Anda di halaman 1dari 9

II TINJAUAN PUSTAKA

Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) tergolong sumberdaya ikan pelagis ekonomis

penting dan merupakan salah satu komoditi ekspor. Penangkapan cakalang di Teluk Bone

umumnya dilakukan dengan menggunakan huhate (pole and line), pancing tonda (troll line),

pukat cincin (purse seine), jaring insang, dan payang. Peningkatan produksi ikan cakalang di

perairan Teluk Bone masih dapat ditingkatkan, apabila operasi penangkapannya dapat dilakukan

dengan cara yang efektif dan efisien. Pada umumnya nelayan dalam menentukan daerah

penangkapan ikan hanya berdasarkan pada pengalaman dan pengamatan langsung. Akibatnya

waktu operasi penangkapan menjadi tidak efektif dan efisien untuk menentukan daerah

penangkapan (Rajabnadia, 2009).

A. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)


Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) atau skipjack tuna menurut taksonominya

diklasifikasikan sebagai berikut (Saanin, 1984 dalam Rajabnadia, 2009) :

Phylum : Vertebrata

Class : Telestoi

Ordo : Perciformes

Famili : Scombridae

Genus : Katsuwonus

Species : Katsuwonus pelamis


Gambar : Ikan Cakalang(Katsuwonus pelamis)
Sumber : Rajabnadia (2009)

Ikan cakalang termasuk jenis ikan tuna family Scombridae, spesies (K.pelamis).

Darwanto dan Murniyati (2003),menjelaskan ciri-ciri morfologi Ikan Cakalang yaitu tubuh

berbentuk fusiform, memanjang dan agak bulat, tapi insang (gill rakers) berjumlah 53-63 pada

helai pertama. Mempunyai dua sirip punggung yang terpisah. Pada sirip punggung yang pertama

terdapat 14-16 jari-jari jeras, jari-jari lemah pada sirip punggung kesua diikuti oleh 7-9 finlet.

Badan tidak bersisik kecuali pada barut badan(corselets) dan lateral line terdapat titik-titik kecil.

Bagian punggung berwarna biru kehitaman(gelap) disisi bawah dan 6 perut keperakan, dengan

4-6 buah garis-garis berwarna hitam yang memanjang pada bagian samping badan.

Sedangkan menurut (Matsumoto et al 1984 dalam Kekenusa, 2006), Ikan cakalang

mempunyai ciri-ciri khusus yaitu tubuhnya mempunyai bentuk yang menyerupai torpedo

(fusiform), bulat dan memanjang, serta mempunyai gill rakers (tapis insang) sekitar 53-63 buah.

Ikan cakalang memiliki dua sirip 6 punggung yang letaknya terpisah. Sirip punggung pertama

terdapat 14-16 jari-jari keras, pada sirip punggung perut diikuti oleh 7-9 finlet. Terdapat sebuah

rigi-rigi (keel) yang sangat kuat diantara dua rigi-rigi yang lebih kecil pada masing-masing sisi

dan sirip ekor.


B. Komposisi Kimia
Ikan cakalang adalah jenis ikan yang mengandung protein tinggi dan lemak rendah.

Ikan cakalang memiliki kandungan protein 22,6 g/100g daging, dan lemak 2,1g/ 100g daging,

disamping itu ikan cakalang mengandung mineral kalsium, fosfor, zat besi dan sodium, vitamin

A ( Retinol), serta vitamin B (thiamin, riboflavin, dan niasin) menurut (Departemen of Health

Education and Walfare, 19720 dalam Kekenusa, 2006). Adapun Komposisi Gizi Ikan cakalang

dapat dilihat dari tabel 1 dan 2 dibawah.

Tabel 1. Komposisi Gizi Ikan Cakalang (katsuwonus. pelamis) per 100 gram daging
Komposisi Ikan Cakalang Satuan
Enaergi 13, 10 mg
Protein 262 mg
Lemak 21 mg
Abu 13 mg
Kalsium 8,0 mg
Fosfor 220,0 mg
Besi 4,0 mg
Sodium 52,0 mg
Retinol 10,0 mg
Thiamin 0,03 mg
Riboflavin 0,05 mg
Sumber : Departemen of Health, Education and Walfare (1972) dalam Kekenusa (2006).

Tabel 2. Komposisi Ikan Cakalang(100g)


Komponen Komposisi Kimia(%)
Air 69,9 ± 0,71
Protein 26,0 ± 0,28
Lemak 22,0 ± 0,07
Karbohidrat 40,7 ± 0,42
Abu 91,4 ± 0,07
Sumber : Departement of Health, Education and Walfare (1972) dalam Kekenusa (2006).

