Anda di halaman 1dari 25

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ikan merupakan bahan pangan yang sangat mudah mengalami kerusakan.
Sifat ikan yang sangat mudah rusak ini diperberat lagi oleh kondisi penanganan
pascapanen yang kurang baik. Kerusakan mekanis dapat terjadi akibat benturan
selama penangkapan, pengangkutan, dan persiapan sebelum pengolahan.
Kerusakan mekanis pada ikan ini tidak berpengaruh nyata terhadap nilai gizinya,
tetapi cukup berpengaruh terhadap penampilan dan penerimaan konsumen.
Pada dasarnya penanganan dan pengolahan ikan bertujuan untuk
mencegah kerusakan atau pembusukan.Upaya untuk memperpanjang daya tahan
simpan ikan segar adalah melalui proses pendinginan atau pembekuan, yang
mampu menghambat aktivitas mikroba atau enzim. Penyimpanan pada suhu
rendah (pendinginan dan pembekuan) tidak dapat membunuh mikroorganisme
secara keseluruhan, tetapi hanya dapat menghambat pertumbuhannya. Oleh
karena itu, ikan yang disimpan pada suhu rendah harus dibersihkan terlebih
dahulu untuk mengurangi jumlah mikroorganisme awal yang terdapat pada ikan
tersebut. Proses pembersihan tersebut dikenal dengan istilah penyaingan, yaitu
pembuangan bagian insang dan bagian dalam ikan (jeroan), karena bagian-bagian
tersebut merupakan sumber utama mikroba pembusuk pada penyimpanan ikan.
Oleh sebab itu, pada praktikum ini bertujuan untuk mengetahui proses
penanganan bahan hasil perikanan dengan menggunakan prinsip-prinsip
pembekuan, perubahan yang terjadi sebelum dan sesudah pembekuan dan
menghitung serta menganalisa hasil laju pembekuan pada ikan.

1.2. Tujuan
Adapun tujuan praktikum pembekuan adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui prinsip-prinsip pembekuan pada ikan.
2. Mengetahui perubahan-perubahan sebelum dan sesudah proses pembekuan.
3. Menghitung dan menganalisa hasil laju pembekuan dengan kurva
pembekuan, selisih tebal ikan, dan selisih berat ikan.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembekuan
Pembekuan merupakan salah satu metode pengawetan pangan, dimana
produk pangan diturunkan suhunya sehingga berada dibawah suhu bekunya.
Selama pembekuan terjadi pelepasan energi (panas sensible dan panas laten).
Pembekuan menurunkan aktivitas air dan mengehntikan aktivitas mikroba
(bahkan beberapa dirusak, reaksi enzimatis, kimia dan biokimia. Dengan
demikian produk beku dapat memiliki daya awet yang lama (Kusnandar, 2010).
Pembekuan berarti pemindahan panas dari bahan yang disertai dengan
perubahan fase dari cair ke padat dan merupakan salah satu proses pengawetan
yang umum dilakukan untuk penanganan bahan pangan. Proses pembekuan dapat
mempertahankan rasa dan nilai gizi bahan pangan yang lebih baik dari pada
metode lain, karena pengawetan dengan suhu rendah (pembekuan) dapat
menghambat aktivitas mikroba, menghambat terjadinya reaksi kimia, dan aktivitas
enzim yang dapat merusak kandungan gizi bahan pangan. Proses pembekuan
terdir dari tahap penurunan suhu diatas titik beku bahan, perubahan fase cair
menjadi fase padat yang ditandai dengan proses kristalisasi yaitu terjadinya
bongkahan-bongkahan es kecil akibat perubahan fase dan penurunan suhu bahan
bawah titik beku bahan. Dalam proses pembekuan juga terjadi fenomena
supercooling, suhu air menurun di bawah suhu bekunya (Kusnandar, 2010).
Pembekuan didasarkan pada dua prinsip menurut Syamsir (2008) yaitu
1. Suhu yang sangat rendah menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan
memperlambat aktivitas enzim dan reaksi kimiawi.
2. Pembentukan Kristal es yang menurunkan ketesediaan air bebas di dalam
pangan sehingga pertumbuhan mikroorganisme terhambat. Pada beberapa
bahan pangan, proses blansir perlu dilakukan sebelum pembekuan untuk
menginaktifkan enzim penyebab pencoklatan. Pada skala domestik, pangan
yang akan dibekukan diletakkan di dalam freezer, dimana akan terjadi proses
pindah panas yang berlangsung secara konduksi (untuk pengeluaran panas
dari produk).
2.2. Faktor yang Mempengaruhi Pembekuan
Perkiraan laju pembekuan dan pada akhirnya lama pembekuan merupakan
faktor atau kriteria paling utama dalam pemilihan ataupun desain proses
pembekuan. Selama proses pembekuan, panas dipindahkan secara konduksi dari
bagian dalam (interior) produk pangan menuju ke permukaan dan kemudian
diambil oleh media pembeku. Lama pembekuan sangat tergantung pada beberapa
faktor, antara lain :
1. Ukuran dan bentuk produk yang dibekukan.
2. Konduktivitas panas produk yang dibekukan.
3. Luas area (permukaan) produk yang dibekukan sebagai media pindah panas.
4. Koefisien pindah panas dipermukaan produk yang dibekukan dan medium
pembeku.
5. Perbedaan suhu antara produk yang dibekukan medium pembeku.
6. Jenis pengemas yang digunakan untuk mengemas produk yang dibekukan,
jika produk dibekukan dalam keadaan terkemas (Adnan, 1998).

