mengembang simetris kanan dan kiri
- Tidak ada sianosis
- Tidak ada sekret
- Tidak batuk
- Tanda tanda vital
Tensi 122/72 Mmhg
Nadi 86 x / menit
SpO2 99%
Rr 24x/menit

A: Masalah teratasi
P: Intervensi dilanjutkan dan dipertahankan

138
BAB IV
PEMBAHASAN

Sebagaimana telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, dalam karya tulis


ini dimana penulis telah menjabarkan berbagai hal tentang ASUHAN
KEPERAWATAN Pada Ny. M, dengan Ca Mammae (D),dengan tindakan MRM
Modified Radical Mastectomy (D), dengan General Anestesi Intubasi, baik pada
tinjauan teori dan tinjauan kasus, yang diperoleh melalui pengkajian langsung
pada klien yang akan dioperasi dan selama durante oparasi di RSUD Dr.
SOETOMO, ruangan operasi GPBT lt 4.
Pada bab ini akan di bahas beberapa hal mulai dari pengkajian, tindakan
anestesi, diagnosa, intervensi, implementasi dan hal yang lain yang berkaitan
dengan judul karya tulis ini

4.1 Pengkajian
Pada bagian pengkajian penulis melakukan pengkajian tentang hal
hal yang penting terutama yang menyangkut dengan anestesi seperti status
fisik klien, keadaan umum serta pemeriksaan penunjang yang lain seperti
pemeriksaan lab, x ray, dan pemeriksaan cardiovaskuler.
Dari pengkajian yang dilakukan maka dapat di tetapkan rencana
anestesi yang akan dilakukan (teknik anestesi), jumlah dosis obat yang
akan diberikan pada saat operasi serta menenetukan pisical status (PS)
serta dapat mengantisipasi kemungkinan penyulit anestesi yang akan
ditemui pada saat opersi.
Adapun kesenjangan antara teori dan kasus, tidak di temukan pada
tahap pengkajian, karena pada tahap ini dilakukan secara terstruktur dan
sistematis serta kolaboratif.

4.2 Tindakan anestesi


Dari pengkajian diatas maka telah di dapatkan data tentang klien,
dan di ditetapkan pisical status (PS 2) pada klien, dan direncanakan
dilakukan general anestesi dengan posisi supine.

139
Tahap ini, pada tinjauan teori menjelaskan beberapa hal tentang
tindakan dan obat-obatan anestesi, sedangkan pada kasus hanya mencakup
beberapa hal seperti posisi yang digunakan posisi supine, obat obatan
anestesi menggunakan Midazolam, Fentanyl, Propofol, dan Rocuronium, ,
hal ini di karenakan dari hasil pengkajian dan kondisi pasien.

4.3 Diagnose keperawatan durante operasi


Diagnosa keperawatan yang dibahas pada teori menjelaskan
tentang diagnosa intra operasi dan post operasi, namun pada kasus hanya
membahas diagnosa pada intra operasi, mengingat karena luasnya bahasan
tentang MRM.
Diagnose keperawatan yang penulis tegakkan fokus pada durante
operasi dan post oprasi yang berkaitan dengan pembedahan yaitu :
1. Resiko terjadi perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan

2. Resiko terjadi obstruksi jalan nafas berhubungan dengan post ekstubasi

4.4 Intervensi
Intervensi yaitu hal yang telah kita rumuskan, tentunya dengan
melihat data data dan diagnosa yang telah di tentuakan, namun hal ini tidak
menutup kemugkinan ada yang kita lakukan diluar dari perencanaan
(intervensi), sesuai dengan kondisi dan keadaan pasien pada saat itu.
Kesenjangan yang di temukan pada tahap intervensi antara teori dan
kasus tidak terlalu signifikan, hanya pelaksanaan intervensi kadang terdapat
poin tertentu yang tidak sesuai urutan karena menyesuaikan dengan kondisi
dan keadaan pasien,

4.5 Implementasi
Impelementasi merupakan hal yang terpenting, dan harus dilakukan
secara cermat dan teliti serta terstruktur, demi kelancaran pelaksaan anestesi
dan durante operasi serta untuk keselamatan pasien. Dilanjutkan dengan
evaluasi dan mendokumentasikan setiap apa yang telah dilakukan terhadap
pasien.

140
Namun pada tahap implementasi di tinjauan teori menjelaskan tentang
tahap - tahap secara berurutan sedangkan pada tinjauan kasus, ada poin
tertentu yang dilakukan berulang dan tidak berurutan, dikarenakan kebutuhan
pasien pada saat durante operasi, seperti pemberian analgetik yang diberikan
secara berulang.

141
BAB V
PENUTUP

Pada bab ini penulis akan menyimpulkan beberapa hal yang berkaitan
dengan ASUHAN KEPERAWATAN Pada Ny. M dengan CA Mammae
(D),dengan tindakan Modified Radical Mastectomy (D), dengan General Anestesi
Intubasi serta saran- saran.