C. Habitat dan penyebaran

Potensi ikan cakalang diseluruh dunia cukup besar, dengan tingkat regenerasi cukup

tinggi, oleh karenanya tidak perlu khawatir akan habis meskipun dilakukan penangkapan dalam

jumlah besar. Cakalang adalah ikan pernang cepat dan hidup bergerombol (Scholling) sewaktu

mencari makan. Kecepatan renang ikan dapat mencapai 50 km/jam. Kemampuan renang ini

merupakan salah satu fektor yang menyebabkan penyebarannya dapat mengikuti skala ruang

(Wilayah Geografis) yang cukup luas, termasuk diantaranya beberapa spesies yang dapat

menyebar dan bermigrasi lintas samudra (Supadiningsih & Rosana, 2004).

Menurut Gunarso (1985) dalam Kekenusa (2006) pada suatu daerah penangkapan ikan

cakalang suhu permukaan laut yang disukai biasanya berkisar antara 16-26 oC, walaupun untuk

Indonesia suhu optimumnya adalah berkisar 28-29 oC. Sedangkan suhu untuk pemijahan

berkisar pada 28-29 oC. Setiap ikan mempunyai kisaran suhu tertentu untuk melakukan

pemijahan, bahkan mungkin dengan suatu siklus musiman yang tertentu pula. Selain itu biasanya

ikan cakalang hidup pada perairan dengan kadar salinitas antara 33-35o/oo dengan salinitas

untuk pemijahan sebesar 33o/oo. Ikan ini jarang dijumpai pada perairan dengan kadar salinitas

yang lebih rendah atau tinggi dari kisaran tersebut.

D. Pengawetan ikan

Penanganan ikan segar merupakan salah satu bagian penting dari mata rantai industri

perikanan karena dapat mempengaruhi mutu. Baik buruknya penanganan ikan segar akan

mempengaruhi mutu ikan sebagai bahan makanan atau sebagai bahan mentah untuk proses

pengolahan lebih lanjut (Afrianto, 1989 Heruwati, 2002).


Dengan kandungan air cukup tinggi tubuh ikan merupakan media yang cocok untuk

kehidupan bakteri pembusuk atau mikroorganisme yang lain, sehingga ikan sangat cepat

mengalami proses pembusukan. Kondisi ini sangat merugikan karena dengan kondisi demikian

banyak ikan tidak dapat dimanfaatkan dan terpaksa harus dibuang, terutama pada saat produksi

melimpah. Oleh karena itu, untuk mencegah proses pembusukan perlu dikembangkan berbagai

cara pengawetan dan pengolahan yang cepat dan cermat agar sebagian ikan yang diproduksi

dapat dimanfaatkan (Afrianto, 1989 Heruwati, 2002).

Pengawetan merupakan usaha manusia untuk mempertinggi daya tahan dan daya simpan

ikan dengan tujuan agar kualitas ikan dapat dipertahankan tetap dalam kondisi baik. Cara-cara

pengawetan dan pengolahan pada pascapanen perikanan dilakukan berdasarkan pertimbangan

sebagai berikut :

1. Tubuh ikan mengandung protein dan air cukup tinggi, sehingga merupakan media yang

baik bagi pertumbuhan bakteri pembusuk dan mikroorganisme yang lain.

2. Produksi ikan bersifat musiman, terutama ikan laut. Dengan kondisi demikian pada suatu

saat produksi ikan sangat melimpah sedangkan pada saat lain sangat rendah. Oleh karena

itu diperlukan cara-cara pengawetan dan pengolahan yang mampu memproses ikan dengan

cepat dan cermat terutama pada saat produksi sedang melimpah.

3. Kebutuhan manusia akan ikan tidak pernah mengenal musim. Setiap saat manusia dapat

membutuhkan ikan (Afrianto, 1989 dalam Heruwati, 2002).

Dengan dikembangkannya cara-cara pengawetan dan pengolahan yang cepat dan cermat,

daya tahan dan daya simpan ikan dapat lebih lama sehingga dapat memenuhi kebutuhan manusia

setiap saat.

a. Menggunakan suhu tinggi.


b. Menggunakan suhu rendah

c. Mengurangi kadar air

d. Menggunakan zat antiseptik (Afrianto, 1989).

E. Ikan asin

Ikan asin merupakan salah satu bahan makanan mentah yang diawetkan menggunakan

garam. Penggaraman pada dasarnya dilakukan untuk mengurangi kadar air dalam ikan sehingga

bakteri tidak dapat hidup dan berkembang. Adanya garam akan mengakibatkan terjadinya proses

osmosa pada sel daging ikan sehingga bakteri menjadi mati (Halimahtussaddiyah, 2011).

Terdapat beberapa cara pengawetan ikan yang dilakukan di Indonesia seperti penggaraman,

pengeringan, pemindangan, pengasapan, fermentasi, pembekuan, dan pengalengan.