2.3. Bahan yang Digunakan


2.3.1 Ikan Kembung
Ikan kembung merupakan ikan yang hidup di tepian pantai dan pada
musim tertentu hidup bergerombol di permukaan laut, sehingga penangkapannya
secara besar-besaran mudah dilakukan. Ikan ini banyak dikonsumsi oleh
masyarakat karena kandungan gizi yang cukup tinggi, harganya relatif murah dan
mudah diperoleh di pasaran (Yulisma dkk., 2012).
Klasifikasi ikan kembung lelaki menurut Saanin (1968) adalah sebagai
berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Subkelas : Teleostei
Ordo : Percomorpy
Sub ordo : Scombridae
Famili : Scombridae
Genus : Rastrelliger
Spesies : R. kanagurta
Nama umum : Indian mackerel (Inggris) dan kembung lelaki (Indonesia).
Pemanfaatan ikan kembung jantan banyak digunakan oleh masyarakat luas
karena ikan kembung banyak mengandung Omega 3 dan Omega 6 yang baik bagi
pencegahan penyakit dan kecerdasan otak. Omega 3 dan Omega 6 termasuk
dalam asam lemak tak jenuh jamak esensial yang berguna untuk memperkuat daya
tahan otot jantung, meningkatkan kecerdasan otak, menurunkan kadar trigliserida
dan mencegah penggumpalan darah (Irmawan,2009).
Ikan kembung jantan tergolong ikan pelagik yang menghendaki perairan
yang bersalinitas tinggi. Ikan ini suka hidup secara bergerombol, kebiasaan
makanan adalah memakan plankton besar/kasar, Copepode atau Crustacea
(Kriswantoro dan Sunyoto, 1986).
Adapun komposisi dan nilai gizi ikan kembung (dalam 100 gram daging)
adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Komposisi dan nilai gizi ikan kembung (dalam 100 g daging)
Komposisi Satuan Jumlah
Kalori kal 103
Protein g 22,0
Lemak g 1,0
Karbohidrat g 0
Kalsium mg 20
Fosfor mg 200
Besi mg 1,0
Vitamin A SI 30
Vitamin B1 mg 0,05
Vitamin C mg 0
Air g 76,0
b.d.d % 80
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1981)
2.3.2 Ikan Lele
Ikan lele adalah ikan yang hidup di perairan umum dan merupakan ikan
yang bernilai ekonomis, serta disukai oleh masyarakat. Ikan lele bersifat
nocturnal, yaitu aktif mencari makan pada malam hari. Ikan lele memiliki
berbagai kelebihan, diantaranya adalah pertumbuhannya cepat, memiliki
kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan yang tinggi, rasanya enak dan
kandungan gizinya cukup tinggi (Suyanto 2006). Selain itu ikan lele mudah
dibudidayakan karena mampu hidup dalam kondisi air yang jelek dengan kadar
oksigen yang rendah dan mampu hidup dalam kepadatan yang sangat tinggi.
Klasifikasi ikan lele menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:
Kingdom :Animalia
Sub Kingdom :Metazoa
Filum :Chordata
Sub Filum :Vertebrata
Kelas :Pisces
Sub Kelas :Teleostei
Ordo :Ostariophysi
Sub Ordo :Siluroidea
Famili :Clariidae
Genus :Clarias
Spesies :Clarias gariepinus
Ikan lele mempunyai jumlah sirip punggung D.68-79, sirip dada P.9-10,
sirip perut V.5-6 dan jumlah sungut sebanyak empat pasang, satu pasang
diantaranya lebih panjang dan besar (Arifin, 2009). Sirip dada dilengkapi dengan
sepasang duri tajam atau patil yang memiliki panjang mencapai 40 mm terutama
pada ikan lele dewasa, sedangkan pada ikan lele yang sudah tua sudah berkurang
racunnya. Panjang baku 5-6 kali tinggi badan dan perbandingan antara panjang
baku dan panjang kepala adalah 1: 3-4. Ukuran mata sekitar 1/8 panjang
kepalanya. Giginya berbentuk viliform dan menempel pada rahang (Rahardjo dan
muniarti, 1984).
Tabel 2. Komposisi zat gizi ikan lele segar 100 g
Komposisi Kimia Nilai Gizi
Air 76,0 g
Protein 17,0 g
Lemak 4,5 g
Karbohidrat 0g
Kalsium 20 mg
Fosfor 200 mg
Besi 1,0 mg
Vitamin A 150
Vitamin B 0,05
Sumber : Direktorat Bina Gizi Masyarakat dan Puslitbang Depkes RI (1991)
Adapun tabel persyaratan mutu dan keamanan ikan segar adalah sebagai
berikut :
Tabel 3. Persyaratan Mutu dan Keamanan Ikan Segar