5.1 Kesimpulan
Secara garis besar penulis akan menyimpulkan tentang apa yang
dibahas di bab-bab sebelumnya yaitu :

1. Pelaksaan pengkajian harus dilakukan selengkap-lengkapnya agar


mendapatkan data yang akurat dan dapat di pertanggung jawabkan,
baik dari pengkajian langsung pada pasien dan keluarga maupun dari
hasil pengkajian dignostik yang dilakukan.
2. Pada pelaksanaan pengkajian kita harus membina hubungan saling
percaya pada klien, agar klien yakin dengan apa yang akan dilakukan
terutama tindakan anestesi yang akan diberikan.
3. Sebelum melakukan tindakan yang berkaitan dengan anestesi wajib
kita menyiapkan segala sesuatu dengan lengkap seperti obat
emergency, obat obatan anestesi yang lain dan alat alat anestesi seperti
mesin anestesi, suction, bantal donat, laringoskop (handel dan bleet),
Stilet, dan alat pendukung lainnya serta di pastikan dapat berfungsi
dengan baik.
4. Didalam pelaksanaan anestesi segala hal dapat terjadi, maka dari itu
kita harus teliti dan salin bekerja sama dalam pelaksaannya.
5. Didalam merumuskan suatu masalah seperti diagnosa dan perencanaan
tindakan kita harus memikirkan secara matang dan melakukan
kolaborasi dengan dokter anestesi, dokter bedah perawat instrumen
yang menunjang tercapainya hasil yang baik

142
6. Hasil akhir dari pelayanan Anestesi adalah tercapainya keadaan yang
aman dan nyaman pada pasien, serta efek minimal pada pasien, baik
jangka panjang maupun jangka pendek

5.2 Saran Saran


Untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta,
maka perlu di dukung oleh praktek lapangan yang cukup, sehingga
pengetahuan yang didapatkan akan lebih sinkron dan aplikatif, yang
merupakan tolak ukur suatu evaluasi kegiatan pendidikan dan pelatihan.
Sebagai perawat anestesi harus mampu berkolaborasi dan bekerja
tim dalam melaksanakan pelayanan yang optimal, dan tak henti-hentinya
belajar dan terus belajar dalam mengembangkan potensi agar dapat
berkontribusi positf dan mengaplikasikan ilmu serta senantiasa menjaga
etika keperawatan

5.2.1 Untuk RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA


a. Untuk meningkatkan skill peserta, bimbingan langsung di hadapan
pasien perlu diintensifkan.
b. Untuk menambah pengetahuan dan kemampuan anestesi pediatrik,
sebaiknya peserta lebih dilibatkan dalam kemandirian anestesi
pediatrik.

5.2.2 Untuk RSUD Dr.H.MOH.ANWAR SUMENEP


a. Untuk lebih meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya di bidang
anestesi perlu menyiapkan ruangan yang dilengkapi dengan alat-alat
yang dibutuhkan, serta alat pendukung, agar mampu meningkatkan
kinerja khususnya di bidang anestesi.
b. Untuk meningkatkan kualitas SDM perawat khususnya di ruang
emergency dan penanganan kasus-kasus emergency, maka perlu
diikutkan dalam kegiatan PPGD (Pendidikan dan Pelatihan Gawat
Darurat).

143
DAFTAR PUSTAKA

Barbara, CL., 1996, Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan proses


keperawatan), Bandung.

Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa:
Waluyo Agung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.made karyasa, EGC,
Jakarta.

Carpenito, L.J., 2000, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis, alih
bahasa

Doenges,M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., 1993, Rencana Asuhan


Keperawatan untuk perencanaan dan pendokomentasian perawatan Pasien,
Edisi-3, Alih bahasa; Kariasa,I.M., Sumarwati,N.M., EGC, Jakarta

Hidayat, Aziz Alimul (2007). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta:


Salemba Medika.

Johnson,Marion, dkk. (2000).  Nursing Outcome Classifications (NOC). St.


Louis :Mosby Year-Book

Juall,Lynda,Carpenito Moyet. (2003). Buku Saku Diagnosis Keperawatan edisi


10.Jakarta:EGC

Maurytania, A.R, 2003, Buku Saku Ilmu Bedah, Widya Medika, Yogyakarta.
Diposkan oleh chan axe

NANDA, 2001-2002, Nursing Diagnosis: Definitions and classification,


Philadelphia, USA

Nursalam.(2008) Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan.Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.

Price Sylvia, A (1994), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid


2 . Edisi 4. Jakarta. EGC

Sjamsulhidayat, R. dan Wim de Jong. 1998. Buku Ajar Imu Bedah, Edisi revisi.
EGC : Jakarta.

Smeltzer, Suzanne C. and Brenda G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan


Medikal Bedah : Brunner Suddarth, Vol. 2. EGC : Jakarta.

144

Anda mungkin juga menyukai