Penggaraman merupakan proses pengawetan yang paling banyak dilakukan. Pengawetan ini

terdiri dari dua proses, yaitu proses penggaraman dan pengeringan. Ikan yang telah mengalami

proses penggaraman akan mempunyai daya simpan yang tinggi. Dalam skala nasional, ikan asin

merupakan salah satu produk makanan yang mempunyai kedudukan penting sehingga tidak

mengherankan apabila ikan asin termasuk dalam sembilan bahan pokok penting bagi kebutuhan

masyarakat (Heruwati, 2002; Adawyah, 2008).

Menurut Afrianto (1989) dalam Heruwati, 2002, proses penggaraman ikan dapat dilakukan

dengan empat cara, yaitu:

a) Penggaraman Kering (Dry Salting)

Penggaraman kering dapat digunakan baik untuk ikan yang berukuran besar maupun

kecil. Penggaraman ini menggunakan garam berbentuk kristal. Ikan yang akan diolah ditaburi

garam lalu disusun selapis demi selapis.


b) Penggaraman Basah (Wet Salting)

Proses penggaraman dengan sistem ini menggunakan larutan garam sebagai media untuk

merendam ikan. Larutan garam akan mengisap cairan tubuh ikan dan garam akan segera masuk ke

dalam tubuh ikan.

c) Penggaraman Campuran (Kench Salting)

Penggaraman Kench pada dasarnya hampir sama dengan penggaraman kering, tetapi tidak

menggunakan bak. Ikan dicampur dengan kristal garam seperti pada penggaraman kering dengan

menggunakan keranjang. Larutan garam yang terbentuk dibiarkan mengalir dan terbuang sehingga

memerlukan lebih banyak garam.

d) Penggaraman diikuti Proses Perebusan

Dalam hal ini, ikan mengalami proses penggaraman yang diikuti dengan perebusan. Proses

pembusukan ikan dicegah dengan cara merebusnya dalam larutan garam jenuh.

F. Ikan pindang

Proses dan teknik mempertahankan kesegaran ikan yang banyak dikenal dikalangan

masyarakat secara tradisional adalah pemindangan. Teknik ini biasanya dipergunakan bagi

kebutuhan ikan segar untuk pasar local (Adawyah 2007).

Pemindangan adalah salah satu cara pengolahan ikan segar dengan kombinasi perlakuan

antara penggaraman dan perebusan, Garam yang digunakan berperan sebagai pengawet sekaligus

memberikan cita rasa pada ikan sedangkan perubusan mematikan sebagian besar bakteri pada

ikan terutama bakteri pembusuk. Proses ini dimaksudkan agar produk bisa tahan lebih lama

sehingga dapat dipasarkan ke daerah yang cukup jauh, karena ketahananan produk ikan dengan

teknik ini mencapai 3-4 hari, dan lebih dari masa itu ikan akan mengalami proses pembusukan.

Proses ini banyak dilakukan oleh masyarakat dengan skala usaha rumah tangga sampai dengan

sedang yang melibatkan tenaga kerja diluar rumah tangga dengan teknologi yang sederhana,
tetapi proses ini juga tetap memiliki nilai tambah yang akan dinikmati oleh masyarakat

(Adawyah 2007).
DAFTAR PUSTAKA

Adawyah, R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Adawyah, R. 2008. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Cetakan III. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Darwanto dan A.S. Murniyati. 2003. Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT). Departemen
Kelautan dan Perikanan.

Halimahtussaddiyah, R. (2011). Analisis Logam Berat Cd, Hg, dan Mg dalam Ikan Asin Melalui
Pemisahan dan Tanpa Pemisahan Menggunakan Pengekstrak Ligan
Dipentilditiokarbamat. Jurnal Paradigma. 15(1): 30- 31.

Fausan., 2011. Pemetaan Daerah Potensial Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis)
Berbasis Sistem Informasi Geografis di Perairan Teluk Tomini Provinsi Gorontalo.
Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan Universitas Hasanuddin.

Heruwati, E.S., (2002). Pengolahan Ikan Secara Tradisional: Prospek dan Peluang
Pengembangan. Jurnal Litbang Pertanian. 21(3): 93.

Kekenusa, J.S. 2006. Analisis Penentuan Musim Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus
pelamis, L.) Di Perairan Bitung Sulawesi Utara. Jurnal Protein Vol. 13 No.1

Rajabnadia, L. Abdul. Buku Ajar Ichtyology. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas


Haluoleo. Kendari.

Supadiningsih, C. N dan Rosana, N, 2004. Penetuan Fishing Ground Tuna Dan Cakalang
Dengan Teknologi Pengindraan Jauh. Pertemuan Ilmiah Tahunan I. Teknik Geodesi.
ITS. Surabaya

Anda mungkin juga menyukai