Parameter Satuan Persyaratan


a. Organoleptik - Min. 7 (Skor 1-9)
b. Cemaran mikroba*
- ALT koloni/g 5,0 x 105
- Escherichia Coli APM/g <3
- Salmonella - Negatif/25 g
- Vibrio cholera - Negatif/25 g
- Vibrio parahaemolyticus APM/g <3
c. Cemaran logam*
- Arsen (As) mg/kg Maks. 1,0
- Kadmium (Cd) mg/kg Maks. 0,1
mg/kg Maks. 0,5**
- Merkuri (Hg) mg/kg Maks. 0,5
mg/kg Maks. 1,0**
- Timah (Sn) mg/kg Maks. 40,0
- Timbal (Pb) mg/kg Maks. 0,3
mg/kg Maks. 0,4**
d. Kimia*
- Histamin*** mg/kg Maks. 100
e. Residu kimia*
- Kloramfenikol**** - Tidak boleh ada
- Malachite green dan - Tidak boleh ada
leuchomalachite green****
- Nitrofuran (SEM, AHD,
AOZ, - Tidak boleh ada
AMOZ)****
f. Racun hayati
- Ciguatoksin***** - Tidak terdeteksi
g. Parasit* - Tidak boleh ada
Sumber : SNI (2013).
Adapun tabel persyaratan mutu dan keamanan ikan beku adalah sebagai
berikut :

Parameter Uji Satuan Persyaratan


a. Sensori - Min. 7 (Skor 1-9)
b. Kimia
- Histamin mg/kg Maks.100
- TVB mgN% Maks.20
c. Fisika
- Suhu pusat °C Maks. -18
d. Cemaran mikroba
- ALT koloni/g Maks. 5,0 x 105
- Escherichia coli APM/g <3
- Salmonella per 25 g Negatif
- Vibrio cholera per 25 g Negatif
- Vibrio parahaemolyticus APM/g <3
- Listeria monocytogenes per 25 g Negatif
e. Cemaran logam
- Arsen (As) mg/kg Maks. 1,0
- Kadmium (Cd) mg/kg Maks. 0,1
mg/kg Maks. 0,5b
mg/kg Maks. 0,05d
- Merkuri (Hg) mg/kg Maks. 0,5
mg/kg Maks. 1,0b
- Timah (Sn) mg/kg Maks. 40,0
- Timbal (Pb) mg/kg Maks. 0,3
mg/kg Maks. 0,4b
mg/kg Maks. 0,2d
f. Cemaran fisik
- Filth 0
g. Racun hayati
- Ciguatoksin Negatif
h. Parasit
- Parasit cacing ekor 0
Sumber : SNI (2014)
BAB 3 METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1. Alat dan Bahan


3.1.1. Alat
1. Neraca Digital
2. Baskom
3. Mangkok kecil
4. Termometer tusuk
5. Box Sterofoam
6. Jangka sorong
7. Stopwatch
8. Tisu
3.1.2. Bahan
1. Ikan Lele
2. Ikan Kembung
3. Es batu
4. Air
3.2. Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan
3.2.1. Skema Kerja

Penyiapan Alat dan Bahan

Pengambilan Ikan

1. 3 Ekor Ikan X
2. 3 Ekor Ikan Y
3. 5 Ekor Ikan X
4. 5 Ekor Ikan Y

Pembersihan dan Pencucian Ikan

Pengukuran ketebalan awal Ikan

Pengukuran suhu awal Ikan

Penimbangan berat awal Ikan

Penimbangan Es Batu 1 kg dan 1,5 kg

Penyusunan pada Box Sterofoam dengan komposisi


penempatan : Es batu – Ikan – Es batu

Pengamatan suhu ikan per 30 menit / 15 menit hingga suhu


mencapai ± 00C

Pengukuran ketebalan akhir ikan

Penimbangan berat akhir

Pembuatan Kurva Pembekuan


3.2.2. Fungsi Perlakuan
Pada praktikum pembekuan hal pertama yang harus dilakukan yaitu
menyiapkan alat dan bahan. Adapun bahan/sampel yang digunakan pada
praktikum ini terdiri dari 2 jenis ikan yaitu, ikan kembung (X) dan ikan lele (Y).
Setelah itu, masing-masing kelompok mengambil bahan/sampel sesuai
kelompok dan kebutuhan. Untuk kelompok 1 sampel yang digunakan yaitu 3
ekor ikan kembung, kelompok 2 sampel yang digunakan yaitu 3 ekor ikan lele,
kelompok 3 sampel yang digunakan yaitu 5 ekor ikan kembung, dan kelompok 4
sampel yang digunakan yaitu 5 ekor ikan lele. Langkah berikutnya yaitu proses
pembersihan dan pencucian ikan. Hal ini bertujuan untuk memisahkan dan
membersihkan kotoran yang terdapat pada tubuh ikan. Selanjutnya dilakukan
pengukuran ketebalan ikan menggunakan jangka sorong.Hal ini dilakukan untuk
mengetahui ketebalan awal ikan yang akurat sebelum dilakukan proses
pembekuan.Langkah berikutnya yaitu pengukuran suhu ikan menggunakan
thermometer tusuk. Hal ini bertujuan untuk mengetahui suhu awal pada ikan
sebelum dilakukan proses pembekuan. Lalu ikan tersebut ditimbang
menggunakan neraca digital untuk mengetahui berat awal ikan. Penimbangan
menggunakan neraca digital agar nilai yang dihasilkan akurat. Setelah itu,
dilakukan penimbangan es batu menggunakan neraca digital. Untuk kelompok 1
dan kelompok 3, es batu yang ditimbang dan disiapkan sebanyak 1 kg,
sedangkan untuk kelompok 5 dan kelompok 7, es batu yang ditimbang dan
disiapkan sebanyak 1,5 kg. Penimbangan es batu tersebut dilakukan 2 kali
pengulangan sesuai massa yang telah ditentukan. Perbedaan jumlah es batu yang
digunakan ini mengikuti jumlah/massa ikan yang digunakan. Langkah
berikutnya yaitu penyusunan es batu dan ikan pada box sterefoam dengan
penemapatannya yaitu, pertama es batu, kedua ikan, ketiga es batu. Hal ini
bertujuan untuk membantu proses pembekuan pada ikan agar memperoleh hasil
yang akurat. Pada box sterofoam telah terpasang thermometer tusuk yang telah
dimasukkan kedalam mulut ikan. Langkah berikutnya yaitu pengamatan suhu
setiap 15 menit selama proses pembekuan hingga suhu mencapai 00C . Hal ini
bertujuan untuk mengetahui perubahan suhu yang terjadi pada ikan selama
proses pembekuan hingga suhu mencapai ±00C. Setelah suhu mencapai ±00C,
ikan dikeluarkan dari box sterefoam dan dilakukan pengukuran ketebalan ikan
kembali menggunakan jangka sorong. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
ketebalan akhir ikan setelah dilakukan proses pembekuan. Lalu ikan ditimbang
menggunakan neraca digital untuk mengetahui berat akhir pada ikan setelah
dilakukan proses pembekuan. Langkah terakhir yaitu membuat kurva
pembekuan untuk mengetahui hubungan suhu (0C) dan waktu (menit) selama
proses pembekuan berlangsung.
BAB 4 HASIL PENGAMATAN DAN HASIL PERHITUNGAN

4.1. Hasil Pengamatan


Adapun hasil pengamatan pada praktikum pembekuan adalah sebagai berikut:
Tabel 4.1.1. Hasil Pengamatan Suhu dan Kenampakan Ikan
Perlakuan T0 T15’ T30’ T45’ T60’ Kenampakan
3 ekor 210C 30C 10C 0,80C 0,50C Ikan berwarna pucat,
ikan X tidak berlendir, mata
pucat, kulit mengkerut,
dan tekstur agak keras

3 ekor 26,80C 5,30C 2,20C 10 C 0,50C Ikan berwarna hitam,


ikan Y kulit mengkerut, daging
memadat, dan tekstur
kaku

5 ekor 14,40C 2,10C 0,90C 0,60C 0,50C Ikan berwarna sedikit


ikan X pucat, tidak berlendir,
kulit tidak mengkerut,
dan tekstur keras.

5 ekor 240C 20C 0,60C 0,30C 0,30C Ikan berwarna pucat,


ikan Y kulit mengkerut, tidak
berlendir, dan tekstur
kaku.
Tabel 4.1.2. Hasil Pengamatan Ketebalan dan Berat Ikan

Perlakuan Tebal Awal Tebal Akhir Berat Awal Berat Akhir


3 ekor ikan X 1,59 cm 1,67 cm 154 gram 153 gram
3 ekor ikan Y 1,05 cm 1,3 cm 116 gram 114 gram
5 ekor ikan X 1,8 cm 1,7 cm 360 gram 354 gram
5 ekor ikan Y 2,06 cm 2,2 cm 230 gram 236 gram

4.2. Hasil Perhitungan


Pada praktikum pembekuan ini tidak dilakukan perhitungan.
BAB 5 PEMBAHASAN

5.1. Kenampakan
Pada praktikum pembekuan ini terdapat 2 (dua) sampel yang digunakan
yaitu ikan lele (Y) dan ikan kembung (X). Setelah dilakukan proses pembekuan
diperoleh data sebagai berikut, pada perlakuan I dengan 3 ekor ikan kembung
kenampakan yang diperoleh yaitu ikan berwarna pucat, mata pucat, kulit
mengkerut, tekstur agak keras dan tidak berlendir. Pada perlakuan II dengan 3
ekor ikan lele kenampakan yang diperoleh yaitu ikan berwarna lebih hitam, kulit
mengkerut, daging memadat, dan tekstur kaku. Pada perlakuan III dengan 5 ekor
ikan kembung kenampakan yang diperoleh yaitu ikan berwarna sedikit pucat, kulit
tidak mengkerut, tekstur keras, dan tidak berlendir. Pada perlakuan IV dengan 5
ekor ikan lele kenampakan yang diperoleh yaitu ikan berwarna pucat, kulit
mengkerut, teksturnya kaku dan tidak berlendir.
Uji organoleptik pada bahan baku ikan kenampakannya masih utuh, tidak
cacat dan kulit masih elastis, bau masih segar, dan daging masih elastis yang
menunjukan bahwa bahan baku masih segar (Vatria, 2012). Menurut Fujaya
(2004), menyatakan bahwa perubahan warna pada ikan yang telah dilakukan
proses pembekuan akan berubah menjadi gelap atau putih keabu-abuan.
Berdasarkan hasil praktikum dan literatur diatas diperoleh kesesuaian data.
Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satu jenis dan tingkat
kesegaran ikan yang digunakan. Apabila ikan yang digunakan memiliki tingkat
kesegaran yang rendah, maka akan mempengaruhi kualitas dan kenampakan ikan
yang dihasilkan setelah dilakukan pembekuan. Faktor lain yaitu lama proses
pembekuan, teknik pembekuan dan jumlah sampel yang digunakan.

5.2 Laju Pembekuan


Pembekuan merupakan suatu usaha untuk mempertahankan mutu bahan
pangan. Menurut Heldman dan Singh (1981) menyatakan laju pembekuan sebagai
waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan suhu produk pada titik yang paling
lambat menjadi dingin atau beku, dihitung dari saat tercapainya titik beku awal
sampai tercapainya tingkat suhu yang diinginkan di bawah titik beku produk
tersebut.
5.2.1. Perlakuan I
Pada perlakuan I, sampel yang digunakan yaitu 3 ekor ikan kembung.
Setelah dilakukan pengamatan selama proses pembekuan, diperoleh data
temperatur tubuh ikan sebagai berikut : pada menit ke-0 temperatur tubuh ikan
sebesar 210C ; pada menit ke-15 temperatur tubuh ikan menurun menjadi 30C ;
pada menit ke-30 temperatur ikan kembali menurun menjadi 10C ; pada menit ke-
45 temperatur ikan kembali menurun menjadi 0,80C ; dan pada menit ke-60
temperatur ikan menurun menjadi 0,50C. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada
perlakuan I suhu tubuh pada ikan mengalami penurunan. Data tersebut kemudian
dibuat kurva laju pembekuan seperti pada grafik dibawah ini.

Grafik 1. Kurva Laju Pembekuan pada 3 Ekor Ikan Kembung.

25
21

20

15
Suhu

10

5 3
1 0.8 0.5
0
0 15 30 45 60
Waktu

Menurut Heldman dan Singh (1981) menyatakan laju pembekuan pada


ikan kembung tergolong cepat untuk sampai pada suhu 00C hanya memerlukan
waktu 60-75 menit. Proses pembekuan sendiri dapat dikategorikan menjadi
beberapa bagian. Pertama bahan pangan didinginkan hingga mencapai suhu di
bawah titik bekunya. Kemudian terjadi peningkatan penurunan suhu bahan hingga
mencapai titik beku. Setelah itu, merupakan periode pembentukan kristal es.
Setelah itu, terjadi penurunan suhu bahan pangan kembali hingga mencapai suhu
pembekuan yang diinginkan (Fellows, 2000).
Berdasarkan hasil praktikum dan literatur diatas diperoleh kesesuaian data.
Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pengaruh es
batu yang digunakan dalam proses pembekuan. Apabila jumlah es batu yang
digunakan banyak akan mempercepat penurunan suhu pada tubuh ikan. Faktor
lain yaitu lama proses pembekuan, semakin lama waktu pembekuan maka suhu
tubuh ikan akan terus mengalami penurunan hingga suhu mencapai 00C.
5.2.2. Perlakuan II
Pada perlakuan II, sampel yang digunakan yaitu 3 ekor ikan lele. Setelah
dilakukan pengamatan selama proses pembekuan, diperoleh data temperatur tubuh
ikan sebagai berikut : pada menit ke-0 temperatur tubuh ikan sebesar 26,80C ;
pada menit ke-15 temperatur tubuh ikan menurun menjadi 5,30C ; pada menit ke-
30 temperatur ikan kembali menurun menjadi 2,20C ; pada menit ke-45
temperatur ikan kembali menurun menjadi 10C ; dan pada menit ke-60 temperatur
ikan menurun menjadi 0,50C. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada perlakuan
I suhu tubuh pada ikan mengalami penurunan. Data tersebut kemudian dibuat
kurva laju pembekuan seperti pada grafik dibawah ini.
Grafik 2. Kurva Laju Pembekuan pada 3 Ekor Ikan Lele
30
26.8
25

20
Suhu

15

10

5 5.3
2.2
1 0.5
0
0 15 30 45 60
Waktu
Menurut Heldman dan Singh (1981) menyatakan laju pembekuan pada
ikan kembung tergolong cepat untuk sampai pada suhu 00C hanya memerlukan
waktu 60-75 menit. Proses pembekuan sendiri dapat dikategorikan menjadi
beberapa bagian. Pertama bahan pangan didinginkan hingga mencapai suhu di
bawah titik bekunya. Kemudian terjadi peningkatan penurunan suhu bahan hingga
mencapai titik beku. Setelah itu, merupakan periode pembentukan kristal es.
Setelah itu, terjadi penurunan suhu bahan pangan kembali hingga mencapai suhu
pembekuan yang diinginkan (Fellows, 2000).
Berdasarkan hasil praktikum dan literatur diatas diperoleh kesesuaian data.
Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pengaruh es
batu yang digunakan dalam proses pembekuan. Apabila jumlah es batu yang
digunakan banyak akan mempercepat penurunan suhu pada tubuh ikan. Faktor
lain yaitu lama proses pembekuan, semakin lama waktu pembekuan maka suhu
tubuh ikan akan terus mengalami penurunan hingga suhu mencapai 00C.
5.2.3. Perlakuan III
Pada perlakuan III, sampel yang digunakan yaitu 5 ekor ikan kembung.
Setelah dilakukan pengamatan selama proses pembekuan, diperoleh data
temperatur tubuh ikan sebagai berikut : pada menit ke-0 temperatur tubuh ikan
sebesar 14,40C ; pada menit ke-15 temperatur tubuh ikan menurun menjadi 2,10C ;
pada menit ke-30 temperatur ikan kembali menurun menjadi 0,90C ; pada menit
ke-45 temperatur ikan kembali menurun menjadi 0,60C ; dan pada menit ke-60
temperatur ikan menurun menjadi 0,50C. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada
perlakuan I suhu tubuh pada ikan mengalami penurunan. Data tersebut kemudian
dibuat kurva laju pembekuan seperti pada grafik dibawah ini
.
Grafik 3. Kurva Laju Pembekuan pada 5 Ekor Ikan Kembung.
16 14.4
14

12

10
Suhu

4
2.1
2 0.9 0.6 0.5
0
0 15 30 45 60
Waktu

Menurut Heldman dan Singh (1981) menyatakan laju pembekuan pada


ikan kembung tergolong cepat untuk sampai pada suhu 00C hanya memerlukan
waktu 60-75 menit. Proses pembekuan sendiri dapat dikategorikan menjadi
beberapa bagian. Pertama bahan pangan didinginkan hingga mencapai suhu di
bawah titik bekunya. Kemudian terjadi peningkatan penurunan suhu bahan hingga
mencapai titik beku. Setelah itu, merupakan periode pembentukan kristal es.
Setelah itu, terjadi penurunan suhu bahan pangan kembali hingga mencapai suhu
pembekuan yang diinginkan (Fellows, 2000).
Berdasarkan hasil praktikum dan literatur diatas diperoleh kesesuaian data.
Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pengaruh es
batu yang digunakan dalam proses pembekuan. Apabila jumlah es batu yang
digunakan banyak akan mempercepat penurunan suhu pada tubuh ikan. Faktor
lain yaitu lama proses pembekuan, semakin lama waktu pembekuan maka suhu
tubuh ikan akan terus mengalami penurunan hingga suhu mencapai 00C.
5.2.4. Perlakuan IV
Pada perlakuan IV, sampel yang digunakan yaitu 5 ekor ikan lele. Setelah
dilakukan pengamatan selama proses pembekuan, diperoleh data temperatur tubuh
ikan sebagai berikut : pada menit ke-0 temperatur tubuh ikan sebesar 240C ; pada
menit ke-15 temperatur tubuh ikan menurun menjadi 20C ; pada menit ke-30
temperatur ikan kembali menurun menjadi 0,60C ; pada menit ke-45 temperatur
ikan kembali menurun menjadi 0,30C ; dan pada menit ke-60 temperatur ikan
menurun menjadi 0,30C. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada perlakuan I
suhu tubuh pada ikan mengalami penurunan. Data tersebut kemudian dibuat kurva
laju pembekuan seperti pada grafik dibawah ini.
Grafik 4. Kurva Laju Pembekuan pada 5 Ekor Ikan Lele.
30

24
25

20
Axis Title

15

10

5 2
0.6 0.3 0.3
0
0 15 30 45 60
Axis Title

Menurut Heldman dan Singh (1981) menyatakan laju pembekuan pada


ikan kembung tergolong cepat untuk sampai pada suhu 00C hanya memerlukan
waktu 60-75 menit. Proses pembekuan sendiri dapat dikategorikan menjadi
beberapa bagian. Pertama bahan pangan didinginkan hingga mencapai suhu di
bawah titik bekunya. Kemudian terjadi peningkatan penurunan suhu bahan hingga
mencapai titik beku. Setelah itu, merupakan periode pembentukan kristal es.
Setelah itu, terjadi penurunan suhu bahan pangan kembali hingga mencapai suhu
pembekuan yang diinginkan (Fellows, 2000).
Berdasarkan hasil praktikum dan literatur diatas diperoleh kesesuaian data.
Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pengaruh es
batu yang digunakan dalam proses pembekuan. Apabila jumlah es batu yang
digunakan banyak akan mempercepat penurunan suhu pada tubuh ikan. Faktor
lain yaitu lama proses pembekuan, semakin lama waktu pembekuan maka suhu
tubuh ikan akan terus mengalami penurunan hingga suhu mencapai 00C.
5.2.5. Total Keseluruhan Laju Pembekuan
Data dari hasil praktikum pembekuan dengan 4 perlakuan diperoleh
kesamaan data yaitu semua perlakuan mengalami proses penurunan suhu. Data
tersebut kemudian dibuat kurva laju pembekuan seperti pada grafik dibawah ini.
Grafik 5. Kurva Laju Pembekuan Total.
100
24
90
80
70 26.8
60
Perlakuan IV
Suhu

50
14.4 Perlakuan II
40
Perlakuan III
30 21
Perlakuan I
20 2
5.3
10 2.1
3 0.6
2.2 0.3
1
0.9
1 0.6
0.8 0.3
0.5
0
0 15 30 45 60
Waktu

Dari grafik diatas, dapat diketahui bahwa pada menit ke-60 suhu tubuh
ikan terkecil berada pada perlakuan IV. Hal ini menandakan bahwa dari keempat
perlakuan diatas, penurunan suhu paling cepat mendekati suhu 00C adalah pada
perlakuan IV yaitu pada sampel 5 ekor ikan lele.
Menurut Heldman dan Singh (1981) menyatakan laju pembekuan
pada ikan kembung tergolong cepat untuk sampai pada suhu 00C hanya
memerlukan waktu 60-75 menit. Proses pembekuan sendiri dapat dikategorikan
menjadi beberapa bagian. Pertama bahan pangan didinginkan hingga mencapai
suhu di bawah titik bekunya. Kemudian terjadi peningkatan penurunan suhu
bahan hingga mencapai titik beku. Setelah itu, merupakan periode pembentukan
kristal es. Setelah itu, terjadi penurunan suhu bahan pangan kembali hingga
mencapai suhu pembekuan yang diinginkan (Fellows, 2000).
Berdasarkan hasil praktikum dan literatur diatas diperoleh kesesuaian data.
Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pengaruh es
batu yang digunakan dalam proses pembekuan. Apabila jumlah es batu yang
digunakan banyak akan mempercepat penurunan suhu pada tubuh ikan. Faktor
lain yaitu lama proses pembekuan, semakin lama waktu pembekuan maka suhu
tubuh ikan akan terus mengalami penurunan hingga suhu mencapai 00C.

5.3. Ketebalan Ikan


Pada praktikum pembekuan, juga dilakukan pengukurang terhadap
ketebalan tubuh ikan menggunakan jangka sorong. Sampel yang digunakan yaitu
ikan kembung dan ikan lele. Adapun hasil pengukuran ketebalan tubuh ikan dari
keempat perlakuan adalah sebagai berikut. Pada perlakuan I dengan 3 ekor ikan
kembung diperoleh data, tebal awal ikan sebesar 1,59 cm dan tebal akhir ikan
sebesar 1,67 cm. Pada perlakuan II dengan 3 ekor ikan lele diperoleh data, tebal
awal ikan sebesar 1,05 cm dan tebal akhir ikan sebesar 1,3 cm. Pada perlakuan III
dengan 5 ekor ikan kembung diperoleh data, tebal awal ikan sebesar 1,8 cm dan
tebal akhir ikan sebesar 1,7 cm. Pada perlakuan IV diperoleh data, tebal awal ikan
sebesar 2,06 cm dan tebal akhir ikan sebesar 2,2 cm. Dari data diatas dapat
dianalisa bahwa pada perlakuan I, II, dan IV, ketebalan pada masing masing
sampel bertambah. Sedangkan pada perlakuan III, mengalami penurunan
ketebalan pada sampel. Data tersebut kemudian dibuat diagram batang seperti
gambar dibawah ini.
Gambar 1. Diagram Selisih Ketebalan Ikan

Diagram Selisih Tebal Ikan


2.5
2
1.5
1 Awal
0.5 Akhir
0
Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3 Perlakuan 4
Menurut Adawyah (2006) menyatakan bahwa, keadaan ikan setelah
mengalami proses pembekuan maka daging ikan akan mengeras dan tebal ikan
akan bertambah. Hal ini disebabkan oleh adanya kandungan air yang masuk pada
tubuh ikan yang berasal dari kristal es batu yang membuat kondisi suhu yang
sangat rendah. Menurut Ilyas (1993) menyatakan bahwa, proses peninginan dan
pembekuan akan menghasilkan kristal es yang menempel atau terdapat pada tubuh
ikan, sehingga berat dan ketebalan tubuh ikan akan bertambah.
Berdasarkn hasil praktikum dan literatur diatas diperoleh kesesuaian data
pada perlakuan I, II, dan IV. Sedangkan pada perlakuan III terdapat perbedaan
data dengan literatur. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Salah
satunya yaitu kesalahan atau kurang ketelitian praktikan dalam menyusun sampel
pada es batu sehingga produk yang dihasilkan tidak sesuai. Faktor berikutnya
yaitu, pada penyusunan es batu di bagian bawah dan atas sampel tidak merata,
sehingga memunculkan celah udara yang menyebabkan sampel mengalami
penyusutan. Faktor terakhir yaitu keterlambatan praktikan dalam menimbang
berat akhir sampel setelah dilakukan proses pembekuan, sehingga sampel
mengalami kontak langsung dengan udara dan memungkinkan terjadi pencairan
kristal es pada tubuh ikan yang menyebabkan berkurangnya tebal ikan.

5.4. Berat Ikan


Pada praktikum pembekuan ini, juga dilakukan proses penimbangan
sampel sebelum dan sesudah proses pembekuan menggunakan neraca digital. Hal
ini untuk mengetahui berat awal ikan dan berat akhir ikan pada masing-masing
perlakuan. Adapun data yang diperoleh terkait berat ikan adalah sbeagai berikut.
Pada perlakuan I dengan 3 ekor ikan kembung diperoleh data, berat awal ikan
sebesar 154 gram dan berat akhir ikan sebesar 153 gram. Pada perlakuan II
dengan 3 ekor ikan lele diperoleh data, berat awal ikan sebesar 116 gram dan berat
akhir ikan sebesar 114 gram. Pada perlakuan III dengan 5 ekor ikan kembung
diperoleh data, berat awal ikan sebesar 360 gram dan berat akhir ikan sebesar 354
gram. Pada perlakuan IV dengan 5 ekor ikan lele diperoleh data, berat awal ikan
sebesar 230 gram dan berat akhir ikan sebesar 236 gram. Dari data diatas dapat
dianalisa bahwa berat awal ikan mengalami penurunan pada perlakuan I, II, dan
III. Sedangkan pada pada perlakuan IV, berat sampel bertambah setelah dilakukan
proses pembekuan. Data tersebut kemudian dibuat diagram batang seperti pada
gambar dibawah ini.
Gambar 2. Diagram Selisih Berat Ikan

Diagram Selisih Berat Ikan


400
350
300
250
200 Awal
150 Akhir
100
50
0
Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3 Perlakuan 4

Menurut Adawyah (2006) menyatakan bahwa, keadaan ikan setelah


mengalami proses pembekuan maka daging ikan akan mengeras dan tebal ikan
akan bertambah. Hal ini disebabkan oleh adanya kandungan air yang masuk pada
tubuh ikan yang berasal dari kristal es batu yang membuat kondisi suhu yang
sangat rendah.
Berdasarkan hasil praktikum dan literatur oleh Adawyah (2006) diperoleh
kesesuaian data pada perlakuan IV karena berat ikan bertambah setelah dilakukan
pembekuan. Namun pada perlakuan I, II, dan III, diperoleh ketidaksesuaian data
dengan literatur diatas. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu
faktor yang paling mendasar adalah hilangnya kadungan air pada ikan. Hal ini
dapat disebabkan oleh kurang telitinya praktikan dalam menyusun sampel pada es
batu. Kemudian setelah dilakukan proses pembekuan, sampel tidak langsung
ditimbang untuk mengetahui berat akhirnya melainkan didiamkan dulu pada suhu
kamar. Sehingga sampel mengalami penyusutan dan berat ikan mengalami
penurunan.
BAB 6 PENUTUP

6.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan pada praktikum pembekuan adalah sebagai berikut :
1. Prinsip utama pembekuan yaitu penggunaan suhu yang sangat rendah untuk
menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan pembentukan kristal es
yang dapat menurunkan keterseediaan air bebas dalam suatu bahan pangan.
2. Sampel yang telah dilakukan proses pembekuan akan mengalami
perubahan-perubahan seperti kulit menyusut, tubuh ikan mengeras/kaku dan
mengalami perubahan tebal serta berat ikan. Hal ini disebabkan oleh adanya
pengaruh dari es batu dan lama proses pembekuan.
3. Pada praktikum ini juga menganalisa laju pembekuan dengan pembuatan
kurva. Dari keempat perlakuan diperoleh bahwa keempat perlakuan diatas
mengalami penurunan suhu dengan estimasi waktu ±60 menit. Untuk tebal
ikan mengalami penambahan setelah dilakukan proses pembekuan pada
perlakuan I, II, dan IV, sedangkan pada perlakuan III tebal ikan mengalami
penyusutan. Untuk berat ikan mengalami penurunan pada perlakuan I, II,
dan III, sedangkan pada perlakuan IV berat ikan bertambah.
6.2. Saran
Adapun saran pada praktikum pembekuan adalah sebagai berikut :
1. Seharusnya praktikan lebih memperhatikan lagi skema kerja atau alur kerja
dalam praktikum ini untuk meminimalisir kesalahan.
2. Seharusnya praktikan lebih teliti dalam menyusun sampel pada es batu agar
hasil yang diperoleh optimal.
DAFTAR PUSTAKA

Adawyah. 2006. Pengolahan dan Pengawetan Ikan . Jakarta: Bumi Aksara. Hal.
1-2, 5.

Adnan, M. 1988. Pendinginan Dan Pembekuan. Yogyakarta : Universitas Gadjah


Mada.

Arifin, M.Z. 2009. Budidaya Lele. Semarang : Dohara Prize.

Direktorat Bina Gizi Masyarakat dan Puslitbang Depkes Republik Indonesia.


1991. Komposisi Zat Gizi Pangan di Indonesia. Jakarta : Direktur
Bina Gizi Masyarakat dan Puslitbang Kementerian Kesehatan.

Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1981. Daftar


Komposisi Bahan Makanan: Jakarta.

Fellows, A.P. 2000. Food Procession Technology, Principles and Practise.2nd ed.
Woodread.Pub.Lim. Cambridge. England. Terjemahan Ristanto.W
dan Agus Purnomo.

Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Jakarta :


Rineka Cipta.

Heldman, D.R. and P.R. Singh. 1981. Food Process Engineering. 2nd ed. The
AVI Publ. Comp., Inc. Westport, CT, USA.

Ilyas S. 1993. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan Jilid II Teknik Pembekuan


Ikan. Jakarta: CV. Paripurna.

Irmawan, S. 2009. Status perikanan ikan kembung di kabupaten baru. Malang :


Universitas Brawijaya.

Kriswantoro dan Sunyoto, 1986. Mengenal Ikan Laut. Jakarta : Badan Penerbit
Karya Bani.

Kusnandar, Feri. 2010. Kimia pangan. Jakarta : PT. Dian Rakyat.


Rahardjo,M.F dan Muniarti. 1984. Anatomi beberapa jenis ikan ekonomis penting
di Indonesia. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Saanin, 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Volume I dan II. Jakarta :
Bina Rupa Aksara.

Saanin, H. 1968. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Bandung : PT Bina


Cipta.

Standar Nasional Indonesia. 2013. Ikan Segar. Jakarta : Badan Standarisasi


Nasional.

Standar Nasional Indonesia. 2014. Ikan Beku. Jakarta : Badan Standarisasi


Nasional.

Suyanto, S. R. 2006. Budidaya Ikan Lele. Jakarta : Penebar Swadaya.

Syamsir, Elvira. 2008. Prinsip Pembekuan (Freezing) Pangan. Jakarta : UI press.

Vatria, Belvi. 2012. Pengolahan Ikan Bandeng (Chanos-Chanos ) Tanpa Duri.


Jurnal Ilmu Pengetahuan Dan Rekayasa. Hal 18-19.

Yulisma, A., Yulvizar, C., dan Rudi, E., 2012. Pengaruh Konsentrasi Kitosan dan
Lama Penyimpanan terhadap Total Plate Count (TPC) Bakteri pada
Ikan Kembung (Rastrelliger sp.) Asin. Universitas Syiah Kuala :
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Anda mungkin juga menyukai